bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan gangguan spektrum metabolik yang telah menjadi
salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Selama 30 tahun terakhir diabetes mellitus
telah diakui sebagai penyakit utama yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tuubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah.
Periodontitis, merupakan suatu inflamasi jaringan yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor yaitu faktor lokal dan keadaan sistemik. Periodontitis juga memliki banyak efek yang
luas bukan hanya sekedar infeksi mulut lokal, periodontitis yang parah dapat menimbulkan
respon sistemik, dengan bakteri dan produk-produk yang dihasilkan oleh bakteri yang
memasuki system sirkulasi dari tubuh.
Periodontitis dan diabetes militus memiliki dua hubungan yang saling
berikatan,dimana diabetes militus bisa menjadi faktor yang dapat memperburuk penyakit
periodontal, begitu juga sebaliknya periodontitis juga merupakan faktor yang dapat
memperburuk diabaetes militus.
Profesi dokter gigi sebagian dari tenaga kesehatan, sebaiknya dapat mengetahui
berbagai kondisi atau penyakit ronnga mulut yang dapat mempengaruhi atau memperburuk
penyakit lainnya dalam tubuh ataupun sebaliknya. Salah satunya adalah hubungan antara
periodontitis dan diabetes militus.
1.2 Tujuan
Tujuan Umum
1. Setelah membuat makalah ini, diharapkan dapat menunjang aktivitas
perkuliahan khususnya mata kuliah Periodonsia II , serta dapat mengetahui
masalah periodontitis sebagai faktor resiko yang dapat mempengaruhi atau
memperburuk penyakit sistemik, diabetes militus.
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan dasar dari penyakit diabetes militus.
2. Menjelaskan definisi dan patofisiologi dari periodontitis serta berbagai
menifestasinya .
3. Menjelaskan pengaruh dari periodontitis terhadap penyakit sistemik, diabetes
militus.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Diabetes Militus
2.1.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2002, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
Penyakit diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang berlangsung kronik
progresif, dengan gejala hiperglikemi yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin,
gangguan kerja insulin, atau keduanya (Darmono, 2007).
Diabetes melitus merupakan kelainan yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan definisi kerja dan atau sekresi insulin secara absolut atau relatif
(Hadisaputro dan Setyawan, 2007).
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
A. Menurut ADA (American Diabetes Association) tahun 2002 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Iinsulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM
Destruksi sel beta, umunya menjurus ke defisiensi insulin absolut
a. Melalui proses imunologik
Bentuk diabetes ini merupakan diabetes tergantung insulin, biasanya disebut
sebagai juvenile onset diabetes. Hal ini disebabkan karena adanya destruksi
sel beta pankreas karena autoimun. Kerusakan sel beta pankreas bervariasi,
kadang-kadang cepat pada suatu individu dan kadang-kadang lambat pada
individu yang lain. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis. Pada diabetes tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali
sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang
jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Sebagai markeer
terjadinya sel beta pankreas adalah autoantibodi sel pulau langerhans dan
atau aoutoantibodi sel pulau langerhans dan atau antibodi insulin dan
autoantibodi asam glutamat dekarboksilase sekitar 80-90 % terdeteksi pada
diabetes tipe ini. Diabetes melitus autoimun ini terjadi akibat pengaruh
genetik dan faktor lingkungan.
b. Idiopatik
Terdapat beberapa diabetes tipe 1 yang etiologinya tidak diketahui. Hanya
beberapa pasien yang diketahui mengalami insulinopenia dan cenderung
untuk terjadinya ketoasidosis ttapi bukan dikarenakan autoimun. Diabetes
ini biasanya oleh individu asal afrika dan asia.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (Insulin Non-dependent Diabetes Melitus)
Bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin).
Pada penderita diabetes melitus tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena resistensi insulin
yang merupakan trunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin akan mengakibatkan defisiensi relatif
insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain sehingga sel
beta pankreas akan mengalami desensitasi terhadap adanya glukosa. Onset
diabetes meliyus ini perlahan-lahan karena itu, gejalanya tidak terlihat
(asimtomatik). Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan
mengakibatkan pula kesensitifan akan glukosa perlahan-lahan berkurang. Oleh
kaarena itu, diabetes tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
Komplikasi yang terjadi karena ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat
antibiotik oral.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
Defek genetik fungsi sel beta
kromosom 12, kromosom 7, kromosom 20, deoxyribonucleid acid (DNA)
Mitokondria.
