bab 1 pendahuluan 1. 1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Bentanglahan karst memiliki daya tarik tersendiri ditinjau dari berbagai
disiplin ilmu, karena memiliki karakter yang unik baik secara geomorfologi,
geologi, maupun hidrologi. Distribusi bentanglahan karst di dunia menunjukan
adanya variasi spasial kenampakan khas dari bentanglahan karst (Kusumayudha,
2005). Karst juga didefinisikan sebagai bentanglahan yang tercipta karena adanya
reaksi dari kontak antara air dengan material karbonat, perubahan kondisi air selaku
agen pelarut menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap bentuklahan karst
yang terbentuk (Van Beynen, 2011).
Sistem hidrologi karst memiliki karakter tersendiri dengan adanya dominasi
proses pembentukan non-permukaan atau dengan kata lainhasil proses pelarutan
mengakibatkan minimnya aliran permukaan dan lebih berkembangnya sistem aliran
bawah permukaandengan sifat tidak seragam (heterogen) dan anisotropis yang
kemudian diklasifikasikan oleh White (1988) menjadi sistem aliran rembesan
(diffuse), sistem aliran rekahan (fissure), dan sistem aliran lorong (conduit). Ford
dan Williams (1989) turut menjabarkan bahwa bentanglahan karst tersusun oleh
kombinasi batuan yang mudah larut dan perkembangan porositas sekunder yang
tinggi, sehingga sistem hidrologi karst memiliki keistimewaan berupa dominasi
proses pembentukan aliran bawah permukaan yang merupakan produk dari proses
pelarutan yang diilustrasikan dalam Gambar 1.1.
Gambar 1.1.Ilustrasi sistem hidrologi karst (Goldscheider, 2010)
2
Lebih jauh mengenai proses pembentukan bentuklahan karst atau juga
dikenal juga dengan proses karstifikasi yang berupa interaksi antara airtanah dan
mineral karbonat penyusun batuan dengan proses utama berupa pelarutan
(dissolution) memberikan pengaruh terhadap komposisi kimia airtanah di kawasan
karst (Appelo and Postma, 1994; Bogli, 1980). Jankowski (2002) kemudian
menambahkan bahwa terdapat syarat tertentu untuk dapat berlangsungnya proses
pelarutan, yaitu sifat air yang melalui sistem karst harus dalam fase tidak jenuh
(unsaturated) terhadap material karbonat dan air tersebut harus mampu
mengangkut produk hasil pelarutan ke tempat lain. Mekanisme kimiawi yang
berpengaruh terhadap dinamika proses karstifikasi adalah perubahan suhu yang
memiliki hubungan dengan tekanan gas karbondioksida (CO2), proses percampuran
(mixing) dengan air yang memiliki agresivitas berbeda. Sebagai contoh Bogli
(1980) memberikan gambaran suatu kondisi ketika terjadi banjir atau hujan yang
memiliki peran sebagai input air dengan kondisi tidak jenuh akan mempengaruhi
kondisi aliran berupa penurunan derajat keasaman air (pH) sehingga mempercepat
proses pelarutan. Hasil dari proses pelarutan yang berupa akuifer dengan perbedaan
sifat aliran dan kondisi hidrogeokimia pelarutan dalam rentang waktu tertentu
kemudian dipilih sebagai dasar pendekatan dalam karakterisasi akuifer karst yang
dilakukan dalam penelitian ini.
Bentanglahan karst Indonesia dapat dijumpai di daerah Gombong Jawa
Tengah, Kawasan Karst Maros Sulawesi Selatan,dan Kawasan Karst Gunung Sewu
di sebagian kecil Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kawasan Karst Gunung Sewu
menjadi salah satu yang paling dikenal karena kenampakan permukaan yang khas
berupa bukit-bukit berbentuk membulat hasil sisa proses karstifikasi dan
keberadaan mataair yang tersebar, dan terutama keberadaan sistem hidrologi bawah
permukaan berupa gua dan sungai bawah tanah yang berkembang dan saling
terhubung dengan ponor yang tersebar di seluruh luasan Kawasan Karst Gunung
Sewu. Secara administratif Kawasan Karst Gunung Sewu termasuk ke dalam tiga
provinsi, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan
3
Provinsi Jawa Timur. Kawasan ini membentang dari barat ke timur yakni
dari Daerah Parangtritis hingga sekitaran Teluk Pacitan, seperti yang nampak pada
Gambar 1.2.
Gambar 1. 2.Cakupan Kawasan Karst Gunung Sewu
(Kusumayudha, 2004)
Secara praktis penentuan Mataair Ngeleng sebagai objek dalam
karakterisasi akuifer karst dilakukan dengan alasan bahwa mataair adalah keluaran
atau luahan air dari suatu sistem akuifer yang terbentuk akibat adanya gerakan
airtanah pada celah-celah batuan (White, 1988), sehingga air yang keluar dari suatu
mataair dianggap sesuai untuk merepresentasikan karakter akuifer karst. Ditinjau
dari sisi manfaat, Mataair Ngeleng, Kawasan Karst Gunung Sewu atau secara
administratif terletak di Kecamatan Purwosari memiliki fungsi sebagai satu-satunya
sumber utama air yang memiliki kelebihan berupa kualitas air yang relatif baik,
terdapat di permukaan sehingga cenderung lebih mudah untuk didistribusikan, dan
mengalir sepanjang tahun. Bentuk pemanfaatan Mataair Ngeleng adalah untuk
pemenuhan kebutuhan air domestik dan irigasi andalan bagi empat dusunyaitu
Dusun Petoyan, Dusun Susukan, Dusun Nglegok, dan Dusun Tompak. Dibalik
manfaat Mataair Ngeleng, masih sangat sedikit penelitian mengenai karakter
mataair, sehingga judul penelitian ini dianggap penting untuk dilaksanakan oleh
penyusun.
