refrat bedah(1)
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan
nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang
lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit
ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan anggota gerak bawah dengan
kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil
tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas. Dahulu, spondilitis tuberkulosa
merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang
terutama berusia 3-5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan
kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur
dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak. Terapi konservatif
yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan
hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif
serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun
setelah penderita menjalani tindakan operatif (Vitriani, 2002).
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di Negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk
masih menjadi masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau
maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30
tahun terakhir (Craig, 2009).
Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini
mengalami peningkatan pada populasi imigran, tuna wisma lanjut usia dan pada
orang dengan tahap lanjut infeksi HIV. Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi
1
Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun
sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus
terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan
adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong
Kong (Lieberman,2009).
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat
terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight
bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar lebih sering terkena
dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang
belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang
(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-
tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area
torakolumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T X) dan lumbal bagian
atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan
dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area
servikal dan sacral (Zychowicz, 2010).
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan
penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi
paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-
anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa
pada tulang belakang, kecuali pada decade pertama dimana sangat jarang
ditemukan keadaan ini (Lee,2004).
Dari data yang diperoleh, maka spondilitis tuberkolosa merupakan TB
ekstra pulmonary terbanyak yang menyebabkan komplikasi dan kecacatan pada
masyarakat, sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis yang baik untuk
mengetahui gambaran kelainan yang ditemukan dalam penegakan diagnosis dan
pemantauan terapi (Vitriani, 2002).
2
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui gambaran distribusi pasien Spondilitis TB di RSUZA
yang menjalani tindakan pembedahan mulai tahun 2010-2012.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran distribusi
pasien Spondilitis TB di RSUZA yang menjalani tindakan pembedahan dari tahun
2010 sampai 2012.
BAB 2
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang
bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik
yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat
menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per
tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan
China (Paramarta, 2008).
Meskipun kejadian TB meningkat di akhir 1980-an hingga awal 1990-an,
jumlah kasus telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Frekuensi
tuberkulosis paru tetap stabil. TB tulang dan jaringan lunak menyumbang sekitar
10% dari kasus tuberkulosis paru dan antara 1% dan 2% dari total kasus.
Spondilitis TB adalah manifestasi paling umum dari tuberkulosis muskuloskeletal,
terhitung sekitar 40-50% kasus (Hidalgo, 2012).
Di Belanda, antara tahun 1993 dan 2001, TB tulang dan sendi
menyumbang 3,5% dari semua kasus tuberkulosis (0.2-1.1% pada pasien asal
Eropa, dan 2,3-6,3% pada pasien non-Eropa asal).Meskipun beberapa seri telah
menemukan bahwa penyakit Pott tidak memiliki kecenderungan seksual, penyakit
ini lebih sering terjadi pada laki-laki (laki-perempuan, rasio 1.5-2:1). (Hidalgo,
2012. Alavi, 2010)
2.3 Etiologi
Penyakit spondilitis tuberculosa disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang
yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui
cara yang konvensional. Teknik Ziehl-Nielson digunakan untuk
memvisualisasikannya. Bakteri ini tumbuh secara lambat dalam media egg-en
4
riched dengan periode 6-8 minggu. Spesies Mycobacterium yang lain dapat juga
bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum,
Mycobacterium bovine, ataupun non-tuberculous mycobacteria yang banyak
ditemukan pada penderita HIV. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya
dengan spesies lain (Vitriani, 2002).
Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis
(Sumber: http://microbiologyspring2010.wikispaces.com/Mycobacterial)
2.4 Patogenesis
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus
respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk
maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB
dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan
minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami
reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit
ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya
mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian
depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan
eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya
terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra
5
sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya
kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung
menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus
menghancurkan vertebra di dekatnya (Alfarisi, 2011).
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini
dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis
ligament yang lemah (Alfarisi, 2011).
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya
tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral,
berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat
menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal
dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah
ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke
daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada
trigonum skarpei atau regio glutea (Qittun, 2008).
Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas
dan tengah, tetapi yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan
antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya
pada vertebra torakalis X sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis.
Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi
medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal VIII
sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan
paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara
medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai
melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis vertebralis di
daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas
6
lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari
bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih
sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal. Kerusakan medulla spinalis
akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu (Mclain et al., 2004):
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.
Perjalanan penyakit ini terbagi dalam 5 stadium yaitu (Hidalgo, 2006):
a. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama
6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-
anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
b. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
c. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang
tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk
sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang
baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus
vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
d. Stadium gangguan neurologist
7
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu
dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:
Derajat I: kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan
saraf sensoris.
