bab 2

30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Merokok Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus. Merokok adalah mengisap rokok. (17) Orang yang merokok dalam waktu lama mempunyai prevalensi tinggi terhadap beberapa penyakit seperti aterosklerosis dan PPOK dengan dampak sistemik yang signifikan. (18) Seperti yang telah diketahui rokok merupakan faktor resiko utama terjadinya penyakit PPOK. Rokok mengandung sekitar 10 17 molekul oksidan per batang. Beberapa penelitian menyatakan merokok menyebabkan rendahnya kadar antioksidan dalam plasma. Efek merokok yang timbul dipengaruhi oleh banyaknya jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok, jenis rokok yang dihisap, bahkan berhubungan dengan dalamnya hisapan rokok yang dilakukan. (19) Beratnya merokok dapat dinilai dengan Indeks Brinkman yaitu dengan mengalikan banyak rokok yang dihisap dan lamanya merokok. Penelitian mengenai dampak rokok telah banyak dilakukan. Perokok mempunyai kadar marker inflamasi lebih tinggi seperti leukosit dan C-reactive protein (CRP) daripada mereka yang tidak pernah merokok. Efek biokimia yang dihasilkan pada penghentian merokok 5

Upload: t-galang-adil-au

Post on 26-Nov-2015

35 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

gfh

TRANSCRIPT

21

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 MerokokRokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus. Merokok adalah mengisap rokok. (17) Orang yang merokok dalam waktu lama mempunyai prevalensi tinggi terhadap beberapa penyakit seperti aterosklerosis dan PPOK dengan dampak sistemik yang signifikan. (18) Seperti yang telah diketahui rokok merupakan faktor resiko utama terjadinya penyakit PPOK.Rokok mengandung sekitar 1017 molekul oksidan per batang. Beberapa penelitian menyatakan merokok menyebabkan rendahnya kadar antioksidan dalam plasma. Efek merokok yang timbul dipengaruhi oleh banyaknya jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok, jenis rokok yang dihisap, bahkan berhubungan dengan dalamnya hisapan rokok yang dilakukan. (19) Beratnya merokok dapat dinilai dengan Indeks Brinkman yaitu dengan mengalikan banyak rokok yang dihisap dan lamanya merokok.Penelitian mengenai dampak rokok telah banyak dilakukan. Perokok mempunyai kadar marker inflamasi lebih tinggi seperti leukosit dan C-reactive protein (CRP) daripada mereka yang tidak pernah merokok. Efek biokimia yang dihasilkan pada penghentian merokok tampak dengan menurunnya inflamasi dengan parameter jumlah leukosit dan neutrofil yang menurun. (12)

