bab i
TRANSCRIPT
![Page 1: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/1.jpg)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan kewarganegaraan memiliki misi untuk mengembangkan
warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam konteks kehidupan
yang berjiwakan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan konsep PKn menurut
Somantri (2001:229) yang merumuskan bahwa:
“Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.
Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn
merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan
warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil dan partisipasif
dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, baik di tingkat lokal, nasional,
maupun global”.
Dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, maka
penguasaan konsep dan keterampilan berpikir khususnya berpikir kritis siwa
mutlak diperlukan. Sebab, siswa yang hanya menguasai konsep saja tanpa disertai
dengan kemampuan berpikir kritis terkadang sulit mengkomunikasikan ilmunya
kepada orang lain dan mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-
hari (Lie:2002). Apalagi jika melihat realita pembelajaran PKn saat ini di
![Page 2: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/2.jpg)
2
Indonesia yang menurut pengamatan Kerr (1999:5-7) menunjukkan kategori
minimal yang hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran
kewarganegaraan yang bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada
pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, dan hasilnya mudah
diukur.
Hal tersebut di atas, sejalan dengan pendapat Winataputra dan
Budimansyah (2007:121) yang mengemukakan tiga sumber kegagalan
pengembangang civic education, yaitu 1) penggunaan alokasi waktu yang
tercantum dalam struktur kurikulum pendidikan dijabarkan secara kaku dan
konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka di kelas yang sangat dominan,
sehingga guru tidak bisa berimprovisasi secara kreatif untuk melakukan aktivitas
lainnya selain pembelajaran rutin tatap muka yang terjadwal dengan ketat; 2)
pelaksanaan pembelajaran PKn yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan
dimensi kognitif mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi
terbengkalai, disamping keterbatasan media pembelajaran; 3) pembelajaran yang
terlalu menekankan pada dimensi kognitif berimplikasi pada penilaian yang juga
menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja, sehingga mengakibatkan
guru harus selalu mengejar target pencapaian materi.
Selain itu, persoalan lain yang muncul dalam proses pembelajaran PKn di
sekolah, yakni adanya asumsi siswa yang menganggap bahwa pelajaran ini
membosankan, tidak menantang karena hanya berupa hapalan dan belajar hanya
dipersiapkan untuk menjawab soal-soal ujian semata. Hal ini diperkuat oleh cara
guru dalam menyuguhkan materi pelajaran yang sebagian besar menggunakan
![Page 3: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/3.jpg)
3
metode konvensional seperti ceramah yang sesekali diselingi dengan tanya jawab
dan pembelajaran lebih berpusat pada guru sehingga siswa cenderung pasif dan
semakin tidak memiliki gairah untuk belajar. Kondisi tersebut diperkuat oleh
pendapat Wahab (2001:21) yang menyatakan bahwa “selama ini siswa
beranggapan pelajaran PKn itu tidak menarik dan membosankan”. Kesan ini
timbul dikarenakan secara substansif pelajaran PKn kurang menyentuh kebutuhan
siswa atau cara penyajiannya tidak membangkitkan minat belajara siswa. Siswa
kurang diarahkan mengenai bagaimana hubungan antara konsep yang dipelajari
dengan peristiwa sehari-hari. Selain itu, guru kurang memunculkan permasalahan
aktual yang dihadapi siswa sebagai masyarakat muda dan mengarahkan siswa
untuk bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya agar bisa mengatasi berbagai
permasalahan tersebut. Padahal kalau dicermati lebih mendalam, objek kajian
Pendidikan Kewarganegaraan adalah masyarakat dengan segala dinamikanya
yang seharusnya menarik dan menantang untuk dipelajari.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka proses pembelajaran
yang perlu dikembangkan adalah pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk
dapat berpikir kritis dalam pemecahan masalah atau “critical thinking oriented
and problem solving oriented modes” (CCE:1992-2000). Sebab, Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran di persekolahan yang
mempunyai kontribusi penting dalam membentuk dan mewujudkan karakter
bangsa yang dicita-citakan yaitu smart and good citizenship, seperti ditegaskan
dalam Standar Isi (Permen No.22 Tahun 2006) dan Standar Kompetensi Lulusan
(Permen No.23 Tahun 2006) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
![Page 4: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/4.jpg)
4
mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang
memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi
warganegara Indonesia yang Cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan
oleh Pancasila dan UUD 1945.
