bab 1 pendahuluan -...

46
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan bayi di hampir semua negara di dunia, cenderung kurang mendapat perhatian. Data WHO (2003) menunjukkan angka sangat memprihatinkan yang dikenal dengan fenomena 2/3, yaitu 2/3 kematian bayi pada usia 0-1 tahun terjadi pada masa neonatal (bayi berumur 0-28 hari) dan 2/3 kematian bayi pada masa neonatal dan terjadi pada hari pertama kelahirannya (Komalasari, 2003). Menurut The World Health Report (2005), angka kematian bayi baru lahir per 1000 kelahiran hidup di Asia Tenggara yaitu di Singapura 1%, Sri Langka 11%, Filipina 18%, dan Indonesia 20% setiap kelahiran hidup (Roesli, 2008). Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menyebutkan Angka Kematian Bayi (AKB) masih sangat tinggi yaitu 35 tiap 1.000 kelahiran hidup. Menurut Departemen Kesehatan tahun 2007 beberapa penyebab kematian bayi dikarenakan 29% Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), 27% asfiksia, 10% tetanus, 5% infeksi, 6% masalah hematologi, 10% masalah pemberian minuman, dan lain-lain sebanyak 27%. Dalam Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia mentargetkan pada tahun 2015 AKB menurun menjadi 17 bayi per 1.000 kelahiran. Menghadapi tantangan dan target MDGs tersebut maka perlu adanya program kesehatan anak yang mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi. Beberapa program terkini dalam proses pelaksanaan percepatan penurunan AKB adalah program Inisiasi Menyusu Dini, ASI eksklusif, penyediaan konsultan ASI

Upload: vuquynh

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan bayi di hampir semua negara di dunia, cenderung kurang mendapat

perhatian. Data WHO (2003) menunjukkan angka sangat memprihatinkan yang

dikenal dengan fenomena 2/3, yaitu 2/3 kematian bayi pada usia 0-1 tahun terjadi

pada masa neonatal (bayi berumur 0-28 hari) dan 2/3 kematian bayi pada masa

neonatal dan terjadi pada hari pertama kelahirannya (Komalasari, 2003).

Menurut The World Health Report (2005), angka kematian bayi baru lahir per

1000 kelahiran hidup di Asia Tenggara yaitu di Singapura 1%, Sri Langka 11%,

Filipina 18%, dan Indonesia 20% setiap kelahiran hidup (Roesli, 2008).

Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007

menyebutkan Angka Kematian Bayi (AKB) masih sangat tinggi yaitu 35 tiap

1.000 kelahiran hidup. Menurut Departemen Kesehatan tahun 2007 beberapa

penyebab kematian bayi dikarenakan 29% Berat Badan Lahir Rendah (BBLR),

27% asfiksia, 10% tetanus, 5% infeksi, 6% masalah hematologi, 10% masalah

pemberian minuman, dan lain-lain sebanyak 27%.

Dalam Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia mentargetkan pada

tahun 2015 AKB menurun menjadi 17 bayi per 1.000 kelahiran. Menghadapi

tantangan dan target MDGs tersebut maka perlu adanya program kesehatan anak

yang mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi. Beberapa

program terkini dalam proses pelaksanaan percepatan penurunan AKB adalah

program Inisiasi Menyusu Dini, ASI eksklusif, penyediaan konsultan ASI

2

eksklusif di Rumah Sakit/Puskesmas, injeksi vitamin K1 pada bayi baru lahir,

imunisasi hepatitis pada bayi kurang dari 7 hari, tatalaksana gizi buruk, dan

program lainnya (Niswah, et al., 2012)

Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan program yang dikeluarkan oleh

WHO/UNICEF pada tahun 2007 dimana pada prinsipnya bukan ibu yang

menyusui bayi, tetapi bayi yang harus aktif menemukan sendiri puting susu ibu

serta melakukan kontak kulit ibu dengan kulit bayi segera setelah lahir selama

paling sedikit satu jam (Suryani, et al., 2011).

Inisiasi Menyusu Dini mempunyai manfaat antara lain untuk meningkatkan

reflek bayi dalam menyusui sehingga bayi bisa menyusu sendiri, menjaga agar

bayi tetap hangat, dan membuat bayi tenang dan tidak menangis. Selain itu,

manfaat Inisiasi Menyusu Dini yang didapat dari proses menyusui bayi antara lain

adalah dapat mencegah kematian yang disebabkan oleh sepsis, diare, dan

pneumonia dan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan bayi (Hidayat,

2012).

Melakukan Inisiasi Menyusu Dini dipercaya akan membantu meningkatkan

daya tahan tubuh bayi terhadap penyakit-penyakit yang beresiko kematian tinggi.

Misalnya kanker syaraf, leukemia, dan beberapa penyakit lainnya. Jika bayi diberi

kesempatan menyusu dalam satu jam petama dengan dibiarkan kontak kulit ke

kulit ibu maka 22% nyawa bayi di bawah 28 hari dapat diselamatkan (Roesli,

2008). Sehingga dilakukannya Inisiasi Menyusu Dini dapat menurunkan angka

kematian bayi.

3

Penelitian yang melibatkan 10.947 bayi yang lahir di Ghana antara Juli 2003

sampai Juni 2004, seorang ibu yang melahirkan anak kembar, merasa tidak

sanggup menyusui kedua bayinya, sehingga hanya salah satu bayi yang langsung

disusukan ke payudara ibunya. Hasilnya menunjukkan bahwa bayi yang disusui

dalam satu jam pertama kehidupannya memiliki kesempatan hidup dan lebih

mampu bertahan dibandingkan bayi yang tidak segera disusui. Bayi-bayi yang

tidak diberi ASI pada hari pertama kehidupannya berpotensi 2,5 kali lebih tinggi

untuk gagal menjalani hidup atau meninggal (Rosita, 2008).

Bayi yang tidak melakukan Inisiasi Menyusu Dini 50% tidak bisa menyusu

sendiri, sedangkan bayi yang melakukan Inisiasi Menyusu Dini akan berhasil

menyusu sendiri, dan bayi yang diberi kesempatan menyusui segera setelah lahir,

akan lebih berhasil dalam menjalani ASI eksklusif (Fikawati, et al., 2010).

Inisiasi Menyusu Dini sangat bermanfaat bukan hanya bagi bayi, tetapi juga

bagi ibu yang melakukan. Jika bayi berada dalam dekapan ibu, maka bayi tersebut

dengan sendirinya merangkak ke payudara ibu dan akan mulai menghisap puting

susu ibunya. Hal ini akan merangsang pelepasan oksitosin yang akan

menyebabkan terjadi kontraksi otot rahim sehingga perdarahan sesudah

melahirkan dapat berhenti lebih cepat dan akan lebih cepat mengembalikan

ukuran rahim seperti semula (Hidayat, 2012).

Beberapa penelitian dan survei menyatakan bahwa manfaat dan keuntungan

dari Inisiasi Menyusu Dini baik bagi ibu, bagi bayi, juga bagi keluarga dan

masyarakat, namun ironisnya cakupan praktik Inisiasi Menyusu Dini masih sangat

rendah. Berdasarkan survei dari World Health Organization (WHO) terhadap

4

lebih dari 3000 ibu pasca persalinan di beberapa negara, menunjukkan bahwa ibu

yang melakukan Inisiasi Menyusu Dini atau pemberian ASI minimal satu jam

setelah bayi lahir hanya sebesar 38,33% (Depkes RI, 2002).

Menyusu bayi di Indonesia sudah menjadi budaya namun praktik pemberian

ASI masih jauh dari yang diharapkan. Penelitian menunjukkan 95% anak di

bawah umur 5 tahun pernah mendapat ASI. Namun, hanya 44% yang mendapat

ASI 1 jam pertama setelah lahir dan hanya 62% yang mendapat ASI dalam hari

pertama setelah lahir. Angka itu masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan

negara-negara berkembang lain seperti Oman (85%), Srilangka (75%), Filipina

(54%) dan Turki (54%) (Virarisca, et al., 2010).

Cakupan Inisiasi Menyusu Dini di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010

adalah 34%, padahal target Indonesia Sehat 2010 sebesar 80% ibu pasca bersalin

normal melakukan Inisiasi Menyusu Dini minimal satu jam setelah bayi lahir

(Andika, 2010). Sedangkan di Yogyakarta, menurut data dari Dinkes Kota

Yogyakarta, pada tahun 2012 bayi baru lahir yang dilakukan Inisiasi Menyusu

Dini sebesar 47,19%. Hal ini juga menunjukkan bahwa Inisiasi Menyusu Dini

belum terlaksana dengan baik.

