bab 1 refrat

Upload: nomusta

Post on 08-Jul-2015

138 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

REFERAT SIRKUMSISI LAKI-LAKI SEBAGAI USAHA PREVENTIF PENULARAN HIV PADA LAKI-LAKI HETEROSEXUAL

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada: dr. Gunawan Siswadi, Sp.B

Disusun oleh : Mugi Restiana Utami 20060310056 SMF BEDAH RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2011

HALAMAN PENGESAHAN

SIRKUMSISI LAKI-LAKI SEBAGAI USAHA PREVENTIF PENULARAN HIV PADA LAKI-LAKI HETEROSEXUAL

Disusun oleh: Mugi Restiana Utami 20060310056

Telah dipresentasikan pada: Agustus 2011

Bantul, Agustus 2011 Menyetujui dan mengesahkan, Pembimbing

dr.Gunawan Siswadi, Sp.B.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Perjalanan infeksi Human Imunodeficiency virus (HIV) sangat bervariasi antara orang yang satu dengan yang lainnya dan belum sepenuhnya dapat dimengerti. (Ferry, 2005). Walaupun faktor imunologi dan virologi telah diketahui berhubungan dengan progresivitas tetapi survival penderita untuk jangka panjang masih sulit dipertahankan (Junaidi, 2007;Junaidi dan Jaswadi, 2008). Diperkirakan dalam peningkatan 10 tahun terakhir angka pengidap HIV di Indonesia mencapai satu juta infeksi, termasuk 350.000 orang yang meninggal akibat HIV dalam kurun waktu 10 tahun ke depan (KPA Nasional, 2007 dalam Wulandari dkk, 2008). Sumber penularan utama dan tertinggi dari pernyakit ini adalah melalui hubungan seksual yang kemudian diikuti dengan penggunaan narkoba melalui jarum suntik secara bergantian. Kemajuan ilmiah baru-baru ini digabungkan dengan kampanye pendidikan dan penggunaan kondom sudah sangat efektif untuk mengurangi kejadian penyakit HIV di banyak negara dan wilayah. Namun, kejadian infeksi tetap juga meningkat di banyak negara. Selama perpanjangan kurun waktu 15-20 tahun, perjalanan dan migrasi akan membuatnya mustahil untuk mencegah penyakit di wilayah tersebut. Sebagai akibatnya, mereka menduga bahwa penyebaran penyakit itu akan terus berlanjut dan lebih cepat dari pengobatan. Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu

memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah mengharuskan kita upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang

untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang

memungkinkan dapat terserang HIV. Sirkumsisi pada laki-laki diartikan dengan pengambilan/pembuangan seluruh atau sebagian dari preputium penis dan termasuk salah satu ritual keagamaan yang

dilakukan setelah dilahirkan atau anak-anak, sebagai prosedur medis berguna untuk mengobati atau mencegah infeksi, trauma, atau ketidaknormalan preputium; atau sebagai bagian dari ritual budaya (Horizon, 2000). Sejak tahun 1980, sebuah penelitian observasional menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sirkumsisi pada laki-laki dan infeksi HIV pada laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan efek proteksi sirkumsisi pada laki-laki terhadap penularan HIV pada laki-laki. Terdapat beberapa teori yang mendukung dasar biologis adanya efek proteksi sirkumsisi terhadap infeksi HIV. Beberapa peneliti memberikan keterangan bahwa bagian terdalam dari preputium terdiri dari sel-sel Langerhan (Szabo, 2000) dan secara in vitro, HIV-1 secara spesifik tertarik pada sel-sel ini (Soto-Ramirez, 1996) khususnya pada reseptor CD4 (Hussain, 1995). Reseptor CD4 dan koreseptor HIV yang lain memfasilitasi HIV untuk masuk kedalam sel inang. Berdasarkan teori ini, sirkumsisi dapat membuang/menghilangkan bagian yang berpotensi untuk masuknya virus HIV. Molekul CD4 banyak terdapat pada sel limfosit T helper/ CD4+, narnun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh sel tersebut (Kuby, 1996). Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulisan dengan studi literature hubungan sirkumsisi pada laki-laki dengan penularan HIV/AIDS perlu di kaji lebih jauh.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