Hal tersebut, sejalan dengan visi Pendidikan Nasional menurut UU No.20
tahun 2003 dijelaskan bahwa aspek kepribadian warganegara yang perlu
dikembangkan adalah menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman. Sejalan dengan visi Pendidikan Nasional,
Depdiknas berhasrat pada tahun 2025 dapat menghasilkan insan Indonesia yang
cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif maksudnya meliputi
cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas
kinestetik. Cerdas spiritual, yakni mampu mengaktualisasikan diri melalui olah
hati untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketaqwaan, dan akhlak
mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerdas emosional,
yakni mampu beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan
sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya serta
kompetensi untuk mengekspresikannya. Cerdas sosial, yakni mampu
beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang membina dan memupuk hubungan
timbal balik, demokratis, empatik dan simpatik, menjungjung tinggi hak asasi
manusia, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan, dan lain-lain. Cerdas
intelektual, yakni mampu beraktualisasi melalui olah pikir untuk memperoleh
kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
aktualisasi insan yang kritis, kreatif dan imajinatif. Cerdas kinestetik, yakni
![Page 5: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/5.jpg)
5
mampu beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insane yang
sehat, bugar, berdaya tahan, sigap, terampil dan trengginas (Budimansyah &
Suryadi, 2008:21).
Lebih khusus, Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) berpikir secara kritis, rasional dan
kreatif dalam menanggapai isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara aktif dan
bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi; 3) berkembang secara positif dan
demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat
Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4)
berinteraksi dengan bangsa-bangsa dalam percaturan dunia secara langsung atau
tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Semua kemampuan tersebut harus dimiliki oleh setiap warganegara abad 21,
seperti yang dikemukakan oleh Cogan & Derricott (1998:116), bahwa
karakteristik yang harus dimiliki warganegara sebagai berikut: 1) kemampuan
mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global; 2)
kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas
peran atau kewajibannya dalam masyarakat; 3) kemampuan untuk memahami,
menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya; 4) kemampuan
berpikir kritis dan sistematis; 5) kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara
damai tanpa kekerasan; 6) kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan
pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungannya; 7) memiliki kepekaan
terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia seperti hak kaum wanita,
![Page 6: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/6.jpg)
6
minoritas, dan lain-lain; 8) kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam
kehidupan politik pada tingkatan pemerintah local, national, dan internasional.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas dan mengingat Indonesia sebagai
negara demokratis, Remy (Wahab&Sapriya, 2008: 19) mengemukakan bahwa
terdapat beberapa kompetensi dasar warganegara yang harus dimiliki setiap
warganegara dalam memelihara, mengembangkan dan mempraktekkan dasar-
dasar demokrasi sebagai warga negara dari sebuah negara demokratis sebagai
berikut: 1) Acquiring and using information; 2). Assessing involvement; 3)
Making decision; 4) Making judgements; 5) Cooperating; 6) Communicating; 7)
Promoting interests.
Untuk mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, salah satu jalan yang
bisa ditempuh yakni melalui pendidikan, sebab pendidikan merupakan salah satu
komponen penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional bab II pasal 3 dijelaskan bahwa:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mnegembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yng beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Berbicara mengenai pendidikan secara otomatis akan berkaitan dengan
proses pembelajaran di persekolahan. Sekolah sebagai komponen utama
pendidikan perlu memperhatikan kegiatan pembelajaran yang berlangsung,
apakah sesuai atau tidak dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
![Page 7: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/7.jpg)
7
Menurut Fajar, (2004:15), kegiatan pembelajaran diselenggarakan untuk
membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan siswa,
sehingga perlu memberdayakan semua potensi siswa untuk menguasai dan
memiliki kompetensi serta pencapaian perilaku khusus agar setiap individu
mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.
Tujuan lain dari pembelajaran yakni untuk mengetahui, memahami, melakukan
sesuatu, hidup dalam kebersamaan dan mengaktualisasikan diri. Dengan
demikian, menurut Fajar (2004:15) kegiatan pembelajaran perlu: (1) berpusat
pada siswa; (2) mengembangkan kreativitas siswa; (3) menciptakan kondisi
menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan nilai, etika, estetika, dan
kinestetika; (4) menyediakan pengalaman belajar yang beragam.
