askep lansia pencernaan farida fix
DESCRIPTION
GerotikTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses menua merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang
telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irrevesible serta menunjukan adanya
kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami karena adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses menua
terjadi pada lansia secara linear dapat digambarkan melalui 3 tahap yaitu : kelemahan,
keterbatasan, dan keterhambatan yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran. Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990-
2025, tergolong tercepat di dunia. Pada tahun 2002, jumlah lansia di Indonesia
berjumlah 16 juta dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 25,5 juta pada tahun
2020 atau sebesar 11,37% penduduk dan ini merupakan peringkat keempat dunia, di
bawah Cina, India dan Amerika Serikat. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan
sensus BPS tahun 1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun.
Angka di atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang
Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke 103 dunia. Data
statistik tersebut mengisyartatkan pentingnya keperawatan gerontik di Indonesia.
Fokus asuhan keperawatan pada lansia ditunjukan pada dua kelompok lansia,
yaitu 1.) lansia yang sehat dan produktif, dan 2.) lansia yang memiliki kerentanan
tubuh dengan ditandai kondisi fisik yang mulai melemah, sakit-sakitan dan daya pikir
menurun. Pemberian asuhan keperawatan bagi lansia bertujuan untuk memenuhi
harapan-harapan yang diinginkan oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih
baik dan produktif dalam tiga dimensi yaitu : fisik, fungsional, dan kognitif.
Peningkatan kualitas hidup tersebut hendaknya sejalan dengan penerapan praktik
keperawaan yang didasarkan pada fakta. Pada lansia juga sering di temukan
gangguan-gangguan pada sistem-sistem di dalam tubuh seperti contoh pada sistem
pencernaan. Sering di temukan masalah yang muncul pada lansia di sistem
pencernaan yaitu malnutrisi, konstipasi, gastristis, diare dan sebagainya.
0
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan asuhan keperawatan
lansia dengan gangguan pencernaan dari pengkajian hingga evaluasi.
2. Tujuan Khusus
- Mahasiswa memahami proses degeneratif pada sistem pencernaan
- Mahasiswa mengetahui masalah-masalah yang sering terjadi pada lansia di
sistem pencernaan
- Mahasiswa dapat memahami dan melakukan asuhan keperawatan gerontik
pada gangguan pencernaan
C. Manfaat
Manfaat Teoritis
1. Bagi kelompok, makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendalami
pemahaman tentang konsep asuhan keperawatan lansia dengan gangguan sistem
pencernaan.
2. Bagi pembaca, khususnya mahasiswa keperawatan dapat mengerti tentang asuhan
keperawatan lansia dengan gangguan sistem pencernaan yang sesuai dengan
standart kesehatan demi meningkatkan tingkat kesejahteraan Lansia dan dapat
dijadikan sebagai referensi untuk penelitian yang lebih lanjut.
Manfaat Praktis
Mahasiswa keperawatan dapat memberikan asuhan keperawatan kepada lansia
dengan gangguan sistem pencernaan.
1
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Lansia
1. Pengertian
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas
(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994).Karena
itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural
disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan
episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4). Penggolongan lansia menurut Depkes
dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni :
1) Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki
lansia.
2) Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
3) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.
Menurut Lumbantobing, (1997;3), menua yang sukses akan mencakup hal-hal, 1)
hambatan fisik yang minimal dan mampu mengatasinya, 2) sehat mental dan mampu
mempertahankan harga dirinya, 3) dapat mempertahankan aktivitas fisik dan mental, 4)
berdikari, 5) melanjutkan gaya hidup, 6) puas dengan hidup atau keadaannya (stabil
secara sosioekonomi, punya peran di lingkungan).
2. Perubahan-perubahan yang Terjadi Pada Lansia
1) Perubahan Fisik Yang Terjadi Pada Proses Menua
Jumlah sel lebih sedikit dan ukurannya lebih besar, proporsi protein pada sel menurun
mengakibatkan terganggunya mekanisme perbaikan sel (Nugroho, 2000) Otak menjadi
kecil dan atrofi, saraf panca indra mengecil sehingga berkurangnya penglihatan ,
hilangnya pendengaran , mengecilnya saraf penciuman dan perasa , lebih sensitif
terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin. Pada sistem
kardio vaskuler terhadap perubahan elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung
menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung untuk memompa darah berkurang.
Perubahan sistem respirasi, otot–otot pernafasan kehilangan kekuatan, menurunnya
2
aktifitas dari silia, paru–paru kehilangan elastisitas dan kemampuan pegas dinding dada,
kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan bertambahnya usia (Depkes
RI,1994). Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, rasa lapar menurun, asam lambung
menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi. Fungsi absorpsi melemah,
hati makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan adalah perubahan yang
terjadi pada sistem gastroitestinal. Sistem endokrin, produksi hampir semua hormon
menurun, dan menurunya aktivitas tiroid, basal metabolisme rate dan daya pertukaran zat
menurun. Pada sistem integumen : kulit mengkerut atau keriput akibat kehilangan
jaringan lemak, menurunnya respon terhadap trauma, dan menurunnya mekanisme
proteksi kulit. Perubahan pada muskuloskeletal : tulang kehilangan densitas dan makin
rapuh , persendian membesar, kaku, discus intervertebralis menipis dan terdapat kifosis
(Depkes, RI, 1994).
Perubahan yang terjadi pada sistem genitourinaria, ginjal merupakan alat untuk
mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urine, mengalami perubahan unit terkecil
dari ginjal mengecil dan menjadi atrofi, aliran darah keginjal menurun sampai 50 %,
fungsi tubulus berkurang akibatnya kemampuan mengkonsentrasikan urine berkurang
(Nugroho, 2000). Vesika urinaria, secara umum dengan bertambahnya usia kapasitas
kandung kemih menurun. Sisa urine setiap selesai berkemih cenderung meningkat dan
kontraksi otot – otot kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi (Darmojo
dan Martono, 1999). Penurunan kapasitas kandung kemih sampai 200 ml akan
menyebabkan frekwensi buang air seni meningkat (Kozier, 1995).
Sehubungan dengan faktor usia, seorang wanita akan mengalami perubahan yang
disebut sebagai masa menopause. Kapasitas reproduksi menurun dan organ kelamin turut
mengalami atrofi. Pada awalnya menstruasi menjadi tidak teratur dan tidak lancar, darah
haid yang keluar bisa sangat sedikit atau sangat banyak. Muncul gangguan vasomotoris
berupa penyempitan atau pelebaran pembuluh darah. Mengeluh pusing atau sakit kepala,
keluar keringat terus-menerus dan terjadi neuralgia atau gangguan syaraf (Kartono,K.,
1992;318).
2) Perubahan Aspek Psikologis dan Sosial Lansia
Menurut Departemen Sosial RI (1998) yang dikutip dari Hardywinoto dan Setiabudhi
(1999;41), permasalahan khusus lansia meliputi :
a. Berlangsungnya proses menua akan menimbulkan masalah fisik, mental maupun
sosial. Mundurnya kadaan fisik akan menyebabkan perubahan peran sosial lansia dan
lebih tergantung pada pihak lain.
3
b. Berkurangnya integrasi sosial lansia akibat penurunan produktifitas dan kegiatan akan
memberikan pengaruh negatif pada kondisi sosial psikologis lansia.
c. Rendahnya produktifitas kerja lansia dibanding tenaga kerja muda.
d. Banyaknya lansia yang miskin dan terlantar yang memerlukan bantuan supaya bisa
mandiri.
e. Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada masyarakat
individuaalistik menyebabkan lansia merasa tersisih dan kurang dihormati. Sebagian
generasi muda menganggap bahwa lansia tidak perlu lagi aktif dalam urusan hidup
sehari-hari.
f. Dampak negatif dari proses pembangunan, polusi, dan urbanisasi dapat mengganggu
kesehatan fisik dan terjadi ketimpangan jumlah lansia di desa dan di kota.
Masalah-masalah yang dialami lansia akibat purna tugas, menurut Darmojo dan
Martono (1999;22) diantaranya :
a. Kehilangan finansial, yaitu menurunnya sumber penghasilan umumnya terjadi,
kecuali pada orang yang kaya-raya.
b. Kehilangan status, terutama pada orang yang dulunya punya status dan posisi cukup
penting dengan berbagai fasilitasnya.
c. Kehilangan teman/kenalan, mereka akan jarang berinteraksi dengan teman sejawat
yang dulu hampir tiap hari dijumpai.
d. Kehilangan kegiatan/pekerjaan yang teratur dilakukan. Ini berarti mereka kehilangan
rutinitas yang telah dilakukan bertahun-tahun (Brocklehurst, 1987)
B. Proses Degeneratif
Di bidang Gastro-enterologi, pada populasi usia lanjut sebenarnya tidak ada
kelainan yang sangat khas. Walaupun terdapat perubahan seluler dan struktural seperti
organ tubuh lainnya, fungsi sistem gastrointestinal pada umumnya dapat
dipertahankan sebagaimana manusia sehat. Gangguan fungsi biasanya terjadi apabila
terdapat proses patologis pada organ tertentu, atau bilamana terjadi stress lain yang
memperberat beban dari organ yang sudah mulai menurun fungsi dan anatomiknya.
C. Proses Menua Pada Saluran Cerna
Proses menua pada saluran cerna menurut Blocklehurs dan Allen, 1987;
Morris dan Drew, 1985; Nelson dan Castel, 1990), antara lain :
1. Rongga Mulut
Gigi geligi mulai banyak yang tanggal, di samping itu juga terjadi kerusakan gusi
karena proses degenerasi. Kedua hal ini sangat mempengaruhi mastikasi makanan.