Kegagalan Inisiasi Menyusu Dini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain

kurangnya pengetahuan ibu mengenai pentingnya Inisiasi Menyusu Dini, sikap

ibu yang menolak pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini, kurangnya dukungan

keluarga dan tenaga kesehatan, kurang tersedianya sarana kesehatan yang

memadai, dan kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pelaksanaan Inisiasi

Menyusu Dini (Fikawati, et al., 2010). Hal ini menyebabkan ibu kurang percaya

5

diri untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini dan bayi akan kehilangan sumber

makanan yang vital. Selain itu, terdapat beberapa intervensi yang dapat

mengganggu pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini seperti penggunaan anestesi

umum pada persalinan caesar.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), masih banyak

ibu yang belum mengerti bagaimana cara menyusui yang benar. Hal ini

menunjukkan bahwa pengetahuan ibu dalam hal menyusui bayi masih rendah.

Tindakan dan perilaku seseorang yang didasari oleh pengetahuan akan lebih

langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Semakin baik

pengetahuan ibu pasca melahirkan tentang manfaat Inisiasi Menyusu Dini untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak akan membantu ibu dalam memberikan

ASI sedini mungkin (Dianartiana, 2011).

Oleh karena itu, pengetahuan ibu mengenai Inisiasi Menyusu Dini adalah salah

satu faktor yang penting mempengaruhi keterlibatan ibu untuk meningkatkan

kesuksesan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini. Untuk itu diperlukan

paparan informasi yang baik agar pengetahuan ibu mengenai Inisiasi Menyusu

Dini agar Inisiasi Menyusu Dini dapat terlaksana dan juga adekuat (Hidayat,

2012).

Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha

menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau individu.

Dengan adanya pesan tersebut maka diharapkan masyarakat, kelompok, atau

individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik

(Notoatmodjo, 2003).

6

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Citrakesumasari pada tahun

2011 di Rumah Bersalin Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar, ibu yang telah

diberikan edukasi tentang praktek Inisiasi Menyusu Dini sebesar 30%

melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini dan yang tidak diberikan edukasi hanya 12%

yang melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan

kesehatan mempengaruhi ibu dalam melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini.

Hasil penelitian pada tahun 2013 oleh Nuryanti di RSIA Sitti Khadijah

Muhammadiyah Cabang Makassar menyatakan bahwa ibu hamil yang mendapat

sumber edukasi tentang Inisiasi Menyusu Dini dari peneliti sebesar 26,3%

melakukan Inisiasi Menyusu Dini, dari media cetak dan elektronik 33,3%

melakukan Inisiasi Menyusu Dini, dari petugas kesehatan 17,6%, dan dari

seminar tidak ada yang melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Oleh karena itu,

diperlukan media yang tepat dalam penyampaian informasi tentang Inisiasi

Menyusu Dini kepada ibu.

Media yang dapat digunakan dalam pendidikan kesehatan beraneka ragam.

Diantaranya adalah media cetak dan audiovisual. Hasil penelitian Rahmawati, et

al (2007) dan Kumboyono (2011) menyimpulkan media audiovisual lebih efektif

dalam peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku dibandingkan dengan media

cetak berupa leaflet dan modul. Hal tersebut tersebut dikarenakan dalam

penggunaan media cetak, responden terlihat pasif karena kurang menarik dan

indra yang terlibat dalam pendidikan kesehatan lebih sedikit.

Media audiovisual merupakan salah satu media pendidikan kesehatan yang

melibatkan indera pendengaran dan penglihatan pada proses penyampaian

7

sehingga mempermudah pemahaman, sehingga informasi yang diperoleh menjadi

lebih banyak. Media ini juga lebih menarik perhatian, menghemat waktu, dan

dapat diputar berulang-ulang. Alat-alat audiovisual dapat menyampaikan

pengertian atau informasi dengan cara yang lebih konkrit atau lebih nyata

daripada yang disampaikan oleh kata-kata yang diucapkan, dicetak atau ditulis.

Oleh karena itu, alat-alat audiovisual membuat suatu pengertian atau informasi

menjadi lebih berarti (Lucie, 2005).

Hasil wawancara dengan tiga petugas kesehatan dari salah satu Puskesmas di

Yogyakarta pada tanggal 7 Juni 2013 mengatakan bahwa media audiovisual

sangat bagus dan penting untuk pendidikan kesehatan. Media audiovisual

membuat tenaga kesehatan lebih mudah dalam penyampaian pendidikan,

sayangnya media ini masih terbatas.

Puskesmas Jetis adalah salah satu puskesmas di Yogyakarta yang telah

memiliki rawat inap persalinan dan telah melaksanakan program Inisiasi Menyusu

Dini. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 21 Mei

2013 di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta diperoleh data bahwa angka Inisiasi

Menyusu Dini di daerah Pukesmas Jetis tahun 2012 sebesar 47,59%, peneliti ingin

lebih memaksimalkan angka tersebut.

Edukasi yang diterima ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas

Jetis dilakukan melalui penyuluhan saat kunjungan ibu hamil seminggu dua kali

dan kelas ibu. Penyuluhan saat kunjungan ibu hamil berisi konsultasi antara ibu

hamil dan bidan mengenai kehamilan, persalinan, dan menyusui. Pelaksanaan

kelas ibu di Puskesmas Jetis tidak rutin, metode yang digunakan adalah ceramah

8

dan juga video tentang persalinan dan menyusui. Oleh karena itu, peneliti ingin

memberikan pendidikan kesehatan tentang Inisiasi Menyusu Dini agar ibu hamil

mendapatkan pengetahuan tentang Inisiasi Menyusu Dini. Penggunaan media

audiovisual dalam pendidikan kesehatan dimaksudkan agar penyampaian

informasi menjadi lebih mudah dan bisa terus dilaksanakan, serta sarana di

Puskesmas Jetis memadai untuk dilakukannya pemberian pendidikan kesehatan

dengan media ini.

Bedasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul

“Pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual terhadap

keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis

Yogyakarta”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan

permasalahan penelitian sebagai berikut : Adakah pengaruh pendidikan kesehatan

dengan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi

Menyusu Dini di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian

pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu

dalam proses Inisiasi Menyusu Dini.

9

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui rerata skor keterlibatan ibu pasca melahirkan dalam proses

Inisiasi Menyusu Dini jika tanpa diberikan pendidikan kesehatan dengan

media audiovisual di Puskesmas Jetis Yogyakarta.

b. Mengetahui rerata skor keterlibatan ibu pasca melahirkan dalam proses

Inisiasi Menyusu Dini setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan media

audiovisual di Puskesmas Jetis Yogyakarta.

c. Mengetahui perbedaan rerata skor keterlibatan ibu pasca melahirkan dalam

proses Inisiasi Menyusu Dini pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol.

d. Mengetahui perbedaan keberhasilan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu

Dini pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu

pengetahuan tentang pengaruh pendidikan kesehatan dengan media audiovisual

terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas

Jetis Yogyakarta.

10

2. Praktis

a. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan peneliti mengenai Inisiasi Menyusu Dini serta

memperoleh informasi mengenai pengaruh pendidikan kesehatan dengan

media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu

Dini di Puskesmas Jetis Yogyakarta.

b. Bagi perawat

Memberikan tambahan informasi pada perawat dalam fungsinya sebagai

konselor sehingga dapat memberikan pendidikan atau penyuluhan terkait

dengan Inisiasi Menyusu Dini dan manfaatnya.

c. Bagi ibu hamil

Menambah pengetahuan bagi ibu hamil mengenai manfaat dan

pentingnya Inisiasi Menyusu Dini dalam upaya meningkatkan angka

harapan hidup bayi. Selain itu dapat menjadikan suatu motivasi ibu untuk

menerapkan Inisiasi Menyusu Dini.

d. Bagi manajerial Puskesmas

Memberikan informasi tentang keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi

Menyusu Dini di Puskesmas tersebut, sehingga dapat memotivasi

Puskesmas untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terutama pada

program Inisiasi Menyusu Dini.

11

E. Keaslian Penelitian

Sejauh pengamatan dan penelusuran oleh peneliti, penelitian mengenai

pengaruh pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap keterlibatan

ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis Yogyakarta belum

pernah dilakukan, tetapi ada penelitian yang hampir sama, diantaranya:

1. Hidayat, K. A (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan

Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini berdasar Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil”.

