bab i

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan kewarganegaraan memiliki misi untuk mengembangkan warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam konteks kehidupan yang berjiwakan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan konsep PKn menurut Somantri (2001:229) yang merumuskan bahwa: “Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil

Upload: puspa-kanahaya

Post on 25-Jun-2015

130 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan kewarganegaraan memiliki misi untuk mengembangkan

warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam konteks kehidupan

yang berjiwakan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan konsep PKn menurut

Somantri (2001:229) yang merumuskan bahwa:

“Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn

merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan

warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil dan partisipasif

dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, baik di tingkat lokal, nasional,

maupun global”.

Dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, maka

penguasaan konsep dan keterampilan berpikir khususnya berpikir kritis siwa

mutlak diperlukan. Sebab, siswa yang hanya menguasai konsep saja tanpa disertai

dengan kemampuan berpikir kritis terkadang sulit mengkomunikasikan ilmunya

kepada orang lain dan mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-

hari (Lie:2002). Apalagi jika melihat realita pembelajaran PKn saat ini di

Page 2: BAB I

2

Indonesia yang menurut pengamatan Kerr (1999:5-7) menunjukkan kategori

minimal yang hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran

kewarganegaraan yang bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada

pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, dan hasilnya mudah

diukur.

Hal tersebut di atas, sejalan dengan pendapat Winataputra dan

Budimansyah (2007:121) yang mengemukakan tiga sumber kegagalan

pengembangang civic education, yaitu 1) penggunaan alokasi waktu yang

tercantum dalam struktur kurikulum pendidikan dijabarkan secara kaku dan

konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka di kelas yang sangat dominan,

sehingga guru tidak bisa berimprovisasi secara kreatif untuk melakukan aktivitas

lainnya selain pembelajaran rutin tatap muka yang terjadwal dengan ketat; 2)

pelaksanaan pembelajaran PKn yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan

dimensi kognitif mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi

terbengkalai, disamping keterbatasan media pembelajaran; 3) pembelajaran yang

terlalu menekankan pada dimensi kognitif berimplikasi pada penilaian yang juga

menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja, sehingga mengakibatkan

guru harus selalu mengejar target pencapaian materi.

Selain itu, persoalan lain yang muncul dalam proses pembelajaran PKn di

sekolah, yakni adanya asumsi siswa yang menganggap bahwa pelajaran ini

membosankan, tidak menantang karena hanya berupa hapalan dan belajar hanya

dipersiapkan untuk menjawab soal-soal ujian semata. Hal ini diperkuat oleh cara

guru dalam menyuguhkan materi pelajaran yang sebagian besar menggunakan

Page 3: BAB I

3

metode konvensional seperti ceramah yang sesekali diselingi dengan tanya jawab

dan pembelajaran lebih berpusat pada guru sehingga siswa cenderung pasif dan

semakin tidak memiliki gairah untuk belajar. Kondisi tersebut diperkuat oleh

pendapat Wahab (2001:21) yang menyatakan bahwa “selama ini siswa

beranggapan pelajaran PKn itu tidak menarik dan membosankan”. Kesan ini

timbul dikarenakan secara substansif pelajaran PKn kurang menyentuh kebutuhan

siswa atau cara penyajiannya tidak membangkitkan minat belajara siswa. Siswa

kurang diarahkan mengenai bagaimana hubungan antara konsep yang dipelajari

dengan peristiwa sehari-hari. Selain itu, guru kurang memunculkan permasalahan

aktual yang dihadapi siswa sebagai masyarakat muda dan mengarahkan siswa

untuk bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya agar bisa mengatasi berbagai

permasalahan tersebut. Padahal kalau dicermati lebih mendalam, objek kajian

Pendidikan Kewarganegaraan adalah masyarakat dengan segala dinamikanya

yang seharusnya menarik dan menantang untuk dipelajari.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka proses pembelajaran

yang perlu dikembangkan adalah pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk

dapat berpikir kritis dalam pemecahan masalah atau “critical thinking oriented

and problem solving oriented modes” (CCE:1992-2000). Sebab, Pendidikan

Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran di persekolahan yang

mempunyai kontribusi penting dalam membentuk dan mewujudkan karakter

bangsa yang dicita-citakan yaitu smart and good citizenship, seperti ditegaskan

dalam Standar Isi (Permen No.22 Tahun 2006) dan Standar Kompetensi Lulusan

(Permen No.23 Tahun 2006) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan

Page 4: BAB I

4

mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang

memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi

warganegara Indonesia yang Cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan

oleh Pancasila dan UUD 1945.

