bab i
TRANSCRIPT
![Page 1: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma tumpul abdomen biasanya disebabkan oleh tabrakan kendaraan
bermotor, kecelakaan rekreasi, perkelahian, dan jatuh. Organ yang sering terkena
adalah limpa, hati, organ retroperineum, usus halus, ginjal, kandung kemih,
kolorektal, diafragma, dan pankreas. Laki – laki lebih sering cedera daripada
perempuan. Data dari WHO didapati bahwa penyebab utama adalah jatuh dari
ketinggian lebih dari 5 meter dan tabrakan kendaraan bermotor menjadi penyebab
kedua1.
Salah satu organ kita yang paling sering mengalami cedera pada suatu trauma
tumpul pada daerah perut atau toraks kiri bagian bawah adalah lien. Penyebab
utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung yang menyebabkan laserasi
kapsul linealis dan anulsi pedikel lien sebagian atau menyeluruh.
Pada trauma lien yang perlu diperhatikan adalah adanya tanda-tanda perdarahan yang
memperlihatkan keadaan hipotensi, syok hipovolemik dan nyeri abdomen pada
kuadran atas kiri dan nyeri pada bahu kiri karena iritasi diafragma.
Perdarahan lambat yang terjadi kemudian pada trauma tumpul lien dapat terjadi
dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada
separuh kasus, masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini terjadi karena adanya
tamponade sementara pada laserasi yang kecil atau adanya hematom subkapsuler
yang membesar secara lambat dan kemudian pecah.1
Managemen pada trauma limpa secara umum dapat dibagi menjadi dua yakni
secara non-operatif atau konservatif dan secara operatif dengan splenektomi atau
splenorraphy tergantung kondisi pasien. Beberapa penelitian menetapkan
keberhasilan dan keamanan yang didapatkan oleh terapi non-operatif ini. Selain itu,
oleh karena resiko sepsis yang terjadi karena splenektomi, menyebabkan penanganan
1
![Page 2: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/2.jpg)
trauma limpa berupa konservatif menjadi pilihan kecuali jika terdapat gangguan
hemodinamik.2
Tehnik operatif splenektomi adalah adalah sebuah metode operasi
pengangkatan limpa, yang mana organ ini merupakan bagian dari sistem getah
bening. Splenektomi biasanya dilakukan pada trauma limpa, penyakit keganasan
tertentu pada limpa (hodkin`s disease dan non-hodkin`s limfoma, limfositis kronik,
dan CML), hemolitik jaundice, idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk tumor,
kista dan splenomegali. Indikasi lainnya dilakukan splenektomi ialah pada keadaan
luka yang tidak disengaja pada operasi gaster atau vagotomy dimana melibatkan
flexura splenika di usus.1
Splenorrhapi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang
fungsional dengan tehnik bedah.Tindak bedah ini terdiri dari membuang jaringan non
vital, mengikat pembuluh darah yang terbuka dan menjahit kapsul lien yang terluka.2
BAB II
2
![Page 3: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/3.jpg)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Limpa
Spleen atau yang lazim disebut limpa atau lien adalah suatu organ limfatik
yang lunak dan vaskular. Organ ini tidak termasuk sistema digestivus, namun aliran
darah venanya menuju ke vena portae. Berasal dari differensiasi jaringan mesenkimal
mesogastrium dorsale. Berat limpa rata-rata berkisar antara 75-100 gr, pada dewasa
berukuran 12 x 7 x 4 cm, biasanya sedikit mengecil dengan bertambahnya umur
sepanjang tidak disertai adanya patologi lainnya. Letak organ ini dikuadran kiri atas
dorsal di abdomen, kira-kira ditutupi oleh iga 9 sampai iga 11. Limpa terpancang
ditempatnya oleh lipatan peritonium yng diperkuat oleh beberapa ligamenta
suspensoria. Limpa difiksasi oleh ligamentum gastrolienale dan ligamentum
lienaorenale. Limpa mempunyai facies diaphragmatica dan facies visceralis, margo
superior dan margo inferior, dan dua ujung yang dinamakan extremitas superior dan
extremitas inferior. Vasa lienalis dan nervus yang masuk keluar limpa melalui hilus
lienalis,terletak pada facies visceralis agak ke kaudal.2,3
Limpa dibungkus oleh kapsul serosa dan kolagen yang mana dari sini
trabekula menembus parenkim. Trabekula merupakan jaringan konektif padat, kaya
kolagen dan elastis. Diantara trabekula terdapat jaringan reticular yang menyusun
3
![Page 4: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/4.jpg)
parenkim limpa, yang mana terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih dan dibatasi oleh
zona marginal. Pulpa putih mengandung limfosit, makrofag, dan sel plasma. pulpa
merah terdiri atas sinus venous dan korda splenika, sementara zona marginal terdiri
dari vascular space. Di tempat inilah benda asing, fragmen sel dan plasma di
kumpulkan.2,3
2.2 Fisiologi Limpa
Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah
merah dan sel darah putih. Fungsi ini akan hilang pada masa dewasa. Namun limpa
mempunyai peran penting dalam memproduksi sel darah merah jika hematopoiesis
dalam sumsum tulang mengalami gangguan seperti pada gangguan hematologi.
Secara umum fungsi limpa di bagi menjadi 2 yaitu:
4
![Page 5: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/5.jpg)
1. Fungsi Filtrasi
Limpa berfungsi untuk membuang sel darah merah yang sudah tua atau sel
darah merah yang rusak misalnya sel darah merah yang mengalami gangguan
morfologi seperti pada spherosit dan sicle cells, serta membuang bakteri yang
terdapat dalam sirkulasi. Setiap hari limpa akan membuang sekitar 20 ml sel
darah merah yang sudah tua. Selain itu sel-sel yang sudah terikat pada Ig G
pada permukaan akan di buang oleh monosit. Limpa juga akan membuang sel
darah putih yang abnormal, platelet, dan sel-sel debris.