Saat ini, secara adaptif di Indonesia dikembangkan model praktik belajar
kewarganegaraan kami bangsa Indonesia atau biasa disebut Project Citizen yang
di dalamnya terdapat portofolio hasil belajar siswa. Model ini bisa dijadikan salah
satu alternative solusi dalam pembelajaran PKn supaya siswa lebih tertantang
untuk belajar dan pengetahuan yang dimiliki siswa lebih bermakna (powerfull).
Project citizen merupakan satu instructional treatment yang berbasis masalah
untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan
demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam
pemerintahan dan masyarakat sipil. Tujuan Project citizen adalah untuk
memotivasi dan memberdayakan para siswa dalam menggunakan hak dan
tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitian yang
![Page 8: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/8.jpg)
8
intensif mengenai masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat
mereka berinteraksi (Budimansyah, 2009:1-2).
Dasar pemikiran Project Citizen menurut Branson (1999:1-6) terletak pada
satu kerangka yang dilandasi oleh lima bagian tentang gagasan pendidikan dan
politik. Pertama, demokrasi memerlukan pemerintahan sendiri dan karenanya
memerlukan keterlibatan dan berpengetahuan warganegara dalam kehidupan
bernegara. Satu komponen yang sangat diperlukan tentang keterlibatan
warganegara adalah partisipasi dalam proses pembuatan kebiajakan publik.
Kedua, para siswa harus belajar bagaimana menjai terlibat dalam kehidupan
berwarganegara dengan terlibat didalamnya, yaitu dengan menyandang
kewarganegaraan yang bertanggung jawab dan efektif. Siswa yang dilibatkan
dalam pembelajaran praktis, eksperimental akan lebih antusias dan bersemangat
dibanding dengan yang tidak ikut serta dalam jenis kegiatan ini. Ketiga, karena
para siswa menggali masalah-masalah yang ada dikomunitas mereka sendiri,
maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempertimbangkan tentang
hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti hal-hal yang meliputi hak
individu dan kepentingan bersama, peraturan yang disepakati kelompok mayoritas
dan hak kaum minoritas, kebebasaan serta persamaan. Keempat, project citizen
dimaksudkan untuk diterapkan terutama oleh siswa sekolah menengah atau usia-
usia remaja pradini (sekitar 10-15 tahun); tetapi program tersebut juga digunakan
oleh oldest adolescents) anak remaja yang menginjak dewasa di beberapa sekolah.
Sebab anak remaja pradini mulai bergeser dari pemikiran konkrit menuju
pemikiran abstrak dan sering berhadapan dengan masalah baik dan buruk, sah
![Page 9: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/9.jpg)
9
atau tidaknya hak untuk bertindak dan jawaban-jawaban alternatif atas situasi
yang menyulitkan. Kelima, Project citizen menganggap kaum muda sebagai
sumber kewarganegaraan, sebagai anggota yang berharga dari komunitasnya yang
bernilai yang gagasan dan tenaganya dapat secara nyata dicurahkan pada
masalah-masalah kebijakan publik. Keikutsertaan siswa sebagai warganegara
muda tidak hanya merupakan wahana yang lebih baik untuk meningkatkan
pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokrasi, tetapi juga
makin baik bagi masyarakat karena siswa tersebut mempermudah organisasi
pemerintahan dan masyarakat bekerja melewati masalah-masalah penting di
masyarakat.
Beberapa pemikiran di atas sejalan dengan empat pilar pendidikan yang
dicanangkan oleh UNESCO (Budimansyah, 2002:40) yakni 1) learning to do
(peserta didik mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman
belajarnya); 2) learning to know (belajar untuk mengetahui sendiri
pengetahuannya); 3) learning to be (belajar untuk membangun pengetahuan dan
kepercayaan diri); 4) learning to live together (belajar untuk memahami
kemajmukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap
keanekaragaman dan perbedaan hidup. Selain itu, project citizen dilandasi juga
oleh pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa semua peserta didik
mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki
gagasan/pengetahuan tentang lingkungannya dan peristiwa/gejala lingkungan di
sekitarnya meskipun seringkali naïf dan miskonsepsi. Tetapi pada intinya dalam
kegiatan pendidikan harus memulai pelajaran dari apa yang diketahui oleh peserta
![Page 10: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/10.jpg)
10
didik. Hal lain yang bisa dicermati, bahwa Project citizen mengembangkan
democratic teaching, maksudnya bahwa proses pembelajaran yang berlangsung di
sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Budimansyah (2002 : 5–7)
mengatakan bahwa pembelajaran demokratis (democratic teaching) adalah suatu
bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan kehidupan demokrasi
melalui proses pembelajran yang demokratis. Secara singkat democratic teaching
adalah proses pembelajran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu
penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan
kesempatan, dan memperhatikan keragaman perserta didik. Dalam prakteknya
para pendidik hendaknya memposisikan peserta didik sebagai insan yang harus
dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan
potensinya.
