bab 2

53
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Cedera Kepala Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008). Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan Afisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008). Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

Upload: a-fifah-otlivio-alfiana

Post on 10-Nov-2015

3 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

cedera kepala + ARDS

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA.Pengertian Cedera KepalaCedera kepala adalah suatu gangguantraumatikdari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertaiperdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan Afisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik.Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak.(B.Batticaca, 2008).Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

B.Penyebab Cedera KepalaCedera kepala disebabkan oleh1.Kecelakaan lalu lintas2.Jatuh3.Trauma benda tumpul4.Kecelakaan kerja5.Kecelakaan rumah tangga6.Kecelakaan olahraga7.Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)

C.ManifestasiKlinis1. Nyeri yang menetap atau setempat.2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle), otoreaserebro spiral ( cairan cerebrospinal keluar dari telinga ), minoreaserebrospiral (les keluar dari hidung).4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.5. Penurunan kesadaran.6. Pusing / berkunang-kunang.Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler7. Peningkatan TIK8. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas.9. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

D.PatofisiologiCedera KepalaMenurut Tarwoto (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah,perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat,perubahan permeabilitas faskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.

E.Klasifikasi Cedera KepalaCedera kepala dapat diklasifikasikan dalamberbagai aspek yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004).1. Berdasarkanmekanismenyacederakepala dikelompokkan menjadi dua yaitua. Cedera kepala tumpul.Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan decelerasi yang menyebabkanotak bergerak didalamrongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.b. Cedera tembusCedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan (IKABI, 2004)2. Berdasarkan morfologi cedera kepalaCedera kepala menurut(Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputia. Laserasi kulit kepalaLaserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalpterdiri dari limalapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan padalapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.b. Fraktur tulang kepalaFraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi1)Fraktur linierFraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepalabendingdan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.2)Fraktur diastasisFraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belummenyatu denganerat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.3)Fraktur kominutifFraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.4)Fraktur impresiFraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepaladanpada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak,fraktur impresi dianggap bermakna terjadi,jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.5)Fraktur basis kraniiFraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yangterjadi pada dasar tulang tengkorak,fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkanletak anatomi di bagi menjadi fraktur fossaanterior, fraktur fossamedia dan fraktur fossa posterior. Secara anatomiada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea danraccon eyes sign(frakturbasis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batles sign(fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga 9 dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dansaraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkansembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.c.Cedera kepala di area intrakranialMenurut(Tobing, 2011)yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokaldan cedera otak difus Cedera otak fokal yang meliputi.1)Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulangtengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya intervallusid selama beberapajam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.2)Perdarahan subdural akut atau subdural hematom(SDH) akutPerdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan 10 prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.3)Perdarahan subdural kronik atau SDH kronikSubdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA(transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.4)Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak,tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lainadanya 11 penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.5)Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.3.Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnyaCedera kepala berdasarkan beratnya cedera,menurut(Mansjoer, 2000)dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadia. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 151)Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.2)Tidak ada kehilangan kesadaran3)Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang4)Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing5)Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepalab.Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 13Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan1)Amnesia paska trauma2)Muntah3)Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)4)Kejangc.Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.1)Penurunan kesadaran sacara progresif2)Tanda neorologis fokal3)Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (mansjoer, 2000)

F.KomplikasiCedera KepalaKomplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut(Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi1.KomaPenderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah 16 masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.2.Kejang/SeizurePenderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy3.InfeksiFraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.4. Hilangnya kemampuan kognitifBerfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.5.Penyakit Alzheimer dan ParkinsonPada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