HIV (Human Immunodeficiency Virus)

2.1.1 Epidemiologi HIV/AIDS AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrome) dikenal sejak tahun 1981 pada lima orang pria homoseksual di Los Angeles, Amerika Serikat yang menderita infeksi Pneumocystis carinii dan infeksi lain yang tidak biasa terjadi pada orang normal, namun sebelumnya belum punya nama (CDC, 1982). Penyakit yang kemudian dikenal dengan nama sindrom imunodefisiensi itu, ditemukan juga pada 26 orang di California dan Haiti. Penyakit yang sama bermunculan, terutama di Amerika dan Afrika, semuanya memiliki gejala khas, yaitu adanya infeksi yang tidak terjadi pada orang yang imunokompeten (Sepkowitz, 2001). Namun baru pada tahun 1986 Istilah HIV telah digunakan sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III) (Altman, 1982). (Pohon filogenetik SIV dan HIV, seperti pada gambar 1). Virus HIV anggota dari genus lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari selhost awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/ RNA. Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika Barat (Puraja, 2008). Asal dari Virus ini adalah dari premata yang berawal di Afrika barat dan tengah, lalu melompat dari primata ke manusia (HIV-1) dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis. HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian

immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies chimpanzee, Pan troglodyte troglodyte. HIV-2 melompat spesies dari sebuah strain SIV yang berbeda,

ditemukan dalam sooty mangabeys (monyet dunia lama/ Guinea-Bissau (Gao at all, 1999). Penyebab AIDS diketahui pada tahun 1983, yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu Retrovirus yang termasuk dalam famili Lentivirus. Dua virus HIV yang berbeda secara genetik namun berhubungan antigennya adalah HIV subtipe 1 (HIV-1) dan HIV subtipe 2 (HIV-2) yang dapat bereaksi silang pada uji serologik. AIDS pada dasarnya adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh, disebabkan oleh HIV (Ceclly dan Linda, 2002).

Gambar 1. Pohon filogenetik SIV dan HIV (Puraja, 2008) 2.1.4 Perkembangbiakan HIV Meskipun berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, Nmun ada dua target utama infeksi HIV yaitu sistem imunitas tubuh dan sistem saraf pusat (Cornain dkk., 2001) tetapi virion HIV cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresivitas penyakit infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T (Junaidi dan Jaswadi, 2008). Limfosit T menjadi sasaran utama HIV karena memiliki reseptor CD4 (sel T CD4+). yang merupakan pasangan ideal bagi gp120 permukaan (surface glycoprotein 120) pada permukaan luar HIV (enveloped). Molekul CD4 merupakan reseptor dengan afinitas tinggi terhadap HIV. Hal tersebut menjelaskan adanya kecenderungan selektif virus terhadap sel T CD4+ dan sel CD4 lainnya, yaitu makrofag dan sel dendritik. Selain berikatan dengan sel CD4, glikoprotein pada selubung HIV, yaitu

gp120 akan berikatan dengan koreseptor pada permukaan sel untuk memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel tersebut (Junaidi, 2007). Dua macam reseptor kemokin pada permukaan sel CD4, yaitu CCR5 dan CXCR4 yang dikenal berperan dalam memfasilitasi masuknya HIV. Reseptor CCR5 banyak terdapat pada makrofag dan reseptor CXCR4 banyak terdapat pada sel T. Selubung HIV gp120 berikatan dengan gp41 akan menempel pada permukaan molekul CD4+. Pengikatan tersebut akan mengakibatkan perubahan yang menyebabkan timbulnya daerah pengenalan terhadap gp120 pada CXCR4 dan CCR5. Glikoprotein 41 akan mengalami perubahan yang mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus (Ferry, 2005). Dengan glikoprotein gp41 transmembran (transmembrane glycoprotein 41), maka akan terjadi fusi antara permukaan luar dari HIV dengan membran limfosit T CD4+, sedangkan inti (core) HIV melanjutkan masuk sel sambil membawa enzim reverse transcriptase. Bagian inti HIV yang mengandung RNA (single stranded RNA) akan berusaha membentuk double stranded DNA dengan bantuan enzim reverse transciptase yang telah dipersiapkan tersebut, kemudian dengan bantuan DNA polimerase terbentuklah cDNA atau proviral DNA. Proses berikutnya adalah upaya masuk ke dalam inti limfosit T dengan bantuan enzim integrase, maka terjadilah rangkaian proses integrasi, transkripsi yang dilanjutkan dengan translasi protein virus, serta replikasi HIV yang berlipat ganda yang nantinya akan meninggalkan inti. Setelah mengalami modifikasi, saling kemudian berusaha keluar menembus membran limfosit (budding) dan virion baru yang terbentuk siap menginfeksi limfosit T CD4+ berikutnya. Sel yang pecah akan mati, demikian proses ini terus berlangsung sehingga jumlah limfosit T CD4+ cenderung terus menurun dan perjalanan penyakit cenderung progresif (Ferry, 2005; Junaidi, 2007).

