bab 1 2

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB 1 PENDAHULUAN Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi. Sinus – sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. 1 Sinus paranasalis (maksilaris, frontalis, etmoidalis, dan sfenoid) adalah rongga di sekitar hidung yang selalu terisi udara dan berhubungan dengan saluran hidung melalui ostium yang kecil. Sinus paranasalis mempunyai fungsi yang penting yaitu untuk melembabkan, menyaring, dan mengatur suhu udara yang akan masuk ke paru-paru. Sinus yang dalam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis. 2, 3,4,5 Kondisi inflamasi dari sinus paranasalis mempunyai dampak sosial ekonomi yang signifikan setiap tahunnya, berhubungan dengan biaya kesehatan dan berkurangnya jam kerja akibat sakit. Sinusitis mewakili salah satu dari penyakit yang paling sering yang membutuhkan pengobatan dengan antibiotika pada populasi dewasa. Tantangan bagi para klinisi dalam mengevaluasi pasien 2

Upload: dayoe-thegunners

Post on 15-Nov-2015

214 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

gcvhjgcgcgjcjgcgjcjgcjgchjcjgcgjcjgcgjcjcgjcgjcjgcjcgjc

TRANSCRIPT

BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1

PENDAHULUAN

Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis.1Sinus paranasalis (maksilaris, frontalis, etmoidalis, dan sfenoid) adalah rongga di sekitar hidung yang selalu terisi udara dan berhubungan dengan saluran hidung melalui ostium yang kecil. Sinus paranasalis mempunyai fungsi yang penting yaitu untuk melembabkan, menyaring, dan mengatur suhu udara yang akan masuk ke paru-paru.

Sinus yang dalam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.2, 3,4,5Kondisi inflamasi dari sinus paranasalis mempunyai dampak sosial ekonomi yang signifikan setiap tahunnya, berhubungan dengan biaya kesehatan dan berkurangnya jam kerja akibat sakit. Sinusitis mewakili salah satu dari penyakit yang paling sering yang membutuhkan pengobatan dengan antibiotika pada populasi dewasa. Tantangan bagi para klinisi dalam mengevaluasi pasien dengan kemungkinan sinusitis adalah untuk mencoba membedakan infeksi virus saluran nafas atas atau rinitis alergika, yang tidak membutuhkan pengobatan dengan antibiotika, dengan sinusitis kronis atau akut yang memberikan respon dengan pengobatan antibiotika.

Kebanyakan infeksi bakteri terjadi pada keadaan dimana terjadi gangguan fungsi, obstruksi anatomi, inflamasi, drainase yang terganggu, dan perkembangan bakteri yang berlebihan. Kemudian sinus akan dipenuhi dengan cairan purulen. Hal tersebut terjadi karena proses inflamasi menyebabkan peningkatan sekresi dan edema pada mukosa sinonasal. Dengan progresifnya komponen inflamasi, sekret tersebut tertahan di dalam sinus paranasal yang dapat terjadi karena gangguan fungsi silia dan obstruksi dari ostium sinus yang relatif kecil. Posisi ostium yang melawan gravitasi secara tidak langsung juga menyebabkan buruknya drainase. Obstruksi tersebut menyebabkan pengurangan tekanan parsial oksigen di dalam sinus dan menyebabkan kondisi anaerobik di dalam sinus. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan kondisi yang ideal dalam pertumbuhan bakteri patogen, dan menyebabkan sinusitis. Rinitis alergi dan infeksi virus pada saluran nafas atas yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya sinusitis. Sinus maksilaris adalah sinus yang paling sering terkena infeksi.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sinus paranasalis adalah rongga udara berlapis mukosa pada tulang kranium, yang berhubungan dengan rongga hidung dan meliputi sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus maksilaris, dan sinus sfenoidalis.9 Sedangkan sinusitis adalah kondisi inflamatorik yang melibatkan satu atau lebih dari keempat rongga berpasangan yang mengelilingi kavum nasi (sinus paranasalis).3 Menurut anatomi yang terkena, sinusitis daibagi atas sinusitis frontalis, sinusitis etmoidalis, sinusitis maksilaris, dan sinusitis sfenoidalis.4 Jadi, sinusitis maksilaris adalah suatu kondisi inflamatorik yang melibatkan sinus maksilaris.

2.2Anatomi Sinus ParanasalisManusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis (Gambar 1). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi, yang mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.1

Gambar 1. Sinus Paranasalis.