Penelitian Hidayat merupakan penelitian cohort prospectif. Subjek penelitian

sebanyak 56 ibu hamil dengan usia kehamilan lebih dari 28 minggu yang

memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Halmahera dan Puskesmas

Ngesrep selama Maret-Juni 2012. Instrumen yang digunakan dalam penelitian

Hidayat adalah kuesioner untuk mengukur tingkat pengetahuan dan lembar

wawancara yang dirancang sendiri oleh peneliti. Hasil penelitian Hidayat

menunjukan bahwa pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini pada ibu dengan

tingkat pengetahuan mengenai Inisiasi Menyusu Dini yang tinggi lebih besar

dibandingkan ibu dengan tingkat pengetahuan mengenai Inisiasi Menyusu Dini

yang rendah. Persamaan penelitian Hidayat dengan penelitian ini terletak pada

rancangan penelitiannya yaitu sama-sama meneliti tentang Inisiasi Menyusu

Dini. Perbedaannya terletak pada rancangan, variabel, subjek dan tempat

penelitian.

2. Kulkarni, A.L (2010) melakukan penelitian yang berjudul “A Randomized

Controlled Trial to Know The Acceptability and Feasibility of Early Skin to

Skin Contact Between The Baby and The Mother on Promotion of Early

12

Initiation of Breast Feeding”. Penelitian Kulkarni menggunakan desain

randomised controlled trial dengan kelompok kontrol dan kelompok intervensi

yang bertujuan untuk mengetahui penerimaan dan kelayakan kontak dini kulit

ke kulit dari bayi dan ibu untuk meningkatkan Inisiasi Menyusu Dini dan ASI

ekslusif. Subjek dalam penelitian Kulkarni adalah 250 bayi sehat yang lahir

normal dengan berat badan lebih dari 2,5kg. Instrumen yang digunakan dalam

penelitian Kulkarni adalah stopwatch untuk mengukur waktu pertama kali bayi

menyusu setelah lahir, timbangan berat badan, infantometer, pengukur lingkar

kepala, termometer, dan kuesioner untuk ikatan dan keyakinan ibu yang

dikembangkan oleh peneliti. Hasil penelitian Kulkarni menunjukan bahwa

kontak dini kulit ke kulit antara bayi dan ibu meningkatkan pelaksanaan

Inisiasi Menyusu Dini dan ASI eksklusif. Persamaan penelitian Kulkarni

dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang Inisiasi Menyusu

Dini, serta menggunakan kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Perbedaannya terletak pada desain, subjek dan tempat penelitian.

3. Indramukti, F (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Faktor yang

Berhubungan dengan Praktik Inisiasi Menyusu Dini pada Ibu Pasca Bersalin

Normal”. Penelitian Indramukti merupakan penelitian dengan rancangan cross-

sectional. Populasi dalam penelitian adalah ibu pasca bersalin normal di

wilayah kerja Puskesmas Blado I Kabupaten Batang, berjumlah 96 dan sampel

berjumlah 48 ibu pasca bersalin. Instrumen yang digunakan dalam penelitian

Indramukti adalah kuesioner. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang

berhubungan dengan praktik Inisiasi Menyusu Dini pada ibu pasca bersalin

13

normal di wilayah kerja Puskesmas Blado I yaitu sikap, peran petugas

kesehatan dan dukungan orang terdekat. Sedangkan yang tidak berhubungan

adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan. Persamaan penelitian Indramukti

dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang Inisiasi Menyusu

Dini. Perbedaannya terletak pada variabel, subjek dan tempat, serta rancangan

penelitian yang digunakan.

4. Hartatik (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Tingkat Pengetahuan Ibu

Hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di BPS Dyah Sumarmo Desa Tanjungsari

Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali Tahun 2012”. Penelitian Hartatik

menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitaif yang bertujuan untuk

mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini.

Populasi yang digunakan dalam penelitian Hartatik adalah seluruh ibu hamil

yaitu sebanyak 35 responden di BPS Dyah Sumarmo Boyolali Desa

Tanjungsari Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali dan pengambilan

sampel ditentukan dengan teknik sampling jenuh. Instrumen yang digunakan

dalam penelitian Hartatik adalah kuesioner untuk mengukur pengetahuan yang

disusun sendiri oleh peneliti. Hasil penelitian Hartatik menunjukan bahwa

tingkat pengetahuan ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini terbanyak pada

kategori cukup yaitu sebanyak 20 responden (57,1%) dan hal ini dipengaruhi

oleh umur, lingkungan, pendidikan dan pengalaman. Persamaan penelitian

Hartatik dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang Inisiasi

Menyusu Dini. Perbedaannya terletak pada variabel, subjek dan tempat, serta

rancangan penelitian yang digunakan.

14

5. Anggraini, V (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Sikap Ibu Hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta”. Penelitian Anggraini merupakan jenis penelitian

non eksperimental yaitu penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan

rancangan cross-sectional. Subyek penelitian sebanyak 72 ibu hamil yang

memeriksakan kehamilannya di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Instrumen yang digunakan pada penelitian Anggraini adalah kuesioner untuk

mengukur pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap Inisiasi Menyusu Dini

yang disusun oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang

paling dominan mempengaruhi sikap ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini

di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah pengetahuan. Persamaan

penelitian Anggraini dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang

Inisiasi Menyusu Dini. Perbedaannya terletak pada variabel, subjek dan tempat,

serta rancangan penelitian yang digunakan.

6. Mirhead, P.E., et al. (2006) melakukan penelitian yang berjudul “The Effect of

a Programme of Organised and Supervised Peer Support on The Initiation and

Duration of Breastfeeding: A Randomised Trial”. Penelitian Mirhead

menggunakan desain two-group randomised controlled trial untuk

membandingkan kelompok dengan peer support dan kelompok kontrol.

Subyek penelitian sebanyak 225 ibu hamil dengan usia kehamilan 28 minggu

di praktek umum di Ayrshire, Scotland. Instrumen yang digunakan pada

penelitian Mirhead, et al. adalah kuesioner. Kuesiner tersebut digunakan untuk

mengetahui kapan ibu berhenti menyusui, memulai susu formula dan makanan

15

padat serta masalah yang dialami, dan jenis dukungan yang diterima pada hari

ke 10, minggu ke 8 dan minggu ke 16 yang disusun oleh peneliti. Hasil

penelitian menunjukan tidak ada kenaikan yang spesifik terhadap inisiasi dan

durasi menyusui pada kelompok peer support di populasi ini. Persamaan

penelitian Mirhead., et al. dengan penelitian ini adalah sama-sama

menggunakan kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Perbedaannya

terletak pada variabel, subjek dan tempat, serta rancangan penelitian yang

digunakan.

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Inisiasi Menyusu Dini

Inisiasi Menyusu Dini adalah menyusui bayi sesaat setelah ibu melahirkan

maka biasanya bayi akan dibiarkan atau diletakkan di atas dada ibu agar sang

anak dapat mencari puting ibunya sendiri (Kodrat, 2010). Inisiasi Menyusu

Dini (early initiation) atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai

menyusu segera setelah lahir, sebenarnya bayi manusia seperti juga bayi

mamalia lain mempunyai kemampuan untuk menyusu sendiri. Cara bayi

melakukan Inisiasi Menyusu Dini ini dinamakan the breast crawl atau

merangkak mencari payudara (Roesli, 2008).

Metode Inisiasi Menyusu Dini diperkenalkan oleh Karen pada Maret 2006.

Metode ini dilandaskan pada refleks atau kemampuan bayi dalam

mempertahankan diri, Karen menjelaskan bahwa bayi yang baru berusia 20

menit dengan sendirinya dapat langsung mencari puting susu ibunya (Karen,

2006).

Inisiasi Menyusu Dini adalah bayi diberi kesempatan memulai/inisiasi

menyusu sendiri segera setelah lahir/ dini, dengan membiarkan kontak kulit

bayi dengan kulit ibu setidaknya satu jam atau lebih, sampai menyusu pertama

selesai. Apabila dalam satu jam tidak ada reaksi menyusu, maka boleh

mendekatkan puting susu tetapi beri kesempatan bayi untuk inisiasi. Dalam

prosedur ini kontak kulit bayi dengan kulit ibu (skin to skin) lebih bermakna

17

dibandingkan dengan proses inisiasi itu sendiri. Ada beberapa intervensi yang

dapat mengganggu kemampuan alami bayi untuk mencari dan menemukan

sendiri payudara ibunya. Diantaranya, obat kimiawi yang diberikan saat ibu

bersalin, kelahiran melalui obat-obatan atau tindakan seperti caesar, vacum,

forsep, episiotomi.