2.1.5 Perjalanan HIV Perjalanan penyakit HIV merupakan perjalanan interaksi HIV dengan sistem imun tubuh. Terdapat tiga fase yang menunjukkan terjadinya interaksi virus dan hospes yaitu fase permulaan/akut, fase pertengahan/kronik dan fase terakhir/krisis (Ferry, 2005; junaidi 2007; Junaidi dan Jaswadi, 2008).

Fase akut menandakan respon imun tubuh yang masih imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase tersebut ditandai oleh penyakit yang sembuh dengan sendirinya yaitu 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi HIV. Gejalanya berupa radang tenggorokan, nyeri otot (mialgia), demam, ruam kulit, dan terkadang radang selaput otak (meningitis asepsis). Produksi virus yang tinggi menyebabkan viremia (beredarnya virus dalam darah) dan penyebaran virus ke dalam jaringan limfoid, serta penurunan jumlah sel T CD4+. Beberapa lama kemudian, respon imun spesifik terhadap HIV muncul sehingga terjadi serokonversi. Respon imun spesifik terhadap HIV diperantarai oleh sel T CD8 (sel T pembunuh, T sitotoksik cell) yang menyebabkan penurunan jumlah virus dan peningkatan jumlah CD4 kembali. Walaupun demikian, penurunan virus dalam plasma tidak disertai dengan berakhirnya replikasi virus. Replikasi virus terus berlangsung di dalam makrofag jaringan dan CD4. (Junaidi, 2007 dan Junaidi dan Jaswadi, 2008). Fase kronik ditandai dengan adanya replikasi virus terus menerus dalam sel T CD4+ yang berlangsung bertahun-tahun. Pada fase kronik tidak didapatkan kelainan sistem imun. Pasien dapat asimptomatik (tanpa gejala) atau mengalami limfadenopati persisten (pembesaran kelenjar getah bening) dan beberapa pasien mengalami infeksi oportunistik minor seperti infeksi jamur. Penurunan sel T CD4+ terjadi terus menerus, tetapi masih diimbangi dengan kemampuan regenerasi sistem imun. Setelah bertahuntahun, sistem imun tubuh mulai melemah, sementara replikasi virus sudah mencapai puncaknya sehingga perjalanan penyakit masuk ke fase krisis. Tanpa pengobatan, pasien HIV akan mengalami sindrom AIDS setelah fase kronik dalam jangka waktu 7 sampai 10 tahun. Fase krisis ditandai dengan hilangnya kemampuan sistem imun, meningkatnya jumlah virus dalam darah (viral load) dan gejala klinis yang berarti. Pasien mengalami demam lebih dari 1 bulan, lemah, penurunan berat badan dan diare kronis. Hitung sel T CD4+ berkurang sampai dibawah 500/L. Pasien juga akan rentan terhadap infeksi oportunistik mayor, neoplasma (kanker) sekunder dan manifestasi neurologis sehingga dikatakan pasien mengalami gejala AIDS yang sebenarnya. 2.1.6 Cara Penularan Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,

tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang Limfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah

berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui : 2.1.6.1 Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. 1.1. Homoseksual Di dunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital. 1.2. Heteroseksual Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok

umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti. 2. Transmisi Non Seksual 2.1 Transmisi Parenral 2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. 2.1.2. Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum

ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%. 2.2. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan eengan re 2.1.6 Diagnosis HIV Gejala infeksi HIV disesuaikan dengan fase perjalanan penyakit. Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali, karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam enam minggu pertama setelah penularan, timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan (Junaidi, 2007). Gejala ini menurut Ferri (2005) biasanya akan sembuh sendiri dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul lagi gejala. Pada tahun ke-5 atau ke-6, mulai timbul diare berulang (kronis),

penurunan berat badan secara mendadak (> 10%), sering sariawan dan pembengkakan kelenjar getah bening (Ferry, 2005; Junaidi dan Jaswadi, 2008).