Untuk itu diperlukan suasana terbuka, akrab, dan saling menghargai, dan
sebaliknya perlu dihindari suasana belajar kaku, penuh dengan ketegangan, dan
sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif,
tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kelelahan. Sebab, sikap demokratis
yang ditampilkan guru di kelas dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh
terhadap pengembangan sikap demokratis seseorang.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, gelombang demokratisasi yang
terjadi di Indonesia menuntut semua pihak mewujudkan kehidupan demokrasi di
segala bidang. Dalam upaya meningkatkan kultur dan nilai-nilai demokratis,
aspek sekolah dan program pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap
demokratis. Pengembangan kultur hidup yang demokratis tergantung pada sistem
![Page 11: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/11.jpg)
11
pendidikan demokratis yang diterapkan di lingkungan pendidikannya. Sekarang
masalahnya adalah bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan
sekolah yang demokratis, agar nilai-nilai demokrasi tumbuh dan berkembang
dalam segala aspek kehidupan warganegara.
Konsep demokrasi secara etimologis memiliki arti yang cukup sederhana
yang berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti
rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti
kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos
(demokrasi) memiliki arti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat (Azra, 2008:39), tetapi dibalik kesederhanaannya, demokrasi memiliki
makna yang sangat luas. Demokrasi erat kaitannya tidak hanya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, tetapi juga dalam dunia pendidikan. John Dewey (1916)
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara pendidikan dengan
demokrasi. Ketika berbicara mengenai demokrasi maka tidak akan terlepas
dengan pendidikan. Dengan demikian demokrasi harus senantiasa diajarkan dan
dipraktekkan untuk merangsang kegiatan berpikir kritis siswa, karena demokrasi
tidak langsung datang dari langit dan tidak didapat melalui pewarisan tetapi
merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran dan penghayatan
(Azra, 2008:41). Sebuah adogium mengatakan “demokrasi dalam suatu negara
akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warganegara yang memiliki kehidupan
demokratis” (Budimansyah, 2002: 5). Dalam hal ini, Project citizen memberikan
kesempatan kepada para siswa untuk berdemokrasi ambil bagian dalam
pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktekkan berpikir kritis, dialog,
![Page 12: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/12.jpg)
12
debat, negosiasi, kerjasama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi
warganegara (civic action), yakni melaksanakan kewajiban sebagai warganegara
untuk kepentingan bersama (CCE, 1999).
Pada dasarnya Prozect Citizen dikembangkan dari model pendekatan
berpikir kritis atau reflektif sebagaimana dirintis oleh John Dewey (1900) dengan
paradigm “how we think” atau model reflective inquiry yang dikemukakan oleh
Barr, dkk (1978) dalam Budimansyah, (2009:10). Oleh karena itu, guru harus
memahami konsep democratic teaching seperti yang telah disinggung di atas,
maksudnya bahwa proses pembelajaran di sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai
demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung tinggi keadilan,
menerapkan persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman peserta didik
(Budimansyah, 2002:7). Dengan kata lain, untuk bisa merangsang siswa untuk
berpikir kritis, guru harus bisa memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
siswa dalam mengeksplorasi pengetahuan yang harus dimilikinya. Jadi, dalam hal
ini guru tidak mendominasi dan hanya bertugas sebagai fasilitator dan
pembimbing dalam proses pembelajaran.
Mengacu pada berbagai teori yang telah dikemukakan di atas, dan
berdasarkan berbagai penemuan pada penelitian sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa project citizen merupakan salah satu alternative yang dapat digunakan
untuk memperbaiki kualitas pembelajaran PKn melalui proses belajar konstruktif
(siswa membangun pengetahuannya sendiri) yang dapat meningkatkan
keterampilan berpikir dan membentuk warganegara yang demokratis, smart and
good citizen.