2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronik2.2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah masalah kesehatan yang sangat umum. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 210 juta orang di seluruh dunia menderita penyakit tersebut, hal itu menyebabkan lebih dari 3 juta kematian secara global pada tahun 2005 (5% dari semua kematian). (20)Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. (21) Penyakit Paru Obstruktif Kronik mengacu pada dua penyakit paru-paru, bronkitis kronis dan emfisema. Istilah PPOK digunakan karena kedua penyakit yang ditandai dengan obstruksi aliran udara yang mengganggu pernapasan normal dan keduanya sering terjadi bersamaan. (22)Penyakit Paru Obstruktif Kronik ditandai dengan obstruksi aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Obstruksi aliran udara tidak terlalu berubah selama beberapa bulan namun biasanya progresif pada PPOK jangka panjang terutama pada perokok. Faktor lain, seperti paparan di tempat bekerja (contohnya asbes), juga dapat berkontribusi terhadap perkembangan PPOK. Eksaserbasi sering terjadi cepat dan berkelanjutan dan akan semakin buruk dari hari ke hari. (23) Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan keadaan yang ditandai dengan lemahnya kemampuan untuk bernapas, penderita PPOK akan merasakan kurangnya oksigen. Penurunan kadar oksigen dalam sirkulasi dan jaringan tubuh, mengakibatkan pasien berisiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius lainnya seperti hipoksemia dan hiperkapnia.Diagnosis klinik PPOK patut dipertimbangkan apabila dijumpai pasien dengan sesak, batuk kronik atau produksi dahak dan riwayat pajanan atas faktor risiko. Spirometri diperlukan secara klinis untuk menegakkan diagnosis PPOK. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan spirometri dan gejala klinis yang biasanya berdasarkan skala sesak napas. (2)2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik ditandai dengan keterbatasan aliran udara akibat respon dari inflamasi berlebihan pada saluran napas yang kronik dan merupakan akibat dari asap rokok. Penyakit penyerta seperti penyakit jantung, diabetes, kanker paru, dan osteoporosis lebih banyak terjadi pada perokok dan pasien dengan PPOK. (24)Merokok merupakan faktor risiko bronkitis kronis dan emfisema, tetapi karena tidak semua perokok mengalaminya, beberapa orang mungkin lebih rentan terhadap faktor eksogen yang menyebabkan penyakit dan kerentanan ini dapat ditentukan secara genetik yaitu dinilai dari alfa1-antiprotease. Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Bronkitis kronik juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Wanita lebih sering menunjukkan gejala bronkitis kronik, wanita lebih rentan terhadap penyakit pernapasan yang terkait rokok maupun tembakau dan menunjukkan gejala bronkitis kronik dibandingkan laki-laki, meskipun belum terbukti apakah perbedaan jenis kelamin juga berhubungan dengan faktor genetik. (25)Merokok merupakan faktor risiko yang paling menentukan pada emfisema yang ditemukan sebanyak 80-90% kasus pada negara maju. (20) Merokok merupakan penyebab utama obstruksi jalan napas kronik, namun hanya 24-47% dari perokok yang mengalami obstruksi jalan napas yang signifikan secara klinis. Faktor lingkungan yang mungkin berperan dan mempengaruhi respons seseorang terhadap asap rokok adalah komposisi asap rokok dan proses inhalasi. (26) Tidak setiap perokok mengalami obstruksi jalan nafas kronik tersebut. Banyak faktor-faktor penyerta lain yang menentukannya. (27)Faktor yang menentukan terjadinya PPOK selain merokok :a. GenetikFaktor genetik yang biasa menentukan adalah kekurangan alfa1-antiprotease pada emfisema. Hal ini juga dapat terjadi bila ada faktor bawaan seperti gangguan pertumbuhan paru.b. Paparan Partikel InhalasiSetiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berpengaruh terhadap besarnya risiko dari pajanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pajanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK.c. Jenis KelaminJenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki karena perokok biasanya merupakan laki-laki.d. UmurPenyakit Paru Obstruktif Kronik sering menyerang usia 50 tahun ke atas, diakibatkan adanya periode setelah berapa lama orang tersebut merokok sampai terjadi gejala awal.e. HipereaktifitasTermasuk pada pasien yang punya riwayat asma dan hipereaktifitas bronkus. Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOKf. Riwayat infeksi saluran nafas berulang

2.2.3 KlasifikasiPenilaian PPOK berdasarkan beberapa aspek yaitu tingkat gejala akhir, hasil spirometri, risiko eksaserbasi dan adanya penyakit pernyerta:a. Tingkat Gejala TerakhirAda beberapa daftar pertanyaan yang sudah divalidasi: Modified British Medical Research Council (mMRC), COPD assessment test (CAT). Kuesioner CAT terdiri 8 butir pertanyaan. Skor 0-40, sesuai dengan St George Respiratory Questionaire (SGRQ). (2)Penyakit Paru Obstruktif Kronis dikenali sebagai penyakit progresif, baik dari segi gejala dan perjalanan klinis penyakit tersebut. Oleh Global Iniative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK dengan stadium I biasanya tidak memiliki gejala atau tanda-tanda. Stadium II: Tidak ada tanda-tanda abnormal, hanya sedikit atau bahkan tidak ada sesak napas, dan gejala hanya terbatas pada batuk perokok. Stadium III: Onset sesak napas dengan atau tanpa mengi saat aktivitas berat, batuk produktif, dan tanda-tanda abnormal seperti penurunan bunyi nafas dan adanya mengi. Stadium IV: Sesak napas pada setiap kegiatan dan bahkan saat istirahat, dengan mengi dan batuk yang mencolok, hiperinflasi paru, sianosis, edema perifer dan polisitemia, terutama selama eksaserbasi. (20)

b. Hasil SpirometriPenyakit Paru Obstruktif Kronik berdasarkan hasil pemeriksaan Spirometri menurut GOLD (2011):Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK berdasarkan spirometriTahapHasil Spirometri

