refrat bedah(1)

43
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan anggota gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas. Dahulu, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3-5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak. Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik 1

Upload: hesasista

Post on 30-Oct-2014

136 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: refrat bedah(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan

nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis

merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang

lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit

ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang

menemukan adanya hubungan antara kelemahan anggota gerak bawah dengan

kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil

tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga

etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas. Dahulu, spondilitis tuberkulosa

merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang

terutama berusia 3-5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan

kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur

dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak. Terapi konservatif

yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan

hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif

serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun

setelah penderita menjalani tindakan operatif (Vitriani, 2002).

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya

berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang

tersedia serta kondisi sosial di Negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa

merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan

sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk

masih menjadi masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau

maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30

tahun terakhir (Craig, 2009).

Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini

mengalami peningkatan pada populasi imigran, tuna wisma lanjut usia dan pada

orang dengan tahap lanjut infeksi HIV. Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi

1

Page 2: refrat bedah(1)

Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun

sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus

terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan

adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong

Kong (Lieberman,2009).

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi

terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat

terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight

bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar lebih sering terkena

dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang

belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang

(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-

tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area

torakolumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T X) dan lumbal bagian

atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan

dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area

servikal dan sacral (Zychowicz, 2010).

Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis

tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan

penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi

paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-

anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa

pada tulang belakang, kecuali pada decade pertama dimana sangat jarang

ditemukan keadaan ini (Lee,2004).

Dari data yang diperoleh, maka spondilitis tuberkolosa merupakan TB

ekstra pulmonary terbanyak yang menyebabkan komplikasi dan kecacatan pada

masyarakat, sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis yang baik untuk

mengetahui gambaran kelainan yang ditemukan dalam penegakan diagnosis dan

pemantauan terapi (Vitriani, 2002).

2

Page 3: refrat bedah(1)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah untuk mengetahui gambaran distribusi pasien Spondilitis TB di RSUZA

yang menjalani tindakan pembedahan mulai tahun 2010-2012.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran distribusi

pasien Spondilitis TB di RSUZA yang menjalani tindakan pembedahan dari tahun

2010 sampai 2012.

BAB 2

3

Page 4: refrat bedah(1)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang

bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik

yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat

menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per

tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium

tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan

China (Paramarta, 2008).

Meskipun kejadian TB meningkat di akhir 1980-an hingga awal 1990-an,

jumlah kasus telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Frekuensi

tuberkulosis paru tetap stabil. TB tulang dan jaringan lunak menyumbang sekitar

10% dari kasus tuberkulosis paru dan antara 1% dan 2% dari total kasus.

Spondilitis TB adalah manifestasi paling umum dari tuberkulosis muskuloskeletal,

terhitung sekitar 40-50% kasus (Hidalgo, 2012).

Di Belanda, antara tahun 1993 dan 2001, TB tulang dan sendi

menyumbang 3,5% dari semua kasus tuberkulosis (0.2-1.1% pada pasien asal

Eropa, dan 2,3-6,3% pada pasien non-Eropa asal).Meskipun beberapa seri telah

menemukan bahwa penyakit Pott tidak memiliki kecenderungan seksual, penyakit

ini lebih sering terjadi pada laki-laki (laki-perempuan, rasio 1.5-2:1). (Hidalgo,

2012. Alavi, 2010)

2.3 Etiologi

Penyakit spondilitis tuberculosa disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang

yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui

cara yang konvensional. Teknik Ziehl-Nielson digunakan untuk

memvisualisasikannya. Bakteri ini tumbuh secara lambat dalam media egg-en

4

Page 5: refrat bedah(1)

riched dengan periode 6-8 minggu. Spesies Mycobacterium yang lain dapat juga

bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum,

Mycobacterium bovine, ataupun non-tuberculous mycobacteria yang banyak

ditemukan pada penderita HIV. Produksi niasin merupakan karakteristik

Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya

dengan spesies lain (Vitriani, 2002).

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis

(Sumber: http://microbiologyspring2010.wikispaces.com/Mycobacterial)

2.4 Patogenesis

Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus

respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk

maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB

dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan

minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami

reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.

Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit

ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya

mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian

depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan

eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya

terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra

5

Page 6: refrat bedah(1)

sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya

kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung

menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus

menghancurkan vertebra di dekatnya (Alfarisi, 2011).

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang

fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum

longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini

dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis

ligament yang lemah (Alfarisi, 2011).

Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis

dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat

dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal

sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat

trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya

tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral,

berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat

menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal

dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah

ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke

daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada

trigonum skarpei atau regio glutea (Qittun, 2008).

Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas

dan tengah, tetapi yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan

antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya

pada vertebra torakalis X sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis.

Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi

medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal VIII

sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan

paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara

medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai

melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis vertebralis di

daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas

6

Page 7: refrat bedah(1)

lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari

bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih

sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal. Kerusakan medulla spinalis

akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu (Mclain et al., 2004):

1. Penekanan oleh abses dingin

2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis

3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya

4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.

Perjalanan penyakit ini terbagi dalam 5 stadium yaitu (Hidalgo, 2006):

a. Stadium implantasi.

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita

menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama

6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-

anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

b. Stadium destruksi awal

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra

serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6

minggu.

c. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan

terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang

tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk

sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang

baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus

vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

d. Stadium gangguan neurologist

7

Page 8: refrat bedah(1)

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,

tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini

ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis

mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih

mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu

dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:

Derajat I: kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan

aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan

saraf sensoris.

Derajat II: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita

masih dapat melakukan pekerjaannya.

Derajat III: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang

membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.

Derajat IV: terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan

defekasi dan miksi.

Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau

lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,

paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau

akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi

jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh

karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan

jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis

paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai

angulasi dan gangguan vaskuler vertebra (Wheeles, 2011).

e. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium

implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra

yang massif di sebelah depan.

terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada

sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang

8

Page 9: refrat bedah(1)

menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa

ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah

paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di

atas (Craig, 2009).

Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri dan kekakuan di

daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat

adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari

bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik.

Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian

posterior tulang juga terlibat (Wheeles, 2011).

Gambar 2. Skema patofisiologi berkembangnya penyakit spondilitis tuberkulosa

(Vitriani,2002).

2.5 Gejala Klinis

9

Page 10: refrat bedah(1)

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan

gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan

berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama

pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai

dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang

mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat

laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski

bilateral (Hidalgo, 2006).

Pada stadium awal belum ditemukan deformitas tulang vertebra dan belum

terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap,

terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis antara lain:

Tuberkulin skin test : positif

Laju endap darah : meningkat

Mikrobiologi (dari jaringan tulang atau abses) : basil tahan asam (+)

X-ray : destruksi korpus vertebra bagian anterior, peningkatan wedging

anterior, dan kolaps korpus vertebra.

Gambar 3. Foto X-Ray pada pasien dengan abses spondilitis TB (Sumber:

http://radiographics.rsna.org/content/27/5/1255/F19.expansion.html)

10

Page 11: refrat bedah(1)

CT scan : menggambarkan tulang lebih detail dengan lesi lytic irregular,

kolaps disk dan kerusakan tulang, resolusi kontras rendah menggambarkan

jaringan lunak lebih baik, khususnya daerah paraspinal, mendeteksi lesi

awal dan efektif untuk menggambarkan bentuk dan kalsifikasi dari abses

jaringan lunak.

Gambar 4. Hasil CT Scan spondilitis TB (Sumber:

http://radiographics.rsna.org/content/20/2/449/F27.expansion.html)

MRI : standar untuk mengevaluasi infeksi disk space dan paling efektif

dalam menunjukkan perluasan penyakit ke dalam jaringan lunak dan

penyebaran debris tuberkulosis di bawah ligamen longitudinalis anterior

dan posterior, paling efektif untuk menunjukkan kompresi neural (Fitri,

2002).

Gambar 5. Hasill MRI spondilitis TB (Sumber:

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0720048X03003097

11

Page 12: refrat bedah(1)

2.7 Diagnosis

Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan

klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB,

epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern

seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan

diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil

Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti (Paramarta, 2008).