Dalam istilah yang lain, Inisiasi Menyusui Dini disebut juga sebagai proses

Breast Crawl. Dalam sebuah publikasi oleh breastcrawl.org, yang berjudul

Breast Crawl: A Scientific Overview, ada beberapa hal yang menyebabkan bayi

mampu menemukan sendiri puting ibunya, dan mulai menyusui, yaitu:

1) Sensory Inputs atau indera yang terdiri dari penciuman terhadap bau khas

ibunya setelah melahirkan, penglihatan karena bayi baru dapat mengenal

pola hitam putih, bayi akan mengenali puting dan wilayah areola ibunya

karena warna gelapnya. Berikutnya adalah indera pengecap, bayi mampu

merasakan cairan amniotic yang melekat pada jari-jari tangannya, sehingga

bayi pada saat baru lahir suka menjilati jarinya sendiri. Kemudian, dari

indera pendengaran, sejak dari dalam kandungan suara ibu adalah suara

yang paling dikenalnya. Dan yang terakhir dari indera perasa dengan

sentuhan, sentuhan kulit-ke-kulit antara bayi dengan ibu adalah sensasi

pertama yang memberi kehangatan, dan rangsangan lainnya.

2) Central Component. Otak bayi yang baru lahir sudah siap untuk segera

mengeksplorasi lingkungannya, dan lingkungan yang paling dikenalnya

adalah tubuh ibunya. Rangsangan ini harus segera dilakukan, karena jika

terlalu lama dibiarkan, bayi akan kehilangan kemampuan ini. Inilah yang

18

menyebabkan bayi yang langsung dipisah dari ibunya, akan lebih sering

menangis daripada bayi yang langsung ditempelkan ke tubuh ibunya.

3) Motor Outputs. Bayi yang merangkak di atas tubuh ibunya, merupakan

gerak yang paling alamiah yang dapat dilakukan bayi setelah lahir. Selain

berusaha mencapai puting ibunya, gerakan ini juga memberi banyak

manfaat untuk sang ibu, misalnya mendorong pelepasan plasenta dan

mengurangi pendarahan pada rahim ibu.

a. Alasan dan Manfaat Inisiasi Menyusu Dini

Menurut Aprillia (2009), berbagai penelitian mengemukakan alasan

Inisiasi Menyusu Dini antara lain:

1) Inisiasi Menyusu Dini dapat mencegah 22% kematian bayi di negara

berkembang pada usia dibawah 28 bulan, namun jika menyusu pertama,

saat bayi berusia diatas dua jam dan dibawah 24 jam pertama, maka

dapat mencegah 16% kematian bayi di bawah 28 hari.

2) Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini dengan meletakkan bayi

dengan kontak kulit ke kulit setidaknya selama satu jam, mempunyai

hasil dua kali lebih lama disusui.

3) Menunda Inisiasi Menyusu Dini akan meningkatkan resiko kematian

pada neonatus.

4) Pemberian ASI secara dini mempunyai 8 kali lebih besar kemungkinan

dalam memberikan ASI Eksklusif.

19

5) Inisiasi Menyusu Dini akan meningkatkan keberhasilan pemberian ASI

eksklusif 6 bulan karena kontak dini ibu dan bayi akan meningkatkan

lama menyusui dua kali dibandingkan dengan kontak yang lambat.

6) Ibu dan bayi berinteraksi pada menit-menit pertama setelah lahir.

7) Kemampuan ibu untuk menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu yang

dibutuhkan bayi meningkat meningkat (thermoregulation thermal

syncron).

Sedangkan manfaat dari Inisiasi Menyusu Dini menurut Aprillia (2009),

antara lain:

1) Manfaat Inisiasi Menyusu Dini untuk bayi

a) Menurunkan angka kematian bayi karena hypothermia.

b) Dada ibu menghangat bayi dengan suhu yang tepat, sehingga bayi

tidak kedinginan.

c) Bayi mendapatkan kolustrum yang kaya akan anti bodi, penting untuk

pertumbuhan usus dan ketahanan bayi terhadap infeksi.

d) Bayi dapat menjilat kulit ibu dan menelan bakteri yang aman,

berkoloni di usus bayi dan menyaingi bakteri pathogen.

e) Menyebabkan kadar glukosa darah bayi yang lebih baik pada

beberapa jam setelah persalinan.

f) Pengeluaran mekonium lebih dini, sehingga menurunkan intensitas

ikterus normal pada bayi baru lahir.

2) Manfaat Inisiasi Menyusu Dini untuk ibu

a) Ibu dan bayi menjadi lebih tenang.

20

b) Jalinan kasih sayang ibu dan bayi lebih baik sebab bayi siaga dalam 1-

2 jam pertama.

c) Sentuhan, jilatan, usapan pada puting susu ibu akan merangsang

pengeluaran hormon oxytosin.

d) Membantu kontraksi uterus, mengurangi resiko perdarahan, dan

mempercepat pelepasan plasenta.

b. Manfaat Kontak Kulit Ibu dan Bayi

Menurut Roesli (2008), manfaat kontak kulit ibu dan bayi antara lain:

1) Dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak

mencari payudara. Ini akan menurunkan kematian karena kedinginan

(hypothermia).

2) Ibu dan bayi merasa lebih tenang. Pernapasan dan detak jantung bayi

lebih stabil. Bayi akan lebih jarang menangis sehingga mengurangi

pemakaian energi.

3) Saat merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit

ibunya dan ia akan menjilat-jilat kulit ibu, menelan bakteri „baik‟ di kulit

ibu. Bakteri „baik‟ ini akan berkembang biak membentuk koloni di kulit

dan usus bayi, menyaingi bakteri „jahat‟ dari lingkungan.

4) „Bonding’ (ikatan kasih sayang) antara ibu bayi akan lebih baik karena

pada 1-2 jam pertama, bayi dalam keadaan siaga. Setelah itu, biasanya

bayi tidur dalam waktu yang lama.

21

5) Makanan awal non-ASI mengandung zat putih telur yang bukan berasal

dari susu manusia, misalnya dari susu hewan. Hal ini dapat mengganggu

pertumbuhan fungsi usus dan mencetuskan alergi lebih awal.

6) Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini lebih berhasil menyusu

eksklusif dan akan lebih lama disusui.

7) Hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di puting susu

dan sekitarnya, emutan, dan jilatan bayi pada puting ibu merangsang

pengeluaran hormon oksitosin.

8) Bayi mendapat ASI kolostrum, ASI yang pertama kali keluar. Cairan

emas ini kadang juga dinamakan the gift of life. Bayi yang diberi

kesempatan Inisiasi Menyusu Dini lebih dahulu mendapat kolostrum

daripada yang tidak diberi kesempatan. Kolostrum merupakan ASI

istimewa yang kaya akan daya tahan tubuh, penting untuk ketahanan

terhadap infeksi, penting untuk pertumbuhan usus, bahkan kelangsungan

hidup bayi. Kolostrum akan membuat lapisan yang melindungi dinding

usus bayi yang masih belum matang sekaligus mematangkan dinding

usus ini.

9) Ibu dan ayah akan merasa sangat bahagia bertemu dengan bayinya untuk

pertama kali dalam kondisi seperti ini. Bahkan, ayah mendapat

kesempatan mengadzankan anaknya di dada ibunya. Suatu pengalaman

batin bagi ketiganya yang amat indah.

22

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini

Dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini, terdapat faktor-faktor yang

mendukung maupun menghambat terlaksananya Inisiasi Menyusu Dini.

Faktor-faktor ini dapat berupa faktor internal dari ibu sendiri yaitu faktor

predisposisi, maupun faktor eksternal yaitu faktor pendukung dan

pendorong. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Inisiasi

Menyusu Dini menurut Hidayat ( 2012), antara lain:

1) Pengetahuan ibu hamil mengenai Inisiasi Menyusu Dini

Pengetahuan merupakan faktor utama terlaksananya Inisiasi

Menyusu Dini dengan benar. Dengan memiliki pengetahuan yang

adekuat tentang Inisiasi Menyusu Dini maka ibu akan memiliki tambahan

kepercayaan diri dalam menyusui bayinya sehingga bayi akan

mendapatkan perawatan yang optimal. Sedangkan bila pengetahuan yang

dimiliki ibu tidak adekuat maka ibu akan menjadi kurang percaya diri

dalam menyusui bayinya sehingga bayi tersebut kehilangan sumber

makanan yang vital bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Adekuat

tidaknya pengetahuan ibu dapat dilihat dengan penggunaan susu formula

dan makanan tambahan secara dini pada bayi.

