bab i

19
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fruktosa adalah monosakarida yang ditemukan dalam banyak jenis makanan dan merupakan salah satu dari tiga gula darah penting bersama glukosa dan galaktosa yang dapat langsung diserap oleh tubuh. Fruktosa merupakan salah satu jenis monosakarida yang mempunyai rasa lebih manis daripada glukosa yang juga termasuk monosakarida, juga lebih manis daripada gula tebu atau sakarosa. Fruktosa berikatan dengan glukosa membentuk sakarosa, yaitu gula biasa digunakan sehari-hari sebagai pemanis, dan berasal dari tebu atau bit (Poedjiadi, 1994). Gambar I.1 Struktur Fruktosa Campuran glukosa, fruktosa dan sejumlah kecil oligosakarida dikenal secara komersial sebagai High Fructose Syrup(HFS). Tiga kategori HFS pada umumnya: HFS-90 (fruktosa 90% dan glukosa 10%) yang digunakan dalam aplikasi khusus tetapi yang lebih penting adalah dicampur dengan sirup glukosa untuk menghasilkan HFS-42 (42% fruktosa dan glukosa 58%) dan HFS-55 (55% fruktosa dan 45% glukosa) (Parker, et al., 2010). Proses isomerisasi umumnya hanya dilakukan sampai diperoleh HFS-42. Pada tahap tersebut, isomerisasi telah mendekati I-1

Upload: anindita-pramesti-putri

Post on 27-Nov-2015

214 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

pabrik high fructose syrup

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Fruktosa adalah monosakarida yang ditemukan dalam banyak jenis makanan dan

merupakan salah satu dari tiga gula darah penting bersama glukosa dan galaktosa yang

dapat langsung diserap oleh tubuh. Fruktosa merupakan salah satu jenis monosakarida

yang mempunyai rasa lebih manis daripada glukosa yang juga termasuk monosakarida,

juga lebih manis daripada gula tebu atau sakarosa. Fruktosa berikatan dengan glukosa

membentuk sakarosa, yaitu gula biasa digunakan sehari-hari sebagai pemanis, dan berasal

dari tebu atau bit (Poedjiadi, 1994).

Gambar I.1 Struktur Fruktosa

Campuran glukosa, fruktosa dan sejumlah kecil oligosakarida dikenal secara

komersial sebagai High Fructose Syrup(HFS). Tiga kategori HFS pada umumnya: HFS-90

(fruktosa 90% dan glukosa 10%) yang digunakan dalam aplikasi khusus tetapi yang lebih

penting adalah dicampur dengan sirup glukosa untuk menghasilkan HFS-42 (42% fruktosa

dan glukosa 58%) dan HFS-55 (55% fruktosa dan 45% glukosa) (Parker, et al., 2010).

Proses isomerisasi umumnya hanya dilakukan sampai diperoleh HFS-42. Pada tahap

tersebut, isomerisasi telah mendekati kesetimbangan reaksi, jika dilanjutkan reaksi akan

berjalan semakin lambat sehingga tidak ekonomis. HFS-90 diperoleh dengan melalukan

HFS-42 ke tangki pemisah glukosa-fruktosa, sedangkan HFS-55 diperoleh dengan

mencampurkan HFS-42 dengan HFS-90. Penggunaan tangki pemisah ini memerlukan

perlakuan tambahan berupa penguapan untuk menghilangkan sisa air atau pelarut

pengelusi.

Diantara jenis-jenis gula yang dapat dibuat dari pati, sirup fruktosa dengan

kandungan fruktosa yang berkisar antara 42-90% merupakan alternatif yang cukup

menarik karena memiliki beberapa kelebihan:

a. Fruktosa lebih manis dibanding gula-gula lain dan kemanisannya bersifat sinergis,

terutama dengan sukrosa dan siklamat.

