bab i-iii
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperkirakan ada
19 juta penderita gangguan jiwa di Indonesia. Satu juta di antaranya mengalami
gangguan jiwa berat atau psikosis. Prevalensi masalah mental emosional yakni
depresi dan ansietas ada sebanyak 11,60 persen dari jumlah penduduk Indonesia
atau sekitar 24.708.000 jiwa. Kemudian prevalensi gangguan jiwa berat yakni
psikosis ada sekitar 0,46 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar
1.065.000 juta jiwa. Keterbatasan fasilitas dan rendahnya kesadaran masyarakat
mengakibatkan lebih dari 19 juta penduduk Indonesia penderita gangguan jiwa
tidak mendapat akses ke layanan kesehatan yang maksimal 1.
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan antara insomnia dengan
gangguan jiwa menunjukkan suatu hubungan sirkuler dan sinergis. Penyakit jiwa
seperti ansietas dan gangguan mood telah lama dikenal dengan gejala insomnia.
Pada beberapa instansi, hubungan ini telah dibakukan dalam kriteria diagnostik
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-
IV). Pengalaman klinis menunjukkan hampir semua pasien dengan gangguan
mood dan ansietas memiliki gangguan tidur pada kasus kronik atau selama
eksaserbasi dalam gangguan kejiwaannya. Bagaimanapun juga telah jelas bahwa
insomnia juga meningkatkan risiko kekambuhan atau terjadinya onset ansietas
yang baru, gangguan mood, dan penyalahgunaan zat. Hubungan ini dapat
menunjukkan spiral ke bawah dari beratnya gejala dan kualitas hidup pasien
dalam usaha penyembuhan pasien. Dari sisi lain hubungan antara insomnia,
depresi, dan ansietas dapat menunjukkan suatu peluang target untuk terapi yang
memiliki manfaat yang signifikan terhadap pasien 2.
Sebuah analisa data dengan skala besar dari Epidemiologic Catchment
Area (ECA) menujukkan presentasi relatif tinggi pada individu dalam populasi
general yang mengalami gejala insomnia dan dijumpai gejala gangguan mood,
ansietas, dan penyalahgunaan zat. Dari semua sampel, 10 % dijumpai kriteria
1
insomnia, dan 40% dari penderita insomnia dijumpai minimal 1 kriteria gangguan
kejiwaan. Depresi berat atau distimia didiagnosis sebanyak 23%, gangguan
ansietas didiagnosis dalam 24%, penyalahgunaan alkohol dijumpai 7%, dan
penyalahgunaan obat sebanyak 4% 2.
Kesimpulan secara umum telah direplikasi dalam studi berkelanjutan
dengan range remaja sampai usia tua. Riwayat insomnia persisten dikatakan
meningkatkan risiko terjadinya depresi berat. Namun belum jelas apakah
insomnia merupakan gejala prodromal, genetik yang diturunkan, atau penyebab
dalam proses terjadinya gejala depresif. Meskipun demikian hubungan tersebut
telah diketahui dan menjadi target terapi, serta menjadi ind ikator evaluasi dalam
gangguan kejiwaan 2.
.Pada pasien depresi, pengobatan dengan agomelatine (reseptor dari
melatonin) meingkatkan gelombang lambat dari tidur tanpa modifikasi dari REM
(Rapid Eye Movement) jumlah tidur atau latensi REM. Kemajuan dari
agomelatine juga berupa menginduksi onset waktu tidur. Pada minggu pertama
pengobatan, onet tidur dan kualitas tidur secara signifikan ditingkatkan tanpa
kecanggungan terhadap waktu siang hari sebagaimana dinilai oleh pasien 3.
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Gangguan Kejiwaan
2.1.1 Definisi dan Konsep
Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ III yang merujuk pada DSM IV adalah
pola prilaku yang secara klinik cukup bermakna, atau sindroma psikologik yang
terjadi pada seorang individu yang berhubungan dengan distress (seperti gejala
nyeri) atau hendaya (kehilangan satu atau lebih area fungsi penting dalam
kehidupan) atau dengan peningkatan risiko yang bermakna dalam kematian, nyeri,
hendaya, atau kehilangan kebebasan hidup 4.