2. Fungsi Imunologi
Limpa termasuk dalam bagian dari sistem limfoid perifer mengandung
limfosit T matur dan limfosit B. Limfosit T bertanggung jawab terhadap
respon cell mediated immune (imun seluler) dan limfosit B bertanggung
jawab terhadap respon humoral. Fungsi imunologi dari limpa dapat di singkat
sebagai berikut:
a. Produksi Opsonin
Limpa menghasilkan tufsin dan properdin. Tufsin mempromosikan
Fagositosis. Properdin menginisiasi pengaktifan komplemen untuk
destruksi bakteri dan benda asing yang terperangkap dalam limpa.
Limpa adalah organ lini kedua dalam sistem pertahanan tubuh jika
sistem kekebalam tubuh yang terdapat dalam hati tidak mampu
membuang bakteri dalam sirkulasi.
b. Sintesis Antibodi
Immunoglobulin M (Ig M) diproduksi oleh pulpa putih yang berespon
terhadap antigen yang terlarut dalam sirkulasi
5
![Page 6: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/6.jpg)
c. Tempat Penyimpanan
Pada dewasa normal sekitar sepertiga (30 % ) dari platelet akan
tersimpan dalam limpa.
Keadaan patologis dapat terjadi karena 2 faktor utama yaitu peningkatan
kemampuan destruksi terhadap komponen-komponen darah dan produksi antibodi
yang terikat langsung terhadap komponen-komponen darah sehingga meningkatkan
proses destruksi berbagai komponen darah. Hipersplenisme merupakan suatu keadaan
dimana terjadi aktivitas yang berlebihan terhadap fungsi limpa menyebabkan
meningkatnya kemampuan eliminasi terhadap seluruh komponen seluler dan
sirkulasi.
Pada limpa kira-kira 20 ml sel darah merah yang tua didestruksi setiap
harinya, sedangkan neutrofil dieliminasi dari sirkulasi dengan waktu paruh 6 jam.
Neutropenia dapat terjadi pada beberapa keadaan hipersplenisme karena
meningkatnya sekuestrasi atau kemampuan eliminasi terhadap granulosit. Trombosit
dapat bertahan selama 10 hari dalam sirkulasi. Sepertiga dari total trombosit
disekuestrasi dilimpa dan hampir 80% dapat disekuestrasi jika terjadi hipersplenisme.
Pasien-pasien yang telah menjalani post splenektomi jumlah trombositnya dapat
mencapai 1 juta sel/mm3 yang mana hal ini dapat menyebabkan trombosis intravena.
Suatu kelainan imunologik tanpa hipersplenisme (contoh idiophatic trombositopenia
purpura) dapat juga meningkatkan kemampuan sekuestrasi.
2.3 Etiologi Trauma Limpa
Berdasarkan penyebab, ruptur limpa dapat dibagi berdasar trauma pada limpa yang
meliputi :
1. Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak,tusukan pisau atau benda
tajam lainnya. Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung
arah trauma. Yang tersering dicederai adalah paru, lambung, lebih jarang
6
![Page 7: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/7.jpg)
pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah mesenterium.
Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat
menimbulkan perdarahan. Perdarahan pasca slenografi ini jarang terjadi
selama jumlah trombosit ˃ 70.000 dan waktu protrombin 20% diatas
normal.
2. Trauma Tumpul
Limpa merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul
abdomen atau trauma toraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin disertai
kerusakan usus halus, hati dan pankreas. Penyebab utamanya adalah
cedera langsung atau tidak langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh
dari tempat tinggi, pada olahraga kontak seperti judo, karate dan silat.
Ruptur limpa yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu beberapa hari
sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh kasus masa laten
ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena adanya tamponade sementara pada
laserasi kecil, atau adanya hematom subkapsuler yang membesar secara
lambat dan kemudian pecah
3. Trauma Iatrogenik
Ruptur limpa sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian
atas, umpamanya karena retraktor yang dapat menyebabkan limpa
terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga hilus atau pembuluh darah
sekitar hilus robek. Cedera iatrogen dapat terjadi pada punksi limpa
(splenoportografi)
2.4 Diagnostik
2.4.1 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari trauma limpa bervariasi. Pasien dengan trauma tumpul
limpa dapat menimbulkan manifestasi klinik dengan banyak cara, Terdapat beberapa
pasien yang datang asimptomatik dan yang lainnya datang dengan gejala yang berat.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien yang keadaan umumnya stabil
adalah nyeri abdominal bagian atas kiri atau nyeri panggul. Meskipun begitu nyeri ini
7
![Page 8: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/8.jpg)
tidak dapat dijadikan acuan yang signifikan berasal dari limpa tetapi mungkin saja
berhubungan dengan jaringan, trauma pada tulang, dan iritasi peritoneal oleh karena
hemoperitoneum. Selain itu, tidak ditemukannya hematoma subkapsuler yang sesuai
dengan derajat trauma limpa akan lebih mendukung asal nyeri tersebut tidak berasal
dari limpa. Hal ini tidak menggambarkan bahwa limpa tidak memiliki sensor nyeri.
Serat nyeri terletak diantara kapsul limpa, dan dapat menimbulkan respon yang kuat
sebagai bukti beratnya gejala yang ada selama infark terjadi. Derajat nyeri
ditimbulkan oleh hematoma subkapsuler yng sering didapatkan oleh klinisi dan
pasien13.