I-1

Page 2: BAB I

Tabel I.1. Kemanisan Relatif Beberapa Jenis Gula

Fruktosa 150

Sukrosa 100

Dekstrosa 68

Maltosa 30

Sirup Glukosa DE 64 49

Sirup Glukosa DE 42 33

HFS 42 88

50% HFS 42 dan 50% sukrosa 98

Sumber : Berghmans dan Aschengreen (1990)

Parker Kay, dkk (2010) menyebutkan bahwa fruktosa lebih manis daripada sukrosa.

Tingkat kemanisan beberapa pemanis dapat dilihat pada Table 1.2, sebagai berikut :

Tabel I.2. Tingkat kemanisan pada larutan pemanis 5%

Pemanis Tingkat kemanisan

Sucrose

Invert syrup

Fructose

Glucose

Galactose

Maltose

Lactose

Xylitol

Cyclamates

Acesulfame K (Sunnette ®)

Aspartame (Equal ®, Nutrasweet ®)

Saccharine ( The Pink Stuff)

Stevioside

Sucralose (Splenda ®)

Thaumatin (Talin ®)

1,0

0,85 – 1,0

1,3

0,56

0,4 – 0,6

0,3 – 0,5

0,2 – 0,3

1,01

30 – 80

200

100 – 200

200 - 300

300

600

2000 – 3000

Dari Tabel I.2. dapat dilihat bahwa fruktosa mempunyai kemanisan tertinggi dari

jenis pemanis alami lainnya ( sukrosa, maltosa, laktosa, xilitol, galaktosa, gula

inversi dan glukosa). Meskipun jenis pemanis sintetis mempunyai tingkat

I-2

Page 3: BAB I

kemanisan yang tinggi, pemanis sintetis tidak bisa menggantikan sukrosa karena

penggunaanya dibatasi oleh peraturan kesehatan Negara yaitu Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 722/MENKES/ PER/ IX/ 1988 tentang bahan

tambahan makanan.

b. Mudah mengalami reaksi pencoklatan karena fruktosa merupakan gula pereduksi yang

paling efektif terhadap asam amino. Fruktosa juga lebih mudah terkaramelisasi karena

titik didihnya relatif lebih rendah.

Tabel I.3. Titik Didih Beberapa Jenis Gula (oC)

Glukosa 146

Fruktosa 102

Sukrosa 160-168

Maltosa 103

Sumber : Tjokroadikoesoemo (1986)

c. Fruktosa tidak mudah terkristalisasi

d. Viskositasnya lebih rendah sehingga mudah dilarutkan atau dicampurkan dengan

pemanis lain

Tabel I.4. Viskositas Beberapa Jenis Gula (cps)

HFS 42 150

Sukrosa 71 Brix 360

Sukrosa 67 Brix 130

Sirup Glukosa DE 64 500

Sirup Glukosa DE 38 2000

Sumber : Tjokroadikoesoemo (1986)

Khususnya di Indonesia, HFS masih jarang digunakan untuk keperluan rumah

tangga tetapi banyak digunakan di industri-industri seperti industri sirup, soft drink, selai,

susu, jeli, biskuit, es krim, farmasi, dan sebagainya. Dalam produk-produk pangan, gula

cair ini berperan dalam viskositas, higroskopis, flavour, mencegah kristalisasi, kemanisan,

tekanan osmotik, kelarutan, dan kenampakan produk.

Permintaan HFS semakin bertambah dari tahun ke tahun. Silva, dkk., (chemical

engineering journal, 2006) menyebutkan pertumbuhan pemintaan HFS disebabkan

beberapa faktor antara lain karena memberikan cita rasa yang lebih segar dan manis

daripada sukrosa, dapat diproduksi dari pati (substrat pada komposisi makanan) dengan

biaya yang lebih rendah sehingga memberikan keuntungan yang lebih serta resiko lebih

I-3

Page 4: BAB I

rendah bagi penderita diabetes atau yang mengalami masalah metabolisme tubuh karena

fruktosa memilik kalori yang lebih rendah dibandingkan dengan gula sukrosa.

