asma - unud · 2017. 6. 4. · asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di...
TRANSCRIPT
Pengalaman Belajar Lapangan
ASMA
Oleh:
Priska Yunita Bachtiar
dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD
BAG/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan pengalaman belajar lapangan yang
berjudul “Asma” tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini merupakan salah satu
prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian / SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1) dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD, selaku pembimbing laporan ini, atas
bimbingan, saran dan masukan selama penyusunannya.
2) Ibu NKS dan keluarga, selaku pasien yang sudi menyumbangkan
informasi untuk melengkapi laporan kasus ini.
3) Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan PBL ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka dan laporan kasus ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan demi
perbaikan tugas serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi
manfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Denpasar, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1 Definisi .............................................................................................. 3
2.2 Faktor Resiko ................................................................................... 3
2.3 Patogenesis dan Patofisiologi ……………………………………... 4
2.4 Diagnosis dan Klasifikasi ................................................................ 6
2.5 Penatalaksanaan ................................................................................ 11
BAB III. LAPORAN KASUS.......................................................................... 17
3.1 Identitas Pasien ................................................................................. 17
3.2 Anamnesis......................................................................................... 17
3.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................. 20
3.4 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………. 21
3.5 Diagnosis .......................................................................................... 23
3.6 Penatalaksanaan ................................................................................ 24
3.7 Prognosis………………………………………………………….. 24
BAB IV. KUNJUNGAN LAPANGAN ........................................................... 25
4.1 Alur Kunjungan Lapangan………………………………….. ......... 25
4.2 Identifikasi Masalah…………………………………...................... 25
4.3 Analisis Kebutuhan Pasien…………………………………… ....... 26
4.4 Saran Dan Pemecahan Masalah…………………………………… 30
4.5 Denah Rumah Pasien……………………………………………… 33
4.6 Foto Kunjungan……………………………………………… ........ 34
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumahtangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar13/ 1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. (Akinbami, 2011). Di Indonesia belum
ada survei asma secara nasional. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi asma di
Indonesia sangat bervariasi. Perbedaan ini antara lain disebabkan perbedaan
metodologi yang digunakan, perbedaan etnik, perbedaan faktor lingkungan dan
tempat tinggal serta perbedaan status sosial ekonomi subjek penelitian. Meskipun
belum ada survei asma secara nasional di Indonesia, dari penelitian yang ada
disimpulkan bahwa prevalensi asma di daerah rural (4,3%) lebih rendah daripada
didaerah urban (6,5%) dan yang tertinggi adalah dikota besar seperti di Jakarta
(16,4%) (Ratnawati, 2011).
Dalam penanganan asma selama ini mayoritas pasien sebenarnya dapat ditangani
dengan protokol imunologis dan farmakoterapi yang tepat dan terbaru. Namun,
dengan pengobatan efektif angka morbiditas dan mortalitas asma masih tetap tinggi.
Satu dari 250 orang yang meninggal adalah penderita asma. Di negara maju meskipun
sarana pengobatan mudah didapat, asma masih sering tidak terdiagnosis dan tidak
diobati secara tepat. Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di
negara maju (PDPI, 2011). Faktor – faktor yang dapat mempersulit penanganan asma
dapat berupa faktor psikologis seperti fobia terhadap golongan steroid, ketagihan
rokok, penggunaan obat terlarang, ataupun ketidakpedulian pasien terhadap
penyakitnya, sementara itu terdapat pula faktor sosioekonomis berupa kemiskinan,
akses menuju pusat pelayanan kesehatan, serta kemungkinan paparan alergen yang
tinggi terkait lingkungan di rumah ataupun tempat kerja. Oleh karena itu, diperlukan
evaluasi yang lebih komprehensif menyangkut aspek bio – psiko – sosio di dalam
menangani kasus – kasus asma di masyarakat (Patterson, 1992).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu penyakit saluran pernapasan yang kronik dan
heterogenous. Penyakit ini dikatakan mempunyai kekerapan bervariasi yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan sehingga memicu episode mengi
berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada tertekan, dispnea, dan
batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (GINA, 2014). Kebanyakan
bangsa dan etnik di seluruh dunia diserang dengan penyakit ini pada semua
peringkat usia dengan prevalensi laki-laki lebih banyak berbanding perempuan
(Fanta, 2009). Penyakit asma timbul akibat inflamasi dari mukosa saluran
pernapasan. Akibat hiperesponsif jalan napas, jalan napas yang normal akan
mengalami obstruksi dan hambatan sehingga muncullah asma (PDPI, 2011).
2.2 Faktor Resiko
Terdapat banyak perkara yang mengakibatkan seseorang untuk menderita
asma. Faktor lingkungan memainkan peran penting terhadap kejadian asma.
Paparan terhadap infeksi menjadi pencetus kepada asma terutamanya infeksi
virus seperti rhinovirus. Sebenarnya allergen dan sensitisasi yang ada pada
lingkungkan dipertimbangkan menjadi dasar utama yang mengarahkan kepada
terjadinya asma (PDPI, 2011). Dikatakan faktor genetik turut berperan dalam
terjadinya asma kerana pembentukkan immunoglobin E, akibat pelepasan zat
aktif seperti histamin maka terjadi kontraksi otot polos pada bronkus serta
edema pada saluran pernapasan. Sel mast turut memproduksi sisteinil
leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini justru apabila berikatan
dengan reseptornya yang spesifik akan mengkaibatkan peningkatan
permebialitas vaskular dan hiperplasia kelenjar serta hipersekresi mukus.
Faktor lain seperti imunitas dasar turut berperan, mekanisme imunitas
terhadap kejadian inflamasi pada asma terjadi akibat ekspresi sel Th2 yang
berlebihan. Faktor host yang lain seperti obesitas dikatakan turut berkontribusi
terhadap terjadinya asma. Hal ini justru telah dibuktikan dari banyak
penelitian yang mendapatkan bahawa seseorang yang obesitas mempunyai
pelbagai mediator tertentu di dalam sel lemak misalnya leptin yang
mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan kecenderungan
timbulnya asma (NHLBI, 2007).
2.3 Patogenesis dan Patofisiologi
Asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran pernapasan yang dapat
melibatkan peranan sel – sel inflamasi dan mediator lainnya yang akan
menghasilkan karakteristik perubahan patofisiologi tertentu. Sampai saat ini
mekanisme pastinya masih belum diketahui, namun berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran
napas yang berlebihan. Oleh karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk
mencapai kedua keadaan tersebut, jalur imunologis yang terutama didominasi
oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam
tubuh akan diolah oleh Antigen Presenting Cells (APC) untuk selanjutnya hasil
olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T
penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau
sitokin agar sel – sel plasma membentuk IgE, serta sel – sel radang lain seperti
mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit
untuk mengeluarkan mediator – mediator inflamasi seperti histamin
prostaglandin, leukotrien, platelet activating factor, bradikinin, tromboksan dan
lain – lain yang akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding vascular, edema saluran napas, infiltrasi sel
radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi
juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir juga berupa inflamasi
dan hipereaktivitas saluran napas (Bateman, 2011). Selain adanya respon
inflamasi, terdapat juga karakteristik perubahan seluler yang terjadi dan
biasanya dijelaskan sebagai remodeling saluran napas. Beberapa perubahan
tersebut akan berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan
mengakitbatkan penyempitan lumen saluran napas yang irreversible. Perubahan
ini merupakan suatu respon perbaikan terhadap inflamasi kronis (Widodo,
2012).
