bab i-iii

20
BAB I PENDAHULUAN Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperkirakan ada 19 juta penderita gangguan jiwa di Indonesia. Satu juta di antaranya mengalami gangguan jiwa berat atau psikosis. Prevalensi masalah mental emosional yakni depresi dan ansietas ada sebanyak 11,60 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 24.708.000 jiwa. Kemudian prevalensi gangguan jiwa berat yakni psikosis ada sekitar 0,46 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 1.065.000 juta jiwa. Keterbatasan fasilitas dan rendahnya kesadaran masyarakat mengakibatkan lebih dari 19 juta penduduk Indonesia penderita gangguan jiwa tidak mendapat akses ke layanan kesehatan yang maksimal 1 . Selama beberapa tahun terakhir, hubungan antara insomnia dengan gangguan jiwa menunjukkan suatu hubungan sirkuler dan sinergis. Penyakit jiwa seperti ansietas dan gangguan mood telah lama dikenal dengan gejala insomnia. Pada beberapa instansi, hubungan ini telah dibakukan dalam kriteria diagnostik Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV). Pengalaman klinis menunjukkan hampir semua pasien dengan gangguan mood dan ansietas memiliki gangguan tidur pada kasus kronik atau selama eksaserbasi dalam 1

Upload: muhammad-aktora-tarigan

Post on 09-Aug-2015

41 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-III

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperkirakan ada

19 juta penderita gangguan jiwa di Indonesia. Satu juta di antaranya mengalami

gangguan jiwa berat atau psikosis. Prevalensi masalah mental emosional yakni

depresi dan ansietas ada sebanyak 11,60 persen dari jumlah penduduk Indonesia

atau sekitar 24.708.000 jiwa. Kemudian prevalensi gangguan jiwa berat yakni

psikosis ada sekitar 0,46 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar

1.065.000 juta jiwa. Keterbatasan fasilitas dan rendahnya kesadaran masyarakat

mengakibatkan lebih dari 19 juta penduduk Indonesia penderita gangguan jiwa

tidak mendapat akses ke layanan kesehatan yang maksimal 1.

Selama beberapa tahun terakhir, hubungan antara insomnia dengan

gangguan jiwa menunjukkan suatu hubungan sirkuler dan sinergis. Penyakit jiwa

seperti ansietas dan gangguan mood telah lama dikenal dengan gejala insomnia.

Pada beberapa instansi, hubungan ini telah dibakukan dalam kriteria diagnostik

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-

IV). Pengalaman klinis menunjukkan hampir semua pasien dengan gangguan

mood dan ansietas memiliki gangguan tidur pada kasus kronik atau selama

eksaserbasi dalam gangguan kejiwaannya. Bagaimanapun juga telah jelas bahwa

insomnia juga meningkatkan risiko kekambuhan atau terjadinya onset ansietas

yang baru, gangguan mood, dan penyalahgunaan zat. Hubungan ini dapat

menunjukkan spiral ke bawah dari beratnya gejala dan kualitas hidup pasien

dalam usaha penyembuhan pasien. Dari sisi lain hubungan antara insomnia,

depresi, dan ansietas dapat menunjukkan suatu peluang target untuk terapi yang

memiliki manfaat yang signifikan terhadap pasien 2.

Sebuah analisa data dengan skala besar dari Epidemiologic Catchment

Area (ECA) menujukkan presentasi relatif tinggi pada individu dalam populasi

general yang mengalami gejala insomnia dan dijumpai gejala gangguan mood,

ansietas, dan penyalahgunaan zat. Dari semua sampel, 10 % dijumpai kriteria

1

Page 2: BAB I-III

insomnia, dan 40% dari penderita insomnia dijumpai minimal 1 kriteria gangguan

kejiwaan. Depresi berat atau distimia didiagnosis sebanyak 23%, gangguan

ansietas didiagnosis dalam 24%, penyalahgunaan alkohol dijumpai 7%, dan

penyalahgunaan obat sebanyak 4% 2.

Kesimpulan secara umum telah direplikasi dalam studi berkelanjutan

dengan range remaja sampai usia tua. Riwayat insomnia persisten dikatakan

meningkatkan risiko terjadinya depresi berat. Namun belum jelas apakah

insomnia merupakan gejala prodromal, genetik yang diturunkan, atau penyebab

dalam proses terjadinya gejala depresif. Meskipun demikian hubungan tersebut

telah diketahui dan menjadi target terapi, serta menjadi ind ikator evaluasi dalam

gangguan kejiwaan 2.

