askep sindrom guillain barre indo
TRANSCRIPT
ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE
A. KONSEP MEDIS1. DefinisiPenyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik.Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :o polineuritis akut pasca infeksio polineuritis akut toksiko polineuritis febrilo poliradikulopati,dano acute ascending paralysis.
2. SejarahPada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
3. Epidemiologi Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.
4. EtiologiEtiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:a. Infeksio Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnyao Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)o Vaksin : rabies, swine fluo Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejunib. Vaksinasic. Pembedahand. Penyakit sistematik:o keganasan, Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphomao systemic lupus erythematosuso tiroiditiso penyakit Addisone. Kehamilan atau dalam masa nifasSGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinalSalah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
Tabel 1. Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi Definite Probable PossibleVirus CMVEBV HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox InfluenzaMeaslesMumpsRubellaHepatitisCoxsackieEchoBakteri CampylobacterJejeniMycoplasmaPneumonia Typhoid Borrelia BParatyphoidBrucellosisChlamydiaLegionellaListeria
5. PatogenesaMekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:a. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.b. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepic. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.Peran imunitas selulerDalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
6. PatofisiologiGullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.
7. PatologiPada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
8. KlasifikasiBeberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy3. Acute motor axonal neuropathy4. Acute motor sensory axonal neuropathy5. Fisher’s syndrome6. Acute pandysautonomia
9.Gambaran KlinisPenyakit infeksi dan keadaan prodromal :Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .Masa latenWaktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.Keluhan utamaKeluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.a. Gejala Klinis1.KelumpuhanManifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).2.Gangguan sensibilitasParestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas
fisik.3.Saraf KranialisSaraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.4.Gangguan fungsi otonomGangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.5. Kegagalan pernafasanKegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6. PapiledemaKadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .7. Perjalanan penyakitPerjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu .Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu .Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.b. Pemeriksaan laboratoriumGambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : >
0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).c .Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :o Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambato Distal motor retensi memanjango Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.o Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
10. Penatalaksanaana.TerapiSindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).KortikosteroidKebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.PlasmaparesisPlasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).Pengobatan imunosupresan:o Imunoglobulin IVPengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.o Obat sitotoksikPemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:o 6 merkaptopurin (6-MP)o Azathioprine
o cyclophosphamidEfek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.b. PerawatanPerawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel), pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan (nutrition and fluid balance)Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan ritme : cheyne-stoke
11. PrognosaPada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:o pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normalo mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onseto progresifitas penyakit lambat dan pendeko pada penderita berusia 30-60 tahun
12. Komplikasia. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolicb. Tetraparese oleh karena penyebab lainc. Hipokalemiad Miastenia Gravise. Adhoc commite of GBSf. Tick Paralysisg. Kelumpuhan otot pernafasanh. Dekubitus
B. ASUHAN KEPERAWATAN1. Pengkajiana. Anamnesao Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, statuso Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahano Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.b. Pemeriksaan Fisiko B1 (Breathing)Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.o B2 (Bleeding)Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.o B3 (Brain)Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman
penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.o B4 (Bladder)Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.o B5 ( Bowel)Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.o B6 (Bone)Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
c. Pengelompokan dataData subjektif: o Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalano Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnyao Tidak mampu menelan air liurnyao Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinyaData Objektif:o Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan strokeo Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)o Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosisd. Analisa DataData Masalah EtiologiDS: Tidak mampu menelan air liurnyaDO: Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler Bunyi paru wheezing +/+ Pengembangan dada tidak maksimal GDA kurang dari normal menggunakan ventilator Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif Kelemahan otot-otot bantu pernapasanDS: Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalanDO: Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya Kekuatan otot imobilisasi Paralisis
2. Diagnosa Keperawatana. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafasb. Resiko tejadi ggn pertukaran gasc. Ketidakefektifan pola nafasd. Ggn komunikasi verbale. Resiko tinggi terjadi infeksi
f. Resiko terjadi traumag. Resiko terjadi disuse syndromeh. Kecemasan pada orang tua
3. Rencana keperawatana. Dx 1. Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan produksi salivaTujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadiTindakan:o Lakukan perawatan EET setiap 2 jamo Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suctiono Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %o Monitor status hidrasio Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakano Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
b. Dx 2 Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya atelektasis paruTujuan : Setelah dirawato BGA dalam batas normalo Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+o Cyanosis (-), SpO2 > 95 %Tindakan:o Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jamo Monitor SpO2 setiap jamo Monitor respirasi dan cyanosiso Kolaborasi : seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2 SAnalisa hasil BGA
c. Dx : Resiko tinggi terjado infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infusTujuan : setelah dirawat diharapkanTanda-tanda infeksi (-) leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-), Suhu tubuh 36,5-37 oC• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakano Rawat ETT setiap hario Lakukan prinsip steril pada saat suctiono Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hario Ganti kateter setiap 72 jamo Kolaborasi : Pengggantian ETT dengan Tracheostomi Penggantian insersi surflo dengan vanocath
Pemeriksaan leuko Pemeriksaan albumin Lab UL• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg
d. Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBSTujuan : Setelah dirawato Kontraktur (-)o Nutrisi terpenuhio Bab dan bak terbantuo Personal hygiene baikTindakan:o Bantu Bab dab Bako Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jamo Mandikan klien setiap hario Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jamo Berikan latihan pasif 2 kali sehario Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatiko Monitor status neurologi setiap 8 jamo Kolaborasi: Alinamin F 3 X 1 ampul Sonde pediasuer 6 X 50 cc Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis e. Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lamaTujuan :Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan Tindakan :o He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.o He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocatho Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh petugas
Kepustakaan
1. Brunner and suddart, Medical practical nursing, 1st edition, 20022, Dr. dr. Eddy Raharjo,Sp.An . Manual practical of anastesia, Airlangga unerversity,1999.3. Husni tanra, prof.dr,Sp.An(K), neurofisiologi of brain for Guillan barre sindroma, Hasanuddin unerversity,2003
ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE
ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE
A. Definisi
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
polineuritis akut pasca infeksi
polineuritis akut toksik
polineuritis febril
poliradikulopati,dan
acute ascending paralysis.
B. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan
masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Penyakit sistematik :
Keganasan
systemic lupus erythematosus
tiroiditis
penyakit Addison
Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala
neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang
menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeks
i
Definite Probable Possible
Virus CMVEBV HIVVaricella-
zosterVaccinia/
smallpox
InfluenzaMeaslesM
umps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakter
i
CampylobacterJejeniMyc
oplasma
Pneumonia
Typhoid Borrelia
BParatyphoidBrucel
losis
Chlamydia
Legionella
Listeria
C. Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf
tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah
infeksi virus.
D. Patofisiologi
E. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema
yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan
makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada
myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke
enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel
limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini
segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi
degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran
basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
F. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
J. Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas
atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut :
setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi
jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat
timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-
rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan
ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi
serentak pada keempat anggota gerak.
Gejala Klinis
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.
Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian
menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya
derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga
sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan
distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal
dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah
suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka
sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan
berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa
terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan
pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing),
hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse
diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang
yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila
tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan
villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
7. Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai
dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai
maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8
minggu .
Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah
mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3
minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu .
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam
waktu yang kurang dari 6 bulan.
Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara
berbagai penderita SGB .
1.Variasi klinis
Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis
seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and
Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :
Sindroma Miller-Fisher
Defisit sensoris kranialis
Pandisautonomia murni
Chronic acquired demyyelinative neuropathy
2.Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan
otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut
disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-
2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear <
10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian
kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik
Hormone).
3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
Distal motor retensi memanjang
Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen
proksimal dan radiks saraf.
Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna
untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
Terapi
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi
di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang
kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan
waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg
BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala
(minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data subjektif:
Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
Tidak mampu menelan air liurnya
Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun,
mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu
pernapasan (ventilator)
Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan
meningkat, leukositosis
Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS:
Tidak mampu menelan air
liurnya
DO:
Pernapasan cepat , dangkal,
dan ireguler
Bunyi paru wheezing +/+
Pengembangan dada tidak
maksimal
GDA kurang dari normal
menggunakan ventilator
Pola napas dan
pertukaran gas tidak
efektif
Kelemahan
otot-otot bantu
pernapasan
DS:
Bangun tidur di pagi hari
mengeluh tidak bisa berjalan
DO:
Kelemahan pada kedua
ekstremitas atasnya
Kekuatan otot
Imobilisasi Paralisis
2. Diagnosa Keperawatan
1). Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot-otot pernapasan atau paralisis,
berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
2). Kerusakan Mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
3) Resiko gangguan integritas kulit : dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis,
gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontenensia.
4) perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah,
menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
5) gangguan eliminasi : konstipasi, diare berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan,
immobilisasi.
6) gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisis saraf kranial VII, trakeostomi.
7) Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya
8) Kurangnya pengetahuan pasien / keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan,
prognosis dan perawatannya.