4
1. 2. Perumusan Masalah
Mengingat kondisi hidrologi bawah permukaan yang berkembang pada
bentanglahan karst memiliki sifat heterogen dan anisotropis, karakterisasi akuifer
karst harus dilakukan dengan pendekatan ilmiah terhadap hasil proses yang berupa
sifat aliran dan kondisi hidrogeokimia. Berdasarkan pendekatan terhadap dua aspek
tersebut, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana variasi temporal sifat aliran akuifer karst Mataair Ngeleng?
2. Bagaimanakah variasi temporal hidrogeokimia Mataair Ngeleng?
3. Bagaimanakah hubungan antara variasi temporal sifat aliran dan hidrogeokimia
akuifer karst Mataair Ngeleng?
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian maka diperoleh
dasar pemikiran bahwa pendekatan ilmiah terhadap kondisi hidrogeokimia yang
dikombinasikan dengan kajian sifat aliran Mataair Ngeleng dalam rentang waktu
tertentu adalah cara yang sesuai untuk karakterisasi akuifer karst, sehingga
penyusun memilih judul penelitian skripsi: “Karakterisasi Akuifer Karst
Mataair Ngeleng dengan Pendekatan Variasi Temporal Sifat Aliran dan
Hidrogeokimia”
1. 3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Mengetahui variasi temporal sifat aliran akuifer karst Mataair Ngeleng;
2. Mengkaji variasi temporal hidrogeokimia akuifer karst Mataair Ngeleng;
3. Mempelajari hubungan antara sifat aliran dengan hidrogeokimia Mataair
Ngeleng.
5
1. 4. Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan variasi temporal
sifat aliran dan hidrogeokimia dalam menentukan karakteristik akuifer karst.
Manfaat langsung penelitian ini terhadap masyarakat adalah memberikan informasi
mengenai potensi akuifer karst baik pada musim penghujan maupun pada musim
kemarau, serta gambaran mengenai kualitas air secara umum beradarkan
kandungan kimia yang dimiliki. Manfaat lain yang lebih luas adalah penelitian ini
pada waktu mendatang dapat berfungsi sebagai referensi untuk manajemen
Ekosistem Karst Gunung Sewu terutama dalam aspek hidrologi mencakup
kebutuhan konservasi, eksplorasi, dan pengelolaan sumberdaya air.
Terkait keperluan pengembangan riset teknologi dan ilmu pengetahuan,
penelitian ini diharapkan juga berperan sebagai acuan dalam pembelajaran ilmu
bumi terutama di bidang geografi fisik dan lingkungan terlebih dalam lingkup
kajian kawasan karst dan juga mampu menjadi contoh untuk menarik antusiasme
para peneliti muda Indonesia yang memiliki potensi dan ketertarikan agar lebih
menyadari keistimewaan bentanglahan karst yang luas untuk dikaji lebih jauh.
1. 5. Tinjauan Pustaka
1. 5. 1. Karst
Ford dan Williams (1989) menjelaskan istilah karst sebagai kenampakan
alami dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari adanya proses
pelarutan material karbonat dan keberadaan porositas sekunder yang lebih dominan
berkembang. Karst merupakan suatu kawasan bentanglahan dengan fenomena alam
yang terjadi akibat perpecahan batugamping, dolomit, gipsum, atau batugaram oleh
hujan, es yang mencair, aliran sungai, ataupun aliran bawah tanah yang
menghasilkan sistem retakan, celah, lubang gua dan saluran-saluran air.
Kawasan karst umumnya dikenal dengan kenampakan yang khas seperti
lembah buta (sinkhole), lembah kering, ornamen gua, mataair, serta dapat dijumpai
watertable yang datar dan relatif dalam (Erdelyi and Galfi, 1988). White (1988)
mencirikan karst dengan kenampakan sebagai berikut:
6
1. Adanya cekungan tertutup dengan berbagi ukuran dan bentuk,
2. Drainase permukaan dan sungai permukaan sangat langka,
3. Terdapatnya gua dan sistem drainase bawah permukaan.
Perkembangan karst sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain,
hal tersebut disebabkan oleh faktor pengontrol perkembangan karst yaitu batuan,
struktur geologi, vegetasi dan iklim. Secara umum, kenampakan eksokarst
berdasarkan relief permukaan secara umum dibedakan menjadi bentuklahan dengan
relief negatif atau cekungan dan bentuklahan dengan relief positif atau menonjol di
atas permukaan bumi (Kusumayudha, 2005).
Proses pelarutan material karbonat pada bentanglahan karst terjadi di tempat
yang mengalami konsentrasi pelarutanyang berasosiasidengan konsentrasi struktur
kekar, konsentrasi mineral mudah larut, maupun tempat dengan perpotongan
struktur geologi berupa kekar dan bidang perlapisan. Perkembangan dari bentukan
karst dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni ketinggian tempat, intensitas hujan,
keberadaan batuan mudah larut (soluable material), dan kerapatan vegetasi.
Perkembangan karst di permukaan dapat diketahui dari fenomena kenampakan fisik
singkapan batugamping dari batugamping dan batugamping kalice (Kusumayudha,
2005).
1. 5.2. Proses Karstifikasi
Karstifikasi adalah proses yang menyebabkan berkembangnya bentuklahan
karst. Proses karstifikasi pada batugamping diawali oleh larutnya karbon dioksida
(CO2) di dalam air yang kemudian membentuk H2CO3. Ada dua hal pokok dalam
proses pelarutan, yaitu agen pelarut dan materi yang terlarut. Air memiliki peran
penting sebagai agen pelarut utama, sedangkan materi terlarut adalah batuan dari
jenis batuan karbonat seperti gipsum maupun batugamping.