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari spondylisis tuberculosa antara lain (Patell, 2007):

1. Spondylitis non-tuberculosis

a. Infeksi piogenik dan enterik

Contoh: karena staphylococcal/suppurative spondylitis, typhoid,

parathypoid. Adanya sclerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen

menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu, keterlibatan dua atau lebih

corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa

daripada infeksi bakterial lain. Pada infeksi enterik, perbedaan dapat dilihat dari

pemeriksaan laboratorium.

b. Spondylitis ankilosa

Suatu penyakit inflamasi progresif, biasanya mengenai pria dewasa muda,

sering disertai riwayat penyakit keluarga; (95% pasien membawa antigen leukosit

manusia; HLA-B27). Gambaran radiologis: sakroilitis biasanya ditemukan

sebelum pemeriksaan radiograf dengan pengaburan dan batas tidak tegas pada tepi

sendi, kemudian terjadi erosi dan sclerosis tulang yang menyebabkan

kecenderungan terjadinya penyatuan sendi sakro-iliaka complete. Biasanya

mengenai dua sendi (bilateral) dibedakan dengan TB yang unilateral.Selain, pada

region lumbar akan berlanjut pada verterbrae torakaldan cervical. Gambaran yang

paling sering adalah squaring pada badan vertebrae pada pembentukan tulang baru

pada corpus vertebrae anterior, dan terisinya kecekungan bagian anterior yang

normal oleh kalsifikasi ligament longitudinal; kalsifikasi ligament spinal lateral

dan anterior untuk menghasilkan gambaran bamboo spine yang klasik.

12

Page 13: refrat bedah(1)

c. Scheuermann’s disease

Penyakit ini mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena

tidak hanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan

inferior bagian interior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

2.9 Tata laksana

2.9.1 Medikamentosa

Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan dengan

pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan korset.

Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling tidak 4 jenis

obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan informasi kepekaan

kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan selama

seluruh pengobatan. Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin,

dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun

beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan,

pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama

pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik

pasien. Obat yang biasa dipakai untuk pengobatannya seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Obat tuberculosis, dosis dan efek samping (Fitri, 2001).

13

Page 14: refrat bedah(1)

Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka

dosis dari INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak

boleh lebih dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam

satu puyer tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan

terapi, anti inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada

penyakit dengan inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk

menghambat atau efek minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.

Gambar 2. Algoritme tata laksana spondilitis TB dengan komplikasi

neurologi(Fitri, 2001).

14

Page 15: refrat bedah(1)

2.9.2 Non-Medikamentosa

Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus

dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi.

Menurut Boswots Compos (dikutip dari 10) pengobatan yang paling penting

adalah imobilisasi dan artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien

yang terdeteksi lebih awal akan terdeteksi lebih awal; akan pulih setelah

arthrodesis. Menurut pendapatnya, dekompresi anterior diindikasikan hanya pada

beberapa pasien yang tidak pulih setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini

tidak memberikan perbaikan dan pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak.

Pada umumnya artrodesis dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan

lengkap (Fitri, 2001).

Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan

hasil yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi

pada seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi Pott’s paraplegia maka

pembedahan harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain.

A. Indikasi absolut

Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif,

paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif,

kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah

dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak

terkontrol oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan

atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat

dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena

kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis

vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia

flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau

gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.

B. Indikasi relatif

Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal

sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang

15

Page 16: refrat bedah(1)

diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi

seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing. Prosedur pembedahan yang

dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi adalah

costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi. Prosedur tata

laksana pasien dengan komplikasi neurologi dapat dilihat seperti Gambar 1.

Fisioterapi

Prinsip utama dari penanganan fisioterapi pada kasus ini adalah

memperkuat otot melalui reedukasi dan mereduksi spastisitas atau rigiditas.

Latihan yang direkomendasikan untuk rehabilitasi penyakit spondilitis TB

meliputi stretching, balance training, gait training dan latihan untuk kelompok otot

menggunakan teknik proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF).

(Harisinghani, 2002).

