bab 2 tinjauan pustaka - umpo
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Keluarga
2.1.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan
kebersamaan dan ikatan emosional dan mengidentifikasian diri mereka
sebagai bagian dari keluarga (Zakaria, 2017). Sedangkan menurut Depkes
RI tahun 2000, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di
suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling kebergantungan.
Duval dan Logan (1986 dalam Zakaria, 2017)mengatakan keluarga adalah
sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran dan adopsi yang
bertujuan menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan
pertumbuhan fisik, mental, emosional serta sosial dari tiap anggota
keluarganya.Dari hasil analisa Walls, 1986 (dalam Zakaria, 2017) keluarga
sebagai unit yang perlu dirawat, boleh jadi tidak diikat oleh hubungan
darah atau hukum, tetapi berfungsi sedemikian rupa sehingga mereka
menganggap diri mereka sebagai suatu keluarga.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah dua orang atau lebih
yang disatukan oleh ikatan perkawinan, kelahiran, adopsi dan boleh jadi
tidak diikat oleh hubungan darah dan hukum yang tinggal di suatu tempat
di bawah satu atap dengan keadaan saling ketergantungan dan memiliki
kedekatan emosional yang memiliki tujuan mempertahankan budaya,
7
meingkatkan pertumbuhan fisik, mental, emosional serta sosial sehingga
menganggap diri mereka sebagai suatu keluarga.
2.1.2 Tipe Keluarga
Menurut Nadirawati (2018) pembagian tipe keluarga adalah :
1. Keluarga Tradisional
a. Keluarga Inti (The Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri
dari suami, istri, dan anak baik dari sebab biologis maupun adopsi
yang tinggal bersama dalam satu rumah. Tipe keluarga inti
diantaranya:
1) Keluarga Tanpa Anak (The Dyad Family) yaitu keluarga
dengan suami dan istri (tanpa anak) yang hidup bersama
dalam satu rumah.
2) The Childless Familyyaitu keluarga tanpa anak dikarenakan
terlambat menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat
waktunya disebabkan mengejar karir/pendidikan yang terjadi
pada wanita.
3) Keluarga Adopsi yaitu keluarga yang mengambil tanggung
jawab secara sah dari orang tua kandung ke keluarga yang
menginginkan anak.
b. Keluarga Besar (The Extended Fmily) yaitu keluarga yang terdiri
dari tiga generasi yang hidup bersama dalam satu rumah,
contohnya seperti nuclear family disertai paman, tante, kakek dan
nenek.
8
c. Keluarga Orang Tua Tunggal (The Single-Parent Family) yaitu
keluarga yang terdiri dari satu orang tua (ayah atau ibu) dengan
anak. Hal ini biasanya terjadi karena perceraian, kematian atau
karena ditinggalkan (menyalahi hukum pernikahan).
d. Commuter Family yaitu kedua orang tua (suami-istri) bekerja di
kota yang berbeda, tetapi salah satu kota tersebut sebagai tempat
tinggal dan yang bekerja di luar kota bisa berkumpul dengan
anggota keluarga pada saat akhir minggu, bulan atau pada waktu-
waktu tertentu.
e. Multigeneration Family yaitu kelurga dengan beberapa generasi
atau kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu rumah.
f. Kin-Network Family yaitu beberapa keluarga inti yang tinggal
dalam satu tumah atau berdekatan dan saling menggunakan
barang-barang dan pelayanan yang sama. Contohnya seperti kamar
mandi, dapur, televise dan lain-lain.
g. Keluarga Campuran (Blended Family) yaitu duda atau janda
(karena perceraian) yang menikah kembali dan membesarkan anak
dari hasil perkawinan atau dari perkawinan sebelumnya.
h. Dewasa Lajang yang Tinggal Sendiri (The Single Adult Living
Alone), yaitu keluarga yang terdiri dari orang dewasa yang hidup
sendiri karena pilihannya atau perpisahan (separasi), seperti
perceraian atau ditinggal mati.
i. Foster Familyyaitu pelayanan untuk suatu keluarga dimana anak
ditempatkan di rumah terpisah dari orang tua aslinya jika orang tua
9
dinyatakan tidak merawat anak-anak mereka dengan baik. Anak
tersebut akan dikembalikan kepada orang tuanya jika orang tuanya
sudah mampu untuk merawat.
j. Keluarga Binuklir yaitu bentuk keluarga setela cerai di mana anak
menjadi anggota dari suatu sistem yang terdiri dari dua rumah
tangga inti.
2. Keluarga Non-tradisional
a. The Unmarried Teenage Motheryaitu keluarga yang terdiri dari
orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa nikah.
b. The Step Parent Family yaitu keluarga dengan orang tua tiri.
c. Commune Family yaitu beberapa keluarga (dengan anak) yang
tidak ada hubungan saudara yang hidup bersama dalam satu rumah,
sumber, dan fasilitas yang sama, pengalaman yang sama; serta
sosialisasi anak melalui aktivitas kelompok/membesarkan anak
bersama.
d. Keluarga Kumpul Kebo Heteroseksual (The Nonmarital
Heterosexual Cohabiting Family), keluarga yang hidup bersama
berganti-ganti pasangan tanpa melakukan pernikahan.
e. Gay and Lesbian Families, yaitu seseorang yang mempunyai
persamaan seks hidup bersama sebagaimana ‘marital partners’.
f. Cohabitating Family yaitu orang dewasa yang tinggal bersama
diluar hubungan perkawinan melainkan dengan alasan tertentu.
g. Group-Marriage Family, yaitu beberapa orang dewasa yang
menggunakan alat-alat rumah tangga bersama yang saling merasa
10
menikah satu dengan lainnya, berbagi sesuatu termasuk seksual
dan membesarkan anak.
h. Group Network Family, keluarga inti yang dibatasi aturan/nilai-
nilai, hidup berdekatan satu sama lain, dan saling menggunakan
alat-alat rumah tangga bersama, pelayanan, dan bertanggung jawab
membesarkan anaknya.
i. Foster Family, keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan
keluarga/saudara di dalam waktu sementara, pada saat orang tua
anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan
kembali keluarga aslinya.
j. Homeless Family, yaitu keluarga yang terbentuk dan tidak
mempunyai perlindungan yang permanen karena krisis personal
yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan atau masalah
kesehatan mental.
k. Gang, bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang
mencari ikatan emosional dan keluarga mempunyai perhatian,
tetapi berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam
kehidupannya.
11
2.1.3 Struktur Keluarga
Beberapa ahli meletakkan struktur pada bentu/tipe keluarga, namun ada
juga yang menggambarkan subsitem-subsistemnya sebagai dimensi
struktural. Struktur keluarga menurut Friedman (2009) dalam Nadirawati
(2018) sebagai berikut :
1. Pola dan Proses Komunikasi
Komunikasi keluarga merupakan suatu proses simbolik, transaksional
untuk menciptakan mengungkapkan pengertian dalam keluarga.
2. Struktur Kekuatan
Struktur keluarga dapat diperluas dan dipersempit tergantung pada
kemampuan keluarga untuk merespon stressor yang ada dalam
keluarga.Struktur kekuatan keluarga merupakan kemampuan
(potensial/aktual) dari individu untuk mengontrol atau memengaruhi
perilaku anggota keluarga. Beberapa macam struktur keluarga:
a. Legimate power/authority (hak untuk mengontrol) seperti orang
tua terhadap anak.
b. Referent power (seseorang yang ditiru) dalam hal ini orang tua
adalah sesorang yang dapat ditiru oleh anak.
c. Resource or expert power (pendapat, ahli, dan lain).
d. Reward power (pengaruh kekuatan karena adanya harapan yang
akan diterima).
e. Coercive power (pengaruh yang dipaksa sesuai dengan
keinginannya).
f. Informational power (pengaruh yang dilalui melalui pesuasi)
12
g. Affective power (pengaruh yang diberikan melalui manipulasi cinta
kasih, misalnya hubungan seksual).
Sedangkan sifat struktural di dalam keluarga sebagai berikut:
a. Struktur egilasi (demokrasi), yaitu dimana masing-masing anggota
keluarga memiliki hak yang sama dalam menyampaikan pendapat.
b. Struktur yang hangat, menerima, dan toleransi.
c. Struktur yang terbuka dan anggota yang terbuka (honesty dan
authenticity), struktur keluarga ini mendorong kejujuran dan
kebenaran.
d. Struktur yang kaku, yaitu suka melawan dan bergantun pada
peraturan.
e. Struktur yang bebas (permissiveness), pada struktur ini tidak
adanya peraturan yang memaksa.
f. Struktur yang kasar (abuse); penyiksaan, kejam dan kasar.
g. Suasana emosi yang dingin; isolasi dan sukar berteman.
h. Disorganisasi keluarga; disfungsi individu, stres emosional.