Penyempitan lumen saluran napas merupakan jalur akhir yang utama dan
menyebabkan timbulnya gejala serta perubahan fisiologis pada asma. Beberapa
faktor berperan pada perkembangan terjadinya penyempitan saluran napas.
Hiperresponsif saluran napas merupakan abnormalitas karakteristik fungsional
pada asma yang akan menimbulkan penyempitan saluran napas akibat respon
terhadap stimulus yang tidak berbahaya pada orang normal. Penyempitan
saluran napas ini akan menyebabkan terbatasnya laju udara dan gejala yang
intermittent. Hiperresponsif saluran napas berhubungan dengan inflamasi dan
perbaikan jalur napas yang reversible secara pasial dengan pemberian terapi.
Adapun mekanisme terjadinya hiperresponsif saluran napas adalah adanya
kontraksi berlebihan dari otot polos saluran napas yang menimbulkan
peningkatan volume dan atau kontraktilitas dari sel otot polos saluran napas.
Kontraksi saluran napas yang tidak berpasangan sebagai hasil dari perubahan
inflamasi pada dinding saluran napas dan dapat menyebabkan penyempitan
yang berlebihan dari saluran napas dan hilangnya maximum plateau dari
kontraksi sebagaimana ditemukan pada saluran napas yang normal saat
substansi bronkokonstriktor terhirup. Penebalan dinding saluran napas oleh
adanya edema dan perubahan struktur melipatgandakan penyempitan lumen
saluran napas akibat kontraksi otot polos saluran napas dengan alasan
geometris. Saraf sensoris akan tersentisisasi oleh inflamasi dan menyebabkan
bronkokonstriksi sebagai respon dari stimulus sensoris (PDPI, 2009).
2.4 Diagnosis dan Klasifikasi
Diagnosis dari asma dapat dipikirkan pada pasien melalui temuan klinis dari
anamnesis maupun pemeriksaan fisik yang selanjutnya apabila mengarah ke
asma maka dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menunjang diagnosis.
Berikut ini adalah temuan klinis yang bisa ditemukan pada pasien dengan asma:
Gejala Klinis Pasien
Suara mengi atau “ngik-ngik: yang dapat didengar saat pasien mengeluarkan
napasnya, batuk yang memberat saat malam hari, mengi yang berulang,
kesulitan bernapas yang berulang, rasa terkekang pada dada yang berulang.
Gejala memburuk saat malam hari dan sering membangunkan pasien, gejala
memburuk sesuai dengan pola musim. Pasien memiliki riwayat eczema atau
ada riwayat asma atau penyakit atopi pada keluarga. Gejala terjadi dan
memburuk apabila mendapat paparan bulu binatang, senyawa kimia yang
terhirup, perubahan suhu tubuh, debu pada lingkungan sekitar, obat – obatan
(aspirin dan beta blocker), olahraga, serbuk atau tepung sari, infeksi traktus
respiratius (virus), merokok, kondisi emosional yang kuat, serta gejala berespon
terhadap terapi asma.
Pemeriksaan Fisik
Karena gejala asma pada pasien bisa sangat bervariasi, temuan saat
pemeriksaan fisik sistem pernapasan bisa saja ditemukan normal. Temuan yang
paling sering pada pasien asma adalah adanya mengi (wheezing) saat auskultasi
yang akan mengkonfirmasi adanya obstruksi jalan napas. Namun pada beberapa
pasien dengan asma, wheezing bisa saja tidak ada atau hanya terdengar apabila
pasien diinstruksikan untuk melakukan ekspirasi paksa. Biasanya pada
eksaserbasi asma berat, wheezing tidak terdengar karena penurunan laju udara
pada saluran napas dan ventilasinya, tetapi dengan tanda eksaserbasi berat
lainnya berupa sianosis, penurunan kesadaran, kesulitan berbicara, takikardia,
dada hiperinflasi, napas menggunakan otot aksesoris dan resesi intercostal
(Bateman, 2011).
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran Fungsi Paru
Diagnosis asma biasanya berdasarkan karakteristik gejala, dengan pengukuran
fungsi paru dan demonstrasi reversibilitas dari abnormalitas fungsi paru mampu
menunjang diagnosis. Pengukuran fungsi paru akan menampilkan derajat dari
obstruksi jalan napas, reversibilitasnya dan variabilitas dan menyediakan data
untuk konfirmasi diagnosis asma. Beberapa metode dapat dilakukan untuk
obstruksi jalan napas namun hanya dua metode yang saat ini diterima secara
menyeluruh pada pasien dengan usia diatas lima tahun. Spirometri biasanya
digunakan untuk menilai forced expiratory volume dalam 1 detik (FEV1) dan
forced vital capacity (FVC) dan peak expiratory flow (PEF). Istilah reversibility
dan variability berkaitan dengan perubahan gejala oleh perubahan penyempitan
jalur napas yang terjadi secara spontan ataupun dalam respon terhadap terapi.
Reversibilitas secara umum dijelaskan sebagai perbaikan cepat pada FEV1 atau
PEF yang diukur dalam beberapa menit setelah inhalasi bronkodilator aksi
cepat, sebagai contoh pemberian 200 – 400 ug salbutamol atau perbaikan dalam
kurun waktu hari hingga minggu setelah pemberian terapi kontrol berupa
inhalasi glukokortikosteroid. Sedangkan istilah variability berarti perbaikan
pada gejala atau fungsi paru yang terjadi sepanjang waktu. Variability dapat
terjadi sepanjang satu hari penuh (diurnal variability) atau bisa juga dari hari ke
hari, bulan ke bulan ataupun per musim. Mengetahui riwayat variability
merupakan komponen esensial dalam diagnosis asma. (GINA, 2014)
Spirometri
Spirometri merupakan metode yang direkomendasikan untuk mengukur
gangguan jalur napas dan reversibilitasnya untuk menegakkan diagnosis asma.