Defek genetik kerja insulin
Resistance insulin type A, leprechaunism, sindrom Rabson-Mendenhall,
diabetes lipoatrofik, lainnya.
Penyakit Eksokrin Pankreas
Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, Neoplasma, Cystic fibrosis,
hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus.
Endokrinopati
Akromegali, sindroma cushing, feokromositoma, hipertiroidisme,
somatostatinoma, aldosteronoma.
Karena Obat/Zat kimia
Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, tiazid,
dilantin, interferon alfa, diazoxide, agonis β-adrenergic.
Infeksi
Rubella kongenital dan cytomegalovirus (CMV).
Imunologi (jarang)
antibodi anti reseptor insulin, sindrom ”Stiff-man”.
Sindroma genetik lain
Sindrom Down, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Sindrom Prader
Willi, ataksia friedreich’s, sindrom laurence-Moon-Biedl.
4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan).
Pada golongan ini, kondisi diabetes dialami sementara selama masa
kehamilan. Artinya kondisi intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa
kehamilan, biasanya pada semester kedua dan ketiga. Diabetes melitus gestasional
berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal (sekitar waktu melahirkan)
dan sang ibu memiliki resiko untuk menderita penyakit DM yang lebih besar dalam
jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. Diabetes tipe ini merupakan
intoleransi karbohidrat akibat terjadinya hiperglikemia dengan berbagai keparahan
dengan serangan atau pengenalan awal selama masa kehamilan.
Pada wanita hamil, jumlah hormon estrogen yang dimiliki lebih banyak daripada
wanita normal karena plasenta juga menghasilkan estrogen yang bekerja secara
simpatis sehingga secara tidak langsung menghambat pengeluaran insulin,
mengakibatkan aktivasi glukagon untuk memecah glikogen yang menyebabakan
kadar gula darah pada wanita hamil meningkat.
2.1.3 Gambaran Klinis
Adanya penyakit diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari
oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian dalam
Soegondo dkk (2002) ialah :
a. Keluhan Klasik
Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah tanpa sebab yang jelas
Banyak kencing (poliuria)
Banyak minum (polidipsia)
Banyak makan (polifagia)
b. Keluhan Lain
Gangguan saraf tepi / kesemutan
Gangguan penglihatan (kabur)
Gatal / bisul yang hilang timbul
Gangguan Ereksi
Keputihan
Gatal daerah genital
Infeksi sulit sembuh
Cepat Lelah
Mudah mengantuk
2.1.4 Diagnosis
Penyakit ini mudah diketahui dengan cara memeriksakan kadar glukosa darah. Yang sulit
adalah bila tidak ada gejala. Diagnosis diabetes dalam Soegondo dkk (2006) dipastikan bila
:
a. Terdapat keluhan khas diabetes (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) disertai dengan satu nilai pemeriksaan
glukosa darah tidak normal (glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau glukosa darah
puasa ≥ 126 mg/dl).
b. Terdapat keluhan khas yang tidak lengkap atau terdapat keluhan tidak khas (lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus vulvae) disertai dengan dua
nilai pemeriksaan glukosa darah tidak normal (glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
danlatau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl yang diperiksa pada hari yang sarna atau
pada hari yang berbeda).
Tabel 2-2. Pentuan diagnosis diabetes melitus menggunakan kadar gula darah
Bukan Belum DM
DM Pasti DM
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Plasma vena < 100 100-199 ≥ 200
Darah Kapiler < 90 90-99 ≥ 200
Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) Plasma vena <100 100-125 ≥126
Darah Kapiler < 90 90-99 ≥ 100
Dari tabel diatas untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,
dilakukan pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa
faktor resiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Kriteria diagnostik WHO :
Kriteria Diagnosis:
1) Gejala klasik DM + gula darah sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu merupakan
hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir.
2) Kadar gula darah puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam.
3) Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan Standard
WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang
dilarutkan dalam air.
2.2 Periodontitis
2.2.1 Definisi
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada
jaringan penyangga gigi (jaringan periodontium). Yang
termasuk jaringan penyangga gigi adalah gusi, tulang yang
membentuk kantong tempat gigi berada, dan ligamen
periodontal (selapis tipis jaringan ikat yang memegang gigi
dalam kantongnya dan juga berfungsi sebagai media peredam
antara gigi dan tulang).