Proses karstifikasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor pendorong dan
faktor pengontrol. Faktor pengontrol menentukan keberlangsungan proses
karstifikasi si suatu tempat, sedangkan faktor pendorong menentukan kecepatan dan
tingkat kesempurnaan proses karstifikasi (Haryono dan Adji, 2004). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa faktor pengontrol tersebut meliputi keberadaan batuan yang
7
mudah larut, kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan, terdapat curah hujan
yang cukup (lebih dari 2500 mm/tahun), topografi yang tinggi sehingga terdapat
batuan yang tersingkap di ketinggian yang memungkinkan perkembangan sirkulasi
air secara vertikal. Berikut Tabel 1. 1. yang berisikan faktor-faktor dalam proses
karstifikasi.
Tabel 1. 1. Faktor dalam Proses Karstifikasi
Faktor Pengontrol Faktor Pendorong
Keberadaan batuan mudah larut disertai rekahan Temperatur
Curah hujan cukup (>2500 mm/tahun) Tutupan vegetasi
Batuan terekspos di ketinggian terkait
perkembangan drainase vertikal Aktivitas organisme
Sumber: Adji dan Haryono (2004)
Bogli (1980) menjelaskan bahwa pada proses pelarutan batugamping oleh
air hujan yang berasal dari atmosferkemudian jatuh ke permukaan sehingga terjadi
proses fisika dan kimia yang menyebabkan perpindahan massa dan reaksi antara
fase udara, air, dan batuan.
Reaksi yang terjadi pada batas antar fase (interface) dalam proses
karstifikasi adalah transfer massa dan difusi, sementara reaksi kimia lebih dominan
terjadi di fase air. Sistem perpindahan massa yang terjadi pada sistem karbonat
kemudian dikenal sebagai sistem CO2-H2O-CaCO3, yang menurut Bogli (1980)
memiliki tahapan proses, berupa:
(1) Terjadi hujan yang diikuti dengan masuknya gas karbondioksida (CO2) di
atmosfer ke dalam air melalui proses difusi
(2) Air yang mengandung CO2 bersenyawa membentuk asam karbonat
(carbonic acid) dengan reaksi kimia CO2(di air) + H2O H2CO3,
sehingga dapat dikatakan bahwa gas karbondioksida larut dalam air
(3) H2CO3 merupakan asam kuat, maka dapat mengalami proses dissociation
(perpecahan) awal, yakni: H2CO3 HCO3-+ H+ dan proses
8
yangkedua adalah HCO3- CO3
2- + H+ dengan proporsi yang kecil
dibawah pH 8,4
(4) Kemudian air dan batuan gamping berinteraksi, terjadi pelepasan ion
dengan reaksi pelarutan pelarutan batugamping:
CaCO3 Ca2+ + CO3-
(5) Selanjutnya, CO32- bergabung dengan ion H+ yang lepas pada reaksi (3)
sehingga CO32- + H+ HCO3
-
1. 5. 3. Akuifer Karst
Bentanglahan Karst dicirkan dengan akuifer atau sistem drainase bawah
permukaan yang bersifat tidak seragam (heterogen) dan anisotropik (Ford and
William, 1989). Ciri spesifik bentanglahan karst adalah berkembangnya tipe
porositas sekunder yang merupakan hasil dari proses pelarutan, dimana proses
tersebut juga berperan sebagai pengontrol dari akuifer yang memiliki material
karbonat. Cepat lambat atau tingkat laju pelarutan batugamping bergantung pada
besar kecilnya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) yang terdapat pada sistem
akuifer karst terbuka ataupun sistemakuifer karst tertutup.
Gambar 1. 3. Konsep Aliran Airtanah pada Akuifer Karst (White, 2004 dalam Adji,
2009)
Sistem aliran di akuifer karst terbagi atas 4 (empat) komponen aliran utama
yang menyumbang air menuju akuifer karst (White, 1988). Konsep dari sistem
aliran airtanah pada akuifer karst disajikan pada Gambar 1. 3.
9
Imbuhan akuifer karst paling sedikit terbagi atas 4 (empat) komponen antara
lain yakni :
1. Allogenic recharge, yaitu aliran permukaan berupa sungai yang masuk ke
dalam akuifer karst melalui bentukan ponor (swallow hole);
2. Internal runoff, yaitu aliran permukaan dan hujan yang jatuh ke bentuk
cekungan karst tertutup dan kemudian masuk ke akuifer karst secara
bertahap melalui sinkhole atau ponor;
3. Diffuse infiltration, yaitu air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan
terinfiltrasi secara perlahan melewati pori-pori tanah yang mampu disimpan
dalam kurun waktu tertentu pada zone epikarst sebelum kemudian turun ke
bawah melalui rekahan atau matriks batuan menuju ke muka airtanah;
4. Imbuhan dari akuifer yang bertengger (perched akuifer): yaitu imbuhan yang
berasal dari akuifer lokal suatu area yang berada di atas akuifer karst,
kemudian dapat mencapai muka airtanah.
Sistem aliran akuifer di karst diidentifikasi memiliki sistem aliran lorong
(conduit) atau sistem rembesan (diffuse) seperti pada Gambar 1. 4. yang tidak
terdapat pada akuifer non-karst (White, 1988), dimana pada bentanglahan karst
dijumpai sistem aliran yang tidak seragamdi tiap wilayah.
