bab i pendahuluanrepository.uinbanten.ac.id/3293/2/3. asli skripsi.pdf · 2019. 1. 8. · jual beli...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah sistem yang menyeluruh dan
mencakup semua sendi kehidupan manusia. Ia memberikan sendi
kehidupan. Hal ini tidak hanya disimpulkan dari hukum islam
saja, tetapi sumber-sumber islam itu sendiri menekannya.1
Dalam islam menganjurkan sesama manusia agar saling
tolong-menolong untuk melangsungkan kehidupannya didunia
dan begitu juga anjuran untuk mencari mata pencaharian dalam
hal ini yaitu Jual-Beli. Namun Jual-Beli yang seperti apa yang
diperintahkan oleh Syariat Islam.
Jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar benda
atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua
belah pihak, yang satu menerima barang dari pihak lain
mendapatkannya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang
telah dibenarkan syara yang disepakati. Sedangkan menurut
1 Syakir Muhammad Ash-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam,
(Jakarta: Pustaka Zahra,2002) hal 163.
2
istilah terminology yang dimaksud dengan jual beli adalah tukar
menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan
jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas
dasar saling merelakan.2
Pensyariatan jual beli ini tujuannya untuk memberikan
keleluasan pada manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Karena kebutuhan manusia berhubungan dengan apa yang ada
ditangan sesamanya. Semuanya tidak akan terpenuhi tanpa
adanya saling tukar menukar. Islam telah mensyariatkan kepada
manusia bahwa terpenuhinya kebutuhan sehari-hari harus dengan
jalan suka sama suka diantara kedua belah pihak. 3
Banyak interaksi yang dapat dilakukan manusia agar apa
yang menjadi kebutuhannya dapat terpenuhi. Disini lah peran
Islam sebagai agama yang sempurna mengatur segala bentuk
kehidupan, salah satunya adalah muamalah. Kegiatan muamalah
yang disyariatkan oleh Allah yaitu adanya jual beli, hal ini
ditegaskan dalam firman Allah swt Q.S al- Baqarah ayat: 275
2 Hendi suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta: PT. Persada, 2002), h.67
3Endang Hidayat, Fiqih Jual Beli, ( Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,2015)
3
“…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan Riba…” (Q.S al-Baqarah:275).4
Sehubungan dengan ayat tersebut, Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba karena pada jual
beli megandung kemungkinan untung dan ruginya yaitu
tergantung pada kepandaian dalam mengelola serta kondisi dan
situasi.
Penghalalan Allah terhadap jual beli itu mengandung dua
makna, salah satunya adalah Allah menghalalkan setiap jual beli
yang dilakukan oleh dua orang pada barang- barang yang
diperbolehkan untuk diperjualbelikan atas dasar suka sama suka.
Keduanya adalah Allah menghalalkan praktek jual beli apabila
barang tersebut tidak dilarang Allah.
Allah juga melarang manusia bermu’amalah dengan cara
yang tidak baik sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S An-
Nisa’ ayat 29:
4 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan
Terjemahannya (Jakarta : jamunu 1965), hlm 69.
4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (Q.S
An-Nisa’ : 29).
Dalam bermua’malah manusia harus memperhatikan
aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT dan rasulnya, dan
pada dasarnya memang segala bentuk mua’malah adalah mubah
(boleh) kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya.5
Haram adalah sesuatu yang Allah melarang untuk
dilakukan dengan larangan yang tegas, setiap orang yang
menentangnya akan berhadapan dengan siksaan Allah diakhirat.
Bahkan terkadang juga terancam sanksi syariah didunia.6
5 Abdul mudji, kaidah-kaidah ilmu fiqih (Al-Qawaidul Fiqhiyah),
(Jakarta: kalam mulia,1996),hal 25 6 Yusuf Qardhawi, Halal Haram, (Surakarta: Era Intermedia, 2003)
hal 31.
5
Islam tidak mengharamkan perdagangan kecuali
perdagangan yang mengandung unsur kezhaliman, penipuan,
eksploitasi, atau mempromosikan hal-hal yang dilarang.
Perdagangan Khamr, Ganja, bagi, patung, dan barang-barang
sejenis, yang dikonsumsi, distribusi, atau pun pemanfaatannya
diharamkan, perdagangannya pun diharamkan atau tidak di
Ridhai Islam. Setiap penghasilan yang didapat melalui praktek itu
adalah haram dan Kotor.
Dalam islam, barang yang haram dilarang
diperjualbelikan dan diklasifikasikan menjadi beberapa macam,
yaitu: Babi, Anjing, Bangkai, Darah, dan khamar ( minuman
Keras).
Berdasarkan firman Allah telah Dijelaskan dalam surat
Al-Maidah ayat 3:
6
Artinya: “ Diharamkan bagimu(memakan) bangkai,
darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih itu
berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak
panah, adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir pada
putus asa untuk mengalahkan agamamu. Sebab itu janganlah
kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaku. Pada hari ini
telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku
ucapkan kepada nikmatku, dan telah ku ridhai Islam itu jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang” ( QS. Al- Ma‟idah: 3).7
Harta haram karena dihasilkan dari mu’amalah yang batil
seperti harta riba dan hasil berjudi. Harta jenis ini hanya haram
untuk pelakunya (pihak yang memperolehnya). Tapi tidak haram
bagi pihak yang memperolehnya melalui jalur yang dibolehkan
syari’at (meski dengan bermuamalah dengan pemilik harta riba
atau harta hasil berjudi tersebut). Misalnya anda menjual barang
7 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam,(Jakarta: Rajawali
pers,2015) hal 109.
7
tertentu pada pelaku riba, dan anda mendapatkan harga
(uang)nya, istri yang mendapat nafkah dari hasil riba, atau hadiah
yang didapatkan dari hasil riba, dst. Sesungguhnya dosa atas
harta ini hanya menimpa pelaku riba (yang memperoleh harta
riba) bukan pada uang hasil jual beli, penerima nafkah, dan
penerima hadiah, Allah SWT berfirman dalam Surat Al an’am
ayat 164 yang berbunyi :
Artinya :“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. Al an‟am:
164)”
Syariat islam diturunkan oleh Allah untuk mengatur
segala aspek kehidupan manusia serta untuk kemaslahatan
seluruh umat. Tujuan diturunkannya syariat islam adalah untuk
menjaga kehormatan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.
Melestarikan kelima hal tersebut adalah keharusan, yang tidak
8
bisa tidak, jika kehidupan manusia dikhendaki untuk berlangsung
dan berkembang.8
Kajian fiqih dalam bidang muamalat khususnya jual beli
dari masa kemasa mengalami perkembangan dan kemajuan, baik
dari segi model, bentuk, teknik dan macam-macam obyek atau
benda yang diperjualbelikan. Temuan –temuan medis
menunjukan bahwa beberapa jenis obat cukup akurat dalam
menyembukan penyakit. Sayangnya, ternyata beberapa jenis obat
yang beredar dipasaran menggunakan unsur atau bahan yang
diharamkan oleh syariat islam. Islam mensyariatkan pengobatan
hanya dilakukan dengan bahan obat telah diyakini status
kehalalannya.
Kebanyakan dari masyarakat beralasan, membeli obat –
obatan yang terbuat dari bahan haram atau berbagai jenis hewan
dan makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi sebagai obat
dalam keadaan darurat tidak apa-apa, sedangkan masyarakat
8 Jaser Audah, Al- MAQAS Id untuk Pemula,(Suka Ress: yogyakarta,
2013) hal 8.
9
sendiri sebenarnya kurang memahami batasan-batasan terhadap
konsep darurat dalam islam.
Dalam syarat dan rukun jual beli, tidak ada ketentuan
bahwa uang yang digunakan untuk membeli harus dengan uang
yang halal. Sehingga pada hakikatnya, bila seseorang pembeli
membeli barang dengan uang yang haram, seperti hasil judi,
maka jual beli itu tetap sah. Adapun sipembeli berdosa karena
berjudi, itu urusan yang bersangkutan. Yang perlu diperhatikan
adalah syarat dan rukun jual belinya itu sendiri, apakah sudah
terpenuhi atau tidak. Bila tidak terpenuhi, maka jual beli itu tidak
sah. Sebaliknya bila sudah terpenuhi, maka jual beli itu sah secara
hukum.
Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang
muslim mengetahui hal haramnya perbuatan yang dilakukannya,
dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi
kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, halal haramnya makanan,
minuman, obat, dan kosmetik.
10
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian pada skripsi ini dengan mengangkat judul “
KEDUDUKAN HUKUM JUAL BELI BARANG YANG
HARAM DIKONSUMSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM”. Dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis
fenomena barang yang haram dikonsumsi sehingga dapat
ditentukan kebolehan dapat memperjual belikannya berdasarkan
pertimbangan- pertimbangan dari pendapat para ulama yang
dijelaskan secara rinci.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diatas, penulis perlu
membatasi masalah yang akan diteliti sehingga dalam
pembahasannya nanti tidak akan menyimpang dari sasaran yang
khendak dicapai. Oleh karena itu, perlu adanya rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan hukum islam terhadap jual beli barang
yang haram dikonsumsi untuk pengobatan?
11
2. Bagaimana pandangan hukum islam terhadap jual beli barang
menggunakan uang hasil penjualan barang yang haram
dikonsumsi?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa hal tujuan yang
khendak dicapai penulis antara lain sebagai berikut:
1. Untuk memahami hukum jual beli barang yang haram
dikonsumsi untuk pengobatan
2. Untuk memahami hukum jual beli barang menggunakan
uang hasil penjualan barang yang haram dikonsumsi
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penulis mengharapkan penelitian ini d apat menambah
wawasan dan referensi khasanah hukum islam khususnya
berkenaan dengan barang yang haram dikonsumsi dan
memperjualbelikannya.
12
2. Manfaat Praktis
a. Peneliti ini dapat dijadikan dasar oleh pemerintah dalam
menanggapi dampak yang terjadi dari barang yang haram
dikonsumsi terutama bahaya yang pasti ditimbulkan.
b. Masayarakat agar mengurangi pengkonsumsian barang
yang haram.
E. Kerangka Pemikiran
Manusia hidup didunia ini tidak lepas dari usaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mencukupi kebutuhan
hidup yang semakin kompleks, maka dalam pemenuhan
kebutuhan hidup ditempuh beberapa cara, termasuk didalamnya
dengan jual beli.9
Dengan jual beli teratur penghidupan dalam kehidupan
masing- masing, mereka dapat berusaha mencari rezeki dengan
aman dan terang, dalam pelaksanaan jual beli hal yang paling
diperhatikan ialah mencari barang yang halal dan dengan jalan
yang halal pula, artinya carilah barang yang halal untuk
9 Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Jakarta:Bulan
Bintang,1986),hal 426
13
diperjualbelikan atau diperdagangkan dengan cara yang sejujur-
jujurnya. Bersih dari segala sifat, dan yang dapat merusak jual
beli seperti, penipuan, pencurian, perampokan, riba dan lain- lain.
Dalam ayat Al-Qur’an dan hadist aturan tentang jual beli
telah dijelaskan baik yang berkaitan dengan subjek, sighat dan
objek dalam jual beli. Adapun dasar hukum terkait dengan objek
atau barang yang diperjualbelikan (ma’qud alaih) antara lain:
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”
Dari firman Allah diatas , dapat disimpulakan bahwa
Allah telah menghalkan jual beli yang memenuhi beberapa syarat
dan rukun seperti yang telah diciptakannya kepada umat manusia.
Firman Allah diatas diperjelas dengan sabda Rasullah SAW yang
memberikan petunjuk tentang jual beli, baik yang dibenarkan
maupun yang tidak dibenarkan. Rasulullah telah menjelaskan
tentang kriteria benda-benda yang haram untuk diperjualbelikan.
14
Sayyid Sabiq menjelaskan beberapa syarat untuk benda
atau barang yang diperjualbelikan boleh diperjualbelikan. Berikut
syarat-syarat benda yang dapat diperjualbelikan:10
1. Kesucian barang
2. Kemanfaatan barang
3. Kepemilikan orang yang berakad atas barang tersebut
4. Kemampuan untuk diserahterimakan
5. Pengetahuan tentang barang
6. Telah diterimanya barang yang dijual.
Segala perintah agama ditetapkan untuk kebaikan
manusia, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Sebaliknya, semua larangan agama ditetapkan semata-mata
untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk mafsadat dalam
kehidupan dunia dan akhirat. Prinsip dasar inilah yang
menjadi dasar utama setiap hukum yang ditetapkan dalam
Islam. Karena itu sebagai bentuk kebaikan dan
10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4,(jakarta:cakrawala Publising,2009)
hal 163
15
kemaslahatan harus terus diushakan, sedang semua bentuk
mudarat dan mafsadat wajib dihindari.11
Haram adalah sesuatu yang Allah melarang untuk
dilakukan dengan larangan yang tegas, setiap orang yang
menentangnya akan berhadapan dengan siksaan Allah
diakhirat. Bahkan terkadang juga terancam sanksi syariah
didunia.12
Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan, baik
kesehatan fisik, jiwa, maupun kesehatan Lingkungan.
Kesehatan adalah keadaan pada makhluk hidup, guna
memfungsikan keseluruhan organ tubuh secara harmonis.
Diaman salah satu yang menjadi pokok kandungan dalam
syari’at islam tentang kesehatan adalah masalah kesehatan
makanan.
Bentuk jual beli yang dilarang terbagi dua: pertama,
jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal), yaitu
11
Kurdi fadal, Kaidah-kaidah Fikih ( Jakarta: Arta Rivera, 2008), hal
49. 12
Yusuf Qardhawi, Halal Haram, (Surakarta: Era Intermedia, 2003)
hal 31.
16
jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua,
jual beli yang hukumnya sah tetapi dilarang, yaitu jual beli
yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi ada
beberapa faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.
Adapun bentuk jual beli yang terlarang adalah jual
beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh
diperjualbelikan. Barang yang najis atau haram dimakan
haram juga untuk diperjualbelikan, seperti babi, berhala,
bangkai, dan khamar (minuman yang memabukan ).
Rasulullah SAW, bersabda:
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan
memakan sesuatu maka dia mengharamkan juga
memperjualbelikannya” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).13
Tahap pertama, Islam menginformasikan bahwa khamar
terdapat dua isi yaitu manfaat dan mafsadat bagi manusia, tetapi
13
Abdul Rahman Ghazaly,Dkk, Fikih Muamalat, (Kencana: Pena
Grafika,2012) hal 80
17
mafsadat lebih besar dari manfaatnya. Hal ini sebagimana firman
Allah SWT:
...
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah; “ pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya” (QS. Al-Baqarah: 219).
Perbuatan mengkonsumsi minuman keras dan judi juga
mengandung dosa, karena banyak mudaratnya bagi akal, harta,
nama baik, dan agama. Meskipun diakui bahwa miras juga ada
manfaatnya sepertinya menghangatkan badan, medatangkan
keuntungan bagi pembuat dan penjualannya. setelah ditimbang
dengan akal sehat, lebih banyak mudharatnya, seperti merusak
agama, misalnya selagi mabuk, lupa bacaan shalat dan bacaan
shalat pun bisa keliru dan menyalahi makna bacaan tersebut.14
14
Maslani,Hasbiyallah, Masail Fiqhiyah Al-hadisyah,(Bandung:Sega
Arsy,2009) hal 29-35
18
F. Penelitian Terdahulu
Untuk menghindari terjadinya kesamaan terhadap
penelitian yang telah ada sebelumnya, penulis mengadakan
penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah ada
sebelumnya.
1. Judul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Daging Buaya
Untuk Dikonsumsi (Studi Kasus di PT. Ekanindya Karsa, Desa
Parigi, Cikande, Serang), Tahun 2016 oleh Eka Wulandari. Yang
berisi: bahwa dalam skripsi ini mengenai jual beli daging buaya ,
bahwasanya jual beli buaya itu diperbolehkan, akan tetapi jika
daging buaya tersebut untuk dikonsumsi maka hukumnya haram,
kecuali dalam keadaan darurat/ mudharat itu diperbolehkan.