Suatu keadaan dapat disebut periodontitis bila
perlekatan antara jaringan periodontal dengan gigi mengalami
kerusakan. Selain itu tulang alveolar (tulang yang menyangga
gigi) juga mengalami kerusakan. Periodontitis dapat
berkembang dari gingivitis (peradangan atau infeksi pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi
akan meluas dari gusi ke arah tulang di bawah gigi sehingga menyebabkan kerusakan yang
lebih luas pada jaringan periodontal.
2.2.2 Poket periodontal
Menurut Fedi dkk (2004), poket adalah pendalaman sulkus gingiva secara patologis karena
penyakit periodontal. Pendalaman sulkus dapat terjadi karena tiga hal: (1) pergerakan tepi
gusi bebas ke arah koronal, seperti pada gingivitis; (2) perpindahan epitel fungsional ke
arah apikal, bagian koronal epitel terlepas dari permukaan gigi; dan (3) kombinasi
keduanya. Poket dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Poket gingiva (pseudopocket/poket semu)
Poket gingiva adalah pendalaman sulkus gingiva sebagai akibat dari pembesaran gingiva.
Tidak terjadi migrasi epitel jungsional ke apikal atauresorpsi puncak tulang alveolar
2. Poket supraboni
Poket supraboni adalah pendalaman sulkus gingiva disertai dengan kerusakan serabut
gingiva di dekatnya, ligamen periodonsium, dan puncak tulang alveolar, yang dikaitkan
dengan migrasi epitel jungsional ke apikal. Dasar poket dan epitel jungsional lebih koronal
dibandingkan puncak tulang alveolar. Poket supraboni dihubungkan dengan resorpsi tulang
horizontal, yaitu penurunan ketinggian puncak alveolar keseluruhan, umumnya puncak
tulang dan permukaan akar membentuk sudut siku-siku.
3. Poket infraboni
Poket infraboni adalah pendalaman sulkus gingiva dengan posisi dasar poket dan epitel
jungsional terletak lebih ke apikal dibandingkan puncak tulang alveolar. Poket infraboni
dihubungkan dengan resorpsi tulang vertical (resorpsi tulang angular), yaitu kehilangan
tulang yang membentuk sudut tajam terhadap permukaan akar.
2.2.3 Gambaran Klinis
Gambaran klinik seperti merah, marginal gingiva menebal, zona
vertikal merah kebiru-biruan dari margin gingiva sampai mukosa
alveolar, perdarahan gingiva atau supurasi, pergeseran gigi, dan
diastem formasi dan gejala seperti sakit secara lokal atau sakit
yang dalam “pada tulang” gejala periodontal poket. Metode
menemukan poket periodontal dan menentukan luasnya
adalah berhati-hati memeriksa margin gingiva sekitar permukaan gigi.
2.2.4 Patogenesis
Poket periodontal disebabkan oleh mikroorganisme dan produk-produknya, yang
membuat perubahan jaringan patologi membuat sulkus gingiva dalam. Pada dasar
kedalaman, kadang-kadang sulit untuk membedakan kedalaman sulkus normal dengan
poket periodontal dangkal. Perubahan meliputi transisi dari sulkus gingiva normal ke
patologi poket periodontal dihubungkan dengan perbedaan proporsi sel-sel bakteri pada
plak gigi. Gingiva sehat dihubungkan dengan beberapa mikroorganisme, paling banyak sel
kokus dan batang. Penyakit gingiva dihubungkan dengan peningkatan jumlah spirochetes
dan batang bergerak.
Formasi poket dimulai dari inflamasi di dinding jaringan ikat sulkus gingiva yang
disebabkan bakteri plak. Sel dan eksudat cairan inflamasi menyebabkan degenerasi sekitar
jaringan ikat, termasuk serabut gingiva.
Sebagai akibat kehilangan kolagen, bagian apikal epithelium junction berproliferasi
sepanjang akar, pemanjangan seperti proyeksi dua atau tiga jari.
Bagian korona epithelium junction melepaskan/memisahkan dari akar sebagai migrasi
bagian apikal. Sebagai hasil inflamasi, polymorfonuklear neutrofil (PMNs) menginvasi
ujung korona epithelium junction dalam meningkatkan jumlahnya. PMNs tidak bergabung
satu sama lain atau sisa dari epithelium desmosom.
Perpanjangan epithelium junction sepanjang akar membutuhkan sel epitelial yang
sehat. Ditandai dengan degenerasi atau nekrosis epithelium junctional memperlambat
daripada mempercepat pembentukan poket.