Gambar 1.4. Sistem aliran airtanah karst (Domenico and Schwartz, 1990)
10
White (1988) juga mengklasifikasikan akuifer karst berdasarkan tipe
alirannya menjadi tiga konsep, yaitu:
a. Diffuse-flow Karst Aquifer atau akuifer dengan sistem aliran didominasi
sistem rekahan(diffuse). Akuifer ini mengalami proses pelarutan yang tidak
terlalu dominan, ciri dari akuifer ini adalah muka airtanah yang dapat
didefinisikan dengan fluktuasi yang tidak terlalu besar, serta kedudukan
muka airtanahnya sedikit di atas muka airtanah regional;
b. Free-flow Karst Aquifer yang memiliki tipe aliran lorong(conduit) yang
menunjukan keberadaan dominasi proses pelarutan, ciri akuifer ini adalah
memiliki respon yang sangat cepat terhadap kejadian hujan dan mempunyai
hidrograf aliran dengan karakter yang mirip dengan hidrograf pada aliran
permukaan;
c. Confined-flow Karst Aquifer yang terletak di bawah lapisan batuan dengan
nilai permeabilitas yang sangat kecil, sehingga kondisi aliran yang dimiliki
sangat dipengaruhi lapisan di bagian atasnya.
Hobbes (1986) mengutarakan bahwa terdapat sifat aliran lain di sistem
hidrologi karst yaitu tipe aliran fissure dengan karakteristik seperti yang dapat
diamati pada Tabel 1. 2. berikut.
Tabel 1. 2. Karakteristik Aliran Akuifer Karst
TIPE
ALIRAN KARAKTERISTIK
KONDISI
IMBUHAN SIMPANAN
CONDUIT Perpipaan, sensitif
terhadap hujan
Banyak sinkhole
dan ponor
Rendah dan
hanya pada saat
musim hujan
FISSURE Percelahan, respon
sedang terhadap hujan Fracture, joint
Sedang dan
perenial
musiman
DIFFUSE Menyebar, respon
lambat terhadap hujan
Fracture,
intergranuler
Besar dan
sepanjang tahun
Sumber: Hobbes (1986)
11
1. 5. 4. Mataair Karst
Mataair adalah pemunculan airtanah ke permukaan bumi karena suatu
sebab, berupa topografi, gravitasi, maupun struktur geologi, kemudian mataair karst
menurut White (1988) adalah air yang keluar dari akuifer karst terutama pada
keluaran hasil pelarutan di permukaan atau bawah permukaan bumi. Keistimewaan
yang dijumpai pada mataair karst adalah kondisi mataair dengan debit yang relatif
sama besar, bersuhu sama, serta memiliki kesadahan yang sama dapat pula
dijumpai pada mataair karst di tempat lain. Keunikan yang lain adalah karakteristik
mataair karst yang sangat tergantung dari tingkat karstifikasi suatu wilayah. Elevasi
suatu mataair karst dapat menurun ke arah dalam sepanjang kurun waktu tertentu
dan bila mencapai local base level, maka mataair di sekitarrnya dengan ukuran
yang lebih kecil akan hilang dan bergabung seiring dengan berkembangnya sistem
pelorongan.
Klasifikasi mataair karst hampir tidak berbeda dengan klasifikasi mataair
pada kawasan lain di permukaan bumi, yakni klasifikasi atas dasar periode
pengalirannya oleh Kusumayudha (2004) menjadi:
1. Mataair Perenial, mataair dengan debit yang konsisten sepanjang tahun, dengan
pengaruh perubahan musim hanya pada dinamika debit.
2. Mataair Periodik, mataair yang mengalir pada saat banyak terjadi hujan dan
merupakan salah satu tipe mataair yang umum dijumpai di Kawasan Karst.
3. Mataair Intermittent, mataair yang memiliki aliran dipengaruhi oleh perubahan
muka airtanah regional, atau berasosiasi dengan aliran yang hanya terdapat pada
waktu musim hujan.
4. Mataair Episodik, mataair yang mengalir tidak dengan pola tertentu, melainkan
terjadi setelah hujan dan juga merupakan matair yang umum dijumpai di
Kawasan Karst.
Kemudian klasifikasi berdasarkan asal airtanah yang meluah menurut
Kusumayudha (2004) digolongkan menjadi:
12
1. Mataair Emergence, mataair dengan debit besar namun daerah tangkapannya
tidak jelas, dalam artian tidak memiliki kenampakan nyata yang jelas sebagai
bukti.
2. Mataair Resurgen, mataair yang berasal dari sungai yang masuk ke dalam tanah
dan muncul lagi ke permukaan (re-emergence flow).
3. Mataair Eksurgen, mataair dengan debit kecil berupa rembesan, seperti pada
akuifer intergranuler.
Klasifikasi mataair berdasarkan struktur geologi oleh Kusumayudha (2004) terbagi
menjadi:
1. Mataair Kontak, mataair yang muncul karena adanya kontak antara lapisan
permeabel dengan lapisan impermeabel pada bidang perselingan formasi batuan.
2. Mataair Rekahan, mataair yang keluar dari bukaan struktural berupa kekar atau
retakan yang terbuka di batuan karbonat.
3. Mataair Descending, mataair yang keluar melalui sistem lorong dengan arah
aliran menuju bagian bawah.
4. Mataair Ascending, mataair yang terbentuk dari proses pengeringan zona freatik
pada bidang kekar yang terbuka dengan ciri pada debit aliran yang sangat
bervariasi.
5. Mataair Aluvial Karst, mataair yang mengeringkan zona freatik dan memotong
kenampakan lembah.
Beberapa klasifikasi tersebut ditampilkan pada Gambar 1. 5.
Gambar 1. 5. Jenis Mataair Karst Berdasarkan Struktur Geologi
(White, 1988; Kusumayudha, 2004)
13
1. 5. 5. Hidrogeokimia
Secara harfiah hidrogeokimia merupakan suatu pendekatan dalam proses
interpretasi reaksi kimiawi antara airtanah dengan material penyusun akuifer.