![Page 13: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/13.jpg)
13
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis berminat untuk
mengkaji lebih mendalam mengenai model Project Citizen ini. Secara umum
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar model
Project Citizen dalam Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh terhadap
keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep demokrasi?”. Dari rumusan umum
tersebut, selanjutnya penulis identifikasi beberapa permasalahan yang akan
diteliti, yaitu:
1. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam mengidentifikasi masalah-
masalah demokrasi terhadap peningkatatan keterampilan berpikir kritis siswa?
2. Seberapa besar pengaruh aktivitas siswa dalam kegiatan memilih masalah
tentang demokrasi untuk kajian kelas terhadap keterampilan berpikir kritis
siswa?
3. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siwa dalam mengumpulkan informasi
tentang masalah-masalah demokrasi yang akan dikaji terhadap keterampilan
berpikir kritis siswa?
4. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam mengembangkan portofolio
kelas terhadap keterampilan berpikir kritis siswa?
5. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio kelas
tentang masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa?
6. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam merefleksikan pengalaman
belajarnya terhadap keterampilan berpikir kritis siswa?
![Page 14: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/14.jpg)
14
7. Apakah terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara siswa
yang mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang
mendapatkan model pembelajaran konvensional?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui pengaruh model
Project Citizen dalam Pendidikan Kewarganegaraan terhadap keterampilan
berpikir kritis siswa pada konsep demokrasi. Sedangkan secara rinci tujuan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengidentifikasi
masalah-masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa .
2. Untuk mengetahui pengaruh aktivitas siswa dalam memilih masalah tentang
demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
3. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengumpulkan
informasi tentang masalah-masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir
kritis siswa.
4. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengembangkan
portofolio kelas terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
5. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio
kelas mengenai masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
6. Untuk mengetahui pengaruh merefleksikan pengalaman belajar terhadap
keterampilan berpikir kritis siswa.
![Page 15: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/15.jpg)
15
7. Untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa yang
mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang
mendapatkan model pembelajaran konvensional.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat penulis sumbangkan dari hasil penelitian yakni secara
teoritis untuk pengembangan strategi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan
dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa melalui penggunaan
Project Citizen. Selain itu, manfaat praktis yang bisa diberikan, sebagai berikut:
1. Berguna bagi Universitas Pendidikan Indonesia, khususnya jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai institusi Pembina prosfesi guru yang
mempersiapkan profesionalisasi calon guru Pendidikan Kewarganegaraan agar
lebih peka dan terbuka dalam mengembangkan inovasi pembelajaran sebagai
uapaya meningkatkan kualitas pendidikan dan merespon tantangan di era
gobalisasi.
2. Bagi guru, diharapkan Project Citizen dapat dijadikan sebagai salah satu
rujukan dalam pembelajaran PKn sehingga dapat meningkatkan pemahaman
konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa.
3. Bagi siswa, diharapkan dengan menggunakan Project Citizen dapat menjadi
motivasi sehingga siswa tertantang dan lebih bergairah untuk belajar.
4. Bagi penulis, dapat menambah wawasan penelitian dalam memahami Project
Citizen dan menjadikan masukan dalam perbaikan profesionalitas mengajar.
![Page 16: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/16.jpg)
16
E. Asumsi Penelitian
Asumsi yang digunakan sebagai dasar dalam mengajukan hipotesis
penelitian adalah hasil kajian teori seperti dikemukakan Cogan & Derriccot
(1998:116) dalam Budimansyah & Suryadi (2008:39) bahwa “salah satu
karakteristik yang harus dimiliki warganegara adalah “…kemampuan untuk
berpikir kritis dan sistematis…”. Oleh karena itu, peran pendidikan
kewarganeagraan sangat penting dalam mencetak warganegara yang mampu
berpikir secara kritis, analitis dan sistematis supaya dapat berpartisipasi aktif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam
proses pembelajaran PKn seharusnya guru sebagai pembimbing dapat
memberdayakan siswa supaya dapat merangsang kegiatan berpikir kritis siswa.
Selain itu, penelitian ini juga berdasarkan pada asumsi bahwa:
1) Model Project Citizen dapat memfasilitasi terjadinya proses latihan berpikir
untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa.