Derajat infiltrasi leukosit epithelium junctional bebas dari volume inflamasi
jaringan ikat, sehingga proses ini dapat terjadi pada gingiva dengan hanya sedikit gejala
inflamasi klinik.
Dengan meneruskan inflamasi, gingiva meningkatkan bagian terbesar, dan puncak
margin gingiva memperpanjang ke mahkota. Epithelium junction melanjutkan migrasi
sepanjang akar dan memisahkannya. Epithelium dinding lateral poket berproliferasi
kedalam bentuk bulat seperti pada pemanjangan kawat (cord-like extendsions) ke dalam
inflamasi jaringan ikat. Leukosit dan edema dari inflamasi jaringan ikat berinflitrasi ke
lapisan epithelium poket, menghasilkan berbagai derajat degenerasi dan nekrosis.
Plak Inflamasi gingiva Formasi poket formasi lebih banyak plak.
2.2.5 Aktivitas penyakit periodontal
Poket periodontal melewati periode kepasifan dan pembusukan. Periode kepasifan
dicirikan oleh pengurangan respon inflamasi dan sedikit atau tidak ada kehilangan tulang
dan ikatan jaringan ikat. Penambahan plak tidak terikat, dengan gram-negatifnya, motil,
dan bakteri anaerob, memulai periode pembusukan dimana tulang dan ikatan jaringan ikat
hilang dan poket mendalam. Periode ini dapat berakhir dan diikuti secepatnya oleh periode
remisi atau pembusukan dimana gram-positif bakteri berproliferasi dan kondisi lebih stabil.
2.2 Periodontitis sebagai faktor resiko dalam memperburuk Diabetes
Melitus
Hasil dari penelitian longitudinal ,menunjukkan bahwa pada dasarnya periodontitis
yang berat berhubungan dengan control glikemik yang buruk dan komplikasi diabetes.
(Taylor 1996, shultis 2007). Penyakit periodontal dapat menyebabkan peningkatan
inflamasi sistemik kronis. Infeksi bakteri akut dan virus dapat meningkatkan resistensi
insulin pada orang tanpa diabetes, dimana kondisi ini sering berlangsung selama
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan setelah pemulihan klinis dari penyakit. Infeksi
periodontal kronis gram-negatif juga dapat mengakibatkan peningkatan resistensi insulin
dan control glikemik yang buruk (Mealy dan Oates 2006).
Ada beberapa mekanisme berhubungan dengan infeksi periodontal dan control
glikemik. Inflamasi sistemik mempengaruhi sensitivitas insulin. Penelitian tingkat serum
CRP, IL-1b, TNFα, dan fibrinogen pada pasien dengan periodontitis menunjukkan adanya
peran aktif pada diabetes dalam memperburuk inflamasi sistemik yang kronik.
Penelitian telah dilakukan untuk mengkaji dampak periodontal pada control
glikemik terhadap pasien diabetes, termasuk dampak scaling, root planning, lokal
gingivektomi, dan pemberian antibiotic. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
scalling, dan root planning yang disertai dengan pemberian sistemik doksisiklin dapat
meningkatkan control glukosa darah. Suatu penelitian telah melaporkan penurunan dalam
HbA1c pada pasien diabetes dengan hanya scaling dan root planning dibandingkan dengan
sedikit peningktan yang tidak signifikan dalam kadar HbA1c pada suatu kelompok diabetes
yang tidak melakukan perawatan.
Antibodi yang merupakan pertahanan mukosa terhadap bakteri ialah IgA yang
dihasilkan oleh sekretori IgA glandula salivaris dan IgG serum pada eksudat inflamasi
gingiva, terdeteksi di saliva. Imuntias mukosa menahan invasi bakteri ke dalam jaringan,
tetapi b gingivalis menghasilkan enzim yang menyebabkan inaktivasi IgA dan IgG,
sehingga merusak pertahahnan lokal. Peningkatan bakteri menyebabkan metabolit
menembus epitel seperti asam lemak yang toksik terhadap jaringan, peptida terhadap
leukosit. Produk tersebut mengaktivasi sel epitel untuk melepaskan mediator inflamasi
seperti interleukin (IL), PGE2, matriks metalloproteinase (MMP) dan tumor nekrosis faktor
(TNF). Produk bakteri dan respons epitel mengaktifkan sel mast perivascular untuk
membebaskan histamine dan aktivasi sel endotel pada mikrosirkulasi. Pembuluuh
mikrosirkulasi inflamasi, vasodilatasi dan aliran darah lambat. Hubungan sel endotel
terbuka, cairan kaya protein keluar dan tertimbun pada matriks ekstraseluler.