4
Lansia mulai merasakan sukar, lama kelamaan malas, untuk makan makanan
berkonsistensi keras. Kelenjar saliva menurun produksinya, sehingga
mempengaruhi proses perubahan kompleks karbohidrat menjadi disakarida
(karena enzim ptialin menurun) juga fungsi ludah sebagai pelicin makanan mulai
berkurang, sehingga proses menelan lebih sukar. Pentol pengecap di ujung lidah
menurun jumlahnya, terutama untuk rasa asin sehingga lansia cenderung untuk
makan makanan yang lebih asin.
2. Farings dan Esofagus
Banyak lansia sudah mengalami kelemahan otot polos sehingga proses menelan
jadi sukar. Kelemahan otot esofagus sering menyebabkan proses patologis yang
disebut hernia hiatus.
3. Lambung
Terjadi atrofi mukosa, atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan
menyebabkan sekresi asam lambung. Pepsin dan faktor intrinsik berkurang.
Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tambung
makanan menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi pepton terganggu.
Karena seksresi asam lambung berkurang maka rangsang lapar juga berkurang.
4. Usus halus
Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaannya
berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dan selajutnya juga menurunkan proses
absorbsi. Di daerah duodenum, enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu
juga menurun, sehingga metabolisme karbohidrat, protein dan lemak menjadi
tidak sebaik sewaktu muda. Keadaan yang seperti ini sering menyebabkan
gangguan yang disebut maldigestif atau malabsorbsi.
5. Pankreas
Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga kapasitas
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun. Pada lansia
sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu
yang menyumbat pada ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim
pankreas oleh enzim elatase dan fosfolipase-A yang di aktifkan oleh tripsin dan
atau asam empedu.
6. Hati
Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses detoksikasi,
5
sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi bilirubin dan lain sebagainya. Dengan
meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat
atrofi sebagian besar sel, berubah bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini akan
menyebabkan penurunan fungsi hati dalam berbagai aspek yang telah disebut tadi.
Hal ini harus diingat terutama dalam pemberian obat-obatan.
7. Usus besar dan rektum
Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas
kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorbsi air dan
elektrolit meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorbsi makanan), feses
menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air merupakan keluhan yang
sering didapat pada lansia. Konstipasi juga disebabkan oleh peristaltik kolon yang
melemah gagal mengosongkan rektum. Proses defekasi yang seharusnya dibantu
oleh kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding
abdomen sudah melemah. Walaupun demikian harus dicatat, konstipasi tidak
selalu merupakan keadaan fisiologik, dan assesment yang teliti harus dilaksanakan
sebelum menentukan penyebab konstipasi dan terapinya.
8. Imunitas Gastro-intestinal pada usia lanjut
Sistem imun mukosal pada traktus gastro intestinal merupakan alat pertahanan
primer tubuh manusia terhadap faktor lingkungan yang masuk melalui mulut.
Setiap saat, epitel saluran makanan harus mengatasi antigen yang dapat
menggangu fungsi tubuh. Seolah-olah menjadi suatu pagar yang sangat selektif
yang harus mampu memilih substansi patogen dan antigen asing untuk segera
ditolak, tetapi tetap menyerap bahan nutrisi yang diperlukan. Sistem imunitas ini
berbeda dengan sistem imunitas sistemik. Faktor terpenting yang sangat
berpengaruh terhadap infeksi terhadap orang tua adalah nutrisi. Walaupun masih
memerlukan penelitian yang luas, pada umumnya disepakati bahwa nutrisi yang
kurang baik akan menyebabkan penderita menjadi lebih rentan terhadap infeksi.
Kontroversi yang smapai sekarang masih terjadi adalah tetang mekanisme
terjadinya imunosenesens (Aranz dan Ferguson, 1992). Imunosenesens adalah
perubahan gradual pada sistem imun yang terjadi pada individu yang telah
mencapai kematangan seksual. Perubahan ini berhubungan erat dengan proses
involusi dan atrofi kelenjar timus (Busby dan Caranasos, 1985)
6
D. Gangguan dan Penyakit Pada Saluran Cerna
Adapun gangguan dan penyakit pada saluran cerna antara lain :
1. Esofagus (Vander Cammen, 1990 dan Reuben, 1996)
Berbagai penyakit esogagus pada usia lanjut serupa dengan terjadinya pada usia
muda. Sebagian tambahan kelainan akibat proses degeneratif yang berhubungan
dengan lanjutnya usia dapat mempengaruhi motilitas esofagus. Disamping ini
keganasan di daerah ini juga lebih banyak terdapat pada lansia dibanding pada
dewasa muda (Reuben et al, 1996). Dengan alasan tersebut maka pada keluhan
esofagus yang baru timbul pada lansia harus dikurangi sejauh mungkin terapi
coba-coba. Pemeriksaan endoskopi perlu untuk segera dikerjakan.
2. Gangguan motilitas
Seperti telah dikemukakan, dengan proses menua dapat terjadi ganggua motilitas
otot polos esofagus. Penderita lansia dengan keluhan disfagia (kesulitan menelan
atau nyeri waktu menelan) harus dievaluasi akan adanya penyakit esofagus.
Apabila mungkin, evaluasi dengan sineradiografi merupakan peneltian pertama,
yang kemudian bisa dilengkapi dengan pemeriksaan endoskopi dan pemeriksaan
otolaringeal.
Pada gangguan disfagia dibagi menjadi 3 kondisi :
a. Disfagia orofaringeal adalah penyakit yang mempengaruhi hipofarings dan
esofagus bagian atas mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengawali
proses menelan dan oleh karenanya juga bolus tidak sampai ke esofagus,
aspirasi dan regurgitasi nasal.
Pada usia lanjut penyebab penyakit ini adalah gangguan motilitas primer
(disfungsi kriko-faringeal, penyakit neurologik sentral atau perifer dan
berbagai gangguan metabolik, terutama diabetes melitus dan disfungsi tiroid).
b. Disfagia esofageal adalah gangguan motilitas dan obsrtruksi intrinsik dapat
berakibat terjadinya kesulitan atau pasase makan yang tak lengkap melalui
esofagus. Gejala sering berupa disfagia atau nyeri dada atau keduanya
bersamaan. Penyebab gangguan motilitas adalah akalansia, kelainan esofagus
spastik dan beberapa penyakit jaringan ikat. Pada kelainan ini
penetalaksanaannya sama dengan apabila terjadi pada dewesa muda. Disfagia
tipe ini pada lansia juga bisa disebabkan adanya kompresi mekanik oleh
degenerasi aorta (disfagia aortika), pembesaran atrium kiri, aneurisma toraks
atau mediastinal setelah proses bedah toraks (Reuben et al, 1996)
7
c. Penyakit refluks gastro-esofageal (GERD = gasto-esofageal reflux
desease) adalah penyakit yang umum disemua golongan umur, tetapi insidensi
mencapau puncak pada usia 60-70 tahun. Terjadi akibat refluks isi lambung
ke esofagus. Data epidemiologi sulit untuk disusun dengan baik, mengingat
kriteria diagnosisnya tidak sama. Penyebabnya antara lain adanya
inkompetensi sflingter esofagus bawah, relaksasi sflingter sepintas dan
terkomprominya mekanisme anti reflux yang lain (misalnya karena adanya
kompresi ekstrinsik sflingter, integritas ligamentum frenoesofageal, bersihan
asam di esofagus). Mekanisme anti reflux dapat dilihat sebagai berikut :
Berbagai zat yang menurunkan kompetensi sfingter esofagus bawah
termasuk coklat, alkohol, lemak, tembakau dan mungkin kafein dapat
memperberat GERD (Reuben et al, 1996). Gejala dan tanda komplikasi GERD
pada populasi lansia seperti yang terdapat pada populasi lain. Rasa panas di ulu
hati, regurgitasi asam, disfagia dan nyari dada merupakan gejala yang paling
sering dikeluhkan . refluks ke saluran nafas menyebabkan batuk dan spasme
bronkus. Komplikasi utama berupa striktur esofagus distal. Terapi seperti pada
Hernia hiatus (Vander Cammen, 1991)
3. Hernia Hiatus
Hernia hiatus meningkat prevalensinya dengan meningkatnya usia menjadi sekitar
60-90% pada usia 70 tahun (Vander Cammen,1991). Walaupun asimtomatik,
seringkali menimbulkan gejala-gejala refluks, disfagia, hemorhagia akibat ulserasi
peptik pada esofagus dan volvulus lambung (pada penderita dimana seluruh
lambung hernia ke rongga toraks). Diagnosis bisa ditegakan dengan foto barium
dan esofaguskopi. Penatalaksanaan bisa digunakan dengan cara non farmakologi,
antara lain tidur dengan kepala tinggi, mengurangi membungkuk, mengurangi
jumlah makanan, menurunkan berat badan pada mereka yang gemuk dan berhenti
8
Tabel 1. Mekanisme anti- refluks
1. Bentuk diafragma kanan2. Segmen intra abdominal3. Sudut masuk esofagus ke lambung4. Mukkosa esofagus yang menyempit5. Sfingter gastro-esofageal.
(dari :Bennet, JR, 1988)
merokok. Terapi farmakologi bisa ditambahkan diantaranya obat prokinetik
(misalnya metoklopramid) dan pengehambat H2 (simetidin dan ranitidin) yang
mungkin diperlukan dalam jangka waktu antara 4-8 minggu.