1. Isometric exercise

Penyakit spondylitis TB biasanya menyebabkan gejala neurologis yang

dapat diperburuk dengan latihan tanpa pengawasan. Oleh karena itu penting untuk

meningkatkan latihan dengan hati-hati. Fisioterapi biasanya memulai dengan

latihan isometrik. Tujuan dari latihan ini adalah untuk mengembangkan kekuatan

otot melalui kontraksi tanpa gerakan. Dengan cara ini, kekuatan otot secara

bertahap terbentuk dengan meminimalkan resiko kerusakan lebih lanjut. Setelah

memperoleh cukup kekuatan dan ketangkasan dengan latihan non-gerakan, maka

dilanjutkan untuk tahap berikutnya.

2. Stretching exercise

Teknik ini harus diaplikasikan dengan sangat hati-hati pada pasien

spondylitis TB. Sebagai aturan umum, hanya latihan gentle stretching yang

diperbolehkan. Bahkan sebelum menerapkan tahap latihan ini pasien harus

dibantu dengan latihan passive movement terebih dahulu. Juga penting untuk

menjaga stabilitas tulang belakang ketika melakukan gentle stretching exercise

tersebut.

16

Page 17: refrat bedah(1)

3. PNF techniques

Teknik ini pada awalnya dikembangkan untuk rehabilitasi pasien post-

paralysis. Keuntungan yang diperoleh dari PNF adalah menstimulasi otot melalui

aktifitas kelompok otot, penguluran, dan pemberian tahanan dengan cara

melibatkan serangkaian gerakan berulang (Burril, 2006).

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh

karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang

mengalami destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya

paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s

paraplegia.( Tali, 2004)

2.11 Prognosis

Penyakit Pott adalah bentuk paling berbahaya dari tuberkulosis

muskuloskeletal karena dapat menyebabkan kerusakan tulang, cacat, dan

paraplegia. Penyakit Pott paling sering melibatkan tulang belakang dada dan

lumbosakral. Vertebra toraks bawah adalah area yang paling umum terlib (40-

50%). (Hidalgo, 2012)

17

Page 18: refrat bedah(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey deskriptif retrospektif di

Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh Indonesia.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUZA Banda Aceh Indonesia pada bulan

Agustus-September 2012. Jadwal penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Jadwal penelitian

No. Kegiatan Agustus 2012 September 2012

1 2 3 4 1 2 3 4

1. Pembuatan proposal

penelitian

2. Pengambilan data

penelitian

3. Pengolahan data penelitian

dan penyusunan laporan

penelitian

4. Presentasi laporan

penelitian

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dan sampel penelitian ini yaitu semua pasien spondilitis TB yang

menjalani pembedahan di Instalasi Bedah Sentral RSUZA Banda Aceh Indonesia

dari tahun 2010 sampai 2012.

18

Page 19: refrat bedah(1)

3.4 Pengumpulan Data

Data didapatkan dari kantor Instalasi Bedah Sentral RSUZA Banda Aceh

mulai tahun 2010 sampai 2012.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional Variabel

Variabel dan definisi operasional variabel pada penelitian ini dapat dilihat

pada tabel 3.2.

Tabel 3.2 Variabel dan definisi operasional variabel penelitian

No. Variabel Definisi operasional variabel Skala ukur

1. Usia Satuan waktu yang mengukur waktu

keberadaan suatu benda atau makhluk,

baik yang hidup maupun yang mati.

Usia pada penelitian ini

diklasifikasikan menjadi 3 kelompok

yaitu kelompok usia I (0-18 tahun),

kelompok II (18-40 tahun) dan

kelompok III (lebih dari 40 tahun).

Nominal

2. Jenis Kelamin Kelas atau kelompok yang terbentuk

dalam suatu spesies sebagai sarana

atau sebagai akibat digunakannya

proses reproduksi seksual untuk

mempertahankan keberlangsungan

spesies. Jenis kelamin pada penelitian

ini diklasifikasikan menjadi laki-laki

dan perempuan.

Nominal

3. Lokasi Lokasi vertebra terjadinya spondilitis

TB

Nominal

4. Tindakan Tindakan pembedahan yang dilakukan Nominal

19

Page 20: refrat bedah(1)

pembedahan terhadap penderita Spondilitis TB.