Bila dibandingkan dengan industri gula pasir kemungkinan prospek sirup fruktosa

lebih baik, karena dari segi penjualan, sirup fruktosa dapat mengikuti perubahan harga gula

pasir. Selain itu jika dikaitkan dengan program pemerintah dalam rangka swasembada

pangan, tentunya sirup fruktosa akan dapat memberikan andil yang besar dalam rangka

ikut memenuhi kebutuhan penduduk terhadap konsumsi gula.

Pada dasarnya, konsumsi gula tebu dari tahun ke tahun semakin meningkat

sementara produksi gula tebu dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan

konsumen di pasaran. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dirjen Perkebunan

Kementerian Pertanian, produksi gula tebu pada tahun 2012 mencapai 2,58 juta ton yaitu

hanya 95,6% dari target 2,7 juta ton. Secara nasional, di tahun 2012, total kebutuhan

konsumsi gula tebu mencapai 5,2 juta ton/tahun. Angka ini terdiri dari permintaan gula

untuk industri sebesar 2,5 juta ton/tahun dan untuk konsumsi rumah tangga langsung

sebesar 2,7 juta ton/tahun. Faktor yang menyebabkan belum terpenuhinya target produksi

gula tebu diantaranya yaitu anomali perubahan iklim global yang berdampak pada

penurunan kualitas panen dan rendemen serta keterbatasan lahan perkebunan tebu. Hal ini

mengakibatkan pemerintah harus mengimpor gula tebu untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi nasional. Ironisnya, harga gula tebu impor lebih murah dibandingkan dengan

gula tebu produksi dalam negeri. Untuk mengurangi impor tersebut maka produksi gula

dalam negeri perlu terus dipacu disamping mencari alternatif bahan pemanis lain sebagai

substitusi gula tebu.

Gula alternatif yang saat ini banyak dikonsumsi masyarakat adalah gula siklamat

(bibit gula) dan sakarin (biang gula) yang merupakan gula sintetis. Gula sintetis tersebut

tidak dapat menggantikan gula tebu secara keseluruhan karena efeknya yang kurang baik

bagi kesehatan dan pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan rasa tidak enak di mulut

(off flavor). Selain itu, pemanis alami alternatif lain dapat dibuat dari bahan bukan tebu.

Salah satu diantaranya adalah gula yang diperoleh dari hidrolisis pati secara enzimatis

seperti sirup glukosa, fruktosa, maltosa, manitol, sorbitol, dan xilitol. Bahan baku yang

digunakan adalah yang banyak mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, jagung,

pisang, dan beras. Jagung umumnya digunakan di negara-negara sub tropis, sedangkan di

negara-negara tropis termasuk Indonesia biasa digunakan ubi kayu. Di antara gula dari pati

tersebut, sirup glukosa dan fruktosa mempunyai prospek paling baik untuk mensubstitusi

gula pasir. Jika produksi gula dari pati terus meningkat maka harganya akan dapat bersaing

I-4

Page 5: BAB I

dengan gula pasir. Namun peningkatan produksi tersebut perlu disertai dengan upaya

memperluas pemanfaatannya. Di Indonesia, salah satu industri minuman ringan (soft drink)

terbesar yang menurut lisensinya seharusnya menggunakan fruktosa, tidak seluruhnya

menggunakan fruktosa, bahkan masih menggunakan gula rafinasi. Jika semua industri

sirup, minuman ringan, permen, biskuit, dan jeli menggunakan fruktosa maka kebutuhan

gula pasir akan berkurang dan dapat mengurangi konsumsi gula impor.

Indonesia merupakan negara penghasil singkong terbesar ketiga (setelah Brazil dan

Thailand), dan sebagian besar dibuat menjadi tepung (Suplemen Gatra, 4 September 2013/

humasristek).