Hal tersebut, sejalan dengan visi Pendidikan Nasional menurut UU No.20

tahun 2003 dijelaskan bahwa aspek kepribadian warganegara yang perlu

dikembangkan adalah menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan

proaktif menjawab tantangan zaman. Sejalan dengan visi Pendidikan Nasional,

Depdiknas berhasrat pada tahun 2025 dapat menghasilkan insan Indonesia yang

cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif maksudnya meliputi

cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas

kinestetik. Cerdas spiritual, yakni mampu mengaktualisasikan diri melalui olah

hati untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketaqwaan, dan akhlak

mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerdas emosional,

yakni mampu beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan

sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya serta

kompetensi untuk mengekspresikannya. Cerdas sosial, yakni mampu

beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang membina dan memupuk hubungan

timbal balik, demokratis, empatik dan simpatik, menjungjung tinggi hak asasi

manusia, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan, dan lain-lain. Cerdas

intelektual, yakni mampu beraktualisasi melalui olah pikir untuk memperoleh

kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

aktualisasi insan yang kritis, kreatif dan imajinatif. Cerdas kinestetik, yakni

Page 5: BAB I

5

mampu beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insane yang

sehat, bugar, berdaya tahan, sigap, terampil dan trengginas (Budimansyah &

Suryadi, 2008:21).

Lebih khusus, Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik

memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) berpikir secara kritis, rasional dan

kreatif dalam menanggapai isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara aktif dan

bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi; 3) berkembang secara positif dan

demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat

Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4)

berinteraksi dengan bangsa-bangsa dalam percaturan dunia secara langsung atau

tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Semua kemampuan tersebut harus dimiliki oleh setiap warganegara abad 21,

seperti yang dikemukakan oleh Cogan & Derricott (1998:116), bahwa

karakteristik yang harus dimiliki warganegara sebagai berikut: 1) kemampuan

mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global; 2)

kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas

peran atau kewajibannya dalam masyarakat; 3) kemampuan untuk memahami,

menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya; 4) kemampuan

berpikir kritis dan sistematis; 5) kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara

damai tanpa kekerasan; 6) kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan

pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungannya; 7) memiliki kepekaan

terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia seperti hak kaum wanita,

Page 6: BAB I

6

minoritas, dan lain-lain; 8) kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam

kehidupan politik pada tingkatan pemerintah local, national, dan internasional.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas dan mengingat Indonesia sebagai

negara demokratis, Remy (Wahab&Sapriya, 2008: 19) mengemukakan bahwa

terdapat beberapa kompetensi dasar warganegara yang harus dimiliki setiap

warganegara dalam memelihara, mengembangkan dan mempraktekkan dasar-

dasar demokrasi sebagai warga negara dari sebuah negara demokratis sebagai

berikut: 1) Acquiring and using information; 2). Assessing involvement; 3)

Making decision; 4) Making judgements; 5) Cooperating; 6) Communicating; 7)

Promoting interests.

Untuk mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, salah satu jalan yang

bisa ditempuh yakni melalui pendidikan, sebab pendidikan merupakan salah satu

komponen penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan

Nasional bab II pasal 3 dijelaskan bahwa:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mnegembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yng beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berbicara mengenai pendidikan secara otomatis akan berkaitan dengan

proses pembelajaran di persekolahan. Sekolah sebagai komponen utama

pendidikan perlu memperhatikan kegiatan pembelajaran yang berlangsung,

apakah sesuai atau tidak dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.

Page 7: BAB I

7

Menurut Fajar, (2004:15), kegiatan pembelajaran diselenggarakan untuk

membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan siswa,

sehingga perlu memberdayakan semua potensi siswa untuk menguasai dan

memiliki kompetensi serta pencapaian perilaku khusus agar setiap individu

mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.

Tujuan lain dari pembelajaran yakni untuk mengetahui, memahami, melakukan

sesuatu, hidup dalam kebersamaan dan mengaktualisasikan diri. Dengan

demikian, menurut Fajar (2004:15) kegiatan pembelajaran perlu: (1) berpusat

pada siswa; (2) mengembangkan kreativitas siswa; (3) menciptakan kondisi

menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan nilai, etika, estetika, dan

kinestetika; (4) menyediakan pengalaman belajar yang beragam.