3.6 Analisis Data

Semua data yang didapatkan disajikan secara deskriptif dan dianalisis dengan

univariat.

20

Page 21: refrat bedah(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang

bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik

yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat

menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).

Pada penelitian ini akan dilaporkan mengenai kejadian pembedahan

penderita spondilitis TB di RSUZA. Rincian penderita spondilitis TB pada

penelitian ini yaitu meliputi usia, jenis kelamin, lokasi anatomi spondilitis TB, dan

jenis tindakan pembedahan yang dilakukan terhadap penderita.

4.1 Jenis Kelamin

Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin

Jenis kelamin frekuensi Persentasi

Laki-laki 17 51,5%

Perempuan 16 48,5%%

Total 33 100%

Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa, dari 33 pasien yang menjalani operasi

spondilitis TB di RSUDZA, sebanyak 17 (51,5%) orang adalah laki-laki dan hanya

sebanyak 16 (48,5%%) orang adalah perempuan.

Menurut sebuah penelitian tentang spondilitis TB, hasil yang didapati

lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (60,8% vs 39,2%). Mulleman et

al.(2006) mendapatkan perempuan lebih dominan tetapi dalam beberapa laporan

lainnya prevalensi penyakit ini pada laki-laki dan perempuan adalah sama.

Perbedaan-perbedaan ini tidak jelas faktor penyebabnya, beberapa peneliti

menduga bahwa mengapa lebih dominan pada laki-laki adalah karena gaya hidup

mereka dan penyakit yang mendasarinya mungkin berada pada risiko yang lebih

tinggi untuk mendapatkan komplikasi TB tulang.

21

Page 22: refrat bedah(1)

Hasil lain yang mendukung tabel di atas sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Othmann (2001). Dari tahun 1983-1999, 110 pasien dirawat di RS

Riyadh dengan diagnosis spondilitis TB. Data yang didapatkan ternyata laki-laki

lebih banyak dibandingkan dengan perempuan . Penelitian lain yang mendukung

yaitu yang dilakukan oleh Danchaivijitr (2007) yang meneliti evaluasi MRI pada

pasien dengan spondilitis TB di RS Siriraj mulai Januari 2002 hingga Desember

2005. Hasil yang didapatkan, 19 laki-laki (61.2%) dan 12 orang perempuan

(38.7%);

Berikut ini adalah diagram distribusi berdasarkan jenis kelamin.

4.2 Usia

Tabel 2. Distribusi Usia

Usia (tahun) frekuensi Persentase0-18 4 12,2%19-40 24 72,7%>40 5 15,2%total 33 100%

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa, dari 33 pasien yang menjalani operasi

spondilitis TB di RSUDZA, sebanyak 24 (72,7%) orang berusia 19-40 Tahun dan

hanya sebanyak 4 (12,2%) orang berusia 0-18 tahun.

22

Page 23: refrat bedah(1)

Studi ini menunjukkan bahwa TS yang lebih menonjol pada populasi

dewasa dibandingkan pada populasi yang lebih muda. Studi sebelumnya telah

melaporkan bahwa di daerah endemik TB, komplikasi TB tulang terjadi paling

sering pada anak-anak dan dewasa muda (Gautam, 2005).

Dari tabel di atas didapatkan bahwa umur dewasa paling banyak terkena

penyakit spondilitis TB. Hal ini sesuai dengan yang dikemukanan Hidalgo dalam

artikel tentang Pott Disease, yaitu di Amerika dan Negara berkembang lain,

penyakit Pott terjadi dominan pada orang dewasa. Di Negara yang angka infeksi

Pott nya tinggi, keterlibatan dewasa muda lebih dominan. Hal ini sesuai juga yang

didapatkan oleh othmann, dimana di Amerika utara dan Arab Saudi, angka

penyakit ini lebih tinggi pada orang dewasa. Saarthi (2009) tidak berpendapat

sama dimana ia menyebutkan bahwa anak lebih mudah terkena penyakit ini

dibandingkan dengan orang dewasa.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Fennira et al (2006), usia rata-rata dari

pasien dengan spondilitis TB adalah 48,6 tahun dan dalam studi García-Lechuz

(2002) adalah 58 tahun. Temuan Alavi (2010) konsisten dengan hasil investigasi

di negara-negara maju di mana terjadinya spondilitis TB pada pediatric sangat

jarang. Iran, meskipun merupakan daerah endemis TB, tetapi Alavi dkk percaya

bahwa vaksinasi dari Bacille Calmette-Guerin-(BCG) mulai pada tahun 1984 dan

terus berlanjut sampai Program Perluasan terpadu Imunisasi (EPI) sejak tahun

1993 mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam komplikasi TB pada anak-

anak dan dewasa muda.