Rencana asuhan keperawatan
1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot pernapasan
Tujuan :
Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator
Kriteria Hasil :
Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam rentang normal
Tindakan keperawatan
a. Selidiki Etiologi gagal pernapasan
R/ Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting untuk perawatan pasien
b. Observasi pola napas. Catat frekuensi pernapasan , jarak antara pernafasan spontan dan
napas ventilator
R/ Pasien pada ventilator dapat mengalami hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea / lapar udara
dan berupaya memperbaiki kekurangan dengan bernapas berlebihan
c. Auskultasi dada secara periodik catat adanya / tak adanya dan kualitas bunyi napas , bunyi
napas tambahan , juga simetrisitas gerakan dada
R/ Memberikan informasi tentang aliran udara melalui trakeobronkial dan adanya /tidak adanya
cairan
d. Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh terlipat atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai
indikasi , hindari aliran ke pasien atau kembali kedalam wadah
R/ Lipatan selang mencegah penerimaan volume adekuat dan meningkatkan tekanan jalan
napas . Air mencegah distribusi gas dan pencetus pertumbuhan bakteri
e. Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan alaram , meskipun untuk penghisapan,
Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor perawat
R/ Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda distres pernafasan atau henti napas
f. Pertahankan tas resusitasi disamping tempat tidur dan ventilasi manual kapanpun
diindikasikan
R/ Memberikan / menyediakan ventilasi adekuat bila pasien atau masalah menuntut pasien
sementara dilepas dari ventilator
Kolaborasi
a. Kaji susunan ventilator secra rutin dan yakinkan sesuai indikasi
R/ Mengontrol /menyusun alat sehubungan dengan penyakit utama pasien dan hasil
pemeriksaan diagnostik untuk mempertahankan parameter dalam batas benar
b. Cbservasi persentasi konsentrasi oksigen , yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi
analisa oksigen atau lakukan analisa oksigen periodik
R/ Nilai untuk mempertahankan persentase oksigen yang dapat diterima dan saturasi untuk
kondisi pasien ( 21% sampai 100% ) . Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat
digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima konsentrasi oksigen yang diinginkan
c. Kaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi spirometer baik . Catat perubahan dari
pemberian volume yang terbaca pada komputer
R/ Mengawasi jumlah udara inspirasi dan ekspirasi . Perubahan dapat menunjukkan gannguan
komplain paru atau kebocoran melalui mesin.
2. Diagnosa keperawatan : Kerusakan Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
Neuromuskuler
Tujuan
Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus )
Kriteria Hasil ;
Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit
Tindakan keperawatan
a. Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
R/ Menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya
tujuan / harapan pasien
b. Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan
jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual
R/ Menurunkan kelelahan , meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia /
kerusakan pada kulit
c. Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal
R/ Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur.
d. Lakkukan latihan rentang gerak pasif . Hindari latihan aktif selama fase akut
R/ Menstimulasi sirkulasi., meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi
e. Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan
R/Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk
remielinisasi , arenanya dapat memperpanjang waktu untuk penyembuhan
f. Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi
secara individual
R/ Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap /
terprogram , meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif
g. Berikan lubrikasi / minyak artifisial sesui kebutuhan
R/ Mencegah dari kekeringan tubub klien.
Kolaborasi
a. Konfirmasikan dengan / rujuk kebagian terapi fisik / terapi okupasi
R/ Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan
program latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi dan
kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari.
3. Gangguan integritas kulit : dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan
sensasi, perubahan nutrisi, inkontenensia.
Data pendukung :
Pasien menyatakan kelemahan dan paresthesia
Ketidakmampuan melakukan aktivitas
Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas
Kekuatan otot menurun
Atropi
Hilangnya sensori
Hilangnya refleks tendon
Perubahan nutrisi
Inkontenensia
kriteria hasil
Pasien mempertahankan kulit tetap kering dan utuh
Mempertahankan daerah yang tertekan tetap kering dan utuh, bebas dari dekubitus.
Rencana tindakan
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam
R/ paralisis otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik.
b. Kaji derajat ketergantungan pasien.
R/ mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL
c. Monitor daerah yang tertekan
R/ mengidentifikasi tanda-tanda awal dekubitus
d. Jaga kebersihan tempat tidur, laken tetap bersih, kencang dan kering.
R/ laken yang basah, kotor dan kusur memudahkan terjadinya dekubitus
e. Monitor intake dan output nutrisi
R/ nutrisi yang adekuat mengurangi resiko dekubitus
f. Lakukan alih posisi setiap 2 jam
R/ melancarkan aliran darah bagian yang tertekan
g. Lakukan ROM
R/ mencegah atropi
h. Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
R/ bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena beresiko terjadi dekubitus.
i. Lakukan massage pada daerah yang tertekan
R/ memperlancar aliran darah
j. Gunakan alat bantu untuk mencegah penekanan
R/ mengurangi resiko dekubitus
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah,
menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
Data pendukung
Pasien menyatakan tidak bisa mengunyah dan menelan
Pasien menyatakan tangannya tidak dapat digerakkan
Ketidakmampuan melakukan aktivitas
Terpasang NCT
Diet makan, nilai gizi
Berat badan menurun
Nilai albumin dan Hb
Tanda-tanda kekurangan gizi
Adanya mual
Intake makanan yang masuk tidak sesuai porsi
Kriteria hasil
Intake makanan sesuai kebutuhan
Tidak terjadi aspirasi saat makan
Tidak terjadi tanda-tanda kurang nutrisi
Pasien toleran terhadap makanan parenteral/personde, dengan residu minimal
Rencana tindakan
a. Kaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ektremitas
R/ identifikasi kemampuan makan pasien
b. Monitor intake dan output nutrisi
R/ menentukan adekuatnya kebutuhan nutrisi pasien
c. Kaji tanda-tanda kurang gizi : anemis, nilai albumin, Hb.
R/ mengetahui status nutisi pasien
d. Berikan makanan sesuai diet tinggi kalori protein
R/ memenuhi kebutuhan nutrisi
e. Berikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semifowler
R/ menghindari terjadinya aspirasi
f. Berikan posisi duduk setelah makan
R/ menghindari refluks makanan
g. Lakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan
R/ meningkatkan rasa nyaman dan meningkatkan nafsu makan
h. Lakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari
R/ mencegah terjadinya phlebitis, kepatenan infuse
i. Timbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan
R/ mengetahui status nutrisi
5. Gangguan eliminasi : konstipasi, diare berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan,
immobilisasi.
Data pendukung
Pasien menyatakan tidak dapat BAB, diare.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas/ kurang mobilisasi
Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas
Kekuatan otot menurun
Pola BAB di rumah
Meningkat atau menurunnya bising usus
Diet rendah serat
Feses keras atau cair
Kriteria hasil
Pola BAB teratur
Konsistensi feses lembek
Bising usus normal
Rencana tindakan
a. Kaji pola BAB pasien
R/ menentukan perubahan pola eliminasi
b. Kaji bising usus, frekuensi, intensitas
R/ bising usus yang lambat dan lemah memungkinkan terjadinya konstipasi
c. Berikan diet tinggi serat
R/ meningkatkan residu makanan dan memperlancar BAB
d. Berikan banyak minum sesuai batas toleransi
R/ melancarkan atau melembekkan feses
e. Lakukan ROM, tingkatkan aktivitas
R/ meningkatkan pergerakan untuk melancarkan BAB
f. Jaga privasi pasien dalam BAB
R/ meningkatkan keinginan BAB
g. Berikan obat pelembek feses : laksadin, supposituria, laxative dan enema dan kaji efektivitasnya
R/ melembekkan feses dan memudahkan pengeluaran feses
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan paralisis saraf cranial VII, trakeostomi.
Data pendukung
Kesulitan dalam komunikasi
Penggunaan bahasa isyarat
Paralisis saraf fasialis
Adanya trakeostomi
Kriteria hasil
Pasien dapat mengekspresikan diri secara verbal dan non verbal
Mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan kepada staf atau pengunjung
Rencana tindakan
a. Kaji kemampuan komunikasi pasien verbal / non verbal
R/ identifikasi kemampuan komunikasi pasien
b. Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”
R/ memudahkan pasien untuk menjawab
c. Bicara pelan dan terjadi kontak mata
R/ komunikasi mudah dipahami
d. Gunakan bahasa isyarat
R/ membantu memudahkan komunikasi
e. Konsultasikan dengan speck terapi dalam latihan bicara
R/ penangan lebih lanjut
f. Komunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi
R/ keluarga tidak memaksakan untuk berkomunikasi secara verbal sehingga mengakibatkan
rasa frustasi pada pasien.
7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Data pendukung
Apatis
Sensitive
Kesulitan tidur
Menarik diri
Kriteria hasil
Pasien dapat mendemonstrasikan koping yang efektif
Pasien dapat memandang secara realistic tentang penyakitnya
Pasien dapat mengekspresikan perasaan kehilangan dan berespon positif terhadap keadaan
dirinya.
Pasien kooperatif dan berpartisipasi dalam perawatan dirinya
Rencana tindakan
a. Kaji perilaku dan mekanisme koping pasien
R/ penyakit CBS dapat menimbulkan perubahan perilaku dan gaya hidup
b. Gali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya
R/ memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya
c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran masa
depan
R/ membantu menurunkan ketegangan
d. Libatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya
R/ pasien merasa dihargai dan meningkatkan harga diri
e. Hargai kemampuan yang telah dimiliki pasien
R/ meningkatkan harga diri pasien
f. Kolaborasi dengan psikolog/ psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien.
R/ membantu meningkatkan koping yang positif.
8. Kurangnya pengetahuan pasien / keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan,
prognosis dan perawatannya.
Data pendukung
Pasien/keluarga menyatakan tidak mengetahui penyakitnya
Pasien /keluarga tidak kooperatif dalam perawatan pasien
Pasien/keluarga menanyakan tentang penyakitnya
Kriteria hasil
Pasien/keluarga memahami tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatannya.
Pasien/ keluarga kooperatif dalam perawatan
Rencana tindakan
a. Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya
R/ mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
b. Berikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya
R/ memahami tentang penyakitnya
c. Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya
R/ memperjelas materi yang diberikan
d. Berikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya
R/ memberikan motivasi dalam perawatan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.
2. Jukarnain.,2011.” Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan”.
Makassar.
3. R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
4. http://fayldestu.blogspot.com/2010/08/askep-sindrom-guillain-barre.html
5. http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-gullain-barre.html
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GBS (Guillain Barre Syndrome)
ASKEP PADA PASIEN GBS
A. PENGERTIAN
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu
kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri.
Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom.
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory
Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi
secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai
saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas
tubuh menyerang sel saraf.