2) Sikap ibu hamil terhadap Inisiasi Menyusu Dini

Pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap Inisiasi Menyusu Dini akan

membentuk tindakan yang akan dilakukan ibu tersebut. Jika pengetahuan

dan sikap ibu hamil terhadap Inisiasi Menyusu Dini baik maka

kemungkinan ibu tersebut akan melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini

23

akan meningkat, namun sebaliknya jika pengetahuan dan sikap ibu hamil

buruk, maka kemungkinan ibu tersebut akan menolak untuk melakukan

Inisiasi Menyusu Dini akan meningkat.

3) Dukungan petugas kesehatan

Peran petugas kesehatan dalam Inisiasi Menyusu Dini sangat penting

karena ibu membutuhkan bantuan dan fasilitasi dari petugas kesehatan

untuk dapat melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Petugas kesehatan yang

memiliki sifat positif terhadap pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini seperti

memberikan informasi tentang pentingnya Inisiasi Menyusu Dini, senang

bila ibu mengerti akan pentingnya Inisiasi Menyusu Dini, dan membantu

pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini akan memiliki kemungkinan lebih

besar untuk menyukseskan pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini.

Dukungan ini sebaiknya dilakukan baik pada saat prenatal ataupun post

natal karena hal ini diyakini secara efektif dapat mendorong ibu untuk

melakukan Inisiasi Menyusu Dini dan meningkatkan kemungkinan

pemberian ASI eksklusif. Namun sering petugas kesehatan tidak

memfasilitasi ibu untuk melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini, hal ini

karena kurangnya informasi pada petugas kesehatan. Untuk itu

penyuluhan terhadap petugas kesehatan harus dilakukan.

4) Dukungan anggota keluarga

Dukungan anggota keluarga, terutama dukungan suami akan

menciptakan lingkungan yang kondusif yang sangat berpengaruh

terhadap keberhasilan ibu dalam melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini.

24

5) Sarana kesehatan

Dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini, jika sarana kesehatan

mendukung terlaksananya Inisiasi Menyusu Dini maka program Inisiasi

Menyusu Dini akan berjalan dengan baik. Namun jika sarana kesehatan

tersebut tidak mendukung program Inisiasi Menyusu Dini maka program

tersebut tidak akan berjalan dengan baik.

6) Kebijakan pemerintah

Pemerintah yang tidak memasukkan program pelaksanaan Inisiasi

Menyusu Dini secara eksplisit dalam kebijakannya akan menyebabkan

tidak berjalannya program Inisiasi Menyusu Dini di fasilitas-fasilitas

kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dimasukkan program

Inisiasi Menyusu Dini didalam kebijakan agar program tersebut dapat

diimplementasikan secara efektif.

7) Masa kehamilan

Pada bayi yang kelahirannya sesuai masa kehamilan normal (aterm),

tingkat pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini lebih tinggi dibandingkan

dengan bayi yang masa kelahirannya kurang dari normal (preterm). Hal

ini karena kemampuan bayi tersebut untuk melakukan koordinasi yang

dibutuhkan saat melakukan Inisiasi Menyusu Dini seperti penghisapan

air susu, penelanan air susu, dan koordinasi saat bernafas berkurang.

8) Metode persalinan

Pada ibu yang menggunakan metode persalinan normal, tingkat

pelaksanaannya lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang

25

menggunakan metode persalinan caesar. Hal ini karena pada persalinan

caesar ibu mungkin diberi anestesi umum sehingga tidak bisa melakukan

Inisiasi Menyusu Dini. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan

penggunaan anestesi regional, spinal dan epidural. Namun, penggunaan

analgesi pada operasi caesar juga dapat menurunkan kemungkinan bayi

melakukan Inisiasi Menyusu Dini karena bayi tersebut mengalami

gangguan perilaku dalam mencari puting susu ibu.

9) Kondisi yang tidak memungkinkan ibu untuk melakukan Inisiasi

Menyusu Dini

Terdapat beberapa kondisi yang tidak memungkinkan ibu untuk

melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Kondisi ini antara lain adalah ibu

menderita penyakit yang dapat ditularkan kepada bayi melalui air susu.

Penyakit ini contohnya adalah HIV, sifilis, dan HTLV-I/II. Kondisi

lainnya adalah ibu mengalami gangguan hemodinamik seperti

preeklampsia dan eklampsia.

10) Riwayat partus

Penelitian yang dilakukan oleh Vieira, et al menunjukkan bahwa pada

ibu yang belum pernah melahirkan, tingkat pelaksanaan Inisiasi Menyusu

Dini lebih tinggi dibanding ibu yang pernah melahirkan. Selain itu, ibu

yang memiliki anak sedikit mempunyai kemungkinan menyusui ASI

eksklusif lebih besar dibanding ibu yang memiliki anak banyak.

26

d. Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini

Pencapaian keberhasilan tindakan Inisiasi Menyusu Dini akan tercapai

apabila dilakukan secara benar oleh tenaga kesehatan yang menolong

Inisiasi Menyusu Dini. Ada hal-hal yang harus dilakukan agar Inisiasi

Menyusu Dini mencapai keberhasilan, tindakan yang paling menentukan

keberhasilan Inisiasi Menyusu Dini salah satunya adalah membiarkan bayi

mencari puting ibunya sendiri.

Menurut Roesli (2008), berikut ini 5 tahapan dalam proses Inisiasi

Menyusu Dini:

1) Dalam 30 menit pertama, stadium istirahat atau diam dalam keadaan

siaga. Bayi diam tidak bergerak, sesekali matanya terbuka lebar melihat

ibunya. Masa tenang yang istimewa ini merupakan penyesuaian peralihan

dari keadaan dalam kandungan ke luar kandungan.

2) Antara 30-40 menit, mengeluarkan suara, gerakan mulut seperti mau

minum, mencium, menjilat tangan. Bayi mencium dan merasakan air

ketuban yang ada ditangannya. Bau dan rasa ini akan membimbing bayi

untuk menemukan payudara dan puting susu ibu.

3) Mengeluarkan air liur, saat menyadari ada makanan disekitarnya bayi

mulai mengeluarkan air liurnya.

4) Bayi mulai bergerak kearah payudara. Areola (kalang payudara) sebagai

sasaran, dengan kaki menekan perut ibu. Ia menjilat-jilat kulit ibu,

menoleh ke kanan dan ke kiri, serta menyentuh dan meremas daerah

puting susu dan sekitarnya dengan tangan yang mungil.

27

5) Menemukan, menjilat, mengulum puting, membuka mulut lebar, dan

melekat dengan baik.

Secara garis besar tata laksana Inisiasi Menyusu Dini dilaksanakan dalam

tahapan sebagai berikut (Depkes RI, 2008):

1) Dalam proses melahirkan, ibu disarankan untuk mengurangi atau tidak

menggunakan obat kimiawi. Jika ibu menggunakan obat kimiawi terlalu

banyak, dikhawatirkan akan terbawa ASI ke bayi yang nantinya akan

menyusu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini.

2) Para petugas kesehatan yang membantu ibu menjalani proses melahirkan,

akan melakukan kegiatan penanganan kelahiran seperti biasanya. Begitu

pula jika ibu harus menjalani operasi caesar.

3) Setelah lahir, bayi secepatnya dikeringkan seperlunya tanpa

menghilangkan vernix (kulit putih). Vernix (kulit putih) menyamankan

kulit bayi.

4) Bayi kemudian ditengkurapkan di dada atau perut ibu, dengan kulit bayi

melekat pada kulit ibu. Untuk mencegah bayi kedinginan, kepala bayi

dapat dipakaikan topi. Kemudian, jika perlu, bayi dan ibu diselimuti.

5) Bayi yang ditengkurapkan di dada atau perut ibu, dibiarkan untuk

mencari sendiri puting susu ibunya (bayi tidak dipaksakan ke puting

susu). Pada dasarnya, bayi memiliki naluri yang kuat untuk mencari

puting susu ibunya.

6) Saat bayi dibiarkan untuk mencari puting susu ibunya, Ibu perlu

didukung dan dibantu untuk mengenali perilaku bayi sebelum menyusu.

