bab i manajemen konflik relevansinya dengan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA DENGAN
PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan Islam hingga saat ini, terkesan sangat tertinggal dibandingkan
dengan pendidikan-pendidikan umum lainnya. Ketertinggalan itu dapat dilihat
baik di Madrasah, Sekolah Islam maupun Pondok Pesantren. Hal ini disebabkan
karena pendidikan Islam kurang membuka diri terhadap dinamika sosial yang
berkembang saat ini.
Salah satu kasus tersebut dapat dilihat misalnya saja di daerah Tayu (Pati,
1998) terdapat sekitar 40 buah pesantren besar dan kecil, kebanyakan metode
utama sistem pengajarannya bandongan dan weton. Dalam sistem ini, kyai
membacakan salah satu kitab, menterjemahkannya ke dalam bahasa Jawa dan
kemudian memberikan keterangan terhadap kata-kata yang sulit. Hampir tidak
terjadi diskusi diantara kyai dan muridnya.1 Selain itu, ternyata pesantren-
pesantren tersebut belum bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, baik
sistemnya, kurikulumnya maupun manajemennya. Demikian pula yang dilakukan
oleh pesantren-pesantren yang ada di Indonesia lainnya, disamping adanya
beberapa pesantren yang sudah mampu menyelenggarakan pendidikan dengan
sistem modern dewasa ini.
Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan Islam yang unik dan khas di
Indonesia, ia adalah wacana yang selalu hidup dan dinamis, dimana mengkajinya
dan memperbincangkannya terasa akan selalu menarik, segar dan aktual. Sebab,
pesanten yang selama ini dikenal tradisional, tertinggal, kurang tertata, kumuh,
dan sebagainya, ternyata anggapan itu tidak selamanya benar.
1 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Ummat Kiai Pesantren - Kiai Langgar di Jawa,
(Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 149.
2
Karena sudah tua dan mengakar di masyarakat, justru pesantren mampu
bertahan hidup berabad-abad dan bahkan sampai saat ini terlihat semakin hidup
dan menarik. Disamping itu, kita semua tahu bahwa tokoh-tokoh nasional
maupun para elit politik banyak yang berbasis pondok pesantren, para pengusaha,
para pedagang, wartawan, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa
alumnus pondok pesantren bisa terjun ke dalam masyarakat yang majemuk dan
sangat kompleks. Ditambah lagi dengan maraknya pesantren modern yang
membuka lembaga sekolah, kursus-kursus, agribisnis, wira usaha dan lain-lain.
Oleh karena keunikannya itulah pesantren sangat prospektif untuk dikaji dan
dikembangkan.
Dengan keunikannya ini, Drs. Hasbullah menyebutnya sebagai “bapak”
Pendidikan Islam di Indonesia. H.A.Timur Jaelani menyebut “indigenous
cultura”, atrinya lembaga asli Indonesia.2 Dan ketika Ki Hajar Dewantoro
menjabat sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus sebagai menteri PP
dan K RI yang pertama, berpendapat bahwa pondok pesantren merupakan dasar
dan sumber pendidikan Nasional.3
Di balik itu semua, Lembaga Pesantren misalnya, - berdasarkan statistik
pada Departemen Agama (1997) jumlah pesantren di seluruh Indonesia kini
mencapai lebih dari 9415 buah dengan santri lebih kurang 1.631.727 orang4, -
selama ini ternyata pesantren belum mampu menjawab problema kesejahteraan
masyarakat Indonesia secara maksimal. Indikasinya jelas, bahwa ekonomi
Indonesia 60 % atau lebih dikuasai orang China, yang mayoritas non Islam,
sedangkan masyarakat Islam sendiri masih banyak yang miskin dan serba
2 H.A.Timur Jaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Pembangunan Perguruan Agama,
editor: Abdurrahman Soleh, (Jakarta: CV. Dermaga, 2000), hlm. 50. 3 Suwandi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren; Beberapa Catatan dalam Pendidikan
Masa Depan, Marzuki Wahid, dkk (penyunting), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 185. 4 Ismail SM dan Abdul Mukti, Pendidikan Islam; Demokratisasi Dan Masyarakat Madani,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah IAIN WS, 2000), hlm. 182.
3
kekurangan, banyak juga yang tidak dapat mengenyam pendidikan, belum lagi
KKN merajalela dikalangan elit-elit pemerintahan kita ini.
Jika mau melihat secara jeli, tentu akan diketahui berapa banyak anak
putus sekolah, berapa kali terjadi tawuran pelajar, perkosaan, penjambretan.
Belum lagi dengan adanya mitos masyarakat tentang pendidikan Islam yang
kurang prospektif, tertinggal, miskin dan tidak punya bargaining sama sekali.
Bahkan banyak juga anggapan bahwa pelajaran-pelajaran yang ada di lembaga
pendidikan Islam (khususnya pesantren salaf) sangatlah tradisional dan tanpa
memberikan bekal skill pada anak didiknya, sehingga banyak orang mengatakan
bahwa pendidikan pesantren tidak memenuhi tuntutan zaman.