Saat ini, secara adaptif di Indonesia dikembangkan model praktik belajar

kewarganegaraan kami bangsa Indonesia atau biasa disebut Project Citizen yang

di dalamnya terdapat portofolio hasil belajar siswa. Model ini bisa dijadikan salah

satu alternative solusi dalam pembelajaran PKn supaya siswa lebih tertantang

untuk belajar dan pengetahuan yang dimiliki siswa lebih bermakna (powerfull).

Project citizen merupakan satu instructional treatment yang berbasis masalah

untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan

demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam

pemerintahan dan masyarakat sipil. Tujuan Project citizen adalah untuk

memotivasi dan memberdayakan para siswa dalam menggunakan hak dan

tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitian yang

Page 8: BAB I

8

intensif mengenai masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat

mereka berinteraksi (Budimansyah, 2009:1-2).

Dasar pemikiran Project Citizen menurut Branson (1999:1-6) terletak pada

satu kerangka yang dilandasi oleh lima bagian tentang gagasan pendidikan dan

politik. Pertama, demokrasi memerlukan pemerintahan sendiri dan karenanya

memerlukan keterlibatan dan berpengetahuan warganegara dalam kehidupan

bernegara. Satu komponen yang sangat diperlukan tentang keterlibatan

warganegara adalah partisipasi dalam proses pembuatan kebiajakan publik.

Kedua, para siswa harus belajar bagaimana menjai terlibat dalam kehidupan

berwarganegara dengan terlibat didalamnya, yaitu dengan menyandang

kewarganegaraan yang bertanggung jawab dan efektif. Siswa yang dilibatkan

dalam pembelajaran praktis, eksperimental akan lebih antusias dan bersemangat

dibanding dengan yang tidak ikut serta dalam jenis kegiatan ini. Ketiga, karena

para siswa menggali masalah-masalah yang ada dikomunitas mereka sendiri,

maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempertimbangkan tentang

hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti hal-hal yang meliputi hak

individu dan kepentingan bersama, peraturan yang disepakati kelompok mayoritas

dan hak kaum minoritas, kebebasaan serta persamaan. Keempat, project citizen

dimaksudkan untuk diterapkan terutama oleh siswa sekolah menengah atau usia-

usia remaja pradini (sekitar 10-15 tahun); tetapi program tersebut juga digunakan

oleh oldest adolescents) anak remaja yang menginjak dewasa di beberapa sekolah.

Sebab anak remaja pradini mulai bergeser dari pemikiran konkrit menuju

pemikiran abstrak dan sering berhadapan dengan masalah baik dan buruk, sah

Page 9: BAB I

9

atau tidaknya hak untuk bertindak dan jawaban-jawaban alternatif atas situasi

yang menyulitkan. Kelima, Project citizen menganggap kaum muda sebagai

sumber kewarganegaraan, sebagai anggota yang berharga dari komunitasnya yang

bernilai yang gagasan dan tenaganya dapat secara nyata dicurahkan pada

masalah-masalah kebijakan publik. Keikutsertaan siswa sebagai warganegara

muda tidak hanya merupakan wahana yang lebih baik untuk meningkatkan

pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokrasi, tetapi juga

makin baik bagi masyarakat karena siswa tersebut mempermudah organisasi

pemerintahan dan masyarakat bekerja melewati masalah-masalah penting di

masyarakat.

Beberapa pemikiran di atas sejalan dengan empat pilar pendidikan yang

dicanangkan oleh UNESCO (Budimansyah, 2002:40) yakni 1) learning to do

(peserta didik mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman

belajarnya); 2) learning to know (belajar untuk mengetahui sendiri

pengetahuannya); 3) learning to be (belajar untuk membangun pengetahuan dan

kepercayaan diri); 4) learning to live together (belajar untuk memahami

kemajmukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap

keanekaragaman dan perbedaan hidup. Selain itu, project citizen dilandasi juga

oleh pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa semua peserta didik

mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki

gagasan/pengetahuan tentang lingkungannya dan peristiwa/gejala lingkungan di

sekitarnya meskipun seringkali naïf dan miskonsepsi. Tetapi pada intinya dalam

kegiatan pendidikan harus memulai pelajaran dari apa yang diketahui oleh peserta

Page 10: BAB I

10

didik. Hal lain yang bisa dicermati, bahwa Project citizen mengembangkan

democratic teaching, maksudnya bahwa proses pembelajaran yang berlangsung di

sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Budimansyah (2002 : 5–7)