4. Divertikula
Divertikula yang paling sering didapati di dapati di esofagus biasanya terletak
diatas sfingter esofagus atas (Divertikula Zenker), dibagian tengah esofagus
(divertikula karena tarikan), atau tepat diatas sfingter esofagus bawah
(divertikula epifrenik). Sering di diagnosa seelah usia dewasa, diakibatkan oleh
gangguan motorik. Divertikula Zenker sering dihubungkan dengan disfungsi
kriko-faringeal, biasanya diawali dengan disfagia sepintas. Bila divertikula
membesar, gejala regurgitasi, aspirasi dan massa dileher yang tampak jelas, makin
nyata. Divertikula esofagus dibagian tengah lebih sering asimtomatik, sedangkan
divertikula epifrenik mungkin juga memberi gejala disfagia dan regurgitasi
(Vander Cammen, 1991 dan Reuben, 1996) Diagnosa ditegakan atas dasar
pemeriksaan esofagogram. Pemeriksaan endoskopi dan manometrik sering tidak
memberikan tambahan informasi.
Gejala ringan bisa diberikan pengobatan simtomatik dan prokinetik. Gejala yang
berat memerlukan tindakan pembedahan (Reuben, 1996).
5. Penyakit pada gangguan lambung
Walaupun jenis penyakit dan gangguan lambung pada populasi lansia dan dewasa
muda serupa, akan tetapi penampilan dan penyebab penyakit dan gangguan
tersebut seringkali berbeda. Hal ini karena adanya perubahan fisilogik dan
berbagai penyakit ko-morbid yang sering terdapat pada lansia. Tampilan penyakit
dan gangguan lambung pada lansia temasuk penyakit peptik-sering tidak khas.
6. Gangguan motilitas gastro intestinal primer
Gangguan motilitas gasrto-intestinal primer adalah gangguan yang tidak
berhubungan dengan penyakit tertentu. Tampilan klinik, patofisiologi dan
pengobatannya bervariasi. Gastro-paresis idiopatik dan dispepsia fungsional bisa
terjadi pada lansia.
7. Gangguan motilitas GI sekunder (vander Cammen, 1991)
Berbagai penyebab yang sering terdapat pada populasi lansia, antara lain
gangguan neuro-muskuler, gangguan vaskuler kolagen, dan obat-obatn dapat
menyebabkan gangguan motilitas GI. Disamping itu, gastro-paresis juga bisa
9
diakibatkan tindakan bedah disaluran cerna yang merubah anatomi dan
mempengaruhi mekanisme yang mengontrol motilitas.
Neuropati diabetik merupakan kelainan yang umum yang mempengaruhi
inervasi saluran cerna dan mempengaruhi motilitas. Kelainan degeneratif susunan
syaraf otonom pada lansia, misalnya sindroma Shy-drager dan hipotensi ortostatik
idiopatik bisa mengakibatkan komplikasi gastroparesis.
Berbagai kelainan SSP, antara lain trauma medula spinalis, kelainan SSP
paroksismal (vertigo, migren) dan lesi intrakranial juga dilaporkan disertai dengan
gangguan pengosongan lambung.
Hipertiroidisme dapat menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan
laluan di intestinum. Sebaliknya, hipotiroidisme menyebabkan perlambatan
pengosongan lambung dan pseudo-obstruksi intestinal. Beberapa obat antara lain :
agonis adrenergik, agonis dopaminergik, antagonis kolinergik dan obat
penghambat aktivitas kontraktil dan melambatkan pengosongan lambung. Agonis
kolinergik dan serotonin akan meningkatkan motilitas lambung.
Dalam hal pemeriksaan tes pengosongan lambung dengan radio sintigrafi
dapat mengukur pengosongan lambung secara kwantitatif, sedangkan manometrik
gaster dapat mengukur kontraktilitas lambung dan intestinum tenue dengan
mengukur tekanan intraluminernya. Penatalaksanaan pada gangguan motilitas bisa
berupa modifikasi diet atau dengan obat-obatan. Gejala penderita dengan gastro-
paresis bisa dikurangi dengan pemberian makanan sedikit demi sedikit atau
dengan merubah komposisi (misalnya dengan meningkatkan cairan) sehingga
meningkatkan pengosongan lambung. Retensi lambung persisten merupakan
indikasi penggunaan obat pro-motilitas (betanekol, metoklopramid, sisaprid)
untuk meningkatkan kontraktilitas. Bila keadaan menyebabkan gangguan yang
sangat berat, tindakan bedah mungkin diperlukan.
8. Gastritis
Gastritis adalah suatu proses inflamasi pada lapisan mukan submukosa lambung.
Secara histopatologik dapat dibuktikan adanya infiltrasi sel-sel radang pada
daerah tersebut. Secara garis besar gastritis dapat dibagi dalam beberapa bentuk,
atas dasar (Misiewiez et al, 1990) :
a. Manifestasi klinis
b. Gambaran histologi yang khas pada gastritis.
c. Distribusi anatomik
10
d. Kemungkinan patogenesis gastritis.
Insidensi gastritis meningkat dengan lanjutnya usia. Gastritis atrofikans
merupakan penyebab tersering terjadinya hipo atau akhlorhidia. Gastritis akut
sering disebabkan oleh konsumsi alkohol, obat-obatan (terutama anti inflamasi
non steroid) dan toksin stafilokokus. Jenis superfisial ditndi dengan adanya
inflamasi, edema dan produksi mukus yang berlebihan. Pada lansia seringkali
asimtomatik atau dianggap sebagai akibat normal penyakit menua. Pada jenis
hipertrofikans secara endoskopik terlihat pembengkakan mukosa sehingga
berbentuk seprti spons, disertai disana-sini terdapat ulserasi dan erosi (Matteson,
1988).
Perubahan histologik yang jelas terdapat pada kondisi patologis antara lain
anemia pernisiosa dan defisiensi besi, hepatitis virus, pasca radiasi abdomen dan
pasca operasi lambung.
Gastritis Kronis
Disebut gastritis kronis bila terjadi infiltrasi sel radang seperti disebutkan
diatas yang terjadi pada lamina propria, daerah epitelial atau pada kedua daerah
tersebut terutama terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran granulosit netrofil
pada daerah tersebut menendakan peningkatan aktivitas gastritis kronik
(Misiewiez et al, 1990).
Klasifikasi menurut Whitehead (1972) adalah sebagai berikut :
a. Gastritis kronis superfisialis, bila sel radang kronis terbatas pada lamina
propria mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar
mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar tetap utuh.
b. Gastritis kronik atrofik, bila sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam
disertai distorsi dan destruksi sel-sel kelenjar mukosa yang lebih nyata.
c. Metaplasia intestinalis, dimana terjadi perubahan-perubahan histopatologis
kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar mukosa usus halus yang
mengandung sel goblet. Perubahan tersebut dapat terjadi hmpir pada seluruh
segment lambung, tetapi dapat pula hanya berupa bercak-bercak pada
beberapa bagian lambung.
Whitehead juga menjelaskan tentang atrofi gaster yang merupakan kelanjutan
dan merupakan stadium akhir dari gastritis kronis atrofik. Pada saat ini struktur
kelenjar menghilang terpisah satu dan yang lainnya secara nyata oleh jaringan
11
ikat. Menurut distribusi anatomiknya, Strickland dan McKay, 1973
memberikan klasifikasi sebagai berikut :
a. Gastritis kronik korpus atau tipe A, dimana perubahan histopatologik
terjadi pada korpus dan kardia lambung. Tipe ini sering dihubungkan dengan
proses oto-imun dan dapat berlanjut menjadi anemia pernisiosa.
b. Gastritis kronik antrum atau tipe B, merupakan tipe yang sering dijumpai
dan akhir-akhir ini sering dihubungkan dengan infeksi kuman Helicobacter
pilori.
c. Gastritis multifokal atau tipe AB yang diajukan oleh Correa (1988) yang
distribusi anatomiknya menyebar keseluruh gaster. Penyebaran kearah korpus
menigkat dengan seiring dengan lanjutnya usia.
Secara etiologi terdapat dua hal penting, yaitu imunologik dan bakteriologik.
a. Imunologik : terutama pada gastritis kronik korpus yang berkorelasi kuat
dengan oto-antibodi sel parietal. Ciri-ciri khusus adalah bahwa secara
histopatologik berbentuk gastritis kronik atrofik dengan predominasi korpus
yang dapat menyebar ke natrum dan hipergastenemia (Misiewiez, 1990)
keadaan ini dapat berlanjut menjadi anemia pernisiosa.
b. Bakteriologi : pada mulanya kuman ini disebut sebagai Kampilo-bakteri
pilori. Terdapat diseluruh dunia dan berkolerasi dengan tingkat sosio-ekonomi
masyarakat. Prevalensi meningkat dengan meningkatnya umur.
c. Aspek lain : disamping kedua faktor diatas, faktor refluks entero-gaster cairan
pankreato-bilier, asam empedu dan lisolesitin masuk kedalam lumen lambung
merupakan penyebab terjadinya gastritis kronis (Mc Guigan, 1991)
Diagnosis. Pada lansia gastritis kronis seringkali asimtomatik atau berupa
keluhan yang khas yang tidak memberikan informasi penting untuk menegakan
diagnosis (Mc Guigan, 1991). Diagnosis karenanya ditegakan atas dasar
pemeriksaan endoskopi dan histopatologik. Secara endoskopi di temukan
topografi eritema/eksudatif, erosi datar, erosi terangkat, atrofi hemoragik, refluks
dan rugae. Sedangkan pada histopatologi sebaiknya mencakup 3 komponen
utama, yaitu etiologik, topografik, dan morfologik. Etiologi menegaskan ada
tidaknya kuman Helikobakter pilori, sedangkan morfologi menerangkan tentang
inflamasi (akut/kronik), aktivitas, atrofi, metaplasia, intestinalis.