Sinus maksilaris merupakan satu satunya sinus yang rutin ditemukan pada saat lahir.1 Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior.82.3Epidemiologi

Prevalensi Sinusitis tinggi di masyarakat. Di bagian THT Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, pada tahun 1999 didapatkan data sekitar 25% anak-anak dengan ISPA menderita sinusitis maksilaris akut. Sedang pada Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok sub bagian Rinologi didapatkan data dari sekitar 496 penderita rawat jalan, 249 orang terkena sinusitis (50%). Di Amerika Serikat diperkirakan 0,5% dari infeksi saluran nafas atas karena virus dapat menyebabkan sinusitis akut. Sinusitis kronis mengenai hampir 31 juta rakyat Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis.Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan.3,7 Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik.2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.7Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggiterkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis.6 Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar.82.4Etiologi

Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus. Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif.3

Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur.3,13 Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza.3 Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.

Penyebab tersering dari Sinusitis Maksilaris adalah infeksi saluran nafas atas karena virus, seperti rinitis akut, campak, dan batuk rejan. Hanya 10% diakibatkan oleh radang pada gigi molar atau premolar. Penyebab lain yang jarang adalah karena menyelam dan fraktur tulang maksila dan tulang frontal. Sinusitis yang terjadi karena menyelam disebabkan menyelam dengan kaki yang masuk air terlebih dahulu tanpa menjepit hidung.2.5Patogenesis

Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril.2,3 Sinusitis dapat terjadi bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen.2,3 Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.2,3,4,5

Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenze telah disepakati sebagai patogen primer pada sinusitis bakterial, selain itu M. catarrhalis juga didapatkan pada sinusitis maksilaris (40% pada anak-anak). Di RS Sanglah, bakteri penyebab sinusitis maksilaris terbanyak adalah Streptococcus dan Staphylococcus.

Faktor-faktor predisposisi sinusitis maksilaris adalah obstruksi mekanik, rinitis kronik, serta rinitis alergi, polusi, udara dingin dan kering, riwayat trauma, menyelam, renang, naik pesawat, riwayat infeksi pada gigi, infeksi pada faring. Rinitis adalah faktor predisposisi yang paling penting dalam terbentuknya sinusitis.

Pada saat terjadi infeksi, akan terjadi reaksi radang yang salah satunya berupa edema, edema tersebut terjadi di daerah kompleks ostiomeatal yang sempit. Mukosa yang saling berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus menjadi kental. 2.6Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang paling sering ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal purulen, kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga, demam, nyeri kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau berkurangnya penciuman. Gejala seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi gejala menjadi penting dalam diagnosis. Pasien dengan gejala diatas selama lebih dari 7 hari mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis.3, Kriteria diagnosis sinusitis dirangkum dalam tabel 1. Tabel 1.Kriteria diagnosis sinusitis

MayorMinor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah

Sekret nasal purulen

Demam

Kongesti nasal

Obstruksi nasal

Hiposmia atau anosmiaSakit kepala

Batuk

Rasa lelah

Halitosis

Nyeri gigi

Nyeri atau rasa tertekan pada telinga

Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

Sumber: Boies ET. (2001)2.7Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:1.Pemeriksaan transluminasi.

Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram atau gelap. Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah, karena akan nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit.2. Pencitraan

Dengan foto kepala posisi Waters, PA, dan lateral, akan terlihat perselubungan atau penebalan mukosa atau air-fluid level pada sinus yang sakit. CT Scan adalah pemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus sinusitis.33.Kultur

Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme penyebab, maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari meatus medius, meatus superior, atau aspirasi sinus.32.8. Diagnosis

Subjektif

1. Rhinorrhea yang kental dan berwarna agak hijau dan kadang berbau 7 hari hingga 14 hari

2. Sakit pada wajah

3. Hidung buntu

Gejala yang disebutkan di atas ini adalah gejala klasik dari sinusitis akut, gejala klasik tersebut sering juga disertai dengan gejala lain seperti yang tersebut di bawah ini :

4. Sakit pada pipi dan dapat juga pada kepala

5. Demam dan rasa lesu

6. Batuk

7. Nyeri pada telinga

8. Penurunan atau gangguan penciuman (decreased or altered sense of smell)

Bila telah menjadi kronik dapat juga terdapat komplikasi di paru-paru berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronkiale sehingga terjadi penyakit sinobronkitis.

ObjektifPemeriksaan fisik

1. Tampak pembengkakan di daerah pipi dan kelopak mata bawah sisi yang terkena

2. Pada rinoskopi anterior, mukosa konka tampak hiperemi dan edema, selain itu tampak mukopus atau nanah di meatus media

3. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring

Pemeriksaan penunjang

1. Dengan pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan terlihat suram atau gelap. Akan lebih bermakna hasilnya bila hanya salah satu sisi sinus saja yang sakit, sehingga terlihat sekali perbedaannya antara yang suram atau sakit dengan yang normal.

2. Pemeriksaan radiologi, yaitu foto Waters, PA, dan lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau air fluid level pada sinus yang sakit. CT Scan merupakan tes yang paling sensitif dalam mengungkapkan kelainan anatomis selain melihat adanya cairan dalam sinus, tetapi karena mahal, CT Scan tidak dipakai sebagai skrining dalam mendiagnosis sinusitis.