Stadium IRinganFEV1 80% prediksi

Stadium IISedang50% FEV1 < 80% prediksi

Stadium IIIBerat30% FEV1 < 50% prediksi

Stadium IVSangat beratFEV1 < 30% prediksi

[Dikutip dari : GOLD (2)]Keterangan :FEV: Forced expiratory volume in 1 second (udara yang dapat dikeluarkan dalam 1 detik)c. Risiko eksaserbasiPenilaian didasarkan pada jumlah eksaserbasi selama 12 bulan sebelumnya (0 atau 1 risiko rendah, adapun 2 atau lebih masuk kategori risko tinggi).d. Adanya Penyakit PenyertaDampak PPOK pada pasien secara individu diperoleh dengan menggabungkan penilaian gejala, klasifikasi spirometri dan risiko eksaserbasi. Pertama tentukan skor gejala dengan mMRC atau CAT, apabila masuk kotak kiri berarti gejala sedikit (less symptoms), apabila masuk kotak kanan berarti gejala banyak (more symptoms). Skor risiko eksaserbasi ditentukan apabila masuk kotak bawah berarti risiko rendah dan kotak atas berarti risiko tinggi. Penetapan risiko dapat dilakukan dengan salah satu metode yaitu dengan memakai kategori spirometri GOLD 1 atau 2, atau dengan risiko eksaserbasi. Setelah ketiga indikator digabung diperoleh kategori yang lebih dari satu (misalnya B atau D) , pilih kategori dengan risiko tertinggi. Kesimpulan penilaian sebagai berikut (2) :a. Kelompok A : risiko rendah, gejala sedikitb. Kelompok B : risiko rendah, gejala banyakc. Kelompok C : risiko tinggi, gejala sedikitd. Kelompok D : risiko tinggi, gejala banyak

2.3 Emfisema2.3.1 DefinisiEmfisema adalah keadaan paru yang abnormal yang ditandai dengan adanya pelebaran rongga udara pada asinus yang bersifat permanen. Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus terminalis distal. (6) Emfisema adalah penyakit obstruktif kronis dengan karakteristik penurunan elastisitas paru dan luas permukaan alveolus yang berkurang akibat destruksi dinding alveolus serta pelebaran ruang distal udara ke bronkiolus terminal. (28)Emfisema menurut GOLD merupakan kerusakan pertukaran gas yang terjadi di bagian permukaan paru-paru (alveoli). Emfisema adalah istilah patologis yang sering digunakan secara klinis dan hanya menjelaskan salah satu dari beberapa kelainan struktural yang muncul pada penderita PPOK. (2)2.3.2 PatofisiologiEmfisema menyebabkan dinding antara alveoli (kantung udara di dalam paru-paru) kehilangan kemampuannya untuk meregang dan kembali lagi ke bentuk semula. Kantung udara menjadi kaku dan lemah sehingga bisa pecah, menciptakan lubang yang irreversibel di jaringan paru-paru yang lebih rendah. Lubang antara kantung udara kecil membuat kantung udara menjadi lebih besar sehingga udara dapat terjebak dengan mudah. Paru-paru kesulitan memasukkan dan mengeluarkan udara sehingga pertukaran oksigen dan karbon dioksida dengan darah menjadi terganggu. (22) Kerusakan alveoli disebabkan oleh adanya proteolisis (degradasi) elastin oleh enzim elastase yang disebut protease. Elastin adalah komponen jaringan ikat yang meliputi sekitar 25% jaringan ikat di paru. Keseimbangan antara degradasi dan sintesis elastin (antara protease yang mendegradasi jaringan paru) dengan protease-inhibitor yang menghambat kerja protease akan terjadi pada keadaan normal. Jumlah protease meningkat pada perokok karena jumlah leukosit dan makrofag di paru meningkat akibat kekurangan alfa1-antiprotease. Makrofag dan leukosit ini mengandung elastase dalam jumlah yang tinggi. Banyaknya elastase di paru mengakibatkan banyak jaringan paru yang terdegradasi. (6)Alfa1-antiprotease sangat penting sebagai perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami. Kekurangan antiprotease memiliki peranan penting dalam patogenesis emfisema. Protease dihasilkan oleh bakteri, PMN, monosit, dan makrofag sewaktu proses fagositosis berlangsung dan mampu memecah elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru. (21) Kerusakan dapat mengenai paru secara keseluruhan, yang menyebabkan kerusakan bronkus dan alveolus. Hilangnya elastisitas paru dapat dipengaruhi oleh alveolus dan bronkus. Elastisitas berkurang akibat destruksi serabut elastin dan kolagen yang terdapat di seluruh paru yang dihasilkan sehingga mengaktivasi makrofag. (28)Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang rusak. Bentuk pertama adalah Centrilobular Emphysema (CLE) yang secara selektif hanya menyerang bagian bronkioulus respiratorius dan duktus alveolaris. Dinding paru mulai berlubang dan membesar kemudian bergabung, dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding mengalami integrasi. Bentuk kedua adalah Panlobular Emphysema (PLE) atau emfisema panasinar merupakan bentuk morfologik yang terjadi lebih jarang. Alveolus terletak distal dari bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata mengenai bagian asinus yang sentral maupun perifer. (21)