Konsep “disability” dari “ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorder” :
Gangguan kinerja (performan) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak
digunakan sebagai komponen esensial untuk diagnosis gangguan jiwa, oleh
karena hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas. Yang
diartikan sebagai “diability” adalah keterbatasan/kekurangan kemampuan untuk
melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan
hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar
dan kecil) 4.
Dari konsep tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep
gangguan jiwa didapatkan butir-butir :
1. Adanya gejala klinis yang bermakna yang berupa sindrom atau pola prilaku dan
sindrom atau pola psikologik.
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress) antara lain dapat berupa
rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungi organ tubuh, dll.
3
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktifitas
kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll) 4.
2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang dilakukan di
33 provinsi di Indonesia yang mencakup 438 kabupaten/kota, prevalensi
gangguan mental emosional penduduk Indonesia yang berusia ≥ 15 tahun sebesar
11,6%. Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang
mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat
berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut, sehingga perlu
dilakukan antisipasi agarkesehatan jiwa masyarakat tetap terjaga 5.
2.1.2 Etiologi
Gangguan jiwa biasanya disebabkan oleh kombinasi faktor genetika atau
biologis (alami) dan lingkungan (didapat). Penggunaan zat atau obat-obatan juga
berperan dalam terbentuknya gangguan jiwa. Meskipun sulit untuk menjelaskan
peran hal ini di dalam individu, namun harus dipahami bahwa bagaimana faktor-
faktor ini secara independen mempengaruhi fungsi mental, sehingga dapat
dterapkan metode pencegahan dan intervensi yang tepat 6.
Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa dibedakan atas :
a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologic
1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas dalam
mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat
ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
2) Jasmaniah
Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang berhubungan dengan
gangguan jiwa tertentu, Misalnya yang bertubuh gemuk / endoform cenderung
menderita psikosa manik depresif, sedang yang kurus/ ectoform cenderung
menjadi skizofrenia.
3) Temperamen
Orang yang terlalu peka/ sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan
ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.
4
4) Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker dan sebagainya,
mungkin menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera/cacat
tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa rendah diri.
b. Sebab Psikologik
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami
akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang
manusia dapat dibagi atas 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung
terjadinya gangguan jiwa mulai dari masa bayi sampai usia lanjut.
2.1.3 Manifestasi Klinis 7
a. Tingkat Kesadaran
Apersepsi merupakan persepsi yang dimodifikasi oleh emosi dan pikiran
seseorang. Sensorium merupakan keadaan fungsi kognitif terhada perasaan
khusus ( sering digunakan sebagai sinonim kesadaran). Gangguan kesadaran
paling sering berhubungan dengan asal patologis.
b. Emosi
1. Afek, yaitu ekspresi emosi seseorang yag terlihat, mungkin tidak konsisten
dengan apa yang diungkapkan pasien
2. Mood, yaitu suatu emosi yag meresap dan dipertahankan, yang dialami secara
subjektif dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain (seperti depresi,
elasi, dan kemarahan)
3. Emosi yang lain dapat berupa kecemasan, ketakutan, agitasi, ketegangan, panik,
apatis, malu, rasa bersalah dan sebagainya.
4. Gangguan psikologis yang berhubungan dengan mood berupa tanda disfungsi
somatik (biasanya otonomik pada seseorang), paling sering berhubungan dengan
depresi berupa anoreksia, hiperfagia, gangguan tidur, penurunan libido, dan
sebagainya.
c. Perilaku Motorik (konasi)
5
Aspek jiwa yang termasuk impuls, motivasi, harapan, dorongan, insting,
idaman, seperti yang diekspresikan oleh perilaku atau aktivitas motorik seseorang.
d. Gangguan Proses Berpikir
Dalam hal ini mencakup gangguan dalam bentuk pikiran dan isi pikiran.
e. Gangguan Berbicara
Merupakan gangguan dalam gagasan, pikiran, perasaan yang
diekspresikan melalui bahasa, atau gangguan komunikasi melalui penggunaan
kata-kata dan bahasa.
f. Gangguan Persepsi
Merupakan gangguan proses pemindahan stimulasi fisik menjadi
informasi psikologis, atau proses gangguan mental dimana stimulasi sensoris
dibawa ke kesadaran.
g. Gangguan Daya Ingat
Merupakan gangguan fungsi di mana informasi disimpan di otak dan
seanjutnya diingat kembali di kesadaran.