Hal-hal di atas merupakan indikator ”kurang berhasilnya” pesantren dalam
mengatasi problema masyarakat kita saat ini. Padahal kita tahu bahwa pesantren
adalah pusat pendidikan Islam, dimana konsep Islam tentang tafaqquh fiddin ini
semestinya harus diterapkan di sana. Karena memang di dalam Islam sendiri
diperintahkan untuk mengkaji tentang segala ilmu tanpa pandang bulu, artinya
tidak ada dikotomis antara ilmu dunia dengan ilmu akhirat.
Karenanya pendidikan harus terus menerus dikembangkan agar mampu
melayani kebutuhan pembangunan dan kemajuan iptek, atau dengan kata lain agar
mampu menghadapi tantangan zaman5. Maka disinilah pesantren diharapkan
mampu menjawab terhadap krisis global umat manusia yang terjadi karena
penerapan teknologi maju (advenced tegnology)6, dan yang paling perlu disadari
bahwa karena pendidikan Islam pada dasarnya bersifat gnostik, maka semua
bentuk ilmu, bahkan yang paling external sekalipun memiliki ciri sakral,
sepanjang ia setia pada prinsip-prinsip wahyu.7
5 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 2. 6 Abdul Djamil, dkk, Pesantren dan Kebudayaan, (Semarang: IAIN Walisongo, 1999), hlm.
1. 7 Sayyed Husein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm.
47.
4
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren dilihat
dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran
Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk
pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan
tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam8. Nurcholis Madjid
juga menyatakan, dari segi histories pesantren tidak identik dengan makna
keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous), sebab
lembaga yang serupa dengan pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak masa
kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan
lembaga pendidikan yang sudah ada.9 Tokoh lain mengatakan bahwa model
pesantren sudah ada sejak zaman kekholifahan dahulu, sehingga sistem pondok
pesantren ini juga termasuk ajaran budaya Islam.
Namun yang jelas, bahwa pesantren dipandang sebagai lembaga
pendidikan Islam yang memiliki akar sejarah panjang di Indonesia. Proses
pendidikannya berlangsung selama 24 jam penuh karena hubungan kyai, ulama
dan santri yang terkonsentrasi di satu kompleks merupakan suatu masyarakat
belajar.10
Dalam sejarah perjalanannya sampai saat ini, pesantren telah mengalami
perubahan-perubahan baik isi maupun bentuk. Dewasa ini ternyata ditemukan
bermacam-macam pola pesantren sebagai berikut:
1. Pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai 2. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama 3. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah 4. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah
dan tempat ketrampilan (peternakan, menjahit, pertanian, dan lain-lain.)
8 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: PT. Pustaka, 1994), hlm. 20-21 9 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 3. 10Maksum Muhtar, Transformasi Pendidikan Islam dalam Pesantren Masa Depan, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 65.
5
5. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga, dan sekolah umum.11
Selain unsur-unsur kelembagaan, karakteristik pesantren juga dapat dilihat
dari segi struktur organisasi. Struktur organisasi dan lingkungan kehidupan
pesantren meliputi: status kelembagaan, struktur organisasi, gaya kepemimpinan,
dan suksesi kepemimpinan.
Status kelembagaan pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua
golongan: sebagai milik pribadi dan milik institusi. Adapun perbedaan status
kelembagaan tersebut sangat penting artinya jika dikaitkan dengan perspektif
pembinaan dan pengembangan. Kemudian, struktur organisasi pada setiap
pesantren berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.
Gaya kepemimpinan pesantren memiliki ciri tersendiri. Adapun yang
dimaksud gaya kepemimpinan di sini ialah seni memanfaatkan seluruh daya:
dana, sarana dan tenaga untuk mencapai tujuan pesantren. Hal ini akan
bergantung dari kemampuan manajerial pimpinan pesantren itu sendiri.
Selama ini pesantren dikenal dengan lembaga pendidikan tradisional,
terbelakang, dengan kepemimpinan diktator, dan biasanya apa yang dikatakan
kyai pasti harus dilaksanakan tanpa membantah sedikitpun. Kemudian dalam
pengelolaan manajemennya masih sangat sederhana, dan masih banyak lagi
kekurangan-kekurangan lainnya yang ada.
Namun demikian, meskipun pendidikan pada awalnya bercorak
tradisional, dalam perkembangan berikutnya ia lebih bersifat dinamis, adaptif,
emansipatif dan responsif terhadap perkembangan dan kemajuan zaman.12
Bahkan pesantren yang besar mengelola TK, SD, SLTP, SLTA, Perguruan
11 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan
Islam di Indonesi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), hlm. 120-121. 12 Abudin Nata, op.cit, hlm. 124.
6
Tinggi, dan Kursus Kejuruan. Pesantren corak ini biasanya terdapat di kota-kota
besar. Karena sistem pendidikan yang respontif terhadap perkembangan dan
kemajuan zaman, pesantren ini banyak diminati oleh banyak santri.