.Pada pasien depresi, pengobatan dengan agomelatine (reseptor dari

melatonin) meingkatkan gelombang lambat dari tidur tanpa modifikasi dari REM

(Rapid Eye Movement) jumlah tidur atau latensi REM. Kemajuan dari

agomelatine juga berupa menginduksi onset waktu tidur. Pada minggu pertama

pengobatan, onet tidur dan kualitas tidur secara signifikan ditingkatkan tanpa

kecanggungan terhadap waktu siang hari sebagaimana dinilai oleh pasien 3.

2

Page 3: BAB I-III

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Gangguan Kejiwaan

2.1.1 Definisi dan Konsep

Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ III yang merujuk pada DSM IV adalah

pola prilaku yang secara klinik cukup bermakna, atau sindroma psikologik yang

terjadi pada seorang individu yang berhubungan dengan distress (seperti gejala

nyeri) atau hendaya (kehilangan satu atau lebih area fungsi penting dalam

kehidupan) atau dengan peningkatan risiko yang bermakna dalam kematian, nyeri,

hendaya, atau kehilangan kebebasan hidup 4.

Konsep “disability” dari “ICD-10 Classification of Mental and

Behavioural Disorder” :

Gangguan kinerja (performan) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak

digunakan sebagai komponen esensial untuk diagnosis gangguan jiwa, oleh

karena hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas. Yang

diartikan sebagai “diability” adalah keterbatasan/kekurangan kemampuan untuk

melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan

hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan

kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar

dan kecil) 4.

Dari konsep tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep

gangguan jiwa didapatkan butir-butir :

1. Adanya gejala klinis yang bermakna yang berupa sindrom atau pola prilaku dan

sindrom atau pola psikologik.

2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress) antara lain dapat berupa

rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungi organ tubuh, dll.

3

Page 4: BAB I-III

3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktifitas

kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan

kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll) 4.

2.1.2 Epidemiologi

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang dilakukan di

33 provinsi di Indonesia yang mencakup 438 kabupaten/kota, prevalensi

gangguan mental emosional penduduk Indonesia yang berusia ≥ 15 tahun sebesar

11,6%. Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang

mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat

berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut, sehingga perlu

dilakukan antisipasi agarkesehatan jiwa masyarakat tetap terjaga 5.

2.1.2 Etiologi

Gangguan jiwa biasanya disebabkan oleh kombinasi faktor genetika atau

biologis (alami) dan lingkungan (didapat). Penggunaan zat atau obat-obatan juga

berperan dalam terbentuknya gangguan jiwa. Meskipun sulit untuk menjelaskan

peran hal ini di dalam individu, namun harus dipahami bahwa bagaimana faktor-

faktor ini secara independen mempengaruhi fungsi mental, sehingga dapat

dterapkan metode pencegahan dan intervensi yang tepat 6.

Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa dibedakan atas :

a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologic

1) Keturunan

Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas dalam

mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat

ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.

2) Jasmaniah

Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang berhubungan dengan

gangguan jiwa tertentu, Misalnya yang bertubuh gemuk / endoform cenderung

menderita psikosa manik depresif, sedang yang kurus/ ectoform cenderung

menjadi skizofrenia.

3) Temperamen

Orang yang terlalu peka/ sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan

ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.

4

Page 5: BAB I-III

4) Penyakit dan cedera tubuh

Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker dan sebagainya,

mungkin menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera/cacat

tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa rendah diri.

b. Sebab Psikologik

Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami

akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang

manusia dapat dibagi atas 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung

terjadinya gangguan jiwa mulai dari masa bayi sampai usia lanjut.

2.1.3 Manifestasi Klinis 7

a. Tingkat Kesadaran

Apersepsi merupakan persepsi yang dimodifikasi oleh emosi dan pikiran

seseorang. Sensorium merupakan keadaan fungsi kognitif terhada perasaan

khusus ( sering digunakan sebagai sinonim kesadaran). Gangguan kesadaran

paling sering berhubungan dengan asal patologis.

b. Emosi

1. Afek, yaitu ekspresi emosi seseorang yag terlihat, mungkin tidak konsisten

dengan apa yang diungkapkan pasien

2. Mood, yaitu suatu emosi yag meresap dan dipertahankan, yang dialami secara

subjektif dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain (seperti depresi,

elasi, dan kemarahan)

3. Emosi yang lain dapat berupa kecemasan, ketakutan, agitasi, ketegangan, panik,

apatis, malu, rasa bersalah dan sebagainya.