Tanda fisik yang ditemukan pada trauma limpa bergantung pada adanya organ
lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi rongga
peritoneum. Perdarahan dapat sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan syok
hipovolemik hebat yang fatal. Dapat pula terjadi perdarahan yang berlangsung
sedemikian lambat sehingga sulit diketahui pada pemeriksaan. Pada ruptur yang
lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan
intraabdomen, atau seperti ada tumor intraabdomen pada bagian kiri atas yang nyeri
tekan disertai anemia sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma yang
terjadi sebelumnya sangat penting dalam menghadapi kasus ini13.
Jika disertai dengan perdarahan intra-abdominal yang volumenya melebihi 5-
10% volume darah, manifestasi klinis yang ditimbulkan berupa syok hipovolemik
dengan tanda-tanda takikardi, takipnea, gelisah, dan kecemasan. Pasien juga akan
mengalami pucat ringan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan capillary
refill dan tekanan darah. Semakin berat perdarahan yang terjadi dalam rongga
abdomen, akan menimbulkan distensi abdomen, tanda-tanda peritoneal dan syok.
Selain gejala-gejala tersebut sekitar 25-30% pasien juga mengkui mengalami
hipotensi. Hipotensi pada pasien yang dicurigai mengalami trauma limpa, utamanya
pada pasien muda dengan sebelumnya sehat, merupakan tanda yang tidak baik dan
membutuhkan penanganan operatif. Hal ini membutuhkan evaluasi dan penanganan
yang cepat. Pasien tidak stabil yang pada pemeriksaan CT-scan didapatkan trauma
limpa, lebih baik ditangani secara operatif.
8
![Page 9: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/9.jpg)
Nyeri di daerah puncak bahu disebut tanda Kehr, terdapat pada kurang dari
separuh kasus sebagai nyeri alih karena iritasi dari serat nervus di bawah diafragma.
Mungkin nyeri di daerah bahu baru timbul pada posisi Tredelenberg. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan masa di kiri atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak
akibat adanya hematom subkapsular atau omentum yang membungkus suatu
hematom ekstrakapsular disebut tanda Balance13.
2.4.2 Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium yang diperhatikan dlah jumlah sel darah
merah dan kadr hemoglobin yang jarang membantu penatalaksanaan trauma limpa.
Kedua pemeriksaan ini dapat mengetahui perkembangan penyakit bila dilakukan
secara serial. Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu
biasanya didapat leukositosis. Pemeriksaan kadar Hb, hemtokrit, leukosit dan
urinalisis. Bila terjadi perdarahan akan menurunkan Hb dan hematokrit serta terjadi
leukositosis. Sedangkan bila terdapat eritrosit dalam urin akan menunjang akan
adanya trauma saluran kencing13.
2.4.3 Pemeriksaan Radiologi
Tes radiologi dapat menyampaikan informasi penting untuk penatalaksanaan
pasien trauma tumpul limpa. Pemeriksaan radiologi diindikasikan pada pasien stabil
jika dari pemeriksaan fisik dan lab tidak bisa disimpulkan diagnostic.
2.4.3.1 Focused Assessment Sonograghy in Trauma (FAST)
Ultrasonografi digunakan untuk mendeteksi adanya darah intraperitonium
setelah terjadi trauma tumpul. USG difokuskan pada daerah intraperitoneal dimana
sering didapati akumulasi darah. Darah akut akan terlihat sebagai gambaran
hiperechoic dan dapat anechoic. Untuk membedakan darah yang terdapat pada
subkapsuler dan perisplenik cukup sulit, tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti
berikut 14:
9
![Page 10: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/10.jpg)
gambaran bulan sabit halus yang memenuhi garis tepi limpa, dipertimbangkan
sebagai perdarahan subkapsuler
darah yang terdapat pada ekstrakapsuler biasanya berbentuk ireguler
meskipun efek massa dapat dihasilkan oleh kedua kasus, darah pada
subkapsuler lebih dapat mengubah bentuk limpa
membran pada perdarahan subkapsuler biasanya sangat tipis dan tidak dapat
digambarkan
Dalam beberapa jam, pembekuan darah akan terjadi. Echogenisitas akan
meningkat sebagai trombus. Hematoma yang matur memperlihatkan echogenisitas
yang sama atau lebih tipis dibandingkan jaringan parenkim dan tanda-tanda ini akan
bertahan sekitar 48 jam sampai lisis dimulai. Fase echogenik didapatkan ketika foto
dilakukan pada waktu keadaan akut. Sebagai hasil lisis, hematoma akan kembali ke
echogenisitas cairan, dan keadaan patologi dapat kembali dilihat dengan jelas.
Abnormalitas parenkim limpa biasanya tidak terlihat. Gambaran laserasi dari
parenkim terlihat sebagai daerah hiperechoic, yang dapat berbentuk irregular atau
linear14.