Untuk mencapai Pendidikan Islam yang ideal, maka pesantren perlu
melakukan perbaikan dan pembaharuan, baik dari sistem pendidikannya,
sarananya, bahkan manajemennya. Kalau hal ini bisa diwujudkan, maka posisi
pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam dikembangkan sehingga
mampu melahirkan manusia paripurna, yakni manusia Muslim yang memiliki
kualitas ilmu dan iman yang prima, sehingga keberadaannya selalu dibutuhkan
oleh umat lain.13
Berpijak dari usaha pembaharuan dan pengembangan pondok pesantren,
maka dalam melakukan hal ini kita harus memperhatikan sikap dasar para
pemimpin pondok pesantren sendiri yang telah menetapkan policy dan strategi
dalam Muktamar Ikatan Pesantren (Robitthotul Mu’ahidil Islamiyah) yang ke-I,
Januari 1959, yang menyatakan sebagai berikut:
”Mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”14
Selain itu, perlu diperhatikan bagi pengembangan pendidikan pesantren
masa depan, yaitu sebagaimana nasehat shahabat Ali bin Abi Thalib Ra. yang
menegaskan: “Didiklah anak kalian tidak seperti yang dididikkan kepada kalian
13 H.M. Habib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1986),
hlm. 47. 14 H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000),
hlm. 250.
7
sendiri, oleh karena mereka itu diciptakan untuk generasi zaman yang berbeda
dengan generasi zaman kalian.15”
Dengan konsep yang ditawarkan Ali Bin Abi Thalib tersebut, maka
jelaslah, bahwa seharusnya para pengelola pondok pesantren dan bahkan kita
semua generasi muda, sadar dan mau meningkatkan kualitas pendidikan yang ada
di pesantren, dengan cara mengelola pendidikan pesantren ini tepat guna,
kompetensi, dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat dimasa yang
akan datang.
Untuk mengelola lembaga pendidikan pesantren masa depan, tentunya
tidak akan terlepas dari usaha-usaha rekonstruksi baik di bidang manajemen,
kurikulum, SDM, sarana, maupun hal-hal lain yang sangat urgens bagi
kelangsungan pendidikan pesantren.
Secara umum kajian skipsi ini adalah praktek manajemen di pondok
pesantren. Oleh karena itu, manajemen yang selama ini dikenal lemah, tentunya
sangat perlu untuk diperbaiki. Dengan demikian kajiannya nanti akan mengarah
pada: “Relevansi manajemen konflik dengan pengembangan lembaga pendidikan
pesantren”.
Istilah manajemen konflik selama ini belum dikenal pada dunia pesantren,
lebih-lebih pondok pesantren salaf yang dikenal dengan model tawadlu’nya
(ketaatan) terhadap kyai dan menganggap kyai adalah “segalanya”. Artinya:
segala yang diperbuat dan diperintahkannya harus diikuti tanpa membantah
sedikitpun. Dengan kata lain bahwa di dunia pesantren tidak ada istilah konflik
atau berbeda pendapat, pokoknya semua harus berjalan seragam, sejalur dan
sealiran. Walaupun ada pesantren-pesantren tertentu yang tidak memberlakukan
hal-hal demikian.
15 Ibid. hlm. 250.
8
Sebenarnya praktek manajemen konflik sudah sering dilakukan oleh
lembaga-lembaga pesantren, terutama pesantren-pesantren yang sudah modern
(misalnya: Darussalam Gontor, Darunnajah Jakarta, dan lain-lain). Hanya saja,
perilaku manajemen konflik ini tidak disadari oleh mereka, atau bahkan ada
istilah lain yang digunakan di sana. Manajemen konflik, selama ini lebih sering
dipakai oleh organisasi-organisasi perusahaan, organisasi masyarakat, maupun
instansi pemerintah (kepolisian). Sedangkan di dunia pendidikan masih jarang
digunakan istilah tersebut atau bahkan tidak ada sama sekali.
Pada perusahaan, aplikasi manajemen konflik biasanya digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan buruh dan karyawannya. Di dalam suatu negara,
manajemen konflik digunakan untuk mengatasi konflik sara (pertikaian
kelompok, etnis, ras maupun agama), atau bahkan untuk mengatasi perselisiahan
dengan negara-negara lain. Sedangkan di dalam organisasi pesantren adalah
bagaimana konflik (internal dan eksternal) itu dikelola dengan baik, supaya
konflik tersebut menjadi fungsional dan dapat melahirkan inovasi-inovasi baru
untuk kemajuan lembaga pendidikan pesantren itu sendiri. Bahkan kalau perlu,
untuk mendapatkan kreatifitas dan inovasi baru, konflik justru diciptakan seorang
manajer untuk memancing para bawahan, kemudian, pada akhirnya nanti yang
didapat adalah adanya peningkatan kualitas SDM dan kinerja yang efektif-
inovatif.
Di pondok pesantren, biasanya sering menolak adanya konflik. Hal ini
disebabkan karena memang manajemen yang ada di sana masih memakai model
tradisional. Adapun pandangan tradisional tentang konflik adalah bahwa konflik
itu merupakan hal yang tidak perlu dan bahwasanya ia merupakan suatu yang
merugikan .
Sikap orang tentang konflik dalam organisasi telah mengalami perubahan
dengan berlangsungnya waktu. Pandangan yang berlaku sekarang adalah
bahwasanya konflik-konflik di dalam organisasi merupakan hal yang tidak dapat
9
dihindari, dan bahkan konflik-konflik itu perlu, terlepas dari bagaimana
organisasi-organisasi didesain dan dioperasikan.16
Bertolak dari sudut pandang modern tentang konflik, maka tugas para
manajer (pimpinan) pondok pesantren bukanlah menekan atau memecahkan
semua konflik, tetapi mereka perlu memanajnya sedemikian rupa, sehingga aspek
yang merugikan dapat diminimasi dan aspek yang menguntungkan dapat
dimaksimasi.