4. Gangguan psikologis yang berhubungan dengan mood berupa tanda disfungsi

somatik (biasanya otonomik pada seseorang), paling sering berhubungan dengan

depresi berupa anoreksia, hiperfagia, gangguan tidur, penurunan libido, dan

sebagainya.

c. Perilaku Motorik (konasi)

5

Page 6: BAB I-III

Aspek jiwa yang termasuk impuls, motivasi, harapan, dorongan, insting,

idaman, seperti yang diekspresikan oleh perilaku atau aktivitas motorik seseorang.

d. Gangguan Proses Berpikir

Dalam hal ini mencakup gangguan dalam bentuk pikiran dan isi pikiran.

e. Gangguan Berbicara

Merupakan gangguan dalam gagasan, pikiran, perasaan yang

diekspresikan melalui bahasa, atau gangguan komunikasi melalui penggunaan

kata-kata dan bahasa.

f. Gangguan Persepsi

Merupakan gangguan proses pemindahan stimulasi fisik menjadi

informasi psikologis, atau proses gangguan mental dimana stimulasi sensoris

dibawa ke kesadaran.

g. Gangguan Daya Ingat

Merupakan gangguan fungsi di mana informasi disimpan di otak dan

seanjutnya diingat kembali di kesadaran.

2.1.4 Gangguan Tidur pada Gangguan Jiwa

Selain pada depresi berat dan gangguan distimik, insomnia juga terjadi

pada gangguan bipolar selama episode manik dan depresif. Beberapa pasien

dengan manik disebutkan mengalami kemunduran kebutuhan untuk tidur dan

kesulitan untuk tidur. Target terapi dini untuk masalah ini dapat membatasi

progresivitas penyakit pasien 2.

Pada gangguan ansietas insomnia juga merupakan masalah untuk pasien

dengan gangguan panik, gangguan stress pasca trauma, gangguan ansietas umum,

dan fobia sosial. Kebanyakan pasien dengan gangguan panik sewaktu akan

menunjukkan episode distress panik jika mereka bangun tidur. Hal ini juga

dipertimbangkan sebagai antisipasi kecemasan untuk tidur, dimana akan terjadi

ketidakcuupan tidur dan timbulnya ansietas. Pasie dengan gangguan stres post

6

Page 7: BAB I-III

traumatik menunjukkan kemunduran kualitas tidur dan terbangun di tengah

malam. Pasien dengan ansietas kronik secara umum sering berpengaruh sepanjang

malam dengan kesulitan untuk tidur dan terbangun berulang. Pasien dengan fobia

sosial secara signifikan dilaporkan mempunyai kualitas tidur yang buruk dan

kesulitan untuk tertidur dibandingkan dengan orang yang sehat 2.

2.2 Melatonin

Melatonin merupakan hormon utama dari kelenjar pineal, bertindak sebagai

kuat "chronobiotic," yang fungsinya mempertahankan ritme sirkadian normal 8.

Mesin enzimatik untuk biosintesis melatonin pada pinealocytes pertama kali

diidentifikasi oleh Axelrod. Prekursornya, triptofan, diambil dari darah dan

diubah, melalui 5-hydroxytryptophan,untuk serotonin. Serotonin kemudian

diasetilasi membentuk N-acetylserotonin oleh arylakylamine N-

asetiltransferase(AA-NAT), yang, dalam banyak kasus, merupakan ratelimiting

enzim .N-acetylserotonin diubah menjadi melatonin oleh hydroxyindoleO-

methyltransferase. Produksi dari kelenjar pineal, melatonin menunjukkan irama

sirkadian dengan tingkat rendah selama siang hari dan tingkat tinggi selama

malam hari. Enzim-enzim biosintesis melatonin baru-baru ini diidentifikasi dalam

7

Page 8: BAB I-III

limfosit manusia, dan melatonin secara lokal disintesis mungkin terlibat dalam

pengaturan sistem kekebalan tubuh. Di antara berbagai situs extrapineal lain dari

biosintesis melatonin, saluran pencernaan adalah sangat penting karena berisi

jumlah melatonin melebihi oleh beberapa ratus kali lipat yang ditemukan di

kelenjar pineal. Selain pada kelenjar pineal, melatonin juga disintesis di beberapa

tempat seperti; dalam retina, sumsum tulang, saluran pencernaan, dan usus 8,9.