3. Struktur Peran
Peran biasanya meyangkut posisi dan posisi mengidentifikasi status
atau tempat sementara dalam suatu sistem sosial tertentu.
a. Peran-peran formal dalam keluarga
Peran formal dalam keluarga dalah posisi formal pada keluarga,
seperti ayah, ibu dan anak Setiap anggota keluarga memiliki peran
masing-masing. Ayah sebagai pemimpin keluarga memiliki peran
sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, pemberi rasa aman
13
bagi seluruh anggota keluarga, dan sebagai anggota masyarakat
atau kelompok sosial tertentu. Ibu berperan sebagai pengurus
rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak, pelidung keluarga,
sebagai pencari nafkah tambahan keluarga, serta sebagai anggota
masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sedangkan anak
berperan sebagai pelaku psikosoal sesuai dengan perkembangan
fisik, mental, sosial dan spiritual.
b. Peran Informal kelauarga
Peran informal atau peran tertutup biasanya bersifat implisit, tidak
tampak ke permukaan, dan dimainkan untuk memenuhi kebutuhan
emosional atau untuk menjaga keseimbangan keluarga.
4. Struktur Nilai
Sistem nilai dalam keluarga sangat memengaruhi nilai-nilai
masyarakat. Nilai keluarga akan membentuk pola dan tingkah laku
dalam menghadapi masalah yang dialami keluarga. Nilai keluarga ini
akan menentukan bagaimana keluarga menghadapi masalah kesehatan
dan stressor-stressor lain.
2.1.4 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (2003) dalam Nadirawati (2018)
sebagai berikut:
1. Fungsi afektif dan koping; dimana keluarga memberikan kenyamanan
emosional anggota, membantu anggota dalam membentuk identitas,
dan mempertahankan saat terjadi stres.
14
2. Fungsi sosialisasi; keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan,
nilai, sikap, dan mekanisme koping, memberikan feedback dan saran
dalam penyelesaian masalah.
3. Fungsi reproduksi; dimana keluarga melanjutkan garis keturunannya
dengan melahirkan anak.
4. Fungsi ekonomi; keluarga memberikan finansial untuk anggota
keluarga dan kepentingan di masyarakat.
5. Fungsi pemeliharaan kesehatan; keluarga memberikan keamanan dan
kenyamanan lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan,
perkembangan dan istirahat juga penyembuhan dari sakit.
2.1.5 Tugas Keluarga
Tugas kesehatan keluarga menurut Bsilon dan Maglalaya (2009) :
1. Mengenal masalah kesehatan
Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-
perubahan yang dialami anggota keluarga.Dan sejauh mana keluarga
mengenal dan mengetahui fakta-fakta dari masalah kesehatan yang
meliputi pengertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan yang
mempengaruhinya, serta persepsi keluarga terhadap masalah
kesehatan.
2. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Hal ini meliputi sejauh mana kemampuan keluarga mengenal sifat dan
luasnya masalah. Apakah keluarga merasakan adanya masalah
kesehatan, menyerah terhadap masalah yang dialami, adakah perasaan
takut akan akibat penyakit, adalah sikap negatif terhadap masalah
15
kesehatan, apakah keluarga dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang
ada, kepercayaan keluarga terhadap tenaga kesehatan, dan apakah
keluarga mendapat informasi yang benar atau salah dalam tindakan
mengatasi masalah kesehatan.
3. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Ketika memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit,
keluarga harus mengetahui beberapa hal seperti keadaan penyakit, sifat
dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan, keberadaan fasilitas
yang diperlukan, sumber-sumber yang ada dalam keluarga (anggota
keluarga yang bertanggung jawab, finansial, fasilitas fisik,
psikososial), dan sikap keluarga terhadap yang sakit.
4. Memodifikasi lingkungan atau menciptakan suasana rumah yang sehat
Hal-hal yang harus diketahui oleh keluarga untuk memodifikasi
lingkungan atau menciptakan suasana rumah yang sehat yaitu sumber-
sumber keluarga yang dimiliki, manfaat dan keuntungan memelihara
lingkungan, pentingnya dan sikap keluarga terhadap hygiene sanitasi,
upaya pencegahan penyakit.
5. Merujuk pada fasilitas kesehatan masyarakat
Hal-hal yang harus diketahui keluarga untuk merujuk anggota keluarga
ke fasilitas kesehatan yaitu keberadaan fasilitas keluarga, keuntungan-
keuntungan yang dapat diperoleh dari fasilitas kesehatan, tingkat
kepercayaan keluarga dan adanya pengalaman yang kurang baik
terhadap petugas dan fasilitas kesehatan, fasilitas yang ada terjangkau
oleh keluarga.
16
2.1.6 Tahapan Keluarga Sejahtera
Tingkatan kesehatan kesejahteraan keluarga menurut Amin Zakaria (2017)
adalah :
1. Keluarga Prasejahtera
Keluarga yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasar minimal, yaitu
kebutuhan pengajaran agama, sandang, pangan, papan dan kesehatan.
Dengan kata lain tidak bisa memenuhi salah satu atau lebih indikator
keluarga sejahtera tahap I.
2. Keluarga Sejahtera Tahap I
Keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal, tetapi
belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan psikososial, seperti
pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, lingkungan sosial dan
transportasi.Indikator keluarga tahap I yaitu melaksanakan ibadah
menurut kepercayaan masing-masing, makan dua kali sehari, pakaian
yang berbeda untuk berbagai keperluan, lantai rumah bukan dari tanah,
kesehatan (anak sakit, KB dibawa keperawatan pelayanan kesehatan).
3. Keluarga Sejahtera Tahap II
Pada tahap II ini keluarga sudah mampu memenuhi kebutuhan dasar
minimal, dapat memenuhi seluruh kebutuhan psikososial, tetapi belum
dapat memenuhi kebutuhan perkembangan (kebutuhan menabung dan
memperoleh informasi. Indikator keluarga tahap II adalah seluruh
indikator tahap I ditambah dengan melaksanakan kegiatan agama
secara teratur, makan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk minimal satu
tahun terakhir, luas lantai rumah perorang 8 m2, kondisi anggota
17
keluarga sehat dalam 3 bulan terakhir, keluarga usia 15 tahun keatas
memiliki penghasilan tetap, anggota keluarga usia 15-60 tahun mampu
membaca dan menulis, anak usia 7-15 tahun bersekolah semua dan dua
anak atau lebih PUS menggunakan Alkon.
4. Keluarga Sejahtera Tahap III
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal, setelah
memenuhi keseluruhan kebutuhan psikososial, dan memenuhi
kebutuhan perkembangan, tetapi belum bisa memberikan sumbangan
secara maksimal pada masyarakat dalam bentuk material dan keuangan
dan belum berperan serta dalam lembaga kemasyarakatan.
5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Memenuhi indikator keluarga tahap sebelumnya ditambah dengan
upaya keluarga menambahkan pengetahuan tentang agama, makan
bersama minimal satu kali sehari, ikut serta dalam kegiatan
masyarakat, rekreasi sekurangnya dalam enam bulan, dapat
memperoleh berita dari media cetak maupun media elektronik, anggota
keluarga mampu menggunakan sarana transportasi.
2.1.7 Teori Perkembangan Keluarga
Salah satu teori perkembangan keluarga adalah keluarga berkembang
dari waktu-kewaktu dengan pola secara umum dan dapat diprediksi
(Zakaria, 2017). Paradigma siklus kehidupan ialah menggunakan tingkat
usia, tingkat sekolah dan anak paling tua sebagai tonggak untuk interval
siklus kehidupan (Duvall dan Miller, 1987 dalam Zakaria, 2017)
18
Tabel 2.1 Tahap Siklus Kehidupan Keluarga
Tahap I Keluarga pemula (Keluarga baru menikah - hamil)
Tahap II Keluarga mengasuh anak (anak tertua bayi - umur 30 bulan)
Tahap III Keluarga dengan anak usia pra sekolah (anak tertua berusia 2 - 6 tahun)
Tahap IV Keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua berusia 6 – 13 tahun)
Tahap V Keluarga dengan anak usia remaja (anak tertua berusia 13 – 20 tahun)
Tahap VI Keluarga melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak pertama sampai dengan anak terakhir meninggalkan rumah)
Tahap VII Orang tua usia pertengahan (tanpa jabatan, pension)
Tahap VIII Keluarga dalam masa pension dan lansia (hingga pasangan meninggal dunia)
Sumber: Duval dan Miller, 1985 dalam Zakaria, 2017
2.2 Konsep Skizofrenia
2.2.1 Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola
pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak
tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial (Yuliana Elin 2011).
Menurut Varcarolis (2000) dan Videbeck (2001) dalam Tumanggor (2018)
menegaskan bahwa skizofrenia bukan penyakit tunggal namun merupakan
suatu penyakit dengan kumpulan gejala yang melibatkan aliran darah
serebral, neuoroelektrofisiologi, neuroanatomi, dan neurobiokimia.