B. RUMUSAN MASALAH
Telaah ini akan difokuskan pada pencarian relevansi manajemen konflik
dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam pesantren. Dengan demikian,
beberapa isu penting yang dikupas dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah Manajemen Konflik yang diterapkan pada lembaga
pendidikan pesantren Darul Amanah?
2. Bagaimankah pengembangan lembaga pendidikan pesantren Darul Amanah?
3. Bagaimanakah relevansi manajemen konflik dengan pengembangan lembaga
pendidikan Islam di pesantren Darul Amanah?
C. TUJUAN PENELITIAN DAN SIGNIFIKANSI
Studi ini difokuskan pada pencarian relevansi manajemen konflik
dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam pesantren, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui manajemen konflik dan penerapannya pada lembaga
pendidikan pondok pesantren Darul Amanah.
2. Mengetahui bagaimanakah pengembangan lembaga pendidikan pondok
pesantren Darul Amanah.
16 Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan., (Bandung: Mandar
Maju, 1994), hlm.64.
10
3. Mengetahui sejauh mana relevansi manajemen konflik dengan pengembangan
lembaga pendidikan Islam di pesantren Darul Amanah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan pada lembaga-lembaga
pendidikan pesantren yang lainnya, serta dapat dijadikan referensi bagi
mahasiswa-mahasiswa jurusan Kependidikan Islam dan mahasiswa Tarbiyah pada
umumnya, untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam secara global.
D. PENEGASAN ISTILAH
1. Manajemen secara etimologi berarti kepemimpinan; proses pengaturan;
menjamin kelancaran jalannya pekerjaan dalam mencapai tujuan dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya.17 Atau dengan kata lain manajemen secara
singkat berarti pengelolaan.
Menurut Mary Parker Vollett, manajemen merupakan seni dalam
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Namun lebih dari itu, manajemen
mempunyai pengertian sebagai proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan
penggunaan sumberdaya-sumberdaya organisasi lainnya.18
Sedangkan Konflik dapat berarti perjuangan mental yang disebabkan
tindakan-tindakan atau cita-cita yang berlawanan.19 Dalam arti lain konflik
adalah adanya oposisi atau pertentangan pendapat atara orang-orang ,
kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi.
Jadi, Manajemen konflik adalah seni mengatur dan mengelola konflik
yang ada pada organisasi agar menjadi fungsional dan bermanfaat bagi
peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi.
17 M. Sastra Pradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981),
hlm. 307. 18T. Hani Handoko, Manajemen Edisi 2, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1995), hlm. 8. Lihat
juga Bedjo Siswanto, Manajemen Modern; Konsep dan Aplikasi, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 3. 19 Komaruddin, Ensiklopedia Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 151.
11
2. Relevansi disini diartikan sebagai kait-mengkait, bersangkut-paut atau bisa
dikatakan relevansi adalah hubungan.20
3. Lembaga, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat tiga arti, namun disini
lembaga sesuai dengan arti yang ke tiga yaitu: badan atau organisasi yang
bertujuan melakukan sesuatu penelitian keilmuan atau melakukan suatu
usaha.21 Selain itu dapat juga diartikan sebagai proses-proses terstruktur
(tersusun) untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.22
4. Lembaga Pendidikan Islam adalah badan atau organisasi pendidikan
bernafaskan Islam yang bertujuan memberikan pendidikan, pembinaan,
penelitian dan pengembangan keilmuan secara terstruktur dan sistematis untuk
mencapai tujuan yang sudah ditentukan.
4. Pengembangan Lembaga (organisasi) adalah proses terencana, dimanajemeni
dan secara sistematis untuk mengubah kultur, sistem dan perilaku organisasi
guna meningkatkan efektivitas organisasi dalam memecahkan masalah-
masalah dan pencapaian sasaran.23 Lembaga Pendidikan Islam bisa berupa
madrasah, Pesantren, Majlis ta’lim maupun sekolah Islam. Akan tetapi kajian
skripsi ini terfokus pada lembaga pendidikan Pesantren.
E. KAJIAN PUSTAKA
Mencari relevansi manajemen konflik dengan pengembangan lembaga
pendidikan Islam (pesantren), bukanlah telaah yng mengada-ada, karena terbukti
dari berbagai penelitian bahwa suatu lembaga yang mampu mengelola konflik
secara fungsional, maka secara periodik maupun secara insidental lembaga
tersebut mampu meraih kemajuan yang signifikan.
20 Lihat Kamus Bahasa Indonesia. 21 H.M.Daud Ali dan Habibah Daud, op.cit, hlm. 1. Lihat juga Anton M. Moeliono
(penyunting), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 512. 22 Paul B. Horton dan Chester L. Hant, Sosiologi, Alih bahasa: Aminuddin Ram dan A. Tito
Sobari, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 244. 23 James L. Cibson, dkk, Organisasi; Perilaku Struktur dan Proses, alih bahasa: Hunuk
Adiarni, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997), hlm. 353.