Pemeriksaan penyaring dengan urea breath test dan serologi seringkali
diperlukan untuk menentukan adanya infeksi Helikobakter pilori, juga untuk
12
menilai kebersihan eradikasi. Hasil positif pada penderita tanpa keluhan bukan
berupa indikasi pengobatan karena tingginya angka infeksi, terutama pada lansia
(Tytgat, 1990)
Pengobatan. Pada gastritis kronis oto-imun, pengobatan ditujukan pada
anemia pernisiosa yang diakibatkannya. Vitamin B-12 parenteral dapat
memperbaiki keadaan anemianya (Mc Guigan, 1991). Eradikasi Helikobakter
pilori dianjurkan untuk gastritis kronik yang berhubungan dengan infeksi kuman
tersebut.
Kombinasi obat untuk eradikasi helikobakter pilori
Tripel drugs (diberikan 1-2 minggu)
Bismuth triple terapy : colloidal bismuth subnitrat (DENOL) 4 x 120 mg/hari
Pilih 2 diantara 3 : metronidasol 4 x 500 mg/hari dan amoksisilin 4 x 500 mg/hari,
tetrasiklin 4 x 500 mg/hari
“PPI based” triple terapy : omeprasol 2 x 20 mg/hari atau Lansoprasol 2 x 30
mg/hari atau lansoprasol 2 x 40 mg/hari.
2 antibiotika dari : klaritromisin 2 x 250-500 mg/hari, amoksisilin 2 x 1000
mg/hari atau metronidasol 2 x 400-500 mg/hari
9. Gangguan pada hati (Nelson dan Castell, 1990, Vander Cammen, 1991)
a. Hepatitis kronik aktif
Keadaan ini ditandai dengan nekrosis piecemeal disertai nekrosis
bridging atau kolaps multi-lobuler dengan infiltrasi limfositik dan sel plasma.
Bersama dengan kelainan-kelainan tersebut, pada 2/3 penderita ditemukan
antibodi otot polos didalam darahnya.
Perubahan histologik hepatitis kronik aktif bisa didapatkan menyertai
kolitis ulseratif atau setelah terpapar obat tertentu misalnya metyldopa,
Isoniazid, Nitrofurantoin, oksifenistan dan kotekonasol.
Terapi.
Oleh karena perjalanan penyakit bervariasi, terapi dengan steroid
hanya diberikan pada mereka yang menunjukan gejala. Penderita menjalani
pemeriksaan biokimiawi dan bilamana perlu dilakukan biopsi. Penderita
dengan penyakit berat mungkin memerlukan pengobatan steroid jangka
panjang.
13
b. Sirosis Bilier Primer (Vander Cammen, 1991, Matteson, 1988)
Gambaran klinis yang sering dijumpai antara lain pruritus, pigmentasi
kulit, sindroma malabsorbsi, jari tabuh, pembesaran hati dengan tepi rata,
splenomegali, antibodi anti mitokondria yang (+), peningkatan kadar IgM atau
peningkatan fosfatase alkalin serum.
Beberapa penderita menunjukan gejala yang mengesankan terkenannya
beberapa sistem lain : Syndroma CRST (Calcinosis Raynaud’s desease,
selerodactily dan telangi-ectasia), penyakit tiroid atau sydroma Sjogren.
Pengobatan
Pada lansia, penyakit ini biasanya asimtomatik. Penderita dengan
ikterus sebainya diberikan vitamin larut lemak A dan D untuk mencegah
osteomalasia dan K, suplemen kalsium serta koles-tiramin untuk mengobati
pruritus.
c. Sirosis
Pada lansia perjalan penyakit ini sama pada usia dewasa muda.
Keadaan ini biasanya disebabkan oleh hepatitis virus, alkoholisme, gangguan
imunitas, kolestatis berkepanjangan, over load zat besi, malnutrisi, bypass
jejunoileal, atau bisa timbul sebagai sirosis kriptogenik yang tidak jelas
penyebabnya.
10. Penyakit Kantung Empedu dan Traktus biliaris
Penyakit pada lansia yang berkaitan dengan kantung empedu dan traktus
biliaris yaitu :
a. Batu empedu (Matteson, 1988, Vander Cammen, 1991, Nelson dan
Castell, 1990)
Penyakit batu empedu memiliki insidensi tinggi seiring peningkatan
umur, ditemukan sekitar 1/3 lansia berumur 70 tahun menderita penyakit batu
empedu. Gejala yang ditimbulkan : ikterus ringan dalam jangka waktu singkat
atau ikterus obstruktif berat, kolesistitis, kolangitis atau kolik bilier. Diagnosis
ditegakan menggunakan pemeriksaan USG dan ERCP. Pada beberapa
penderita mungkin perlu dilakukan koleangiografi.
Penatalaksanaan tergantung pada lokasi dan tipe batu, komplikasi
saluran batu empedu dan keadaan kesehatan umum penderita. Pemberian asam
urso-deoksikolat atau asam kenodeoksikolat bisa dicoba untuk melarutkan
batu radiolusen. Pada penderita batu radio-opak yang mengalami serangan
14
kolesistitis atau kolangitis, harus dilakukan kolesistektomi. Pada penderita
yang fisiknya lemah disertai ikterus obstruktif , ERCP dengan papilektomi
merupakan terapi pilihan.
b. Karsinoma Kandung Empedu (Matteson, 1988, Vander Cammen, 1991)
Penyakit ini khas pada wanita lansia. Terdapat hubungan erat dengan
batu empedu. Manifestasi utama biasanya berupa ikterus obstruktif, nyeri
kuadran perut kanan atas dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik
biasanya teraba massa keras di hipokondrium kanan. Diagnosis ditegakan
dengan pemeriksaan USG dan ERCP. Pengobatan dengan operasi, tetapi
prognosis penyakit ini buruk. Seringkali hanya tindakan paliatif yang bisa
dikerjakan, berupa insersi prostesis untuk mengurangi ikterus, karena tumor
biasanya inoperabel.
c. Karsinoma Saluran Empedu (Kolangiokarsinoma)
Penyakit ini cendrung mengenai wanita. Gambaran klinis penyakit ini
antara lain ikterus obstruktif, yang sering kali intermiten, nyeri, penurunan
berat badan dan hepatomegali nyata. Diagnosis biasanya dengan ERCP.
Prognosis tergantung dari letak tumor. Penderita dengan tumot dibagian
ampula memberikan prognosis lebih baik daripada tumor yang berasal dari
kantung empedu. Pada keadaan berat tersebut hanya bisa dilakukan tindakan
paliatif atau dengan radioterapi.
11. Penyakit Pada Pankreas (Morris dan Dew, 1985, Matteson, 1988, Vander
Cammen, 1991, Nelso dan Castell, 1990, Reuban, 1996)
a. Pankreatitis akut
Kejadian pankreatitis akut terjadi pada usia diatas 50 tahun 2-3 kali
lebih tinggi dibanding penderita muda (Vander Cammen, 1991). Gambaran
klinis diantaranya adalah nyeri epigastrik yang dijalarkan ke punggung,
tumpah, konfusio atau tidak sadar, kadang terdapat efusi pleura atau bisa
didapatkan gambaran EKG abnormal. Pada pemeriksaan amilase serum
meningkat (mungkin normal setelah di periksa beberapa hari), lipase gula
darah dan bilirubin meningkat. Faktor penyebab antara lain batu empedu,
iskemia, hipotermia, dan keracunan karbon monoksida. Pada lansia
komplikasi lebih berat dan mortalitas lebih tinggi.
Penatalaksanaan antara lain dengan rehidrasi parenteral, analgesia, dan
aspirasi cairan duodenum. Penderita dipuasakan untuk menurunkan stimulasi
15
pankreas. Laparotomi likakukan pada penerita yang mengalami komplikasi,
misalnya abses pankreas atau pseudokista. Dan bisa dilakukan tindakan
operatif.
b. Pankreatitis kronis
Biasanya akibat pankreatitis akut berulang. Gambaran klinis antara lain
nyeri, mual dan muntah pada separuh penderita, penurunan berat badan, diare,
dan glukosuria. Pemeriksaan yang sering untuk menegakan diagnosis
menunjukan diantaranya foto polos perut yang memperlihatkan adanya
kalsifikasi pankreas dan test lundt yang menunjukan penurunan aktifitas
tripsin.
Penatalaksanaan penderita dengan diare dan mal absorbsi memerlukan terapi
dengan ekstrak pankreas.
c. Karsinoma Pankreas (Morris dan Dew, 1985, Nelson dan Castell, 1990,
Vander Cammen, 1991)
Penyakit ini mempenyai insidensi puncak pada usia 80 tahun ke atas
dengan gambaran klinis berupa ikterus obstruktif tanpa nyeri, anoreksia,
penurunan berat badan, pembesaran hati, melena dan trombosis vena dalam.
Tindakan diagnosis pilihan adalah USG dan ERCP. Penatalaksanaan pada
penderita hanya berupa terapi paliatif untuk mengurangi ikterus karena
biasanya penderita datang pada stadium lanjut.
12. Penyakit Usus Kecil dan Usus Besar (Brocklehurst dan Allen, 1987, Vander
Cammen, 1991, Reuben 1996)
a. Malabsorbsi
Berbagai keadaan bisa menyebabkan malabsorbsi pada lansia. Pada
lansia terdapat gejala berupa kelemahan umum , nyeri otot, memburuknya
kesehatan secara umum, penurunan berat badan dan konfusio. Gejala diare
atau steatore jarang terjadi. Berbagai penyebab Malabsorbs menurut Vander
Cammen, 1991:
Penyakit coeliac
Penyakit divertikula pada usus kesil
Sindroma pasca gasterktomi
Amilodosis
Limfoma
Sirosis bilier primer
16
Beberapa penyakit kulit.