Menurut Eugene Bleuer (1936) dalam Tumanggor (2018) pada skizofrenia
terjadi gangguan afeksi, gangguan daya pikir, autis, dan ambivalence.
19
2.2.2 Etiologi Skizofrenia
Beberapa teori penyebab skizofreniamenurut Sadock dan Sadock (2007)
dalam Tumanggor (2018) :
1. Faktor Genetik
Kecenderungan untuk menderita skizofrenia berkaitan dengan
kedekatan seseorang secara genetik.Kemungkinan 40% mengalami
skizofrenia jika kedua orang tuanya menderita skizofrenia.Jika salah
satu dari kedua orang tua menderita skizofrenia kemungkinan
mengalami skizofrenia sebanyak 12%.
2. Faktor Biokimia
Aktivitas dopaminergik yang terlalu tinggi.Teori ini terkait dengan
efektivitas obat-obatan antipsikotik dalam meredam efek
psikosis.Selain itu obat-obatan yang meningkatkan kerja dopamin yang
bersifat psikomimetik.Kelebihan dari dopamin pada penderita
skizofrenia berkaitan dengan keparahan dari gejala positif yang
muncul.
3. Neuropatologi
Pada penderita skizofrenia terjadi abnormalitas neurokimia otak pada
korteks serebral, talamus dan batang otak.Pada penderita skizofrenia
kehilangan volume otak yang signifikan tampaknya menimbulkan
pengurangan densitas akson, dendrit dan sinaps yang erat kaitannya
dengan fungsi asosiasi otak.
4. Sirkuit Saraf
20
Abormalitas korteks prefrontal mengakibatkan disfungsi sirkuit
anterior cingulated basal ganglia thalamocortical yang menyebabkan
gejala positif pada skizofrenia, disfungsi dorsolateral yang
menyebabkan gejala negatif pada skizofrenia.
5. Metabolisme Otak
Pada penderita skizofrenia menunjukkan bahwa kadar fosfomonoester
dan fosfat inorganik yang rendah.
6. Applied electrophysiology
Studi elektroensefalografis pada skizofrenia menunjukkan adanya
penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas beta dan delta.Hal ini
mengakibatkan kemungkinan epilepsi dan abnormalitas otak kiri, dan
menyebabkan penderita skizofrenia tidak mampu untuk menyaring
suara dan sensitif terhadap suara ribut.Hal ini dapat menimbulkan
halusinasi pendengaran.
7. Psikneuroimunologi
Abnormalitas sistem imun tubuh dikaitkan dengan skizofrenia karena
adanya peningkatan orisuksi sel T interleukin dan pengurangan
respons limfosit periferal pada penderita skizofrenia.
8. Psychoneuoroendocrinology
Uji deksametason pada penderita skizofrenia bersifat abnormal
dibanding yang tidak mengalami skizofrenia.Teori ini masih
dipertanyakan dan belum valid.
21
2.2.3 Gejala Klinis Skizofrenia
Menurut Iskandar (2012) gejala-gejala yang dapat dialami penderita
skizofrenia antara lain:
1. Penampilan dan perilaku umum
Penderita skizofrenia cenderung menelantarkan penampilan,
kebersihan dan kebersihan diri juga terabaikan.Biasanya juga menarik
diri dari lingkungan sekitar secara sosial.
2. Gangguan Pembicaraan
Pada penderita skizofrenia terjadi proses pikir hal utama yang
terganggu yaitu asosiasi.
3. Gangguan perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada penderita skizofrenia
adalah gejala katatonik yang berupa stupor, atau gaduh gelisah.
4. Gangguan afek
Gangguan afek yang sering muncul yaitu kedangkalan respon emosi,
parathimi, emosi yang berlebihan sensitif emosi.
5. Gangguan persepsi
Pada penderita skizofrenia terjadi gangguan persepsi yaitu halusinasi.
Halusinasi sendiri terjadi pada salah satu panca indra.
6. Gangguan pikiran
Pada skizofrenia gangguan pikiran yang terjadi yaitu waham.
22
2.2.4 Tipe-Tipe Skizofrenia
Tipe-Tipe Skizofrenia (Tumanggor, 2018):
1. Tipe Paranoid
Karakteristik yang khas pada skizofrenia tipe paranoid yaitu
menunjukkan satu atau lebih delusi atau halusinasi pendengaran yang
kontinu.
2. Tipe yang Tidak Terorganisasi
Ciri yang khas pada skizofrenia tipe ini adalah adanya pembicaraan dan
perilaku yang tidak terarah, adanya afek datar atau afek yang tidak
sesuai.Namun, perilaku yang muncul tidak bersifat katatonik.
3. Tipe Katatonik
Karakteristik skizofrenia tipe katatonik yaitu imobilitas motorik yang
ditunjukkan dengan katalepsi atau stupor, aktivitas motorik berlebihan
yang tidak memiliki tujuan dan tidak adanya stimulus eksternal,
perilaku negatif yang ekstrem dimana penderita cenderung untuk tidak
termotivasi terhadap instruksi atau mempertahankan posisi
diam/autism, gerakan aneh yang ditunjukkan dengan posisi tubuh yang
tidak biasa, adanya echolalia atau echopraxia.
4. Tipe Tidak Terdefinisikan
Penampakan khas dari tipe ini adalah tanda dan gejala skizofrenia untuk
kriteria A, namun tidak dijumpai tanda dan gejala untuk tipe paranoid,
tipe disorganisasi maupun tipe katatonik.
23
5. Tipe Residual
Karakteristik khas yang ada pada skizofrenia tipe residual adalah
ketiadaan delusi dan halusinasi yang bertahan, selain itu juga tidak
dijumpai adanya pembicaraan yang tidak terorganisasi maupun perilaku
katatonik.Adanya gangguan yang berkesinambungan yang ditunjukkan
dengan adanya gejala negatif atau adanya dua atau lebih gejala
skizofrenia pada kriteria A. Kemudian, penderita juga menunjukkan
kepercayaan yang aneh maupun pengalaman/persepsi yang tidak biasa.
2.2.5 Penatalaksanaan
Fase pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati, 2011) :
1. Terapi fase akut
Pada fase ini pasien memperlihatkan tanda psikotik yang
intensif.Terapi ini menggunakan obat dan dibutuhkan rawat inap.
Tujuan pengobatan ini untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga
tidak membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.
2. Terapi fase stabilisasi
Pada fase ini dubutuhkan pengobatan yang rutin untuk pemulihan yang
lebih stabil karena pasien masih memiliki tingkat kekambuhan yang
besar.
3. Terapi fase pemeliharaan
24
Harapan dari terapi pemeliharaan yaitu dapat mempertahankan
kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi resiko kekambuhan, dan
mengajarkan keterampilan untuk mandiri pada pasien.
Terapi untuk skizofrenia dibagi menjadi terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi :
1. Terapi Non Farmakologis
Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan
emosional pada pasien.Intervensi yang diberikan pasien berdasarkan
kebutuhan dan keparahan penyakit.
a. Program for Assertive Community Treatment (PACT)
Program ini dirancang khusus untuk pasien yang fungsi sosialnya
buruk dan bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan
memaksimalkan fungsi sosial dan pekerjaan. Unsur-unsur pada
PACT adalah menekankan pada kemampuan pasien untuk
beradaptasi dengan masyarakat, penyediaan dukungan, layanan
konsultasi untuk pasien dan memastikan pasien berada tetap berada
dalam program perawatan.Dari beberapa penelitian membuktikan
PACT efektif untuk memperbaiki gejala, mengurangi masa
perawatan di rumah sakit dan memperbaiki kondisi kehidupan
pasien secara umum.
b. Intervensi Keluarga
Keluarga merupakan bagian yang sangat penting dalam merawat
penderita dengan gangguan jiwa (Cheryl dkk, 2016). Vander
(2012) mengatakan pasien skizofrenia sangat membutuhkan
25
perawatan oleh keluarga dengan baik untuk membantu proses
penyembuhan pasien. Keluarga harus dilibatkan dalam proses
penyembuhan pasien. Anggota keluarga diharapkan dapat
berkontribusi untuk perawatan pasien dan memerlukan pendidikan,
bimbingan dan dukungan serta pelatihan membantu
mengoptimalkan peran keluarga.Karena jika keluarga tidak mampu
mampu merawat pasien dengan baik maka kemungkinan besar
dapat terjadi kekambuhan pada pasien.
c. Terapi perilaku kognitif
Dalam terapi ini dilakukan koreksi atau modifikasi terhadap
keyakinan dan menormalkan pengalaman psikotik pasien.Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif efektif
dalam mengurangi frekuensi dan keparahan gejala.CBT (Cognitive
Behaviour Therapy) membantu individu untuk berkembang dengan
meningkatkan keterampilan dalam mekanisme koping menurunkan
kecemasan dan meningkatkan harga diri (Wheeler, 2008 dalam
Caturini 2014).
d. Pelatihan keterampilan sosial
Terapi ini merupakan kegiatan pembelajaran untuk memenuhi
tuntutan interpersonal, perawatan diri dan menghadapi tuntutan
masyarakat. Tujuannya yaitu untuk memperbaiki fungsi sosial pada
pasien.Kader kesehatan dan tokoh masyarakat memiliki peranan
penting dalam mensosialisasikan kesehatan jiwa, hal ini
dikarenakan kader merupakan ujung tombak untuk melakukan
26
pelaporan sekaligus penanganan dan tindak lanjut masalah
kejiwaan yang ada dilingkungan (Kancee, 2010).Sedangkan terapi
suportif merupakan alternatif pilihan terapi yang ditujukan untuk
meningkatkan keluarga menjadi support system.
e. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
Dalam sebuah kajian sistematik menyatakan bahwa penggunaan
ECT dan kombinasi dengan obat-obat antipsikotik dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan bagi penderita skizofrenia
terutama jika menginginkan perbaikan umum dan pengurangan
gejala yang cepat (American Psychiatric Assosiated, 2013).