Gambar 2.1 Patogenesis PPOK [Dikutip dari : Price (21)]2.3.3 Manifestasi KlinisGejala spesifik PPOK adalah sesak napas saat melakukan kegiatan (exertional breathlessness) yang disertai batuk kering dan mengi. Sesak napas tampak jelas pada penyakit yang telah parah. Penderita menunjukkan hiperinflasi paru (pembesaran alveoli sehingga paru-paru sulit untuk dapat kembali ke posisi normal selama ekspirasi) dengan berkurangnya ekspansi dada saat inspirasi, perkusi hipersonor dan napas pendek. (6)2.4 Bronkitis Kronik2.4.1 DefinisiBronkitis kronik adalah sindrom klinis yang diartikan dengan adanya produksi sputum kronis. (29) Bronkitis kronik ditandai dengan adanya batuk dan produksi sputum minimal 3 bulan selama dua tahun berturut-turut (2)Penyakit ini ditandai dengan peningkatan dispnea disertai volume sputum purulen. Bakteri patogen paling sering menyebabkan bronkitis kronik adalah H. inzuenzae, S. pneumoniae dan Moraxella catarrhalis. H. influenzae dan S. pneumoniae merupakan bakteri dengan virulensi tinggi yang secara langsung dan tidak langsung merusak mukosiliar dan memicu agregasi mediator radang. (30)

2.4.2 PatofisiologiPatogenesis dari bronkitis kronik terjadi oleh berbagai faktor. Adanya hubungan dengan paparan jangka panjang dari bakteri patogen dan polusi luar ruangan seperti asap serta merokok. Sekitar 50% perokok menunjukkan gejala bronkitis kronik. (27)Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltrasi sel-sel radang dan edema mukosa bronkus. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus mempengaruhi bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. (21) Saat terjadi proses inflamasi pada PPOK, terjadi peningkatan produksi lendir, fungsi silia yang tertekan, dan sel epitel yang rusak. Proses inflamasi seringkali terjadi pada saluran pernafasan yang lebih rendah. (30)2.4.3 Manifestasi KlinisDiagnosis bronkitis kronik obstruktif didasarkan pada manifestasi obstruksi jalan napas yang objektif dan gejala batuk dan produksi sputum. (26)Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. (21) Batuk terus-menerus yang disertai dahak dalam jumlah banyak dan batuk terbanyak terjadi pada pagi hari. Penderita batuk produktif kronik yang mempunyai aliran napas normal disebut penderita bronkitis kronik simpleks (simplex chronic bronchitis), sedangkan yang disertai dengan penurunan aliran napas yang progresif disebut penderita bronkitis kronik obstruktif. Pada penderita yang mengalami obstruksi napas, gejalanya telah tampak pada saat inspeksi, yaitu digunakannya otot pernapasan tambahan (accessory respiratory muscle). (6)Namun, penting untuk mengenali bahwa batuk kronik dan produksi (bronkitis kronik) sputum adalah sesuatu yang berdiri sendiri yang dapat mendahului atau mengikuti perkembangan keterbatasan aliran udara tersebut. Bronkitis kronik juga dapat terjadi pada pasien dengan spirometri normal. (2)

2.5 Leukosit2.5.1 DefinisiLeukosit merupakan sel darah putih yang proses perkembangan dan pembentukannya disebut dengan sistem mielopoetik, limfopoetik dan monopoetik di dalam sumsum tulang yang kemudian keluar ke dalam sirkulasi darah. Jumlah total leukosit mungkin meningkat atau menurun. Leukosit dapat ditemukan pada jaringan atau organ lain. Leukosit dikategorikan menjadi tiga kelompok utama yaitu granulosit, limfosit dan monosit. Leukosit terdiri dari tiga garis perkembangan elemen primitif: seri mieloid, limfoid, dan monositik. Sel seri mieloid sering diberi istilah leukosit granular (granulosit). Granulosit secara umum dikenal sebagai leukosit polimorfonuklear (leukosit polinuklear atau multinuklear). (31) Proses pembentukan leukosit terjadi dalam sumsum tulang (granulosit, monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian terbentuk dalam jaringan limfe (limfosit dan sel plasma). (32)Leukosit berperan dalam sistem imunitas tubuh yang bersirkulasi di dalam pembuluh darah. (32) Leukosit adalah komponen seluler utama untuk reaksi inflamasi dan imun, yang terdiri dari limfosit T dan B, monosit, eosinofil, dan basofil. Setiap sel leukosit mempunyai fungsi spesifik, misalnya limfosit B yang menghasilkan antibodi dan neutrofil yang berperan menghancurkan bakteri. (33) Limfosit berperan dalam respon imun seperti sitokin yang mensekresi, membunuh sel dan produksi antibodi. Monosit berperan dalam peradangan kronis. Monosit akan berkembang menjadi makrofag setelah masuk ke dalam jaringan. (34)