mengatakan bahwa pembelajaran demokratis (democratic teaching) adalah suatu

bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan kehidupan demokrasi

melalui proses pembelajran yang demokratis. Secara singkat democratic teaching

adalah proses pembelajran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu

penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan

kesempatan, dan memperhatikan keragaman perserta didik. Dalam prakteknya

para pendidik hendaknya memposisikan peserta didik sebagai insan yang harus

dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan

potensinya.

Untuk itu diperlukan suasana terbuka, akrab, dan saling menghargai, dan

sebaliknya perlu dihindari suasana belajar kaku, penuh dengan ketegangan, dan

sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif,

tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kelelahan. Sebab, sikap demokratis

yang ditampilkan guru di kelas dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh

terhadap pengembangan sikap demokratis seseorang.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, gelombang demokratisasi yang

terjadi di Indonesia menuntut semua pihak mewujudkan kehidupan demokrasi di

segala bidang. Dalam upaya meningkatkan kultur dan nilai-nilai demokratis,

aspek sekolah dan program pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap

demokratis. Pengembangan kultur hidup yang demokratis tergantung pada sistem

Page 11: BAB I

11

pendidikan demokratis yang diterapkan di lingkungan pendidikannya. Sekarang

masalahnya adalah bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan

sekolah yang demokratis, agar nilai-nilai demokrasi tumbuh dan berkembang

dalam segala aspek kehidupan warganegara.

Konsep demokrasi secara etimologis memiliki arti yang cukup sederhana

yang berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti

rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti

kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos

(demokrasi) memiliki arti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk

rakyat (Azra, 2008:39), tetapi dibalik kesederhanaannya, demokrasi memiliki

makna yang sangat luas. Demokrasi erat kaitannya tidak hanya dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, tetapi juga dalam dunia pendidikan. John Dewey (1916)

mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara pendidikan dengan

demokrasi. Ketika berbicara mengenai demokrasi maka tidak akan terlepas

dengan pendidikan. Dengan demikian demokrasi harus senantiasa diajarkan dan

dipraktekkan untuk merangsang kegiatan berpikir kritis siswa, karena demokrasi

tidak langsung datang dari langit dan tidak didapat melalui pewarisan tetapi

merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran dan penghayatan

(Azra, 2008:41). Sebuah adogium mengatakan “demokrasi dalam suatu negara

akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warganegara yang memiliki kehidupan

demokratis” (Budimansyah, 2002: 5). Dalam hal ini, Project citizen memberikan

kesempatan kepada para siswa untuk berdemokrasi ambil bagian dalam

pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktekkan berpikir kritis, dialog,

Page 12: BAB I

12

debat, negosiasi, kerjasama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi

warganegara (civic action), yakni melaksanakan kewajiban sebagai warganegara

untuk kepentingan bersama (CCE, 1999).

Pada dasarnya Prozect Citizen dikembangkan dari model pendekatan

berpikir kritis atau reflektif sebagaimana dirintis oleh John Dewey (1900) dengan

paradigm “how we think” atau model reflective inquiry yang dikemukakan oleh

Barr, dkk (1978) dalam Budimansyah, (2009:10). Oleh karena itu, guru harus

memahami konsep democratic teaching seperti yang telah disinggung di atas,

maksudnya bahwa proses pembelajaran di sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai

demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung tinggi keadilan,

menerapkan persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman peserta didik

(Budimansyah, 2002:7). Dengan kata lain, untuk bisa merangsang siswa untuk

berpikir kritis, guru harus bisa memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi

siswa dalam mengeksplorasi pengetahuan yang harus dimilikinya. Jadi, dalam hal

ini guru tidak mendominasi dan hanya bertugas sebagai fasilitator dan

pembimbing dalam proses pembelajaran.