B. ETIOLOGI
Kondisi yang khas adalah adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada
ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Tetapi dalam beberapa
kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Penyebab yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering
disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah
Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab
bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni. Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor
predisposisi antara satu sampai beberapa minggu sebelum onset, antara lain :
- Peradangan saluran napas bagian atas
- Vaksinasi
- Diare
- Kelelahan
- Peradangan masa nifas
- Tindakan bedah
- Demam yang tidak terlalu tinggi
C. TANDA DAN GEJALA
• Sulit dideteksi pada awal kejadian
– Gejala berupa flu, demam, headache, pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala
lemah.
– Selang 1-4 minggu, sering muncul gejala berupa :
• Paraestasia (rasa baal, kesemutan)
• Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)
• Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg ganguan gerak bola mata, mimik wajah,
bicara, dll
• Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi)
• Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis)
– Gangguan frekuensi jantung
– Ganggua irama jantung
– Gangguan tekanan darah
• Gangguan proprioseptive dan persepsi thd tubuh
• Diikuti rasa nyeri pada bagian punggung dan daerah lainnya.
D. PATOFISIOLOGI
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang
tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.
Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada
GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer,
atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini
tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa
organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang
myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi
melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal
sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan
maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat
ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang
dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang.
Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat
nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi
dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit,
sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi
yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan
otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga
mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas,
serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat
sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan
pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal.
Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot,
organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer
motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara
pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun
paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan
berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi
akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat,
sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan
prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal,
akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien
dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak
dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang
dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki
prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang
dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan
saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut
terlibat.
E. Komplikasi
1. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic
2. Tetraparese oleh karena penyebab lain
3. Hipokalemia
4. Miastenia Gravis
5. adhoc commite of GBS
6. Tick Paralysis
7. Kelumpuhan otot pernafasan
8. Dekubitus
F. Penatalaksanaan
Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan pemeliharaan
fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah
infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan
keluarga.
1. Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler
Jika vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik.
Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilator dalam
beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai kemajuan gangguan merata,
karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi. Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka
akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi
jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan
memungkinkan disritmia teridentifikasi dan diobati dengan depat. Gangguan sistem saraf
otonom dapat dipicu oleh Valsava maneuver, batuk, suksioning, dan perubahan posisi, sehingga
aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
2. Plasmaferesis
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk
menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara
selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma diganti dengan
yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai
melakukan penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan
kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.
3. Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan SGB.
Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit stimulasi
listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri merupakan hiperestetik.
Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara. Nyeri biasanya memburuk antara
pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan narkotik dapat saja digunakan secara bebas
pada malam hari jika pasien tidak mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat
meningkatkan gagal pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian
diberikan narkotik.
4. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per
oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter dan
perawat.
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan ini,terutama
karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang memberikan kenyamanan,
analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis, mematikan lampu, memberikan suasana
ruangan yang tenang) dapat membantu untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu
diingat bahwa pasien yang mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat
ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia
mendapat masalah. Harus disediakan cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui
bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat
membantu mengatasi ketakutan.
5. Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan
keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur tentang intervensi
dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperbolehkan untuk membuat keputusan
sebanyak mungkin sepanjang perjalanan pemulihan. Kadang pasien seperti sangat sulit untuk
dirawat karena mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel
pemanggil secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk
membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama pasien. Dengan
menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan keluarga rasa aman, mengetahui
bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim
dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang
dilakukan selama menderita penyakit.
2. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru,
reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman
penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu
badan.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi
sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
Pemeriksaan FT
• Anamnesis
– Keluhan utama pasien
• Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri
• Paraestasia jari kaki s/d tungkai
• Progresive weakness > 1 Ekstremitas
• Hilangnya refleks tendon
– Pendukung
• Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu
• Gangguan sensory Ringan
• Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak
• Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil
• Tidak ada demam
• Inspeksi
– Tampak kelelahan pada wajah
– Otot-otot bibir terkesan bengkak
– Kemungkinan adanya atropi
– Kemungkinan adanya tropic change
• Palpasi
– Nyeri tekan pada otot
• Auskultasi
– Breathsound terdengar cepat
• Vital Sign
– Blood Preasure
• Labil (selalu berubah-ubah)
– Heart Rate
• Tachicardy
• Cardiac arythmia
– Respiratory Rate
• Hyperventilasi
Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
• Aktif
– Kekuatan otot
• Pasif
– Lingkup Gerak Sendi, endfeel
• Tes Isometrik Melawan Tahanan
– Pada ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adanya kelemahan.
– Gangguan sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama
Pemeriksaan Khusus
– Kekuatan Otot
• MMT
– Vital Capacity (Spirometry)
– Sensorik
• Dermatom Test
• Myotom Test
– Mobilitas Thorax
• Mid line lingkar thorax
– Tendon refleks
– Lingkar otot
• Mid line lingkar otot
– ROM
• ROM Test (Goniometer)
– Fungsional
• ADL
• IADL
– Laboratorium
– Lumbar punksi
• Cairan cerebrospinal dijumpai peningkatan protein, berisi 10 atau sedikit mononuclear
leukosit/mm3
– Electro Diagnostik (EMG)
• Kecepatan hantar saraf melemah
Prinsip Penanganan
Pemeliharaan sistem pernapasan
Mencegah kontraktur
Pemeliharaan ROM
Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
Re-edukasi otot
Dilakukan sedini mungkin
• Deep breathing Exercise
• Mobilisasi ROM
• Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai
• Change position untuk mencegah terjadinya decubitus
Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untuk mencegah kontraktur
Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah
Edukasi terhadap keluarga
Diagnosa keperawatan
1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal
5. Resiko tinggi terjadi infeksi
6. Resiko terjadi trauma
7. Resiko terjadi disuse syndrome
8. Kecemasan pada orang tua
4. Rencana keperawatan
Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan
peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %
- Monitor status hidrasi
- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya
atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %
Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
• Analisa hasil BGA
Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
• Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
• Penggantian insersi surflo dengan vanocath
• Pemeriksaan leuko
• Pemeriksaan albumin
• Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg
Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
• Alinamin F 3 X 1 ampul
• Sonde pediasuer 6 X 50 cc
• Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis
Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lama
Tujuan :
- Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan
dilakukan
Tindakan :
- He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.
- He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses
perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath
- Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh
petugas
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial
Etiologi Sindroma Guillain-Barre (SGB)Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparap proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses.
Manifestasi Klinis Sindroma Guillain-Barre (SGB)Terdapat variasi dalam awitannya. Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuih dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okuler, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan para simpstis seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah(hipertensi transien, hipotensi ortostatik). Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanyarefleks tendon . Perubahan sensori dimanifestasikan dengan bentuk parestesia. Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai 1 tahun , tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan
Diagnostik Sindroma Guillain-Barre (SGB)Cairan spinal menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dengan bentuk lambatnya laju konduksi saraf
PenatalaksanaanSindroma Guillain-Barre (SGB) dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardi selama penghisapan endotrakheal dan terapi fisik.
ASKEP Guillan Barre Sindrom ( GBS )
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan
suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks,
dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9
kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo
Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai
usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan
terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya:
kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta
emboli paru, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.
I. 2. Permasalahan
Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan ini adalah
bagaimana seharusnya tindakan asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan
kasus Guillan Barrre Sindrome (GBS)?
I. 3. Tujuan
Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah:
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi kegiatan belajar mengajar dari mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah II (KMB II).
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran mengenai Guillan Barrre Sindrome (GBS).
b. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan Guillan Barrre
Sindrome (GBS).
I. 4. Manfaat
Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu:
1. Kegunaan Ilmiah
a. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa
b. Sebagai salah satu tugas akademik
2. Kegunaan Praktis
Bermanfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada
klien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).
BAB II
KONSEP MEDIS
II. 1. Pengertian
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) adalah
proses peradangan akut dengan karakteristik kelemahan motorik dan paralisis yang
disebabkan karena demylin pada sarat perifer. Sindrom penyakit ini berupa paralisis
flaccid asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi
virus. Pada kondisi ini peran perawat adalah memberikan perawatan proses
rehabilitasim mencegah komplikasi, memenuhi kebutuhan ADL dan support emosional.
Sedangkan menurut Parry mengatakan bahwa, GBS adalah suatu polineuropati
yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah
infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Guillan Barre Syndrome (GBS) mempunyai banyak sinonim (istilah lain), antara lain :
1. Polineuritis akut pasca infeksi
2. Polineuritis akut toksik
3. Polineuritis febril
4. Poliradikulopati,dan
5. Acute ascending paralysis.
II. 2. Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali
menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang
adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa
disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik.
Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder
mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala
klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat
membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada
EMG.
II. 3. Epidemiologi (Insidensi)
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling
dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur
dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan
bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun,
sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu
pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan
dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam,
5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei
dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
II. 4. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
II. 5. Etiologi
Secara pasti penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan :
1. Penyakit akut, trauma, pembedahan dan imunisasi 1-4 minggu sebelum tanda dan
gejala GBS (15% dari kasus)
2. Di dahului Infeksi saluran pernapasan akut, penyakit gastrointestinal (50% dari kasus)
3. Reaksi immunologi
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam
jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit
T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin
(IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel
limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang
dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada pemeriksaan
patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan oleh kelainan
immunobiologik.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus.
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa
limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan
pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan
secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf
tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya
berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel
schwan dan akson.
II. 6. Patofisiologi
Kerusakan myelin diantara Node of Ranvier ditemukan pada sebagian besar
kasus GBS, sehinga konduksi impuls akan lambat dan terganggu. Myelin berfungsi
menghantarkan impuls yang pada respon motorik berasal dari otak. Keadaan ini
mengakibatkan kelemahan/paralisi pada ekstermitas bawah kemudian berjalan ke
tubuh bagian atas. Bila terjadi kompresi dan demyelin pada saraf bagian interkosta dan
diafragma maka berpotensi terhadap gangguan pernapasan.