28

Posisi ibu yang berbaring mungkin tidak dapat mengamati dengan jelas

apa yang dilakukan oleh bayi.

7) Bayi tetap dibiarkan dalam posisi kulitnya bersentuhan dengan kulit ibu

sampai proses menyusu pertama selesai.

8) Setelah selesai menyusu awal, bayi baru dipisahkan untuk ditimbang,

diukur, dicap, diberi vitamin K dan tetes mata.

9) Ibu dan bayi tetap bersama dan dirawat-gabung. Rawat-gabung

memungkinkan ibu menyusui bayinya kapan saja si bayi

menginginkannya, karena kegiatan menyusui tidak boleh dijadwal.

Rawat-gabung juga akan meningkatkan ikatan batin antara ibu dengan

bayinya, bayi jadi jarang menangis karena selalu merasa dekat dengan

ibu, dan selain itu dapat memudahkan ibu untuk beristirahat dan

menyusui.

Sedangkan berikut ini adalah 11 tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini

menurut Roesli (2008):

1) Dianjurkan suami atau keluarga mendampingi ibu saat persalinan.

2) Dalam menolong ibu saat melahirkan, disarankan untuk tidak atau

mengurangi penggunaan obat kimiawi.

3) Dibersihkan dan dikeringkan, kecuali tangannya, tanpa menghilangkan

vernik caseosanya.

4) Bayi ditengkurapkan di perut ibu dengan kulit bayi melekat pada kulit

ibu. Keduanya diselimuti, bayi dapat diberi topi.

29

5) Anjurkan ibu menyentuh bayi untuk merangsang bayi mendekati puting

susu.

6) Bayi dibiarkan mencari puting susu ibu sendiri.

7) Biarkan kulit bayi bersentuhan dengan kulit ibu selama paling tidak satu

jam walaupun proses menyusu awal sudah terjadi atau sampai selesai

menyusu awal.

8) Tunda menimbang, mengukur, suntikan vitamin K, dan memberikan tetes

mata bayi sampai proses menyusu awal selesai.

9) Ibu bersalin dengan tindakan operasi , tetap berikan kesempatan kontak

kulit.

10) Berikan ASI saja tanpa minuman atau makanan lain kecuali atas

indikasi medis.

11) Rawat Gabung; ibu dan bayi dirawat dalam satu kamar, dalam

jangkauan ibu selama 24 jam. Bila inisiasi dini belum terjadi di kamar

bersalin; bayi tetap diletakkan didada ibu waktu dipindahkan ke kamar

perawatan dan usaha menyusu dini dilanjutkan didalam kamar

perawatan.

Tahapan tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini dari Roesli tersebut

sebenarnya hampir sama dengan tahapan yang dikemukakan oleh Dinkes,

hanya saja Roesli menambahkan untuk suami dan keluarga dianjurkan untuk

mendampingi ibu.

Inisiasi dini yang kurang tepat adalah menyorongkan mulut bayi ke

puting ibunya untuk disusui segera setelah lahir saat bayi belum siap

30

minum. Ini bisa mengurangi tingkat keberhasilan inisiasi awal menyusu.

Bayi baru menunjukkan kesiapan untuk minum 30-40 menit setelah

dilahirkan. Pada persalinan dengan operasi, inisiasi dini butuh waktu hingga

lebih dari satu jam dengan tingkat keberhasilan 50%.

e. Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini pada Operasi Caesar

Ibu yang melahirkan dengan tindakan seperti operasi caesar perlu

diberikan kesempatan kontak kulit bayi ke kulit ibu. Jika ibu belum pulih

karena pembiusan, ayah dapat melakukan kontak kulit bayi ke kulit ayah,

menunggu sampai ibu pulih (Depkes RI, 2008). Namun, jika diberikan

anestesi spinal atau epidural, ibu dalam keadaan sadar sehingga dapat segera

memberi respon pada bayi. Bayi dapat segera diposisikan sehingga kotak

kulit ibu dan bayi dapat terjadi. Usahakan menyusu pertama dilakukan di

kamar operasi. Jika keadaan ibu atau bayi belum memungkinkan, bayi

diberikan pada ibu pada kesempatan yang tercepat (Roesli, 2008).

Untuk mendukung terjadinya inisiasi menyusu dini pada persalinan

caesar, berikut ini tatalaksananya:

1) Tenaga dan pelayanan kesehatan yang suportif.

2) Jika mungkin, diusahakan suhu ruangan 200-25

0C. Disediakan selimut

untuk menutupi punggung bayi dan badan ibu. Disiapkan juga topi bayi

untuk mengurangi hilangnya panas dari kepala bayi.

3) Tatalaksana selanjutnya sama dengan tatalaksana umum.

4) Jika inisiasi dini belum terjadi di kamar bersalin, kamar operasi, atau bayi

harus dipindah sebelum satu jam maka bayi tetap diletakkan di dada ibu

31

ketika dipindahkan ke kamar perawatan atau pemulihan. Menyusu dini

dilanjutkan di kamar perawatan ibu atau kamar pulih (Roesli, 2008).

f. Inisiasi Menyusu Dini yang Kurang Tepat

Saat ini, umunya praktek Inisiasi Menyusu Dini yang dilaksanakan

sebagai berikut:

1) Begitu lahir, bayi diletakkan di perut ibu yang sudah dialasi kain kering,

yang tidak memungkinkan terjadinya kontak kulit antara bayi ke ibu.

2) Bayi segera dikeringkan dengan kain kering, tali pusat dipotong lalu

diikat.

3) Karena takut kedinginan, bayi dibungkus (dibedong) dengan selimut

bayi.

4) Dalam keadaan dibedong, bayi diletakkan di dada ibu (tidak terjadi

kontak kulit dengan kulit ibu). Bayi dibiarkan di dada ibu (bonding)

untuk beberapa lama (10-15 menit) atau sampai tenaga kesehatan selesai

menjahit perineum.

5) Selanjutnya, diangkat dan disusukan pada ibu dengan cara memasukkan

puting susu ibu ke mulut bayi.

6) Setelah itu, bayi di bawa ke kamar transisi atau kamar pemulihan

(recovery room) untuk di timbang, diukur, dicap, diazankan oleh ayah,

diberi suntikan vitamin K dan kadang di beri tetes mata (Roesli, 2008).

g. Penghambat Inisiasi Menyusu Dini

Menurut UNICEF (2006), banyak sekali masalah yang dapat

menghambat pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini antara lain:

32

1) Kurangnya kepedulian terhadap pentingnya Inisiasi Menyusu Dini.

2) Kurangnya konseling oleh tenaga kesehatan dan kurangnya praktek

Inisiasi Menyusu Dini.

3) Adanya pendapat bahwa suntikan vitamin K dan tetes mata untuk

mencegah penyakit gonorrhea harus segera diberikan setelah lahir,

padahal sebenarnya tindakan ini dapat ditunda setidaknya selama satu

jam sampai bayi menyusu sendiri.

4) Masih kuatnya kepercayaan keluarga bahwa ibu memerlukan istirahat

yang cukup setelah melahirkan dan menyusui sulit dilakukan.

5) Kepercayaan masyarakat yang menyatakan bahwa kolostrum yang keluar

pada hari pertama tidak baik untuk bayi.

6) Kepercayaan masyarakat yang tidak mengijinkan ibu untuk menyusui

dini sebelum payudaranya di bersihkan.

Sedangkan beberapa pendapat yang menghambat terjadinya kontak

dini kulit ibu dengan kulit bayi menurut Roesli (2008) yaitu :

1) Bayi kedinginan

Berdasarkan Penelitian dr Niels Bergman (2005) ditemukan bahwa

suhu dada ibu yang melahirkan menjadi 1°C lebih panas daripada suhu

dada ibu yang tidak melahirkan. Jika bayi yang diletakkan di dada ibu

ini kepanasan, suhu dada ibu akan turun 1°C. Jika bayi kedinginan suhu

dada ibu akan meningkat 2°C untuk menghangatkan bayi.

33

2) Setelah melahirkan, ibu terlalu lelah untuk segera menyusui bayinya

Seorang ibu jarang terlalu lelah untuk memeluk bayinya segera setelah

lahir. Keluarnya oksitosin saat kontak kulit ke kulit serta saat bayi

menyusu dini membantu menenangkan ibu.

3) Tenaga Kesehatan kurang tersedia

Saat bayi di dada ibu, bayi dapat menemukan sendiri payudara ibu.