Derajat II: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang
membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV: terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau
akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan
jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis
paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai
angulasi dan gangguan vaskuler vertebra (Wheeles, 2011).
e. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra
yang massif di sebelah depan.
terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada
sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang
8
menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa
ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah
paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di
atas (Craig, 2009).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri dan kekakuan di
daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat
adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari
bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik.
Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian
posterior tulang juga terlibat (Wheeles, 2011).
Gambar 2. Skema patofisiologi berkembangnya penyakit spondilitis tuberkulosa
(Vitriani,2002).
2.5 Gejala Klinis
9
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan
gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama
pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai
dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang
mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat
laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski
bilateral (Hidalgo, 2006).
Pada stadium awal belum ditemukan deformitas tulang vertebra dan belum
terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap,
terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis antara lain:
Tuberkulin skin test : positif
Laju endap darah : meningkat
Mikrobiologi (dari jaringan tulang atau abses) : basil tahan asam (+)
X-ray : destruksi korpus vertebra bagian anterior, peningkatan wedging
anterior, dan kolaps korpus vertebra.
Gambar 3. Foto X-Ray pada pasien dengan abses spondilitis TB (Sumber:
http://radiographics.rsna.org/content/27/5/1255/F19.expansion.html)
10
CT scan : menggambarkan tulang lebih detail dengan lesi lytic irregular,
kolaps disk dan kerusakan tulang, resolusi kontras rendah menggambarkan
jaringan lunak lebih baik, khususnya daerah paraspinal, mendeteksi lesi
awal dan efektif untuk menggambarkan bentuk dan kalsifikasi dari abses
jaringan lunak.
Gambar 4. Hasil CT Scan spondilitis TB (Sumber:
http://radiographics.rsna.org/content/20/2/449/F27.expansion.html)
MRI : standar untuk mengevaluasi infeksi disk space dan paling efektif
dalam menunjukkan perluasan penyakit ke dalam jaringan lunak dan
penyebaran debris tuberkulosis di bawah ligamen longitudinalis anterior
dan posterior, paling efektif untuk menunjukkan kompresi neural (Fitri,
2002).
Gambar 5. Hasill MRI spondilitis TB (Sumber:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0720048X03003097
11
2.7 Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan
klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB,
epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern
seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan
diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil
Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti (Paramarta, 2008).
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari spondylisis tuberculosa antara lain (Patell, 2007):
1. Spondylitis non-tuberculosis
a. Infeksi piogenik dan enterik
Contoh: karena staphylococcal/suppurative spondylitis, typhoid,
parathypoid. Adanya sclerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu, keterlibatan dua atau lebih
corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa
daripada infeksi bakterial lain. Pada infeksi enterik, perbedaan dapat dilihat dari
pemeriksaan laboratorium.
b. Spondylitis ankilosa
Suatu penyakit inflamasi progresif, biasanya mengenai pria dewasa muda,
sering disertai riwayat penyakit keluarga; (95% pasien membawa antigen leukosit
manusia; HLA-B27). Gambaran radiologis: sakroilitis biasanya ditemukan
sebelum pemeriksaan radiograf dengan pengaburan dan batas tidak tegas pada tepi
sendi, kemudian terjadi erosi dan sclerosis tulang yang menyebabkan
kecenderungan terjadinya penyatuan sendi sakro-iliaka complete. Biasanya
mengenai dua sendi (bilateral) dibedakan dengan TB yang unilateral.Selain, pada
region lumbar akan berlanjut pada verterbrae torakaldan cervical. Gambaran yang
paling sering adalah squaring pada badan vertebrae pada pembentukan tulang baru
pada corpus vertebrae anterior, dan terisinya kecekungan bagian anterior yang
normal oleh kalsifikasi ligament longitudinal; kalsifikasi ligament spinal lateral
dan anterior untuk menghasilkan gambaran bamboo spine yang klasik.
12
c. Scheuermann’s disease
Penyakit ini mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena
tidak hanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan
inferior bagian interior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
2.9 Tata laksana
2.9.1 Medikamentosa
Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan dengan
pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan korset.
Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling tidak 4 jenis
obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan informasi kepekaan
kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan selama
seluruh pengobatan. Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin,
dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun
beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan,
pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama
pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik
pasien. Obat yang biasa dipakai untuk pengobatannya seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Obat tuberculosis, dosis dan efek samping (Fitri, 2001).