Pengukuran FEV1 dan FVC dilakukan saat pasien berekspirasi maksimal atau
ekspirasi paksa menggunakan spirometri. Derajat reversibilitas FEV1 yang
mengindikasikan diagnosis asma adalah sebesar 12% dan perbaikan 200 ml dari
nilai FEV1 sebelum pemberian bronkodilator. Namun, tidak semua pasien
menunjukkan reversibilitas pada setiap pemeriksaan, sehingga pemeriksaan
berulang disarankan untuk dilakukan. Spirometri termasuk alat yang mampu
mencerminkan kondisi saluran napas dengan baik namun dalam
penggunaannya sangat bergantung pada usaha dan teknik pasien. Oleh karena
itu diperlukan instruksi yang tepat dan menyeluruh bagaimana untuk
melakukan manuver ekspirasi paksa pada pasien dan mencatat 3 nilai tertinggi
yang mampu dilakukan oleh pasien. Rentang nilai FEV1 juga bisa sangat
berbeda sesuai dengan umur pasien. Berkaitan dengan banyak penyakit paru
lain yang menyebabkan penurunan FEV1, penilaian yang lebih tepat kondisi
saluran napas adalah dengan melihat rasio antara FEV1 terhadap FVC. Rasio
FEV1 terhadap FVC normalnya lebih besar daripada 0,75 – 0,80 dan mungkin
akan lebih besar dari 0,90 pada anak – anak. Nilai yang didapatkan lebih kecil
dibandingkan nilai diatas maka akan menandakan adanya penyempitan saluran
napas (GINA, 2014).
Peak expiratory flow
Pengukran PEF dilakukan dengan menggunakan alat bernama peak flow meter
yang menjadi alat penting didalam diagnosis dan monitoring asma. PEF meter
termasuk alat yang tidak mahal, mudah dibawa, plastik dan ideal untuk
digunakan oleh pasien di rumah untuk penilaian objektif penyempitan jalur
napas. PEF mampu untuk menilai derajat penyempitan lumen saluran napas
terutama apabila terjadi perburukan. Namun karena nilai PEF yang didapatkan
akan bervariasi dan nilai prediksi orang normal sangatlah lebar maka penilaian
PEF juga sebaiknya dibandingkan dengan nilai PEF terbaik pasien masing-
masing. Pada kondisi ini nilai yang dianggap paling baik adalah saat pasien
berada dalam fase asimptomatis atau pada kondisi dengan terapi penuh dan
nantinya akan mampu memberikan data tentang efek perbaikan kondisi saluran
napas oleh pemberian terapi saat terjadinya eksaserbasi atau setelah
maintenance-nya.Instruksi yang lengkap diperlukan dalam pemanfaatan peak
flow meter karena sama halnya dengan spirometri penggunaan alat ini termasuk
tergantung usaha pasien. Biasanya PEF diukur saat paling awal di pagi hari
sebelum menjalani terapi yang menandakan nilai paling mendekati dari nilai
terkecil PEF dan dilakukan kembali saat malam hari yang menandakan nilai
paling mendekati nilai terbesar PEF. Metode untuk mendeskripsikan
variabilitas PEF diurnal adalah amplitudo (perbedaan antara nilai maksimum
dan nilai minimum) sebagai persentase dari rata-rata nilai PEF harian, dan rata-
rata selama 1-2 minggu. Metode lainnya untuk deskripsi PEF adalah nilai
minimum pre-bronkodilator di pagi hari selama 1 minggu sebagai persentase
dari nilai terbaik saat ini (GINA, 2014).
Penilaian Status Alergi
Terdapat hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi yang
menyebabkan penilaian statusnya meningkatkan probabilitas diagnosis asma
pada pasien dengan adanya gejala saluran pernapasan. Selain itu keberadaan
alergi pada pasien asma (identifikasi dengan melakukan test kulit atau
pengukuran nilai IgE spesifik pada serum) dapat membantu menilai faktor
resiko yang menimbulkan gejala asma pada pasien. Provokasi dengan sengaja
saluran napas dengan alergen yang dicurigai atau agen sensitisasi dapat
membantu dalam konteks alergi yang muncul saat bekerja, namun tindakan ini
tidak rutin direkomendasikan untuk dilakukan karena jarang bermanfaat dalam
menunjukkan diagnosis pastinya serta memerlukan penilaian oleh ahli dan
dapat menimbulkan bronkospasme yang mengancam nyawa. Test kulit dengan
alergen merupakan alat diagnostik primer dalam menentukan status alergi.
Metode ini termasuk mudah dan cepat untuk dilaksanakan serta dengan biaya
yang murah namun memiliki sensivitas yang tinggi. Namun, apabila prosedur
yang dilakukan tidak benar-benar akurat maka hasil tes kulit dapat positif palsu
atau negatif palsu. Pengukuran IgE spesifik pada serum belum tentu
mengungguli hasil dari tes kulit dan metode ini tergolong lebih mahal.
Keterbatasan utama dari metode untuk penilaian status alergi adalah hasil yang
positif tidak selalu berarti penyakit ini berasal dari alergi atau alergi yang
ditemukan bukan pasti sebagai penyebabnya asma karena pada beberapa
individu yang memiliki IgE spesifik tanpa adanya gejala alergi ataupun asma.
Paparan yang relevan dan hubungannya dengan gejala pada pasien sebaiknya
dikonfirmasi melalui anamnesis riwayat alergi pasien. Pengukuran total serum
IgE tidak memiliki nilai dalam tes diagnosis untuk atopi (GINA, 2014).
Klasifikasi
Asma dapat diklasifikan berdasarkan pola keterbatasan aliran udara dan berat
penyakit. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting untunk
mendapatkan terapi pengobatan dan perencanaan penatalakasaan jangka
panjang yang tepat. Demikian merupakan klasifikasi asma berdasarkan derajat
asma :
Tabel 2.4 Klasifikasi Asma Sesuai Derajat (GINA, 2012)
Derajat
Asma
Gejala Gejala
Malam
Fungsi Faal Paru Terapi
Rawat Jalan
Intermitent Gejala < 1x/minggu
Gejala selain eksaserbasi
tidak ada
Eksaserbasi ringan
≤ 2x/ bulan VEP/APE > 80 %
prediksi
Variabilitas VEP / APE
< 20 %
Agonis β 2
kerja cepat
Persistent
Ringan
Gejala 1x/bulan hingga
1x/minggu
Eksaserbasi mengganggu
aktivitas
>2x/bulan
bulan
VEP/APE ≥ 80 %
prediksi
Variabilitas VEP / APE
20 – 30 %
Agonis β 2
kerja cepat
KSI dosis
rendah
Persistent
Sedang
Gejala setiap hari
Eksaserbasi mengganggu
aktivitas
Butuh reliever setiap hari
>1x/minggu
minggu
VEP/APE 60-80 %
prediksi
Variabilitas VEP / APE
> 30 %
Agonis β 2
kerja cepat
KSI dosis
rendah
ABKP
Persistent
Berat
Gejala setiap hari
Eksaserbasi sering dan
mengganggu aktivitas
Aktivitas fisik tidak
terbatas
sering VEP/APE ≤ 60 %
prediksi
Variabilitas VEP / APE
> 30 %
Agonis β 2
kerja cepat
KSI dosis
tinggi
ABKP &/
KSO
2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksaan asma penting supaya asma yang diderita tidak bertambah parah.