Mengacu pada berbagai teori yang telah dikemukakan di atas, dan

berdasarkan berbagai penemuan pada penelitian sebelumnya dapat disimpulkan

bahwa project citizen merupakan salah satu alternative yang dapat digunakan

untuk memperbaiki kualitas pembelajaran PKn melalui proses belajar konstruktif

(siswa membangun pengetahuannya sendiri) yang dapat meningkatkan

keterampilan berpikir dan membentuk warganegara yang demokratis, smart and

good citizen.

Page 13: BAB I

13

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis berminat untuk

mengkaji lebih mendalam mengenai model Project Citizen ini. Secara umum

masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar model

Project Citizen dalam Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh terhadap

keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep demokrasi?”. Dari rumusan umum

tersebut, selanjutnya penulis identifikasi beberapa permasalahan yang akan

diteliti, yaitu:

1. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam mengidentifikasi masalah-

masalah demokrasi terhadap peningkatatan keterampilan berpikir kritis siswa?

2. Seberapa besar pengaruh aktivitas siswa dalam kegiatan memilih masalah

tentang demokrasi untuk kajian kelas terhadap keterampilan berpikir kritis

siswa?

3. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siwa dalam mengumpulkan informasi

tentang masalah-masalah demokrasi yang akan dikaji terhadap keterampilan

berpikir kritis siswa?

4. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam mengembangkan portofolio

kelas terhadap keterampilan berpikir kritis siswa?

5. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio kelas

tentang masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa?

6. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam merefleksikan pengalaman

belajarnya terhadap keterampilan berpikir kritis siswa?

Page 14: BAB I

14

7. Apakah terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara siswa

yang mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang

mendapatkan model pembelajaran konvensional?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui pengaruh model

Project Citizen dalam Pendidikan Kewarganegaraan terhadap keterampilan

berpikir kritis siswa pada konsep demokrasi. Sedangkan secara rinci tujuan

penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengidentifikasi

masalah-masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa .

2. Untuk mengetahui pengaruh aktivitas siswa dalam memilih masalah tentang

demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

3. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengumpulkan

informasi tentang masalah-masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir

kritis siswa.

4. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengembangkan

portofolio kelas terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

5. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio

kelas mengenai masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

6. Untuk mengetahui pengaruh merefleksikan pengalaman belajar terhadap

keterampilan berpikir kritis siswa.

Page 15: BAB I

15

7. Untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa yang

mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang

mendapatkan model pembelajaran konvensional.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat penulis sumbangkan dari hasil penelitian yakni secara

teoritis untuk pengembangan strategi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan

dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa melalui penggunaan

Project Citizen. Selain itu, manfaat praktis yang bisa diberikan, sebagai berikut:

1. Berguna bagi Universitas Pendidikan Indonesia, khususnya jurusan Pendidikan

Kewarganegaraan sebagai institusi Pembina prosfesi guru yang

mempersiapkan profesionalisasi calon guru Pendidikan Kewarganegaraan agar

lebih peka dan terbuka dalam mengembangkan inovasi pembelajaran sebagai

uapaya meningkatkan kualitas pendidikan dan merespon tantangan di era

gobalisasi.

2. Bagi guru, diharapkan Project Citizen dapat dijadikan sebagai salah satu

rujukan dalam pembelajaran PKn sehingga dapat meningkatkan pemahaman

konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa.

3. Bagi siswa, diharapkan dengan menggunakan Project Citizen dapat menjadi

motivasi sehingga siswa tertantang dan lebih bergairah untuk belajar.

4. Bagi penulis, dapat menambah wawasan penelitian dalam memahami Project

Citizen dan menjadikan masukan dalam perbaikan profesionalitas mengajar.

Page 16: BAB I

16

E. Asumsi Penelitian

Asumsi yang digunakan sebagai dasar dalam mengajukan hipotesis

penelitian adalah hasil kajian teori seperti dikemukakan Cogan & Derriccot

(1998:116) dalam Budimansyah & Suryadi (2008:39) bahwa “salah satu

karakteristik yang harus dimiliki warganegara adalah “…kemampuan untuk

berpikir kritis dan sistematis…”. Oleh karena itu, peran pendidikan

kewarganeagraan sangat penting dalam mencetak warganegara yang mampu

berpikir secara kritis, analitis dan sistematis supaya dapat berpartisipasi aktif

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam

proses pembelajaran PKn seharusnya guru sebagai pembimbing dapat

memberdayakan siswa supaya dapat merangsang kegiatan berpikir kritis siswa.