Dari penelitian skripsi ini dengan skripsi diatas terdapat
perbedaan yaitu: skripsi yang dijelaskan oleh Eka Wulandari
dalam judul skripsinya, yaitu : Tinjauan Hukum Islam terhadap
jual beli Daging Buaya . dalam skripsinya menjelaskan tentang
hukum jual beli daging buaya. Sedangkan perbedaan skripsi
penulis dengan skripsi diatas adalah penulis lebih mengambil
19
hukum jual beli barang yang haram dikonsumsi untuk
pengobatan.
2. Judul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Hewan Dan
Bahan yang diHaramkan sebagai Obat. Tahun 2014 oleh
Fadhilah Mursyid. Yang berisi dalam skripsi ini bahwa transaksi
jual beli hewan dan bahan- bahan yang diharam sebagai obat,
yang kebanyakan terjadi dalam masyarakat adalah tidak
dibenarkan atau tidak diperbolehkan (keliru). Karena pada
dasarnya kebanyakan dari masyarakat kurang memahami
bagaimana sebenarnya batasan- batasan darurat yang
membolehkan untuk melakukan sesuatu yang marah. Kecuali
memang transaksi jual beli yang dilakukan untuk mendapatkan
barang yang diharamkan tersebut merupakan satu-satunya
alternatif.
Dari peneliti skripsi ini dengan skripsi diatas ada
perbedaan yaitu: skripsi yang dijelaskan oleh Fadhilah Mursyid
dalam judul skripsinya yaitu: Tinjauan Hukum Islam terhadap
jual beli Hewan dan Bahan yang diharamkan sebagai Obat.
Dalam skripsi ini membahas tentang syarat bolehnya berobat
20
dengan yang haram sedangkan skripsi penulis membahas tentang
jual beli barang dengan menggunakan uang hasil penjualan
barang yang haram dikonsumsi.
G. Metode Penelitian
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan
skripsi ini yaitu Library research (studi pustaka), yaitu
penelitian yang menggunakan buku-buku yang berkaitan
langsung dengan pembahasan tentang barang yang haram
dikonsumsi dan memperjualbelikannya, serta menelaah dan
mempelajari dari literatur beberapa buku yang ada kaitannya
dengan masalah yang ada dalam skripsi ini.
2. Sifat penelitian
Penelitian dalam penyusunan skripsi ini bersifat
deskriptif-analisis, yaitu usaha untuk menggambarkan suatu
gejala dan peristiwa yang ada secara jelas dan sistematis
sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.
21
3. Teknik pengumpulan data
Dalam pengumpulan data penulis merujuk pada buku-
buku dan media informasi lainnya yang berkaitan langsung
dengan permasalahan yang diteliti sehingga dapat
mempermudah menjawab persoalan yang berhubungan
dengan hukum barang yang haram dikonsumsi dan
memperjualbelikannya.
4. Sumber Data
a. Data primer, yaitu sumber data dari buku-buku yang
menjadi acuan penting untuk skripsi ini.
b. Data sekunder, yaitu sumber data dari buku-buku dan
media informasi lainnya yang juga menjadi referensi
untuk melengkapi penulisan skripsi ini.
5. Teknik pengolahan data
Ketika data yang dibutuhkan telah diperoleh, maka
penulis mengelompokan data-data tersebut untuk diolah yang
kemudian dianalisis. Dalam pembahasan ini penulis
menggunakan teknik pengolahan data yang bersifat induktif,
yaitu diawali dengan menguraikan fakta-fakta tentang hukum
22
jual beli barang yang haram dikonsumsi kemudian
dirumuskan menjadi suatu kesimpulan atau generalisasi
dalam menentukan hukum memperjualbelikan barang yang
haram dikonsumsi dalam perspektif hukum islam.
6. Pedoman penulisan penyusunan skripsi ini berpedoman pada:
a. Pedoman penulisan karya ilmiah fakultas syariah UIN
Banten tahun 2017
b. Sumber penulisan disesuaikan pada Al-Qur’an dan
terjemah makna kedalam bahasa indonesia Departemen
agama Republik Indonesia.
c. Untuk penulisan hadist disesuaikan dalam al-Maktabah
asy-Syamilah
H. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam pembahasaan skripsi ini terdiri dari
lima Bab. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
Bab pertama; pendahuluan, yang meliputi: latar belakang
masalah, perumusan ,masalah, fokus penelitian,tujuan penulisan,
manfaat penelitian kerangka pemikian, penelitian terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
23
Bab ke Dua; Tinjauan Teoritis, yang meliputi: pengertian
Jual Beli, rukun dan syarat jual beli dan macam-macam jual beli.
Bab ke Tiga; Barang yang Haram, yang meliputi: Sifat
barang yang Haram, macam-macam barang yang Haram,
Dampak penggunaan barang yang Haram.
Bab ke Empat; Tinjauan hukum Islam tentang jual beli
barang yang Haram, yang meliputi: Hukum Jual Beli barang yang
Haram untuk dikonsumsi, hukum jual beli yang Haram untuk
pengobatan, hukum jual beli barang yang Haram untuk kebaikan.
Bab ke Lima; penutup yang berisi pokok pembahasan dan
jawaban atas permasalahan dan saran-saran dari penulis.
24
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG JUAL BELI
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli ataupun perdagangan dalam bahasa arab, yaitu
al-bay’ berarti menjual, mengganti, dan menukar (sesuatu dengan
sesuatu yang lain). Kata al-bay’ dalam bahasa arab terkadang
digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira (beli).
Dengan demikian, maka al-bay’ berarti “jual”, tetapi sekaligus
juga berarti “beli”. Persoalan jual beli dalam fiqih islam dibahas
secara luas oleh ulama fikih, sehingga dalam berbagai literature
ditemukan pembahasaan dengan topik kitab al-buy’ (kitab jual
beli).15
Dalam fiqih muamalah perdagangan atau jual beli
menurut bahasa berarti al-bai’, al-tijarah dan mubadalah,16
Sebagaimana Allah Swt, berfirman Qs Fathir:29).
15
Abdul Aziz Dahlan,ed, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3 ( Jakarta:
Pt. ichtiar Baru Van Hoeve,1996) 16
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Rajagrafindo
persada,2010) hal 67.
24
25
“ Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan
merugi.17
Perkataan jual beli terdiri dari dua kata jual dan beli. Kata
jual, menunjukan adanya perbuatan menjual, sedangkan beli
menunjukan adanya perbuatan membeli. Dengan demikian
perkataan jual beli menunjukan adanya dua perbuatan dalam satu
peristiwa, satu pihak penjual dan pihak lain membeli. Maka
dalam hal ini terjadilah peristiwa jual beli.18
Adapun jual beli menurut Hukum Perdata (BW) adalah
suatu peristiwa perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu
(penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk
membayar dengan membayar dengan harga yang terdiri dari
sejumlah uang sebagai imbalan.19
17
Departemen agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan
terjemahannya ( Jakarta: CV kathoda, 2005), hal 620. 18
Suhrawadi, K Lubis, Hukum Ekonomi Islam,( Jakarta: Sinar
Grafika, 2000) hal 128. 19
R. Subekti, Aneka Perjanjian,( Bandung: citra Aditya Bakti, 1995)
hal 1
26
Menurut istilah yang dimaksud jual beli adalah sebagai
berikut:
1. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang
sesuai dengan aturan syara;
2. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang
dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada
yang lain atas dasar saling merelakan.
3. Melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas
dasar saling merelakan.
4. Penukaran benda dengan benda yang lain dengan jalan saling
merelakan atau memindahkan hak milik denga nada
penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
5. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola dengan
ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara’.
6. Aqad yang tegak atas penukaran harta dengan harta, maka
jadilah penukaran hak milik secara tetap.20
Berdasarkan fiqih muamalah bahwa jual beli adalah
pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus
20
Syekh Abdurrahman as- sa’di, et al, Fiqih Jual Beli: panduan
praktis bisnis Syariah, ( Jakarta: senayan publishing, 2008) hal 143.