Banyak penelitian retrospektif menyatakan manfaat USG pada pasien dengan
hemodinamik yang stabil atau tidak stabil untuk mendeteksi adanya perdarahan
intraperitoneal. Beberapa RCT menunjukkan penggunaan FAST untuk diagnostik
akan menghasilkan pasien dengan hasil perawatan yang lebih baik
Keuntungan USG :
1. Portable
2. Dapat dilaksanakan dengan cepat
3. Tingkat sensitifitas sebesar 65-95% dlam mendeteksi paling sedikit 100
ml cairan intraperitoneal
4. Spesifik untuk hemoperitoneum
5. Tanpa radiasi atau kontras
10
![Page 11: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/11.jpg)
6. Mudah dilakukan pemeriksaan serial jika diperlukan
7. Non invasif
8. Lebih murah dibandingkan CT-scan atau peritoneal lavage
Kelemahan USG
1. Cedera parenkim padat, retroperitoneum, atau diafragma tidak bisa dilihat
dengan baik
2. Kualitas gambar akan dipengaruhi pada pasien yang tidak kooperatif,
obesitas, adanya gas usus, dan udara subkutan
3. Darah tidak bisa dibedakan dari ascites
4. Tidak sensitif untuk mendeteksi cedera usus
Gambar 1. Laserasi limpa
2.4.3.2 Computed Tomography Scan (CT-scan) Abdomen
CT merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport penderita ke
scanner, pemberian kontras oral maupun intrvena, dan scanning dari abdomen atas
bawah dan juga panggul. Proses ini makan waktu dan hanya digunakan pada
penderita dengan hemodinamik normal. CT-scan mampu memberikan informasi yang
berhubungan dengan cedera organ tertentu dan tingkat keparahannya, dan juga dapat
mendiagnosis cedera retroperitonium dan organ panggul yang sukar diakses melalui
pemeriksaan fisik maupun DPL14.
Pada Blunt abdominal trauma dengan cedera limpa dan hemoperitoneum, CT
scan memberikan pencitraan yang sangat baik dari duodenum, pancreas, dan sistem
11
![Page 12: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/12.jpg)
Genitourinari. Gambar dapat membantu melihat jumlah darah di perut dan dapat
mengungkapkan gambaran organ yang cedera. Walaupun dengan keterbatasan CT
scan memiliki sensitivitas untuk mendiagnosa cedera viskus diafragma, pankreas, dan
berongga walaupun relatif mahal dan memakan waktu dan memerlukan kontras oral
atau intravena, yang dapat menyebabkan reaksi alergi.
Keuntungan CT-scan :
1. Non invasif.
2. Mendeteksi cedera organ dan potensial untuk penatalaksanaan non
operatif cedera hepar dan lien.
3. Mendeteksi adanya perdarahan dan mengetahui dimana sumber
perdarahan.
4. Retroperitonium dan columna vertebra dapat dilihat.
Kelemahan CT-scan
1. Kurang sensitif untuk cedera panreas, diafragma, usus, dan mesenterium.
2. Diperlukan kontras intra vena.
3. Mahal.
4. Tidak bisa dilakukan pada pasien yang tidak stabil
Sistem klasifikasi derajat trauma telah beberapa kali dibuat, yang pertama kali
dibuat oleh Buntain dan kawan-kawan. Berdasarkan American Association For The
Surgery of Trauma (1994), klasifikasi derajat dari trauma limpa adalah sebagai berikut :
Clacification Limpa Injury American Association For The Surgery Of Trauma (Aast)
Grade I
Hematom: subkapsuler, tidak meluas, mencakup
kurang dari 10% permukaan limpa
Laserasi: robekan kapsuler, tanpa perdarahan,
mencakup kurang dari 1 cm dalamnya parenkim
Grade II Hematom:subkapsuler,intraparenkimal,
mencakup 10-50% permukaan limpa, diameter
12
![Page 13: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/13.jpg)
kurang dari 5 cm
Laserasi:robekan kapsuler, perdarahan aktif,
mencakup 1-3 cm cm dalamnya parenkim
Grade III
Hematom: subkapsuler, luasnya > 50%
permukaan,ruptursubkapsuler,hematom dengan
perdarahan aktif, hematom intraparenkim > 5 cm
atau meluas
Laserasi: > 3 cm dalamnya parenkim /
melibatkan trabekula
Grade IV
Hematom:rupture intraparenkimal hematom
dengan perdarahan aktif Laserasi: laserasi
melibatkan segmental atau hilus ( melebihi 25%
dari limpa)
Grade V
Laserasi: limpa hancur
Vaskuler: trauma vaskuler hilus yang
memvaskularisasi limpa
Gambar 2. Laserasi limpa grade 4-5 Gambar 3. Laserasi limpa grade 3
2.4.4 Diagnostic Peritoneal Lavage13
![Page 14: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/14.jpg)
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) memiliki peran besar pada
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen. DPL paling berguna pada pasien yang
memiliki resiko tinggi cedera organ berongga, terutama jika dari CT-scan dan USG
hanya terdeteksi sedikit cairan, dan pada pasien dengan demam yang nyata,
peritonitis, atau keduanya. Keadaan ini berlangsung selama 6-12 jam setelah cedera
organ berongga12.
Secara tradisional, DPL dilakukan melalui 2 tahap, tahap pertama adalah
aspirasi darah bebas intraperitoneal (diagnostic peritoneal tap,DPT). Jika darah yang
teraspirasi 10 ml atau lebih, hentikan prosedur karena hal ini menandakan adanya
cedera intraperitoneal. Jika dari DPT tidak didapatkan darah, lakukan peritoneal
lavage dengan normal saline dan kirim segera hasilnya ke lab utuk dievaluasi12.
Pasien yang memerlukan laparotomi segera merupakan satu-satunya kontra
indikasi untuk DPL atau DPT. Riwayat operasi abdomen, infeksi abdomen,
koagulopati, obesitas dan hamil trimester 2 atau 3 merupakan kontraindikasi relatif.