Selain itu, penelitian ini juga berdasarkan pada asumsi bahwa:

1) Model Project Citizen dapat memfasilitasi terjadinya proses latihan berpikir

untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa.

2) Tahap-tahap pelaksanaan model Project citizen dapat memicu keterlibatan

siswa secara aktif sehingga keterampilan berpikir kritisnya dapat diberdayakan

dan dapat mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.

3) Project citizen dapat melatih keterampilan sosial seperti bekerja secara ilmiah,

mengajukan dan menjawab pertanyaan, bekerjasama, dan berkomunikasi

antara sesama siswa, antara siswa dengan guru, dan siswa dengan sumber-

sumber data baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Page 17: BAB I

17

F. Hipotesis Penelitian

Atas dasar asumsi penelitian yang dikemukakan di atas, maka hipotesis

dari penelitian ini adalah “Implementasi model project citizen dalam Pendidikan

Kewarganegaraan berpengaruh signifikan terhadap keterampilan berpikir kritis

siswa pada konsep demokrasi”. Sedangkan secara rinci hipotesis penelitian ini

yaitu:

1) Keterlibatan siswa terlibat dalam mengidentifikasi masalah-masalah

demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

2) Keterlibatan siswa dalam kegiatan memilih masalah tentang demokrasi

untuk kajian kelas, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

3) Keterlibatan siswa dalam mengumpulkan informasi tentang masalah-

masalah demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis.

4) Keterlibatan siswa dalam mengembangkan portofolio kelas, berpengaruh

terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

5) Keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio kelas tentang masalah

demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

6) Keterlibatan siswa dalam merefleksikan pengalaman belajarnya,

berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.

7) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa yang

mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang

mendapatkan model pembelajaran konvensional

Page 18: BAB I

18

G. Definisi Operasional

Untuk memperjelas konsep dan variabel yang diteliti supaya tidak

mengundang tafsir yang berbeda, maka dirumuskan definisi operasional atas

variabel penelitian sebagai berikut:

1. Pengaruh

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995), pengaruh diartikan sebagai

daya yang ditimbulkan dari sesuatu yang ikut membentuk watak, kepercayaan,

dan perbuatan seseorang. Jadi yang dimaksud pengaruh dalam penelitian ini

adalah pengaruh dari model project citizen terhadap keterampilan berpikir kritis

siswa setelah pembelajaran berlangsung.

2. Implementasi

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995), implementasi merupakan kata

serapan dari bahasa Inggris implementation yang artinya penerapan atau

pelaksanaan. Pelaksanaan yang dimaksud adalah pelaksanaan model project

citizen dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

3. Model

Model menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya pola atau contoh, acuan

dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan atau gaya suatu pola yang dilakukan

secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam ensiklopedi Indonesia (Jilid 4),

dijelaskan bahwa model merupakan kata pengecil dari “modo” yang artinya sifat,

cara dan representasi kecil dari suatu benda atau keadaan untuk mengembnagkan,

Page 19: BAB I

19

menjelaskan atau menemukan sifat-sifat bentuk aslinya. Model yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Dahlan, M. D:1990) mengartikan

model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang ditetapkan dalam

menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memberikan setting lainnya.

4. Model Project Citizen

Model Project citizen merupakan salah satu instructional treatment yang

berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak

kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan

dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (Budimansyah, 2009:1). Dimensi-

dimensi yang terdapat dalam pembelajaran konsep demokrasi dengan

menggunakan project citizen yaitu identifikasi dan analisis masalah tentang

konsep demokrasi, memilih masalah sebagai bahan kajian kelas yang berkaitan

dengan konsep demokrasi, mengumpulkan informasi untuk memecahkan

masalah-masalah seputar maslah-masalah demokrasi, mengembangkan portofolio

kelas mengenai permasalahan demokrasi, menyajikan portofolio kelas tentang

demokrasi, merefleksikan pengalaman belajar seputar demokrasi.

5. Pendidikan Kewarganegaraan

“Civic education” menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4),

didefinisikan sebagai berikut:

“Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and in particular the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.”

Page 20: BAB I

20

Berdasarkan definisi tersebut dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan

dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk

mengambil peran dan tanggung jawab sebagai warganegara. Secara khusus

pendidikan kewarganegaraan memiliki peran pendidikan termasuk didalamnya

persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara.