27
yang dibolehkan, antara kedua belah pihak atas dasar saling rela
atau ridha atas pemindahan kepemilikan hartan (benda), dan
memudahkan miliki dengan berganti yang dapat dibenarkan yaitu
berupa alat tukar yang sah dalam ketentuan syara yang
disepakati.21
Sebagai mana dijelaskan bahwa pengertian jual beli
secara istilah adalah pertukaran harta tertentu dengan harta lain
berdasarkan keridhaan antara keduanya, atau dengan pengertian
lain, memindahkan hak milik dengan hak milik lain berdasarkan
persetujuan dan hitungan materi.22
Definisi yang dikemukakan ulama hanafiyah tersebut
adalah, bahwa yang dimaksud dengan cara yang khusus adalah
ijab dan qabul, atau juga bisa melalui saling memberikan barang
dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu
harta yang diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia.23
21
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo
persada, 2007) hal 28. 22
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, ( Jakarta: penda pundi Aksara,
2006) hal 121 23
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, ( Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal 113-114.
28
Jual beli menurut ulama Malikiyah ada dua macam, yaitu
jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus.
1. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar
menukar harta sesuatu yang bukan kemanfaatan dan
kenikmatan. Kenikmatan adalah akad yang mengikat dua
belah pihak. Tukar menukar yaitu salah satu pihak
menyerahkan ganti pertukaran atas sesuatu yang ditukarkan
adalah dzat (berbentuk), berfungsi sebagai objek penjualan,
jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.
2. Jual beli dalam arti khusus ialah tukar menukar sesuatu yang
bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang
mempunyai daya Tarik, penukarannya bukan berupa emas,
bendanya dapat direalisir dan ada seketika ( tidak
ditangguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada
dihadapan pembeli maupun tidak, barang yang sudah
diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.24
Adapun sebagian ulama yang berpendapat tentang jual
beli bahwa mereka telah sepakat mendefinisikan jual beli
24
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, ( Bnadung: Gunung Djati
Perss,1997) hal 69.
29
merupakan tukar menukar harta dengan harta dengan cara-cara
tertentu yang bertujuan untui memindahkan kepemilikan.
Namun demikian, adanya perbedaan terletak pada jual
beli manfaat, hanafiyah tidak memandang manfaat harta,
karenanya tidak sah memperjualbelikannya. Malikiyah
memandang manfaat sebagai harta. Kendatipun mereka tidak
memandang tukar menukar manfaat sebagai jual beli. Sedangkan
syafi’I dan hanabillah memandang tukar menukar manfaat
denngan harta adalah jual beli apabila kepemilikan manfaat
terrsebut dengan jalan abadi.25
Menurut Rahmat syafe’I dalam bukunya mengatakan
bahwa jual beli adalah aktivitas manusia yang berkaitan dengan
harta benda, sehingga terjadi pemindahan hak milik atas benda
atau harta masing-masing.26
Islam mengatur perilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhannya, yaitu dalam kegiatan bisnis yang membawa
kemaslahatan. Berdasarkan hal itu, islam telah menawarkan
25
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, ( bandung : Remaja Rosdakarya,
2015) hal 12. 26
Rahmat syafe’I, Fiqih Muamalat, ( Bandung: Setia, 2004), hal 74.
30
beberapa aturan dalam transaksi jual beli adalah Firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 275:
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. (Qs. Al-Baqarah:275).27
B. Rukun dan Syarat Jual Beli
Suatu jual beli dapat dikatakan sah apabila telah
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditemukan oleh syara’.
27
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, ( Jakarta: Rajawali
Pers,2015) hal 168.
31
Mengenai rukun dan syarat jual beli, para ulama berbeda
pendapat. Dalam menentukan rukun jual beli ini terdapat
perbedaan pendapat ulama madzhab Hanafi dan jumhur Ulama.
Rukun jual beli menurut ulama madzhab Hanafi hanya
satu, yaitu ijab dan Kabul. Menurut mereka, yang menjadi rukun
dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (keridhaan) kedua belah
pihak untuk berjual beli. Namun karena unsur kerelaan itu
merupakan unsur hati yang sering tidak kelihatan, maka
diperlukan indicator yang menunjukan kerelaan tersebut dari
kedua belah pihak. Indicator ini bisa tergambar dalam ijab dan
Kabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga
barang.
Hal ini berbeda dengan jumhul ulama yang menyatakan
bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:28
a. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
b. Sighat (lafal ijab dan Kabul)
c. Ada barang yang beli
d. Ada nilai tukar pengganti barang.
28
Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, hal 828
32
Menurut ulama madzhab Hanafi, orang yang berakad,
barang yang dibeli, dan nilai tukar barang yang termasuk dalam
syarat jual beli, bukan rukun.
Adapun syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukakan jumhur ulama adalah sebagai berikut:29
1. Orang yang berakad
Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa orang yang
melakukan akad jual beli harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berakal
Jual beli dilakukan oleh anak kecil yang belum
berakal hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah
mumayyiz, menurut madzhab Hanafi, apabila akad yang
dilakukan membawa keuntungan bagi dirinya, seperti
menerima hibah, wasiat, dan sedekah maka akadnya sah.
Sebaliknya apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya,
seperti meminjamkan hartanya kepada orang lain,
mewakafkan, atau menghibahkan, maka tindakan hukumnya
tidak dibenarakan menurut hukum islam.
29
Misbahuddin, E-Commerece dan Hukum Islam (Makasar: Alauddin
University Perss, 2012), hal 119-133
33
Transaksi yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz
yang mengandung manfaat dan mudarat sekaligus, seperti jual
beli, sewa menyewa, dan perserikatan dagang, dipandang sah,
menurut hukum dengan ketentuan bila walinya mengizinkan
setelah dipertimbangkan dengan sematang-matangnya.
Jumhul ulama berpendirian bahwa orang yang
melakukan akad jual beli itu harus telah akil baligh dan
berakal. Apabila orang yang berakad itu masih mumayyiz,
maka jual belinya tidak sah, sekalipun mendapat izin dari
walinya.30
b. Ahli akad
Menurut ulama Hanafiyah seorang anak yang berakal
tetapi belum baligh dapat menjadi ahli akad. Ulama
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad
bergantung pada izin walinya. Adapun menurut Ulama
Syafi’iyah anak yang belum baligh tidak bolehkan melakukan
akad sebab belum dapat menjaga agama dan hartanya.
30
Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, hal 829
34
Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-
orang yang belum sempurna akalnya harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. “ ( QS.
An-Nisa‟ : 5)
2. Syarat yang terkait dengan ijab dan Kabul
Ulama fikih mengemukakan bahwa syarat ijab dan Kabul
itu adalah sebagai berikut:
a. Orang yang mengucapkannya telah akil dan berakal
b. Kabul sesuai dengan ijab
c. Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis.
3. Ma’qud Alaih (objek akad).31
Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad ialah
sebagai berikut:
a. Suci atau mungkin untuk disucikan, sehingga tidak
sah penjualan benda-benda najis, seperti anjing, babi,
dan yang lainnya.
b. Memberi manfaat menurut syara, dilarang jual beli benda-
benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara;
seperti menjual babi, kala, cicak, dan sebagainya.
31
Rahmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia,2001)
hal 76-77.
35
c. Jangan ditaklikan yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada
hal-hal lain.
d. Tidak dibatasi waktunya.
e. Dapat diserahkan cepat atau lambat.
f. Milik sendiri.
g. Diketahui barang yang akan diperjualbelikannya.32
Adapun menurut syafi’iyah membagi syarat-syarat jual
beli yaitu:
1. Harta yang diperjualbelikannya itu harus suci
2. Harta yang diperjualbelikannya itu dapat dimanfaatkan
3. Harta yang diperjualbelikan itu tidak samar (diketahui)
4. Harta yang diperjualbelikan itu bukan milik orang lain.33
C. Macam- Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari
segi benda yang dijadikan objek jual beli, maka dapat
dikemukakan pendapat imam Taqiyyudin, bahwa jual beli dibagi
menjadi tiga bentuk, sebagai berikut:
32
Sohari Sahrani, Fikih Muamalah, ( Bogor: Ghalia Indonesia,2011)
hal 69-70. 33
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, ( bandung : Remaja Rosdakarya,
2015) hal 18.
36
“ jual beli ada tiga macam: 1). Jual beli benda, yang
kelihatan, 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam
janji, dan 3) jual beli benda yang tidak ada”
Jual beli benda kelihatan adalah pada waktu melakukan
akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada
didepan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat
banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras dipasar.