12
Perlu diketahui bahwa manajemen konflik ini lebih digunakan pada
organisasi-organisasi perusahaan. Dan selama ini penulis pun belum menemukan
karya para ahli yang menaruh perhatiannya pada kajian manajemen konflik yang
diterapkan di pondok pesantren, melainkan mereka hanya mengkaji sebatas pada
manajemen secara umum ataupun permasalahan-permasalahan tertentu saja dalam
pondok pesantren tersebut.
Beberapa tokoh seperti misalnya:
1. Zamakhsyari Dhofier (1982); menulis buku dengan judul Tradisi Pesantren24.
Dalam buku ini dideskripsikan mengenai ciri-ciri pesantren, elemen-elemen
sebuah pesantren (Pondok, masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik, santri
dan kyai), geneologi sosial pimpinan pesantren, maupun profil pesantren di
abad XX (kasus pesantren Tebuireng dan pesantren Tegalsari). Kaitanya
dengan manajemen dan kepemimipinan, ternyata kebanyakan orang
beranggapan bahwa lembaga-lembaga pesantren di Jawa mengidap sebuah
kelemahan, yaitu jarang sekali dapat mendidik pemimpin penerus, sehingga
pesantren yang semula besar dan masyhur, lama kelamaan pudar. Dalam bab
ini menguraikan bagaimana usaha para kyai untuk melestarikan kehidupan
dan kepemimpinan pesantren dan bagaimana mereka mendidik calon-calon
kyai yang diharapkan dapat menggantikan kedudukan mereka. 25Kaitanya
dengan hal itu, sarana para kyai yang paling utama dalam usaha melestarikan
tradisi pesantren ialah membangun solidaritas dan kerja sama sekuat-kuatnya
antara sesama mereka.
2. DR. dr. Wahjoetomo26 menulis buku: Perguruan Tinggi Pesanten Pendidikan
Alternatif Masa Depan. Dalam buku ini beberapa gagasan yang dikemukakan
penulis menjadi sorotan cukup tajam, seperti lembaga-lembaga pendidikan
24 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: IKAPI dan LP3ES, 1982). 25 Ibid., hlm. 61. 26Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan.,
penterjemah: Arif Santoso, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
13
yang ada. Secara khusus pula diangkat dengan obyektif kondisi perguruan
tinggi di Indonesia dan sekaligus menengok kehidupan pesantren. Dalam
buku ini dijelaskan mengenai sejarah pondok pesantren, model-model pondok
pesantren (pesantren salaf yang hanya mengkaji kitab kuning atau ilmu
akhirat dan pesantren khalaf atau modern; dimana kurikulum yang dipakai
meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan umum), kemudian peran
pesantren dalam pengembangan masyarakat baik di bidang politik, ekonomi
maupun bidang sosial budaya. Konsep Perguruan Tinggi Pesantren disini
mendeskripsikan tujuan, kurikulum, manajemen, SDM dosen maupun
pendanaan. Tentang kurikulum, sama seperti perguruan tinggi lain yaitu ada
kurikulum inti dan kurikulum lokal. Hanya saja, kurikulum lokalnya diisi
dengan pendidikan keagamaan dan pengembangan kewirausahaan sebagai
pelajaran intra dan ekstra. Sedangkan manajemen yang diterapkan adalah
kombinasi antara Total Quality Manajemen (TQM) untuk perguruan tingginya
dan manajemen pondok pesantren yang berasaskan keikhlasan untuk
asramanya. Diharapkan dengan penggabungan dimensi positif kedua pola
lembaga pendidikan tersebut, akan menelurkan para sarjana yang menguasai
iptek secara professional dengan imtaq sebagai landasan. Bila ini terwujud
pada giliranya akan memberikan kontribusi yang positif bagi umat dan bangsa
dalam menyongsong era globalisasi yang sangat kompetitif. Gagasan
mengenai konsep perguruan tinggi pesantren ini sangatlah baik jika diterapkan
dimasa sekarang, dimana tujuan pendidikannya adalah membangun
masyarakat Indonesia seutuhnya, lahir dan bathin.27 atau terciptanya Baldatun
Thoyyibabatun wa Robbun Ghofur, atau menurut terminology al-Qur’an, yaitu
sebuah negara yang adil dan makmur serta diridloi Allah SWT karena
mengamalkan ajaran-ajaran-Nya
27 Wahjoetomo, op.cit., hlm. 105.
14
3. Karel A. Steenbrink menulis: Pesantren Madrasah Sekolah28. Dalam buku ini
dibahas mengenai proses sejarah dan perkembangan pendidikan Islam dalam
kurun modern. Dimana Karel S. menggembarkan sebuah tinjauan historis dari
zaman kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia. Menurutnya
dualisme pendidikan yang sekarang mendapat bentuk formal dalam usaha
pendidikan yang diselenggarakan oleh dua departemen (Depdikbud dan
Depag) ternyata muncul pada akhir abad-19. Dualisme ini diperkuat dalam
periode kolonial abad-20 ini, karena disamping perkembangan lembaga
pendidikan Islam di Indonesia berjuang supaya tidak ketinggalan. Kebijakan
Depag dalam pembahasan ini digambarkan sebagai usaha konvergensi, : yaitu
usaha Depag untuk memperkecil perbedaan antara dua pola pendidikan di
lembaga umum dan lembaga agama. Sejak tahun 1970-an terjadi diversifikasi
yang agak menonjol di duania pesantren. Banyak pesantren mempunyai
“spesialisasi” di bidang tradisional seperti nahwu, sharaf, hadits, salah satu
cabang fiqih dan penghafalan atau pembacaan al-Qur’an. Disamping itu juga
terjadi disversifikasi intern dalam pesantren, yaitu yang sudah mempunyai
madrasah, kadang-kadang juga menyelenggarakan sekolah umum seperti
SMP maupun SMA, atau Fakultas umum dalam kampusnya, sehingga
mengundang penghuni kampus yang tidak homogen lagi.