Penolong persalinan dapat tetap menjalankan tugas. Ayah atau keluarga

terdekat dapat mebantu untuk menjaga bayi sambil memberikan

dukungan pada ibu.

4) Kamar bersalin atau kamar operasi sibuk

Dengan bayi diatas ibu, ibu dapat dipindahkan keruang pulih atau

kamar perawatan. Beri kesempatan pada bayi untuk meneruskan

usahanya mencapai payudara dan menyusu dini.

5) Ibu harus dijahit

Kegiatan merangkak mencari payudara terjadi diarea payudara.yang

dijahit adalah bagian bawah tubuh ibu.

6) Suntikan vitamin K dan tetes mata untuk mencegah penyakit gonorrhea

harus segera diberikan setelah lahir

7) Bayi harus segera dibersihkan, dimandikan, ditimbang, dan diukur

Menunda memandikan bayi berarti menghindarkan hilangnya panas

badan bayi. Selain itu, kesempatan vernix (zat lemak putih yang melekat

pada bayi) meresap,melunakkan dan melindungi kulit bayi lebih besar.

34

Bayi dapat dikeringkan segera setelah lahir. Penimbangan dan

pengukuran dapat ditunda sampai menyusu dini selesai.

8) Bayi kurang siaga

Pada 1 -2 jam pertama kelahirannya, bayi sangat siaga (alert). Setelah

itu, bayi tidur dalam waktu yang lama. Jika bayi mengantuk akibat obat

yang diasup ibu, kontak kulit akan lebih penting lagi karena bayi

memerlukan bantuan lebih untuk bonding (ikatan kasih sayang).

9) Kolostrum tidak keluar atau jumlah kolostrum tidak memadai sehingga

diperlukan cairan lain (cairan prelaktal)

Kolostrum cukup dijadikan makanan pertama bayi baru lahir. Bayi

dilahirkan dengan membawa bekal air dan gula yang dapat dipakai pada

saat itu.

10) Kolostrum tidak baik, bahkan berbahaya bagi bayi

Kolostrum sangat diperlukan untuk tumbuh kembang bayi. Selain

sebagai imunisasi pertama dan mengurangi kuning pada bayi baru lahir,

kolostrum melindungi dan mematangkan dinding usus yang masih muda.

2. Pendidikan Kesehatan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga

mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan

ini tersirat unsur- unsur pendidikan, yakni: input adalah sasaran pendidikan

(individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik (pelaku pendidikan), proses

35

(upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain), output

(melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2005).

Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal

(dari dalam diri manusia) maupun faktor eksternal (di luar diri manusia).

Faktor internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terdiri

dari berbagai faktor, antara lain: sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik,

politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Sedangkan pendidikan kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan

di dalam bidang kesehatan. Secara operasional pendidikan kesehatan adalah

semua kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap,

dan praktek baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2005). Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan kesehatan adalah kegiatan di

bidang penyuluhan kesehatan umum dengan tujuan menyadarkan dan

mengubah sikap serta perilaku masyarakat agar tercapai tingkat kesehatan yang

diinginkan.

a. Tujuan dan Sasaran Pendidikan Kesehatan

Tujuan pendidikan kesehatan menyangkut tiga hal, yaitu peningkatan

pengetahuan (knowledge), perubahan sikap (attitude), dan ketrampilan atau

tingkah laku (practice), yang berhubungan dengan masalah kesehatan

masyarakat (Depkes RI, 1997).

Sasaran pendidikan kesehatan disetiap tingkatan masyarakat berbeda

antara satu dengan lainnya. Menurut Simons-Morton, et al., (1995), ada

36

empat tingkatan yang dapat dijadikan sasaran pendidikan kesehatan.

Keempat tingkatan tersebut adalah :

1) Tingkatan individu. Sasarannya yaitu pengetahuan, sikap, perilaku dan

filosofi dari individu yang menjadi target sasaran.

2) Tingkatan organisasi. Sasarannya yaitu kebijakan, praktek atau

pelaksanaan dalam proses, fasilitas yang tersedia dan sumber daya

pendukung.

3) Tingkatan kelompok masyarakat. Sasarannya yaitu kebijakan, praktek

atau pelaksanaan dalam proses, fasilitas yang tersedia dan sumber daya

yang tersedia.

4) Tingkatan pemerintahan. Sasarannya yaitu kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan dibidang kesehatan, program kesehatan, fasilitas sebagai

sarana pendidikan kesehatan, sumber daya, peraturan-peraturan yang

dibuat di bidang kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.

b. Komponen Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah mendidik masyarakat dengan cara

berkomunikasi (Azrul, 1983). Hal ini pada proses perencanaan informasi

yang akan dilakukan dalam rangka berkomunkasi dan mendidik masyarakat

adalah menentukan jenis media termasuk kombinasi media yang akan

digunakan dan dapat mencapai sasaran.

Menurut Azrul (1983) hal ini didasarkan pada prinsip komunikasi yang

baik yang sangat ditentukan oleh empat komponennya, yaitu :

37

1) Komunikan / sasaran (Receiver)

Penetuan kelompok sasaran sangat penting karena sasaran yang satu

akan berbeda dengan sasaran lainnya, sehingga isi pesan yang sama

mungkin akan diinterpretasikan berbeda oleh masing-masing kelompok

sasaran yang berbeda.

2) Komunikator / Sumber Informasi (Source)

Umumnya masyarakat cenderung percaya terhadap informasi yang

diterima dari orang yang mereka percaya. Dalam KRR sumber informasi

terpercaya ini perlu dipelajari, apakah institusi pemerintah, tokoh

masyarakat, teman sebaya, orang tua atau para tenaga medis.

Menyarankan setidaknya empat faktor yang harus diperhitungkan

dalam memilih sumber informasi/komunikator, yaitu : kredibilitas

komunikator, terus menerus melakukan perubahan perilaku, jarak kelas

sosial antara komunikator dan sasaran, dan jenis sumber informasi.

3) Isi Pesan (Message)

Isi pesan mempunyai dua tujuan, yaitu untuk memberikan informasi

kepada sasaran dan meyakinkan sasaran terhadap nilai suatu informasi

tersebut. Sedangkan mencatat berbagai karakteristik isi pesan yang

mempengaruhi proses komunikasi, yaitu :

a) Jumlah komunikasi, termasuk volume dan isi pesan yang disampaikan

kepada sasaran.

b) Frekuensi komunikasi yang membahas topik yang spesifik.

38

4) Saluran atau media (Channel or Media)

Mengacu kepada definisi komunikasi massa yaitu sebagai jenis

komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar,

heterogen dan anonim, melalui media cetak dan elektronis sehingga

pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat maka media

massa berfungsi untuk membuat orang tertarik, sebagai sumber

informasi, merubah sikap dan menstimulasi perubahan perilaku.

c. Metode Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan mempunyai beberapa unsur, yaitu: input adalah

sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat), pendidik (pelaku

pendidikan), proses (upaya yang dilakukan) dan output. Metode pendidikan

merupakan salah satu unsur input yang berpengaruh pada pelaksanaan

pendidikan kesehatan ( Notoatmodjo, 2003).

Secara garis besar, metode dibagi menjadi dua, yaitu :

1) Metode didaktif

Metode ini didasarkan atau dilakukan secara satu arah atau one way

method. Peserta didik bersifat pasif dan hanya pendidik yang aktif.

Misalnya ceramah, film, leaflet, buklet, poster, dan siaran radio.

2) Metode sokratik

Metode ini dilakukan secara dua arah atau two ways method. Dengan

metode ini, kemungkinan antara pendidik dan peserta didik bersikap aktif

dan kreatif (misalnya, diskusi kelompok, debat, panel, forum, Buzzgroup,

seminar, bermain peran, sosiodrama, curah pendapat (brain storming).

39

d. Media Pendidikan Kesehatan

Kata media berasal dari bahasa Latin Medius, yang secara harfiah

berarti ”tengah”, ”perantara atau pengatur”. Dalam bahasa arab, media

adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan

(Arsyad, 2006). Sedangkan menurut Mardikanto (1993), media adalah alat

bantu atau benda yang dapat diamati, didengar, diraba atau dirasakan oleh

indera manusia yang berfungsi untuk memperagakan atau menjelaskan

uraian yang disampaikan penyuluh agar materi penyuluhan mudah diterima

dan dipahami.