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian
ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan pedagang,
salam jual dilakukan untuk jual beli yang tidak tunai (kontan),
salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu,
maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya
yang ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga
yang telah ditetapkan ketika akad.
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat,
ialah jual beli yang dilarang oleh agama islam, karena barangnya
tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang
tersebut diperoleh dari curian atau barrang titipan yang akibatnya
37
dapat menimbulkan kecurigaan salah satu pihak. Sementara itu,
merugikan da seseorang yang menghancurkan harta benda
seseorang yang diperbolehkan.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi
menjadi tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara, dan dengan
perbuatan. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah
akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu
diganti dengan isyarat karena isyarat merupakan pembawaan
alami dalam menampakan khendak. Hal ini dipandang dalam
akad adalah maksud atau khendak dan pengertian, bukan
pembicaraan dan pernyataan.
Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara,
tulisan, atau surat-menyurat sama halnya dengan ijab Kabul
dengan ucapan, misalnya via pos dan Giro. Jual beli dilakukan
antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majelis
akad, tetapi melalui pos dan giro, jual beli ini dibolehkan menurut
syara. Dalam pemahaman sebagian ulama, bentuk ini hamper
sama dengan bentuk jual beli salam. Hanya saja jual beli salam
antar penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majelis
akad.
38
Jual beli perbuatan (saling memberikan) atau dikenal
dengan istilah mua’thoh34
yaitu mengambil dan memberikan
barang tanpa ijab dan Kabul, seperti seseorang mengambil roko
yang sudah bertuliskan lebel harganya, ibandrol oleh penjual, dan
kemudian diberikan uang pembayarannya kepada penjual. Jual
beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab dan Kabul
antara penjual dan pembeli, menurut sebagian syafi’iyah tentu hal
ini dilarang sebab ijab Kabul sebagai rukun jual beli . tetapi
sebagian syafi’iyah lainnya, seperti imam nawawi membolehkan
jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang
demikian, yakni tanpa ijab Kabul terlebih dahulu.
Jual beli bedasarkan pertukarannya secara umum dibagi
empat macam:35
a. Jual beli saham ( pesanan)
Jual beli saham adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual
beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka
kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual beli Muqayadhah (barter)
34
Hendi suhendi, Fiqih Muamalah,….. hal 78. 35
Rahmat syafe’I, Fiqih Muamalah,….hal 101.
39
Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar
barang dengan barang, seperti tukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang
telah disepakati ssebagai alat pertukaran, seperti uang.
d. Jual beli alat penukar dengan alat tukar
Jual beli penukar dengan alat penukar adalah jual beli
barang yang bisa dipakai sebagai alat penukar dengan alat
penukar lainnya, seperti uang perak dengan emas. Selain jual beli
diatas, jual beli juga ada yang diperbolehkan dan ada yang
dilarang jual beli yang dilarang juga adda yang batal ada pula
yang terlarang tetapi sah.
Selain jual beli diatas, jual beli juga ada yang dibolehkan
da nada yang dilarang, jual beli yang dilarang juga ada yang batal
ada pula yang terlarang tetapi sah. Jual beli yang dilarang dan
batal hukumnya adalah sebagai berikut:36
Asal hukum jual beli adalah mubah atau dibolehkan,
namun ada beberapa aktivitas jual beli yang dilarang atau batal
36
Sohari sahrani dan hj Ruf’ah Abdullah, Fiqih Muamalah,..
hal 72-75
40
dalam islam. Jual beli dilarang ada yang dihukumi batal dan ada
jual beli yang dilarang tetapi hukumnya tetap sah, jual beli yang
dilarang dan batal hukumnya diantaranya sebagai berikut:
1. Barang yang dihukumi najis oleh agama, seperti anjing, babi,
berhala, bangkai dan khamar. Rasulullah Saw. Bersabda:
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah
menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abi
HabibA dari Atho bin abi Rabah dari jabir bin Abdullah
radiallahu anhu bahwasannya dia mendengar Rasullah SAW
bersabda ketika hari penaklukan saat beliau dimakkah:
“Allah dan Rasullnya telah mengaramkan khamar, bangkai,
babi dan patung-patung.” Ada yang bertanya: “Wahai
41
Rasullah, bagaimana dengan lemak dari bangkai (sapi dan
kambing) karena bisa dimanfaatkan untuk memoles sarung
pedangtau meminyaki kulit-kulit dan sebagai bahan minyak
untuk penerangan bagi manusia?. Beliau bersabda: “tidak
dia tetap haram”. Kemudian saat itu juga Rasullah SAW
bersabda: semoga Allah melaknat yahudi, karena ketika
Allah mengharamkan lemak hewan (sapi dan kambing)
mereka mencairkannya lalu dan memakan uang jual beli
nya”. Berkata: Abu „Ashim telah menceritakan kepada kami
„Abdul Hamid telah menceritakan kepada kami Yazid; „Atho‟
menulis surat kepadaku yang katanya dia mendengar Jabir
radliallahu „anhu dari nabi SAW.” ( Riwayat Bukhari Dan
Muslim).
2. Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor
domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan,
jual beli ini dihukumi haram.
3. Jual beli anak binatang yang masih berada diperut induknya.
Jual beli seperti ini dilarang, karena barangnya belum ada dan
tidak tampak, kemudian jika anak binatang itu lahir, juga
belum dapat dipastikan apakah kondisinya baik, sempurna,
kurang sempurna, dan jantan atau betina.
4. Jual beli dengan muhaqqalah ( jual beli yang mengandung
unsur riba, yaitu menjual tanaman yang masih diladang atau
disawah).
42
5. Jual beli munabadzah (jual beli yang mengandung unsur
gharar, yaitu dengan cara lempar melempar diantara penjual
dan pembeli).
6. Jual beli dengan muzabanah ( jual beli yang mengandung
unsur riba, karena menjual sesuatu kepada pembeli yang tidak
diketahui jumlah dan timbangannya, kemudian dijualnya
hanya kira-kira saja).
7. Menentukan harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.
8. Jual beli dengan syarat
9. Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada
kemungkinan terjadi penipuan.
10. Jual beli dengan mengecualikan sebagai benda yang dijual.
11. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar.37
Ada beberapa macam jual beli yang dilarang oleh agama
tetap sah hukumnya, tetapi orang yang melakukannya mendapat
dosa, jual beli tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk kepasar
untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-
37
Hendi suhendi, Fiqih muamalah,...hal 78-81
43
murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia
jual dengan harga yang setinggi-tingginya.
2. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain.
3. Jual beli dengan najasyi.
4. Menjual diatas penjual orang lain.
44
BAB III
BARANG YANG HARAM DIKONSUMSI
A. Sifat- Sifat Barang Yang Haram Dikonsumsi
Penetapan dan perintah mengkonsumsi halal tidak harus
selalu berbentuk redaksi perintah, dan penetapan larangan atau
keharaman juga tidak harus berbentuk redaksi pencegahan atau
larangan. Pujian Allah terhadap sesuatu merupakam petunjuk
bahwa hal tersebut diperintahkannya. Demikian pula sebaliknya,
celaan terhadap sesuatu juga menunjukan bahwa sesuatu itu
merupakan larangan. Celaan dan pujian inilah yang menjadi
kriteria bagi dibolehkannya atau tidak sesuatu itu dilakukan.
Oleh karena itu, selain menetapkan ketentuan halal dan
haram yang ditetapkan al- Qur’an dan hadis secara jelas melalui
ketetapan diatas, para ulama juga menetapkan keharaman ataupun
sesuatu berdasarkan kriteria-kriteria yang diindikasikan oleh Al-
Qur’an.
44
45
Dari segi kriterianya, konsumsi dapat dilihat dari satu
aspek. Kriteria konsumsi yang bersifat Zatiyah yaitu sebagai
berikut:
1. Al-Khabiṡ atau Al-Khabaiṡ
Kriterianya berikutnya adalah al-khabaiṡ . Perbincangan
al-khabais sendiri berkaitan erat dengan pembahasan ṭ ayyib.