Leukosit dan monosit mengaktivasi makrofag menghasilkan mediator respons imun
dan respon inflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-10, IL-12, TNFα, PGE2, MMP, IFN, dan
substansi kemotaktik. Makrofag menjadi sel efektor, mensekresi sitokin dan
mengekspresikan reseptor permukaan atau mempengaruhi respon imun spesifik antigen
yang ,erupakan target langsung.
Studi in vitro menyatakan IL-1 TNFα dan IFNγ pada konsentrasi kecil bersifat
sitostatik terhadap sel β pancreas, menghambat sintesis dan sekresi insulin tetapi keadaan
kembali normal dengan hilaangnya sitokin. Sitokin bersifat sitosidal bila kadar IL-1, TNFα
dan IFN γ meningkat, menyebebkan kerusakan sel β pancreas. Sitokin berpengaruh pada
reseptor tirosin kinase sebagai katalis langsung reaksi fosforilasi, sehingga sitokin
mempengaruhi respons seluler yang dihasilkan reseptor insulin misalnya pada transporter
glukosa, glikolisis dan sintesis glikogen. Reseptor sitokin bergabung dengan elemen insulin
substrat-1 (IRS-1) yang ditemukan pada sinyal insulin dan menyebabkan penurunan aliran
sinyal insulin. Reseptor insulin dapat bergabung membentuk komponen modular yang
multiple dan mempengaruhi beberapa system reseptor. Fungsi reseptor IL dan IFNγ adalah
menyusun ligan, mempengaruhi komponen sitoplasmik dan mempengaruhi resistensi
insulin.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
2. Periodontitis merupakan inflamasi dan destruksi kronik jaringan penyangga gigi,
dipengaruhi banyak faktor yaitu faktor lokal (kebersihan mulut, malposisi, dan
maloklusi gigi, trauma) dan keadaan sistemik (genetic, keseimbangan hormonal,
defisiensi vitamin, diabetes militus, defisiensi imunologis, obat-obatan, penyakit
kulit, ketidakseimbangan nutrisi, infeksi bakteri, virus dan jamur).
3. Periodontitis memiliki hubungan dengan diabetes melitus. Periodontitis merupakan
salah satu faktor yang memperburuk kondisi diabetes militus.
Sitokin pada periodontitis dapat mempengaruhi selβ pancreas dan menyebabkan
hambatan sintesis dan sekresi insulin, sehingga dapat memperburuk kondisi subjek
yang menderita diabetes yang juga menderita periodontitis.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi atau pengetahuan, khususnya bagi
tenaga kesehatan di bidang kedokteran gigi, dapat memahami hubungan penyakit
sistemik khususnya diabetes militus dengan periodontitis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abhijit GURAV and Varsha JADHAV, (2010) Periodontitis and risk of diabetes.
Journal of Diabetes.
2. Clerehugh Valerie, 2009. Periodontology at a Glance. UK: Wiley Blackwell
3. Dumitrescu l. Alexandria, 2010. Etiology and Pathogenesis of periodontal disease.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2010.
4. Edward J. Ohlrich, Mary P. Cullinan dan Jontahan W. Leichter (2010). Diabetes,
periodontitis and the subgingival microbiota. Journal of Oral Microbiology, Vol 2
(2010) incl Supplements
5. Lindhe Jan, 2008. Clinical periodontology and implant dentistry. 2008 by
Blackwell Munksgaard, a Blackwell Publishing company
6. Setiawati titiek, “Pengelolaan Kelainan Gigi dan Mulut pada
Penderita Kompromis Medik: Diabetes militus” dalam jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia 2000; 7 (Edisi Khusus) 279-
284.
7. Silvester-j Franscisco, (2009). Type 1 diabetes mellitus and periodontal disease:
relationship to different clinical variabels. Journal section: Special patients
8. Sudoyo W. Aru, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3.
Interna Publishing: Jakarta Pusat 2009.
9. Newman Michael, Takei Henry, dan Klollevold, Clinical Periodontologi
10. Oedijani, 2003. “Mekanisme Biokimia dan Biomolekuler komplikasi Diabetes
Melitus dan Periodontitis” dalam Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
2003 : 10 (edisi Khusus) 578-585
11. http/:periodontologi\journal perio\HUBUNGAN ANTARA PENYAKIT
PERIODONTAL DENGAN DIABETES MELITUS « Blisa Novertasari.htm