Keuntungan DPL/DPT
1. triase pasien trauma multisistem dengan hemodinamik yang tidak stabil,
melalui pengeluaran perdarahan intapertoneal
2. dapat mendeteksi perdarahan minor pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Kelemahan dan komplikasi DPL / DPT
1. infeksi lokal atau sistemik ( pada kurang dari 0,3% kasus)
2. cedera intaperitoneal
3. positif palsu karena insersi jarum melalui dinding abdomen dengan hematoma
atau pada gangguan hemostasis
Pada trauma tumpul abdomen, aspirasi darah sebanyak 10 ml atau lebih pada
DPT menunjukkan kecurigaan lebih dari 90% terhadap adanya cedera intaperitoneal.
Jika hasil lavage pasien yang dikirim ke lab menunjukkan RBC lebih dari
14
![Page 15: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/15.jpg)
100.000/mm3 maka dapat dikatakan positif untuk cedera intraabdominal. Jika hasil
aspirasi positif dan adanya peningkatan RBC pada lavge menunjukkan adanya cedera,
terutama viscera padat dan struktur vaskular, namun hal ini tidak cukup untuk
mengindikasikan laparotomi12.
Peningkatan WBC baru terjadi setelah 3–6 jam setelah cedera, sehingga tidak
terlalu penting pada interpretasi DPL. Peningkatan amilase juga tidak spesifik dan
tidak sensitif untuk cedra pankreas.
Indikasi DPL dalam mendiagnosa trauma tumpul dengan sangkaan:
a. pasien dengan cedera tulang belakang
b. pasien dengan beberapa luka dan shock
c. pasien dengan bekas cedera perut
d. Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomen
e. pasien dengan cedera intra-abdomen potensial yang akan menjalani anestesi
lama untuk prosedur lain.
Kontraindikasi mutlak untuk DPL adalah untuk laparotomi. Kontraindikasi relatif
meliputi obsesitas morbid, sejarah operasi perut bertulang, dan kehamilan. DPL
dianggap positif pada pasien trauma tumpul jika 10 mL aspirasi keluar darah (yaitu, 1
L normal saline dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui kateter dan
diperiksa) memiliki > 100.000 RBC /mL, > 500 WBC/mL, kadar amilase tinggi,
empedu, bakteri, atau urin. Hanya sekitar 30 mL darah diperlukan dalam peritoneum
untuk menghasilkan hasil DPL mikroskopis positif12.
Tabel 2.1 Tabel Perbandingan DPL, USG dan CT Scan
KRITERIA DPL USG CT SCAN
Indikasi Menentukan adanya
perdarahan bila TD
menurun
Menentukan cairan
bila TD menurun
Menentukan organ
cedera bila TD
normal
Keuntungan Diagnosis cepat dan Diagnosis cepat, Paling spesifik
15
![Page 16: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/16.jpg)
sensitif, akurasi 98
%
tidak invasif dan
dapat diulang,
akurasi 86-97%
untuk cedera,
akurasi 92-98%
Kerugian Invasif, gagal
mengetahui cedera
diafragma atau
cedera
retroperitoneum
Tergantung
operator distorsi
gas usus dan udara
di bawah kulit.
Gagal mengetahui
cedera diafragma
usus, pankreas
Membutuhkan
biaya dan waktu
yang lebih lama,
tidak mengetahui
cedera diafragma
usus dan pankreas.
2.5 Managemen Trauma Tumpul Limpa
2.5.1 Konservatif (Non-Operatif)
Beberapa penelitian menetapkan keberhasilan dan keamanan yang didapatkan
oleh terapi non-operatif ini. Selain itu, oleh karena resiko sepsis yang terjadi karena
splenektomi, menyebabkan penanganan trauma limpa berupa konservatif menjadi
pilihan kecuali jika terdapat gangguan hemodinamik. Pada umumnya biasa digunakan
pada pasien-pasien dengan tanda hemodinamik yang stabil, kadar hemoglobin yang
stabil selama 12-48 jam,keperluan tranfusi darah yang minim (2U atau kurang),
derajat trauma 1-2 berdasarkan CT-scan tanpa kemerahan pada kontras, dan pasien
berumur kurang dari 55 tahun15.
Penggunaan terapi konservatif ini dilakukan berdasarkan derajat trauma,
untuk menilai trauma tumpul pasien. Setiap pasien harus dnilai secara hati-hati untuk
kesesuaian dalam menjalani pengobatn. Pasien dengan derjat 3 ke atas mendapatkan
minimal perawatan intensif selama 24 jam yang diikuti dengan 3 hari perawatan
biasa di bangsal. Adanya perubahan pada keadaan umum seperti penurunan kadar
hemoglobin, dan peningkatan rasa nyeri memerlukan pemeriksaan radiologi yang
berkelanjutan. Kadang-kadang tranfusi darah sangat dibutuhkan dan pemberiannya
16
![Page 17: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/17.jpg)
harus berdasarkan pedoman yang telah dibuat. Setelah keluar dari rumah sakit untuk
menghindari kejadian trauma berulang, aktivitas harus dibatasi dengan beristirahat
dirumah15.
Penanganan non-operatif ini juga memiliki resiko komplikasi jangka panjang
yang sedikit. Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh KW
Kristoffersen yang mendapatkan bahwa dari 228 pasien yang ditangani secara
konservatif yang telah diwawancarai hanya terdapat 1 pasien yang mengalami
komplikasi lama yakni pembentukan kista limpa dengan gejala nyeri lebih dari 4
minggu setelah trauma terjadi15.