Produksi ubi kayu di Indonesia yang cukup besar dapat dimanfaatkan sebagai suatu produk

industri olahan berbasis ubi kayu seperti tapioka, dimana Indonesia merupakan penghasil

tepung tapioka terbesar nomor tiga setelah Brazil dan Nigeria. Penggunaan tepung tapioka

sebagai bahan baku pembuatan High Fructose Syrup (HFS) merupakan cara untuk

meningkatkan nilai ekonomi dari ubi kayu, selain itu juga sebagai salah satu bentuk

diversifikasi produk olahan berbahan ubi kayu serta memenuhi kebutuhan gula di

Indonesia yang semakin meningkat. Ketersediaan bahan baku yang mencukupi menjadi

potensi untuk mendirikan dan mengembangkan pabrik High Fructose Syrup (HFS) di

Indonesia.

I.2 Produksi Bahan Baku

Cassava (Manihot utilissima POHL) atau ubi kayu, populer pula dengan sebutan

singkong. Suku Indian di Brasil diduga yang pertama kali memperkenalkan cara

pengambilan pati dari umbi cassava yang kini kita kenaI sebgai tepung tapioka . Mereka

mendahului teknik ekstraksi pati gandum yang dikenalkan oleh bangsa Yunani 500 tahun

kemudian. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain: Afrika, Madagaskar, India,

Tiongkok. Ketela pohon berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya

dan masuk ke Indonesia pada tahun 1852.

Cassava menempati urutan keempat setelah jagung, kentang, dan gandum sebagai

sumber pati yang masing-masing memberi kontribusi terhadap produksi pati dunia sebesar

70, 20, 5, dan 4 persen. Sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman itu, maka pada

perkembangannya tanaman jagung mendominasi sebagai sumber pati untuk kawasan

Amerika Utara, Meksiko, sebaliknya Eropa banyak mengusahakan dari tanaman kentang.

Sedangkan padi dan cassava berkembang di Amerika Latin, Afrika dan Asia Timur.

Tabel 1.5. Produksi Singkong Dunia Tahun 2008

I-5

Page 6: BAB I

Sumber : Wikipedia

Di Indonesia, singkong tersebar di berbagai kawasan dengan pusat perkembangan

di Jawa dan Lampung yang meliputi 85 persen singkong nasional. Daerah penghasil

singkong antara lain Jawa Timur (Jember, Kediri, Madiun), Jawa Tengah (Banyumas,

Yogyakarta, Wonogiri) dan Jawa Barat (Bogor, Tasikmalaya). Daerah penghasil lainnya

adalah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat dan Timur. Berikut ini adalah data

produksi singkong dari seluruh provinsi di Indonesia tahun 2013 :

Tabel I.6. Luas Panen- Produktivitas-Produksi Tanaman Ubi Kayu seluruh Provinsi

ProvinsiLuas

Panen(Ha)

Produktivitas

(Ku/Ha)

Produksi

(Ton)