2.1.7 Pengobatan HIV Belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Ada obat yang dapat memperlambat perkembangan HIV, dan memperlambat kerusakan pada sistem kekebalan tubuh tetapi belum ada cara untuk memberantas HIV dari tubuh penderita. Ada obat lain yang dapat dipakai untuk mencegah atau mengobati infeksi oportunistik dan ini biasanya sangat berhasil. Obat antiretrovirus (ARV) juga mengurangi timbulnya infeksi oportunistik namun masih ada beberapa infeksi oportunistik yang sulit diobati. Pada awal infeksi HIV/AIDS primer, sistem kekebalan tubuh memproduksi leukosit yang mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi HIV. Tetapi lambat laun, respon tubuh akan hilang kecuali bila memakai obat antiretrovirus (ARV) meskipun infeksi HIV juga tetap melaju (Junaidi dan Jaswadi, 2008). Pengobatan AIDS bertujuan untuk mempertahankan keadaan sehat tanpa efek samping yang berarti dalam waktu yang lama. Caranya adalah dengan menekan viral load sehingga menekan produksi virus dan mengembalikan fungsi sistem imunitas tubuh. Tiga golongan ARV yang dikenal adalah nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRI), dan protease inhibitor (PI). Kombinasi ARV bisa berupa 3NRTI, 2NRTI+NNRTI, dan 2NRTI+PI. Pasien AIDS harus menggunakan ARV terus menerus dan apabila pengobatan ARV berhenti, maka akan terjadi resistensi dan kegagalan pengobatan (Sepkowitz, 2001; Ferry, 2005).

2.1.8 Manifestasi Klinis Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut : a. Rasa lelah dan lesu

b. Berat badan menurun secara drastis c. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam d. Mencret dan kurang nafsu makan e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut f. Pembengkakan leher dan lipatan paha g. Radang paru-paru h. Kanker kulit Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik : 1. Manifestadi tumor diantaranya; a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer. b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Oportunistik diantaranya 2.1. Manifestasi pada Paru-paru 2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP) Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paruparu PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam. 2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV) Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS. 2.1.3. Mycobacterium Avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan. 2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru. 2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan. 3. Manifestasi Neurologis Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer.

Gambar 4. Grafik gejala dan komplikasi (Puraja, 2008)

2.1.9 Pencegahan Mengingat sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk mencegah AIDS belum ditemukan, maka alternatif untuk menanggulangi masalah AIDS yang terus meningkat ini adalah dengan upaya pencegahan oleh semua pihak untuk tidak terlibat dalam lingkaran transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV. Pada dasarnya upaya pencegahan AIDS dapat dilakukan oleh semua pihak asal mengetahui cara-cara penyebaran AIDS Ada 2 cara pencegahan AIDS yaitu jangka pendek dan jangka panjang : 1. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya. Ada 3 pola penyebaran virus HIV :

a. Melalui hubungan seksual b. Melaui darah c. Melaui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya

Ad.1. Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah. HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melalui hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah dengan cara : a. Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis. b. Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang se dan tia tidak terinfeksi HIV (homogami) c. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin d. Hindari hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi tertular AIDS. e. Tidak melakukan hubungan anogenital. f. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.

Ad.2. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan : a. Transfusi darah yang mengandung HIV. b. Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik. c. Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus HIV. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah:y

Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang

tingi serta peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik.y

Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai harus di buang.

y

Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali habis dipakai.

y

Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus disterillisasikan secara baku.

y

Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.

y y

Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable) Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.