Sebenarnya penatalaksaan asma mempunyai beberapa tujuan seperti mencegah
eksersebasi akut serta meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal
mungkin. Mencegah keterbatasan aliran udara serta kematian akibat asma
merupakan tujuan lain dari penatalaksaan asma (WHO, 2010). Selain itu,
pemberian pengobatan jangka pendek serta panjang merupakan antara
komponen lain dalam penatalaksaan asma. Medikasi asma yang ditujukan
untuk mencegah gejala obstruksi jalan napas terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (controllers) adalah medikasi asma jangka panjang yang harus
diberikan setiap hari untuk mencapai keadaan asal yang terkontrol pada asma
persisten. Berikut adalah contoh dari obat pengontrol yang lazim digunakan
kortikosteroid inhalasi dan sistemik, sodium kromoglikat dan leukotrien
modifiers.Pelega (reliever) yang sering dianjurkan adalah antikolinergik serta
aminofilin. Tujuan daripada penggunaan pelega ini adalah sebenarnya untuk
saluran pernapasan akan berdilatasi. Akibatnya, keluhan sesak napas penderita
akan berkurangan (GINA, 2014).
Pengobatan untuk Mencapai Kontrol
Setiap pasien akan ditetapkan untuk mendapatkan salah satu dari 5 langkah
terapi. Lima langkah terapi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 yang
merupakan terapi untuk dewasa dan anak-anak diatas umur 5 tahun. Pada setiap
langkah terapi, pemberian reliever sebaiknya diberikan untuk mengobati gejala
dengan cepat. Namun, perlu diperhatikan seberapa banyak reliever yang
digunakan pasien, regular atau terdapat peningkatan penggunaan yang
mengindikasikan asma tidak terkontrol dengan baik. Pada langkah kedua
sampai langkah kelima pasien juga memerlukan satu atau lebih medikasi
controller regular yang akan mencegah timbulnya gejala dan serangan akut
dimulai kembali. Glukokortikosteroid inhalasi merupakan medikasi controller
yang paling efektif ada saat ini.Untuk beberapa pasien yang baru didiagnosis
dengan asma dan belum mendapatkan pengobatan, maka pemberian terapi
langsung dimulai sesuai langkah kedua (atau jika pasien menunjukkan gejala
yang lebih berat langsung terapi sesuai langkah ketiga). Jika asma tidak
terkontrol dengan regimen saat ini, maka terapi sebaiknya ditingkatkan. Pasien
yang tidak mampu mencapai kondisi yang terkontrol dan sudah menggunakan
terapi protokol keempat dapat digolongkan sebagai kasus difficult-to-treat
asma. Pada pasien ini, kesepakatan diperlukan untuk focus dalam mencapai
tingkatan kontrol terbaik yang mampu dirasakan dengan gangguan yang
minimal terhadap aktivitas dan gejala harian yang sedikit mungkin serta
minimalisir efek samping potensial dari terapi. Lakukan rujukan kepada
spesialisasi asma dapat juga sangat membantu.
Medikasi inhalasi merupakan pilihan utama karena dengan cara ini obat
langsung diantarkan menuju saluran napas tempat obat ini diperlukan yang
akan menghasilkan efek terapi yang potensial dengan efek samping sistemik
yang minimal. Medikasi inhalasi untuk asma tersedia dalam bentuk pressurized
metered-dose inhalers (pMDIs), breath-actuated MDIs, dry powder inhalers
(DPIs), dan nebulizers. Alat spacer memudahkan pasien menggunakan inhaler
dan mengurangi absorpsi sitemik serta efek samping glukokortikosteroid.
Gambar 1. Penatalaksanaan Asma Berdasarkan Tingkatan Kontrol pada Dewasa dan Anak-
Anak diatas Umur 5 Tahun
Monitor Untuk Mempertahankan Kontrol
Monitor terus menurus status pasien penting dilakukan untuk mempertahankan
kondisi asma terkontrol dan dapat memberikan terapi sesuai langkah dan dosis
terendah sehingga akan memberikan biaya minimal serta keamanan maksimal.
Pasien sebaiknya melakukan kontrol satu hingga 3 bulan setelah kunjungan
pertama dan setiap 3 bulan setelah itu. Setelah suatu periode eksaserbasi, follow
up sebaiknya dilakukan 2 minggu hingga 1 bulan.
Penyesuaian pengobatan:
Apabila asma tidak terkontrol pada regimen terapi saat ini maka lakukan
peningkatan (step up). Pada umumnya, perbaikan akan tampak selama 1
bulan kemudian. Namun tetap perlu untuk mereview teknik pengobatan
pasien, kepatuhan konsumsi obat serta ketaatan untuk menghindari faktor
resiko.
Apabila asma termasuk terkontrol sebagian, dapat dipikirkan untuk step up
terapi, bergantung pada apakah terdapat pilihan yang lebih efektif, aman dan
biaya dari setiap pilihan terapi serta kepuasan pasien dengan peralihan status
kontrol yang didapat.
Apabila status asma pasien sudah terkontrol setidaknya dalam 3 bulan
terakhir, maka dapat dilakukan penurunan (step down) secara perlahan dan
bertingkat dari terapi yang sudah didapat pasien. Tujuan utama melakukan
penurunan terapi adalah mendapatkan pengobatan yang paling minimal
untuk mempertahankan status kontrol.
Eksaserbasi Asma
Eksaserbasi dari asma (serangan asma) merupakan suatu episode peningkatan
secara progresif keluhan sesak napas, batuk, suara napas mengi atau berat pada
dada ataupun kombinasi dari keluhan tersebut. Adapun tujuan dari penanganan
terhadap asma eksaserbasi ini adalah untuk membebaskan obstruksi jalan napas
dan mencegah hipoksia dengan secepat mungkin dan merencana pencegahan
kekambuhan. Terapi primer untuk eksaserbasi asma ini adalah pemberian obat
inhalasi kerja cepat bronkodilator secara berulang dan pemberian
glukokortikoid secara sistemik dalam waktu yang singkat serta membaiki
suplemen oksigen setelah menilai derajat keparahan eksaserbasinya.
Serangan asma memerlukan penanganan segera sebagai berikut:
Inhalasi 2-agonist kerja cepat yang adekuat (dimulai dari 2 – 4 puff setiap
20 menit untuk 1 jam pertama, eksaserbasi ringan memerlukan 2 – 4 puff
setiap 3 – 4 jam, dan eksaserbasi sedang memerlukan 6 – 10 puff setiap 1 – 2
jam).
Glukokortikosteroid oral (0,5 – 1 mg prednisolon/kg/hari) diberikan diawal
terapi serangan sedang atau serangan berat untuk membantu mengembalikan
reaksi inflamasi dan mempercepat pemulihan.
Oksigen diberikan apabila pasien mengalami hipoksemia (saturasi O2<
95%).
Kombinasi terapi 2-agonist/ anticholinergic berhubungan dengan
penurunan resiko masuk rumah sakit dan peningkatan PEF dan FEV1.
Methylxantines tidak direkomendasikan jika digunakan sebagai tambahan
kombinasi terhadap 2-agonist dosis tinggi. Namun theophylline dapat
digunakan jika 2-agonist kerja cepat inhalasi tidak tersedia. Jika pasien
sudah biasa mengkonsumsi theophylline setiap harinya maka konsentrasi
serum harus diukur sebelum memberikan theophylline kerja cepat.