23

Page 24: refrat bedah(1)

Berikut ini adalah diagram distribusi berdasarkan usia

BAB V

4.3 Lokasi Anatomi

Tabel 3. Distribusi Lokasi Anatomi

Lokasi frekuensi Persentasi

Servikalis 2 6,06%

Torakalis 17 51,5%%

Lumbalis 11 33,3%

Sakralis 3 9,09%

Total 33 100%

Spondilitis TB paling umum mempengaruhi daerah lumbal atas dan toraks

bawah sebanyak 80% sampai 90%. Dalam beberapa laporan, segmen toraks dan

lumbal hampir sama terkena. Sebuah penelitiian oleh didapatkan, tulang belakang

lumbar adalah wilayah yang paling sering terlibat, perkiraan sekitar 72,1%, diikuti

oleh tulang belakang dada (53,5%), yang mirip dengan yang dilaporkan oleh

Pertuiset et al (2005) sebanyak 66 % dilaporkan dan 47% masing-masing.

24

Page 25: refrat bedah(1)

Hasil penelitian yang dilakukan di RSUDZA sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Othmann (2001). Dari tahun 1983-1999, 110 pasien dirawat

di RS Riyadh dengan diagnosis spondilitis TB. Data yang didapatkan ternyata

pasien lebih banyak menderita spondilitis Tb ini di bagian toraks sebanyak 56

(50,9%) orang, servikal 18 (16,3%) orang dan lumbar sebanyak 36 (32,7%)

orang. Saarthi (2009). Spondilitis TB terjadi paling banyak pada toraks (42%),

limbar (26%), torakolumbar dan servikalis masing-masing 12%, lumbosakral

(3%).

Penelitian lain yang dilakukan Behice dkk (2008), yang membandingkan

gambaran klinis dan evaluasi dari kasus spondilitis yang disebabkan oleh

tuberculosis di Turkey. Hasil yang didapatkan, dari 43 pasien ini, keterlibatan

tulang vertebrae toraks lebih signifikan. Penelitian lain yang mendukung yaitu

yang dilakukan oleh Danchaivijitr (2007) yang meneliti evaluasi MRI pada

pasien dengan spondilitis TB di RS Siriraj mulai Januari 2002 hingga Desember

2005. Hasil yang didapatkan, dari 91 pasien, sebanyak 49 (53,8%) pasien dengan

spondilitis yang berlokasi di toraks, dan 0 pasien yang berlokasi pada sacrum.

Berikut ini adalah diagram distribusi lokasi anatomi spondilitis TB.

25

Page 26: refrat bedah(1)

4.4 Tindakan

Tabel 4. Distribusi Tindakan

Tindakan Frekuensi Persentase

Laminectomi Kompleks 5 15,15%

Aff Pen Belakang 1 3,03%

Remove PSSW 2 6,06%

Laminectomi kompleks+

Stabilisasi Posterior

3 9,09%

Stabilisasi Posterior 4 12,12%

Koreksi spondilitis 7 21,2%

Decompressi + Stabilisasi

Posterior

4 12,12%

PSSW 5 15,15%

Decompressi + Laminectomi + Stabilisasi Posterior

1 3,03%

Dekompresi posterior +

Koreksi

1 3,03%

Total 33 100%

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa, dari 33 pasien yang menjalani operasi

spondilitis TB di RSUDZA, sebanyak 7( 21,2%) orang menjalani operasi koreksi

spodilitis, 5 (15,15%) orang menjalani masing-masing laminecyomi kompeks dan

PSSW, sedangkan yang menjalani Aff pen belakang,

Dekompresi+laminectomi+stabilisasi posterior, dekompresi posterior + koreksi

hanya 1 (3,03%) orang.