Ad.3. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Ibu Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi di lahirkan. Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV tidak hamil. 2. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Panjang Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagian besar adalah karena hubungan seksual, terutama dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang Indonesia adalah mereka yang pernah ke luar negeri dan mengadakan hubungan seksual dengan orang asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiko penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8%. Namun ada penelitian lain yang berpendapat bahwa resiko penularan suami ke istri atau istri ke suami dianggap sama. Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi hubungan seksual yang dilakukan suami istri. Mengingat masalah seksual masih merupakan barang tabu di Indonesia, karena norma-norma budaya dan agama yang masih kuat, sebetulnya

masyarakat kita tidak perlu risau terhadap penyebaran virus AIDS. Namun demikian kita tidak boleh lengah sebab negara kita merupakan negara terbuka dan tahun 1991 adalah tahun melewati Indonesia. Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah merajalelanya AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah : a. Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV (monogamy). c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila. d. Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra seksual. e. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin. f. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin g. Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS. h. Tidak melakukan hubungan anogenital. i. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual. Kegiatan tersebut dapat berupa dialog antara tokoh-tokoh agama, penyebarluasan informasi tentang AIDS dengan bahasa agama, melalui penataran P4 dan lain -lain yang bertujuan untuk mempertebal iman serta norma-norma agama menuju perilaku seksual yang bertanggung jawab. Dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit AIDS di Indonesia.

2.2 SIRKUMSISI 2.2.1 Anatomi Penis

Gambar. Anatomi Penis Penis terdiri dari tiga rongga yang berisi jaringan spons. Dua rongga yang terletak di bagian atas berupa jaringan spons korpus kavernosa. Satu rongga lagi berada di bagian bawah yang berupa jaringan spons korpus spongiosum yang membungkus uretra. Uretra pada penis dikelilingi oleh jaringan erektil yang ronggarongganya banyak mengandung pembuluh darah dan ujung-ujung saraf perasa. Bila ada suatu rangsangan, rongga tersebut akan terisi penuh oleh darah sehingga penis menjadi tegang dan mengembang (ereksi). Penis terdiri dari tiga bagian : akar, badan, dan glans penis yang membesar yang banyak mengandung ujung-ujung saraf sensorik. Organ ini berfungsi untuk tempat keluar urine dan semen serta sebagai organ kopulasi. 1. Kulit penis dan tidak berambut kecuali didekat akar organ, prepusium (kulup) adalah lipatan sirkular kulit longgar yang merentang menutupi gland penis kecuali bila diangkat melalui sirkumsisi. Korona adalah ujung proksimal glans penis. 2. Badan penis dibentuk dari tiga massa jaringan erektil silindris; dua korpus kevernosum dan satu korpus spongiosum ventral di sekitar uretra.o

Jaringan erektil adalah jaring-jaring ruang darah iregular (venosa senusoid) yang diperdarahi oleh aferen dan kapilar, didrainase oleh venula dan dikelilingi jaringan ikat rapat yang disebut tunika albuginea.

o

Korpus kavernosum dikelilingi oleh jaringan ikat rapat yang disebut tunika albuginea.