Pasien dengan eksaserbasi asma berat yang tidak berespon dengan
bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan Magnesium
Sulphate IV 2 gram yang telah terbukti mampu mengurangi keperluan
masuk rumah sakit.1,15
Monitor respon terapi
Monitoring akan selalu penting dilakukan walaupun status pasien sudah
terkontrol karena asma merupakan penyakit yang sangat bervariasi. Pengobatan
perlu dilakukan penyesuaian secara periodik terhadap respon jika ada
kehilangan status kontrol akibat perburukan gejala atau munculnya serangan
akut / eksaserbasi kembali. Evaluasi gejala sebanyak mungkin termasuk juga
evaluasi peak flow. Di rumah sakit juga perlu dinilai saturasi oksigen, penilaian
analisa gas darah pada pasien yang diperkirakan mengalami hipoventilasi,
kelelahan, distress berat atau peak flow prediksi 30 – 50%. Setelah eksaserbasi
kembali pulih, faktor yang menjadi presipitasi eksaserbasi sebaiknya
diidentifikasi dan strategi untuk implementasi menghindari alergen di waktu
mendatang serta untuk melakukan review ulang rencana medikasi pasien (Tabri,
2012).
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : NKS
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat dan Tanggal Lahir :Denpasar, 13 Oktober 1985
Umur : 31 tahun
Alamat : Jalan Sidakrya No.120, Denpasar
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pekerjaan : Sales Promotion Girl
Status : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 04 Maret 2016
Tanggal Kunjungan : 03 April 2016
3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah dirujuk oleh RS Surya Husada dan
diantar oleh keluarganya dengan keluhan utama sesak nafas. Sesak nafas
dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit ( 03 Maret 2016, siang hari).
Sesak nafas dikatakan seperti diikat tali pada dadanya dan sangat susah dalam
mengambil atau mengeluarkan nafas. Sesak dikatakan sangat mengganggu pasien
dalam melakukan aktivitas. Pasien hanya dapat berbicara kalimat sepotong-
sepotong/frase saat sesak. Pasien merasa tidak membaik dengan perubahan ke
posisi duduk dan juga tidak membaik dengan pemberian uap dan pengobatan.
Awal timbulnya sesak saat itu, pasien sedang dalam kondisi membersihkan
barang-barang dirumahnya, kemudian tiba-tiba pasien merasa batuk serta sesak.
Kemudian pasien mengambil obat semprot ventolin, tetapi pasien merasa gejala
semakin memberat. Sebelum membersihkan rumah pasien juga mengaku setelah
mandi dengan air dingin.
Pasien juga mengatakan mengalami batuk berdahak. Batuk berdahak muncul
pada hari 29 Februari 2016 pagi hari (3 hari SMRS). Dahak dikatakan dapat
dikeluarkan, berwarna putih. Batuk darah disangkal oleh pasien. Batuk hilang
timbul sepanjang hari dan tidak memburuk pada malam hari. Pasien mengaku
tidak ada keluhan suara serak, tenggorokan gatal, dan panas pada badan.
Keluhan berkeringat di malam hari, penurunan berat badan badan yang
drastik, nyeri tertusuk pada dada, bengkak pada kaki disangkal oleh pasien.Makan
dan minum tidak ada masalah menurut pasien.BAK pasien dikatakan normal dan
tidak ada keluhan. BAB normal dan tidak ditemukan adanya perubahan warna
dan konsistensi BAB.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien pertama kali mengalami keluhan seperti ini sudah sejak usia 18
tahun. (12 tahun yang lalu). Pasien mengaku baru dibawa ke RS atau klinik
sekitar 4 tahun yang lalu dan didiagnosa dengan asma oleh dokter yang merawat
ketika itu. Sebelumnya pasien hanya meminum obat ditoko atau mengikuti obat
yang dikonsumsi oleh kakaknya. Ia mengatakan pada tahun 2015 hampir setiap
bulan pasien di rawat atau datang ke klinik ataupun RS untuk dirawat ataupun di
lakukan penguapan. Saat pasien kambuh serangan asmanya pasien langsung
menyemprotkan obat semprot, kemudian gejala menjadi lebih baik. Jika gejala
semakin memberat pasien datang ke klinik atau RS untuk meminta dilakukan
penguapan.
Pasien terakhir kali mengalami sesak adalah sekitar 2 minggu sebelum
timbulnya sesak tanggal 18 Februari 2016. Dikatakan frekuensi munculnya
keluhan sesak kurang lebih 1-2 kali/minggu dan membaik dengan pemberian uap.
Pasien mengatakan memiliki riwayat alergi asap, debu, dan dingin. Jika pasien
terkena paparan debu, asap, dan dingin asma pasien sering sekali kambuh.
Riwayat penyakit hipertensi dan kencing manis serta penyakit jantung
disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengakui dalam keluarganya ada yang memiliki keluhan yang sama
seperti dia yaitu ibu dan kakaknya, serta 2 keponakannya juga menderita asma.
Selain itu adik pasien juga dikatakan menderita alergi terhadap beberapa makanan
dan obat-obatan. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penyakit jantung
dan ginjal dalam keluarga disangkaloleh pasien.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Saat ini pasien bekerja sebagai Sales Promotion Girl di salah satu
supermarket yang besar di Denpasar. Pekerjaan pasien cukup berat yaitu sekitar 8
jam dalam waktu sehari dan di bagi dalam 2 shift, pagi dan siang. Selama bekerja
pasien terpapar oleh dingin karena AC serta debu saat pasien harus mengambil
barang ataupun membersihkan barang di gudang. Saat bekerja pasien juga sering
memiliki masalah karena penyakitnya, dikarenakan atasan pasien tidak menyukai
pegawainya diam untuk sekedar beristirahat. Pasien menyagkal mengkonsumsi
rokok ataupun alkohol. Tetapi pasien mengatakan jika hidup dengan teman-teman
atau keluarga yang merokokok.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis(GCS : E4V5M6 )
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 105x/menit, reguler
RR : 32x/menit, ekspirasi memanjang
Suhu badan : 36,9oC
SaO2 : 97%
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 55 kg
BMI : 21,48 kg/m2
Status General
Mata : anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema palpebra
-/-
THT : sekret -/- , hiperemis pada faring (+), Tonsil T1/T1
Leher : JVP PR+0 cmH2O , Pembesaran limfe (-)
Thorak
Cor Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V MCL S
Perkusi : batas kiri: ICS V MCL S
batas kanan: 1 cm PSL D
batas atas : ICS II
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler murmur (-)
Po Inspeksi : gerak pernapasan simetris statis dan dinamis, retraksi (-)
suprasternal, barrel chest (-)