2.1.4 Gangguan Tidur pada Gangguan Jiwa
Selain pada depresi berat dan gangguan distimik, insomnia juga terjadi
pada gangguan bipolar selama episode manik dan depresif. Beberapa pasien
dengan manik disebutkan mengalami kemunduran kebutuhan untuk tidur dan
kesulitan untuk tidur. Target terapi dini untuk masalah ini dapat membatasi
progresivitas penyakit pasien 2.
Pada gangguan ansietas insomnia juga merupakan masalah untuk pasien
dengan gangguan panik, gangguan stress pasca trauma, gangguan ansietas umum,
dan fobia sosial. Kebanyakan pasien dengan gangguan panik sewaktu akan
menunjukkan episode distress panik jika mereka bangun tidur. Hal ini juga
dipertimbangkan sebagai antisipasi kecemasan untuk tidur, dimana akan terjadi
ketidakcuupan tidur dan timbulnya ansietas. Pasie dengan gangguan stres post
6
traumatik menunjukkan kemunduran kualitas tidur dan terbangun di tengah
malam. Pasien dengan ansietas kronik secara umum sering berpengaruh sepanjang
malam dengan kesulitan untuk tidur dan terbangun berulang. Pasien dengan fobia
sosial secara signifikan dilaporkan mempunyai kualitas tidur yang buruk dan
kesulitan untuk tertidur dibandingkan dengan orang yang sehat 2.
2.2 Melatonin
Melatonin merupakan hormon utama dari kelenjar pineal, bertindak sebagai
kuat "chronobiotic," yang fungsinya mempertahankan ritme sirkadian normal 8.
Mesin enzimatik untuk biosintesis melatonin pada pinealocytes pertama kali
diidentifikasi oleh Axelrod. Prekursornya, triptofan, diambil dari darah dan
diubah, melalui 5-hydroxytryptophan,untuk serotonin. Serotonin kemudian
diasetilasi membentuk N-acetylserotonin oleh arylakylamine N-
asetiltransferase(AA-NAT), yang, dalam banyak kasus, merupakan ratelimiting
enzim .N-acetylserotonin diubah menjadi melatonin oleh hydroxyindoleO-
methyltransferase. Produksi dari kelenjar pineal, melatonin menunjukkan irama
sirkadian dengan tingkat rendah selama siang hari dan tingkat tinggi selama
malam hari. Enzim-enzim biosintesis melatonin baru-baru ini diidentifikasi dalam
7
limfosit manusia, dan melatonin secara lokal disintesis mungkin terlibat dalam
pengaturan sistem kekebalan tubuh. Di antara berbagai situs extrapineal lain dari
biosintesis melatonin, saluran pencernaan adalah sangat penting karena berisi
jumlah melatonin melebihi oleh beberapa ratus kali lipat yang ditemukan di
kelenjar pineal. Selain pada kelenjar pineal, melatonin juga disintesis di beberapa
tempat seperti; dalam retina, sumsum tulang, saluran pencernaan, dan usus 8,9.
Selama tidur malam, tingkat melatonin dalam tubuh naik, mencapai puncak
antara jam 11 malam dan jam 2 pagi, dan kemudian turun secara dramatis saat
hari menjelang fajar. Produksi melatonin berhubungan dengan umur, meningkat
pada tiga bulan setelah lahir, memuncak pada usia enam tahun, dan mulai merosot
setelah masa puber .Produksi Melatonin berbanding terbalik dengan produksi
serotonin, zat kimia yang menarik pembuluh darah dan bertindak sebagai
pemancar syaraf. Pikiran paling aktif selama siang hari,saat berkelana secara liar
dan kacau, menyebabkan peningkatan jumlah serotonin yang diperlukan oleh sel-
sel syaraf. Selama malam hari atau meditasi, saat pikiran kurang aktif, serotonin
berkurang dan lebih banyak melatonin diproduksi, dan situasinya berubah 10.