2) Tahap-tahap pelaksanaan model Project citizen dapat memicu keterlibatan
siswa secara aktif sehingga keterampilan berpikir kritisnya dapat diberdayakan
dan dapat mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.
3) Project citizen dapat melatih keterampilan sosial seperti bekerja secara ilmiah,
mengajukan dan menjawab pertanyaan, bekerjasama, dan berkomunikasi
antara sesama siswa, antara siswa dengan guru, dan siswa dengan sumber-
sumber data baik di sekolah maupun di luar sekolah.
![Page 17: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/17.jpg)
17
F. Hipotesis Penelitian
Atas dasar asumsi penelitian yang dikemukakan di atas, maka hipotesis
dari penelitian ini adalah “Implementasi model project citizen dalam Pendidikan
Kewarganegaraan berpengaruh signifikan terhadap keterampilan berpikir kritis
siswa pada konsep demokrasi”. Sedangkan secara rinci hipotesis penelitian ini
yaitu:
1) Keterlibatan siswa terlibat dalam mengidentifikasi masalah-masalah
demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
2) Keterlibatan siswa dalam kegiatan memilih masalah tentang demokrasi
untuk kajian kelas, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
3) Keterlibatan siswa dalam mengumpulkan informasi tentang masalah-
masalah demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis.
4) Keterlibatan siswa dalam mengembangkan portofolio kelas, berpengaruh
terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
5) Keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio kelas tentang masalah
demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
6) Keterlibatan siswa dalam merefleksikan pengalaman belajarnya,
berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
7) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa yang
mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang
mendapatkan model pembelajaran konvensional
![Page 18: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/18.jpg)
18
G. Definisi Operasional
Untuk memperjelas konsep dan variabel yang diteliti supaya tidak
mengundang tafsir yang berbeda, maka dirumuskan definisi operasional atas
variabel penelitian sebagai berikut:
1. Pengaruh
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995), pengaruh diartikan sebagai
daya yang ditimbulkan dari sesuatu yang ikut membentuk watak, kepercayaan,
dan perbuatan seseorang. Jadi yang dimaksud pengaruh dalam penelitian ini
adalah pengaruh dari model project citizen terhadap keterampilan berpikir kritis
siswa setelah pembelajaran berlangsung.
2. Implementasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995), implementasi merupakan kata
serapan dari bahasa Inggris implementation yang artinya penerapan atau
pelaksanaan. Pelaksanaan yang dimaksud adalah pelaksanaan model project
citizen dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
3. Model
Model menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya pola atau contoh, acuan
dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan atau gaya suatu pola yang dilakukan
secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam ensiklopedi Indonesia (Jilid 4),
dijelaskan bahwa model merupakan kata pengecil dari “modo” yang artinya sifat,
cara dan representasi kecil dari suatu benda atau keadaan untuk mengembnagkan,
![Page 19: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/19.jpg)
19
menjelaskan atau menemukan sifat-sifat bentuk aslinya. Model yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Dahlan, M. D:1990) mengartikan
model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang ditetapkan dalam
menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memberikan setting lainnya.
4. Model Project Citizen
Model Project citizen merupakan salah satu instructional treatment yang
berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak
kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan
dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (Budimansyah, 2009:1). Dimensi-
dimensi yang terdapat dalam pembelajaran konsep demokrasi dengan
menggunakan project citizen yaitu identifikasi dan analisis masalah tentang
konsep demokrasi, memilih masalah sebagai bahan kajian kelas yang berkaitan
dengan konsep demokrasi, mengumpulkan informasi untuk memecahkan
masalah-masalah seputar maslah-masalah demokrasi, mengembangkan portofolio
kelas mengenai permasalahan demokrasi, menyajikan portofolio kelas tentang
demokrasi, merefleksikan pengalaman belajar seputar demokrasi.
5. Pendidikan Kewarganegaraan
“Civic education” menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4),
didefinisikan sebagai berikut:
“Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and in particular the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.”
![Page 20: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/20.jpg)
20
Berdasarkan definisi tersebut dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan
dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk
mengambil peran dan tanggung jawab sebagai warganegara. Secara khusus
pendidikan kewarganegaraan memiliki peran pendidikan termasuk didalamnya
persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara.