Palpasi : VF N/N, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Vesikular Rhonci Wheezing
Abdomen Inspeksi : distensi (-), denyut epigastrial (-)
+ +
+ +
+ +
- -
- -
- -
+ +
+ +
+ +
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Balottement : -/-
Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas: hangat , edema , sianosis
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel 1 Darah Lengkap( 3 Maret 2016, 15.21 WITA )
Parameter Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan
WBC 14,04 103/μL 4,10-11,0
- Ne 8,31 76 103/μL % 1.63-6,96 47,0-80,0
- Ly 1,31 12 103/μL % 1– 4 13 – 40
- Mo 0,6 5,5 103/μL % 0,1- 1,2 2 – 11
- Eo 0,65 6,1 103/μL % Tinggi 0,3-0,44 0 - 5
- Ba 0, 01 0,1 103/μL % 0,0-0,1 0,0 – 2,0
RBC 4,58 106/μL 4,06-5,20
HGB 15,6 g/dL 12,0-16,0
HCT 39,94 % 36,0-46,0
MCV 87,11 fL 81,1-96
MCH 28,6 pg 26-34,0
+ +
+ +
- -
- -
- -
- -
MCHC 32,93 g/dL 31,0-36,0
RDW 12,58 % 11,6-14,8
PLT 199,5 103/μL 140-440
MPV 6,4 fL 6,8-10,0
Tabel 2Analisis Gas Darah (3 Maret 2016, 10.21 WITA )
Parameter Result Unit Remarks Nilai Rujukan
pH 7,42 - 7,35 – 7,45
pCO2 31 mmHg Rendah 35,00 – 45,00
pO2 135 mmHg Tinggi 80,00 – 100,00
HCO3- 20,1 mmol/L 22,00 – 26,00
TCO2 21,1 mmol/L 24,00 – 30,00
BEecf -4,4 mmol/L -2 – 2
SO2c 98 % 95 – 100
Natrium 141,0 mmol/L 135,00 – 145,00
Kalium 3,4 mmol/L Rendah 3,50 – 4,80
Tabel 3 Kimia Klinik (3 Maret 2016, 10.21 WITA)
Parameter Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan
SGOT 17,4 U/L 11 - 27
SGPT 9,9 U/L 11,00 – 34,00
BUN 8 mg/dL 8,00 – 23,00
Creatinine 0,59 mg/dL 0,50 – 0,90
Random blood
glucose
163 mg/dL Tinggi 70,0 – 140,0
Pemeriksaan Foto Thoraks AP( 3 Maret 2016)
Keterangan
-Cor : besar dan bentuk normal
-Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul
-Sinus pleura kanan tajam, kiri tertutup perselubungan
-Diafragma: kanan normal kiri tertutup perselubungan
-Tulang-tulang dan jaringan lunak tidak tampak kelainan
Kesimpulan :Hiperereted Lung
3.5 DIAGNOSIS
Serangan Asma derajat Sedang
3.6 PENATALAKSANAAN
Rencana terapi :
Rawat inap
O2 10 lpm (NRM)
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
Diet lunak 1800 kkalori.
Methylprednisolone 2 x 62,5 mg Bolus IV
Aminophyllin 240 mg in IVFD D5% drip 20 tpm
Ambroxol 3 x 30 mg io
Planning Diagnostic:
Spirometri (PEF atau FEV1) (jika pasien sudah stabil)
Monitor:
Keluhan
Perbaikan Gejala
Saturasi O2
3.7 PROGNOSIS
Ad vitam: Dubius ad bonam
Ad functionam: Dubius ad bonam
Ad sanationam: Dubius
BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN
4.1 ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN
Kunjungan yang dilakukan pada tanggal 4 April 2016. Kami mendapat sambutan
yang baik dari pasien dan keluarga. Adapun tujuan diadakannya kunjungan
lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta
mengidentifikasi masalah yang ada pada pasien. Selain itu kunjungan lapangan
ini juga memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien serta
memberikan dorongan semangat kepada pasien dalam mengatasi penyakitnya.
Pasien dalam kasus ini telah mengalami serangan asma dan memang menderita
asma sejak lama.
4.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal
menghadapi penyakitnya :
1. Penyakit pasien merupakan penyakit kronis yang dapat kambuh pada saat-
saat tertentu sepanjang hidupnya. Dan jika kambuh atau terjadi serangan
asma pada pasien, hal ini mengakibatkan pasien sulit melakukan aktivitasnya
sehari-hari.
2. Secara umum pasien sudah mengerti tentang penyakit dan pengobatan
penyakitnya, pasien juga memahami karakter penyakit dan bagaimana pada
tahap awal menangani ketika terjadi serangan ringan. Namun untuk
penanganan lebih lanjut pasien masih belum memiliki alat-alat yang cukup
untuk mengatasi gejala yang diderita, terutama bila terjadi serangan yang
lebih berat.
3. Pasien tinggal di kamar yang terpisah dari rumah utama, jika kamar pasien
terlihat cukup bersih, pasien menggunakan sprei di atas tempat tidurnya,
tetapi kamar pasien sempit serta lembab, serta banyak debu di kamar pasien.
Ventilasi dan pencahayaan dikamar pasien juga sangat kurang. Kemudian
setiap hari pasien menggunakan kipas angin yang hanya seminggu sekali
dibersihkan dari debu yang menempel pada kipas angin pasien. Pasien juga
membakar sampah di halaman rumahnya, sehingga menjadi faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Secara keseluruhan jika rumah utama pasien
terlihat kurang bersih dan banyak debu serta barang-barang yang berserakan.
4. Faktor psikologikal dan pemicu stres pada pasien. Pasien adalah seorang
janda yang telah bercerai dari suaminya, pasien memiliki seorang anak,
dimana anak pasien diasuh oleh keluarga suami pasien. Pasien mengeluhkan
sering stress memikirkan anaknya yang kadang pasien rindukan. Selain itu
pasien juga bekerja menjadi SPG, di tempat kerjanya pasien merasa kurang
bisa dimengerti oleh atasannya karena penyakitnya, pasien terkadang disindir
ataupun diberikan peringatan jika pasien izin dari pekerjaannya karena sakit.
Hal-hal tersebut terkadang membuat pasien berpikir sangat keras dan
memicu kembali serangan asma pada pasien.
5. Pasien juga bekerja di tempat kerja yang hampir semua teman kerja laki-
lakinya adalah perokok aktif, sementara pasien mengaku jika menghisap asap
rokok pasien merasakan sesak nafas dan batuk-batuk.
6. Status gizi pasien termasuk dalam status gizi baik. Status gizi pasien harus
dipertahankan, tetapi pasien mengaku makannya tidak teratur. Pasien makan
sehari 2 kali, sekali makan di rumah dan sekali makan ditempat kerja. Pasien
juga gemar mengkonsumsi ikan asin, snack dan kue-kue kering yang
terkadang dapat membuat pasien radang tenggorokan serta batuk. Pasien
kurang dapat menjaga kondisi tubuhnya dengan baik karena pasien tidak
pernah berolahraga, serta pasien belum mempunyai tata cara hidup sehat.
4.3 ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN
a. Kebutuhan fisik-biomedis
1. Kecukupan Gizi
Makanan untuk pasien dan keluarga disiapkan oleh pasien dan ibu pasien,
keluarga pasien sangat mendukung untuk menjaga komposisi makanan
pasien. Makanan yang disiapkan oleh pasien adalah nasi dengan lauk-pauk
seperti tempe, tahu, daging dan sayuran. Tetapi pasien mengaku hanya makan
satu kali saja di rumah. Selebihnya pasien makan di tempat kerja pasien.