13
Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka
dosis dari INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak
boleh lebih dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam
satu puyer tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan
terapi, anti inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada
penyakit dengan inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk
menghambat atau efek minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.
Gambar 2. Algoritme tata laksana spondilitis TB dengan komplikasi
neurologi(Fitri, 2001).
14
2.9.2 Non-Medikamentosa
Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus
dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi.
Menurut Boswots Compos (dikutip dari 10) pengobatan yang paling penting
adalah imobilisasi dan artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien
yang terdeteksi lebih awal akan terdeteksi lebih awal; akan pulih setelah
arthrodesis. Menurut pendapatnya, dekompresi anterior diindikasikan hanya pada
beberapa pasien yang tidak pulih setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini
tidak memberikan perbaikan dan pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak.
Pada umumnya artrodesis dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan
lengkap (Fitri, 2001).
Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan
hasil yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi
pada seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi Pott’s paraplegia maka
pembedahan harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain.
A. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif,
paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif,
kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah
dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak
terkontrol oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan
atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat
dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena
kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis
vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia
flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau
gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.
B. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal
sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang
15
diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi
seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing. Prosedur pembedahan yang
dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi adalah
costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi. Prosedur tata
laksana pasien dengan komplikasi neurologi dapat dilihat seperti Gambar 1.
Fisioterapi
Prinsip utama dari penanganan fisioterapi pada kasus ini adalah
memperkuat otot melalui reedukasi dan mereduksi spastisitas atau rigiditas.
Latihan yang direkomendasikan untuk rehabilitasi penyakit spondilitis TB
meliputi stretching, balance training, gait training dan latihan untuk kelompok otot
menggunakan teknik proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF).
(Harisinghani, 2002).
1. Isometric exercise
Penyakit spondylitis TB biasanya menyebabkan gejala neurologis yang
dapat diperburuk dengan latihan tanpa pengawasan. Oleh karena itu penting untuk
meningkatkan latihan dengan hati-hati. Fisioterapi biasanya memulai dengan
latihan isometrik. Tujuan dari latihan ini adalah untuk mengembangkan kekuatan
otot melalui kontraksi tanpa gerakan. Dengan cara ini, kekuatan otot secara
bertahap terbentuk dengan meminimalkan resiko kerusakan lebih lanjut. Setelah
memperoleh cukup kekuatan dan ketangkasan dengan latihan non-gerakan, maka
dilanjutkan untuk tahap berikutnya.
2. Stretching exercise
Teknik ini harus diaplikasikan dengan sangat hati-hati pada pasien
spondylitis TB. Sebagai aturan umum, hanya latihan gentle stretching yang
diperbolehkan. Bahkan sebelum menerapkan tahap latihan ini pasien harus
dibantu dengan latihan passive movement terebih dahulu. Juga penting untuk
menjaga stabilitas tulang belakang ketika melakukan gentle stretching exercise
tersebut.
16
3. PNF techniques
Teknik ini pada awalnya dikembangkan untuk rehabilitasi pasien post-
paralysis. Keuntungan yang diperoleh dari PNF adalah menstimulasi otot melalui
aktifitas kelompok otot, penguluran, dan pemberian tahanan dengan cara
melibatkan serangkaian gerakan berulang (Burril, 2006).
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh
karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang
mengalami destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya
paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s
paraplegia.( Tali, 2004)
2.11 Prognosis
Penyakit Pott adalah bentuk paling berbahaya dari tuberkulosis
muskuloskeletal karena dapat menyebabkan kerusakan tulang, cacat, dan
paraplegia. Penyakit Pott paling sering melibatkan tulang belakang dada dan
lumbosakral. Vertebra toraks bawah adalah area yang paling umum terlib (40-
50%). (Hidalgo, 2012)
17
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survey deskriptif retrospektif di
Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh Indonesia.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUZA Banda Aceh Indonesia pada bulan
Agustus-September 2012. Jadwal penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Jadwal penelitian
No. Kegiatan Agustus 2012 September 2012
1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pembuatan proposal
penelitian
2. Pengambilan data
penelitian
3. Pengolahan data penelitian
dan penyusunan laporan
penelitian
4. Presentasi laporan
penelitian
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dan sampel penelitian ini yaitu semua pasien spondilitis TB yang
menjalani pembedahan di Instalasi Bedah Sentral RSUZA Banda Aceh Indonesia
dari tahun 2010 sampai 2012.