2. Terapi Farmakologi
Secara umum, terapi penderita skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap
yakni terapi akut, terapi stabilisasi dan terapi pemeliharaan. Terapi
akut dilakukan pada tujuh hari pertama dengan tujuan mengurangi
agitasi, agresi, ansietas, dll. Benzodiazepin terapi stabilisasi dimulai
pada minggu kedua atau ketiga.Terapi stabilisasi bertujuan untuk
meningkatkan sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan perasaan.
Terapi pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kekambuhan.Dosis
pada terapi pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis akut.
Klozapin merupakan antipsikotik yang hanya digunakan apabila
pasien mengalami resistensi terhadap antipsikotik yang lain (Crismon
dkk., 2008).
27
2.3 Konsep Harga Diri Rendah
2.3.1 Pengertian Harga Diri Rendah
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri.Harga diri rendah dibagi menjadi harga diri rendah situasional dan
harga diri rendah kronik. Harga diri rendah situasional yaitu munculnya
persepsi negatif tentang makna diri sebagai respons terhadap situasi saat
ini.Sedangkan, harga diri rendah kronik merupakan evaluasi diri atau
perasaan negatif tentang diri sendiri atau kemampuan diri dalam waktu
lama yang dapat mengganggu kesehatan (Herdman, 2015).Harga diri
rendah dapat disebabkan karena penilaian internal maupun penilaian
eksternal yang negatif.Penilaian internal adalah penilaian dari individu itu
sendiri, sedangkan penilaian eksternal merupakan penilaian dari luar
individu (orang tua, saudara dan lingkungan) yang sangat mempengaruhi
penilaian individu terhadap dirinya (Nurhalimah, 2016).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa harga diri rendah kronik adalah perasaan
tidak berharga yang berkepanjangan akibat dari evaluasi negatif terhadap
diri sendiri dan kemampuan diri, harga diri rendah dapat juga terjadi akibat
penilaian eksternal yang negatif.
2.3.2 Batasan Karakteristik Harga Diri Rendah
1. Harga diri rendah situasional
a. Meremehkan kemampuan menghadapi situasi
28
b. Perilaku tidak asertif
c. Perilaku tidak selaras dengan nilai
d. Tanpa tujuan
e. Tantangan situasi terhadap harga diri
f. Tidak berdaya
g. Ungkapan negatif tentang diri
2. Harga diri rendah kronis
a. Bergantung pada pendapat orang lain
b. Ekspresi rasa bersalah
c. Ekspresi rasa malu
d. Enggan mencoba hal baru
e. Kegagalan hidup berulang
f. Kontak mata kurang
g. Melebih-lebihkan umpan balik negatif tentang diri sendiri
h. Menolak balik umpan positif tentang diri sendiri
i. Meremehkan kemampuan mengatasi situasi
j. Pasif
k. Perilaku bimbang
l. Perilaku tidak asertif
m. Secara berlebihan mencari penguatan
n. Sering kali mencari penegasan
2.3.3 Faktor yang Berhubungan dengan Harga Diri Rendah
1. Harga diri rendah situasional
a. Gangguan citra tubuh
29
b. Gangguan fungsi
c. Gangguan peran sosial
d. Ketidakadekuatan pemahaman
e. Perilaku tidak konsisten dengan nilai
f. Pola kegagalan
g. Riwayat kehilangan
h. Riwayat penolakan
i. Transisi perkembangan
2. Harga diri rendah kronis
a. Gangguan psikiatri
b. Kegagalan berulang
c. Ketidaksesuaian budaya
d. Ketidaksesuaian sosial
e. Koping terhadap kehilangan tidak efektif
f. Kurang kasih sayang
g. Kurang keanggotaan dalam kelompok
h. Kurang respek dari orang lain
i. Merasa afek tidak sesuai
j. Merasa persetujuan orang lain tidak cukup
k. Penguatan negatif berulang
l. Terpapar peristiwa traumatik
30
2.3.4 Proses Terjadinya Harga Diri Rendah
Harga diri rendah kronis merupakan lanjutan dari gangguan pada diri klien
yang terjadi akibat harga diri rendah situasional yang tidak terselesaikan
atau ketidakadaan feed back (umpan balik) yang positif dari lingkungan
terhadap perilaku klien sebelumnya. Respon negatif dari lingkungan juga
memiliki peran terhadap gangguan harga diri rendah kronis.Pada awalnya
klien dihadapkan dengan stresor (krisis) dan berusaha untuk
menyelesaikannya tetapi tidak tuntas. Ketidaktuntasan itu menimbulkan
evaluasi diri bahwa ia tidak mampu atau gagal menjalankan peran dan
fungsinya. Evaluasi diri yang negatif karena merasa gagal merupakan
gangguan harga diri rendah situasional yang berlanjut menjadi harga diri
rendah kronis akibat tidak adanya respon positif dari lingkungan pada
klien (Sutejo, 2019).
2.3.5 Faktor Penyebab Harga Diri Rendah
1. Faktor Predisposisi
Gangguan konsep diri harga diri rendah kronis dipengaruhi oleh
beberapa fackor predisposisi, seperti faktor biologis, psikologis, sosial
dan kultural.
a. Faktor Biologis
Dari faktor biologis, gangguan harga diri rendah kronis biasanya
terjadi karena adanya kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi
kerja hormon secara umum. Karena hal itu keseimbangan
31
neurotransmiter di otak dapat terganggu, seperti penurunan kadar
serotonin yang dapat menyebabkan klien mengalami depresi.
Kecenderungan gangguan harga diri rendah pada penderita depresi
semakin besar karena klien lebih dikuasai oleh pikiran yang negatif
dan ketidakberdayaan.Struktur otak yang mungkin mengalami
gangguan pada harga diri rendah kronis yaitu sistem limbik (pusat
emosi), hipotalamus yang mengatur mood, dan motivasi thalamus
sebagai sistem pengatur arus informasi sensori yang berhubungan
dengan perasaan, dan amigdala yang berhubungan dengan emosi
(Sutejo, 2019).Faktor hereditas (keturunan) yaitu adanya riwayat
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.Selain itu adanya
riwayat penyakit kronis dan trauma kepala dapat menjadi salah satu
faktor penyebab gangguan jiwa (Nurhalimah, 2016).
b. Faktor Psikologis
Dari faktor psikologis, harga diri rendah kronis berhubungan
dengan pola asuh dan kemampuan individu dalam menjalankan
peran dan fungsi. Hal-hal lain yang dapat menyebabkan harga diri
rendah kronis diantaranya adanya penolakan dari orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistis, ketidakpercayaan orang tua
terhadap anak, tekanan dari teman sebaya, peran yang tidak sesuai
dengan jenis kelamin, serta peran dalam pekerjaan (Sutejo, 2019)
c. Faktor Sosial dan Kultural
Pengaruh sosial yang dapat menimbulkan harga diri rendah yaitu
adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap klien, sosial
32
ekonomi rendah, pendidikan yang rendah dan adanya riwayat
penolakan lingkungan pada masa pertumbuhan dan perkembangan
anak (Nurhalimah, 2016)
2. Faktor Presipitasi
Menurut Nurhalimah (2016) Faktor Presipitasi yang dapat
menimbulkan harga diri rendah adalah:
a. Riwayat trauma, contohnya seperti pengalaman psikososial yang
tidak menyenangkan, penganiayaan seksual, menjadi korban,
pelaku, maupun saksi dari perilaku kekerasan.
b. Ketegangan peran
1) Transisi peran perkembangan yaitu perubahan normatif yang
berkaitan dengan pertumbuhan seperti transisi dari masa kanak-
kanak.
2) Transisi peran situasi yaitu terjadi dengan bertambahnya atau
berkurangnya keluarga melalui kelahiran atau kematian.