2.5.2 KlasifikasiLeukosit terdiri dari 5 jenis berdasarkan persentase yang ditemukan dalam darah. (35) Orang dewasa normal mempunyai sekitar 7000 leukosit per mikroliter darah. Persentase normal berbagai jenis leukosit dari jumlah total leukosit dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Persentase Normal Sel Darah PutihJenis Leukosit(%)

Neutrofil PMN62,0 %

Eusinofil PMN2,3 %

Basofil PMN0,4 %

Monosit5,3 %

Limfosit30,0 %

[Dikutip dari : Guyton (32)]Keterangan:PMN: Polimorfonuklear Tabel 2.2 menunjukkan neutrofil PMN mempunyai persentase tertinggi yaitu 62 % dari total leukosit. Nilai normal konsentrasi leukosit dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Nilai normal konsentrasi leukosit darahTipe selRata-rata, sel per mikroliter95% Konfidensi interval, sel per mikroliter

Neutrofil36501830-7250

Limfosit25001500-4000

Monosit430200-950

Eosinofil1500-700

Basofil300-150

[Dikutip dari : Isselbacher (33)]Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit dalam 1 mm3 darah, sedangkan hitung jenis leukosit adalah persentase berbagai jenis leukosit yang terbaca pada pemeriksaan sediaan hapus darah tepi (granulosit, eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit). (21)

2.5.3 Fungsi LeukositLeukosit berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap inflamasi dan infeksi yang cepat dan kuat terhadap agen infeksius. (32) Granulosit adalah kelompok leukosit yang mempunyai granula di dalam sitoplasma. Monosit dan limfosit tidak mengandung banyak granula sitoplasmik. Sel yang pertama kali muncul dalam jumlah besar pada jam pertama peradangan adalah neutrofil. Inti neutrofil memiliki lobus yang tidak teratur atau polimorf, oleh karena itu sel ini disebut neutrofil polimorfonuklear atau PMN. Polymorphmononuclear (PMN) leukosit biasanya hanya ditemukan dalam aliran darah dan sumsum tulang, tetapi tidak dalam jaringan sehat. Sel PMN yang dilepas ke dalam aliran darah bergerak aktif dan mampu memfagosit berbagai zat melalui suatu proses yang disebut fagositosis. Neutrofil mendekati partikel yang akan difagosit, mengalirkan sitoplasmanya di sekeliling partikel tersebut, dan akhirnya memasukkan partikel tersebut ke dalam sitoplasmanya yang terbungkus di dalam vesikel terikat dari membran sel neutrofil yang menonjol keluar. (21)

Gambar 2.2 Proses Fagositosis [Dikutip dari : Price (21)]Eosinofil merupakan jenis granulosit yang berperan dalam proses inflamasi, walaupun biasanya dalam jumlah yang sedikit. Eosinofil memiliki banyak fungsi yang sama dengan neutrofil yaitu memberikan respon terhadap rangsang kemotaktik dan memfagosit berbagai jenis partikel. Eosinofil lebih spesifik dalam memberikan respon terhadap stimulus tertentu yang timbul oleh karena reaksi alergi. Eosinofilia terjadi sebagai akibat dari empat proses, diferensiasi sel progenitor dan proliferasi eosinofil di sumsum tulang, interaksi antara eosinofil dan sel endotel, adhesi dan migrasi eosinofil, chemoattraction yang mengarahkan eosinofil ke lokasi tertentu, serta aktivasi dan penghancuran eosinofil. (36) Basofil mempunyai sitoplasma yang dipenuhi granula yang besar. Basofil memberi respon terhadap sinyal kemotaktik yang dilepaskan dalam reaksi imunologik tertentu seperti alergi dan biasanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada inflamasi. (21)Monosit merupakan suatu bentuk leukosit yang berbeda dari granulosit karena morfologi intinya dan sifat sitoplasmanya yang agranular. Monosit bermigrasi dalam waktu yang hampir sama dengan neutrofil pada reaksi inflamasi akut. Jumlah monosit jauh lebih sedikit dan kecepatannya lebih lambat dibandingkan leukosit lain terutama pada jam pertama inflamasi. (21) Monosit akan berkembang menjadi makrofag di dalam jaringan. Tubuh atau jaringan yang terinfeksi oleh mikroba akan menyebabkan aktivasi sel makrofag yang ada di sekitarnya dan membunuh mikroorganisme serta melepaskan kemoatraktan (faktor kemotaktik/pengerahan sel fagosit ke jaringan sekitarnya). Makrofag mempunyai fungsi yang sama dengan PMN yang bersifat fagositik aktif. Makrofag dapat bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan di dalam jaringan, berbeda dengan PMN yang memiliki siklus hidup lebih pendek. Makrofag tersebar secara luas di tubuh dalam keadaan normal. (33) Jumlah limfosit pada proses inflamasi lebih sedikit dibandingkan dengan neutrofil karena membutuhkan waktu lebih lama sampai inflamasi menjadi kronis. (21)