2.5.1.1 Angioembolization
Manajemen non-operatif adalah standar saat praktek bagi pasien yang hemodinamik
stabil. Namun, pengamatan sederhana saja telah dilaporkan memiliki tingkat
kegagalan setinggi 34%, angka ini bahkan lebih tinggi di antara pasien dengan grade
tinggi cedera limpa (Asosiasi Amerika untuk Bedah Trauma [AAST] kelas III-
V). Selama dekade terakhir, angiografi dengan embolisasi transkateter arteri lienalis,
pengobatan nonoperative alternatif untuk cedera limpa, telah meningkatkan tingkat
penyelamatan lienalis sampai setinggi 97%. Dengan bantuan embolisasi arteri
lienalis, tingkat keberhasilan lebih dari 80% juga telah dijelaskan pada pasien cedera
limpa15.
2.5.2 Operatif
Terapi pembedahan biasanya dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda perdarahan
yang terus-menerus atau keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Pemeriksaan CT-
Scan trauma mencapai grade V dengan tanda-tanda vital stabil akan mendapatkan
penanganan non-operatif, tetapi pasien dengan trauma seperti ini akan dilanjukan
dengan laparotomi eksplorasi untuk menentukan derajat, perbaikan dan tindakan
selanjutnya dengan tepat11.
17
![Page 18: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/18.jpg)
Ruptur limpa yang lambat terjadi dapat ditemukan kapan saja utamanya pada
hari ketiga sampai kelima setelah trauma terjadi. Pasien akan mengalami hipotensi
dan tidak akan memberikan respon terhadap resusitasi dan memerlukan tindakan
pembedahan (splenektomi)9. Splenorrhaphy merupakan tindakan operatif perbaikan
limpa karena trauma. Prinsip dari pembedahan ini adalah menghilangkan jaringan
yang mati dan memperkirakan struktur limpa yang masih baik10. Setelah mengangkat
limpa, dapat terjadi peningkatan resiko infeksi dan sepsis, khususnya mikroorganisme
tidak berkapsul. Oleh karena itu, vaksin pneumococcal dan H influenza harus
diberikan pada pasien dengan splenektomi parsial ataupun komplit9. Insiden infeksi
postsplenektomi terjadi sekitar 0,23-0,42% per tahun. Kasus infeksi ini termasuk
dalam kasus emergensi yang membutuhkan antibiotik parenteral dan penanganan
intensif (pemberian immunoglobulin) dapat bermanfaat.12
2.5.2.1 Splenektomi2,3,5
Splenektomi adalah adalah sebuah metode operasi pengangkatan limpa, yang
mana organ ini merupakan bagian dari sistem getah bening. Splenektomi biasanya
dilakukan pada trauma limpa, penyakit keganasan tertentu pada limpa (hodkin`s
disease dan non-hodkin`s limfoma, limfositis kronik, dan CML), hemolitik jaundice,
idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk tumor, kista dan splenomegali. Indikasi
lainnya dilakukan splenektomi ialah pada keadaan luka yang tidak disengaja pada
operasi gaster atau vagotomy dimana melibatkan flexura splenika di usus.
Splenektomi total
Splenektomi total dilakukan jika terdapat kerusakan parenkim limpa yang
luas, avulsi limpa, kerusakan pembuluh darah hilum, kegagalan splenorapi dan
splenoktomi parsial. Lebih dari 50% dari semua ruptur limpa memerlukan
splenektomi total untuk mengurangi opsi dikemudian hari ada pendapat-pendapat
yang menganjurkan:
18
![Page 19: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/19.jpg)
1. Autotranplantasi/reimplantasi jaringan limpa, yaitu jaringan limpa yang
telah robek di implantasikan kedalam otot-otot pada dinding perut atau di
pinggang di belakang peritoneum. Caranya ialah : jaringan limpa tadi
dimasukkan kedalam injeksi spuit dan melalui injeksi spuit tadi jaringan
lien dimasukkan kedalam otot-otot dinding perut.
2. Polyvaleat pneumococcal vaccine atau pneumovaks dapat dipakai untuk
mencegah terjadinya opsi. Cara-cara dan optimal untuk pemberian suntikan
booster belum diketahui.
3. Prophylaksis dengan antibiotika
Pemberian antibiotika (denicilline, erythomycin, trimethroprim-
sulfomethoxazole) setiap bulan dianjurkan, terutama kali ada infeksi yang
menyebabkan demam diatas 38,5°C. juga ada laporan mengenai opsi yang
disebabkan karena organisme-organisme yang sensitif penicilin, pada
penderita post splenektomi yang telah diberi penicilin profilaksis.
Splenektomi partial
19
![Page 20: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/20.jpg)
Bila keadaan dan ruptur lien tidak total sedapat mungkin lien dipertahankan,
maka dikerjakan splenektomi partial dianggap lebih menguntungkan daripada
splenektomi total. Cara : eksisi satu segmen dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai
hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital.
2.5.2.2 Splenorrhapi
Splenorrhapi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang
fungsional dengan tehnik bedah. Tindakan bedah ini terdiri dari membuang jaringan
non vital, mengikat pembuluh darah yang terbuka dan menjahit kapsul lien yang
terluka. Luka dijahit dengan jahitan berat asam poliglikolat atau polidioksanon atau
chromic catgut (0-0, 2-0, 3-0) dengan simple jahitan matras atau jahitan figure of
eight. Jika penjahitan laserasi kurang memadai, dapat ditambahkan dengan
pembungkusan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.
Indikasi dan Kontraindikasi untuk Splenektomi5
Indikasi dilakukannya splenektomi dapat dilihat sebagai berikut.