Menurut bentuk informasi yang digunakan, media penyaji dapat

dipisahkan dan diklasifikasi dalam lima kelompok besar, yaitu media visual

diam, media visual gerak, media audio, media audiovisual diam, dan media

audiovisual gerak. Klasifikasi media ini dapat menjadi landasan untuk

membedakan proses yang dipakai untuk menyajikan pesan, bagaimana suara

dan atau gambar itu diterima, apakah melalui penglihatan langsung,

proyeksi optik, proyeksi elektronik atau telekomunikasi. Sementara Edgar

Dale mengadakan klasifikasi menurut tingkat dari yang paling konkrit

sampai yang paling abstrak.

40

Gambar 1. Kerucut pengalaman Edgar Gale

Klasifikasi tersebut kemudian dikenal dengan nama “kerucut

pengalaman” dari Edgar Dale dan dianut secara luas dalam menentukan

media, alat bantu serta alat peraga yang paling sesuai untuk pengalaman

belajar.

Media selain sebagai alat memperjelas, juga dapat berfungsi sebagai

berikut yaitu 1) Menarik perhatian atau memusatkan perhatian, sehingga

konsentrasi sasaran terhadap materi tidak terpecah; 2) Menimbulkan kesan

mendalam, artinya apa yang disuluhkan tidak mudah untuk dilupakan; serta

3) Alat untuk menghemat waktu yang terbatas, terutama jika penyuluh harus

menjelaskan materi yang cukup banyak.

Menurut Maulana ( 2009 ) media atau alat peraga secara umum dibagi

menjadi beberapa macam yaitu :

1) Alat bantu lihat (visual aids)

Alat bantu ini digunakan untuk membantu menstimulasi indra

penglihatan pada saat proses pendidikan. Terdapat dua bentuk alat bantu

lihat:

41

a) Alat yang diproyeksikan, misalnya : slide overhead projector/ OHP

dan film strip.

b) Alat yang tidak diproyeksikan misalnya : dua dimensi seperti gambar

peta dan bagan. Termasuk alat bantu cetak atau tulis missal: leaflet,

poster, lembar balik, dan buklet. Termasuk tiga dimensi seperti bola

dunia dan boneka.

2) Alat bantu dengar (audio aids)

Alat ini digunakan untuk menstimulasi indera pendengaran ( misalnya

piringan hitam, radio, tape, CD) .

3) Alat bantu dengar dan lihat (audiovisual aids)

Alat visual untuk mengkonkritkan suatu ajaran dilengkapi dengan

digunakannya alat audio sehingga dikenal adanya alat audio visual atau

Audio Visual Aids (AVA). Alat-alat audiovisual adalah alat-alat yang

“audible” artinya dapat didengar dan alat-alat yang “visible” artinya

dapat dilihat. Alat-alat audiovisual gunanya untuk membuat cara

berkomunikasi menjadi efektif. Sasaran komunikasinya yaitu berupa

pengajaran, penerangan dan penyuluhan. Alat-alat audiovisual antara lain

termasuk gambar, foto, slide, model, pita kaset tape recorder, film

bersuara dan televisi.

Menurut Arsyad (2006), media audio dan audiovisual merupakan

bentuk media pembelajaran yang murah dan terjangkau. Disamping itu

menarik dan memotivasi untuk mempelajari materi lebih banyak.

42

Menurut beberapa faktor dalam filsafat dan sejarah pendidikan,

pengetahuan disalurkan ke otak melalui satu indera atau lebih. Para ahli

indera berpendapat, bahwa 75% dari pengetahuan manusia sampai ke

otaknya melalui mata dan yang selebihnya melalui pendengaran dan

inderaindera yang lain. Alat-alat audiovisual dapat menyampaikan

pengertian atau informasi dengan cara yang lebih konkrit atau lebih nyata

daripada yang disampaikan oleh kata-kata yang diucapkan, dicetak atau

ditulis. Oleh karena itu alat-alat audiovisual membuat suatu pengertian

atau informasi menjadi lebih berarti (Lucie, 2005).

Media audiovisual mempunyai karakteristik yang melekat padanya,

meliputi sifat positif dan negatif; disebut positif karena dapat

memperoleh manfaat yang lebih maksimal, jangkauan luas, seketika

(serentak), menarik, kontak relatif mudah, efek dramatisasi, penentuan

waktu penayangan mudah, gabungan (gambar, suara, gerak,warna, juga

tulisan). Sedangkan sifat negatif, sekilas pandang dan dengar, frekuensi

harus tinggi, mahal, tidak ada segmentasi, terbatas (harus pendek),

membutuhkan waktu produksi yang rumit dan lama (Phyllis, 1989).

Penelitian Sovocom Company dari Amerika menemukan adanya

hubungan antara jenis media dengan daya ingat manusia untuk menyerap

dan menyimpan pesan, serta jenis media dengan kemampuan otak dalam

mengingat pesan. Kemampuan otak untuk mengingat pesan dengan

media audio 10%, visual (teks visual) 40%, dan audiovisual 50%.

Sedangkan tingkat kemampuan menyimpan pesan berdasarkan media

43

audio <3 hari 70%, >3 hari menjadi 10%, media visual (teks visual) <3

hari 72%, >3 hari menjadi 20%, sedangkan media audiovisual <3 hari

85%, >3 hari 65% (Warsita, 2008)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih

mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan

pendidikan.

B. Landasan Teori

Inisiasi Menyusu Dini (early initiation) atau permulaan menyusu dini adalah

bayi mulai menyusu segera setelah lahir, sebenarnya bayi manusia seperti juga

bayi mamalia lain mempunyai kemampuan untuk menyusu sendiri. Cara bayi

melakukan Inisiasi Menyusu Dini ini dinamakan the breast crawl atau merangkak

mencari payudara (Roesli, 2008).

Pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan atau

meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek baik individu, kelompok atau

masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri

(Notoatmodjo, 2005).

Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai media. Media adalah

alat bantu atau benda yang dapat diamati, didengar, diraba atau dirasakan oleh

indera manusia yang berfungsi untuk memperagakan atau menjelaskan uraian

yang disampaikan penyuluh agar materi penyuluhan mudah diterima dan

dipahami. Media merupakan salah satu komponen penting dalam pendidikan

44

kesehatan, maka pemilihan media yang digunakan dalam memberikan pendidikan

sangatlah penting.

Alat-alat audiovisual adalah alat-alat yang “audible” artinya dapat didengar

dan alat-alat yang “visible” artinya dapat dilihat. Alat-alat audiovisual gunanya

untuk membuat cara berkomunikasi menjadi efektif. Alat-alat audiovisual dapat

menyampaikan pengertian atau informasi dengan cara yang lebih konkrit atau

lebih nyata daripada yang disampaikan oleh kata-kata yang diucapkan, dicetak

atau ditulis. Oleh karena itu alat-alat audiovisual membuat suatu pengertian atau

informasi menjadi lebih berarti (Lucie, 2005).

Hal ini yang mendasari diperlukannya pendidikan kesehatan dengan media

yang efektif dan efisien tentang program Inisiasi Menyusu Dini untuk

meningkatkan pemberian program tersebut dengan baik dan benar.

45

C. Kerangka Teori

Gambar 2. Kerangka Teori

Sumber: Aprilia, Y (2009); Hidayat, K.A (2012) dan Maulana, H (2009).

Pendidi

kan

kesehatan

Ibu post partum

dan bayi baru lahir

Keterlibatan ibu

dalam proses IMD

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi:

- Pengetahuan ibu

hamil

- Sikap ibu hamil

- Dukungan

anggota keluarga

- Persalinan

- Kondisi ibu dan

bayi

IM

D

Kebutuhan ibu:

- Mendekatkan bonding

- Pengeluaran hormon

oksitosin

- Mengurangi pendarahan

dan pelepasan plasenta

Keberhasil

an IMD

Kebutuhan bayi:

- Mencegah hipotermi

- Mendapatkan kolostrum

- Menelan bakteri yang

aman

- Pengeluaran mekonium

dini

Media

pendidikan:

- Visual

- Audio

- Audiovisual

46

D. Kerangka Penelitian

Gambar 3. Kerangka Penelitian

E. Hipotesis

Ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan dengan media audiovisual

terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis

Yogyakarta.

Intervensi yang

diberikan

Pendidikan kesehatan

menggunakan media

audiovisual

Variabel yang

diteliti

Keterlibatan ibu

dalam proses Inisiasi

Menyusu Dini (IMD)

Variabel yang

diteliti

Keberhasilan proses

Inisiasi Menyusu Dini

(IMD)

Faktor yang

mempengaruhi

Dukungan suami

dalam proses Inisiasi

Menyusu Dini (IMD)