3. Pemeriksaan kultur, sampel diambil dari sekret dari meatus medius atau meatus superior. Pasien harus dirujuk ke otolaringologis untuk aspirasi maksila dan kultur, bila tidak sembuh dengan pengobatan antibiotika yang sesuai dan adekuat.2.8Diagnosis Banding

Diagnosos banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.2.9Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan dari sinusitis adalah mengembalikan fungsi silia mukosa, memperbaiki drainase, eradikasi bakteri, dan menghilangkan keluhan nyeri.

Seringkali sinusitis, tidak perlu dirujuk ke ahli THT, tetapi bila gagal dengan pengobatan medikamentosa, maka harus dirujuk ke ahli THT untuk penanganan lebih lanjut seperti terapi bedah, irigasi, dan lain lain.

Penatalaksanaan sinusitis dibagi atas:

1.Medikamentosa3Pengobatan medikamentosa sinusitis dibagi atas pengobatan pada orang dewasa dan pada anak anak. a.Orang dewasa

i.Terapi awal:

-Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau

ii.Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir

-Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau

-Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau

-Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.

iii.Pasien dengan gagal pengobatan

-Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau

-Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300 mg per oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau

-Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.

b. Anak anak

i.Terapi awal: Pengobatan oral selama 10 hari dengan:

-Amoxicillin 45-90 mg/kg/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis sehari, atau

-Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau

-Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.ii.Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir: Pengobatan oral selama 10 hari dengan:-Amoxicillin 90 mg/kg/hari (maksimal 2 gram) plus Clavulanate 6,4 mg/kg/hari, keduanya terbagi dalam dua dosis sehari, atau

-Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari, atau

-Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.2.Diatermi4Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.

3.Tindakan pembedahan8,Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis maksilaris, yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi maksilaris, prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini, antrostomi unilateral dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan standar sinusitis maksilaris kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan antrostomi inferior antrostomy jarang dilakukan.2.3Rhinitis Alergi

2.3.1Definisi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinorea, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE.

2.3.2Etiologi

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

1.Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.

2.Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.

3.Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

4.Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

2.3.3Patofisiologi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.

Gambar 2.2 Patogenesis Rhinitis Alergi

2.3.4Klasifikasi

Berdasarkan sifat berlangsungnya rhinitis alergi dibagi menjadi :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.

Berdasarkan WHO ARIA, rhinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi :1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2.3.5Gejala Klinis

Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari (bersin lebih dari 5 kali), keluar ingus (rhinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).

Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata atau palatum yang gatal berair, rhinore, hidung gatal, hidung tersumbat. Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.

2.3.6Diagnosis

Diagnosis Rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

Anmnesia pada pasien rhinitis alergi sangat penting, karena sering kali serangan tidak dihadapkan. Gejala rhinitis alergi khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang (lebih dari 5 kali), keluar ingus (rhinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).

Riwayat penyakit alergi pasien dan keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertofi.

Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.

b. In vivoAllergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).

2.3.7Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari rhinitis alergi adalah :

1. Rhinitis Akut

Ada keluhan demam, mukosa hiperemis, sekret mukopurulen.

2. Rhinitis Medikamentosa

Karena penggunaan tetes hidung dalam jangka lama, seperti : reserpine, clonidine, chlorpomazine, dan lain-lain.

3. Rhinitis Vasomotor

2.3.8Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab dan eliminasi.

2. Medikamentosa

a. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal.

Antihistamin yang dapat dipakai adalah Chlortrimeton (CTM) 3x2-4 mg. Untuk yang non-sedatif dapat memakai loratadine 1x10 mg, cetrizine 1x10 mg, atau flexofonadine 2x60 mg.

b. Kortikosteroid

Obat ini bertindak terhadap reaksi inflamasi sehingga dapat menurukan gejala rhinitis alergi secara signifikan. Kortikosteroid yang dapat dipakai antara lain dexamethasone, betamethason.

c. Dekongestan

Dekongestan bekerja pada reseptor -adrenergik di hidung, sehingga dapat menimbulkan efek vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dapat dikurangi. Pemberian dekongestan lokal yang dapat dipakai adalah tetes hidung, larutan ephedrine 0,5-1% atau oxymethazoline 0,025-0,05%, bila diperlukan. Pemberian dekongestan oral dapat menggunakan 2-3x30-60 mg sehari. Dapat dikombinasikan dengan antihistamin.

3. Non-Medikamentosa

a.Operatif

Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat acid 100%.

b.ImunoterapiCara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

c.Edukasi

Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang merupakan allergen.

2.3.9Komplikasi

Komplikasi tersering rhinitis alergi adalah :

1. Polip hidung.

2. Otitis media3. Sinusitis paranasal4. Gangguan fungsi tuba eustachius2.3.10Prognosis

Kebanyakan gejala rhintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.

16