Selama tidur malam, tingkat melatonin dalam tubuh naik, mencapai puncak

antara jam 11 malam dan jam 2 pagi, dan kemudian turun secara dramatis saat

hari menjelang fajar. Produksi melatonin berhubungan dengan umur, meningkat

pada tiga bulan setelah lahir, memuncak pada usia enam tahun, dan mulai merosot

setelah masa puber .Produksi Melatonin berbanding terbalik dengan produksi

serotonin, zat kimia yang menarik pembuluh darah dan bertindak sebagai

pemancar syaraf. Pikiran paling aktif selama siang hari,saat berkelana secara liar

dan kacau, menyebabkan peningkatan jumlah serotonin yang diperlukan oleh sel-

sel syaraf. Selama malam hari atau meditasi, saat pikiran kurang aktif, serotonin

berkurang dan lebih banyak melatonin diproduksi, dan situasinya berubah 10.

2.2.1 Reseptor Melatonin

Melatonin memiliki aksi di endokrin, autokrin dan parakrin, dan beberapa

dari aksi ini adalah dimediasi reseptor, sementara yang lain beraksi secara

langsung. Ada tiga kelas reseptor melatonin, MT1, MT2, dan MT3. Dalam

jaringan mamalia, distribusi reseptor melatonin tampaknya luas. Reseptor yang

paling konsisten ditemukan di SCN dan tuberalis pars dari adenophysis, meskipun

penelitian saat ini menunjukkan bahwa jaringan sedikit yang tidak memiliki

reseptor melatonin. MT1 reseptor merupakan afinitas reseptor tinggi yang masuk

dalam pasangan superfamili G-protein reseptor, dan mengikat melatonin untuk

hasil reseptor di penghambatan aktivitas adenilat siklase di dalam sel target. Ada

dua sub kelompok dari reseptor ML1, reseptor ML1a dan reseptor ML1b .

Reseptor ML1 yang mungkin terlibat dalam fungsi regulasi retina, irama sirkadian

dan reproduksi. Reseptor ML2 reseptor merupakan reseptor afinitas rendah yang

8

Page 9: BAB I-III

digabungkan untuk hidrolisis phosphoinositol. Aktivasi MT3 reseptor leukotrien

B4 menghambat akibat adhesi leukosit dan menurunkan tekanan intraokular 10.

2.2.2 Mekanisme sekresi melatonin

Cahaya mengaktifkan glutamat (Glu)-yang mengandung

saluranretinohypothalamic (RHT) yang berjalan dari mata ke

suprachiasmaticnucleus (SCN). Melalui proyeksi polysynaptic, SCN fungsional

menghambat aktivitasganglia servikalis superior (SCG), yang memasok kelenjar

pineal dengan,rangsang noradrenalin (NA)-yang mengandung masukan. Sirkuit

ini memungkinkan cahaya untuk menekan produksi dan pelepasan melatonin dari

kelenjar pineal dan, dengan demikian, sekresi melatonin meningkat pada

periodegelap. Melatonin timbal balik mengaktifkan neuron di SCN dengan

tindakan dimelatonin 1 (MT) dan reseptor MT 8.

2.2.3 Farmakokinetik melatonin

Endogenous Melatonin

Melatonin endogen disintesis oleh kelenjar pineal dilepaskan dengan cepat

ke dalam aliran darah dan kemudian ke cairan tubuh lainnya, termasuk cairan

tulang belakang otak (CSF), air liur, dan empedu. Kadar melatonin dalam empedu

dan CSF beberapa kali lebih tinggi daripada tingkat yang terlihat dalam serum.

Dari melatonin ditemukan dalam aliran darah, 50-75 persen terikat reversibel

untuk glikoprotein albumin dan alpha1-asam, protein yang ditemukan dalam

plasma. Melatonin Serum paruh diperkirakan 30-60 menit, dan pertama-pass

saya-tabolism dalam hasil hati dalam tingkat clearance dari 90 persen. Enzim hati

mengkonversi melatonin untuk 6-hydroxymelatonin. Tujuh puluh persen dari 6-

hidroksi-melatonin kemudian terikat sulfat (6-sulfa-toxymelatonin) dengan enam

persen terikat glukuronat dan diekskresikan dalam urin 8.