Secara praktis hidrogeokimia digunakan sebagai salah satu alat dalam menjawab
berbagai permasalahan dalam ruang lingkup kajian ilmu geohidrologi, seperti
menghitung laju reaksi kimia airtanah, menentukan tingkat kontaminasi airtanah,
serta memprediksi arah dan kecepatan aliran airtanah (Jankowski, 2002; Santosa,
2010).
Kondisi hidrogeokimia memiliki perbedaan baik secara spasial maupun
temporal, karena terdapat beberapa faktor yang memberikan pengaruh antara lain:
proses presipitasi, evaporasi-transpirasi, pertukaran ion, proses reduksi-oksidasi,
pelarutan mineral, proses pengendapan, proses percampuran, dan keberadaan
pengaruh dari aktivitas manusia (Sudarmadji, 1990). Secara detail faktor-faktor
tersebut akan dijelaskan berikut ini.
a. Proses Presipitasi
Proses presipitasi atau hujan merupakan salah satu komponen iklim yang
memiliki pengaruh besar terhadap kondisi hidrogeokimia. Berdasarkan kandungan
kimia yang dimiliki, air hujan mengandung berbagai zat yang awalnya berwujud
gas seperti SOx, NOx, dan COx. Secara sederhana Santosa (2010) menjelaskan
bahwa air hujan yang jatuh akan mengalami kontak langsung dengan permukaan
tanah, diikuti oleh proses infiltrasi dan perkolasi untuk kemudian mencapai
kedalaman airtanah. Proses tersebut jelas memberikan pengaruh terhadap kondisi
hidrogeokimia airtanah di tiap wilayah.
b. Evaporasi-Transpirasi
Evaporasi dan transpirasi merupakan dua proses dalam siklus hidrologi
yang dipengaruhi oleh suhu. Secara teoritis dua proses tersebut memiliki pengaruh
terhadap kandungan zat kimia dalam air. Secara sederhana air hujan yang jatuh
sebagian akan mengalami evaporasi sebelum mencapai permukaan, dan sebagian
sisanya kembali mengalami evaporasi setelah mencapai permukaan. Proses
transpirasi kembali terjadi setelah air mengalami kontak dengan tumbuhan, dimana
14
kembali terjadi pengurangan volume air. Akibat dari dua proses tersebut adalah
terjadi peningkatan konsentrasi kandungan garam-garam yang sebelumnya telah
terlarut dalam air hujan, kemudian air yang tersisa masuk kedalam tanah menjadi
airtanah.
c. Pertukaran Ion
Pertukaran ion merupakan suatu proses yang melibatkan zat cair dan zat
padat. Pertukaran ion akan merubah komposisi kimia air. Kation yang sering
mengalami pertukaran adalah Na+, Ca2+, dan Mg2+.
d. Proses Reduksi-Oksidasi
Proses reduksi-oksidasi merupakan salah satu proses dalam kajian kimia
airtanah yang terbilang penting. Dalam proses reduksi terjadi perolehan elektron
bebas oleh unsur yang telah mengalami reduksi. Sedangkan dalam proses oksidasi
merupakan proses pelepasan elektron bebas oleh unsur yang teroksidasi. Kedua
proses ini pasti terjadi dan memberikan kompensasi satu sama lain (Purnama,
2004).
e. Pelarutan Mineral
Proses pelarutan mineral akan membebaskan ion dari senyawanya dan
kemudian larut dalam airtanah (Matthess, 1982 dalam Purnama, 2004). Pelarutan
dalam lingkup kajian airtanah terjadi antara airtanah dengan material penyusun
akuifer karena adanya kontak langsung dalam kurun waktu yang terbilang panjang.
Sebagai contoh langsung dari pelarutan mineral terdapat dalam penelitian ini
dimana mineral karbonat berupa kalsit akan melepaskan ion-ion karbonat yang
dimiliki untuk kemudian larut dalam airtanah. Akibat dari terjadinya pelarutan
mineral adalah perubahan yang signifikan dari komposisi kimia airtanah. Perlu juga
diketahui bahwa jika material penyusun akuifer berbeda di setiap tempat maka
komposisi kimia airtanah yang dimiliki juga berbeda.
f. Proses Pengendapan
Proses pengendapan merupakan kebalikan dari proses pelarutan, yakni
proses yang terjadi akibat penggabungan ion-ion akibat zat yang berfungsi sebagai
15
pelarut mengalami penguapan, atau akibat terjadi reaksi kimia yang membentuk
garam yang bersifat tidak mudah larut. Pengandapan mineral akan mempengaruhi
tipe kimia airtanah. Mineral yang terbilang mudah mengalami pengendapan selama
proses evaporasi antara lain adalah: kalsit, gypsum, klorida, dan kombinasi dari
unsur-unsur tersebut. Jika dihubungkan dengan proses pelarutan, maka terdapat
suatu rangkaian proses dimana jika air sudah tidak mampu lagi melarutkan mineral
tertentu, maka airtanah telah jenuh (saturated) dan mulai terjadi proses
pengendapan, kemudian jika airtanah masih mampu melarutkan mineral
(unsaturated) maka proses pelarutan akan terus berlangsung.
g. Proses Percampuran
Proses percampuran merupakan proses yang biasanya terjadi dengan
melibatkan air tawar dengan air asin. Proses percampuran air dengan konsentrasi
yang berbeda jelas akan memberikan pengaruh berupa perubahan komposisi kimia
air. Proses percampuran menurut Santosa (2010) biasanya terjadi pada zona
dengan perbedaan karakteristik terutama perbedaan lingkungan fisik.
h. Pengaruh Aktivitas Manusia
Pengaruh aktivitas manusia yang umum dijumpai adalah berupa
pencemaran airtanah, yang mengakibatkan berubahnya komposisi kimia airtanah.