Ibn Manzhur mengatakan bahwa al-khabiṡ adalah sesuatu itu
buruk. Kata khabiṡ berarti (yang buruk). “Al-khabiṡ ” adalah
lawan kata “al-ṭ ayyib” dalam hal yang berkaitan dengan rizki,
anak, dan masyarakat.”38
Dalam al-Mu‟ jam al-Wasīṭ “al-Khaba‟ iṡ ” adalah
bentuk jamak dari kata “al-khabiṡ ah”, yaitu isim fa‟ il dari
kata khabuṡ a-yakhbuṡ u-khubṡ an,wa khabaṡ ah artinya
kerusakan, keburukan, atau tidak menyenangkan.39
Khabaiṡ terkadang diartikan sebagai makn, najis‟ ,
sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadis:
38
Ibn Manzhur, Lisan al-Arabi, Juz III, hal 9 39
Majma al-Lughah Al-Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasit, entry:
khabusa, jilid I, hal 214
46
“Jika air sudah menapai dua qullah, maka ia tidak mengandung
najis.”40
Dalam menjelaskan makna khabaiṡ , Imam al-Nawawi
menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ṭ ayyib.
Sebagaimana definisi ṭ ayyib yaitu, sesuatu yang dipandang
baik oleh bangsa Arab41
, demikian juga khaba‟ iṡ adalah
„sesuatu yang dipandang buruk oleh mereka (bangsa
Arab).‟ Dengan demikian “khaba‟ iṡ ” merupakan lawan kata
dari kata “ṭ ayyib”, yaitu sesuatu yang dipandang buruk oleh
bangsa Arab. Pendapat ini secara umum dianut oleh ulama di
kalangan Syafi‟ iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan ulama dari kalangan Hanafiyyah dan
Malikiyah berpendapat bahwa ketentuan bahwa sesuatu
dipandang khabais ataupun ṭ ayyib adalah berdasarkan teks-
teks syariah dan berdasarkan hati manusia (tabiat yang sehat).
Hal ini berarti bahwa ketika seseorang atau suatu kaum
menganggap hal tersebut ṭ ayyibatau khabais berdasarkan
tabiatnya yang sehat, maka hal itu yang diakui.
40
An –nasa’I, sunan Nasa’I, Pustaka Azzam, hal 25
41
Al-Nawawi, al- Majmu’ Syarh al-Muhazzab, IX, hal 25
47
Al-Qur‟ an telah meletakkan kaidah umum untuk barang
atau benda yang ṭ ayyib dan khabais, firman Allah:
“Dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik dan
diharamkan atas mereka segala yang kotor-kotor.” (Q.S al-
A‟ raf/7: 157).
Selain itu dijelaskan pula dalam ayat-ayat yang lain. Dari
ayat-ayat ini, yang dimaksud dengan “ath-ṭ ayyibāt” (yang baik-
baik) adalah semua yang dianggap baik dan dinikmati oleh
manusia, tanpa adanya nash dalil pengharamannya. Sedangkan
yang dimaksud dengan al-khabais (yang kotor-kotor) adalah
semua yang dianggap kotor oleh perasaan manusia secara umum,
kendati beberapa umat dan prinsip mungkin menganggap tidak
kotor. Oleh karena itu sesuatu yang tidak masuk kategori
ṭ ayyib, maka ia akan masuk kategori hukum khabais. Konsumsi
yang baik adalah konsumsi yang terhindar dari al-khabiṡ atau al-
khabaiṡ .
Mustafa Yakub mengatakan bahwa pendapat di atas
kedua-duanya dapat diterima karena tidak ada teks dalam maalah
48
ini yang menyebutnya dengan jelas (ṣ arīḥ ). Pendapat yang
mengatakan bahwa yang berhak menentukan ṭ ayyib dan habits
adalah bangsa Arab, menurutnya tepat, karena bangsa Arablah
yang dikhitab al-Qur‟ an, dan bahasa merekalah yang
mengantarkan kedatangan agama Islam.
Pendapat kedua yang mengatakan bahwa yang berhak
menentukan ṭ ayyib dan khabais adalah tabiat manusia yang
sehat, menurutnya juga logis, karena Islam adalah agama yang
membawa rahmat bagi alam semesta, dan Rasulullah Saw. pun
diutus untuk umat manusia seluruhnya.
Namun dia menambahkan bahwa apabila diperhatikan
makna ṭ ayyib sebagaimana dikemukakan oleh para ulama, yaitu
sesuatu yang lezat, suci (bukan najis), dan tidak membahayakan
pada tubuh dan akal, maka yang menentukan ṭ ayyib itu bukan
bangsa Arab, juga bukan manusia secara umum, melainkan para
ulama dan para pakar di bidang gizi. Menurutnya pada umumnya
yang mengetahui sucinya sesuatu adalah seorang ulama yang
pakar, terutama ketika memasukkan pengertian ṭ ayyib dalam
makna halal. Sedangkan yang mengetahui adanya unsur yang
49
membahayakan pada tubuh dan akal adalah seorang ahli dalam
bidang gizi. Demikian juga, jika diperhatikan makna khabits
sebagaimana disebutkan oleh para ulama, yaitu kebalikan dari
makna ṭ ayyib; sesuatu yang najis, membahayakan pada tubuh
dan akal, serta tidak lezat, maka yang mengetahui hal itu
bukanlah bangsa Arab atau manusia biasa pada umumnya,
melainkan para ulama, kalangan ahli gizi, para dokter umum, dan
dokter-dokter hewan. Untuk merealisasikannya, perlu adanya
kerjasama antara para ulama, para ahli gizi, para dokter umum,
dan para dokter hewan. Sebab para ulama tidak mengetahui persis
aspek bahaya yang terkandung di dalam bahan makanan,
sebagaimana para ahli gizi, dokter umum, dan dokter hewan pun
tidak mengetahui persis aspek kesucian dan kehalalan yang ada di
dalamnya.42
Indikator-indikator ṭ ayyib dan khabaiṡ ini dapat
menjadi rujukan bagi ulama dan pakar untuk menentukan kriteria
bagi konsumsi yang baik dan dihalalkan. Nabi Saw. memberikan
42
Ali Mustafa Yakub, Kriteria Halal dan Haram untuk pangan, obat
dan kosmetik menurut Al-Qur‟an dan Hadist (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
hal 31
50
tuntunan dalam hadisnya: „Dari Salman, ia berkata Rasululah
Saw. ditanya tentang hukum mentega,keju dan bulu binatang.
Beliau menjawab: “Halal adalah sesuatu yang dihalalkan Allah
Swt. di dalam kitab-Nya, haram adalah sesuatu yang diharamkan
Allah dalam kitabNya dan sesuatu yang Allah diamkan (tidak
ditetapkan hukumnya) termasuk yang diampuni. Hadis ini
menjadi pegangan ulama-ulama Syafi‟ iyah dalam menetapkan
dasar-dasar bagi menentukan kriteria ṭ ayyib dan kriteria
khabaiṡ .
2. Najis dan Rijs
Kriteria ini adalah benda yang secara zatiyahnya
termasuk kriteria najis.43
Najis disebut juga al-qazarah yaitu
sesuatu yang kotor. Orang yang disebut dengan najas hal itu
berarti ia dalam keadaan kotor atau ia adalah seorang yang
durhaka.44
Najis dari aspek bendanya dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis. Pertama najis ainiyyah dan najis hukmiyyah.
Najis ainiyyah adalah najis yang bersifat konkrit secara zatnya.
43
Al- Fairuzzabadi, al-Qamus al-Muhit, hal 743 44
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, Al-Mu‟zam al-Wasit, Entry
Najasah, II h, 903. Raghib Al-Asfhihani, Mufradat li Alfaz al-Qur‟an (Beirut:
Dar Syamiyyah,2002) hal 791
51
Najis hukniyyah adalah najis yang bersifat abstrak. Sekalipun
najis hukmiyyah menjadi bagian dari najs ainiyyah, najis
hukmiyyah tidak menekankan aspek konkritnya ia merujuk
kepada aspek perbuatan atau hukum dari keadaan zat yang
konkrit tersebut.45
Benda- benda yang dapat dikatagorikan najis menurut
ulama adalah karena keharamannya. Imam al-nawawi mencatat
bahwa benda- benda termasuk katagori najis yaitu setiap benda
cair yang memabukan, anjing dan babi serta turunannya, bangkai
selain manusia, selain ikan dan selain belalang, darah, nanah,
muntah, tinja, air kencing, madzi dan wadzi, sperma selain
sperma manusia, air susu hewan yang tidak halal dan orang tubuh
yang terpisah dari makhluk hidup, kecuali rambut hewan yang
halal.46
Ulama berbeda tentang benda cair yang memabukan
seperti khamar, sahabat nabi sepakat bahwa khamar adalah najis.