18
3.4 Pengumpulan Data
Data didapatkan dari kantor Instalasi Bedah Sentral RSUZA Banda Aceh
mulai tahun 2010 sampai 2012.
3.5 Variabel dan Definisi Operasional Variabel
Variabel dan definisi operasional variabel pada penelitian ini dapat dilihat
pada tabel 3.2.
Tabel 3.2 Variabel dan definisi operasional variabel penelitian
No. Variabel Definisi operasional variabel Skala ukur
1. Usia Satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu benda atau makhluk,
baik yang hidup maupun yang mati.
Usia pada penelitian ini
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
yaitu kelompok usia I (0-18 tahun),
kelompok II (18-40 tahun) dan
kelompok III (lebih dari 40 tahun).
Nominal
2. Jenis Kelamin Kelas atau kelompok yang terbentuk
dalam suatu spesies sebagai sarana
atau sebagai akibat digunakannya
proses reproduksi seksual untuk
mempertahankan keberlangsungan
spesies. Jenis kelamin pada penelitian
ini diklasifikasikan menjadi laki-laki
dan perempuan.
Nominal
3. Lokasi Lokasi vertebra terjadinya spondilitis
TB
Nominal
4. Tindakan Tindakan pembedahan yang dilakukan Nominal
19
pembedahan terhadap penderita Spondilitis TB.
3.6 Analisis Data
Semua data yang didapatkan disajikan secara deskriptif dan dianalisis dengan
univariat.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang
bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik
yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat
menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
Pada penelitian ini akan dilaporkan mengenai kejadian pembedahan
penderita spondilitis TB di RSUZA. Rincian penderita spondilitis TB pada
penelitian ini yaitu meliputi usia, jenis kelamin, lokasi anatomi spondilitis TB, dan
jenis tindakan pembedahan yang dilakukan terhadap penderita.
4.1 Jenis Kelamin
Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin
Jenis kelamin frekuensi Persentasi
Laki-laki 17 51,5%
Perempuan 16 48,5%%
Total 33 100%
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa, dari 33 pasien yang menjalani operasi
spondilitis TB di RSUDZA, sebanyak 17 (51,5%) orang adalah laki-laki dan hanya
sebanyak 16 (48,5%%) orang adalah perempuan.
Menurut sebuah penelitian tentang spondilitis TB, hasil yang didapati
lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (60,8% vs 39,2%). Mulleman et
al.(2006) mendapatkan perempuan lebih dominan tetapi dalam beberapa laporan
lainnya prevalensi penyakit ini pada laki-laki dan perempuan adalah sama.
Perbedaan-perbedaan ini tidak jelas faktor penyebabnya, beberapa peneliti
menduga bahwa mengapa lebih dominan pada laki-laki adalah karena gaya hidup
mereka dan penyakit yang mendasarinya mungkin berada pada risiko yang lebih
tinggi untuk mendapatkan komplikasi TB tulang.
21
Hasil lain yang mendukung tabel di atas sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Othmann (2001). Dari tahun 1983-1999, 110 pasien dirawat di RS
Riyadh dengan diagnosis spondilitis TB. Data yang didapatkan ternyata laki-laki
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan . Penelitian lain yang mendukung
yaitu yang dilakukan oleh Danchaivijitr (2007) yang meneliti evaluasi MRI pada
pasien dengan spondilitis TB di RS Siriraj mulai Januari 2002 hingga Desember
2005. Hasil yang didapatkan, 19 laki-laki (61.2%) dan 12 orang perempuan
(38.7%);
Berikut ini adalah diagram distribusi berdasarkan jenis kelamin.
4.2 Usia
Tabel 2. Distribusi Usia
Usia (tahun) frekuensi Persentase0-18 4 12,2%19-40 24 72,7%>40 5 15,2%total 33 100%
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa, dari 33 pasien yang menjalani operasi
spondilitis TB di RSUDZA, sebanyak 24 (72,7%) orang berusia 19-40 Tahun dan
hanya sebanyak 4 (12,2%) orang berusia 0-18 tahun.
22
Studi ini menunjukkan bahwa TS yang lebih menonjol pada populasi
dewasa dibandingkan pada populasi yang lebih muda. Studi sebelumnya telah
melaporkan bahwa di daerah endemik TB, komplikasi TB tulang terjadi paling
sering pada anak-anak dan dewasa muda (Gautam, 2005).