Cogan (1999:4) mendefinisikan civic education sebagai “…the foundation course

work inschool designed to prepare young citizen for an activerole in the their

communities in their adult lives”. Artinya bahwa pendidikan kewarganegaraan

merupakan suatu mata pelajaran di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan

warganegara muda agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam

masyarakatnya. Kemudian menurut Branson (1999: 4), bahwa pendidikan

kewarganegaraan merupakan pendidikan demokrasi untuk mengembangkan dan

memperkuat pemerintah otonom (self govermnet), yakni pemerintahan otonom

yang demokratis dimana warganegaranya aktif terlibat dalam pemerintahannya

sendiri. Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn

merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan

warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil dan partisipasif

dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, baik di tingkat lokal, nasional,

maupun global”. Hal ini sejalan dengan pengertian Pendidikan kewarganegaraan

yang dikemukakan oleh Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi

Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada

pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak

Page 21: BAB I

21

dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil,

dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945.

6. Keterampilan Berpikir Kritis

Robert Ennis (Hassoubah, 2004:87) memberikan definisi berpikir kritis

adalah berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang

apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, lebih

lanjut Ennis mengatakan bahwa “untuk dapat menguasai proses berpikir kritis ada

baiknya terlebih dahulu mengenal kecenderungan dan kemampuan untuk

menentukan apa yang mesti dipercayai atau dillakukan”. Menurut R.H Ennis

(dalam Hassoubah, 2004:91) bentuk kecenderungan ini terdiri atas tiga belas

komponen yaitu: (1) mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan, (2)

mencari atau menganalisis argumen, (3) berusaha mengetahui informasi dengan

baik, (4) memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya, (5)

memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan yang berkaian dengan

observasi dan menilai laporan hasil observasi, (6) berusaha tetap relevan dengan

ide utama, (7) mengingat kepentingan yang asli dan mendasar, (8) mencari

alternatif, (9) bersikap dan berpikir terbuka, (10) mengambil posisi ketika ada

bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu, (11) mencari penjelasan sebanyak

mungkin apabila memungkinkan, (12) bersikap secara sistematis dan teratur

dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalaha, (13) peka terhadap tingkat

keilmuan dan keahlian orang lain. Sedangkan aspek kemampuan menurut Ennis

Page 22: BAB I

22

(dalam Hassoubah, 2004:92) adalah keterampilan untuk: (1) menentukan

kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak

relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan

mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikais bias yang ada,

(6) mengidentifikasi sudut pandang, (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan

untuk mendukung pengakuan.

7. Konsep demokrasi

Konsep demokrasi secara etimologis memiliki arti yang cukup sederhana

yang berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti

rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti

kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos

(demokrasi) memiliki arti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk

rakyat (Azra, 2008:39). Menurut Sidney Hook (dalam Azra, 2008:39) demokrasi

merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang

penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan

mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat. Pendapat Hook sejalan dengan

pemikiran Henry B. Mayo (1980:166) yang mengemukakan bahwa demokrasi

merupakan suatu system yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan

atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat

dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik

dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Page 23: BAB I

23

H. Kerangka Pemikiran

Untuk lebih memperjelas penelitian yang dilakukan, dibawah ini dapat

dilihat kerangka berpikir penelitian, sebagai berikut:

Bagan 1.1 Kerangka Berpikir Penelitian

Tantangan warganegara abad 21

Model Project Citizen:Model Multi materi, multi metoda, multimedia dan multi sumber baik buku maupun

masyarakat. Dengan prinsip belajar siswa aktif, Kelompok belajar kooperatif, Pembelajaan partisipatorik dan Reactive teaching

Warganegara muda (young citizenship) yang berpatisipasi

aktif dalam pengambilan keputusan (kebijakan public) di lingkungan masayarakat, bangsa

dan negara

Peran dan tanggung jawab Pendidikan Kewarganegaraan

Upaya Guru PKn dalam memberdayakan keterampilan

berpikir kritis siswa

Warganegara yang memiliki karakteristik yang salah

satunya adalah mampu berpikir kritis dan sistematis.

(Cogan:1999)

Temuan Penelitian

Kesimpulan dan Rekomondasi

Siswa memiliki keterampilan berpikir kritis dan mampu

berpartisipasi aktif sebagai warganegara muda