Biasanya pasien makan 2 kali sehari. Jadi nutrisi harian pasien bisa menjadi
kurang tercukupi dengan baik. Tetapi untuk sekarang ini status gizi pasien
masih baik. Pasien juga senang mengemil dan makan snack. Pasien juga
sering sekali mengkonsumsi ikan asin yang diawetkan walaupun pasien
merasakan gatal jika makan ikan tersebut, pasien tetap melakukannya.
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :
Berat badan ideal = 90% x (155cm-100) x 1 kg = 49,5 kg
Status gizi = (BB aktual : BB ideal) x 100% = (55:49,5) x 100% =
111% (berat badan lebih)
Jumlah kebutuhan kalori per hari =
Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 25 kalori (perempuan) =
49,5 x 25 = 1237,5 kalori
Kebutuhan aktivitas (sedang) = +30% = +371,25 kalori
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1237,5 + 371,25 = 1608,75
kalori dibulatkan menjadi 1608,75 kalori.
Distribusi makanan :
Karbohidrat 60% = 60% x 1608,75 kalori = 965,25 kalori dari
karbohidrat setara dengan 240,5 gram karbohidrat (965,25 kalori : 4
kalori/gram karbohidrat).
Protein 20% = 20% x 1608,75 kalori = 321,75 kalori dari protein
setara dengan 80,43 gram protein (321,75 kalori : 4 kalori/gram
protein).
Lemak 20% = 20% x 1608,75 kalori = 321,75 kalori dari lemak setara
dengan 35,75 gram lemak (321,75 kalori : 9 kalori/gram lemak).
Contoh Makanan Sesuai Kebutuhan
Waktu Jumlah Jenis Jenis
Makan Pagi ± 20% dari total
asupan harian
Karbohidrat: 192 kal - Nasi putih (1 gelas)
- Susu sapi (1 gelas)
- Telor ayam negri (1
(321,7 kalori) Lemak: 64,5 kal
Protein: 64,5 kal
butir)
Selingan Pagi ± 10% dari total
asupan harian
(161 kalori)
- Pepaya 2 potong
sedang
- Kopi+2 sendok gula
Makan Siang ± 30% dari total
asupan harian
(483 kalori)
Karbohidrat: 289 kal
Lemak: 97 kal
Protein: 97 kal
- Nasi putih (1,5
gelas)
- Pepes ayam (1
potong)
- Telur ayam negri (1
butir)
- Sup/ sayur (1
mangkuk)
Selingan
Siang
± 15% dari total
asupan harian
(241,2 kalori)
- - Singkong 2 potong
sedang
- Bubur kacang ijo 1
gelas
Makan
malam
± 25% dari total
asupan harian
(402 kalori)
Karbohidrat: 241,2kal
Lemak: 80.5 kal
Protein: 80.5 kal
- Nasi putih (1 gelas)
- Daging ayam (1
potong sedang)
- Tahu (1/2 potong
sedang)
- Cah kangkung/
sayur (1 mangkuk)
2. Kegiatan fisik
Latihan jasmani secara teratur merupakan salah satu upaya untuk
mengurangi gejala asma. Olahraga dipakai untuk mengobati asma, karena
olahraga yang bersifat aerobik dapat menyebabkan terbukanya saluran
nafas. Olahraga yang dianjurkan seperti berenang, jogging, yoga. Karena
sifat yang aerobik, maka jantung menjadi lebih kuat, sehingga pengambilan
oksigen juga lebih banyak. Sehingga sangat membantu pasien bernafas
dengan lebih baik.
Saat ini pasien merupakan sales promotion girl, sehari – hari pasien
kegiatan pasien adalah bekerja selama 8 jam, mulai dari mengangkat
barang-barang, menurunkan barang dari mobil box, berdiri dalam waktu
yang cukup lama, membersihkan barang-barang dagangannya. Serta di
rumah pasien memasak, membersihkan rumah, membanten, dan ikut
mengurus kedua keponakannya. Pekerjaan pasien tergolong pekerjaan
ringan-sedang, tetapi pasien mengaku tidak pernah olahraga sama sekali,
pasien merasa sudah terlalu capek dengan aktivitasnya dirumah dan di
tempat kerja.
3. Akses ke tempat pelayanan kesehatan
Jarak dari rumah pasien ke RSUP Sanglah ± 8 km, pasien tidak mengalami
kesulitan untuk mengunjungi RSUP Sanglah untuk kontrol dan mengobati
penyakitnya. Akses dari rumah pasien menuju Puskesmas maupun Rumah
Sakit Swasta relatif dekat yaitu sekitar 4 km. Sehingga jika terjadi serangan
segera mengunjungi ke tempat pelayanan kesehatan terdekat terlebih
dahulu.
4. Lingkungan
Pasien tinggal di sebuah rumah yang cukup bagus dengan 2 lantai di Jalan
Sidakarya No.120 Denpasar. Di rumah tersebut dihuni oleh 8 orang, yaitu
pasien, ibu pasien, kakak ke dua pasien dan istri serta anaknya, kakak ke 3
pasien dengan suaminya serta anaknya. Pasien tinggal di sebuah kamar
sendiri yang terpisah dengan rumah utama. Secara keseluruhan kamar
pasien terkesan rapi dan bersih. Sedangkan ventilasi dan sirkulasi didalam
kamar kurang memadai, pasien juga terkesan sempit dan lembab. Sumber
masuknya cahaya ke dalam kamar kurang sekali, jadi saat siang hari kamar
pasien cenderung gelap. Tetapi secara keseluruhan lingkungan dalam
rumah utama kurang rapi dan kebersihannya juga kurang. Ventilasi dan
sirkulasi udara di dalam rumah utama ada dan cukup memadai, namun
sumber masuknya cahaya matahari pagi dan sore ke dalam rumah tampak
masih kurang. Pasien tidur di kamar sendirian. Tempat tidur pasien tampak
bersih dan rapi. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk mandi,
mencuci baju, air minum, dan keperluan memasak. Tempat pembuangan
sampah diletakkan dihalaman rumahnya, dimana kalau sudah banyak,
pasien membakar sampah dihalaman rumahnya. Pasien tidak memelihara
hewan, karena beberapa anggota keluarga memiliki alergi terhadap bulu-
bulu hewan tertentu. Lingkungan halaman rumah tampak berdebu dan
kotor. Lingkungan rumah pasien tidak berada di jalur utama kendaraan.
b. Kebutuhan bio-psikosoial
1. Lingkungan biologis
Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien ada yang pernah
mengeluh keluhan yang sama seperti pasien yaitu ibu pasien, kakak ke
dua pasien, dan keponakan pasien dari kakak kedua pasien.
Faktor psikososial
Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian dan
dukungan dari keluarga. Pasien membutuhkan dukungan dari keluarga
yang tinggal dengan pasien termasuk ibu dan kakak-kakak pasien.