Kerusakan myelin menurut beberapa teori disebabkan karena infiltrasi virus ke
spinal dan terkadang pada akar-akar saraf kranial, yang kemudian menimbulkan respon
peradangan. Pada tanda awal terjadi edema, kompresi akar saraf sampai terjadi
kerusakan myelin. Teori lain mengatakan bahwa kerusakan myelin karena respon
autoimun dari tubuh yang disebabkan oleh toksin atau agen infeksi.
Fase Sindroma Guillain Barre.
1. Fase Progresif
Fase ini dimulai dari terjangkit penyakit. Selama fase ini kelumpuhan bertambah
berat sampai mencapai maksimal, belangsung beberapa hari sampai 4 minggu, jarang
yang melebihi 8 minggu.
2. Fase Plateau
Fase ini telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini biasanya hanya 2 hari
samapi 3 minggu.
3. FaseRekonvalesen(perbaikan)
Fase ini ditandai dengan terjadi perbaikan kelumpuhan ekstremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalan penyakit Sindroma Guillain Barre
ini biasanya berlangsung dalam kurun 6 bulan.
II. 7. Manifestai Klinik
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak
atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai
secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia.
Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal,
tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal
(2,4).
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa
dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan
sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot
sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I
dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah
(facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau
episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai .
Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang
II. 8. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal
ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini
dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6
minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian
kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa
penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan elektromyography (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
a. Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
b. Distal motor retensi memanjang
c. Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen
proksimal dan radiks saraf.
d. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna
untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi
menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
3. Test Fungsi Paru
Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan PaO2,
meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH).
II. 9. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien dengan kasus guillan barre syndrom,
yaitu:
1. Perawatan pernapasan seperti antispasi kegagalan pernapasan, persiapan ventilator
dan pemeriksaan AGD
2. Monitoring hemodinamik dan kardiovaskuler
3. Management bowel dan bladder
4. Support nutrisi
5. Perawatan immobilisasi
6. Plasmapheresis seperti penggantian plasma untuk meningkatkan kemampuan motorik
7. Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid, immunosuppressive dan antikoagulan
8. Pembedahan tracheostomy dan indikasi kegagalan pernapasan
II. 10. Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang muncul pada pasien dengan guillan barre
syndrom, yaitu:
1. Kegagalan jantung
2. Kegagalan pernapasan
3. Infeksi dan sepsis
4. Trombosis vena
5. Emboli paru
6. Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretik Hormon (SIADH).
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
III. 1. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kejadian/gejala
b. Riwayat ISPA, pembedahan dan imunisasi
c. Riwayat hepatitis dan influenza
2. Pemeriksaan fungsi tubuh
a. Fungsi motorik
1) Kelemahan otot yang menjalar ke atas
2) Paresthesia, atropi otot
b. Saraf cranial
Kelemahan saraf fasial (VII), glossopharegeal (IX), vagus (X) menyebabkan kelemahan
otot wajah, disphagia, distrimia dan gangguan jantung.
c. Refleks
Tidak adanya reflek tendon dalam
d. Fungsi pernapasan
Bunyi napas berkurang, ekspansi paru berkuran.
e. Fungsi jantung
Sinus takhikardia, bradikardia, distrimia.
3. Pemeriksaan psikososial
a. Rasa kecemasan, ketakutan dan panic
b. Intonasi bicara lambat
c. Penampilan fisik
d. Kemampuan kognitig
III. 2 . Diagnosa
Kemungkina diagnosa yan akan timbul pada pasien dengan Guillan Barre
Sidrome, yaitu:
1. Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis,
berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a. Pasien mengatakan kesulitan bernapas.
b. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran.
Data Objektif (DO):
a. Pasien terlihat kesulitan bernapas.
b. Berkurangnya bunyi napas.
c. Perubahan nilai AGD.
d. Perubahan warna kulit (pucat)
e. Penurunan kesadaran.
f. Perubahan frekuensi pernapasan, napas pendek.
g. Penumpukan sekret.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan kelemahan dan paresthesia.
Data Objektif (DO):
a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b. Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c. Kekuatan otot menurun.
d. Atropi.
e. Hilangnya sensori.
f. Hilangnya refleks tendon.
3. Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot,
paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan kelemahan dan paresthesia.
Data Objektif (DO):
a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b. Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c. Kekuatan otot menurun.
d. Atropi.
e. Hilangnya sensori.
f. Hilangnya refleks tendon.
g. Perubahan nutrisi.
h. Inkontinensia.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a. Pasien menyatakan tidak bisa mengunyah dan menelan.
b. Pasien mengatkan tangannya tidak bisa digerakkan.
Data Objektif (DO):
a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b. Terpasang NGT
c. Diet makan, nilai gizi.
d. Berat badan menurun.
e. Nilai albumin dan Hb.
f. Tanda-tanda kekurangan gizi.
g. Adanya mual.
h. Intake makanan yang masuk tidak sesuai dengan porsi.
5. Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
makanan, immobilisasi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan tidak dapat BAB ataupun terjadi diare.
Data Objektif (DO):
a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas/ kurang mobilisasi.
b. Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c. Kekuatan otot menurun.
d. Pola BAB di rumah.
e. Meningkat atau menurunnya bising usus.
f. Diet rendah serat.
g. Feses keras atau cair.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII,
trakeostomi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami hambatan dalam berbicara.
Data Objektif (DO):
a. Kesulitan dalam komunikasi.
b. Pengguanaan bahasa isyarat.
c. Paralisis saraf fasialis.
d. Adanya trakeostomi.
7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Data Subjektif (DS):
Kelurga pasien mengtakan bahwa pasien mengalami kesulitan tidur.
Data Objektif (DO):
a. Apatis.
b. Sensitif.
c. Menarik diri.
8. Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan,
prognosis dan perawatannya.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien/ keluarga menyatakan tidak mengetahui penyakitnya.
Data Objektif (DO):
a. Pasien/ keluarga tidak kooperatif dalam perawatan pasien.
b. Pasien/ keluarga menanyakan tentang penyakitnya.
III. 2. Intervensi
Intervensi yang direncanakan pada pasien dengan kasus Guillan Barre
Sindrome, yaitu:
1. Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis,
berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Kriteria Hasil:
a. Pernapasan optimal.
b. Bunyi napas normal.
c. Jalan napas paten.
d. Nilai AGD dalam batas normal.
Intervensi:
a. Monitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam.
R/: Paralisis pernapasan dapat terjadi 48 jam.
b. Auskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam.
R/: bunyi napas indkasi adekuatnya ventilasi.
c. Pertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut.
R/: Jalan napas paten.
d. Bantu pasien untuk batuk efektif.
R/: Meningkatkan kepatenan jalan napas.
e. Lakukkan fisioterapi dada.
R/: Mencegah pneumonia dan atelaktasis.
f. Kolaborasi dalam pemberian O2.
R/: Pemenuhan kebutuhan oksigen.
g. Monitor AGD.
R/: Mengetahui perubahan oksigen dalam darah.
h. Kaji tingkat kesdaran dan warna kulit.
R/: Perubahan AGD akan mempengaruhi tungkat kesadaran dan warna kulit.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
Kriteria Hasil:
a. Pasien partisipasi dalam perawatan.
b. Mobilisasi aktif atau pasif.
c. Tidak terdapat komplikasi berhubungan dengan immobilitas.
Intervensi:
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
R/: Paralisi otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik.
b. Kaji derajat ketergantungan pasien.
R/: Mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL.
c. Kaji saraf kranial setiap 4 jam.
R/: Saraf yang mungkin tenganggu adalah Nervus Cranial Vii, IX, X, XI, XII.
d. Bantu ambulasi pasien.
R/: Menghindari cedera dan rasa aman.
e. Kaji kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang paru.
R/: Mencegah komplikasi immobilisasi pemenuhan kebutuhan oksigen.
f. Lakukan alih posisi setiap 2 jam.
R/: Menghindari dekubitus.
g. Lakukan ROM.
R/: Mencegah atropi dan kontraktur.
h. Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
R/: Bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena beresiko terjadi
dekubitus.
i. Gunakan footboard untuk mengganjal tumit.
R/: Mencegah Foot droop dan kerusakan kulit.
j. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat: kortikosteroid, heparin, antibiotik,
immunosupresi.
R/: Menghilangkan gejala CBS.
3. Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot,
paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
Kriteria Hasil:
a. Pasien mempertahankan kulit tetap kering dan utuh.
b. Mempertahankan daerah yang tertekan tetap kering dan utuh, bebas dari dekubitus.
Intervensi:
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
R/: Paralisis otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik.
b. Kaji derajat ketergantungan pasien.
R/: Mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL.
c. Monitor daerah yang tertekan.
R/: Mengidentifikasi tanda-tanda awal dekubitus.
d. Jaga kebersihan tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering.
R/: Laken yang basah, kotor, kusut memudahkan terjadinya dekubitus.
e. Monitor intake dan output nutrisi.
R/: Nutrisi yang adekuat mengurangi resiko dekubitus.
f. Lakukan alih posisi setiap 2 jam.
R/: Melancarkan aliran darah bagian yang tertekan.
g. Lakukan ROM.
R/: Mencegah atropi.
h. Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
R/: Bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena berisiko terjadi
dekubitus.
i. Lakukan massage pada daerah yang tertekan.
R/: Memperlancar aliran darah.
j. Gunakan alat bantu untuk mencegaha penekanan.
R/: Mengurangi resiko dekubitus.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
Kriteria Hasil:
a. Intake makanan sesuai kebutuhan.
b. Tidak tejadi aspirasi saat makan.
c. Tidak terjadi tanda-tanda kurang nutrisi.
d. Pasien toleran terhadap makanan parenteral/personde, dengan residu minimal.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ekstremitas.