Tata cara diagnosis memerlukan beberapa tindakan :
Guna mencari penyebab malabsorbsi dilakukan tes absorbsi silose,
biopsi usus kecil, kultur cairan aspirat jejenum (yang diambil saat
biopsi). Juga tes nafas dengan 14 C-Glocokolic, pengukuran retensi
Sehcat (suatu konyugat taurin dari garam empedu sintesis yang
mengandung isotop selenium-75), tes triolein 14C sebagai alternatif
perkiraan lemak fekal, ERCP dan USG pankreas.
Pemeriksaan defisiensi nutrisi, terapi antibiotika untuk penderita yang
mengalami pertumbuhan bakteri di usus atau diet bebas gluten bagi
penderita penyakit coeliac yang disertai diare dan nyeri perut hebat.
13. Gangguan Motilitas Usus Halus (Reuben, 1996, Vander Cammen, 1991)
Berbagai kelainan pada usus halus menyebabkan obstruksi fungsional, tanpa
adanya obstruksi mekanik. Abnormalitas yang terjadi akibat adanya disfungsi
neuron atau otot polos. Gejala yang timbul adalah distensi perut, kembung, kolik
perut, anoreksia, nausea, dan vomitus. Kadang-kadang dehidrasi dan uremia
ringan.
Pada obstruksi intestinal idiopatik primer, yang terjadi karena kelainan
aktivitas neuromuskuler yang tidak serupa pada setiap penderita. Kelainan yang
sporadik dapat menimbulkan perumbhan bakteri hebat di usus yang terkena,
sehingga memberi gejala diare dan steatore.
Psedo-obstruksi sekunder pada usus halus bisa terjadi karena penyait kolagen
vaskuler (skleroderma), gangguan neurologik, penyakit primer pada otot (distrofi
otot), penyakit endokrin (DM), gangguan elektroit dan obat-obatan. Ileus
adinamik terjadi bila kehilangan motilitas usus kecil. Tindakan diagnostik yang
dilakukan untuk mencari penyebabnya.
14. Iskemia Mesenterik (Vander Cammen, 1991, Nelson dan Castell, 1990)
Trombosis atau emboli pada vena maupun arteri dapat mengenai pembuluh
darah mesenterium sehingga menyebabkan iskemia mesenterik. Tanda dan
gejalanya berupa aterosklerosis, infark. Dan gejala khas nyeri perut mendadak,
yang terlokalisasi di epigastrum dan umbiikus. Gejala badominal lain adalah mual
muntah, diare, perut membesar dan syok.
Pada kondisi iskemia intestinal kronik, gejala nyeri perut berulang 10-15
menit setelah makan, dirasakan di bagian perut atas. Nyeri kemudian menghilang
17
pada 1-3 jam . maka penderita biasanya “ takut makan” sehingga makan sedikit-
sedikit. Baik kondisi akut atau kronis biasanya diagnosis ditegakan dengan
arteriografi, pada kondisi nekrosis dilakukan emboliktomi, rekonstruksi arteri dan
eksisi usus. Juga bisa dilakukan tindakan by pass untuk memperbaiki aliran darah
pada iskemia kronis.
15. Penyakit Crohn (Vander Cammen, 1991 dan Matteson, 1988)
Penyakit Corhn mempunyai insidensi 2 kali lipat pada usia 70 tahun keatas.
Bagian usus yang terkena adalah ileum dengan atau tanpa penyebaran ke kolon
kanan. Prognosis tergantung pada daerah yang terkena. Bila mengenai ileum,
gejala obstruksi dan komplikasi lain sering dilakukan bedah.
Gejala klinis berupa diare, nyeri perut dan anus, serta simtom sistemik yang
tidak jelas, konfusio. Terapi yang diberikan berupa sulfasalin dengan atau tanpa
kortikosteroid. Penambahan Metronidasol memberikan penyembuhan yang lebih
baik, terutama bila lesi mengenai kolon perianal. Pemberian asatiprin memberikan
penyembuhan yang lebih baik bila terjadi fistula perianal. Tindakan beda
diperlukan bila terjadi komplikasi fistula, abses dan peritonitis. Mengistirahatkan
usus dan memberikan nutrisi secara adekuat, koreksi anemia, gangguan elektrolit
dan cairan mempercepat penyembuhan.
16. Karsinoma Kolon dan Rektum (Morris dan Dew, 1985, Vander Cammen,
1991, reuben 1996)
Keganasan yang terjadi pada lansia dengan insidensi cukup sering. Keadaan
prekondisi terjadinya keganasan akibat kolitis ulserativa, polip kolon, atau
adenoma. Ditandai dengan diare, inkotinensia fecal, konstipasi dan perdarahan
perektal dengan atau tanpa anemia. Terba massa di kolon. Diagnosis ditegakan
dengan pemeriksaan radoilogik dengan kontras barium. Pemeriksaan
sigmoidoskopi dan kolonoskopi disertai pemeriksaan histologik akan lebih
mengkonfirmasi diagnosis. Oleh karena biasanya didapatkan stadium lanjut
dengan metastas yang cuku luas (ke tulang dan hati).
E. Kebutuhan Gizi Pada Lanjut Usia
18
Kebutuhan gizi klien lansia perlu dipenuhi secara adekuat untuk kelangsungan
proses penggantian sel dalam tubuh, mengatasi proses menua dan memperlambat
terjadinya usia biologis. Kebutuhan kalori pada klien lansia akan berkurang karena
semakin berkurangnya kalori dasar sebagai akibat kegiatan fisik. Kalori dasar adalah
kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat,
misalnya untuk jantung, usus, pernapasan, ginjal, dan lain-lain. Kebutuhan kalori pada
lansia tidak melebihi dari 1700 kal, sebaiknya disesuaikan dengan macam kegiatan.
Kebutuhan protein normal pada lansia adalah 1 grm/kgBB/hari.
Makanan yang mengandung lemak hawani harus dikurangi, misalnya daging
sapi, daging kerbau, kuning telur, otak dan lai-lain. Lansia disarankan untuk
mengkonsumsi makanan tambahan yang banyak mengandung kalsium (Ca) atau zat
kapur. Kebutuhan kalsium pada lansia adalah 14,1 mg/kgBB/hari. Zat besi perlu
diberikan untuk memperlancar pembentukan darah. Pemberian garam natrium harus
dikurangi untk mengurangi kemungkinan adanya tekanan darah tinggi. Para lansia
perlu mendapatkan asupan buah-buahan untuk mendapatkan vitamin. Untuk
menghindari konstipasi (sembelit), klien lansia harus diberi makanan yang cukup
mengandung serat, misalnya beras tumbuk, akar-akar hijau, kacang-kacangan, buah-
buahan, serta banyak minum (1500-2000 cc) yang sekaligus berguna untuk membantu
kerja ginjal.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi gizi pada lansia adalah :
1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan (akibat kerusakan gigi/ompong)
2. Berkurangnya cita rasa
3. Berkurangmya koordinasi otot
4. Keadaan fisik yang kurang baik
5. Faktor ekonomi dan sosial
6. Faktor penyerapan makanan
A. Masalah Gizi Pada Lansia
Terdapat beberapa masalah gizi yang sering dialami lansia, antara lain :
1. Gizi berlebih
Gizi berlebihan disebabkan oleh kebiasaan makan yang berlebihan diusia muda
sehingga menimbulkan obesitas. Apalagi pada lansia, penggunaan kalori yang
berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan ini sulit untuk
dirubah walaupun klien telah menyadari untuk mengurangi makan. Kegemukan
19
merupakan salah satu pencetus terjadinya berbagai penyakit, misalnya penyakit
jantung, diabetes melitus, penyempitan pembuluh darah, dan hipertensi.
2. Gizi kurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah sosial ekonomi dan juga karena
gangguan penyakit. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan, hal
tersebut menyebabkan berat badan berkurang. Apabila kondisi ini disertai dengan
kekurangan protein, kerusakan sel terjadi yang tidak dapat diperbaiki. Akibatnya
rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun, atau mudah terkena infeksi
pada organ tubuh yang vital
Adapun faktor penyebab malnutrisi pada lansia adalah :
a. Penyebab akut dan kronis
b. Keterbatasan sumber penghasilan
c. Faktor psikologis
d. Hhilangnya gigi
e. Kesalahan dalam pola makan
f. Kurangnya energi untuk mempersiapkan makanan
g. Kurangnya pengetahuan tentang nutrisi yang tepat.
3. Kekurangan Vitamin
Bila lansia kurang mengkonsumsi buah dan sayur, ditambah kekurangan protein
dalam makanan, hal tersebut mengakibatkan nafsu makan berkurang, pengelihatan
mundur, kulit kering, nafsu, lemah lunglai dan tidak semangat.
B. Pengkajian Status Gizi
Perawata harus melakukan pengkajian status gizi, yaitu dengan cara :
Pertama, pengukuran antropometrik yaitu mengukur tinggi badan (TB) dan berat
badan (BB), kemudian menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT pada perempuan
normalnya 17-23, sedangkan untuk lakilaki adalah 18-25.
IMT = KgBB / (TB)²
Para lansia mengalamai penurunan tinggi badan dikarenakan oleh :
1. Komponen cairan tubuh yang berkurang sehingga diskus invertebralis relatif
kurang mengandung air sehingga menjadi lebih pipih.