3) Transisi peran sehat-sakit yaitu akibat pergeseran dari kondisi
sehat kesakit. Hal ini dapat ditimbulkan karena kehilangan
salah satu anggota tubuh, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan atau fungsi tubuh. Atau perubahan fisik yang
berhubungan dengan tumbuh kembang normal, prosedur medis
dan keperawatan.
33
2.3.6 Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah
Manifestasi yang biasanya muncul pada klien skizofrenia dengan
masalah harga diri rendah, menurut Nurhalimah (2016) :
1. Data Subjektif
a. Pasien mengungkapkan hal negatif terhadap diri sendiri dan orang
lain.
b. Pasien mengungkapkan perasaan tidak mampu.
c. Pasien mengungkapkan pandangan hidup yang pesimis.
d. Pasien mengungkapkan penolakan terhadap kemampuan diri
e. Pasien mengungkapkan evaluasi diri tidak mampu mengatasi
situasi.
2. Data Objektif
a. Adanya penurunan produktivitas.
b. Pasien cenderung tidak berani menatap lawan bicaranya.
c. Pasien lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi dengan
orang lain.
d. Berbicara lambat dengan nada suara lemah.
e. Bimbang, menunjukkan perilaku non-asertif.
f. Mengekspresikan diri tidak berdaya dan tidak berguna.
34
2.3.7 Rentang Respon Konsep Diri : Harga Diri Rendah
Adaptif Maladaptif
Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi
diri positf rendah identitas
Gambar 2.1 Rentang Respon Konsep Diri: Harga Diri Rendah (Sumber:
Stuart, 2013)
Keterangan:
1. Aktualisasi diri, merupakan pernyataan tentang konsep diri yang
positif yang dilatar belakangi dengan adanya pengalaman yang
nyata, sukses dan diterima.
2. Konsep diri positif, merupakan kondisi individu yang memiliki
pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri.
3. Harga diri rendah, merupakan transisi atau peralihan dari respon
konsep diri adaptif dengan respon konsep diri maladaptif.
4. Kerancuan identitas, merupakan kegagalan individu dalam
mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam
kematangan aspek psikososial kepribadian pada masa dewasa yang
harmonis.
5. Depersonalisasi, yaitu perasaan yang tidak realistis dan merasa asing
dengan diri sendiri yang berkaitan dengan ansietas, kepanikan serta
tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
35
2.3.8 Pohon Masalah
Koping Individu tidak efektif
Isolasi Sosial
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis
Ketidak-mampuan keluarga dalam mengenal masalah kesehatan
Kurangnya pengetahuan dalam melaksanakan 5 fungsi tugas pokok keluarga :
1. Kemampuan keluarga dalam mengenal masalah kesehatan.
2. Kemampuan keluarga membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat.
3. Kemampuan keluarga memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.
4. Kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.
5. Kemampuan keluarga merujuk pada fasilitas kesehatan masyarakat.
Ketidak-mampuan keluarga membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat.
Ketidak-mampuan keluarga memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.
Ketidak-mampuan keluarga memodifika-si lingkungan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.
Ketidak-mampuan keluarga merujuk pada fasilitas kesehatan masyarakat.
36
Gambar 2.2 Pohon Masalah Harga Diri Rendah Kronis pada Keluarga
2.4 Konsep Pemberdayaan Keluarga & Masyarakat
2.4.1 Pemberdayaan Keluarga
Pemberdayaan keluarga menurut Friedman (2010) adalah intervensi yang
bersifat pemberian solusi, pemecahan masalah, dan pemberian informasi
yang spesifik. Pemberian informasi terkait masalah yang dihadapi keluarga
dapat meningkatkan koping keluarga. Penelitian oleh Barnett menyebutkan
bahwa program yang berfokus pada pemberian informasi pada keluarga
berkaitan dengan penyakit krons dalam keluarga dapat memperlihatkan
perbaikan dalam penatalaksanaan penyakit dan perawatan.
Pemberdayaan keluarga dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam
mengambil keputusan dengan penyedia pelayanan kesehatan dalam
meningkatkan kenyamanan pada keluarga dengan anggota keluarga yang
mengalami penyakit kronis (Friedman 2010). Robinson (1995, dalam
Ardian 2013) menjelaskan bahwa intervensi pemberdayaan yang
dilakukan pada keluarga dengan penyakit kronis adalah dengan menjadi
pendengar yang baik, penuh kasih sayang, tidak menghakimi, kolaborator,
memotivasi munculnya kekuatan keluarga, partisipasi keluarga dan
keterlibatan dalam proses perubahan dan penyembuhan penyakit.
Pemberdayaan keluarga dalam mendukung kesembuhan orang dengan
gangguan jiwa menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Salah satu
bentuk pemberdayaan keluarga adalah memberikan psikoedukasi yang
bertujuan untuk memberikan informasi pada keluarga untuk meningkatkan
37
keterampilan mereka dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa. Diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif
terhadap stress dan beban yang dialaminya ketika sudah dibekali informasi
tentang perawatan ODGJ yang memadai (Goldenberg &Goldenberg, 2004;
Lefley, 2009; Lucksted, Downing, McFarlane, 2012).
2.4.2 Pemberdayaan Masyarakat (Kader Kesehatan Jiwa)
Pemberdayaan masyarakat dalam keperawatan kesehatan jiwa
diwujudkan dengan dikembangkannya model Community Mental Health
Nursing (CMHN). CMHN/Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas
(KKJK) yang merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk
membantu masyarakat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa.
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan potensi
pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar mampu mengontrol
diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan mereka sendiri (Helvi, 1998;
Keliat, 2011). Manajemen pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah
kader kesehatan jiwa (KKJ) (Marliana, 2013).
Kader adalah setiap orangyang dipilih oleh masyarakat dan dilatih
untuk menangani masalah-masalah kesehatan perorangan atau masyarakat
serta bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat
pemberi pelayanan kesehatan (Pemenkes RI No.25 tahun 2014). Peran
kader kesehatan jiwa berperan serta dalam meningkatkan, memelihara dan
mempertahankan kesehatan jiwamasyarakat (Keliat dkk, 2011). Kader
kesehatan dan tokoh masyarakat memiliki peranan penting dalam
mensosialisasikan kesehatan jiwa, hal ini dikarenakan kader merupakan
38
ujung tombak untuk melakukan pelaporan sekaligus penanganan dan
tindak lanjut masalah kejiwaan yang ada dilingkungan (Kancee, 2010).
2.5 Konsep Psikoedukasi Keluarga
2.5.1 Pengertian Psikoedukasi Keluarga
Psikoedukasi merupakan komponen yang penting dari penanganan
gangguan medis dan kejiwaan, terutama gangguan mental yang
berhubungan dengan kurangnya wawasan. Konten dari psikoedukasi
adalah etiologi dari suatu penyakit, proses terapi, efek samping dari obat,
strategi koping, edukasi keluarga, dan pelatihan keterampilan hidup
(Ekhtiari et al., 2017).Psikoedukasi adalah metode edukatif yang ditujukan
untuk memberikan informasi dan pelatihan yang diperlukan keluarga
dengan bekerjasama dengan tenaga kesehatan sebagai bagian dari
keseluruhan rencana perawatan klinis untuk kesehatan anggota keluarga
(Bhattacharjee, dkk., 2011). Selain itu Psikoedukasi juga diartikan sebagai
sebuah edukasi atau pelatihan yang dilakukan dengan tujuan untuk
melakukan perawatan dan rehabilitasi (Bordbar & Faridhosseini, 2012).
Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan
kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi
melalui komunikasi. (Stuart & Laraia, 2015). Kartikasari dkk (2017)
mengatakan terapi psikoedukasi keluarga mudah dipelajari dan digunakan
oleh caregiver dan juga tidak menimbulkan efek negatif pada klien
skizofrenia. Pemberian FPE (Family Psychoeducation) bahwa pada
prinsipnya terapi psikoedukasi dapat membantu keluarga dalam
39
meningkatkan pengetahuan tentang suatu penyakit melalui pemberian
informasi dan pendidikan yang mendukung pengobatan pada klien
(Carson, 2000 dalam Herminsih 2017).
2.5.2 Tujuan Psikoedukasi Keluarga
Tujuan umum terapi psikoedukasi keluarga adalah untuk saling bertukar
informasi mengenai perawatan kesehatan mental akibat penyakit yang
dialami, membantu anggota keluarga mengerti mengenai penyakit
(Vrcarolis, 2006 dalam Gusdiansyah 2016). Sedangkan menurut
Miklowitz (1998, dalam Gusdiansyah 2016) psikoedukasi keluarga
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit,
memberikan support kepada keluarga, dan keluarga dapat
mengekspresikan beban yang dirasakan dalam merawat anggota keluarga
yang sakit untuk jangka perawatan yang lama.