2.2.2 Sirkumsisi Sirkumsisi pada laki-laki diartikan dengan pengambilan/pembuangan seluruh atau sebagian dari preputium penis dan termasuk salah satu ritual keagamaan yang dilakukan setelah dilahirkan atau anak-anak, sebagai prosedur medis berguna untuk mengobati atau mencegah infeksi, trauma, atau ketidaknormalan preputium; atau sebagai bagian dari ritual budaya (Horizon, 2000). Meskipun tidak ada konsensus yang menjelaskan asal-usul sirkumsisi, beberapa ahli telah mengatakan bahwa prosedur sirkumsisi mungkin berasal dari Mesir sekitar 15.000 tahun yang lalu dan prakteknya telah menyebar karena migrasi manusia selama prasejarah. Mumi mesir dan ukiran dinding yang ditemukan pada abad ke 19 menunjukkan bahwa sirkumsi telah ada sekitar 6000 tahun SM. Namun, beberapa ahli lain percaya bahwa sirkumsisi dikembangkan dalam budaya yang berbeda. Sebagai contoh, kedatangan Columbus di New World. Dia menemukan banyak dari pribumi yang sudah dilakukan sirkumsisi. Banyak kebudayaan memiliki sejarah tentang sirkumsisi yang dilakukan sebagai alasan kesehatan, simbol peralihan untuk kedewasaan, tanda identitas suatu budaya (mirip dengan tato), atau sebagai persembahan upacara untuk para dewa. Ritual penyunatan dalam budaya Timur Tengah telah dipraktekkan selama setidaknya 3000 tahun. Di akhir abad ke-19, ritual kuno berkembang menjadi praktek medis rutin. Hal ini dipengaruhi oleh laporan yang terkait dengan obat ajaib untuk hernia, paralisis, epilepsi, kegilaan, masturbasi, sakit kepala, strabismus, hidrosefalus prolaps rektum, clubfoot, asma, enuresis, dan asam urat. Preputium, lipatan kulit yang menutupi glans penis, dilapisi oleh lapisan keratin eksternal dan lapisan mukosa internal. Kulup tersebut dapat menyebabkan terkumpulnya deskuamasi sel epitel yang disebut pada bayi dan balita (yang tidak infeksius). Pada masa remaja, sel-sel debris dan sekret lokal terkumpul dalam bentuk smegma jika penis tidak dibersihkan secara teratur. Preputium memberikan perlindungan kepada kelenjar dari kekeringan dan keratinisasi. Persarafan preputium kompleks, nervus dorsalis penis dan cabang-cabang saraf perineum termasuk saraf somatosensori, sedangkan persarafan otonom terutama berasal dari pleksus pelvik. 2.2.3 Indikasi Sirkumsisi 1. Agama

Sirkumsisi merupakan tuntunan syariat Islam yang sangat mulia dan disyariatkan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Orang-orang Yahudi dan Nasrani-pun dan sekarang juga banyak yang melakukannya ( Hana,tahun 2008). 2. Medis a. Fimosis Fimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat di tarik ke belakang (proksimal)/membuka.Kadang-kadang lubang pada prepusium hanya sebesar ujung jarum, sehingga sulit untuk keluar ( Purnomo, tahun 2003). Pada 95% bayi, kulub masih melekat pada glans penis sehingga tidak dapat di tarik ke belakang dan hal ini tidak dikatakan fimosis.Pada umur 3 tahun anak yang fimosis sebanyak 10% (Ikatan dokter Anak Indoneisa,tahun 2008). Keadaan yang dapat menimbulkan fimosis adalah:1) Bawaan (kongenital), paling banyak, 2) Peradangan ( Purnomo, tahun 2003). 2. Parafimosis Parafimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup.Pada keadaan ini, glan penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak.Keadaan ini paling sering oleh peradangan.Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993). 3. Kondiloma Akuminata Kondiloma Akuminata adalah papiloma multiple yang tumbuh pada kulit genitalia eksterna.Bentuknya seperti kulit, multiple dan permukaan kasar. Faktor predisposisinya adalah perawatan kebersiahan genitalia yang buruk.Bila lesi meliputi permukaan glands penis atau permukaan dalam (mukosa) prepusium, maka tindakan terpilih adalah sirkumsisi untuk mencegah perluasan dan kekambuhan. Lesi ringan dapat dicoba diobati dengan pedofilin topical ( Bachsinar, tahun 1993). 4. Karsinoma penis Karsinoma penis Ada dua tipe, yaitu papiliformis (bentuk papil), dan ulseratif (bentuk ulcus) ( Bachsinar, tahun 1993).

2.2.4 Kontraindikasi 1. Kontraindikasi mutlak a. Hipospadia Kelainan ini merupakan kelainan muara uretra eksterna.pada hipospadi berada di ventral penis mulai dari glans penis sampai perineum.hipospadi terjadi karena kegagalan atau kelambatan penyatuan lipatan uretra digaris tengah. Insiden dari hipospadi 1 per 300 anak.(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)

Gambar Hipospadia b. Kelainan Hemostasis Merupakan kelainan yang berhubungan dengan jumlah dan fungsi trombosit, faktorfaktor pembekuan, dan vaskuler. Jika salah satu terdapat kelainan dikhawatirkan akan terjadi perdarahan yang sulit diatasi selama atau setelah sirkumsisi. Kelinan tersebut adalah hemophilia, trombositopenia dan penyakit kelainan hemostasis lainnya (Herman ,tahun 2000). 2. Kontraindikasi relatif a. Infeksi lokal pada penis dan sekitarnya b. Infeksi umum c. Diabetes mellitus ( Bachsinar, tahun 1993). 2.2.5 Prinsip dasar dalam melakukan sirkumsisi