Terjadinya pencemaran akan meningkatkan konsentrasi zat maupun unsur terlarut
dalam airtanah, sehingga merubah kualitas airtanah. Sebagian besar pencemaran
airtanah berkaitan erat dengan cara pembuangan limbah di permukaan yang
kemudian akan mengalami proses infiltasi dan perkolasi menuju airtanah
(Sudarmadji, 1990).
1. 6. Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang memiliki keterkaitan dengan riset yang dilaksanakan dalam
skripsi ini dilakukan oleh Raeisi, E dan Karami, G pada tahun 1997 dengan
menggunakan analisis hidrokemograf secara temporal disertai pemisahan aliran
dasar, serta pemodelan hidrogeokimia dengan perangkat lunak WATEQF terhadap
data temporal selama 32 bulan di Mataair Berghan, Iran untuk mengidentifikasi
16
karakteristik akuifer karst. Lopez Chichano et al pada tahun 2000 melakukan
penelitian hidrogeokimia dengan pemodelan hidrogeokimia terutata indeks
kejenuhan (saturation indices) dengan perangkat lunak WATEQF dan kalkulasi
transfer massa dengan perangkat lunak PHREEQC terhadap mataair karstdi
Spanyol dengan hasil bahwa input air terhadap akuifer mencakup jenis imbuhan
dan kondisi input air memberikan pengaruh terhadap pola temporal kondisi
hidrogeokimia.
Penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia dilakukan oleh Adji, T.N dan
Sudarmadji pada tahun 2006 berupa pemisahan aliran dasar dengan analisis
konstanta resesi hidrograf untuk penentuan karakter aliran akuifer karst di Sungai
Bawah Tanah Bribin, Provinsi DIY. Hasil variasi nilai konstanta resesi untuk
komponen aliran diffuse, fissure, dan conduit pada tiga gua di sepanjang aliran
Sungai Bribin adalah sangat tinggi, dengan rata-rata nilai konstanta resesi aliran
diffuse tertinggi terjadi di Gua Bribin (0,998), kemudian Gua Gilap memiliki rata-
rata nilai konstanta resesi diffuse yang paling kecil, sedangkan Gua Ngreneng yang
merupakan bocoran dari aliran Sungai Bribin, akuifernya mempunyai sifat
pelepasan komponen aliran diffuse yang hampir sama dengan Gua Bribin (0,98-
0,99), dengan variasi nilai sepanjang musim banjir cukup besar (0,94-0,99).
Hariadi, B di tahun 2008 mendeskripsikan variasi temporal intensitas dan
komposisi kimia air tetesan ornamen gua beserta seluruh faktor yang
mempengaruhinya. Adji, T. N kemudian kembali melakukan penelitian di tahun
2009 berupa pemisahan aliran dasar dengan analisis konstanta resesi, scatter plot
analysis kondisi hidrogeokimia, dan analisis hubungan antar variabel sistem karst
dinamis di Sungai Bawah Tanah Bribin, Provinsi DIY. Misqi, M pada tahun 2010
melakukan penelitian yang terfokus pada perhitungan konstanta resesi pada tiga
objek yang mewakili karakter berbeda yaitu Mataair Beton, Sungai Bawah Tanah
Bribin, dan Sungai Bawah Tanah Toto dengan hasil penelitian yang menyatakan
bahwa ketiga objek penelitian memiliki perbedaan dalam pelepasan komponen
aliran. Penelitian yang telah dilakukan termasuk penelitian yang akan dilakukan
dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk matriks dalam Tabel 1. 3. berikut.
17
Tabel 1. 3. Penelitian yang telah dilakukan dan penelitian yang dilaksanakan dalam skripsi ini
No Nama Tahun Judul Tujuan Metode Hasil
1
Raeisi, E
dan Karami,
G
1997
Hydrochemographs of Berghan
Karst Spring as Indicators of
Aquifer Characteristics
Identifikasi karakteristik
akuifer dengan analisis
hidrokemograf
Analisis temporal
hidrokemograf dan
pemisahan aliran dasar
(baseflow)
Daerah tangkapan Mataair
Berghan didominasi tipe
aliran diffuse dengan
imbuhan bertipe autogenik
2
Lopez
Chichano, et
al
2000
Factors Which Determine The
Hydrogeochemichal Behaviour Of Karstic Springs, A Case Study
from The Betic Cordilleras, Spain
Mengetahui faktor-
faktor yang
mempengaruhi kondisi
hidrogeokimia
Analisis temporal
hidrogeokimia dari
beberapa mataair dalam 1
(satu) sistem hidrogeologi,
serta mengidentifikasi
faktor yang mempengaruhi
Pola temporal
hidrogeokimia mataair
karst dipengaruhi oleh
dinamika input air yang
dimiliki
3
Adji, T. N
dan
Sudarmadji
2006
The Distribution of Flood
Hydrograph Recession Constant of
Bribin River For Gunung Sewu Karst Aquifer Characterization
Mengidentifikasi
konstanta resesi
hidrograf untuk
mengkarakterisasi sifat
akuifer karst SBT Bribin
Pemisahan aliran dengan
konstanta resesi hidrograf
Gua Bribin dan Gua
Ngreneng didominasi sifat
aliran diffuse, sedangkan
Gua Gilap memiliki respon
aliran yang paling cepat
atas keberadaan input air
dari sinkhole
4 Hariadi, B 2008
Studi Variasi Temporal
Kandungan Geokimia Air Tetesan
Gua di Kawasan Karst Gunung
Sewu: Kasus Pada Ornamen
Drappery di Dalam Gua Gilap dan
Ornamen Stalaktit di Dalam Gua
Bribin
Mendeskripsikan variasi