Chaloupka (2000) melaporkan bahwa, penelitian yang dilakukannya

menunjukkan bahwa penanganan aktif pada spondilitis TB memberikan hasil

yang bagus. Untuk mencegah komplikasi neurologi, diagnosis awal yang akurat

adalah hal penting. Pada penyakit yang progresif, operasi pengangkatan dari lesi

26

Page 27: refrat bedah(1)

inflamasi, pemasangan autograph, fusi posterior dan fiksasi dengan alat yang

cocok kelihatannya merupakan metode terbaik. Dekompressi Capener merupakan

bagian metode yang penting pada pasien lebih tua yang memiliki lesi neurologis

dan pada kondisi yang buruk. Sedangkan chaloupka (2000) menyebutkan bahwa

salah satu operasi alternatif dari spondilitis TB adalah costotransversectomy

posterior. Fusi posterior dikombinasi dengan instrumentasi, yang menghasilkan

prognosis yang baik bagi pasien. Prosedur ini menawarkan keuntungan dan akses

yang mudah terhadap kanalis spinal untuk dekompresi saraf, mencegah kerusakan

koreksi dari garis lurus spinal dalam jangka lama, dan memfasilitasi mobilisasi

awal pada pasien. Di Indonesia, Sapardan (2007) menganjurkan prosedur

alternative dengan anterior, posterior serta anterior-posterior. Pasien ini akan

dilakukan dekompresi posterior, laminectomy. Costotransversectomy,

debridement dan evakuasi abses paravertebral dan kemudian distabilisasi dengan

menempatkan skrew. Hidalgo (2010) menyatakan bahwa pendekatan yang paling

konvensional termasuk dari operasi spondilitis TB ini adalah debridement fokus

anterior radikal dan stabilisasi posterior dengan instrumentasi. Modalitas terbaru

dan teknik sedang berkembang seperti dekompresi thoracoscopic.

Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan Chen

(1995) dkk , dari 50 pasien dewasa, operasi debridement anterior dan fusi yang

diikuti fiksasi posterior dilakukan pada 14 pasien yang mengalami kerusakan

badan vertebrae. Moon dkk (1995), dari 39 pasien dewasa dengan spondilitis TB,

6 pasien dilakukan operasi pertama fiksasi anterior lalu diikuti posterior dengan

jarak 3-4 minggu. Penelitian lain yang dilakukan Behice dkk (2008), yang

membandingkan gambaran klinis dan evaluasi dari kasus spondilitis yang

disebabkan oleh tuberculosis di Turkey. Hasil yang didapatkan,sebanyak 31

pasien dari 43 jumlah total, dilakukan open surgery

27

Page 28: refrat bedah(1)

KESIMPULAN DAN SARAN

28

Page 29: refrat bedah(1)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan penelitian yang berjudul gambaran distribusi pasien

Spondilitis TB di RSUZA yang menjalani tindakan pembedahan dari tahun 2010

sampai 2012 yaitu, dari segi jenis kelamin, didiapatkan paling banyak 17 (51,5%)

orang adalah laki-laki dan hanya sebanyak 16 (48,5%%) orang adalah perempuan.

Dari segi usia, sebanyak 24 (72,7%) orang berusia 19-40 Tahun dan hanya

sebanyak 4 (12,2%) orang berusia 0-18 tahun. Dari segi lokai anatomi, bagian

toraks sebanyak 56 (50,9%) orang dan servikal hanya 18 (16,3%) orang,

sedangkan untuk jenis tindakan operasi sebanyak 7( 21,2%) orang menjalani

operasi koreksi spodilitis dan yang menjalani Aff pen belakang,

Dekompresi+laminectomi+stabilisasi posterior, dekompresi posterior + koreksi

hanya 1 (3,03%) orang.

5.2 Saran

Perlu dilakukan studi mengenai spondilitis Tb lebih lanjut sehingga

diharapkan didapatkan pemahaman yang baik mengenai spondylitis Tb. Selain itu,

perlu disusun pencatatan penderita spondilitis Tb yang lebih baik di RSUZA

sehingga didapatkan data yang lebih banyak dan akurat untuk studi di masa yang

akan datang.

29