Gambar 2.3 Pengaturan fungsi granulosit dan monosit-makrofag[Dikutip dari : Guyton (32)]

Keterangan :G-CSF: Faktor perangsang koloni granulositGM-CSF: Faktor perangsang koloni granulosit-monositIL-1: Interleukin 1M-CSF: Faktor perangsang koloni monositTNF: Faktor nekrosis tumor

2.6 Proses InflamasiInflamasi adalah respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi yang terjadi menyebabkan aktivasi sistem pertahanan tubuh karena adanya benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar, yaitu inflamasi akut dan inflamasi sistemik. Sel-sel imun nonspesifik seperti neutrofil, sel mast, basofil, eosinofil dan makrofag jaringan berperan dalam inflamasi. (10)Makrofag merupakan sel fagosit mononuklear yang utama di jaringan dalam proses fagositosis terhadap mikroorganisme dan kompleks molekul asing lainnya. Ketika adanya paparan di dalam tubuh, makrofag telah ada di jaringan dan segera memulai kerja fagositiknya dalam waktu beberapa menit setelah dimulainya proses inflamasi. Makrofag lepas dan bergerak membentuk lini pertama pertahanan tubuh. Makrofag tidak bekerja sendiri dalam menanggulangi inflamasi, makrofag berinteraksi dengan neutrofil. Setelah inflamasi dimulai dalam beberapa jam pertama, neutrofil menginvasi daerah yang mengalami proses inflamasi. Beberapa jam sesudah dimulainya inflamasi akut, neutrofil dalam darah meningkat dari jumlah normal (4000-5000) menjadi 15.000 sampai 25.000 neutrofil per mikroliter. (32)