Elektif :
- Kelainan hematologis
- Bagian dari bedah radikal dari abdomen atas
- Kista/tumor limpa
- Penentuan stadium limfoma (jarang dikerjakan)
Darurat:
- Trauma
Cedera trauma pada limpa ini tidak lagi indikasi langsung atau wajib untuk
operasi atau splenektomi, baik pada dewasa atau anak. CT scan atau USG dapat
mendiagnosa cedera lien pada pasien dengan trauma tumpul pada perut atau dada
20
![Page 21: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/21.jpg)
bagian bawah. Indikasi untuk dapat dilakukannya operasi pada orang dewasa meliputi
akumulasi signifikan perdarahan intraperitoneal (lebih dari 1.000 ml), persyaratan
untuk lebih dari 2 unit transfusi darah, semakin menurun hemoglobin konsentrasi atau
ketidakstabilan hemodinamik.
Pendekatan terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu splenektomi
elektif. Pasien yang mengalami trauma limpa harus ditangani pertama kali dengan
protokol ATLS (advanced trauma life support) dengan kontrol jalan napas,pernapasan
dan sirkulasi. Bilas peritoneum atau pemeriksaan radiologis harus digunakan untuk
menilai cedera abdomen sebelum operasi.
Kontraindikasi open splenektomi
1. Tidak ada kontraindikasi absolut terhadap splenektomi
2. Terbatasnya harapan hidup dan pertimbangan resiko operasi
Kontraindikasi Laparoscopic Splenectomy
1. Riwayat operasi abdominal bagian atas
2. Gangguan koagulasi yang tidak terkontrol
3. Jumlah trombosit yang sangat rendah (<20,000/100>)
4. Perbesaran limpa secara massif misalnya perbesaran lebih dari 4 kali dari normal
5. Hipertensi porta
2.6 Komplikasi splenektomi4,5,7
2.6.1 Komplikasi sewaktu operasi
A. Trauma pada usus.
Karena flexura splenika letaknya tertutup dan dekat dengan usus pada
lubang bagian bawah dari limpa, ini memungkinkan usus terluka saat
melakukan operasi.
21
![Page 22: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/22.jpg)
Perut. Perlukaan pada gaster dapat terjadi sebagai trauma langsung
atau sebagai akibat dari devascularisasi ketika pembuuh darah pendek
gaster dilepas.
A. Perlukaan vaskular adalah komplikasi yang paling sering pada saat
melakukan operasi. dapat terjadi sewaktu melakukan hilar diseksi atau
penjepitan capsular pada saat dilakukan retraksi limpa.
B. Bukti penelitian dari trauma pancreas terjadi pada 1%-3% dari
splenektomi dengan melihat tigkat enzim amylase. Gejala yang paling
sering muncul adalah hiperamilase ringan, tetapi tidak berkembang
menjadi pankreatitis fistula pankeas, dan pengumpulan cairan dipankreas.
C. Trauma pada diafragma. Telah digambarkan selama melakukan pada
lubang superior tidak menimbulkan kesan langsung jika diperbaiki. Pada
laparoskopi splenektomi, mungkin lebih sulit untuk melihat luka yang ada
di pneomoperitoneum. Ruang pleura meruapakan hal utama dan harus
berada dalam tekanan ventilasi positf untuk mengurangi terjadinya
pneumotoraks.
2.6.2 Komplikasi setelah operasi
1. Koplikasi pulmonal hampir terjadi pada 10% pasien setelah dilakukan
open splenektomi, termasuk didalamnya atelektasis, pneumonia dan efusi
pleura.
2. Abses subprenika terjadi pada 2-3% pasien setelah dilakukan open
splenektomi. Tetapi ini sangat jarang terjadi pada laparoskopi splenektomi
(0,7%). Terapi biasanya dengan memasang drain di bawak kulit dan
pemkaian antibiotic intravena.
3. Akibat luka seperti hematoma, seroma dan infeksi pada luka yang sering
terjadi setelah dilakukan open splenektomi adanya gangguan darah pada
4-5% pasien. Komplikasi akibat luka pada laparoskpoi splenektomi
biasanya lebih sedikit (1,5% pasien).
22
![Page 23: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/23.jpg)
4. Komplikasi tromsbositosis dan dan trombotik. Dapat terjadi setelah
dilakukan laparoskopt splenektomi.
5. Ileus dapat terjadi setelah dilakukan open splenektomi, juga pada berbagai
jenis operas intra-abdominal lainnya.
6. infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post Splenektomy Infection)
adalah komplikasi yang lambat terjadi pada pasien splenektomi dan bisa
terjadi kapan saja selama hidupnya.
7. Splenosis, terlihat adanya jaringan limpa dalam abdomen yang biasanya
terjadi pada setelah trauma limpa.