2.2.1 Reseptor Melatonin
Melatonin memiliki aksi di endokrin, autokrin dan parakrin, dan beberapa
dari aksi ini adalah dimediasi reseptor, sementara yang lain beraksi secara
langsung. Ada tiga kelas reseptor melatonin, MT1, MT2, dan MT3. Dalam
jaringan mamalia, distribusi reseptor melatonin tampaknya luas. Reseptor yang
paling konsisten ditemukan di SCN dan tuberalis pars dari adenophysis, meskipun
penelitian saat ini menunjukkan bahwa jaringan sedikit yang tidak memiliki
reseptor melatonin. MT1 reseptor merupakan afinitas reseptor tinggi yang masuk
dalam pasangan superfamili G-protein reseptor, dan mengikat melatonin untuk
hasil reseptor di penghambatan aktivitas adenilat siklase di dalam sel target. Ada
dua sub kelompok dari reseptor ML1, reseptor ML1a dan reseptor ML1b .
Reseptor ML1 yang mungkin terlibat dalam fungsi regulasi retina, irama sirkadian
dan reproduksi. Reseptor ML2 reseptor merupakan reseptor afinitas rendah yang
8
digabungkan untuk hidrolisis phosphoinositol. Aktivasi MT3 reseptor leukotrien
B4 menghambat akibat adhesi leukosit dan menurunkan tekanan intraokular 10.
2.2.2 Mekanisme sekresi melatonin
Cahaya mengaktifkan glutamat (Glu)-yang mengandung
saluranretinohypothalamic (RHT) yang berjalan dari mata ke
suprachiasmaticnucleus (SCN). Melalui proyeksi polysynaptic, SCN fungsional
menghambat aktivitasganglia servikalis superior (SCG), yang memasok kelenjar
pineal dengan,rangsang noradrenalin (NA)-yang mengandung masukan. Sirkuit
ini memungkinkan cahaya untuk menekan produksi dan pelepasan melatonin dari
kelenjar pineal dan, dengan demikian, sekresi melatonin meningkat pada
periodegelap. Melatonin timbal balik mengaktifkan neuron di SCN dengan
tindakan dimelatonin 1 (MT) dan reseptor MT 8.
2.2.3 Farmakokinetik melatonin
Endogenous Melatonin
Melatonin endogen disintesis oleh kelenjar pineal dilepaskan dengan cepat
ke dalam aliran darah dan kemudian ke cairan tubuh lainnya, termasuk cairan
tulang belakang otak (CSF), air liur, dan empedu. Kadar melatonin dalam empedu
dan CSF beberapa kali lebih tinggi daripada tingkat yang terlihat dalam serum.
Dari melatonin ditemukan dalam aliran darah, 50-75 persen terikat reversibel
untuk glikoprotein albumin dan alpha1-asam, protein yang ditemukan dalam
plasma. Melatonin Serum paruh diperkirakan 30-60 menit, dan pertama-pass
saya-tabolism dalam hasil hati dalam tingkat clearance dari 90 persen. Enzim hati
mengkonversi melatonin untuk 6-hydroxymelatonin. Tujuh puluh persen dari 6-
hidroksi-melatonin kemudian terikat sulfat (6-sulfa-toxymelatonin) dengan enam
persen terikat glukuronat dan diekskresikan dalam urin 8.
Exogenous Melatonin
Melatonin oral dengan cepat diserap ,dan tingkat serum puncak yang
9
diamati pada 60-150 menit. Konsentrasi puncak setelah dosis oral secara
signifikan lebih tinggi (350-10,000 kali) daripada yang terlihat dengan sekresi
melatonin endogen. Bioavailabilitas Melatonin dari dosis oral berkisar 10-56
persen. 1 eksogen melatonin dimetabolisme dan diekskresikan melalui jalur yang
sama seperti melatonin endogen. Waktu paruh melatonin eksogen adalah 12-48
menit 4.