Indonesia 1137210.00 224.18 25494507.00

Aceh 2762.00 127.45 35202.00

Sumatera Utara 46765.00 318.85 1491108.00

Sumatera barat 5580.00 416.37 232335.00

Riau 4137.00 256.70 106195.00

Jambi 2336.00 143.65 33556.00

Sumatera Selatan 9406.00 157.25 147913.00

Bengkulu 3929.00 128.93 50656.00

Lampung 367966.00 261.81 9633560.00

Bangka Belitung 860.00 177.24 15243.00

Kepulauan Riau 708.00 117.18 8296.00

DKI Jakarta 0.00 0.00 0.00

I-6

Page 7: BAB I

Jawa Barat 99635.00 220.26 2194525.00

Jawa Tengah 163330.00 230.90 3771334.00

DI Yogyakarta 58330.00 172.23 1004607.00

Jawa Timur 176102.00 228.87 4030474.00

Banten 6078.00 148.70 90377.00

Bali 8609.00 172.22 148263.00

Nusa Tenggara Barat 4116.00 143.62 59115.00

Nusa Tenggara Timur 85280.00 101.18 862879.00

Kalimantan Barat 10642.00 160.21 170495.00

Kalimantan Tengah 3716.00 119.70 44482.00

Kalimantan Selatan 5254.00 175.76 92343.00

Kalimantan Timur 5155.00 177.46 91480.00

Sulawesi Utara 4716.00 130.22 61413.00

Sulawesi Tengah 3923.00 202.71 79522.00

Sulawesi Selatan 24457.00 194.03 474542.00

Sulawesi Tenggara 12371.00 198.18 245171.00

Gorontalo 348.00 124.80 4343.00

Sulawesi Barat 2286.00 217.35 49687.00

Maluku 4672.00 201.68 94224.00

Maluku Utara 9666.00 126.28 122061.00

Papua Barat 1046.00 111.14 11625.00

Papua 3029.00 123.74 37481.00

Sumber : Badan Pusat Statistik (2012)

Singkong dapat digunakan untuk berbagai industri antara lain industri makanan, industri

bioetanol, industri pakan ternak dan industri tepung tapioka. Semua industri tersebut

potensial untuk dikembangkan karena ketersediaan singkong yang melimpah di Indonesia.

Tepung tapioka sebagai bahan baku pembuatan High Fructose Syrup (HFS) banyak

dihasilkan dari Lampung yaitu sebanyak 70% produksi nasional dan sisanya merupakan

hasil produksi dari Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi sebanyak 30%. Teknologi yang

digunakan untuk produksi tepung tapioka dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

a. Tradisional, yaitu industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar matahari

dan produksinya sangat tergantung pada musim.

I-7

Page 8: BAB I

b. Semi modern, yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering

(oven) dalam melakukan proses pengeringan.

c. Full otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari proses

awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini

memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit,

waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas.

Berdasarkan Dinas Pertanian Lampung Timur, 2004, Industri tapioka yang terdapat

di Propinsi Lampung, terutama yang berada di Kabupaten Lampung Timur pada tahun

2003 memiliki 38.964 hektar lahan untuk penanaman singkong yang menghasilkan

592.358 ton singkong dan memiliki 31 perusahaan menengah besar yang terdaftar di Dinas

Pertanian, disamping puluhan perusahaan menengah kecil yang merupakan industri tapioka

rakyat dengan kapasitas 56.927,08 ton. Beberapa produsen tepung tapioka di Lampung

Timur dapat dilihat pada Tabel I.7 dibawah ini :

Tabel I.7 Produsen Tepung Tapioka di Lampung Timur

Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur

I-8

Page 9: BAB I

Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia juga melakukan ekspor

tepung tapioka ke beberapa negara yang mencakup negara-negara di Asia dan Eropa. Data

ekspor tepung tapioka Indonesia dapat dilihat pada Tabel I.8 sebagai berikut :

Tabel I.8 Ekspor Tepung Tapioka Indonesia

Negara Tujuan Total Ekspor (kg) Nilai Ekspor (FOB) (US $)

Korea

China

Belanda

Malaysia

Jerman

Swiss

Jepang

Filipina

Taiwan

Inggris

Singapura

Vietnam

120.797.083

67.502.292

20.400.000

2.342.962

4.500.000

3.000.000

762.000

558.000

570.000

26.600

247.000

697.920

12.125.792

5.473.891

1.371.550

436.884

328.000

165.000

154.570

107.884

85.500

57.399

53.106

41.875

Sumber: Badan Pusat Statistik (1997)

I.3 Marketing Aspek

Berdasarkan Othmer, (1998), harga HFS dibandingkan dengan gula rafinasi

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah biaya produksi gula, jumlah, harga

dan kualitas bahan baku serta skala ekonomi dalam produksi High Fructose Syrup (HFS).

High Fructose Syrup (HFS) dapat diproduksi dari berbagai jenis pati antara lain pati

jagung (United State), pati kentang (Jepang), pati gandum (Eropa) dan tepung tapioka.

Kebanyakan High Fructose Syrup (HFS) yang ada di pasaran adalah yang terbuat dari pati

jagung yaitu high fructose corn syrup (HFCS) yang biasanya digunakan untuk industri soft

drink.