Dari tabel di atas didapatkan bahwa umur dewasa paling banyak terkena
penyakit spondilitis TB. Hal ini sesuai dengan yang dikemukanan Hidalgo dalam
artikel tentang Pott Disease, yaitu di Amerika dan Negara berkembang lain,
penyakit Pott terjadi dominan pada orang dewasa. Di Negara yang angka infeksi
Pott nya tinggi, keterlibatan dewasa muda lebih dominan. Hal ini sesuai juga yang
didapatkan oleh othmann, dimana di Amerika utara dan Arab Saudi, angka
penyakit ini lebih tinggi pada orang dewasa. Saarthi (2009) tidak berpendapat
sama dimana ia menyebutkan bahwa anak lebih mudah terkena penyakit ini
dibandingkan dengan orang dewasa.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Fennira et al (2006), usia rata-rata dari
pasien dengan spondilitis TB adalah 48,6 tahun dan dalam studi García-Lechuz
(2002) adalah 58 tahun. Temuan Alavi (2010) konsisten dengan hasil investigasi
di negara-negara maju di mana terjadinya spondilitis TB pada pediatric sangat
jarang. Iran, meskipun merupakan daerah endemis TB, tetapi Alavi dkk percaya
bahwa vaksinasi dari Bacille Calmette-Guerin-(BCG) mulai pada tahun 1984 dan
terus berlanjut sampai Program Perluasan terpadu Imunisasi (EPI) sejak tahun
1993 mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam komplikasi TB pada anak-
anak dan dewasa muda.
23
Berikut ini adalah diagram distribusi berdasarkan usia
BAB V
4.3 Lokasi Anatomi
Tabel 3. Distribusi Lokasi Anatomi
Lokasi frekuensi Persentasi
Servikalis 2 6,06%
Torakalis 17 51,5%%
Lumbalis 11 33,3%
Sakralis 3 9,09%
Total 33 100%
Spondilitis TB paling umum mempengaruhi daerah lumbal atas dan toraks
bawah sebanyak 80% sampai 90%. Dalam beberapa laporan, segmen toraks dan
lumbal hampir sama terkena. Sebuah penelitiian oleh didapatkan, tulang belakang
lumbar adalah wilayah yang paling sering terlibat, perkiraan sekitar 72,1%, diikuti
oleh tulang belakang dada (53,5%), yang mirip dengan yang dilaporkan oleh
Pertuiset et al (2005) sebanyak 66 % dilaporkan dan 47% masing-masing.
24
Hasil penelitian yang dilakukan di RSUDZA sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Othmann (2001). Dari tahun 1983-1999, 110 pasien dirawat
di RS Riyadh dengan diagnosis spondilitis TB. Data yang didapatkan ternyata
pasien lebih banyak menderita spondilitis Tb ini di bagian toraks sebanyak 56
(50,9%) orang, servikal 18 (16,3%) orang dan lumbar sebanyak 36 (32,7%)
orang. Saarthi (2009). Spondilitis TB terjadi paling banyak pada toraks (42%),
limbar (26%), torakolumbar dan servikalis masing-masing 12%, lumbosakral
(3%).
Penelitian lain yang dilakukan Behice dkk (2008), yang membandingkan
gambaran klinis dan evaluasi dari kasus spondilitis yang disebabkan oleh
tuberculosis di Turkey. Hasil yang didapatkan, dari 43 pasien ini, keterlibatan
tulang vertebrae toraks lebih signifikan. Penelitian lain yang mendukung yaitu
yang dilakukan oleh Danchaivijitr (2007) yang meneliti evaluasi MRI pada
pasien dengan spondilitis TB di RS Siriraj mulai Januari 2002 hingga Desember
2005. Hasil yang didapatkan, dari 91 pasien, sebanyak 49 (53,8%) pasien dengan
spondilitis yang berlokasi di toraks, dan 0 pasien yang berlokasi pada sacrum.
Berikut ini adalah diagram distribusi lokasi anatomi spondilitis TB.
25
4.4 Tindakan
Tabel 4. Distribusi Tindakan
Tindakan Frekuensi Persentase
Laminectomi Kompleks 5 15,15%
Aff Pen Belakang 1 3,03%
Remove PSSW 2 6,06%
Laminectomi kompleks+
Stabilisasi Posterior
3 9,09%
Stabilisasi Posterior 4 12,12%
Koreksi spondilitis 7 21,2%
Decompressi + Stabilisasi
Posterior
4 12,12%
PSSW 5 15,15%
Decompressi + Laminectomi + Stabilisasi Posterior
1 3,03%
Dekompresi posterior +
Koreksi
1 3,03%
Total 33 100%
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa, dari 33 pasien yang menjalani operasi
spondilitis TB di RSUDZA, sebanyak 7( 21,2%) orang menjalani operasi koreksi
spodilitis, 5 (15,15%) orang menjalani masing-masing laminecyomi kompeks dan
PSSW, sedangkan yang menjalani Aff pen belakang,
Dekompresi+laminectomi+stabilisasi posterior, dekompresi posterior + koreksi
hanya 1 (3,03%) orang.