Tujuan terapi psikoedukasi keluarga menurut Levine (2002, dalam
Gusdiansyah 2016) yaitu untuk menurunkan intensitas emosi dalam
keluarga sampai pada tingkat yang terendah dan memberikan perasaan
sejahterah atau kesehatan mental pada keluarga. Tujuan khusus dari terapi
psikoedukasi untuk meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang
penyakit dan pengobatan, memberikan dukungan kepada keluarga,
mengembalikan fungsi pasien dan keluarga dan melatih keluarga untuk
bisa mengungkapkan perasaan (Miklowitz 1998, dalam Gusdiansyah
2016).
40
2.5.3 Tindakan Psikoedukasi Keluarga
Menurut Tim Keperawatan Jiwa Universitas Indonesia (2014) Tindakan
keperawatan spesialis kepada keluarga, yaitu terapi psikoedukasi yang
terdiri dari 5 sesi, setiap sesi dilaksanakan dalam waktu 40-60 menit:
1. Sesi I : Mengenal masalah kesehatan keluarga
Pada sesi I keluarga dilatih untuk mengenal masalah yang dihadapi
dalam merawat anggota keluarga yang sakit dan hal ini berhubungan
dengan kondisi kesehatan dirinya maupun pelaksanaan kegiatan harian
yang lain.
2. Sesi II : Kemampuan merawat klien
Pada sesi ini membahas mengenai cara merawat anggota keluarga yang
mengalami masalah kesehatan baik penyakit fisik maupun penyakit
jiwa sehingga keluarga mempunyai pemahaman yang baik tentang
penyakit dan mampu mempraktikkan cara merawat anggota keluarga.
3. Sesi III : Kemampuan merawat diri sendiri
Sesi ini membahas tentang cara merawat keluarga yang memiliki klien
gangguan jiwa, perawat atau terapis akan mengajarkan cara mengatasi
kecemasan, kekhawatiran yang dialami keluarga ketika merawat
anggota keluarganya yang sakit. Latihan mengenal kecemasan yang
dialami keluarga dan latihan cara mengatasi kecemasan yang dialami
dilakukan sebanyak 3-4 kali.
41
4. Sesi IV : Kemampuan manajemen beban dalam keluarga
Pada sesi ini membahas tentang beban yang dialami keluarga ketika
merawat anggota keluarga yang sakit dan akan dilatih cara mengatur
dan mengelola beban yang dialami keluarga.
5. Sesi V : Kemampuan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan
Sesi ini perawat atau terapis akan membantu keluarga mengidentifikasi
atau mengenalkan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dapat
digunakan untuk merawat anggota keluarga yang sakit.
2.6 Konsep Pendidikan Kesehatan
2.6.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan menurut Aisyah (2010) adalah suatu proses
pembelajaran yang dilakukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat
yang dilakukan untuk merubah perilaku yang tidak sehat ke pola yang
lebih sehat. Proses pendidikan kesehatan ini melibatkan beberapa
komponen, antara lain menggunakan strategi belajar mengajar,
mempertahankan keputusan untuk membuat perubahan tindakan/perilaku,
dan pendidikan kesehatan berfokus kepada perubahan perilaku untuk
meningkatkan kesehatan. Pendidikan kesehatan yang akan diberikan
kepada responden merupakan harapan perilaku yang spesifik dan
berpengaruh terhadap kognitif responden. Perilaku yang spesifik adalah
pemahaman terhadap tindakan, upaya pencegahan, pemahaman terhadap
efektifitas, dan pengaruh terhadap aktivitas (Purnamasari, 2012).
Pendidikan kesehatan perlu terus diberikan bagi keluarga sebagai upaya
pemerintah dalam penanganan gangguan jiwa (Taty Hernawaty dkk, 2018)
42
2.7 Konsep Asuhan Keperawatan pada Keluarga dengan Masalah Harga
Diri Rendah Kronis
Proses keperawatan adalah metode pemberian asuhan keperawatan yang
dilakukan secara sistematis, teratur dan berkelanjutan untuk membantu klien
dalam mengatasi masalah keperawatan yang dihadapinya melalui serangkaian
intervensi berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan. Proses tersebut meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, tindakan dan evaluasi
(Olfah, 2016)
2.7.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan, tahap ini
merupakan dasar dalam mengidentifikasi kebutuhan keperawatan klien.
Pengkajian yang sistematis dengan pengumpulan data dan di evaluasi
untuk mengetahui status kesehatan klien. Pengkajian yang akurat,
sistematis dan kontinu akan membantu menentukan tahapan selanjutnya
dalam proses keperawatan (Olfah, 2016).
Pengkajian pada Asuhan Keperawatan Keluarga menurut Andarmoyo,
2012 :
1. Identitas Umum Keluarga
a. Identitas Kepala keluarga
Meliputi nama kepala keluarga sebagai penanggung jawab penuh
terhadap keberlangsungan keluarga. Alamat dan telepon untuk
memudahkan dalam pemberian asuhan keperawatan.Pekerjaan dan
pendidikan kepala keluarga sebagai dasar menentukan tindakan
keperawatan selanjunjutnya.
43
b. Komposisi Keluarga
Semua anggota keluarga dimasukkan ke data, dituliskan hubungan
anggota keluarga dengan pasien, umur masing – masing anggota
keluarga, pendidikan dan pekerjaan, dan status kesehatan anggota
keluarga.Cara penulisan dalam asuhan keperawatan orang yang
sudah dewasa (orang tua) dicatat terlebih dahulu lalu diikuti
dengan anak-anak.
c. Genogram
Genogram merupakan pohon keluarga dimana sebagai alat
pengkajian untuk mengetahui riwayat keluarga.Genogram memuat
informasi tentang tiga generasi keluarga meliputi keluarga inti dan
keluarga asal masing-masing orangtua.
d. Tipe Keluarga
Menjelaskan mengenai jenis tipe keluarga dan kendala atau
masalah yang terjadi dengan jenis tipe keluarga tersebut.
e. Suku Bangsa
Suku dan adat istiadat mempengaruhi keluarga dalam menyikapi
suatu masalah terutama kesehatan.
f. Agama dan Kepercayaan
Mengkaji agama dan kepercayaan keluarga yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
g. Status sosial ekonomi keluarga
Ditentukan oleh pendapatan per bulan yang diperoleh dari kepala
keluarga maupun dari anggota keluarga lainnya, dan kebutuhan-
44
kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga dalam satu bulan serta
barang-barang yang dimiliki keluarga.Dari pendapatan yang
diperoleh apakan mencukupi kebutuhan keluarga dan dapat
menyisihkan uang untuk ditabung.
h. Aktivitas rekreasi keluarga
Hal yang dilakukan oleh keluarga dan penderita saat dirumah dan
di luar rumah jika ada waktu luang. Misalnya seperti rekreasi ke
suatu tempat, menonton TV, mendengarkan radio, membaca koran.
2. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga
a. Tahap perkembangan keluarga saat ini
Ditentukan dengan usia atau perkembangan anak tertua dari
keluarga inti.
b. Riwayat keluarga inti
Menjelaskan riwayat keluarga inti mulai lahir hingga saat ini
meliputi riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing-
masing anggota keluarga, status imunisasi, sumber pelayanan
kesehatan yang biasa digunakan keluarga, pengalaman tehadap
pelayanan kesehatan dan tindakan yang telah dilakukan berkaitan
dengan kesehatan.
3. Lingkungan
a. Karakteristik Rumah
Gambaran tipe tempat tinggal (rumah, sewa kamar, apartemen dll)
dan kepemilikan hak rumah . Perincian denah rumah termasuk
bangun, ukuran, atap, ventilasi, jendela, pintu, apakah lantai,
45
tangga dan susunan bangunan yang lain dalam kondisi yang
adekuat. Pada bagian dapur bagaimana suplai air minum dan
penggunaan alat-alat untuk memasak.Untuk kamar mandi
bagaimana sanitasi air dan fasilitas toilet. Mengamati keadaan
rumah apakah rumah klien bersih apa tidak, kebiasaan keluarga
dalam merawat rumah dan kepuasaan keluarga terhadap
rumah/lingkungan.
b. Karakteristik tetangga komunitas
Tipe lingkungan/komunitas keluarga (desa, kota, subkota). Adat
istiadat komunitas setempat serta pola pergaulan keluarga dapat
memicu terjadinya penyebab penyakit dalam suatu komunitas.
c. Mobilitas geografis keluarga
Ditentukan dengan kebiasaan berpindah-pindah tempat tinggal,
berapa lama keluarga tinggal di daerah ini juga perlu dikaji.
4. Struktur keluarga
a. Pola/cara komunikasi keluarga
Dilihat dari cara keluarga dalam berkomunikasi apakah saling
terbuka dan saling membantu, bahasa apa yang digunakan dalam
keluarga. Frekuensi dan kualitas komunikasi yang belangsung
dalam keluarga.
b. Struktur kekuatan keluarga
Kemampuan anggota keluarga dalam mengendalikan dan
memengaruhi orang lain untuk mengubah perilaku. Hal yang perlu
dikaji siapa yang membuat keputusan keluarga, siapa yang
46
mengelola keuangan dalam keluarga. Saat terjadi masalah apakah
masalah diselesaikan dengan cara bermusyawarah atau tidak.
c. Struktur Peran
Menjelaskan peran dari masing-masing anggota keluarga baik
secara formal dan informal.
d. Nilai atau norma keluarga
Nilai dan norma yang dianut oleh keluarga yang berhubungan
dengan kesehatan.