G.PenatalaksanaanCedera KepalaPada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuatluka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untukmengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelumlaserasi ditutup.1.Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;lepaskan gigi palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgnmemasang collar cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jikacedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.2.Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jikatidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki danatasi cedera dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks.Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2minimum 95%. Jikajalan nafas pasien tidak terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 ygadekuat ( Pa O2 >95% dan Pa CO295%)atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahlianestesi.3.Menilai sirkulasi : otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan semuaperdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intraabdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan darahpasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan koloidsedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.4.Obati kejang : Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harusdiobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dandpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin15mg/kgBB.5.Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB6.Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,lakukan fototulang belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolarservikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh keservikal C1-C7normal7.Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairanisotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairanhipotonis dan larutan ini tdk menambah edema cerebri- Lakukan pemeriksaan : Ht, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah. Lakukan CT scanPasien dgn CKR, CKS, CKB harusn dievaluasi adanya :1.Hematoma epidural2.Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel3.Kontusio dan perdarahan jaringan otak4.Edema cerebri5.Pergeseran garis tengah6.Fraktur kranium8.Pada pasien yg koma ( skor GCS 1 diplo).

H.NursingCare PlaingData dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cederadan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vitala.1.Aktifitas dan istirahatGejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbanganTanda :a.Perubahan kesadaran, letargib.Hemiparesec.Ataksia cara berjalan tidak tegapd.Masalah dlm keseimbangane.Cedera/trauma ortopedif.Kehilangan tonus otot2. SirkulasiGejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yg diselingi bradikardia disritmiac.3.Integritas egoGejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadianTanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresid.4.EliminasiGejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguanfungsie.5.Makanan/cairanGejala : mual, muntah dan mengalami perubahan selera.Tanda : muntah, gangguan menelanf.6. NeurosensoriGejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputarkejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilanganpendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapangpandang, gangguan pengecapan dan penciumanTanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, Perubahan status mental, Perubahan pupil, Kehilangan penginderaan, Wajah tdk simetris, Genggaman lemah tidak seimbang, Kehilangfan sensasi sebagian tubuhg.7.Nyeri/kenyamananGejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbedabiasanya lamaTanda : Wajah menyeringai,respon menarik pada ransangan nyeri yg hebat, merintihh.8.PernafasanTanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengii.9.KeamananGejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaanTanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan10.Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna, tanda batledi sekitar telinga, adanya aliran cairan dari telinga atau hidung, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak, Demam

I.DiagnosaKeperawatan dan IntervensiDX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.

Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.

IntervensiRasionalisasi

MandiriKaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.

Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jamSuatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.

Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya.Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang menunjukkan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.

Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.Panas merupakan refleks dari hipotalamus.Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2akan menunjang peningkatan TIK/ICP (Intracranial Pressure).

Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.

Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsangan kumulatif.

Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang. Sentuhan yang ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak gaduh.Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.

Cegah/hindarkan terjadinya valsava maneuver.Mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.

Bantu klien jika batuk, muntah.Aktivitas ini dapat meningkatkan intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan TIK.

Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku.Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatkan TIK.

Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika di gunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.Dapat meningkatkan repons otomatis yang potensial menaikkan TIK.

Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningkat.Meningkatkan kerja sama dalam meningakatkan perawatan klien dan mengurangi kecemasan.

Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.

Kolaborasi :Pemberian O2sesuai indikasi.Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK.

Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intracranial.Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-tanda deficit neurologis yang menandakan peningkatan ntrakranial.

Berikan cairan intravena sesuai indikasi.Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan TIK.

Berikan obat osmosis diuretic contohnya : manitol, furoscide.Diuretic mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dan TIK.

Berikan steroid contohnya : dexamethason, methyl prenidsolon.Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.

Berikan analgesic narkotik contoh : kodein.Mungkin di indikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.

Berikan antipiretik contohnya : asetaminofen.Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.

Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED.Membantu memberikan informasi tentang efektifitas pemberian obat.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2dengan CO2, kegagalan ventilator.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.

IntervensiRasionalisasi

Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk control diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan. Jangan mematikan alarm.Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.

Tarulah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat digunakan.Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak.

Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti.Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.

Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin.Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen.Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa fungsi spirometer.Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. Pemberian antibiotik. Pemberian analgesic. Fisioterapi dada. Konsul foto thoraks.Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.

IntervensiRasionalisasi

Kaji keadaan jalan napasObstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.

Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral).Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing.

Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri tanda batas bibir.Lekatkan tube secara hati-hati dengan memakai perekat khusus.Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks.

Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.Selama intubasiklien mengalami refleks batuk yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender dari jalan napas.

Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter pengisap yang sesuai, cairan fisiologis steril.Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi).Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk mencegah hipoksia.Dengan membuat hiperventilasi melalui pemberian oksigen 100% dapat mencegah terjadinya atelektasis dan mengurangi terjadinya hipoksia.

Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas.

Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam).Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.

Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.Membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.

Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di saluran pernapasan.Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.

Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.

Lakukan pernapasan diafragma.Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.

Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.Meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah pengeluaran sekresi sekret.

Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada atelektasis.

Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mosa pada saluran napas pada bagian atas.

Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.Higine mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. Pemberian ekspektoran. Pemberian antibiotic. Fisioterapi dada. Konsul foto thoraks.Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainage, perkusi/penepukan.Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran sekret.

Berikan obat-obat bronchodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosol).Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle/bronchospasme.

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.

IntervensiRasional

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non-invasif.Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.

Ajarkan relaksasi :Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.Akan melansarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan respons motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgesic untuk mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.

Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,

IntervensiRasional

Kaji ulang tanda-tanda vitalklien dan status relirologis klienMengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.

Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma multiple.Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi yangmembesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungandengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang berhubungan dengan trauma multiples) dapatmengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.

Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang encerminkanadanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.

Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah hiperventilasi(pernafasan cheyne stokes).Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguanserebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinandukungan nafas buatan.

Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempitdan kedalaman persepsi.Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak,merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi

Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan handuk kecil /bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepalaKepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah lain yang selanjutnya akanmeningkat TIK.

Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi.Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema/ resiko terjadinya peningkatan TIK.

Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuaiindikasiMenurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang meningkatkan TIK.

Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi :- Diuretik- Steroid- Analgetik sedang- Sedatif Untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otakTIK. Menurunkan inflasi, yangselanjutnya menurunkan edemajaringan. Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat pada TIK tetapi harus digunakan dengan hasil untuk mencegah gangguanpernafasan. Untuk mengendalikankegelisahan agitas

DX 6 : gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium.

IntervensiRasional

MandiriEvaluasi kemampuan makan klienKlien dengan tracheostomy tube mungkin sulit untuk makan, tetapi klien dengan endotracheal tube dapat menggunakan mag slang atau memberi makanan parenteral.

Observasi/timbang berat badan jika memungkinkan.Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan kekurangan intake nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator.

Catat pemasukan peroral jika diindikasikan. anjurkan klien untuk makanNafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi yang masuk pun berkurang. menganjurkan klien memilih makanan yang di senangi dapat dimakan ( bila sesuai anjuran).

Berikan makanan kecil dan lunakMencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, dan mencegah gangguan pada lambung.

KolaborasiAturlah diet yang diberikan sesuaii keadaan klienDiet tinggi kalori, protein, karbohidrat sangat diperlukan selama pemasangan ventilator untuk mempertahankan fungsi otot-otot respirasi. karbohidrat dapat berperan dan penggunaan lemak meningkat untuk mencegah terjadinya produksi co2 dan pengaturan sisa respirasi.

Lakukan pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan seperti serum, transverin,BUN/kreatinin dan glukosa.Memberikan informasi yang tepat tentang keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.