Chaloupka (2000) melaporkan bahwa, penelitian yang dilakukannya
menunjukkan bahwa penanganan aktif pada spondilitis TB memberikan hasil
yang bagus. Untuk mencegah komplikasi neurologi, diagnosis awal yang akurat
adalah hal penting. Pada penyakit yang progresif, operasi pengangkatan dari lesi
26
inflamasi, pemasangan autograph, fusi posterior dan fiksasi dengan alat yang
cocok kelihatannya merupakan metode terbaik. Dekompressi Capener merupakan
bagian metode yang penting pada pasien lebih tua yang memiliki lesi neurologis
dan pada kondisi yang buruk. Sedangkan chaloupka (2000) menyebutkan bahwa
salah satu operasi alternatif dari spondilitis TB adalah costotransversectomy
posterior. Fusi posterior dikombinasi dengan instrumentasi, yang menghasilkan
prognosis yang baik bagi pasien. Prosedur ini menawarkan keuntungan dan akses
yang mudah terhadap kanalis spinal untuk dekompresi saraf, mencegah kerusakan
koreksi dari garis lurus spinal dalam jangka lama, dan memfasilitasi mobilisasi
awal pada pasien. Di Indonesia, Sapardan (2007) menganjurkan prosedur
alternative dengan anterior, posterior serta anterior-posterior. Pasien ini akan
dilakukan dekompresi posterior, laminectomy. Costotransversectomy,
debridement dan evakuasi abses paravertebral dan kemudian distabilisasi dengan
menempatkan skrew. Hidalgo (2010) menyatakan bahwa pendekatan yang paling
konvensional termasuk dari operasi spondilitis TB ini adalah debridement fokus
anterior radikal dan stabilisasi posterior dengan instrumentasi. Modalitas terbaru
dan teknik sedang berkembang seperti dekompresi thoracoscopic.
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan Chen
(1995) dkk , dari 50 pasien dewasa, operasi debridement anterior dan fusi yang
diikuti fiksasi posterior dilakukan pada 14 pasien yang mengalami kerusakan
badan vertebrae. Moon dkk (1995), dari 39 pasien dewasa dengan spondilitis TB,
6 pasien dilakukan operasi pertama fiksasi anterior lalu diikuti posterior dengan
jarak 3-4 minggu. Penelitian lain yang dilakukan Behice dkk (2008), yang
membandingkan gambaran klinis dan evaluasi dari kasus spondilitis yang
disebabkan oleh tuberculosis di Turkey. Hasil yang didapatkan,sebanyak 31
pasien dari 43 jumlah total, dilakukan open surgery
27
KESIMPULAN DAN SARAN
28
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan penelitian yang berjudul gambaran distribusi pasien
Spondilitis TB di RSUZA yang menjalani tindakan pembedahan dari tahun 2010
sampai 2012 yaitu, dari segi jenis kelamin, didiapatkan paling banyak 17 (51,5%)
orang adalah laki-laki dan hanya sebanyak 16 (48,5%%) orang adalah perempuan.
Dari segi usia, sebanyak 24 (72,7%) orang berusia 19-40 Tahun dan hanya
sebanyak 4 (12,2%) orang berusia 0-18 tahun. Dari segi lokai anatomi, bagian
toraks sebanyak 56 (50,9%) orang dan servikal hanya 18 (16,3%) orang,
sedangkan untuk jenis tindakan operasi sebanyak 7( 21,2%) orang menjalani
operasi koreksi spodilitis dan yang menjalani Aff pen belakang,
Dekompresi+laminectomi+stabilisasi posterior, dekompresi posterior + koreksi
hanya 1 (3,03%) orang.
5.2 Saran
Perlu dilakukan studi mengenai spondilitis Tb lebih lanjut sehingga
diharapkan didapatkan pemahaman yang baik mengenai spondylitis Tb. Selain itu,
perlu disusun pencatatan penderita spondilitis Tb yang lebih baik di RSUZA
sehingga didapatkan data yang lebih banyak dan akurat untuk studi di masa yang
akan datang.
29