Cogan (1999:4) mendefinisikan civic education sebagai “…the foundation course
work inschool designed to prepare young citizen for an activerole in the their
communities in their adult lives”. Artinya bahwa pendidikan kewarganegaraan
merupakan suatu mata pelajaran di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan
warganegara muda agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam
masyarakatnya. Kemudian menurut Branson (1999: 4), bahwa pendidikan
kewarganegaraan merupakan pendidikan demokrasi untuk mengembangkan dan
memperkuat pemerintah otonom (self govermnet), yakni pemerintahan otonom
yang demokratis dimana warganegaranya aktif terlibat dalam pemerintahannya
sendiri. Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn
merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan
warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil dan partisipasif
dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, baik di tingkat lokal, nasional,
maupun global”. Hal ini sejalan dengan pengertian Pendidikan kewarganegaraan
yang dikemukakan oleh Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak
![Page 21: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/21.jpg)
21
dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945.
6. Keterampilan Berpikir Kritis
Robert Ennis (Hassoubah, 2004:87) memberikan definisi berpikir kritis
adalah berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang
apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, lebih
lanjut Ennis mengatakan bahwa “untuk dapat menguasai proses berpikir kritis ada
baiknya terlebih dahulu mengenal kecenderungan dan kemampuan untuk
menentukan apa yang mesti dipercayai atau dillakukan”. Menurut R.H Ennis
(dalam Hassoubah, 2004:91) bentuk kecenderungan ini terdiri atas tiga belas
komponen yaitu: (1) mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan, (2)
mencari atau menganalisis argumen, (3) berusaha mengetahui informasi dengan
baik, (4) memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya, (5)
memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan yang berkaian dengan
observasi dan menilai laporan hasil observasi, (6) berusaha tetap relevan dengan
ide utama, (7) mengingat kepentingan yang asli dan mendasar, (8) mencari
alternatif, (9) bersikap dan berpikir terbuka, (10) mengambil posisi ketika ada
bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu, (11) mencari penjelasan sebanyak
mungkin apabila memungkinkan, (12) bersikap secara sistematis dan teratur
dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalaha, (13) peka terhadap tingkat
keilmuan dan keahlian orang lain. Sedangkan aspek kemampuan menurut Ennis
![Page 22: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/22.jpg)
22
(dalam Hassoubah, 2004:92) adalah keterampilan untuk: (1) menentukan
kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak
relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan
mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikais bias yang ada,
(6) mengidentifikasi sudut pandang, (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan
untuk mendukung pengakuan.
7. Konsep demokrasi
Konsep demokrasi secara etimologis memiliki arti yang cukup sederhana
yang berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti
rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti
kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos
(demokrasi) memiliki arti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat (Azra, 2008:39). Menurut Sidney Hook (dalam Azra, 2008:39) demokrasi
merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang
penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan
mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat. Pendapat Hook sejalan dengan
pemikiran Henry B. Mayo (1980:166) yang mengemukakan bahwa demokrasi
merupakan suatu system yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan
atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik
dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
![Page 23: BAB I](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022070318/5571f87749795991698d7f6e/html5/thumbnails/23.jpg)
23
H. Kerangka Pemikiran
Untuk lebih memperjelas penelitian yang dilakukan, dibawah ini dapat
dilihat kerangka berpikir penelitian, sebagai berikut:
Bagan 1.1 Kerangka Berpikir Penelitian
Tantangan warganegara abad 21
Model Project Citizen:Model Multi materi, multi metoda, multimedia dan multi sumber baik buku maupun
masyarakat. Dengan prinsip belajar siswa aktif, Kelompok belajar kooperatif, Pembelajaan partisipatorik dan Reactive teaching
Warganegara muda (young citizenship) yang berpatisipasi
aktif dalam pengambilan keputusan (kebijakan public) di lingkungan masayarakat, bangsa
dan negara
Peran dan tanggung jawab Pendidikan Kewarganegaraan
Upaya Guru PKn dalam memberdayakan keterampilan
berpikir kritis siswa
Warganegara yang memiliki karakteristik yang salah
satunya adalah mampu berpikir kritis dan sistematis.
(Cogan:1999)
Temuan Penelitian
Kesimpulan dan Rekomondasi
Siswa memiliki keterampilan berpikir kritis dan mampu
berpartisipasi aktif sebagai warganegara muda