1. Definisi ARDSAdult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein. Sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius (Brunner & Suddarth, 2001)Kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal dan non pulmonal. (Hudak & Gallow,1997 )Merupkan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler terhadap air, larutan, dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein (Aru W, dkk, 20062. Epidemiologi/Insiden KasusARDS telah menunjukkan hubungan dengan angka kematian hingga setinggi 50% sampai 60%. Angka bertahan hidup sedikit meningkat ketika penyebabnya dapat ditentukan, serta diobati secara dini dan agresif, terutama pengguna tekanan ekspirasi akhir positif (PPEP).Tahunan insiden dari ARDS adalah 1,5-13,5 orang per 100.000 orang dalam populasi umum. Its insiden di unit perawatan intensif (ICU), ventilasi mekanis penduduk jauh lebih tinggi.3. Faktor Resiko1. Trauma langsung pada paru Pneumoni virus,bakteri,fungal Contusio paru Aspirasi cairan lambung Inhalasi asap berlebih Inhalasi toksin Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama2. Trauma tidak langsung Sepsis Shock DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation) Pankreatitis Uremia Overdosis Obat Idiophatic (tidak diketahui) Bedah Cardiobaypass yang lama Transfusi darah yang banyak PIH (Pregnand Induced Hipertension) Peningkatan TIK Terapi radiasi

4. Patofisiologi terjadinya penyakitARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskuler. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam 3 fase yang dapat dijumpai secara tumpang tindih : Inisiasi, Amplikasi, dan injury.Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel sel imun dan non imun melepaskan mediator mediator dan modulator modulator inflamasi di dalam paru dan ke sistemik.Pada fase amflikasi, sel efektor seperti netrofil teraktifasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ketiga disebut fase injury. Kerusakan pada membran alveolar-kapiler menyebabkan peningkatan permiabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih jauh.Terdapat 3 fase kerusakan alveolus : Fase eksudatif (ditandai edema interstisial dan alveolar, nekrosis sel pneumosit tipe 1 dan denudasi/terlepasnya membran basalis, pembengkakan sel endotel dengan pelebaran interselular junction, terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neotrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru. Fase proliferatif : Paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai proliferasi sel epitel pneumosit tipe 2. Fase fibrosis : Kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.5. Gejala KlinisGejala klinis utama pada kasus ARDS adalah : Penurunan kesadaran mental Takikardi (denyut jantung cepat), takipnea(nafas cepat) Dispnea dengan kesulitan bernafas Terdapat retraksi interkosta Sianosis Hipoksemia Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop Hipotensi Febris (demam)

6. Pemeriksaan FisikInspeksi : Mengamati bagian thorak.Auskultasi : Menggunakan stetoskop untuk mendengarkan frekuensi nafasPalpasi : Menekan bagian thorak untuk mengetahui apakah thoraknya edema dan nyeriPerkusi : Untuk mengetahui apakah ada cairan dalam paru paru atau tidak. Temuan fisik seringkali nonspesifik dan mencakup tachypnea, takikardia, dan kebutuhan oksigen terinspirasi tinggi konsentrasi untuk mempertahankan saturasi oksigen. The patient may be febrile or hypothermPasien mungkin demam atau hipotermia. Because ARDS often occurs in the context of sepsis, associated hypotension and peripheral vasoconstriction with cold extremities may be preARDS karena sering terjadi dalam konteks sepsis, berhubungan dengan hipotensi dan peripheral vasokonstriksi dengan ekstremitas dingin mungkin ada. Cyanosis of the lips and nail beds may occur.Sianosis bibir dan kuku tempat tidur dapat terjadi. Examination of the lungs may reveal bilateral rales. Pemeriksaan paru-paru mungkin mengungkapkan bilateral rales. Because the patient is often intubated and mechanically ventilated, decreased breath sounds over one lung may indicate a pneumothorax or endotracheal tube down the right main bronchus.Karena pasien sering intubated dan ventilasi mekanis, penurunan bunyi napas lebih dari satu paru-paru mungkin menandakan adanya pneumotoraks atau endotracheal tabung ke bronkus utama kanan. Manifestations of the underlying cause, such as acute abdominal findings in pancreatitis, are present.Manifestasi dari penyebab yang mendasari, seperti temuan di perut akut pankreatitis, yang hadir. In a septic patient without an obvious source, pay careful attention during the physical examination to identify potential causes of sepsis, including signs of lung consolidation or findings consistent with an acute abdomen.Dalam septik pasien tanpa sumber yang jelas, perhatikan baik-baik selama pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi potensi penyebab sepsis, termasuk tanda-tanda konsolidasi paru-paru atau temuan konsisten dengan perut yang akut.