2.3 Efek Melatonin pada Gangguan Jiwa
5-hidroksitriptamin (5-HT) adalah reseptor yang hadir dalam nukleus
suprachiasmatic (SCN), di mana mereka memodifikasi respon neuron intrinsik
untuk masukan yg berhubung dengan cahaya .Aktivitas di 5-HT reseptor
sepertinya meningkat pada depresi, sedangkan penurunan terjadi saat pemberian
antidepresan tertentu dalam jangka panjang, dan juga berkurangnya waktu tidur.
5-HT antagonis reseptor mempromosikan gelombang tidur lambat dan libido.
Secara kolektif, pengamatan ini menunjukkan bahwa 5-HT antagonisme reseptor
bisa mempengaruhi suasana hati, sinkronisasi sirkadian dan kualitas tidur, sambil
menjaga fungsi seksual .Sekresi melatonin endogen juga bisa mempengaruhi
tingkah laku manusia juga yang ditunjukkan oleh laporan yang menggambarkan
dampak dari indole endogen pada tingkat serotonin otak 10.
Melatonin, serta sifatnya yang dikenal dari irama modulasi sirkadian, telah
menunjukkan untuk memodulasi aktivitas sistem kekebalan tubuh, menunjukkan
tindakan proinflamasi dan antiinflamasi, dan mengganggu sumbu HPA dan
sekresi kortisol, kortikosteroid, selain dari tindakan imunosupresif mapan mereka,
tampaknya memiliki tindakan upregulatory pada sintesis melatonin; sitokin telah
terbukti turun mengatur GR (glukokortokoid) , dan peradangan telah terbukti
turun mengatur sintesis melatonin. Antidepresan, selain modulasi mereka mapan
tingkat monoamine sinaptik, tampaknya memiliki efek positif pada perubahan
neuroendokrin ditemukan pada pasien depresi. Pada kebanyakan studi, mereka
telah terbukti meningkatkan tingkat melatonin malam hari terutama karena
tindakan noradrenergik dan stimulasi, dan, dalam beberapa bagian, juga untuk
tindakan serotonergik 11.
10
Kadar melatonin dan ritme sikardian melatonin secara signifikan menurun
pada pasien skizofrenia. Penggunaan melatonin sebagai obat tambahan dapat
meningkatkan efikasi pemberian antipsikotik dalam antiinflamasi dan efek
antioksidatif. Selain itu, melatonin dapat memperbaiki gangguan tidur pada
skizofrenia dan mengurangi efek samping anti psikotik seperti tardive dyskinesia,
sindroma metabolik, dan hipertensi. Melatonin juga berpengaruh pada
kabatolisme triptofan melalui efeknya dalam respon terhadap sekresi kortisol
kemudian diteruskan pada proses asosiasi kognisi dari korteks, amigdala, dan
striata. Sekresi melatonin pada skizofrenia menurun dan berkaitan dengan
etiologi, patofisiologi, serta manajemennya 12.
2.3.2 Hipnotik/ Sedatif
Administrasi melatonin, terlepas dari waktu dosis, memberikan suatu efek
hipnotis dan obat penenang jika diberikan dalam dosis 0,3-5,0 mg (mendekati
kisaranfisiologis melatonin endogen).Jika diambil sebelum timbulnya sekresi
melatonin endogen, bahkan dosis rendah dapat menginduksi tidur. Melatonin
dianggap mempotensiasi mempengaruhi gamma-aminobutyric acid (GABA)
melalui interaksi langsung dengan reseptor GABA. Penelitian menunjukkan
melatonin memberikan sebuah aksi tidur-mempromosikan dengan mempercepat
inisiasi tidur, meningkatkan pemeliharaan tidur, dan sedikit mengubah arsitektur
tidur 9.