2.7 Inflamasi Sistemik dan Kadar Leukosit pada PPOK Inflamasi saluran napas akan meningkat oleh karena paparan berulang asap rokok yang biasa terjadi pada perokok kronis. Asap rokok secara langsung merangsang sel epitel saluran napas untuk meningkatkan produksi dan melepaskan mediator inflamasi yang akan memulai inflamasi pada saluran napas. Mediator kemotaktik lainnya dilepaskan dari sel epitel saluran napas, dan memicu pelepasan sel inflamasi, kemudian melepaskan mediator inflamasi tambahan seperti Interleukin (IL) 8 dan 6. Perokok kronis yang menerima paparan asap rokok berulang akan mengalami inflamasi secara terus menerus pada saluran pernapasan. (37)Sel inflamasi yang terlibat antara lain, PMN, sel mast, eosinofil (sistem imun nonspesifik selular), sel B dan sitokin (sistem imun spesifik humoral), dan sel T (sistem imun spesifik selular). (10) Peningkatan leukosit PMN lebih sering terjadi dalam sekresi saluran napas dan cairannya oleh karena itu pada akhir proses inflamasi akan terbentuk eksudat. (38) Asap rokok juga menyebabkan hiperinflasi paru dan hipoksia jaringan pada pasien PPOK. Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit. Tanda khas pada PPOK adalah terjadi inflamasi baik lokal maupun sistemik. Sel inflamasi yang berperan di dalamnya terdiri dari neutrofil, makrofag, dan sel limfosit T. Sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berikatan dengan struktur sel pada saluran napas serta parenkim paru. Makrofag sebagai sel inflamasi utama akan melepaskan faktor kemotaktik dan mengaktifasi kelenjar mukus dan neutrofil sebagai sel inflamasi yang muncul pada jam pertama inflamasi, maka neutrofil akan ikut merangsang hipersekresi mukus. Selanjutnya limfosit merangsang apoptosis sel tersebut. (10)Leukositosis adalah jumlah leukosit yang meningkat lebih dari 10.000/mm3. Contohnya adalah apabila terjadi peningkatan neutrofil melebihi rentang normal disebut neutrofilia. (31)Adapun beberapa proses inflamasi sistemik yang dapat terjadi pada PPOK itu sendiri adalah (39) :1. Aktivasi sel inflamasi2. Stress oksidatif3. Peningkatan kadar plasma sitokin dan protein fase akutPenyakit Paru Obstruktif Kronik tidak hanya menyebabkan respons inflamasi paru yang abnormal tapi juga menimbulkan stress oksidatif dan aktivasi sel inflamasi di sirkulasi sistemik. Hal tersebut disebabkan oleh faktor risiko utama PPOK yaitu merokok. Keadaan ini menimbulkan respons inflamasi lokal di paru juga respons inflamasi sistemik selular dan humoral. Inflamasi yang terjadi pada PPOK terlihat dari peningkatan kadar sitokin, kemokin dan protein fase akut dalam darah. Proses inflamasi masih dapat terus berlangsung walaupun kebiasaan merokok telah dihentikan karena telah terjadi stress oksidatif pada penderita PPOK. (39) Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mohan dkk telah menunjukkan bahwa penanda inflamasi sistemik meningkat pada subyek dengan PPOK stabil, muncul di awal PPOK dan meningkat sesuai dengan keparahan PPOK. Penurunan fungsi paru berhubungan dengan meningkatnya faktor inflamasi sistemik yang naik saat terjadi eksaserbasi, faktor ini memberikan kontribusi terhadap morbiditas pasien PPOK. (40)Barry dkk memperkirakan bahwa mediator inflamasi akan berakibat terhadap perubahan struktur dan kontraktilitas otot saluran napas, dan menyebabkan obstruksi saluran napas perifer. Sejumlah besar mediator inflamasi seperti leukotrien B4, IL-8, IL-6, TNF- akan meningkat pada pasien PPOK. Penarikan sel inflamasi itu sendiri dari sirkulasi (faktor kemotaktik), akan menyebabkan kerusakan pada struktur paru atau bertahannya inflamasi neutrofilik. (29)

Gambar 2.4 Mekanisme Inflamasi pada PPOK [Dikutip dari : Van der Strate (29)]Rokok mengandung sekitar 107 molekul oksidan per batang. Paparan bahan kimia oksidan dalam asap dikaitkan dengan penurunan tingkat antioksidan endogen sistemik. Respon inflamasi sistemik ditandai oleh stimulasi dari sistem hematopoetik, khususnya sumsung tulang dalam menghasilkan dan mengeluarkan leukosit dalam sirkulasi. (39)Peningkatan jumlah paparan radikal bebas seperti yang terkandung dalam asap rokok dihubungkan dengan peningkatan jumlah sitokin yang bersirkulasi seperti IL-6, IL-1 dan GM-CSF. IL-6 adalah mediator penting respon fase akut dan berpotensi menstimulasi sumsung tulang untuk mengeluarkan leukosit. IL-8 juga merupakan sitokin yang berperan terhadap leukositosis pada perokok. Nikotin yang menginduksi produksi IL-8 dari neutrofil dapat merupakan penyebab leukositosis pada perokok. (40)Peningkatan kadar sitokin pro inflamasi (IL-1, IL-6, IL-10, kemokin dan TNF) dan protein fase akut (CRP) tampak pada PPOK yang stabil, dimana kedua faktor inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK. Sitokin diperlukan pada awal reaksi inflamasi dan untuk mempertahankan respons inflamasi kronis. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga PPOK sering disebut sebagai penyakit multi komponen. Efek sistemik potensial lainnya akan berpengaruh pada sistem kardiovaskular, saraf, dan osteoskeletal. (39)Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas ke parenkim dan arteri pulmonalis. (41) Asap rokok memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutrofil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Terjadi juga pergeseran keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK berperan penting terhadap hipersekresi mukus, kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret. (42)