Berdasarkan Economic Research Services Amber Waves, (Feb, 2008, United State),

penggunaan High Fructose Syrup (HFS) mempunyai selisih yang kecil dengan penggunaan

gula rafinasi. United State membutuhkan biaya rendah untuk produksi high fructose corn

syrup (HFCS) karena ketersediaan jagung yang besar dengan harga pasar dunia yang

menguntungkan dari segi ekonomi skala besar. Sebaliknya, di Eropa membutuhkan biaya

I-9

Page 10: BAB I

tinggi untuk produksi high fructose corn syrup (HFCS) karena jagung harus dibeli dengan

harga tinggi di bawah Kebijakan Pertanian Bersama Eropa. Kebijakan membatasi kuota

penjualan HFCS pada masing-masing perusahaan sehingga HFCS memiliki pangsa pasar

yang terbatas dalam pasar gula dan pemanis di Eropa. Produksi Dunia untuk HFCS rata-

rata 11,7 juta ton (berdasarkan berat kering) selama 1999-2001, dan produksi rata-rata

united state adalah 9,2 juta ton (79 % dari total dunia). Jepang adalah produsen terbesar

kedua, dengan rata-rata .7,8 juta ton, diikuti oleh Argentina, Kanada, Uni Eropa, Meksiko,

dan Republik Korea, masing - masing dengan produksi rata-rata antara 0,3 – 0,4 juta ton.

Penggunaan High Fructose Syrup (HFS) terus meningkat dari tahun 1970 sampai

tahun 2000, dapat dilihat dari grafik berikut:

Gambar I.2. Perbandingan Penggunaan Gula Rafinasi dan High Fructose Syrup (HFS) di

United States

Jika produksi High Fructose Syrup (HFS) dilakukan di Indonesia, maka tepung

tapioka merupakan pilihan bahan baku yang tepat, karena ketersediaan bahan baku yang

melimpah dan harga bahan baku yang terjangkau bila dibandingkan dengan pati jagung.

Berdasarkan www.medanbisnisdaily.com harga tepung tapioka Rp. 5000,- s.d Rp. 5500,-

Dan berdasarkan www.titanbaking.com harga pati jagung Rp. 7600,-. Jika ditinjau dari

biaya produksi dengan proses yang sama membutuhkan biaya produksi yang sama, maka

perbedaan terletak pada harga bahan baku, dan harga tepung tapioka lebih murah

dibandingkan dengan harga tepung maizena.

I-10

Page 11: BAB I

I.4 Prospek High Fructose Syrup (HFS)

Pabrik High Fructose Syrup (HFS) dari tepung tapioka dengan proses enzimatik

didirikan dengan alasan agar dapat menurunkan impor sukrosa dan gula rafinasi yang pada

akhirnya akan membantu pemenuhan kebutuhan pemanis untuk konsumsi masyarakat dan

industri dengan memanfaatkan potensi Indonesia dalam pemenuhan bahan baku. Selain itu

dapat memberikan peluang yang bagus karena pabrik - pabrik High Fructose Syrup (HFS)

di Indonesia masih mempunyai kapasitas produksi yang kecil serta pengembangan

produksi dengan inovasi bahan baku, yaitu menggunakan tepung tapioka.

Jika kebutuhan High Fructose Syrup (HFS) untuk masyarakat dan industri bisa

terpenuhi, maka industri minuman ringan tersebut akan lebih menguntungkan jika

menggunakan High Fructose Syrup (HFS) sebagai pemanis karena jika ditinjau dari proses

lebih menguntungkan karena fasenya yang sama - sama liquid akan lebih memudahkan

homogenitas yang berkaitan dengan efisiensi dalam penggunaan energi. Jika ditinjau dari

harga, High Fructose Syrup (HFS) lebih murah karena dalam proses pembuatannya tidak

perlu dilakukan pengkristalan dan pengeringan seperti pada proses pembuatan sukrosa,

biaya proses lebih murah sehingga harga produk juga lebih murah. Selain industri

minuman ringan, industri – industri yang menggunakan High Fructose Syrup (HFS) antara

lain adalah industri yogurt, industri cokelat dan industri ice cream yang dapat

meningkatkan cita rasa produk – produk tersebut, dapat mempercepat proses fermentasi

dalam pembuatan yogurt, dan dapat mempengaruhi struktur dan viskositas pada cokelat

dan ice cream. Penggunaan High Fructose Syrup (HFS) akan memberikan keuntungan

ekonomi yang lebih untuk industri – industri tersebut.

Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendirian pabrik

High Fructose Syrup (HFS) dari tepung tapioka mempunyai prospek yang baik. Pendirian

pabrik ini diestimasi dapat menurunkan impor gula tebu (sukrosa) yang dapat

menguntungkan produksi gula nasional karena kebutuhan gula industri sebagian besar

dipenuhi dengan High Fructose Syrup (HFS) sehingga kebutuhan sukrosa dapat ditekan.

Selain itu, permintaan High Fructose Syrup (HFS) diestimasi akan terus meningkat seiring

dengan meningkatnya industri makanan, minuman dan industri – industri lain yang

menggunakan High Fructose Syrup (HFS) di Indonesia.

I.5 Penggunaan High Fructose Syrup(HFS)

High Fructose Syrup (HFS) dapat digunakan secara parsial ataupun menyeluruh

sebagai pengganti gula tebu (sucrose) atau gula inverse pada makanan yang dapat

I-11

Page 12: BAB I

menghasilkan rasa manis dan dapat meningkatan cita rasa. Selain itu High Fructose Syrup

(HFS) digunakan pada industri minuman ( soft drink ), industri kue, manisan, industri

makanan, produk susu dan lain-lain.

Berdasarkan http://www.livestrong.com penggunaan High Fructose Syrup (HFS)

mempunyai fungsi sebagai berikut :

Freezing Point

Fruktosa mempunyai freezing point yang tinggi. ini menjadi alas an penggunaan fruktosa

sebagai pemanis pada makanan – makanan beku seperti yogurt beku dan ice cream.

Freezing point yang tinggi pada fruktosa membuat produk mempunyai tekstur yang halus.

Fruit Flavor

Fruktosa disebut juga dengan gula buah karena ketika digunakan pada produk akan

memberikan rasa buah seperti pada fruit-flavored yogurt.

Glycemic Index rendah

Fructose mempunyai glycemic index yang rendah yang menyebabkan makanan atau

produk mempunyai glycemic load yang rendah. Glycemic load adalah jumlah

menunjukkan bagaimana makanan atau produk tertentu akan mempengaruhi kadar

gula darah.

Stability

Fruktosa mempunyai kestabilan yang tinggi dan digunakan untuk meningkatkan cita

rasa produk yang mempunyai stabilitas yang tinggi.

I.6. Konsumsi High Fructose Syrup (HFS)

Pada pendirian pabrik, analisa pasar untuk penentuan kapasitas pabrik sangat

penting. Dengan kapasitas yang ada, dapat ditentukan volume reaktor, perhitungan neraca

massa, neraca panas dan lain-lain. Untuk menetukan kapasitas pabrik diperlukan data-data

produksi dan pemakaian bahan, yang bisa diperoleh dari data Badan Pusat Statistik (BPS).

Kapasitas produksi High Fructose Syrup (HFS) dengan bahan dasar tepung tapioka

ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan High Fructose Syrup (HFS) dalam negeri pada

khususnya dan luar negeri pada umumnya. Jika tren kenaikan produksi tersebut digunakan

sebagai acuan dalam pendirian pabrik High Fructose Syrup (HFS) ini dan tren konsumsi

juga tetap meningkat setiap tahun, maka pendirian pabrik High Fructose Syrup (HFS) akan

dapat membantu pemenuhan permintaan High Fructose Syrup (HFS) di Indonesia dan

dapat meningkatkan ekspor.

I-12