5. Dawam Raharjo menulis: Pesantren dan Masa Depan Indonesia, Prof. H.
Moh. Daud Ali, S.H29 dalam bukunya: Lembaga-lembaga di Indonesia. Selain
itu ada tokoh terdahulu juga seperti : Martin Van Bruinessen30 yang menulis:
Kitab Kuning Pesantren dan Tarikat, Dan masih banyak lagi yang lainya.
Karya-karya para ahli tersebut hanya sebatas membahas tradisi, sejarah,
28 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: PT. Pustaka dan LP3ES,
1994). 29 H. Moh. Daud Ali dan Hj. Habibah Daud, op.cit. 30 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarikat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995).
15
sistem, kurikulum maupun gambaran-gambaran umum pesantren. Sedangkan
manajemen konflik pada lembaga pendidikan pesantren menurut pengetahuan
penulis belum pernah ada yang mengkaji.
Sedangkan Istilah manajemen konflik dapat ditemukan pada karya
ilmiah orang-orang ahli manajemen, terutama dari perguruan tinggi umum
khususnya jurusan manajemen, seperti karya:
6. Prof. Dr. Winardi, S.E. 31 dalam buku Manajemen Konflik. Ia
menggambarkan bagaimana hakekat konflik itu dan pandangan mengenai
konflik, baik tradisional, modern maupun kontemporer. Kemudian beberapa
hal yang terkait dengan proses konflik seperti situasi-situasi konflik, konflik
individu, antar individu, konflik kelompok, antar kelompok maupun konflik
antar organisatoris. Dalam bab lain diterangkan secara jelas bagaimana
memotivasi manusia, bagaimana memanaje konflik organisatoris, bagaimana
memahami perilaku perseorangan, bagaimana memotivasi karyawan, lalu
bagaimana memanaje kreativitas organisatoris serta adanya perubahan dan
pengembangan organisatoris. Selanjutnya dapat juga dilihat pada karya:
7. Dr. William Hendricks (1992) dalam buku aslinya How to Manage
conflick,32yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Arif
Santoso dengan judul “Bagaimana Mengelola Konflik, (1996). Dalam buku
ini dideskripsikan mengenai sebuah peta konflik manajer, dimana setiap
babnya memberikan gambaran tentang kawasan yang tidak dikenal (seperti
peta). Kita tidak pernah memikirkan masalah perujukan ataupun isu dimana
kita kehilangan dalam konflik. Dalam penjelasannya itu akan membantu
seseorang untuk mengidentifikasikan sikap-sikap pribadi tentang konflik dan
memetakan perspektif bisnis. Konflik tidak harus menyebabkan urusan
31 Winardi, op.cit. 32 William Hendricks, How to Manage Conflick, diterjemahkan oleh Arif Santoso, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996)
16
tertunda atau menjadi penghalang karier, konflik itu sangat penting, konflik
tidak pernah ditakuti. Dalam buku praktis ini, didesain untuk menghilangkan
ketakutan yang mengitari konflik dan memberikan rasa percaya yang baru
dengan melihat konflik sebagai komoditas yang dapat dikelola dan berguna
bagi perkembangan dan inovasi baru. Namun secara runtut memberikan
gambaran mengenai pemahaman konflik, identifikasai tahap-tahap konflik,
langkah-langkah konflik kontruktif, pendekatan manajemen konflik, lima
gaya manajemen konflik dan lain-lain.
8. karya Peg Pickering (2001) dalam Win-win Solution; How to manage
conflick, 33 Drs. Indriyo G. M.Com.34 dalam bukunya: Prilaku Organisasi,
dan dalam buku Manajemen II, karya: Dr. T. Handoko. Dan masih banyak
lagi buku-buku manajemen yang di dalamnya membahas mengenai
manajemen konflik. Dimana isinya semua hampir sama dengan manajemen
konflik yang digambarkan pada buku manajemen konflik karya Prof. Dr.
Winardi, SE., di atas.
Manajemen konflik yang mereka kaji inilah yang tentunya dapat
diterapkan pada dunia pesantren. Dimana suatu organisasi atau lembaga akan
berkembang dengan pesat apabila dilakukan usaha-usaha perubahan dan
pembaharuan. Dan pengembangan ini tentunya dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Sebab, dalam setiap lembaga tentunya selalu dijumpai aneka
macam konflik, yang mana konflik itu dapat dikelola dan dimanaje
sedemikian rupa supaya menjadi fungsional. Bahkan konflik dapat diciptakan
guna membuat suatu pancingan terhadap emosi-positif yang dapat
menimbulkan rangsangan-rangsangan untuk menciptakan pemikiran-
pemikiran baru. Sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. Winardi, SE. , dalam
33 Peg Pickering, Win-win Solution; How to Manage Conflick, alih bahasa: Masri Maris, Kiat
Menagani Konflik, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama dan Erlangga, 2001). 34 Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman S., Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Universitas
Janabadra dan BPFE, tt.).