R/: Identifiksi kemampuan makan pasien.
b. Monitor intake dan output nutrisi.
R/: Menentukan adekuatnya kebutuhan nutrisi pasien.
c. Kaji tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb.
R/: Mengetahui status nutrisi pasien.
d. Berikan makanan sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein.
R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
e. Berikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler.
R/: Menghindari terjadinya aspirasi.
f. Berikan posisi duduk setelah makan.
R/: Menghindari refluks makanan.
g. Lakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan.
R/: Meningkatnya rasa nyaman dan meningkatnya nafsu makan.
h. Lakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari.
R/: Mencegah terjadinya plebitis, kepatenan infus.
i. Timbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan.
R/: Mengetahui status nutrisi.
5. Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
makanan, immobilisasi.
Kriteria Hasil:
a. Pola BAB teratur.
b. Konsistensi feses lembek.
c. Bising usus normal.
Intervensi:
a. Kaji pola BAB pasien.
R/: Menentukan perubahan pola eliminasi.
b. Kaji bising usus, frekuensi, intensitas.
R/: Bising usus yang lemah dan lambat memungkinkan terjadi konstipasi.
c. Berikan diet tinggi serat.
R/: Meningkatkan residu makanan danmemperlancar BAB.
d. Berikan banyak minum sesuai batas toleransi.
R/: Melancarkan atau melembekkan feses.
e. Lakukan ROM, tingkatkan aktivitas.
R/: Meningkatkan pergerakan untuk melancarakan BAB.
f. Jaga privasi pasien dalam BAB.
R/: Meningkatkan keinginan BAB.
g. Berikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema dan kaji
efektivitasnya.
R/: Melembekkan feses dan memudahkan pengeluaran feses.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII,
trakeostomi.
Kriteria Hasil:
a. Pasien dapat mengekspresikan diri secara verbal dan nonverbal.
b. Mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan kepada staf atau pengunjung.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal.
R/: Identifikasi kemampuan komunikasi pasien.
b. Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
R/: Memudahkan pasien untuk menjawab.
c. Bicara pelan dan terjadi kontak mata.
R/: Komunikasi mudah dipahami.
d. Gunakan bahasa isyarat.
R/: Membantu memudahkan komunikasi.
e. Konsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara.
R/: Penanganan lebih lanjut.
f. Komunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi.
R/: Keluarga tidak memaksakan untuk berkomunikasi secara verbal sehingga tidak
mengakibatkan rasa frustasi pada pasien.
7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Kriteria Hasil:
a. Pasien dapat mendemonstrasikan koping yang efektif.
b. Pasien dapat memandang secara realistik tentang penyakitnya.
c. Pasien dapat mengekspresikan perasaan kehilangan atau berespon positif terhadap
keadaan dirinya.
d. Pasien kooperatif dan berpartisipasi dalam perawatan dirinya.
Intervensi:
a. Kaji perilaku dan mekanisme koping pasien.
R/: Penyakit CBS dapat menimbulkan perubahan perilaku dan gaya hidup.
b. Gali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya.
R/: Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaannya.
c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran
masa depan.
R/: Membantu menurunkan ketegangan.
d. Libatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya.
R/: Pasien merasa dihargai dan meningkatkan harga diri.
e. Hargai kemampuan yang telah dimiliki pasien.
R/: Meningkatkan harga diri pasien.
f. Kolaborasi dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien.
R/: Membantu meningkatkan koping yang positif.
8. Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan,
prognosis dan perawatannya.
Kriteria Hasil:
a. Pasien/keluarga memahami tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan
perawatannya.
b. Pasien/keluarga kooperatif dalam perawatan.
Intervensi:
a. Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
R/: Mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
b. Berikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya.
R/: Memahami tentang penyakitnya.
c. Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.
R/: Memperjelas materi yang diberikan.
d. Berikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya.
R/: Memberikan motivasi dalam perawatan pasien.
III. 4. Implementasi
Tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan intervensi yang
direncanakan pada pasien dengan kasus guillan barre syndrome, yaitu:
1. Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis,
berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Implementasi:
a. Memonitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam.
b. Mengauskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam.
c. Mempertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut.
d. Membantu pasien untuk batuk efektif.
e. Melakukkan fisioterapi dada.
f. Mengkolaborasi dalam pemberian O2.
g. Memonitor AGD.
h. Mengkaji tingkat kesdaran dan warna kulit..
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
Implementasi:
a. Mengkaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
b. Mengkaji derajat ketergantungan pasien.
c. Mengkaji saraf kranial setiap 4 jam.
d. Membantu ambulasi pasien.
e. Mengkaji kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang paru.
f. Melakukan alih posisi setiap 2 jam.
g. Melakukan ROM.
h. Mempertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
i. Menggunakan footboard untuk mengganjal tumit.
j. Mengkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat: kortikosteroid, heparin,
antibiotik, immunosupresi.
3. Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot,
paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
Implementasi:
a. Mengkaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
b. Mengkaji derajat ketergantungan pasien.
c. Memonitor daerah yang tertekan.
d. Menjaga kebersihan tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering.
e. Memonitor intake dan output nutrisi.
f. Melakukan alih posisi setiap 2 jam.
g. Melakukan ROM.
h. Mempertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
i. Melakukan massage pada daerah yang tertekan.
j. Menggunakan alat bantu untuk mencegah penekanan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
Implementasi:
a. Mengkaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ekstremitas.
b. Memonitor intake dan output nutrisi.
c. Mengkaji tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb.
d. Memberikan makanan sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein.
e. Memberikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler.
f. Memberikan posisi duduk setelah makan.
g. Melakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan.
h. Melakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari.
i. Menimbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan.
5. Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
makanan, immobilisasi.
Implementasi:
a. Mengkaji pola BAB pasien.
b. Mengkaji bising usus, frekuensi, intensitas.
c. Memberikan diet tinggi serat.
d. Memberikan banyak minum sesuai batas toleransi.
e. Melakukan ROM, tingkatkan aktivitas.
f. Menjaga privasi pasien dalam BAB.
g. Memberikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema dan kaji
efektivitasnya.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII,
trakeostomi.
Implementasi:
a. Mengkaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal.
b. Menggunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
c. Membicarakan sesuatu dengan pelan dan terjadi kontak mata.
d. Menggunakan bahasa isyarat.
e. Mengkonsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara.
f. Mengomunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi.
7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Implementasi:
a. Mengkaji perilaku dan mekanisme koping pasien.
b. Menggali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya.
c. Memberikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang
gambaran masa depan.
d. Melibatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya.
e. Menghargai kemampuan yang telah dimiliki pasien.
f. Mengkolaborasi dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping
pasien.
8. Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan,
prognosis dan perawatannya.
Implementasi:
a. Mengkaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
b. Memberikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya.
c. Memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.
d. Memberikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya.
III. 5. Evaluasi
Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari intervensi
yang direncanakan, yaitu:
1. Mencapai fungsi pernapasan adekuat
a. Menunjukan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan normal dan optimal
serta kekuatan otot normal.
b. Mentaati jadwal medikasi yang ditetapkan.
c. Menunjukkan bunyi napas yang normal.
d. Menunjukkan jalan napas yang paten.
e. Menunjukkan nilai AGD dalam batas normal.
2. Beradaptasi pada gangguan mobilitas
a. Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang.
b. Menunjukkan partisipasi dalam perawatan.
c. Menunjukkan mobilisasi yang aktif.
d. Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot.
e. Tidak adanya komplikasi berhubungan dengan immobilitas yang dialami.
3. Tidak mengalami integritas kulit (dekubitus)
a. Menunjukkan kulit tetap kering dan utuh.
b. Pasien bebas dari dekubitus akibat immobilitas aktivitas.
c. Menetapkan jadwal alih posisi sehingga tidak terjadi dekubitus.
4. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
a. Menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang terpenuhi.
b. Mentaati program medikasi
c. Menunjukkan intake makanan yang baik.
5. Kebutuhan eliminasi baik
a. Menunjukkan pola BAB yang teratur.
b. Menunjukkan konsistensi feses yang lembek.
c. Bising usus normal.
BAB IV
PENUTUP
IV. 1. Kesimpulan
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan
suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks,
dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9
kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo
Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai
usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan
terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya:
kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta
emboli paru. Sindrom ini dapat menyebabkan tidak efektifnya pola napas, gangguan
mobilitas fisik, resiko integritas kulit, nutrisi kurang dari kebutuhan, gangguan eliminasi
serta gangguan komunikasi verbal.
IV. 2. Saran
Guillan Barre Sindrome dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada
penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah kondisi
prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan
yang serius terhadap kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta
Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah gangguan Sistem Persarafan.
Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi
6. EGC: Jakarta.
Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrom (GBS)
A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh
menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam
hitungan minggu, bulan atau tahun.
Guillain Barre Syndrom (GBS) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak
diketahui yang mengyangkut saraf perifer dan kranial.
GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré
(baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap
kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini
menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia
mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering
ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran,
ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul
seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
2. Etiologi
Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya
infeksi, 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik. Pada
beberapa keadaan. Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat terjadi
dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula spinalis dan
beberapa proses lain atau sebuah kombinasi proses.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga
mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang
Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem
kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan
menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan.
Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang
syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya.
3. Patofisiologi
GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan
beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan
polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik
asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah
gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common pathway,
untuk gerakan motorik juga terlibat.
Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan penyebabnya
tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit herediter atau
menular. Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus, anamnesis pasien
yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus biasa yang terjadi 1
hingga 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis penyakit lain yang
mendahului sidrom tersebut adalah infeksi pernapasan ringan atau infeksi GI.
Pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, atau limfoma lain, dan lupus
eritomatosus. Keadaan yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter
jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna yang ditandai dengan
diare, nyeri abdomen, dan demam.
Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus
(virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun
mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang
tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi
limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu daris
selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000).
Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu
konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda
MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola yang
tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan
saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi mielin.
Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif.
Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal
dalam serat sensoris atau “cross-talk” listrik antara akson abnormal yang rusak.
Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan
menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan
akson motorik; yagn terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik.
Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri, geli,
mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati merupakan
motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari kelemahan otot
hingga paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan ventilator.
Kelemahan otot rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot,
namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan biasnya
dirangsang dengan tekanan yang kuat dan pemerasan pada otot. Lengan dapat menjdi
kurus atau otot lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot tungkai. Gejala
autonom termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak kemampuan untuk
berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan menyerang otot wajah, okular,
dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan. Gejala saraf kranial adalah
palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan kesulitan menelan. Istilah palsi
bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk peralisis rahang, faring, dan
otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI, yang berasal
dari medula oblongata dan biasa disebut bulb.
4. Manifestasi klinik
Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan
otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
Saraf kranial yang paling sering terserang, yang mennjukan paralisis pada okular,
wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan
menelan. Disfungi autonom yang serign terjadi dan sering memperlihatkan bentuk
reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simapatis dan parasimpatis,
seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan
tekanan darah ( hepertensi transien, hipotensi ortostatik), dan gangguan fasomotor
lainnya yang berfariasi. Keadaan ini juga menyebabkan nyeri berat dan menetap pada
punggung dan daerah kaki. Sering kali pasien menunjukan adanya kehilangan sensasi
terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon.
Perubahan sensori dimanifestasi dengan bentuk parestesia.
Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu tahun,
tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan.
Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki
atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau
mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau
memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll)
Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita
biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter
untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat
diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya: kaki
susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan
syaraf refleks lengan telah hilang fungsi.
Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut :
1. kelumpuhan
manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe
lower motor newron. Pada sebagian besar kellumphan di mulai dari kedua
eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak
atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota di kenai
secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
2 gangguan sensibilitas
parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa
di kenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya
minimal. Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktivitas fisik
3. saraf kranilis
yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai
pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan
berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan
N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkab pernapasan karena paralis dan laringeus
4. gangguan fungsi otonom
gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah ( facial flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya
keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin
jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau
dua minnggu.
5. kegagalan pernapasan
kegagalan pernapasan merupakan koomplikasi utam yang dapat berakibat
fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan
paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai
pada 10-33% penderita
6. papiledema
kadang-kadang di jumpai papiledem, penyebabnya belum di ketahui dengan
pasti di duga karena penindian kadar protein dalam otot yang menyebabkan
penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang
5. pemeriksaan diagnostik
Pungsi lumbal berurutan : memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal
dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6
minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari
pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk
dalam beberapa hari).
Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahat dan perkembangan sinrdom yang
timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang
dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
Fotorontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan
pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.
Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas vital,
volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
6. Penatalaksanaan
Guillain Barre Syndrom (GBS) dipertimbangkan sebagai kearuratan medis dan
pasien diatasi di unit perwatan intensif. Pasien yang mengalami masalah pernapasan
yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama. Plasmaferesis
(perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam sirkulasi
sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan
yang memburuk pada pasien dan dimielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu,
untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Distrimia jantung
dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang di obati dengan propanolol
untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari
episode bradikardia selama pengisapan endotrakheal dan terapi fisik.
7. Terapi
Sampai saat ini belum ada pengotan spesifik untuk GBS, pengobatan terutama
secara simtomatis, tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan
memperbaiki prognosisnya.
a. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada
perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan
trakea.infeksi paru dan saluaran kencing harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas
darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada
tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera di bantu dengan
pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di perlukan untuk waktu yang
lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara teratur
untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki
lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk
mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi
di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase
rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan
meningkatkan kekuatan otot.
b. pertukaran plasma
pertukaran plasma ( plasma excange) bermanfaat bila di kerjakan
dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
di keluarkan per excange adalah 40-50 ml/kg. dalam waktu 7-14 hari x
excahange
c. kortikostiroid
walaupun telah melewati 4 dekade pemakaian kortikostiroid pada GBS
masih di ragukan manfaatnya. Namun demikian bahwa pemakaian
kortikostiroid pada vase dini penyakit mungkin bermanfaat
8. prognosis
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang penderita meninggal oleh
karena kegagalan pernasan. Sekarang ini berkisar antara 2-10%,deangan penyebab
kematian, oleh karena kegagalan pernasan, ganggan fungsi otonom, infeksi paru dan
emboli paru. Sebagian besar penderita 60-80% sembuh secara sempurna dalam waktu
6 bulan. Sebagian kecil 7-22% sembuh dalam waktu 21 bulan dengan motorik ringan
dan atrofi otot kecil di tangan dan di kaki. Kira- kira 3-5% penderita mengalami
relaps
B. KONSEP KEPERAWATAN
DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN
Aktifitas dan istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris, yang biasanya dimulai pada
ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat
kearah atas.
Hilangnya kontrol motorik halus tangan
Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksit (simetris)
Cara berjalan tidak mantap
Sirkulasi
Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi)
Distrimia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
Integritras ago
Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi
Tanda : tampak takut dan bingung
Eliminasi
Gejala : adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter
Makanan/cairan
Gejala : kesilitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : gangguan pada refleks menelan
Neurosensori
Gejala : kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya
terius naik (distribusi stoking atau sarung tangan)
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, fibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan
Tanda : hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam
Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata
(keterlibatan saraf kranial),
kehilangan kemampuan untuk berbicara
Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada bahu, pelvis,
pinggang, punggung dan bokong). Hipersensitif terhadap sentuhan.
Pernapasan
Gejala : kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, apnea. Penurunan atau
hilangnya bunyi napas
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
Keamanan
Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran pernapasan atas) kira-kira dua
minggu sebelum munculnya tanda serangan
Adanya riwayat terkena herpezoster, sitomegalo virus
Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu lingkungan)
Penurunan kekuatan/tonus otot paralisis atau parestesia
Interaksi sosial
Tanda : kehilangan kemampuan untk berbicara atau komunikasi
Penyuluhan pembelajaran
Gejala : penyakit sebelumnya (infeksi saluran napas atas, gastroentritis) vaksinasi
( campak. Polio); keadaan kronis ( lupus erotematosus ), penyakit
hodgkin/proses keganasan. Pembedahan/anestesia umum, trauma
Pertimbangan
DRG menunjukan berapa lama perawatan : 6 hari
Rencana pemulangan : mungkin pasien memerlukan bantuan menganai transportasi, penyiapan
makanan, perawatan diri, dan kewajiban pekerjaan rumah.
Mungkin perlu memerlukan perubahan pada teteruan dan bentuk
rumah, pemindahan pusat rehabilitasi.
DIAGNOSA, TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN.
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot
pernapasan
Tujuan/kriteria hasil :
Mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan, dan
pola napas efektif
Intervensi
Mandiri
a. Pantau frekuensi, kedalaman daln kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan
kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
R/ : peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot
pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi
mekanik
b. Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon
R/ : penurunan sensasi sering kali (walau tidak selalu ) mengarah pada
kelemahan motorik
c. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara kalau pasien masih dapat
berbicara.
R/ : merupakan inikator yang baik terhadap gangguan fungsi
pernapasan/menurunnya kapasitas paru
d. Auskultasi bunyi napas, cata tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronchi
R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan
megganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan
(seperti pneumonia)
e. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakan pasien pada posisi duduk bersandar
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan
dan membatasi terjadinya resiko aspirasi sekret
Kolaborasi
f. Lakukan pemantaan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur
R/ : menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan
untuk/keefektifan dari intervensi
g. Lakukan tinjau ulang terhadap foto rontgen
R/ : adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan atau atelektasis
h. Berikan obat ata bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan
pernapasan, perkusi dada, fibrasi, dan drainase postural
R/ : memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisai
sekret dan meningkatkan ekspansi alveoili paru.
2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi dan transmisi
Tujuan/kriteria hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori, mempertahankan mental atau orentasi
umumdan mengidentifikasi intervensi meminimalkan kerusakan/ komlikasi sensori.
Intervensi
Mandiri
a. pantau status neurologis secara periodik seperti kemampuan berespon terhadap perintah yang sederhana dan
berspon terhadap stimulasi nyeri
R/ : perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat
bervariasi. Perkembangan tersebut seringcukup cepat dan mungkin memuncak dalam
beberapa hari/minggu.proses penyembuhan di mulai 2-4 minggu setelah proses
perkembangan penyakit dan berakhir dan kebanyakan secara perlahan.
b. berikan lingkungan yang aman( penghalang tempat tidur proteksi terhadap trauma
termal)
R/ : kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari
pemberi asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah
trauma.
c. berikan kesempatan untuk istrahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan
berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan pasien.
R/ : menurunkan stimulus berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan besar dan
meminimalkan kemampuan koping
d. orientasikan kembali pasien pada lingkungan sesuai kebutuhan
R/ : membantu menurunkan kecemasan dan terutama sangat bermanfaat jika terjadi
gangguan penglihatan.
e. berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut,
televisi( berita atau pertunjukan )
R/ : pasien (biasanya sadar ) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama
fase penyembuhan
f. sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien dan
untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada keluarga
R/ : membantu orang terdekat, merasakan mask di dalam hidup pasien ( menurunkan
perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan) dan menurunkan kecemasan pasien
mengenai keluarga selama perpisahan tersebut
kolaborasi
g. rujuk keberbagai sumber untuk membantu terapi wicara
R/ : meningkatkan proses penyembuhan/meminimalkan gejala sisa penurunan
neurologis
i. bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan
R/ : penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, vibrinogen dan protein
fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi pernapasan pada pasien
j. berikan obat sesuai kebutuhan, seperti : gammma globin dosis tinggi melalui intra vena.