7. Carefully examine sites of intravascular lines, surgical wounds, drain sites, and decubiti for evidence of infection.Check for subcutaneous air, a manifestation of infection or barotrauma.Because cardiogenic pulmonary edema must be distinguished from ARDS, carefully look for signs of congestive heart failure or intravascular volume overload, including jugular venous distension, cardiac murmurs and gallops, hepatomegaly, andPemeriksaan diagnostik/penunjang Laboratorium Analisa gas darah : Hipoksemia ( pe PaO2 ) Hipokapnia ( pe PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi Hiperkapnia ( pe PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi implamasi sistemik dan injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis) Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular diseminata (sebagai bagian dari MODS/ multiple organ disfunction syndrome ) Radiologi Foto dada: Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paruTahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli CT scan: Pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto sufine).

8. Diagnosis/ kriteria diagnosisOnset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang menjadi faktor risiko ARDS. Tanda pertama adalah takipnea. Dapat ditemui hipotensi dan febris. Pada auskultasi ditemukan ronki basah.Kriteria lainnya antara lain : Tekanan arteri pulmonar < 19 mmHg (tanpa ada tanda klinik CHF) Kegagalan oksigenasi Hipoksemia yang refrakter dengan terapi oksigen. Derajat beratnya hipoksemia dilihat melalui rasio tekanan oksigen arteri pulmonal (PO2) dengan konsentrasi oksigen inspirasi (FiO2): PO2/FiO2 < 26 kPA (< 200 mmHg), Foto toraks memperlihatkan gambaran infiltrat bilateral yang difus Tidak ditemukan gejala edema paru kardiogenik dan tekanan baji paru < 18 mmHg.

9. Therapi/tindakan penanganan- Ambil alih fungsi pernapasan dengan ventilator mekanik Obat obatan Kortikoseroid pada pasien dengan usia lanjut ARDS / ALI atau fase fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten, pada atau sekitar hari ke 7 ARDS. Rekomendasi mengenai hal ini masih menunggu hasil studi multi senter RCT besar yang sedang berlangsung. Inhalasi nitric oxide ( NO) memberi efek vasodilatasi selektif pada area paru yan terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner dan tekanan arteri pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi arterial. Diberikan hanya pada pasien dengan hipoksia berat yang refrakter. Posisi pasien: posisi telungkup meningkatkan oksigenasi, tetapi tidak mengubah mortalitas. Perhatian terutama saat merubah posisi terlentang ke telungkup, dan mencegah dekubitus pada area yang menumpu beban. Cairan : pemberian cairan harus menghitung keseimbangan antara : Kebutuhan perfusi organ yang optimal Masalah ekstra vasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan tekanan hidrostatik intravascular mendorong akumulasi cairan di alveolus.

10. PROGNOSIS Walaupun banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui mekanisme ARDS, perbaikan pengobatan dan teknik ventilator tapi mortalitas pasien dengan ARDS masih cukup tinggi yaitu > 50%. Beberapa pasien yang bertahan hidup akan didapatkan fibrosis pada parunya dan disfungsi pada proses difusi gas/udara Sebagian pasien dapat pulih kembali dengan cukup baik walaupun setelah sakit berat dan perawatan ICU yang lama.