2. Semakin tua cendrung semakin kifosis
3. Osteoporosis yang sering kali terjadi pada wanita lanjut usia akan mudah
mengakibatkan fraktur vertebra sehingga tinggi badan berkurang
4. Penurunan tinggi badan akan mempengaruhi hasil pengukuran IMT
20
Oleh sebab itu dianjurkan untuk menggunakan ukuran tinggi lutut (knee height) untuk
menentukan dengan pasti tinggi badan seseorang. Tinggi lutut tidak akan berkurang
kecuali terdapat fraktur tungkai bawah.
Dari tinggi lutut dapat diukur tinggi badan sesungguhnya, yaitu :
TB pria = 59.01 + (0,28 x TL)
TB wanita = 75,00 + (1,91 x TL) – (0,17 x U)
Catatan : TL = tinggi lutut, U = usia
Selain itu dapat digunakan parameter laboratorium yaitu dengan mengukur nilai
haemoglobin dan albumin serum. Perlu diketahui paruh waktu albumin serum adalah
21 hari maka pemantauan status gizi dapat pula menggunakan transferin (waktu paruh
8 hari) atau kadar pre-albumin (waktu paruh 2 hari)
C. Pemberian Makanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan :
1. Apakan makanan yang disajikan memenuhi kebutuhan gizi.
2. Sajikan makanan tersebut pada waktunya secara teratur dan dalam porsi yang
kecil saja.
3. Jangan menunjukan rasa bosan dalam melayani klien lansia, tunjukan ekspresi
gembira.
4. Beri makanan secara bertahap dan bervariasi, terutama bila nafsu makan
berkurang
5. Perhatikan makanan apa yang tidak disukai atau yang disukai, agar dapat
menentukan jenis makanan sesuai seleranya.
6. Jika mendapat diet tertentu, perhatikan apakah diet tersebut sesuai dengan
petunjuk dokter misalnya untuk DM dan Hipertensi.
7. Beri makanan yang lunak serta menghindari konstipasi serta memudahkan
mengunyah, terutama bagi klien lansia yang sudah ompong, misalnya dalam
bentuk nasi tim atau bubur.
Cara pemberian makan pada klien lansia :
1. Posiskan klien setengah duduk
2. Periksa apakah mulutnya dalam keadaan bersih
3. Letakan serbet diatas dadanya guna mencegah bajunya tidak kotor
4. Suapi dengan sendok yang tidak terlalu penuh
5. Penolong atau perawat dapat berdiri disisi tempat tidur
6. Sediakan waktu yang cukup untuk membantu memberikan makanan
21
7. Jangan tergesa-gesa agar jalan makanan tidak terganggu dan menghilangkan nafsu
makan.
D. Perencanaan Makan untuk Lanjut Usia
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pemberian makanan untuk
klien lansia :
1. Porsi makan yang perlu diperhatikan, jangan terlalu kenyang.
2. Banyak minum dan kurangi garam. Banyak minum dapat melancarkan
pengeluaran sisa makanan. Pengurangan garam akan mengurangi kerja ginjal dan
mencegah terjadinya Hipertensi.
3. Membatasi penggunaan kalori hingga berat badan dalam batas normal, terutama
makanan yang manis atau gula dan makanan yang berlemak. Kebutuhan kalorii
usia 60 tahun 1700 kal sedangkan pada usia 70 tahun adalah 1500 kal.
4. Bagi lansia yang proses penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan :
a. Mengkonsumsi makanan yang mudah dicerna
b. Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan gorengan.
c. Jika terjadi kerusakan gigi atau menggunakan gigi palsu, sajikan makanan
yang lunak dan mudah dicerna.
d. Makanan dalam porsi kecil tapi sering
e. Makanan kudapan, susu, buah dan sari buah sebaiknya diberikan.
5. Batasi minum kopi dan teh. Minuman tersebut boleh diberikan tetapi perlu
diencerkan untuk membantu merangsang gerakan usus dan menambah nafsu
makan.
E. Menu Seimbang untuk Lanjut Usia
Menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan untuk disajikan pada waktu makan.
Menu seimbang untuk lanjut usia adalah susunan makanan yang mengandung cukup
unsur gizi yang dibutuhkan
Syarat menu seimbang untuk lansia :
1. Mengandung gizi yang beraneka ragam bahan makanan yang terdiri atas zat
tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.
2. Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi lansia adalah 50% dari hidrat arang
yang merupakan hidrat kompleks (sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian)
3. Jumlah lemak harus dibatasi, yaitu 25-30% dari total kalori
4. Jumlah protein yang baik dikonsumsi 8-10 dari total kalori
22
5. Dianjurkan makanan yang tinggi serat (selulose) yang bersumber pada buah, sayur
dan macam-macam pati yang dikonsumsi secara bertahap.
6. Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non-fat, yogurt
dan ikan.
7. Makanan mengandung tinggi zat besi (Fe), seperti kacang-kacangan, hati, daging,
bayam atau sayuran hijau.
8. Membatasi penggunaan garam
9. Bahan makanan dari sumber zat gizi dan mudah dicerna
10. Hindari bahan makanan yang tinggi alkohol
11. Pilih makanan yang mudah dikunyah.
Syarat menu untuk lansia dengan berat badan yang kurang :
1. Jika lansia mengalami kekurangan berat badan, makanan yang diberikan adalah
yang mengandung tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP)
2. Diet TKTP terdiri dari TKTP 1 dan TKTP 2
a. TKTP 1 2100 kalori, protein 85 gr (12-15% dari total kalori)
b. TKTP 2 2500 kalori, protein 100 g.
3. Bahan makanan yang baik diberikan adalah :
a. Sumber protein hewani : ayam, tekur, hati, susu, keju, ikan.
b. Sumber protein nabati : kacang-kacangan, tahu, tempe, dan oncom.
c. Bahan makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang manis, dodol,
cake.
4. Cara pemberian makanan dengan berat badan rendah adalah makanan yang bisa
diberi makanan tambahan.
Contoh :
Komposisi 2100 kal, protein 85 gr, karbohidrat 325, dan lemak 40 gr
Pagi
Sarapan
1 gelas susu (2 sendok makan susu bubuk full cream) + gula
Roti isi telur
1 potong buah
Pukul 10.00
1 gelas sari buah
Kue sus
Siang
23
10 sdm nasi (200 gr)
1 potong besar ikan/daging/ayam (100 gr)
1 mangkuk sayur (100 gr)
1 potong buah (100 gr)
Pukul 16.00
1 gelas bubur kacang hijau ( 50 gr kacang hijau + santan secukupnya)
Malam
10 sdm nasi (200 gr)
1 potong ikan/daging/ayam (75 gr)
Sayuran secukupnya
1 potong buah (100 gr)
Menjelang tidur
1 gelas susu (2 sdm full cream)
5. Syarat menu untuk lansia dengan kelebihan berat badan (kegemukan)
a. Jika berat badan lebih, konsumsi energi harus dikurangi sampai mencapai
berat badan normal.
b. Diet rendah kalori untuk lansia harus memnuhi syarat sbb :
1) Kalori dikurangi 500 sampai dengan 100 kalori dari kebutuhan normal.
2) Pengurangan kalori sebaiknya dilakukan dari pengurangan karbohidrat
dan lemak.
3) Protein diberikan dalam jumlah normal, dapat juga diatas kebutuhan
normal, yaitu 1-5 gr/kgBB
4) Serat dibutuhkan cukup tinggi
5) Vitamin dan mineral diberikan dalam jumlah seperti biasa
6) Diet rendah kalori terdiri atas :
Rendah kalori 1 (1200 kal)
Rendah kalori 2 (1500 kal)
Rendah kalori 3 (1700 kal)
Yang sering digunakan adalah diet rendah kalori 1500 atau
1700 kalori
Contoh menu :
Komposisi kurangi kalori sebesar 500 – 1000 kalori (misal 1700 kal). Dengan
protein 75 gr, lemak 45 gr, dan karbohidrat 249 gr
24
Pagi
Sarapan
4 sdm nasi (100 gr)
1 butir telur ( 75 gr)
1 mangkuk sayuran
Pukul 10.00
1 gelas susu ( 3 sdm susu bubuk) + 2 sdt gula
1 potong pepaya
Siang
6 sdm nasi (150 gr)
1 potong besar bandeng presto (75 gr)
1 mangkuk sayur lodeh encer (100 gr sayur + 23 gr daging sapi)
1 potong buah
Pukul 16.00
Pisang bakar ( 150 gr pisang + 2,5 gr margarin)
Malam
4 sdm nasi ( 100 gr)
1 potong ikan/daging/ayam (75 gr)
Sayur secukupnya (100 gr)
1 potong buah (100 gr)
F. Asuhan Keperawatan untuk Gangguan Pencernaan Pada Lanjut usia
A. Pengkajian
25
Pengkajian yang menyeluruh pada lansia yang dilakukan oleh perawat meliputi:
1. Mengidentifikasi status kesehatan (anamneses dan pemeriksaan fisik)
a. Identitas klien, berupa data demografi klien (nama, usia, jenis kelamin,
pekerjaan, tempat tinggal, agama, dll)
b. Riwayat Kesehatan dulu, terkait dengan kondisi kesehatan masa lalu penting
di kaji untuk membantu menempatkan masalah kesehatan saat ini, misal
obesitas, memiliki riwayat penyakit lain, penggunaan obat-obatan, perokok,
konsumsi alkohol, gizi buruk.
c. Keluhan utama saat ini, misal : disfagia, dispepsia, anoreksia, mual, vomitus,
sariawan, nyeri lambung, konstipasi, diare.
d. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menilai kesehatnnya secara tepat. Seperti
biasa, pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi.