8. Pancreatitis dan atelectasis.
Overwhelming Post Splenektomy Infection
Infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post Splenektomy Infection)
adalah komplikasi yang lambat terjadi pada pasien splenektomi dan bisa terjadi kapan
saja selama hidupnya. Pasien akan merasakan flu ringan yang tidak spesifik, dan
sangat cepat berubah menjadi sepsis yang mengancam, koagulopati konsumtif,
bakteremia, dan pada akhirnya dapat meninggal pada 12-48 jam pada individu yang
tak mempunyai limpa lagi atau limpanya sudah kecil. Kasus ini sering ditemukan
pada waktu 2 tahun setelah splenektomi.2
Gejala fisik yg ringan dan tidak spesifik dari postsplenectomi muncul pada
tahap awal dari OPSI. Ini termasuk kelelahan, berat badan yang hilang, sakit perut,
diare, sembelit, mual, dan sakit kepala. Pneumonia dan meningitis sering terjadi lebih
parah. Gejala klinis dapat terjadi lebih cepat ke arah koma dan kematian dalam waktu
24 hingga 48 jam, karena tingginya jumlah insiden shock, hypoglycemia, ditandai
asidosis , kelainan elektrolit , distress pernapasan dan gangguan koagulasi pembuluh
darah (DIC).8
Pada pasien splenektomi harus dilakukan vaksinasi untuk mengurangi risiko
sepsis post splenectomy karena mudahnya terjadi infeksi pada organisme seperti
23
![Page 24: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/24.jpg)
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B, dan yang
Meningokokus.8
Strategi pencegahan termasuk vaksinasi dan pendidikan yang juga penting
bagi pasien. Secara fungsi maupum anatomi pasien tanpa limpa berada di
peningkatan risiko infeksi dari organisme encapsul dibandingkan dengan populasi
umum. Vaksin tersedia untuk organisme yang paling umum termasuk vaksin
pneumokokus polisakarida 23-valent, 7-valent protein-conjugated vaksin
pneumokokus, Hemophilus tipe b vaksin dan vaksin meningococcal. Pengetahuan
pasien tentang tidak adanya limpa pada pasien juga penting. Studi telah membuktikan
bahwa dari 11 persen hingga 50 persen pasien harus menyadari adanya peningkatan
risiko infeksi yang serius atau pencegahan kesehatan yang harus dilakukan. Pasien
harus memahami potensi keparahan OPSI dan kemungkinan perkembangan cepat.
Meskipun saat ini tidak ada bukti bahwa pengobatan awal akan mencegah terjadinya
infeksi, pilihan mungkin empiric antimikrobial agen berguna untuk pengobatan
awal.7,8
2.7 Prognosis
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Eastern Association for The
Surgery Of Trauma menunjukkan angka mortalitas trauma limpa masih ditemukan,
meskipun pada pusat trauma level 1. Tetapi secara keseluruhan hasil yang didapatkan
dari penanganan trauma limpa derajat 1-2 baik tetapi tidak sempurna dan menjadi
lebih buruk seiring dengan peningkatan derajat. Prognosis biasanya baik tetapi pada
pasien yang telah mengalami splenektomi oleh karena trauma memilki resiko infeksi
lebih tingg
BAB III
KESIMPULAN
24
![Page 25: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/25.jpg)
Limpa atau lien adalah suatu organ limfatik yang lunak dan vaskular. Salah
satu organ kita yang paling sering mengalami cedera pada suatu trauma tumpul pada
daerah perut atau toraks kiri bagian bawah adalah lien. Penyebab utamanya adalah
cedera langsung atau tidak langsung yang menyebabkan laserasi kapsul linealis dan
anulsi pedikel lien sebagian atau menyeluruh. Manifestasi klinik dari trauma limpa
bervariasi. Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien yang keadaan
umumnya stabil adalah nyeri abdominal bagian atas kiri atau nyeri panggul.
Diagnosis dan penanganan yang tepat dan cepat sangat diperlukan dalam
menangani pasien dengan trauma tumpul pada limpa.
Terapi pembedahan biasanya dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda
perdarahan yang terus-menerus atau keadaan hemodinamik yang tidak stabil.
Pemeriksaan CT-Scan trauma mencapai grade V dengan tanda-tanda vital stabil akan
mendapatkan penanganan non-operatif, tetapi pasien dengan trauma seperti ini akan
dilanjukan dengan laparotomi eksplorasi untuk menentukn derajat, perbikan dan
tindakan selanjutnya dengan tepat.
Prognosis biasanya baik tetapi pada pasien yang telah mengalami splenektomi
oleh karena trauma memilki resiko infeksi lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Garner J. blunt and penetrating trauma to the abdomen. Surgery 2005; 23(6):
223–8.
25
![Page 26: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/26.jpg)
2. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.
3. Debas, Haile T. MD. Gastrointestinal Surgery : Pathophysiology and
Management. Springer Verlag New York. 2003.
4. Way, Lawrence . W. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 11th Edition.
McGraww Hill and Lange. 2003
5. Morris, Peter J. Oxford Tetbook of Surgery 2nd Edition. Oxford Press. 2000
6. Waghorn DJ. Overwhelming infection in asplenic patients. J Clin Pathology
2001; 54:214-218.
7. Davidson RN, Wall RA. Prevention and management of infections in patients
without a spleen. Clin Microbial Infect 2001; 7:657-60.
8. Lynch AM, Kapila R: Overwhelming postsplenectomy infection. North Am
1996; 4:693-707
9. Strange, R, Gary., et. al. Abdominal Trauma In: Pediatric Emergency
Medicine. McGrawHill. USA: 2004.p.56-61.
10. Doherty, M Gerard., Et al. Spleen In: Current Surgical Diagnosis & Treatment
11th Edition. McGraw-Hill. India : 2003.p.652-667.
11. Bjerke, Scott, H., Et. al. Splenic Rupture. (online) 27 Juli 2006. (Cited) 17
Maret 2009. Available in URL :
http://emedicine.medscape.com/article/432823-Treatment
12. RN. Davidson. Prevention And Management Of In Patient Without A spleen.
(online) 2009. (Cited) 23 Maret 2009. Available in URL :
http://www.medscape.com/medline/abstract/11843905
13. Bjerke, Scott, H., Et. al. Splenic Rupture. (online) 27 Juli 2006. (Cited) 17
Maret 2009. Available in URL :
http://emedicine.medscape.com/article/432823-overview
26
![Page 27: BAB I](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022052411/55721214497959fc0b9001e8/html5/thumbnails/27.jpg)
14. Klepac, R, Steven. Spleen Trauma. (online) 16 Januari 2009. (cited) 16 Maret
2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/373694-
imaging
15. Surg, J. Imaging dan embolisasi transkateter arteri untuk cedera limpa
traumatis. 2008.p.464-472
27