Dalam melakukan sirkumsisi harus diingat beberapa prinsip dasar, yaitu 1) asepsis, 2) pengangkatan kulit prepusium secara adekuat, 3) hemostasis yang baik, dan 4) kosmetik. Sirkumsisi yang dikerjakan pada umur neonatus (50%, dan efektivitasnya bertambah jika disertai dengan usaha preventif lain seperti penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual, health seeing behaviour dan yang lainnya. Dari berbagai penelitian RCT tersebut, kita dapat menilai efektifitas dan keamanan sirkumsisi pada laki-laki sebagai intervensi untuk mengurangi resiko penularan infeksi HIV. Sirkumsisi harus menjadi sebuah intervensi dalam kesehatan masyarakat karena penting untuk mencegah penyebaran HIV. Sirkumsisi bisa dimasukkan dengan cepat ke rencana nasional negara-negara di mana laki-laki kebanyakan tidak disirkumsisi dan di mana menyebarkan HIV terutama heteroseksual. Ini bahkan lebih penting di saat tidak ada vaksin atau mikrobisida sedang tersedia dan ketika memberikan pengobatan antiretroviral di bawah pedoman HIV. Selain itu, sirkumsisi adalah tindakan preventif yang murah, dilakukan hanya sekali, dan laki-laki dapat disirkumsisi selama rentang usia yang luas, dari kecil hingga dewasa. Dampak potensial dari program pencegahan berdasarkan sirkumsisi sulit untuk dinilai di tingkat populasi dan membutuhkan contoh. WHO hanya akan memiliki dampak kecil pada menyebarkan

Ada beberapa resiko yang berpotensi dalam mempromosikan sirkumsisi sebagai salah satu cara untuk menurunkan resiko infeksi HIV. Misalnya, sirkumsisi mungkin dilakukan pada kondisi dengan kebersihan yang rendah dan alat-alat yang tidak steril sehingga dapat memicu infeksi, perdarahan, dan cedera permanen. Dalam masa penyembuhan, pria yang aktif secara seksual mungkin berada pada risiko tinggi infeksi HIV. Di sisi lain, sirkumsisi tidak memberikan perlindungan penuh karena jika dianggap begitu, dapat menyebabkan pengurangan usaha proteksi pria, misalnya, terjadi pengurangan penggunaan kondom atau terlibat dalam perilaku yang berisiko. Penerimaan penelitian tentang sirkumsisi sebagai pencegahan terhadap penyebaran HIV telah dilakukan di Afrika Selatan, Kenya, Zimbabwe, dan Botswana. Beberapa penelitian yang dilakukan di daerah dimana sebagian besar tidak disirkumsisi. Setelah itu, laki-laki Afrika menyatakan minatnya untuk disirkumsisi jika dilakukan dengan aman dan terjangkau. menyoroti potensi sirkumsisi sebagai intervensi tingkat populasi untuk mengurangi HIV menyebar. Ada contoh yang menunjukkan bahwa prevalensi sirkumsisi berubah. Misalnya, di Korea Selatan 50 tahun lalu, hampir tidak ada laki-laki yang disirkumsisi, tapi akhir-akhir ini sekitar 85% dari Pria Korea berusia 16-29 tahun disirkumsisi.

BAB 4 KESIMPULANy

Terdapat

bukti yang kuat bahwa sirkumsisi pada laki-laki dapat mengurangi

penularan HIV pada laki-laki heteroseksual sekitar >50%.y

Kejadian adverse event lebih rendah dan sirkumsisi merupakan prosedur medis yang aman

y

Sirkumsisi harus menjadi sebuah intervensi dalam kesehatan masyarakat untuk mencegah penyebaran HIV.

y

Perlu dilakukan beberapa penelitian yang dapat menilai fisibilitas, keinginan, cost effectiveness dari pelaksanaan prosedur sirkumsisi.