17
bukunya Manajemen Konflik, mengatakan bahwa pada umumnya orang
beranggapan bahwa konflik itu selalu menimbulkan dampak negatif, namun
sebenarnya, dalam kondisi tertentu justru konflik dibutuhkan untuk
kepentingan perubahan dan pengembangan organisasi.
Studi ini akan memfokuskan bahasannya pada relevansi manajemen
konflik dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam (pesantren). Karena
luasnya wilayah kajian pesantren, maka penelitian ini akan mengambil sampel
pondok pesantren Darul Amanah Sukorejo Kendal Jawa Tengah. Ini
diharapkan bisa memberikan kontribusi positif bagi revitalisasi dan
rekonstruksi manajemen pesantren yang memungkinkan untuk dikembangkan
pada pesantren lain dalam jangkauan lebih luas.
F. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang
menggunakan strategi study kasus. Menurut seorang pengamat bahwa:
“esensi studi kasus, tendensi sentral dari semua jenis studi kasus, adalah
mencoba menjelaskan keputusan-keputusan tentang mengapa studi
tersebut dipilih, bagaimana mengimplementasikannya, dan apa hasilnya.
Dengan demikian definisi ini menonjolkan “keputusan” sebagai fokus
utamanya. Sejalan dengan itu topik-topik lain juga ditemukan, mencakup
organisasi, proses, program, lingkungan, institusi, dan bahkan peristiwa.35
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif, dengan rancangan study kasus. Latar penelitian ini memiliki
35 Robert K. Yin, Study Kasus (desain dan metode), Penterjemah: M. Djauzi Mudzakir,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 17
18
karakteristik; (1) naturalistik; (2) kerja lapangan (3) instrumen utamanya
manusia, dan (4) sifatnya deskriptif.
Sebagaimana dikutip oleh Abu Choir dalam Tesisnya bahwa Kirk
dan Miller mendefinisikan, bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.
Bogdan dan Tylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.
Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik
(utuh)36.
3. Metode
a. Metode Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka (library research), yaitu suatu riset kepustakaan
murni.37Yang dimaksudkan untuk memperoleh data-data tertulis
(konseptual) tentang konsep manajeman konflik, pesantren
(lembaga pendidikan Islam), dan pengembangan suatu lembaga
pendidikan Pesantren. Sehingga dengan sendirinya tentu literatur
yang diperlukan adalah yang relevan dengan bahasan tersebut
2. Observasi Partisipatory. Observasi merupakan teknik untuk
mengamati langsung ataupun tidak langsung terhadap kegiatan-
kegiatan yang sedang berlangsung,38 yakni metode pengamatan
36 Abu Choir, Pembaharuan Manajemen Pondok Pesantren, Tesis Magister Agama Islam,
(Malang: STAIN Malang, 2002). 37 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, (Yogyakarta: Audy Ofset, 1998), hlm. 9. 38Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah; Suatu Pendekatan Praktek,
(Yogyakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm.51.
19
lapangan yang terlibat didalam proses pelaksanaan manajemen
konflik maupun program pengembangan yang dilakukan pesantren
(partisipatory observation). Dalam hal ini peneliti melakukan
pengamatan langsung dengan terlibat di dalamnya yang
dilaksanakan sejak tanggal 21 Desember 2003 sampai 2 Pebruari
2004.
3. Interview. Interview, yang sering disebut wawancara atau
kuesioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.39
Dengan kata lain, bahwa interview wawancara yang dimaksudkan
untuk merekam data-data tertulis yang berfungsi sebagai data
sangat penting untuk bahan analisis. Wawancara ini dilakukan
terhadap orang-orang yang terlibat dalam proses manajemen
konflik dan pelaksanaan program pengembangan lembaga
pendidikan pondok pesantren Darul Amanah.
Teknik Pengumpulan Data dan Wawancara
INFORMAN KEGIATAN TANGGAL
- Shobirin, S.Ip. - Junaidi Abdl. Jalal
S.Pd.I dan ustadz / ustadzah lain serta santri.
- Peneliti observasi
- Ijin / Orientasi - Pengamatan kegiatan dan lingkungan
pesantren secara keseluruhan - Mengambil data/arsip (Profil dan AD/ART) - Sejarah PPDA - Interview tentang: “Manajemen Konflik,
lingkup konflik, bentuk konflik, dan penyelesaian konflik di PPDA”
- Interview tentang: “Pengembangan lembaga pendidikan Darul Amanah; Latar belakang pengembangan, langkah-langkah pengembangan lembaga, bentuk pengembagan lembaga”.
- Pengamatan terlibat dalam “Rapat Dewan
21-22 Des ’03 28-30 Des ’03 3 Januari ‘04 10-17 Jan ’04 10-17 Jan ‘04 10-17 Jan ’04
39 Sutrisno Hadi, op.cit., hlm. 145.
20
terlibat / partisipasi - KH. Mas’ud AQ.
dan wali santri - Sa’ib, BA.