Exogenous Melatonin

Melatonin oral dengan cepat diserap ,dan tingkat serum puncak yang

9

Page 10: BAB I-III

diamati pada 60-150 menit. Konsentrasi puncak setelah dosis oral secara

signifikan lebih tinggi (350-10,000 kali) daripada yang terlihat dengan sekresi

melatonin endogen. Bioavailabilitas Melatonin dari dosis oral berkisar 10-56

persen. 1 eksogen melatonin dimetabolisme dan diekskresikan melalui jalur yang

sama seperti melatonin endogen. Waktu paruh melatonin eksogen adalah 12-48

menit 4.

2.3 Efek Melatonin pada Gangguan Jiwa

5-hidroksitriptamin (5-HT) adalah reseptor yang hadir dalam nukleus

suprachiasmatic (SCN), di mana mereka memodifikasi respon neuron intrinsik

untuk masukan yg berhubung dengan cahaya .Aktivitas di 5-HT reseptor

sepertinya meningkat pada depresi, sedangkan penurunan terjadi saat pemberian

antidepresan tertentu dalam jangka panjang, dan juga berkurangnya waktu tidur.

5-HT antagonis reseptor mempromosikan gelombang tidur lambat dan libido.

Secara kolektif, pengamatan ini menunjukkan bahwa 5-HT antagonisme reseptor

bisa mempengaruhi suasana hati, sinkronisasi sirkadian dan kualitas tidur, sambil

menjaga fungsi seksual .Sekresi melatonin endogen juga bisa mempengaruhi

tingkah laku manusia juga yang ditunjukkan oleh laporan yang menggambarkan

dampak dari indole endogen pada tingkat serotonin otak 10.

Melatonin, serta sifatnya yang dikenal dari irama modulasi sirkadian, telah

menunjukkan untuk memodulasi aktivitas sistem kekebalan tubuh, menunjukkan

tindakan proinflamasi dan antiinflamasi, dan mengganggu sumbu HPA dan

sekresi kortisol, kortikosteroid, selain dari tindakan imunosupresif mapan mereka,

tampaknya memiliki tindakan upregulatory pada sintesis melatonin; sitokin telah

terbukti turun mengatur GR (glukokortokoid) , dan peradangan telah terbukti

turun mengatur sintesis melatonin. Antidepresan, selain modulasi mereka mapan

tingkat monoamine sinaptik, tampaknya memiliki efek positif pada perubahan

neuroendokrin ditemukan pada pasien depresi. Pada kebanyakan studi, mereka

telah terbukti meningkatkan tingkat melatonin malam hari terutama karena

tindakan noradrenergik dan stimulasi, dan, dalam beberapa bagian, juga untuk

tindakan serotonergik 11.

10

Page 11: BAB I-III

Kadar melatonin dan ritme sikardian melatonin secara signifikan menurun

pada pasien skizofrenia. Penggunaan melatonin sebagai obat tambahan dapat

meningkatkan efikasi pemberian antipsikotik dalam antiinflamasi dan efek

antioksidatif. Selain itu, melatonin dapat memperbaiki gangguan tidur pada

skizofrenia dan mengurangi efek samping anti psikotik seperti tardive dyskinesia,

sindroma metabolik, dan hipertensi. Melatonin juga berpengaruh pada

kabatolisme triptofan melalui efeknya dalam respon terhadap sekresi kortisol

kemudian diteruskan pada proses asosiasi kognisi dari korteks, amigdala, dan

striata. Sekresi melatonin pada skizofrenia menurun dan berkaitan dengan

etiologi, patofisiologi, serta manajemennya 12.

2.3.2 Hipnotik/ Sedatif

Administrasi melatonin, terlepas dari waktu dosis, memberikan suatu efek

hipnotis dan obat penenang jika diberikan dalam dosis 0,3-5,0 mg (mendekati

kisaranfisiologis melatonin endogen).Jika diambil sebelum timbulnya sekresi

melatonin endogen, bahkan dosis rendah dapat menginduksi tidur. Melatonin

dianggap mempotensiasi mempengaruhi gamma-aminobutyric acid (GABA)

melalui interaksi langsung dengan reseptor GABA. Penelitian menunjukkan

melatonin memberikan sebuah aksi tidur-mempromosikan dengan mempercepat

inisiasi tidur, meningkatkan pemeliharaan tidur, dan sedikit mengubah arsitektur

tidur 9.