Pemeriksaan fisik dibagi 2, yaitu :
1) Pemeriksaan fisik umum meliputi : status mental, kesadaran, kondisi
kulit, kondisi kelenjar getah bening, tanda-tanda vital.
2) Pemeriksaan fisik khusus meliputi semua sistem tubuh : respirasi,
kardiovaskuler, GI, muskuloskletal, neurologis, genitourinaria, dan
psikologis.
e. Pemeriksaan diagnostik dan labaratorium dibutuhkan untuk menegakan
diagnosa dan menentukan tindakan yang akan dibutuhkan
f. Penatalaksanaan
2. Status Gizi
Pada lansia perlu mewaspadai status gizi yang menurun, mengingat prevalensi
malnutrisi yang tinggi di kalangan mereka yang berasal dari multifaktor (faktor
fisik, sosial dan ekonomi), kemungkinan gangguan suasana hati mempengaruhi
selera makan, konsumsi alkohol juga dapat mempengaruhi nafsu makan). Status
gizi juga bisa menimbulkan masalah lain seperti obesitas yang dapat memicu
penyakit-penyakit degeneratif (hipertensi, diabetes mellitus, Gout, sirosis, batu
empedu)
3. Kapasitas fungsional, mengkaji kemampuan mandiri klien dalam melakukan
aktivitas harian mereka, seperti : makan, mandi, berpakaian/berdandan, ke toilet,
melakukan pekerjaan rumah tangga, mampu menggunakan transportasi dan
telpon, berpindah tempat.
26
usia Degeneratif sistem cerna
lambungesofagusRongga mulut
4. Status psikososial, mengkaji status psikolsosial dilakukan melalui observasi,
wawancara, dan pemeriksaan status mental (menurut Folstein). Pengkajian status
psikososial meliputi pengkajian fungsi kognitif, psikomotor, pandangan dan
penalaran, serta kontak dengan realita (Black, 1990). Pengkajian status psikososial
dilakukan dengan Mini Mental State Examination (MMSE)
5. Masalah khusus yang dihadapi secara individual.
B. Diagnosa Keperawatan
Ada beberapa masalah yang sering muncul pada sistem pencernaan pada lansia, yaitu:
1. Perubahan asupan nutrisi ≤ kebutuhan tubuh berhubungan dengan kondisi rongga
mulut yang kurang nyaman untuk makan.
2. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan maldigestif/malabsorbsi,
diare.
3. Gangguan eliminasi fecal berhubungan dengan konstipasi
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
5. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan malnutris
6. Resiko aspirasi berhubungan dengan refluks makanan karena melambatnya
gerakan menutup sfingter
BAGAN PROSES PENURUNAN FUNGSI PADA SISTEM PENCERNAAN
27
Gg nutrisi < kebutuhan tubuh
pe↓ prod HCL
Makanan tidak tercerna dg baik
pe↓ sensasi rasa di lidah
dry mouth/xerostomia, kuman mudah berkembang
Kemampuan mastikasi me↓
Rentan untuk terjadi infeksi
me↓kan selera makan
Kurang rasa nyaman saat makan
Sukar menelan /disfagia
Refluks makanan
Resiko aspirasi/tersedak
Perlambatan gerakan sfingter
Kemampuan mendorong makanan me↓
Cepat kenyang
me↓ rangsang lapar
Malas makan
Daya tampung makanan berkurang
pe↓ukuran lambung
malnutrisi
Resti terjadi infeksi
28
usia
Atrofi sebagian besar sel
Usus halusHati pankreas kolon
Degeneratif pada sistem pencernaan
Pe↓ prod enzim tripsin, amilase, lipaseAtrofi mukosa , luas permukaan ber <, jumlah vili ber <, pe↓ sekresi laktase
Motilitas kolon me↓
pe↓ metabolisme karbo, lemak, dan protein
kelemahan
anemia
Intoleransi aktivitas
Penumpukan cadangan makanan
nausea
Pe ↓proses pembentukan SDM di retikuloendotelial sistem
pe↓ nafsu makan
BB berkurang
Kapasitas metabolisme zat gizi me↓
Resti defisit volume cairan
Maldigestif/malabsorbsi
Diare
Absorbsi air dan elektrolit me↑
pe↓ absorbsi zat makanan
Feces menjadi lebih keras
Konstipasi
Gg eliminasi fecal
LANJUTAN……!
C. Analisa Data dan Intervensi Keperawatan
Analisa Data Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria
hasil
Intervensi Keperawatan
29
Ds :
Os mengatakan
tidak nafsu makan
Os mengatakan
mulutnya pahit dan
kering
Os bilang tidak
bisa makan
makanan dengan
konsistensi keras.
Do :
Gigi os tampak
ompong dan
kurang bersih
Os tampak lambat
dalam mengunyah
makanan.
Lidah os tampak
putih dan sekitar
bibir os terlihat
kering
Os terlihat senang
dengan makanan
yang manis
Makanan yang
disajikan hanya
habis ¼ porsi
Data antropometri.
BB, TB.
Hasil lab : Hb,
Albumin
Perubahan asupan
Nutrisi ≤ kebutuhan
tubuh berhubungan
dengan kondisi rongga
mulut yang kurang
nyaman untuk makan.
Setelah dilakukan
perawatan selama 3 x
24 jam diharapkan
nutrisi terpenuhi,
dengan kriteria hasil :
1. Os mengatakan
mulutnya tidak
pahit dan
2. Sekitar mulut os
tampak
lembab/tidak
kering
3. Mulut os
tampak bersih
dari sisa
makanan
4. os mengatakan
selera makannya
meningkat
(makan habis 1
porsi)
5. hasil lab dalam
batas normal
(albumin : 3,5-5
g/dl, Hb pada :
L 13-18gr/dl
P 12 – 16 gr/dl
1. monitoring status gizi
klien
2. monitoring hasil lab
3. anjurkan klien untuk
menjaga kebersihan
mulut dengan sikat
gigi min. 2 x/hari
4. gunakan sikat gigi
yang lunak untuk
menghindari
terjadinya luka pada
mulut
5. anjurkan klien untuk
membatasi makan
makanan yang manis.
6. Anjurkan klien untuk
cukup minum untuk
mengatasi kekeringan
pada mulut
7. Berikan makanan
yang hangat dengan
menu yang bervariasi.
8. Berikan makanan
yang mudah dicerna
9. Berikan makan
dengan pola sedikit
tapi sering
10. Kolaborasi dengan
dokter gigi dalam
pemeliharaan
kesehatan gigi
30
Ds :
os mengatakan
malas minum
Do :
turgor kulit os
tampak kering/aus
Bibir os tampak
kering
Kelopak mata os
nampak cekung
Intake output os
Hasil lab : Ht
menurun
TTV
Resiko tinggi defisit
volume cairan
berhubungan dengan
malabsorbsi, diare.
Setelah dilakukan
perawatan selama 3 x
24 jam diharapkan
kebutuhan cairan
terpenuhi dengan
kriteria hasil :
1. Os mengatakan
hari ini banyak
minum
2. Kulit os tampak
agak lembab
3. Kelopak mata os
tampak lebih
segar
4. Balance cairan
5. Hasil lab : Ht
normal
L (45%-52%)
P (37%-48%)
6. TTV dalam
batas normal
1. Monitoring intake dan
output klien
2. Monitoring tanda-
tanda vital
3. Monitoring hasil lab :
Ht (hematokrit)
4. Anjurkan klien untuk
banyak minum (1500
– 2000 cc/hari)
5. Jaga kebersihan
makanan klien.
6. Batasi konsumsi susu
dengan konsistensi
kental.
7. Kolaborasi dengan
dokter untuk
pemberian obat
antipulgite.
Ds :
Os mengatakan
belum BAB selama
3 hari.
Os bilang sudah
minum obat
pencahar
Os mengatakan
suka kram ketika
berjongkok
Do :
Perut os tampak
kembung
Gangguan eliminasi
fecal berhubungan
dengan konstipasi
Setelah dilakukan
perawatan selama 3 x
24 jam diharapkan
konstipasi tidak terjadi,
dengan kriteria hasil :
1. Os mengatakan
sudah bisa BAB
2. Perut os tampak
tidak kembung
3. Tidak ada
distensi
abdomen
4. Os bisa BAB
1. Monitoring eliminasi
fecal (frekuensi,
konsistensi)
2. Anjurkan klien untuk
banyak minum.
3. Berikan klien
makanan yang
mengandung serat
tinggi, seperti buah
dan sayur.
4. Beritahukan kepada
klien untuk tidak
menggunakan obat-
31
Distensi abdomen
Os tampak
mendapat bantuan
orang lain ketika
ingin BAB
Os tampak
kesulitan untuk
berjongkok
tanpa bantuan obatan pencahar
5. Anjurkan klien untuk
meningkatkan
aktivitas.
6. Anjurkan pada
keluarga untuk
menyediakan fasilitas
untuk kebutuhan
eliminasi yang
nyaman bagi klien :
toilet duduk
7. Jika eliminasi fecal
belum terjadi,
kolaborasikan dengan
dokter untuk tindakan
enema.
Ds :
Os mengatakan
sering merasa lelah
Os mengatakan
berkunang waktu
berdiri
Do :
Os tampak pucat
Os tampak lemah
dan lesu
Os tampak dibantu
dalam melakukan
aktivitas
Konjungtiva os
tampak anemis
Hasil lab : Hb <,
SDM
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan
kelemahan
Setelah dilakukan
perawatan selama 3 x
24 jam diharapkan
kelemahan tidak terjadi
dengan kriteria hasil :
1. Os mengatakan
pusing
berkurang dan
sudah terasa
lebih segar
2. Os tampak lebih
segar
3. Os mampu
melakukan
aktivitas secara
mandiri
4. Konjungtiva os
1. Monitoring TTV
2. Monitoring hasil lab
3. Anjurkan klien
mengkonsumsi
makanan kaya zat besi
(Fe) seperti bayam
dan sayuran hijau.