Guru, kegiatan harian santri dan lain-lain. - Interview tentang “Strategi dan Model
Manajemen PPDA, pengembangan, dll.” - Wewenang, kepengurusan dan pelaporan.
2 Pebruari ‘04 2 Pebruari ‘04
4. Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen, rapat, legenda dan sebagainya.40
b. Metode Analisis Data
Mempertimbangkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas,
maka penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Dengan demikian,
analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Adapun proses analisis
data yang digunakan adalah dengan metode deskrptif-interpretatif.
1. Metode analisis deskriptif.
Metode deskriptif, menurut John W. Best adalah usaha untuk
mendeskripsikan dan menginterpretasikan mengenai apa yang ada tentang
kondisi, pendapat yang sedang berlangsung, serta akibat yang terjadi atau
kecenderungan yang tengah berkembang41. Dengan kata lain analisis
deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti kelompok manusia, suatu
obyek, suatu seting kondisi, suatu sistem pemikiran, atau suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang.
Adapun tujuannya adalah untuk membuat diskripsi
(gambaran/lukisan) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-
fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.
Dengan demikian, analisis deskriptif ini dilakukan ketika peneliti
saat berada dilapangan dengan cara mendeskripsikan segala data yang
40 Robert K. Yin, op.cit., hlm. 17 41 John W. Best, Research In Education, dalam Sanafiah Faisal dan Mulyadi Guntur W.
(eds.), Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 119.
21
telah didapat, lalu dianalisis sedemikian rupa secara sistematis, cermat dan
akurat.
2. Metode analisis interpretatif.
Metode interpretatif adalah menyelami buku untuk sedapat
mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna yang disajikan.42 Dalam
metode ini, memungkinkan penuh peneliti mengintervensi dan mengkritisi
setiap pendapat-pendapat dengan menggunakan analisis-analisis yang
akan dipaparkan dalam bab IV.
Dengan demikian, ketika peneliti telah mendapatkan data hasil
wawancara, survey maupun segala hasil yang diperoleh di lapangan, baik
berupa pendapat-pendapat, fakta-fakta maupun sifat-sifat serta fenomena
yang diteliti, maka setelah itu perlu dianalisis secara cermat dan matang
sehingga peneliti dapat mengintervensi dan mengkritisi terhadap
fenomena-fenomena yang diperolehnya itu dengan mengkomparasikan
terhadap berbagai pendapat para tokoh melalui sumber maupun buku apa
saja.
Untuk itu, dengan pendekatan ini diharapkan dapat ditarik kesimpulan
penelitian setidaknya meliputi:
1. Mencari relevansi manajemen konflik interpersonal dengan pengembangan
lembaga pendidikan pesantren.
2. Mencari relevansi manajemen konflik intrapersonal dengan pengembangan
lembaga pendidikan pesantren.
3. Mencari relevansi manajemen konflik intergroup dengan pengembangan
lembaga pendidikan pesantren.
4. Mencari relevansi manajemen konflik intragroup dengan pengembangan
lembaga pendidikan pesantren.
42 Anton Beker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 63.
22
G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
Sistematika penulisan diperlukan dalam rangka mengarahkan tulisan agar
runtun, sistematis, dan mengerucut pada pokok permasalahan, sehingga akan
memudahkan pembaca dalam memahami kandungan dari suatu karya ilmiah.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Bagian Awal
Pada bagian ini memuat: Halaman Sampul, Halaman Judul, Abstraksi
Penelitian, Halaman Pengesahan, Halaman Motto, Kata Pengantar, Daftar Isi,
Daftar Tabel, Daftar Gambar, Daftar Lampiran.
2. Bagian Inti
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
dan Signifikansi, Penegasan Istilah, Kajian Pustaka, Metodologi
Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II : KONSEP MANAJEMEN KONFLIK DAN PENGEMBANGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut: Definisi
Lembaga pendidikan Islam, Bentuk-bentuk Lembaga Pendidikan
Islam, Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam,
Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, Pengertian Konflik,
Jenis-jenis Tipe Situasi Konflik, Manajemen Konflik, metode-
metode Manajemen Konflik, dan Lima Gaya Menejemen Konflik.
BAB III : APLIKASI MANAJEMEN KONFLIK DAN PENGEMBANGAN
LEMBAGA DI PESANTREN DARUL AMANAH
Pada bab ini pembahasannya meliputi: Letak Geografis,
Latar Belakang dan Perkembagannya serta Sistem Pendidikan
Pesantren Darul Amanah, Model Manajemen yang diterapkan,
Proses Manajemen Konflik, Bentuk Konflik dan Penyelesaiannya
23
BAB IV : MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA DENGAN
PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
(PESANTREN)
Pembahasannya meliputi: analisis relevansi Manajemen
Konflik Interpersonal, Intrapersonal, Intergroup, Intragroup, dan
Interorganisatoris dengan Pengembangan Lembaga Pendidikan
Pesantren.
BAB V : PENUTUP
Bab terakhir ini berisikan: Kesimpulan, Saran dan Kata
Penutup.
3. Bagian Akhir
Pada bagian akhir skripsi ini memuat: Daftar Pustaka dan Lampiran-
lampiran.