temporal intensitas dan
komposisi kimia air
tetesan ornamen
Analisis temporal
kandungan kimia air yang
berasal dari ornamen gua
Kondisi geokimia air
tetesan pada ornamen Gua
Gilap dan Gua Bribin
dipengaruhi oleh kondisi
musim
Sumber: Telaah Pustaka Peneliti (2012)
18
Tabel 1. 3. Penelitian yang telah dilakukan dan penelitian yang dilaksanakan dalam skripsi ini (Lanjutan)
No Nama Tahun Judul Tujuan Metode Hasil
5 Adji, T N 2009
Variasi Spasial-Temporal
Hidrogeokimia dan Sifat
Aliran Untuk Karakterisasi
Sistem Karst Dinamis di
Sungai bawah Tanah Bribin,
Kabupaten Gunungkidul DIY
Menganalisis variasi spasial-
temporal persentase aliran
dasar, kondisi hidrogeokimia,
dan kondisi SKD Sungai
Bawah Tanah Bribin, DIY
Pemisahan aliran dasar
dengan konstanta resesi,
scatter plot analysis kondisi
hidrogeokimia, analisis
hubungan antar variabel
sistem karst dinamis
Terdapat pola variasi spasial-
temporal pada hubungan
antara karakteristik aliran,
kondisi hidrogeokimia, dan
karakter sistem karst dinamis
di SBT Bribin
6 Misqi, M 2010
Analisis Konstanta Resesi
Sungai Bawah Tanah Untuk
Karakterisasi Pelepasan
Komponen Akuifer Karst
(Studi Kasus: Mataair Beton,
Sungai Bawah Tanah
Seropan, dan Sungai Bawah
Tanah Bribin, Kab.
Gunungkidul, Provinsi DIY)
Mengetahui karakteristik
aliran akuifer karst dalam
melepaskan komponen
simpanannya dengan
perhitungan konstanta resesi
Analisis konstanta resesi
pada tiga objek yang
berbeda (Mataair Beton,
SBT Seropan, dan SBT
Bribin)
Pelepasan komponen aliran
yang bervariasi pada ketiga
objek penelitian
7 Oktama,
R 2012
Karakterisasi Akuifer Karst
Mataair Ngeleng dengan
Pendekatan Variasi Temporal
Sifat Aliran dan
Hidrogeokimia
Mendeskripsikan karakter
akuifer karst dengan analisis
variasi temporal sifat aliran,
kondisi hidrogeokimia serta
hubungan antara keduanya
Pemisahan aliran dasar dan
analisis konstanta resesi,
analisis kondisi
hidrogeokimia meliputi tipe
kimia air, analisis
hidrokemograf, indeks
kejenuhan (saturation indices), serta analisis
scatter plot untuk kemudian
mendeskripsikan hubungan
antara sifat aliran dan
kondisi hidrogeokimia
Sifat aliran akuifer karst,
variasi temporal kondisi
hidrogeokimia, dan deskripsi
karakteristik akuifer karst
berdasarkan hubungan kedua
variabel
Sumber: Telaah Pustaka Peneliti (2012)
19
1. 7. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran untuk penelitian ini dibangun dari proses awal
dalam proses hidrologi, yakni dari proses presipitasi. Presipitasi memiliki
kandungan tersendiri berupa gas CO2 yang spesifik berpengaruh terhadap
proses karstifikasi. Kandungan gas CO2 dalam air hujan merupakan produk
dari adanya proses transfer antar fase gas dengan fase cair yang terjadi di
atmosfer. Presipitasi juga memiliki fungsi sebagai input air utama bagi sistem
akuifer karst. Variasi karakter yang dimiliki oleh proses presipitasi baik
berupa kandungan gas CO2, waktu kejadian, hingga intensitasnya
memberikan pengaruh sehingga proses presipitasi dianggap penting untuk
diketahui. Air dari proses presipitasi kemudian diikuti oleh kontak langsung
dengan vegetasi. Kontak dengan vegetasi turut mempengaruhi kondisi air
baik secara kuantitas maupun kimiawi terkait proses biologis yang dimiliki.
Proses recharge sendiri dalam sistem akuifer karst dikelompokan menjadi
imbuhan langsung melalui ponor (sinkhole), imbuhan yang terlebih dahulu
terakumulasi dalam cekungan, dan imbuhan yang berlangsung secara
perlahan melalui zona epikarst.
Air yang telah melalui proses di permukaan dan sub-permukaan
kemudian masuk ke dalam sistem utama berupa akuifer karst. Selama berada
dalam fase simpanan, air mengalami kontak langsung dengan material
penyusun akuifer karst berupa material karbonat, sehingga terjadi proses
kimiawi berupa proses pelarutan (dissolution) pada awalnya, kemudian
diikuti dengan proses pengendapan (precipitation). Berdasarkan proses
tersebut diperoleh poin pertama yang menjadi dasar pemikiran dalam
penelitian ini.
Pelepasan simpanan dalam sistem akuifer karst kemudian menjadi
proses yang terkait dengan output air dari keseluruhan proses, menjelang
proses selanjutnya yang kemudian melibatkan aktivitas manusia dalam
pemenuhan kebutuhan atau proses-proses antropogenik. Komponen yang
dilepaskan oleh akuifer karst terbagi menjadi aliran diffuse, aliran fissure, dan
20
aliran conduit. Ketiga komponen aliran tersebut dilepaskan dangan cara yang
berbeda-beda terkait dengan karakter akuifer yang lebih dominan
berkembang, yaitu berupa rembesan, rekahan, maupun pelorongan. Perbedaan
dalam pelepasan komponen aliran pada akuifer karst kemudian menjadi poin
kedua dalam penelitian ini.