5. Fungsi Keluarga
a. Fungsi afektif dan koping; apakah keluarga mampu memberikan
kenyamanan emosional, dan mempertahankan saat terjadi stres.
b. Fungsi sosialisasi; bagaimana kerukunan hidup, interaksi dan
hubungan dalam keluarga dan bagaimana partisipasi keluarga
dalam kegiatan sosial.
c. Fungsi reproduksi; apakah keluarga memiliki perencanaan jumlah
anak, apakah keluarga melakukan program KB.
d. Fungsi ekonomi; keluarga memberikan finansial untuk anggota
keluarga dan kepentingan di masyarakat.
e. Fungsi pemeliharaan kesehatan; apakah keluarga dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan lingkungan yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat juga
penyembuhan dari sakit.
47
6. Stress dan Koping Keluarga
Kemampuan keluarga dalam mengenali stressor jangka pendek (< 6
bulan) dan jangka panjang (> 6 bulan), apakah keluarga mampu
mengatasi ketegangan dan stressor biasa dalam kehidupan sehari-hari
dan bagaimana upaya keluarga dalam mengatasi masalah.
7. Gizi Keluarga
Menyangkut pemenuhan nutrisi yang bergizi pada keluarga dan upaya
lain dalam meningkatkan gizi.
8. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan secara head to toepada klien dan juga seluruh anggota
keluarga.
9. Status Mental
a. Faktor Predisposisi
Adanya penolakan, kurang penghargaan, pola asuh yang
overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu
dituntun. Adanya persaingan antar keluarga, kesalahan dan
kegagalan berulang, tidak mampu mencapai standar (Yusuf, 2015)
b. Faktor Presipitasi
Adanya trauma, ketegangan peran, transisi peran perkembangan,
transisi peran situasi, transisi peran sehat-sakit (Yusuf, 2015).
c. Perilaku
Mengkritik diri sendiri atau orang lain. Produktivitas menurun,
gangguan berhubungan, merasa diri paling penting, destruktif pada
diri sendiri dan orang lain, merasa tidak mampu, merasa bersalah
48
dan khawatir, mudah tersinggung atau marah, perasaan negatif
terhadap tubuh, ketegangan peran, pesimis menghadapi hidup,
keluhan fisik, penolakan kemampuan diri, pandangan hidup
bertentangan, menarik diri secara sosial dan realita,
penyalahgunaan obat (Yusuf, 2015). Klien menghindari orang lain,
menunduk, bergerak lamban, bicara pelan, kurangnya kontak mata
(Sutejo, 2019)
d. Faktor Afektif
Klien merasa malu, sedih, tidak berguna dan murung (Sutejo,
2019).
e. Faktor Fisiologis
Klien dapat mengalami sulit tidur, penurunan nafsu makan, klien
merasa lemas, pusing dan mual (Sutejo, 2019).
f. Faktor Sosial
Klien lebih senang menyendiri, klien membatasi interaksi dengan
orang lain, klien cenderung lebih banyak diam (Sutejo, 2019).
g. Mekanisme Koping
1) Pertahanan Jangka Pendek
Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementaradari krisis
seperti menonton terus menerus dan menggunakan obat-
obatan.Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti
sementara untuk klien, seperti ikut kegiatan sosial. Aktivitas
sementara yang dapat menguatkan perasaan klien seperti
pencapaian akademik (Yusuf, 2015).
49
2) Pertahanan Jangka Panjang
Penutupan identitas dengan adopsi identitas prematur yang
diinginkan oleh orang yang penting bagi klien tanpa
memperhatikan keinginan dan potensi dirinya.Identitas negatif
yaitu asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapatditerima
oleh nilai-nilai harapan masyarakat (Yusuf, 2015).
3) Mekanisme pertahanan ego.
Fantasi, disosiasi, isolasi, proyeksi, displacement, marah atau
amuk pada diri sendiri (Yusuf, 2015).
50
2.7.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan tahap selanjutnya setelah proses
pengkajian. Diagnosa keperawatan merupakan dasar dalam penyusunan
rencana tindakan asuhan keperawatan. Diagnosa keperawatan adalah
keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai
akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau
potensial dimana perawat dapat mengidentifikasi dan memberikan
intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan,
membatasi, mencegah dan merubah (Olfah, 2016)
Dalam penentuan diagnosa keperawatan keluarga meliputi 5 tugas
pokok keluarga menurut Bailon dan Maglaya (2009) yaitu:
1. Ketidakmampuan keluarga dalam mengenal masalah kesehatan.
2. Ketidakmampuan keluarga membuat keputusan tindakan kesehatan
yang tepat.
3. Ketidakmampuan keluarga memberi perawatan pada anggota
keluarga yang sakit.
4. Ketidakmampuan keluarga memodifikasi lingkungan atau
menciptakan suasana rumah yang sehat.
5. Ketidakmampuan keluarga merujuk pada fasilitas kesehatan
masyarakat.
Diagnosa keperawatan keluarga yang muncul adalah gangguan
konsep diri: harga diri rendah kronis berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam memberi perawatan pada anggota
keluarga yang sakit.
51
2.7.3 Skala Prioritas Masalah
Prioritas didasarkan pada diagnosa keperawatan yang mempunyai skor
tinggi dan disusun berurutan sampai yang mempunyai skor rendah.
Scoring dilakukan bila perawat merumuskan diagnosa keperawatan telah
dari satu proses scoring menggunakan skala yang telah dirumuskan
Tabel 2.2 Skala Prioritas Masalah
No. Kriteria Komponen Skor Bobot
1 Sifat Masalah Ancaman Tidak/Kurang sehat Krisis
2 3 1
1
2 Kemungkinan Masalah Untuk Dipecahkan
Mudah Sebagian Tidak dapat
2 1 0
2
3 Potensi Masalah Untuk Dicegah
Tinggi Cukup Rendah
3 2 1
1
4 Menonjolnya Masalah
Segera diatasi Tidak perlu diatasi Tidak dirasakan adanya masalah
2 1 0 1
Sumber: Effendy, 2012
Proses skoring dilakukan untuk setiap diagnosa keperawatan:
1. Tentukan skornya sesuai dengan kriteria yang dibuat oleh perawat.
2. Skor dibagi dengan angka tertinggi dan dikalikan dengan bobot.
3. Jumlahkan skor untuksemua kriteria.
4. Skor tertinggi berarti prioritas (skor tertinggi 5).
52
2.7.4 Intervensi
Perencanaan keperawatan adalah kegiatan penentuan langka-langkah
untuk mencegah, mengurangi, atau mengoreksipemecahan masalah dan
prioritasnya, perumusan tujuan, rencana tindakan dan penilaian asuhan
keperawatan terhadap klien berdasarkan anlisa data dan diagnosa
keperawatan (Olfah, 2016)
Intervensi keperawatan pada keluarga untuk masalah harga diri rendah
kronis menurut Yusuf (2015):
1. Tujuan
a. Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuan
yang dimiliki oleh pasien.
b. Keluarga mampu memfasilitasi aktivitas pasien yang sesuai dengan
kemampuan pasien.
c. Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan seusai
dengan latihan yang dilakukan.
d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan
pasien.
2. Tindakan Keperawatan
a. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang dimiliki oleh
pasien.
b. Latih keluarga cara merawat pasien harga diri rendah kronis dan
memotivasi pasien agar menunjukkan kemampuan yang dimiliki,
c. Ajarkan pada keluarga cara mengamati perkembangan perubahan
perilaku pasien dengan membuat jadwal kegiatan harian pasien.