11. KOMPLIKASIKarena ARDS adalah kondisi yang sangat serius yang memerlukan bentuk terapi invasif bukan tanpa risiko. Complications to be considered are: [ 1 ] Komplikasi yang harus dipertimbangkan adalah: Paru: barotrauma (volutrauma), emboli paru (PE), fibrosis paru, ventilator-associated pneumonia (VAP). Gastrointestinal: hemorrhage (ulcer), dysmotility, pneumoperitoneum, bacterial translocatiGastrointestinal: pendarahan (ulkus), dysmotility, pneumoperitoneum, bakteri translokasi. Cardiac: arrhythmias, myocardial dysfuncJantung: aritmia, infark disfungsi Renal: acute renal failure (ARF), positive fluid balance.Ginjal: gagal ginjal akut (ARF), keseimbangan cairan positif. Mechanical: vascular injury, pneumothorax (by placing pulmonary artery catheter), tracheal injury/stenosis (result of intubation and/or irritation by endotracheal tube.Mechanical: vaskular cedera, pneumotoraks (dengan menempatkan kateter arteri paru-paru), trakea cedera / stenosis (hasil intubasi dan / atau iritasi dengan endotracheal tabung. Nutritional: malnutrition (catabolic state), electrolyte deficiencGizi: gizi buruk (katabolik negara), kekurangan elektrolit

B. Konsep Asuhan Keperawatan Intensif ARDS1. Pengkajiana. Pengkajian Awal Airway : DS: Pasien mengeluh sesak nafasDO: Terlihat pasien kesulitan bernafas, mungkin terjadi crakles, ronchi, dan suara nafas bronkhial. Breathing:DS : pasien mengeluh sesak nafasDO : pernafasan cepat dan dangkal, Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi. Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan suara nafas bronkhial. Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi. Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada. Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara palpasi. Sputum encer, berbusa. Circulation :DS: pasien mengeluh sesak nafasDO: Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock). Heart rate : takikardi biasa terjadi. Bunyi jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi. Disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal. Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)

b. Pengkajian Dasar BreathingDS : pasien mengeluh sesak nafasDO : pernafasan cepat dan dangkal, Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi. Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan suara nafas bronkhial. Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi. Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada. Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara palpasi. Sputum encer, berbusa. BloodDS : -DO : kulit terlihat sianosis, hipotensi, Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah: Hipoksemia ( pe PaO2 ), Hipokapnia ( pe PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi, Hiperkapnia ( pe PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi, Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini, Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut BrainDS : pasien mengeluh kepala terasa sakitDO : terjadi penurunan kesadaran mental. Bladder :DS : -DO : - BowelDS : pasien mengeluh mual, dan kehilangan nafsu makan.DO : hilang atau melemahnya bising usus, perubahan atau penurunan berat badan. BoneDS : -DO : terdapat sianosis pada kulit dan kuku.

2. Diagnosa keperawatana. Bersihan Jalan Nafas Tak EfektifDapat dihubungkan dengan : Meningkatnya tahanan jalan nafas (edema interstisisial). Kemungkinan dibuktikan oleh : Laporan dipsnea, perubahan kedalaman atau frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori untuk bernafas, batuk ( efektif/tidak efektif) dengan atau tanpa produksi sputum, Ansietas atau gelisah.b. Kerusakan pertukaran gasDapat dihubungkan dengan:Kehilangan surfaktan menyebabkan kolaps alveoliKemungkinn dibuktikan oleh:Takipnea, penggunaan otot aksesori, sianosis, perubahan GDA, gradient A-a dan tindakan pirau, ketidakcocokan ventilasi atau perpusi dengan peningkatanc. Gangguan perfusi jaringanDapat dihubungkan dengan : penurunan aliran balik vena, dan penurunan curah jantung.Kemungkinan dibuktikan oleh :sianosis, perubahan GDA.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika2. Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta : EGC3. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada University Press, 19914. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press, 20035. Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta, 19816. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 19817. Alspach, Grif JoAnn, 2006, Core Curriculum for Critical Care Nursing, 6th Ed, Sanders Elsevier, USA8. Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medical Bedah Pendekatan Sistem Pernapasan. Edisi 8. Jakarta : EGC. 9. Doengoes, E. Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC10. Huddak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Vol. 2. Jakarta: EGC11. Price, Sylvia, Wilson. 2006. Potofisiologi Konsep Klinis Proses proses Penyakit. Jakarta : EGC