2.3.2 Efek Samping dan Toksisitas

Efek samping melatonin sedikit dan secara umum dianggap aman dalam

dosis yang direkomendasikan. Ada laporan kasus terisolasi psikomotor gangguan

(disorientasi, kelelahan, sakit kepala, pusing, dll), risiko kejangmeningkat, dan

kelainan pembekuan darah yang berhubungan dengan melatonin sendiri atau

dalam kombinasi dengan obat lain 9.

11

Page 12: BAB I-III

BAB III

KESIMPULAN

. Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ III yang merujuk pada DSM IV adalah

pola prilaku yang secara klinik cukup bermakna, atau sindroma psikologik yang

terjadi pada seorang individu yang berhubungan dengan distress (seperti gejala

nyeri) atau hendaya (kehilangan satu atau lebih area fungsi penting dalam

kehidupan) atau dengan peningkatan risiko yang bermakna dalam kematian, nyeri,

hendaya, atau kehilangan kebebasan hidup.

Melatonin, irama sirkadian, sumbu HPA, dan sitokin proinflamasi tampaknya akan

terganggu pada pasien dengan gangguan jiwa. Dibandingkan dengan populasi normal,

melatonin tampaknya memiliki tingkat nokturnal yang lebih rendah, pergeseran fase, atau

variasi amplitudo irama sirkadian, dan gangguan β-adrenoseptor telah ditemukan;

kelainan ini telah berkorelasi positif dengan tingkat keparahan depresi. Sebuah penelitian

terbaru juga telah mencoba untuk menemukan beberapa basis genetik dari perubahan ini,

dan hasil yang menarik memiliki asosiasi-ciated depresi dengan adanya polimorfisme gen

tertentu dalam enzim untuk sintesis melatonin. Pasien depresi telah menunjukkan irama

sirkadian terganggu seperti tidur / bangun siklus, inti suhu tubuh, dan kortisol dan variasi

melatonin harian; menarik, keparahan depresi telah berkorelasi dengan perubahan dalam

amplitudo dari irama sirkadian dan dengan sudut fase antara onset melatonin dan titik

nadir dari suhu tubuh inti.

12

Page 13: BAB I-III

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Teguh. 2011.19 Juta Penduduk Indonesia Gangguan Jiwa. [Online]. [Dikutip: 10 November 2012.] Dalam Http://www.harianhaluan.com.

2. David N. Neubauer, MD. 2007. Insomnia and Psychiatric Disorders. Medscape of Neurology. [Online]. [Dikutip: 9 November 2012.] http://www.medscape.org/viewarticle/480681.

3. Anonim. 2011. Valdoxan -Product information .Version 7. ERVIER LABORATORIES (AUST) PTY LTD 8 Cato Street Hawthorn : s.n.,.

4. R., Maslim. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bag.Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya : s.n., 7.

5. Sri Idaiani, Suhardi, Antonius Yudi Kristanto. 2009. Analisis Gejala Gangguan Mental Emosional Penduduk Indonesa.. 10, Jakarta : Majalah Kedokteran Indonesia , Vol. 59. 473-9.

6. Halper, Elizabeth. 2010. Causes of Mental Disorder. Livestrong. [Online]. [Dikutip: 8 11 2012.] http://www.livestrong.com/article/90313-causes-mental-disorders/#ixzz2C99wnfS1.

7. Harold I Kaplan, Benjamin Sadock, Jack A Grebb. 2007. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatris Klinis Edisi 7. Jakarta : EGC,.

8. R., Thorne. Desember 2005. Melatonin . Alternative Medicine Review, Vol. 10. 326-332.

9. R, Pandi S. dan Srinivasan V, Dkk.Melatonin: A Versatil Signal. 273, s.l. : FEBS Journal . 2813–2828.

10. N, Buscemi. 2004. Melatonin for Treatment of Sleep Disorders. 108, s.l. : Evidence Report/Technology Assessment,. 1-6.

11. Antonioli M, Rybka J, and Carvalho L.A.Neuroendocrinological Effects of Antidepressants: Is There a Role for Melatonin? Promotion of Health, Second Edition. 451-464.

12. G, Anderson dan M, Maes. 2012. Melatonin: an overlooked factor in schizophrenia and in the inhibition of anti-psychotic side effects (Abstract). [Online] [Dikutip: 9 November 2012.] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22527998.

13