4. Anjurkan klien untuk
cukup istirahat
5. Berikan klien
latihan/exercise
ringan.
6. Kolaborasi dengan
dokter untuk
pemberian suplemen
Fe.
32
TTV ananemis
5. Hasil TTV
dalam batas
normal
6. Hasil lab dlm
batas normal.
Ds :
Os mengatakan
perut bagian kiri
terasa nyeri
Os mengatakan
sedang sariawan
Os mengatakan
tidak nafsu makan
Do :
Terjadi Pe↑ suhu
tubuh, Nd me↑
Ekspresi wajah
menahan nyeri
Skala nyeri
Hasil lab :
Hematokrit me↓
Limposit me↑
Leukosit ↑
Resiko tinggi terjadinya
infeksi berhubungan
dengan malnutrisi
Setelah dilakukan
perawatan selama 3 x
24 jam diharapkan
infeksi tidak terjadi
dengan kriteria hasil :
1. Os mengatakan
nyeri berkurang
2. Os mengatakan
sariawan sudah
sembuh.
3. Ekspresi wajah
os mulai tenang
4. Skala nyeri
berkurang
5. Hasil lab dalam
batas normal
Leukosit 4300-
10800/µl
Limp T 500-
2400/µl
6. Ttv dalam batas
normal.
1. Monitoring TTV klien
2 jam sekali
2. Monitoring hasil lab
yang menunjukan
indikasi adanya
infeksi (leukosit,
limposit)
3. Monitoring status gizi
klien.
4. Anjurkan klien
membatasi aktifitas
5. Ajarkan klien teknik
relaksasi untuk
mengurangi nyeri :
mendengarkan musik,
distraksi, imagery.
6. Jaga kebersihan mulut
klien
7. Berikan kompres
hangat di bagian yang
terasa nyeri
8. Kondisikan klien pada
suasana yang tenang
9. Kolaborasikan dengan
dokter untuk
pemberian analgetik
10. Kolaborasikan untuk
33
pemberian antibiotik
Ds :
Os mengatakan
kesulitan menelan
Os bilang sering
merasa mual saat
makan
Do :
Os tampak ompong
Sekitar mulut os
tampak kering
Os terlihat
menggunakan air
untuk membantu
menelan makanan
Resiko aspirasi
berhubungan dengan
refluks makanan karena
melambatnya gerakan
menutup sfingter
Setelah dilakukan
perawatan 1 x 24 jam
diharapkan aspirasi
tidak terjadi dengan
kriteria hasil :
1. Os mengatakan
mual berkurang
saat makan.
2. Mulut os
tampak bersih
3. Os makan
dengan tenang
dan dalam posisi
yang benar
1. Monitoring kegiatan
makan klien
2. Bantu klien makan,
jika klien tidak
mampu makan
sendiri.
3. Anjurkan klien untuk
melakukan oral
hygiene.
4. Berikan posisi yang
nyaman saat makan :
duduk tegak.
5. Suapi pasien dengan
suapan yang tidak
penuh pada sendok.
6. Batasi asupan cairan
saat makan untuk
menghindari mual.
D. Implementasi dan Evaluasi
DX Implementasi Evaluasi
Perubahan asupan Nutrisi
≤ kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
kondisi rongga mulut yang
kurang nyaman untuk
makan.
1. Memonitoring status
gizi klien
2. Memonitoring hasil lab
3. Menganjurkan klien
untuk menjaga
kebersihan mulut
dengan sikat gigi min. 2
x/hari
4. Menggunakan sikat gigi
yang lunak untuk
S :
Os mengatakan nafsu
makannya kembali
Os bilang lebih enak makan
karena mulutnya bersih
O :
Os sudah tampak menggosok
gigi sebelum makan.
Gigi dan mulut os tampak
bersih.
34
menghindari terjadinya
luka pada mulut
5. Mengaanjurkan klien
untuk membatasi
makan makanan yang
manis.
6. Menganjurkan klien
untuk cukup minum
untuk mengatasi
kekeringan pada mulut
7. Memberikan makanan
yang hangat dengan
menu yang bervariasi.
8. Memberikan makanan
yang mudah dicerna
9. Memberikan makan
dengan pola sedikit tapi
sering
10. berkolaborasi dengan
dokter gigi dalam
pemeliharaan kesehatan
gigi
Os bisa mengahabiskan ½
porsi makanan tanpa rasa
mual.
Os tampak mengurangi
makanan yang manis.
A : masalah teratasi sebagian
P : Rencana dilanjutkan
Resiko tinggi defisit
volume cairan
berhubungan dengan
malabsorbsi, diare.
1. Memonitoring intake
dan output klien
2. Memonitoring tanda-
tanda vital
3. Memonitoring hasil
lab : Ht (hematokrit)
4. Menganjurkan klien
untuk banyak minum
(1500 – 2000 cc/hari)
5. Membatasi konsumsi
S :
Klien mengatakan sudah
minum cukup banyak hari ini
O :
Klien minum sebanyak 6
gelas ukuran 200 cc/gelas
A : masalah belum teratasi
35
susu dengan konsistensi
kental.
6. Berkolaborasi dengan
dokter untuk pemberian
obat antipulgite.
P : rencana dilanjutkan
Gangguan eliminasi fecal
berhubungan dengan
konstipasi
1. Memonitoring
eliminasi fecal
(frekuensi, konsistensi)
2. Menganjurkan klien
untuk banyak minum.
3. Memberikan klien
makanan yang
mengandung serat
tinggi, seperti buah dan
sayur.
4. Memberitahukan
kepada klien untuk
tidak menggunakan
obat-obatan pencahar
5. Menganjurkan klien
untuk meningkatkan
aktivitas.
6. Menganjurkan pada
keluarga untuk
menyediakan fasilitas
untuk kebutuhan
eliminasi yang nyaman
bagi klien : toilet duduk
7. Jika eliminasi fecal
belum terjadi,
Berkolaborasikan
36
dengan dokter untuk
tindakan enema.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan
kelemahan
1. Memonitoring TTV
2. Memonitoring hasil lab
3. Menganjurkan klien
mengkonsumsi
makanan kaya zat besi
(Fe) seperti bayam dan
sayuran hijau.
4. Menganjurkan klien
untuk cukup istirahat
5. Memberikan klien
latihan/exercise ringan.
6. berkolaborasi dengan
dokter untuk pemberian
suplemen Fe.
Resiko tinggi terjadinya
infeksi berhubungan
dengan malnutrisi
1. Memonitoring TTV
klien 2 jam sekali
2. Memonitoring hasil lab
yang menunjukan
indikasi adanya infeksi
(leukosit, limposit)
3. Memonitoring status
gizi klien.
4. Menganjurkan klien
membatasi aktifitas
5. Mengajarkan klien
teknik relaksasi untuk
mengurangi nyeri :
mendengarkan musik,
distraksi, imagery.
6. Menjaga kebersihan
mulut klien
7. Memberikan kompres
37
hangat di bagian yang
terasa nyeri
8. Mengkondisikan klien
pada suasana yang
tenang
9. Berkolaborasikan
dengan dokter untuk
pemberian analgetik
10. Berkolaborasikan untuk
pemberian antibiotik
Resiko aspirasi
berhubungan dengan
refluks makanan karena
melambatnya gerakan
menutup sfingter
1. Memonitoring kegiatan
makan klien
2. Membantu klien
makan, jika klien tidak
mampu makan sendiri.
3. Menganjurkan klien
untuk melakukan oral
hygiene.
4. Memberikan posisi
yang nyaman saat
makan : duduk tegak.
5. Menyuapi pasien
dengan suapan yang
tidak penuh pada
sendok.
6. Membatasi asupan
cairan saat makan
untuk menghindari
mual.
BAB III
PENUTUP
38
A. KESIMPULAN
Keperawatan gerontik fokus pemberian asuhan keperawatan pada lansia
ditunjukan pada dua kelompok lansia, yaitu 1.) lansia yang sehat dan produktif, dan
2.) lansia yang memiliki kerentanan tubuh dengan ditandai kondisi fisik yang mulai
melemah, sakit-sakitan dan daya pikir menurun. Yang bertujuan untuk memenuhi
harapan-harapan yang diinginkan oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih
baik dan produktif. Proses menua pada saluran cerna di karenakan penurunan fungsi
dari rongga mulut hingga penurunan Imunitas Gastro-intestinal pada usia lanjut.
Adapun beberapa gangguan yang terjadi akibat proses penuaan pada saluran cerna
antara lain, Gangguan motilitas, hernia hiatus, penyakit pada gangguan lambung,
gastritis dan lain-lain. Dari beberapa gagguan tersebut di sinilah peran perawat
gerontik untuk memberikan asuhan keperawatan dari pengkajian intervensi hingga
evaluasi untuk mempertahan kan kondisi fisik lansia dan memiliki kualitas hidup yang
lebih baik dan produktif.
DAFTAR PUSTAKA
39
1. Tamher, S. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika
2. Boedi-Darmojo,R & Martono Hadi, H. 2007. GERIATRI (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut). Jakarta : FK Universitas Indonesia
3. Library of Congress Cataloging. 1998. HANDBOOK OF GERIATRIC NURSING
CARE. Pensylvania : Springhouse.
4. Nugroho. Wahyudin,H. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
40