R/ : hal ini dapat meningkatkan respon antibodi dalam keadaan penyakit yang berat
3. perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi sistem saraf autonomik
yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena
Tujuan/kriteria hasil :
mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol atau tidak
ada.
Intervensi
Mandiri
a. ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi.
R/ : perubahan pada tekanan darah ( hipertensi berat/hipotensi) teerjadi sebagai akibat
kehilangan alur dasri saraf simpati untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer.
b.pantau frekuensi jantung dan iramanya
R/ : sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan saraf
otonom simpatis autonom atau tidak ada hambatasn terhadap refleks yang
menyebabkab henti jantung.
c. pantau suhu tubuh.
R/; perubahan pola tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu
( seperti ketidakmampuan berkeringat).
d. ubah posisi pasien secara teratur
R/ perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler yang meningkatkan resiko iskemia
Kolaborasi
e. berikan pengobatan :
- cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi
R/ mungkin di perlukan untuk mengoreksi/mencegah
hipovolemia/hipertensi,tetapi harus di gunakan secara berhati-hati karena
pasien dengan gangguan tonus vaskuler mungkin sensitif pada adanya
peningkatan kecil dalam volume sirkulasi.
- beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek
R/: kadang-kadang di gunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap
atau gangguan mediasi outo
- heparing
R/: di gunakan untuk menurunkan resiko tromboflebilitis.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
Tujuan/kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur, dekubitus)
Intervensi
Mandiri
a. kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5
R/ : menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat
tercapainya tujuan/harapan pasien
b. berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman
R/ : menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya
iskemia/ kerusakan pada kulit.
c. sokong eksremitas dan persendian dengan bantal
R/ : mempertahankan eksremitas dalam posisi fisilogis, mencegah kontraktur dan
kehilangan fungsi sendi
d. lakukan latihan rentang gerak pasif
R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi
sendi.
Kolaborasi
e. konfirmasikan dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler yang mempenagaruhi reflek menelan dan fungsi GI
Tujuan/kriteria hasil :
Mendomensterasikan berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan tidak
tanda malnutrisi
Intervensi
Mandiri
a. kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur
R/ : kelemahan otot dan refleks yang hiperaktif/ hipoaktif dapat mengindikasikan
kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NG dan sebagainya
b. auskultasi bising usus, e4valuasi adanya distensi abdomen
R/ : perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis/imobilisasi
c. catat masukan kalori setiap hari
R/ : mengidentifikasi kekurangan makanan dan keutuhannya
d. catat makanan yang di sukai/ tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam pilihan
diet yang di kehendakinya. Berikan makanan setengah padat/cair
R/ :meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk
makan. Makanan lunak/ setengah padat mkmenurunkan resiko terjadinya aspirasi
e. anjurkan untuk makan sendiri jika memunkinkan
R/ : derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri
f. timbang berat badan setiap hari
R/ : mengkaji keefektifan aturan diet
Kolaborasi
g. berikan diet tinggi kalori atau protein nabati
R/ : makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.
f. pasang /pertahankan selang NG.
R/ dapat di berikan jika pasien tidak mampu untuk menelan( jika refleks menelan
mengalami gangguan untuk pemasukan makanan, kalori , elektrolit dan mineral.
6. ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Tujuan/kriteria hasil :
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi
Intervensi
Mandiri
a. tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur.
R/ : memberikan keyakianan bahwa bantuan segera dapat di lakukan jika pasien
secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
b. berikan perawatan primer/ hubunagan perwat yang konsisten
R/ : meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan
kecemasan
c. berikan bentuk komunikasi alternatef jika di perlukan
R/ : menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi
d. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan
yang menetap, kehilanagn fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan
penyebuhan /perbaikan
Kolaborasi
e. berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien
termasuk orang terdekat
R./ : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan
akan melakkan aktivitas dan perlibatan pasien dan juga orang terdekat dalam
perencenaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap
didri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.
7. nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (parestesia, disestesia)
Tujuan/kriteria hasil :
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
Intervensi
Mandiri
a. evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman denagan menggunakan skala 0-10
R/ : meenganjurkan pasien untuk “ melakolisasi/ mengetahui kuantitas” nyeri yang
menunjukan adanya perubahan
b. anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang di rasakan
R/ : menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan
nyeri tersebut
c. lakukan perubahan posisi secara teratur
R/ : membantu menghilangkan kelelahan dan ketegangan otot
d. berikan latihan rentang gerak secara pasif
R/ : menurunkan kekuan pada sendi
e. anjurkan untuk menggunakan tehnik relaksasi, seperti visualisasi( menonton),
latiahan relaksasi yang berkembang dan bimbingan imajinasi
f. R/ : memfokskan kemali secara langsung dari perhatian/ persepsi dan
meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.
Kolaborasi
g. berikan obat analgetik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotik
R/ : untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah di coba tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik( kecuali kodein yang memiliki efek
yang lebih keci) harus di hindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut dapat
menekan pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran pencernaan
8. kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengingat, keterbatasan kognitif
Tujuan/kriteria hasil :
Pasien tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya
Intervensi
Mandiri
a. tentukan pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses
rehabilitasi
R/ : mempengaruhi pilihan terhadp intervensi yang akan di lakukan
b. tinjau kemmali pengetahuan pasien tentang penyakit dan prognosisnya
R/ : pengetahuan dasar merupakan suatu hal yang penting untuk membuat pilihan
informasi dan berpatisipasi dalam upya rehabilitasi
c. anjurka untuk mengungkapkan apa yang di alami, bersosialisasi dan meningkatkan
kemandiriannya
R/ : meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan hidupnya pada
situasi yang ada
d. identifikasi tindakan yang aman untuk menemukan defeswit sensori-motorik secara
individual
R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma/ menurukan resiko komplikasi yang
sebenarnya masih dapat di cegah
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta
Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.3 Edisi 8.
EGC :Jakarta
MAKALAH ASKEP PERSARAFAN '' Guillain Barre’ Syndrome '' GBS
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh
awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial.
Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin
sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus,
tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ tyerjadi
dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak
yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa
berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai
penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya
berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar penyakit? Ω Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan?
- Pengertian - Pengkajian
- ETIOLOGI - Diagnosa keperawatan
- PATOFISIOLOGI - Intervensi
- Insiden
- Manifestasi Klinis
- Pemeriksaan Diagnostik
- Diagnosa Banding
- Komplikasi
- Penatalaksanaan medis
1.3 Tujuan
Tujuan dan maksud dari pembutan makalah ini, adalah: kami bermaksud membahas
dan berbagi pengetahuan tentang ” GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS” seperti
yang tertera pada rumusan masalah di atas. Kami bertujuan & berharap semoga
makalah ini dapat menjadi referensi dan berguna bagi para pembaca dan khususnya
bagi mahasiswa FIK Unmuh Ponorogo, serta kalangan medis lainya. Sehingga kita
mengerti, memahami, serta menambah pengetahuan kita tentang ” GUILLAIN BARRE
SYNDROM / GBS” Serta penanganannya.
BAB IIPEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
2.1 Pengertian
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh
awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan kranial yang
Etiologinya tidak diketahui. ( Hudak & Gallo: 287)
Guillain Bare’ Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi yang sifatnya
dapat akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini mempunyai kaitan
dengan mekanisme autoimun sel dan humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah
infeksi saluaran pernapasan atas ringan. (Lynda Juall C: 298)
Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang
memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi
biasanya paralisis sementara. ( Doenges:369)
2.2 Etiologi
Etiologi / Penyebab Guillain Bare’ Syndrom tidak jelas/ tidak diketahui. Sebagian besar
pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya
infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan
neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan.
Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparapa proses lain
atau sebuah kombinasi suatu proses. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom
tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh
ini.
2.3 Patofisiologi
Pada GBS, Selaput myelin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin cukup rentan
terhadap cidera karena banyak agen dan kondisi, termasik trauma fisik, hipoksemia,
toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon
umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merudikan ini. Akson bermielin
mengkonduksi impuls saraf lebih cepat di banding akson tak bermielin. Sepanjang
perjalanan serabut bermielin terganggu dalam selaput ( Nodus Ranvier ) tempat kontak-
langsung antara membran sel akson dengan cairan eksraseluler.Membran sangat
permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik.
Gerakan-gerakan masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada
nodus ranvier ( Gbr. 31-9) sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
Kehilangan selaput mielin pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi,
dan trasnmisi impuls saraf dibatalkan.
Temuan patofisiologis pada gangguan ini multipel dan bervariasi meliputi imflamasi,
demielinasi dari saraf perifer, kehilangan badan granular, dan degenarasi membaran
basalis sel Swhann, mengakibatkan paralisis flaksid simetrik asenden dan kehilangan
funsi saraf kranial. ( Murray,1993)
2.4 Insiden
Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah
terjadi pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik
menujukkan bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasan-
kardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan
dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual.
2.5 Manifestasi Klinis
Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat
saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti
retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan
tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena
paralisis yang flasid terjadi dengan cepat. Ada pasien yang mengalami nyeri tekan dan
nyeri pada tekanan dalam atau gerakan beberapa otot. Gejala-gajala parastesia
termasuk semutan ” jarum dan peniti ” dan kebas dapat terjadi secra sementara, jika
saraf kranial terkena, maka maka saraf fasial ( VII) lebih sering terserang. Tanda dan
gejala disfungsi saraf fasial termasuk ketidak mampuan dalam tersenyum , bersiul, atau
cemberut. GBS tidak mengenai LOC ( tingkat kesadaran ), tanda –tanda pupil, atau
fugsi serebral. Gejala-gejala biasanya memuncak dalam satu minngu, tatapi dapat
berkembnag selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja terhenti setiap saat.