2.3.2 Efek Samping dan Toksisitas
Efek samping melatonin sedikit dan secara umum dianggap aman dalam
dosis yang direkomendasikan. Ada laporan kasus terisolasi psikomotor gangguan
(disorientasi, kelelahan, sakit kepala, pusing, dll), risiko kejangmeningkat, dan
kelainan pembekuan darah yang berhubungan dengan melatonin sendiri atau
dalam kombinasi dengan obat lain 9.
11
BAB III
KESIMPULAN
. Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ III yang merujuk pada DSM IV adalah
pola prilaku yang secara klinik cukup bermakna, atau sindroma psikologik yang
terjadi pada seorang individu yang berhubungan dengan distress (seperti gejala
nyeri) atau hendaya (kehilangan satu atau lebih area fungsi penting dalam
kehidupan) atau dengan peningkatan risiko yang bermakna dalam kematian, nyeri,
hendaya, atau kehilangan kebebasan hidup.
Melatonin, irama sirkadian, sumbu HPA, dan sitokin proinflamasi tampaknya akan
terganggu pada pasien dengan gangguan jiwa. Dibandingkan dengan populasi normal,
melatonin tampaknya memiliki tingkat nokturnal yang lebih rendah, pergeseran fase, atau
variasi amplitudo irama sirkadian, dan gangguan β-adrenoseptor telah ditemukan;
kelainan ini telah berkorelasi positif dengan tingkat keparahan depresi. Sebuah penelitian
terbaru juga telah mencoba untuk menemukan beberapa basis genetik dari perubahan ini,
dan hasil yang menarik memiliki asosiasi-ciated depresi dengan adanya polimorfisme gen
tertentu dalam enzim untuk sintesis melatonin. Pasien depresi telah menunjukkan irama
sirkadian terganggu seperti tidur / bangun siklus, inti suhu tubuh, dan kortisol dan variasi
melatonin harian; menarik, keparahan depresi telah berkorelasi dengan perubahan dalam
amplitudo dari irama sirkadian dan dengan sudut fase antara onset melatonin dan titik
nadir dari suhu tubuh inti.
12
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Teguh. 2011.19 Juta Penduduk Indonesia Gangguan Jiwa. [Online]. [Dikutip: 10 November 2012.] Dalam Http://www.harianhaluan.com.
2. David N. Neubauer, MD. 2007. Insomnia and Psychiatric Disorders. Medscape of Neurology. [Online]. [Dikutip: 9 November 2012.] http://www.medscape.org/viewarticle/480681.
3. Anonim. 2011. Valdoxan -Product information .Version 7. ERVIER LABORATORIES (AUST) PTY LTD 8 Cato Street Hawthorn : s.n.,.
4. R., Maslim. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bag.Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya : s.n., 7.
5. Sri Idaiani, Suhardi, Antonius Yudi Kristanto. 2009. Analisis Gejala Gangguan Mental Emosional Penduduk Indonesa.. 10, Jakarta : Majalah Kedokteran Indonesia , Vol. 59. 473-9.
6. Halper, Elizabeth. 2010. Causes of Mental Disorder. Livestrong. [Online]. [Dikutip: 8 11 2012.] http://www.livestrong.com/article/90313-causes-mental-disorders/#ixzz2C99wnfS1.
7. Harold I Kaplan, Benjamin Sadock, Jack A Grebb. 2007. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatris Klinis Edisi 7. Jakarta : EGC,.
8. R., Thorne. Desember 2005. Melatonin . Alternative Medicine Review, Vol. 10. 326-332.
9. R, Pandi S. dan Srinivasan V, Dkk.Melatonin: A Versatil Signal. 273, s.l. : FEBS Journal . 2813–2828.
10. N, Buscemi. 2004. Melatonin for Treatment of Sleep Disorders. 108, s.l. : Evidence Report/Technology Assessment,. 1-6.
11. Antonioli M, Rybka J, and Carvalho L.A.Neuroendocrinological Effects of Antidepressants: Is There a Role for Melatonin? Promotion of Health, Second Edition. 451-464.
12. G, Anderson dan M, Maes. 2012. Melatonin: an overlooked factor in schizophrenia and in the inhibition of anti-psychotic side effects (Abstract). [Online] [Dikutip: 9 November 2012.] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22527998.
13