Gambar 2.5 Mekanisme Inflamasi Lokal dan Sistemik [Dikutip dari : Fitriani dkk (43)]Peningkatan jumlah neutrofil, limfosit, dan sel inflamasi mengakibatkan peningkatan kadar leukosit. Penyakit Paru Obstruktif Kronik menunjukkan keadaan inflamasi sistemik yang rendah bila keadaan pasien stabil. Inflamasi dan stress oksidatif pada patogenesis PPOK tidak hanya dapat dinilai dari jalur pernafasan dan paru-paru, tetapi bisa juga dari darah tepi yaitu pemeriksaan darah rutin.(43) Hitung leukosit dalam sirkulasi sangat mudah berubah. Nilai absolut dan relatif dapat berubah dalam waktu beberapa menit atau jam setelah stimulasi. (44)

2.7.1 Neutrofilia pada PPOKNeutrofilia disebabkan oleh beberapa keadaan yaitu respon fisiologis terhadap stress, penyakit infeksi, penyakit peradangan, nekrosis jaringan, gangguan metabolik dan obat-obatan (seperti epinenefrin). (44)Merokok berperan terhadap terjadinya neutrofilia, yaitu meningkatnya neutrofil pada darah perifer. Neutrofil dikeluarkan dari sumsum tulang oleh induksi IL-6 dan GM-CSF. GM-CSF adalah faktor pertumbuhan hematopoetik yang menstimulasi diferensasi granulosit, monosit dan mengaktivasi leukosit dalam sirkulasi. Interleukin merupakan salah satu penyebab dari terjadinya neutrofilia pada perokok. (16,45)Unsur pokok dari asap rokok ditemukan dapat merusak aktivitas neutrofil dalam membunuh bakteri. Secara in vitro nikotin memicu neutrofil mengeluarkan superoksida sementara superoksida sendiri dihasilkan dari asap rokok, yang akhirnya merusak metabolisme oksidatif neutrofil. Selanjutnya akan dimulai proses inflamasi sistemik, proses yang dipacu oleh penambahan sel nekrotik yang mati, yang akan meningkatkan kemotaksis dan rekruitmen neutrofil. Jika mekanisme ini berlanjut terus maka akan terjadi disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah hingga PPOK. (16)Rahman dkk menemukan ketidakseimbangan yang ditandai dengan status redoks pada perokok dan pasien PPOK dalam keadaan eksaserbasi akut. (46) Peningkatan oksidan dapat terjadi dan efek tersebut terlihat dalam plasma sebagai tanda dari stress oksidatif, yang disertai dengan penurunan antioksidan dan peningkatan kadar neutrofil pada perokok dan pasien dengan PPOK. Noguera dkk juga melaporkan peningkatan neutrofil pada sirkulasi penderita PPOK yang ada dalam keadaan stabil. (47)2.7.2 Eosinofilia pada PPOKEosinofilia adalah perubahan jumlah dari eosinofil yang tampak pada beberapa penyakit seperti alergi, infeksi, dan kanker. Eosinofilia ditemukan pada darah perifer atau di dalam jaringan tubuh yang lain pada beberapa penyakit. Setiap keadaan yang menyebabkan eosinofilia dapat diartikan sebagai gangguan akumulasi yang abnormal dari eosinofil (dalam darah atau jaringan) yang memiliki efek klinis. (36)Penelitian yang dilakukan oleh Mann dkk menemukan peningkatan jumlah eosinofil pada induksi dahak pada kelompok emfisema yang belum terdeteksi dalam studi BAL (Bronchoalveolar lavage). (48) Eosinofil pada peradangan bronkus juga telah diteliti pada pasien asma dengan biopsi bronkus dan BAL, dan ditemukan dalam dahak pasien asma. Eosinofil juga diamati dalam dahak pasien dengan PPOK, tidak dibedakan antara kelompok emfisema maupun nonemfisema selama eksaserbasi akut. Penelitian oleh Turino dkk yang menggunakan induksi dahak pasien PPOK non-atopik dalam keadaan stabil, diduga eusinofilia terkait dengan aktivasi sel mast. (49)

Faktor resiko PPOK2.8 Kerangka Teori

Merokok(2)Paparan(2)Hipereaktivitas(2)Umur(2)Jenis Kelamin(2)

Asap rokok merangsang sel epitel saluran napas (37)

Produksi dan pelepasan mediator inflamasi meningkat (37)

Reaksi Inflamasi

Metaplasia sel goblet. (38)Fibrosis dinding saluran nafas (38)Hipertrofi kelenjar submukosa (38)

PPOK

Bronkitis KronikEmfisema

Inflamasi Lokal

Berlangsung dalam jangka waktu panjang

Inflamasi Sistemik (43)

Peningkatan Kadar Leukosit (46)

Gambar 2.6 Kerangka Teori [Dikutip dari: GOLD (2), Thorley dkk (37), Pesci dkk (38), Feni dkk (43)]5