Fugsi motorik kembali dalam gaya desending. Demielinasi terjadi dengan cepat, tetapi
kecepatan remielinasi sekitar 1 sampai 2 mm perhari.
2.6 Pemeriksaan dan Diagnostik
1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus
- perjalanan penyakitnya (nyeri radikuler kemudian diikuti kelumpuhan progresif, > 1
tungkai, simetris, menjalar ke lengan (asenderen)
2. Pemeriksaan Neurologis :
- kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal
- simetris
- gejala motorik lebih nyata daripada sensorik
3. Pada Lumbal Pungsi :
- didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi sitoalbumin) pada
minggu II
4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :
- penurunan kecepatan hantar saraf /lambatnya laju konduksi saraf
5. Darah Lengkap
- Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
6. Foto ronsen
- Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan ,
seperti atelektasis, pneumonia.
7. Pemeriksaan fungsi paru
- Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan
inspirasi
2.7 Diagnosa Banding
1. Polineuropathy karena defisiensi 3. Myasthenia Gravis
2. Hipokalemi
2.8 Komplikasi
- Gagal pernapasan
- Penyimpangan Kardiovaskuler
- Komplikasi Plasmafaresis
2.9 Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dalam merawat pasien dengn GBS adalah untuk memberikan
pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang
mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan
dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.
- Dukungan Pernapasan
Jika vaskulatur pernapasan terkena, maka mngkin di butuhkan ventilasi mekanik.
Mungkin Perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat di sapih dari ventilator
dalam beberapa minngu. Gagal pernapasan harus di antisipasi sampai kemajuan
gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi.
- Dukungan Kardiovaskuler
Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam
tekanan darah ( hipotensi dan hipertensi ) serta frekwensi jantung akan terjadi dan
pasien harus dipantau dengan ketat. Identifikasi adanya disritmia dan diobati dengan
cepat. Gangguan saraf otonom dapat dipicu oleh valsava manuver, batuk, sucsioning,
dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan secara hati-hati.
- Plasmafaresis
Untuk menyingkirkan antibidi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien
dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bhan-bahan abnormal dibersihkan
atau plasma digantikan dengan yang normal atau dengan pengantri koloidal.
- IVIg = Intra Venous Immunoglobulin dosis tinggi (0,4 mg/kg BB / hari selama
5-7 hari
- CSFF = Cerebro Spinal Fluid Filtration
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas
bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.Hilangnya
kontrol motorik halus tangan
Tanda : Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris)
Cara berjalan tidak mantap
SIRKULASI
Tanda : Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi )
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
INTEGRITAS/EGO
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan binggung
ELIMINASI
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan otot-otot abomen.
Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau berkemih dan refleks sfingter.
MAKANAN DAN CAIRAN
Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
NEUROSENSORI
Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terus naik
Perubhan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan.
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata-
( keterlibatan saraf kranial)
Kehilangan kemampuan untuk berbicara
NYERI/KENYAMANAN
Gejala : Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu, pelvis,
pinggang , punggung dan bokong ) Hipersensitif terhadap sentuhan.
PERNAPASAN
Gejala : Kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/ hilangnya bunyi
napas.
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
KEAMANAN
Gejala : Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas ) kira-kira 2 minggu
sebelum munculnya tanda seangan.
Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus.
Tanda : Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan ).
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parastesia.
INTERAKSI SOSIAL
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.
II. PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan.
2. Meminimalkan/mencegah komplikasi.
3. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya.
4. Mengendalikan/menghilangkan nyeri.
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.
III. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan
kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf
autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
4. Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra,
Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
5. Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring,
imobilitas.
6. Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
( parastesia, disestisia )
7. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
9. Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis,
paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
IV. INTERVENSI
Diagnosa 1
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah mis; ( kontraktur,
kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD.
Intervensi:
1. Pertahankan ROM sendi.
2. Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur.
3. Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi.
4. Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam.
5. Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik.
6. Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin dapat
menigkatkan demielinasi.
7. Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter.
8. Mulai ajarkan pada keluarga latihan untuk ROM.
Diagnosa 2
Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan
kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.
Intervensi:
1. Auskultasi bunya napas dengan teratur.
2. Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri.
3. Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas.
4. Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak.
5. sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas.
6. Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas.
7. Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas )
8. Catat AGD dan perhatikan kecenderungan.
9. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal tersebut
akan diperlukan.
10. Pasang alrm ventilator.
Diagnosa 3
Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf
autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol/takada.
Intervensi:
1. Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural,
Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2. Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.
3. Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman.
4. Catat masukan dan haluaran.
5. Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur.
6. kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi.
7. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum.
8. Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal dengan
interval tertentu.
Diagnosa 4
Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra,
Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori
Mempertahankan mental/orientasi umum.
Mengidentifilkasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan komplikasi sensori.
Intervensi:
1. Pantau status neurologis secara periodik
2. Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara.
3. Berikan lingkungan yang aman ( penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma
termal )
4. Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan, dan
berikan aktivitas lain sesuai dengan kemampuan.
5. Berikan stimulasi sensori yang sesua, meliputi suara misik yang lembut; televisi
( berita/pertujukkan ) bercakap-cakap santai.
6. Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien untuk
memlihara keterikatan.
Diagnosa 5
Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring,
imobilitas.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Rutinitas BAB pasien dipertahankan sama seperti sebelum dirawat, dan konstipasi tidak
terjadi
Intervensi:
1. Pastikan hidrasi adekuat; catat masukan dan haluaran.
2. Berikan pelunak feses atau suppositoria sesuai indikasi.
3. Waktu melakukan gragam usus untuk menghasilkan penggunaan refleks gastrokolik
setelah makanan.
4. Baringkan pasien dalam posisi tegak untuk melakukan eliminasi.
Diagnosa 6
Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
( parastesia, disestesia )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri berkurang /terkontrol
Mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri.
Mendemostrasikan pengguanaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi
individu.
Intervensi:
1. Ukur derajat nyeri/ rasa tidak nyaman dengan mengunakan skala nyeri 0-10
2. Observasi tanda-tanda nonverbal dari nyeri mis ( wajah tampak menahan skit, menarik
diri/menangis.
3. Anjurkan kilen untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan.
4. Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau
sentuhn sesuai toleransi pasien.
5. Lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal, busa atrau
selimut.
6. Berikan latihan rentang gerak pasif
7. Instruksikan/anjurkan untuk mengunakan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing.
8. kolaborasi obat analgesik sesuai kebutuhan.
Diagnosa 7
Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan pengosongan kendung kemih adekuat/tepat waktu tanpa retensi
atau infeksi urinarius.
Intervensi:
1. Ctat frekuensi dan jumlah berkemih.
2. Lakukan palpasi abdomen ( di atas supra pubik ) untuk mengetahui adanya distensi
kandung kemih.
3. Anjurkan pasien intuk minum paling tidak 2000ml/dalam batas toleransi jantung.
4. Lakukan menuver Crede.
5. Kolaborasi kateterisasi pada residu urine sesuai kebutuhan.
6. Pasang/pertahankan kateter indweling sesuai kebutuhan.
Diagnosa 8
Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada
tanda malnutrisi.
Intervensi:
1. Kaji kemmpuan untuk mengunyah, menlan, batuk, pada keadaan teratur.
2. Auskultasi bising usus evaluasi adanya distensi abdoman.
3. Cata masukan kalori setiap hari.
4. Berikan makan setengah padat/cair usahakan yang disukai pasien.
5. Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan, dan berikan bantuan bila pasien
membutuhkan
6. Anjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi
7. Timbang berat badan setiap hari.
8. Kolaborasi pemberian diet TKTP
9. Pasang/pertahankan selan NGT berikan makanan enteral/parenteral.
Diagnosa 9
Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis,
paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dan keluarga akan mengungkapkan pengetahuan yang sesuai dengan
keadaannya.
Menerima dan mendiskusikan rasa takut.
Mendemostrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.
Intervensi:
1. Biarkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya.
2. Dorong pasien untuk mengajukan pertanyaan dan bersiaplah untuk memberikan
penjelasan.
3. Buat jadwal sehinnga pasien mengetahui perawat akan memeriksanya secara teratur
sesuai kebutuhan.
4. Kurangi gangguan sensori dengan berbicara pada pasien dan melibatkan keluarga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh
awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial.
Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin
sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus,
tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ tyerjadi
dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak
yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa
berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai
penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya
berasal dari pernapasan atau gastrointestinal. Insiden
Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah
terjadi pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik
menujukkan bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasan-
kardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan
dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual.
Manifestasi Klinis
Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat
saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti
retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan
tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena
paralisis yang flasid terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan dan Diagnostik1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus 6. Foto ronsen
2. Pemeriksaan Neurologis 7. Pemeriksaan fungsi paru
3. Pada Lumbal Pungsi :
4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi)
5. Darah Lengkap
Komplikasi
- Gagal pernapasan - Komplikasi Plasmafaresis
- Penyimpangan Kardiovaskuler
Penatalaksanaan Medis
- Dukungan Pernapasan
- Dukungan Kardiovaskuler
- Plasmafaresis
- IVIg- CSFF
PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan.
2. Meminimalkan/mencegah komplikasi.
3. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya.
4. Mengendalikan/menghilangkan nyeri.
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan
kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf
autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
4. Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra,
Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
5. Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring,
imobilitas.
6. Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
( parastesia, disestisia )
7. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
9. Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis,
paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan
Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC
2. Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
3. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:
EGC
4. Robin, dan Kumar. 1995. Patologi 2. Ed 4. Jakarta: EGC
5. Http//www.Perawatpsikiatri.blogspot.com