Keluarga agar senantiasa mengawasi pola kegiatan dan makan pasien,
serta ikut mengawasi segala faktor pemicu yang berhubungan dengan
penyakit asma pasien. Penting juga dari pihak keluarga ikut membantu
permasalahan yang dihadapi pasien sehari-hari sehingga turut
meringankan beban pasien. Keluarga juga dibutuhkan sebagai teman
untuk mencurahkan segala beban pikiran yang dirasakan pasien.
4.4 SARAN DAN PEMECAHAN MASALAH
Beberapa masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan
penyelesaian masalah yang yakni:
1. Edukasi pasien tentang penyakitnya
Pasien dijelaskan kembali lebih lengkap mengenai penyakit asma dan
bagaimana faktor resiko, perkiraan perjalanan penyakitnya, pencegahan dan
pengobatannya lebih lanjut. Pasien juga disarankan untuk rutin kontrol di RS
atau di dokter spesialis sampai asma yang diderita terkontrol sepenuhnya.
2. Memberikan KIE agar kegiatan pasien diatur dengan baik dan pasien dapat
menghindari faktor-faktor pencetus kambuhnya penyakit yang diderita pasien
seperti memakai jaket untuk menghindari udara dingin, memakai masker jika
bepergian menggunakan sepeda motor. Pasien juga diberikan edukasi agar
selalu menyediakan dan membawa obat-obatan yang diperlukan untuk
mengatasi jika terjadi serangan.
3. Memberikan edukasi mengenai menjaga lingkungan rumah dan rumah,
terutama mengenai debu, polutan dan alergen yang potensial timbul. Pasien
agar rutin membersihkan rumahnya dengan tidak menggunakan sapu atau
kemucing, tetapi dapat menggunakan lap basah, mengganti sprei secara
berkala, meletakkan pakaian di lemari pakaian, serta mengatur sirkulasi
udara serta cahaya yang cukup di dalam rumah. Pasien diedukasi untuk
membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir terdekat, dan tidak
membakar sampah di halaman rumah karena asap bakaran sampah dapat
memicu terjadinya asma. Pasien juga diberikan edukasi mengenai pemilihan
makanan, sebaiknya memasak makanannya sendiri dan menghindari
makanan berupa snack ataupun kue kering.
4. Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjaga pola makannya, dan
menyarankan untuk makan 3 kali sehari. Selain itu juga rutin berolahraga
aerobik secara teratur yang dapat membuat jantung menjadi lebih kuat,
sehingga pengambilan oksigen juga lebih banyak. Sehingga sangat
membantu pasien bernafas dengan lebih baik.
5. Memberikan edukasi terhadapa manajemen stres dan emosional, pasien
merupakan pribadi yang mudah sekali stres. Jadi diberikan edukasi untuk
tidak memikirkan masalah-masalahnya terlalu berat. Memberikan edukasi
jika stres juga dapat menjadi pemicu munculnya serangan asma.
Saran
1. Pasien sebaiknya membersihkan rumah setiap hari, saat membersihkan barang
ditempat kerja ataupun dirumah disarankan menggunakan lap basah berisikan
air agar debu tidak berterbangan, termasuk membersihakan kamar dan tempat
tidur, pasien sebaiknya menjemur kasur secara berkala dan memberikan sprei/
kain yang bersih diatas tempat tidur dan mencucinya secara berkala. Pasien
sebaiknya membuka jendela dan pintu saat siang hari sehingga sirkulasi
kamar dan rumah menjadi baik. Paisen juga sebaiknya membersihkan kipas
anginnya lebih sering dan menggunakan lap basah, selain itu jika kipas angin
juga bisa di ganti dengan AC tetapi dengan suhu yang relatif rendah. Pasien
juga sebaiknya membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir terdekat,
dan tidak membakar sampah di halaman rumah. Jika tidak ada TPA,
sebaiknya pasien membakar sampah pada lokasi yang agak jauh dari rumah.
2. Keluarga sebaiknya mendukung pengobatan pasien secara psikis, fisik, dan
material sehingga meringankan beban pikiran dan tenaga pasien. Terutama
mengingatkan untuk menghindari faktor-faktor pencetus penyakitnya.
3. Pasien memperbaiki pola makanannya agar pasien makan 3 kali sehari dan
mengurangi kesukaan pasien terhadap ikan asin yang kadang menyebabkan
gatal serta snack dan kue kering yang membuat pasien menjadi sakit
tenggorokan.
4. Pasien disarankan untuk sesekali bertemu dengan anaknya jika pasien
merindukan anaknya. Kemudian pasien disarankan untuk memiliki teman
dekat selain keluarga yang dapat mendengarkan keluh kesah pasien. Sehingga
pasien tidak terlalu stres dengan masalah pekerjaan dan pribadinya. Pasien
juga butuh jalan-jalan atau berwisata agar pasien merasakan rilex dan nyaman
jika pasien sudah mulai lelah bekerja. Pasien disarankan juga untuk tidak
terlalu mendengarkan sindiran dan ucapaan atasan serta teman-temannya
mengenai penyakit pasien.
5. Pasien sebaiknya mulai mengatur waktu untuk berolahraga serta ikut menjaga
dirinya agar terhindar dari paparan faktor pencetus penyakitnya seperti debu,
dingin, dan asap. Hal-hal tersebut terutama yang sudah diketahui pasien dan
pernah menimbulkan kekambuhan serangan terhadap diri pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Akinbami LJ, Moorman JE, Liu X. 2011. Asthma Prevalence, Health
Care Use, and Mortality: United States, 2005–2009. National Health Statistics
Reports. 32. 1-15.
Bateman ED, Boulet LP, Cruz AA, Gerald MF, Haahtela T, Levy ML,
O’byrne P, Ohta K, Paggaiaro P, Pederson SE, Soto Quiroz M, Wong GW, Barnes N,
Barnes PJ, Becker A, Drazen JM, Jongste JC, Lemanske RF, Pederson SE, Pizichini
E, Reddel HK, Sulivan SD, Wenzel SE. Global Strategy For Asthma Management
and Prevention: Updated 2011. Global Initiative For Asthma (GINA). 2011. 1-124.
Global Initiative for Asthma. 2014. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. GINA Appendix Chapter 4. Test for diagnosis and
monitoring of asthma. Pp : 23-7.
National Heart Lung and Blood Institute. 2007. Guideline for Diagnosis
and Management Asthma. USA : NHLBI Departement of Health and Human
Services.
Patterson R, Graenberger PA.1992. Problem Cases in Asthma and
Problems in Asthma Management. Chest. 101: 430-431.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : PDPI
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Asma
Bronkiale. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Ratnawati. 2011. Editorial Asma di Indonesia. J Respir Indo. 31(4): 172-
175.
Tabri NA, Supriyadi M, Yunus F, Wiyono WH. The Efficacy of
Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone Compare with Budesonide
Inhalation to Control Test as Evaluation Tool. J Respir Indo. 20120. 30 (3):152-158.
Widodo R, Djajalaksana S. 2012. Patofisiologi dan marker Airway
Remodeling pada Asma Bronkial. J Respir Indo. 32 (2): 110-119.