Dua poin utama yang telah dijabarkan sebelumnya, yakni mengenai
kondisi hidrogeokimia dan sifat aliran kemudian dijadikan pendekatan utama
dalam karakterisasi akuifer karst dengan pertimbangan bahwa kedua poin
mewakili proses yang berlangsung di dalam, hingga bagaimana proses
pelepasan dari sistem akuifer karst, baik dengan kajian dari masing-masing
poin, hingga hubungan antar keduanya. Secara sistematis, kerangka
pemikiran yang dibangun untuk penelititian ini tersaji pada Gambar 1. 6.
Gambar 1. 6. Kerangka Pemikiran
Presipitasi Atmosfer
Conduit Fissure Difusse
Karakter Akuifer
Karst
Persentase Aliran
Dasar
Komponen Aliran
Sistem Akuifer Karst
Sifat Aliran Kondisi
Hidrogeokimia
Vegetasi
Permukaan Tanah
Batuan
Epikarst
21
1. 8. Batasan Ilmiah
a. Agresivitas air adalah kondisi atau kemampuan air untuk melarutkan
mineral (Jankowski, 2002)
b. Akuifer karst adalah lapisan berbahan material karbonat yang mampu
menyimpan dan mengalirkan airtanah dalam jumlah yang cukup dengan
spesifikasi kondisi sistem aliran bawah permukaan tersendiri (Ford and
Williams, 1989)
c. Aliran conduit adalah tipe aliran bawah tanah karst yang berupa lorong-
lorong dengan bentuk menyerupai pipa dengan diameter hingga
beberapa meter yang terbentuk dari pelebaran rekahan dan bidang
perlapisan batuan karena proses pelarutan, pada aliran ini distribusi
airtanah karst dikontrol oleh persebaran dan arah lorong-lorong tersebut
(White, 1988)
d. Aliran diffuse adalah tipe aliran bawah tanah karst yang berada pada
rekahan-rekahan kecil pada batuan yang menunjukan sedikit sekali
hasil dari proses pelarutan. Keluaran air dari aliran ini biasanya hanya
memiliki debit yang kecil dengan fluktuasi yang hampir seragam
(White, 1988)
e. Aliran Fissure adalah komponen aliran pengisi sungai bawah tanah dari
akuifer yang mengalir melalui retakan-retakan pada batuan gamping
yang berukuran 10-102 mm (Bonacci, 1990)
f. Baseflow atau aliran dasar adalah debit aliran pada suatu sungai yang
tetap mengalir pada musim kemarau karena berasal dari air yang
tersimpan dalam akuifer (Fetter, 1994)
g. Baseflow separation adalah pemisahan aliran dasar, suatu metode untuk
memisahkan komponenaliran pada suatu sungai menjadi komponen
aliran dasar dan komponen aliran langsung (Schulz, 1976)
h. Batugamping merupakan jenis batuan sedimen, batuaan karbonat, yang
didominasi oleh kalsium karbonat yang merupakan hasil rombakan dari
binatang dan vegetasi laut (Ford and Williams, 1989)
22
i. Debit adalah laju aliran air dalam bentuk volume air yang melewati
suatu penampang melintang per satuan waktu (Asdak, 2007)
j. Eksokarst adalah bagian atas permukaan dari suatu bentanglahan
karst(White, 1988)
k. Endokarst adalah bagian bawah permukaan dari suatu bentangalam
karst (White, 1988)
l. Hidrogeokimia merupakan pendekatan yang mengkaji proses dan reaksi
yang terjadi karena adanya interaksi antara airtanah dan batuan pada
akuifer (Mudry, 2004)
m. Hidrograf adalah penyajian grafis antara salah satu unsur aliran dengan
waktu (Sri Harto Br, 1993)
n. Hidrograf banjir adalah grafik berskala yang menunjukkan hubungan
antarawaktu pada sumbu horisontal dan data debit aliran pada saat
kejadian banjir pada sumbu tegak (Schulz, 1976)
o. Hidrokemograf adalah gambar atau grafik berskala yang berisi
informasi perubahan debit aliran danperubahan sifat kimia air secara
temporal (Plagnes, 2001)
p. Indeks Kejenuhan adalah nilai yang menunjukkan tingkat kejenuhan atau
agresivitas air untuk melarutkan suatu mineral batuan (Appelo and
Postma, 1994)
q. Karst merupakan medan dengan sistem hidrologinya yang khusus dan
bentukan-bentukannya yang timbul dari sebuah kombinasi antara
batuan yang memiliki daya larut tinggi dan porositas sekunder yang
berkembang dengan baik (Ford and Williams, 1989)
r. Karstifikasi adalah salah satu bagian siklus pada karbon, air, kalsium
yang terdapat pada batas antar fase hubungan litosfer, hidrosfer,
atmosfer, dan biosfer (Daoxian, 2002)
s. Konstanta Resesi adalah suatu angka yang biasa digunakan sebagai
indikator keberlangsungan aliran dasar, dapat diperoleh secara
eksponensial dari kurva resesi suatu hidrograf aliran (Nathan and
McMahon, 1990)
23
t. Kurva resesi adalah suatu bagian dari hidrograf banjir dari suatu sungai
setelah tidak terjadi hujan, sehingga debit aliran akan mengalami
penurunan atau akuifer akan melepaskan komponen alirannya (Nathan
and McMahon, 1990)
u. Mataair Karst adalah air yang keluar dari akuifer karst terutama pada
cavities hasil pelarutan di permukaan atau bawah permukaan bumi
(White, 1988)
v. Rating Curve adalah grafik hubungan antara debit dengan tinggi muka
air pada penampang tertentu (Sri Harto Br, 1993)