53
Intervensi yang dapat diberikan kepada keluarga dengan anggota
keluarga penderita skizofrenia dengan masalah harga diri rendah kronis
yaitu pemberdayaan keluarga, psikoedukasi keluarga, pemberian
pendidikan kesehatan, pemberdayaan kader kesehatan juga dapat
digunakan untuk memaksimalkan perawatan pada pasien harga diri rendah
kronis. Pemberian intervensi pemberdayaan keluarga & kader kesehatan,
psikoedukasi keluarga dan pendidikan kesehatan tentang meningkatkan
kemampuan merawat pasien skizofrenia dengan harga diri rendah telah
diuji keefektifannya dalam beberapa penelitian ilmiah sebagai berikut :
Tabel 2.3 Analisis Jurnal Ilmiah
Reference Objectif Studi
design Population Result country
Jurnal title: Pemberdayaan Keluarga dan Kader Kesehatan Jiwa Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronik dengan Pendekatan Model Precede L. Green Di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru Bogor Utara Author: Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, dan Ice Yulia Wardani
Karya ilmiah akhir ini bertujuan menjelaskan hasil asuhan keperawat-an spesialis jiwa pada pasien harga diri rendah kronik yang diberikan CBT, FPE dan terapi suportif
Metode yang digunakan adalah serial studi kasus
Responden pada peneliatin ini yaitu 16 pasien harga diri rendah kronik, 8 keluarga, dan 22 kader aktif berpartisi-pasi dalam pelaksanaan tindakan keperawat-an
Hasil asuhan keperawat-an menunjuk-kan penurunan tanda dan gejala harga diri rendah kronik disertai peningkatan kemampuan pasien lebih tinggi pada kelompok pasien yang mendapat-kan CBT, FPE dan terapi suportif
Indonesia
54
Volume in page number: Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 1, No.2, November 2013; 170-177
daripada kelompok yang mendapat-kan CBT dan FPE maupun
yang mendapat-kan CBT.
Jurnal title: Psikoedukasi Meningkatkan Peran Keluarga Dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa Author: Masnaeni Ahmad, Zulhaini Sartika A. pulungan, Hardiyati Volume in page number: Jurnal Keperawatan Volume 11 No 3 September 2019; Hal 191-198
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh psikoedukasi terhadap peningkatan peran keluarga dalam klien gangguan jiwa di Kabupaten Mamuju
Penelitian ini menggunakan metode pra eksperi-men dengan desain pre-posttest without control group design.
Populasi dalam peneltian ini adalah caregiver yang mempunyai anggota keluarga gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Tampapada-ng, Kabupaten Mamuju. Dengan total sampel sebanyak 23 keluarga yaitu caregiver yang mempunyai anggota keluarga gangguan jiwa
Hasil dari penelitian ini menunjuk-kan ada penigkatan kemampuan kognitif keluarga setelah diberikan psikoeduka-si. Psikoedukasi meningkatkan peran keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa
Indonesia
Jurnal title: Pengaruh Pendidikan Kesehatan Keluarga Terhadap Kemampuan
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan keluarga
Penelitian ini dengan desain quasi eksperi-men pendekat-
Populasi penelitian adalah seluruh keluarga dengan salah satu
Hasil penelitian ini yaitu Kemampu-an keluarga merawat klien HDR
Indonesia
55
Keluarga Merawat Klien HDR di Kota Tasikmalaya Author: Ridwan Kustiawan Volume in page number: Buletin Media Informasi Vol 11, Edisi 1 Tahun 2015; Hal 60-66
terhadap kemampuan keluarga merawat klien HDR di Kota Tasikmalaya.
an pre post tes dengan grup kontrol.
anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dengan harga diri rendah di Kota Tasikmala-ya. Didapat sampel 25 kelompok intervensi dan 25 kelompok kontrol.
yang mendapat-kan pendidikan kesehatan keluarga lebih tinggi disbanding-kan dengan kelompok yang tidak mendapat-kan pendidikan kesehatan keluarga.
Hasil analisis penulis dari ketiga jurnal penelitian ilmiah diatas bahwa
psikoedukasi keluarga, pendidikan kesehatan keluarga dan pemberdayaan
keluarga disertai pemberdayaan kader kesehatan dapat meningkatkan
kemampuan keluarga dalam merawat pasien skizofrenia dengan masalah
harga diri rendah kronis.
Rasulullah SAW bersabda “sebaik-baiknya amal shalih adalah agar
engkau memasukan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman” HR.
Ibnu Abu Dunya dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Jami’ush shaghir no.1096. Kesimpulan dari hadist tersebut yaitu umat
muslim dianjurkan untuk mendapingi dan menghibur saudaranya dalam
keadaan apapun terutama pada saat sakit.
Al-Qur’an sebagai rujukan menegaskan tentang percaya diri dengan jelas
dalam beberapa ayat yang mengindikasikan percaya diri yaitu dalam surah
Al-Imran ayat 139 yang berarti “Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang
56
paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. Dan
juga pada surah Fusshilat ayat 30 yang berarti “Sesungguhnya orang-
orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mangatakan): ‘janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang
telah dijanjikan Allah kepadamu”. Mengenal diri sendiri (Ma’rifatun-
nafsi) dengan ungkapan “barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia
mengenal Tuhannya” dapat disejajarkan dengan konsep diri yaitu
bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Khusnudzon atau
prasangka yang baik juga dapat disejajarkan dengan berpikir positif
Dalam ayat lain Allah memberikan gambaran tentang putus asa dalam
surah Yusuf ayat 87 yang berarti “Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka
carilah berita tentang Yusuf dan saudaranyadan jangan kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa darirahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir.”. Sesungguhnya agama Islam
memerintahkan kepada kita semua agar percaya diri dan tidak putus asa
dalam mencari rahmat dan hidayah Allah SWT. Manusia wajib ikhtiar
kepada Allah SWT karena semua masalah pasti ada jalan keluarnya.
Sesungguhnya kehidupan sesorang ditentukan oleh cara berfikirnya.
Apabila ia berfikir atau mempunyai gambaran sebagai orang yang penakut
dan pesimis, maka gambaran tersebut akan mempengaruhi seluruh potensi
dirinya sebagai orang yang penakut karena ketidakmampuan dan
ketidakyakinan orang tersebut dalam menghadapi masalah yang dialami.
57
2.7.5 Implementasi
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan asuhan
keperawatan yang telah disusun perawat beserta keluarga dengan tujuan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan antara lain mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan
memfasilitasi koping (Nadirawati, 2018). Implementasi yang dilakukan
untuk keluarga dengan penderita harga diri rendah kronis yaitu dengan
mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien di
rumah, menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah,
menjelaskan cara merawat pasien dengan harga diri rendah,
mendemonstrasikan cara merawat pasien dengan harga diri rendah, dan
memberi kesempatan pada keluarga untuk mempraktekkan cara merawat
pasien. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
masalah harga diri rendah langsung kepada pasien. Selanjutnya membuat
perencanaan kegiatan pasien sehari-hari bersama keluarga (Yusuf, 2019)
Tabel. 2.4 Strategi Pelaksanaan Keluarga pada Harga Diri Rendah Kronis
SP 1 Keluarga Mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien di rumah, menjelaskan tentang pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah kronis, menjelaskan cara merawat pasien dengan harga diri rendah kronis dan memberi kesempatan pada keluarga untuk mempraktekkan cara merawat pasien dengan masalah harga diri rendah kronis
SP 2 Keluarga Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan masalah harga diri rendah kronis langsung pada pasien
SP 3 Keluarga Membuat kegiatan pasien sehari-hari bersama keluarga
Sumber: Yusuf, 2019
58
2.7.6 Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
berfungsi untuk mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan
tindakan keperawatan yang telah dilakukan apakah tujuan dari tindakan
keperawatan yang dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain
(Olfah,2016)
Perumusan evaluasi formatif meliputi 4 komponen yang dikenal dengan
istilah SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, dan Planning), yakni:
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah tetap atau muncul masalah baru.
P : Perencanaan hasil dan analisa ulang data.
Evaluasi yang diharapkan pada keluarga dengan salah satu anggotanya
mengalami masalah harga diri rendah kronis yaitu keluarga mampu
membantu pasien dalam melakukan aktivitas, dan keluarga memberikan
pujian pada pasien terhadap kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
(Yusuf 2015)
59
2.8 Hubungan Antar Konsep
Gambar 2.3 Hubungan antar konsep Studi Literatur: Asuhan Keperawatan Keluarga Penderita Skizofrenia dengan masalah Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis
Ketidakmampuan keluarga dalam memberi perawatan padapenderita Skizofrenia dengan masalah Gangguan
Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis
Asuhan Keperawatan Keluarga Penderita Skizofrenia dengan Harga Diri Rendah dengan Ketidakmampuan Keluarga dalam member perawatan pada
penderita Haarga Diri Rendah Kronis
Intervensi:
1. Berikan penyuluhan tentang pengertian, tanda dan gejala HDR
2. Berikan penyuluhan dan mendemosntrasikan cara merawat pasien HDR
3. Melatih keluarga dalam merawat pasien HDR
4. Diskusi dengan keluarga untuk membuat kegiatan harian pasien HDR
Intervensi keluarga dari jurnal penelitian ilmiah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat penderita harga diri rendah kronis dari jurnal penelitian ilmiah yaitu dengan pemberdayaan keluarga disertai pemberdayaan kader kesehatan, psikoedukasi keluarga dan pendidikan kesehatan keluarga
Studi literatur dari sumber yang digunakan yaitu Google Scholar
Pengkajian keluarga penderita harga diri rendah kronis dengan ketidakmampuan keluarga dalam memberi perawatan pada penderita
Keluarga dengan salah satu anggota keluarga penderita skizofrenia dengan
masalah Harga diri rendah