Para ulama yang berpendapat bahwa khamar adalah najis selain
berdasar pada Q.S Al-insan ayat 21: dengan mengatakan bahwa
45
Imam Baijuri, Hasyiyah Baijuri, Haromain , hal 78 46
Al-nawawi, Minhaj al-Tulab, Juz I, hal 225-235
52
seandainya khmar itu suci didunia tentu akan menafikan
kesuciannya diakhirat. Ibn Arabi menegaskan bahwa dari segi
makna, hal ini dikuatkan bahwa kesempurnaan keharaman
khamar dan larangan terhadapnya menunjukan hukum atas
kenajisannya. Sehingga seorang hamba merasa jijik dengannya.
Oleh karena itu, penetapan atas kenajisannya menyebabkan
khamar tersebut haram dikonsumsi. Sementara sebagian ulama
yang mengatakan bahwa khamar suci berdasarkan pada pendapat
mereka bahwa khamar itu haram dikonsumsi tetapi bendanya suci
sebagaimana halnya sutera menurut malik, ia haram dipakai oleh
laki- laki tetapi suci. Khamar yang diharamkan hanya
meminumnya.
Penyebutan sifat rijs atau najs pada sesuatu yang menjadi
konsumsi manusia merupakan dasar bagi pengharaman benda itu
atau perbuatan tersebut dilakukan. Dan sifat itu diikuti oleh
perintah untuk menjauhinya. Atau sifat tersebut nyata disebutkan
Allah berbarengan dengan larangan atau pengharamannya yang
lebih tegas.
3. Iskar atau memabukkan
53
Kriteria berikutnya adalah iskar atau memabukkan.
Iskar bentuk kata yang mengikuti pola timbangan if‟ al,
berasal dari kata askara- yuskiru-iskar adalah bentuk kata
transitif (muta`addi) yang berarti memabukkan. Kata ini dibentuk
dari kata intransitif (lazim) nya yaitu sakira, yaskuru- sakr-
sakar-sukr-sukur-sukran yang berarti mabuk. Contohnya sakira
fulān min al-syarb yang berarti si fulan mabuk karena minuman.
Kata sakara atau iskar dalam al-Qur‟ an, dengan
berbagai bentukan katanya disebutkan sebanyak 7 kali dalam 6
ayat. Dengan kata sukkirat diberi maknadikaburkan‟
(pandangan), sakkaran diberi arti ‟ mabuk karena minuman
khamr,”dengan kata sakratihim diberi arti kemabukan dalam
kesesatan, dengan suka diartikan mabuk karena minum khamr,
sakrat diartikan (seperti orang) mabuk karena keguncangan hari
kiamat, dan dengan kata sakrat al-maut dengan arti keguncangan
yang diderita karena maut.
Dari semua ayat yang menggunakan kata sakara
tersebut, hanya dua ayat yang berkaitan secara langsung dengan
khamr yang memiliki unsur memabukkan.Ayat-ayat yang terkait
54
dengan khamr tersebut yaitu Q.S. An-Naḥ l/16: 67 yang
menunjukkan kepada makna bahwa sifat khamr secara zatnya
dan Q.S. Al-Nisā‟ /4: 43, yang menunjukkan pada bagian dari
proses penetapan hukum orang yang mabuk (sukara):
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman
yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah)
bagi orang yang memikirkan.” (Q.S. al-Naḥ l/16: 67).
Dan firman Allah Swt.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Q.S. al-
Nisā‟ /4: 43)
55
Sebelumnya Q.S. al-Nisā‟ /4: 43 didahului oleh
penjelasan bahwa khamrmemang memberi manfaat namun
mafsadat lebih besar dari manfaatnya. Akhirnya ditegaskan
pengharaman khamr yang tidak bisa dirtawar-tawar lagi.Iskar
(unsur memabukkan) sendiri pada dasarnya tidak hanya ada pada
khamratau minuman keras yang memabukkan saja. Iskar atau
kriteria memabukkan pada hakikatnya masuk pada semua benda
yang bila dikonsumsi dapat memberikan efek mabuk bagi yang
mengkonsumsinya. Dengan demikian benda tersebut dapat saja
berupa makanan, minuman, obat-obat atau benda-benda
kecantikan.
Benda yang memabukkan sendiri memiliki tingkatan yang
berbeda. Mustafa Ali Yakub mengemukakan tiga perbedaan;
yaitu muskir, mukhaddir dan mufattir. Muskir berarti yang
memabukkan yaitu sesuatu yang dapat menghilangkan akal dan
kesadaran baik disebabkan oleh makanan atau minuman atau
yang lainnya.
Mukhaddir adalah sesuatu yang menyebabkan hilangnya
kesadaran atau hewan, dengan kadar yang berbeda-beda seperti
56
ganja dan opium. Mufattir sesuatu yang dapat mengakibatkan
tubuh lesu dan malas tidak bersemangat dan diam. Mufattir
adalah sesuatu yang menyebabkan kemalasan dan kelesuan pada
setiap persendian sebagai permulaan mabuk. Ketiga istilah ini
menunjuk kepada makna mabuk namun ketiganya memiliki kadar
atau tingkatan mabuk yang berbeda-beda. Mufattir adalah
tingkatan awal atau permulaan mabuk dan ia merupakan
tingkatan yang paling rendah, mukhaddir adalah tingkatan
mabuk berikutnya setelah mufattir. Mukhaddirmenyebabkan
kerusakan pikiran mengacaukan hayalan, angan, membisu atau
banyak bicara sehingga ucapannya lepas control. Muskir adalah
tingkatan mabuk yang paling tinggi karena dia dapat
mempengaruhi akal dan kesadaran sampai kepada sel-sel dan
jaringan otak.47
Iskar adalah kriteria bagi benda yang haram dikonsumsi.
Sekalipun istilah iskar lebih ditujukan kepada khamr namun
khamr sendiri tidak mesti selalu ditunjukkan pada makanan
minuman atau benda cair. Oleh karena itu, segala sesuatu yang
47
Ali Mustafa Yakub, Kriteria halal haram, hal 107-108
57
mengandung unsur khamr karenanya termasuk pada kriteria
keharamannya. Hal ini ditunjukkan oleh hadis Nabi Saw. sebagai
berikut:
“Semua yang memabukkan adalah khamr dan setiap
yang memabukkan adalah haram.”
Dari hadist dapat difahami bahwa hadis diatas bersifat
umum, mencakup semua hal yang memabukan, baik berupa zat
cair, zat padat, tepung maupun lainnya. Sedangkan hadis yang
kedua bersifat khusus terbatas hanya pada minuman atau zat cair.
Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa setiap minuman yang
memabukan disebut khamar dan setiap minuman yang
memabukan adalah khamar. Khamar dengan demikian adalah
istilah yang digunakan untuk minuman saja. Sedangkan zat –zat
atau bahan- bahan lain yang memabukan tidak dinamai khamar,
karena dia tidak selalu berbentuk cairan. Secara bendanya zat
selain khamar adalah tidak najis, namun secara secara hukumnya
58
zat atau bahan lain yang memabukan selain khamar adalah juga
haram dikonsumsi.48
Imam ibn Taimiyah berpendapat bahwa setiap yang
memabukan adalah haram. Baik bentuk benda cair, seperti
khamar maupun benda padat baik berupa makanan ataupun
minuman. Oleh karena itu bila da bahan- bahan tertentu yang
terbuat dari khamar atau terdapat campuran khamar didalamnya
maka hukumnya adalah haram. Sekalipun ia berupa benda padat
kemudian dicairkan maka benda yang mengandung iksar tersebut
juga haram. Ibn tamiyyah menambahkan bahwa Nabi saw diutus
dengan menggunakan jawami al-kalim yaitu kata- kata yang
memuat ajaran yang padat, berisi dan mencakup berbagai aspek
kehidupan. Ketika ia mengemukakan kata atau kalimat yang
bersifat jami (mencakup) maka maknanya mencakup semua
katagori yang masuk pada lafaz dan maknanya, baik yang ada
pada masa nabi maupun yang ada setelah Nabi Saw.49
B. Macam –macam Barang Yang Haram Dikonsumsi
48
Ali Mustafa Yakub, Kriteria Halal Haram, hal 114 49
Ibn Tamiyyah, Majmu Fatwa XXXI, hal 204-205
59
Berdasarkan firman Allah SWT didalam kitab suci Al-
Qur’an dan hadist nabi Muhammad SAW, maka dapat diketahui
beberapaseperti binatang jensi makanan dan minuman yang
hram dikonsumsi oleh manusia. Diantaranya adalah:
1. Bangkai
Bangkai merupakan semua bintang darat yang mati bukan
karena disembelih dengan tata cara penyembelihan yang
dibenarkan oleh syariat Islam, seperti binatang yang mati karena
tertabrak mobil, ditusuk dengan besi, dipukul dan dicekik.
Sebagiamana telah difirmankan dalam surat Al-maidah ayat 3:
60
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah”.
Berdasarkan ayat diatas, maka bintang ternak seperti
kambing, sapi, kerbau, onta, dan ayam baru halal dimakan
dagingnya jika disembelih dengan tata cara penyembelihan
menurut syari’at Islam. Yaitu penyembelihan yang memenuhi
syarat- syarat sebagai berikut:
1. Orang yang menyembelih harus beragama islam
2. Ketika ia menyembelih harus membaca basmalah
3. Alat penyembelihnya harus tajam
4. Penyembelihan hewan ternak harus memutuskan.
2. Darah
Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang mengalir
yang keluar dari tubuh binatang yang disembelih, berdasarkan
firman Allah SWT:
61
Artinya : “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah.
Sehubunngan dengan haramnya darah untuk dikonsumsi,
maka Allah SWT mewajibkan umat Islam menyembelih terlebih
dahulu hewan ternak yang akan dimakan. Dengan disembelih,
darah hewan ternak akan keluar sehingga jika dagingnya dimakan
tidak akan terjadi percampuran antara darah manusia dengan
darah binatang didalam tubuh manusia. Sebab jika hal ini terjadi,
pasti akan akan menimbulkan bahaya bagi manusia, baik
terhadap kesehatannya maupun harkat dan martabatnya sebagai
khalifahnya dimuka bumi.
3. Daging babi
Para ulama telah sepakat bahwa daging babi haram
dikonsumsi. Demikian pula lemak babi yang dipergunakan dalam
industri makanan yang dikenal dengan istilah shortening, serta
62
semua zat yang berasal dari babi yang biasanya dijadikan bahan
campuran makanan . kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah memungkinkan manusia memproduksi bahan campuran
makanan, minuman, obat-obatan,dan kosmetik dalam bentuk
gelatin, lemak, pepsin, renin, rennet, dan lain-lain.
Seluruh makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik
yang mengandung unsur babi dalam bentuk apapun, haram
dikonsumsi. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam
surat Al-Baqarah ayat 173:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah.”
Sehubungan dengan hal itu, kita harus berhati-hati dalam
membeli atau mengkonsumsi daging segar dan sosis. Apakah
benar-benar daging sapi atau daging babi. Demikian juga dalam
63
membeli produk makanan olahan, baik produk makanan industri,
produk industri rumah tangga, ataupun makanan restoran.50
4. Khamar
Khamar adalah cairan yang dihasilkan dari frementasi
biji-bijian atau buah- buahan dan merubah zat gula yang
terkandung didalamnya menjadi alkohol dengan menggunakan
enzim aktif yang mampu mengeluarkan unsur- unsur tertentu,
keberadaannya dianggap penting dalam prosesfermentasi
tersebut.
Setiap sesuatu yang dapat memabukan masuk dalam
katagori khamar, tanpa melihat komponen yang terkandung
didalamnya. Oleh sebab itu, setiap jenis minuman yang dapat
memabukan bisa disebut khamar menurut syariat Islam dan
memiliki ketetapan hukum yang sama, baik terbuat dari anggur,
kurma, madu dan gandum maupun terbuat dari jenis-jenis yang
50
M. Hamdan Rasyid, peranan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal dan Haram Menjamin Kehalalan makanan dan minuman: Jurnal Syariah,
(November 2015) hal 12-14
64
lain. Semua itu termasuk khamar yang diharamkan karena
mengandung unsur bahaya yang bersifat khusus dan bersifat
umum, dapat melalaikan seseorang dari dzikir kepada Allah
swt.51
Allah SWT telah menurunkan sebuah ayat yang lengkap
dalam surat Al-Maidah ayat 90-91:
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”(Al-Maidah:90-
91).52
51
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 4,(jakarta: Cakrawala Publishing 2009)
hal 52
Yusuf Qardhawi,Halal Haram dalam Islam,(surakarta: Era
intermedia,2003) hal 110
65
Syariat Islam tidak membedakan antara benda-benda yang
berbeda secara lahiriah namun pada hakikatnya sama.
Maksudnya, Islam tidak membedakan antara satu jenis minuman
yang memabukan dengan minuman memabukan jenis lain yang
terbuat dari unsur yang berbeda. Dengan demikian, Islam tidak
menghalalkan sebagian dari minuman yang diharamkan dan
mengharamkan sebagian minuman yang terbuat dari unsur lain.
Semua itu memiliki hukum yang sama, yaitu haram. Jika sesuatu
yang sedikit diharamkan , tentu sesuatu yang sedikit dari jenis
lain, namun sama-sama memabukan juga haram.53
C. Dampak Penggunaan Barang yang Haram Dikonsumsi
Setiap barang atau benda yang haramkan oleh Allah pada
dasarnya mempunyai kandungan hikmah dan manfaat. Namun,
manusia tidak selalu mampu menelusuri kandungan hikmah dan
manfaat apa yang menjadi ketentuan Allah, karena keterbatasan
daya jangkau akalnya. Sebagaimana telah dijelaskan diatas,
bahwa makanan dan minuman yang haram dikonsumsi manusia
53
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 4,(jakarta: Cakrawala Publishing 2009)
hal
66
mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam kehidupannya.
Adapun dampaknya yaitu sebagai berikut:
1. Mempengaruhi pertumbuhan Fisik dan kecerdasan Akal
Pada umumnya, makanan dan minuman yang haram
dikonsumsi manusia terdiri dari hal-hal berikut:
a. Karbohidrat (zat tepung) yang sangat dibutuhkan sebagai
sumber tenaga (energi).
b. Protein (zat putih telur), baik hewani maupun nabati yang
diperlukan untuk membangun serta memperbaiki jaringan
tubuh yang sudah rusak.
c. Lemak, yang berfungsi sebagai bahan pangan disamping
memberikan rasa enak.
d. Vitamin, yang diperlukan untuk metabolisme makanan,
pembentukan daya tahan tubuh (antibodi), serta untuk
mengaktifkan enzim dan hormon.
e. Mineral, yang diperlukan untuk membangun, melindungi
serta memelihara sususnan dan fungsi organ tubuh.
67
f. Air, yang sangat diperlukan untuk menjaga agar badan
tetap normal.
Berhubung makanan dan minuman sangat besar
pengaruhnya terhadap pertumbuhan fisik dan kecerdasan akal
manusia, maka Allah Swt memberikan petunjuk kepada
mereka agar hanya mengkonsumsi makanan dan minuman
yang halal dan baik. Jika mereka tidak mengikuti
petunjuknya, maka dikhawatirkan pertumbuhan fisik dan
kecerdasan akalnya akan terganggu.
2. Mempengaruhi sifat dan perilaku manusia
Tubuh manusia yang pertumbuhannya sangat
dipengaruhi oleh makanan dan minuman yang dikonsumsi,
adalah terdiri dari sel-sel, jaringan, dan organ. Pada sel, ada
bagaian yang bernama gen yang membawa sifat- sifat
manusia. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa makanan
dan minuman yang dikonsumsi oleh manusia akan sangat
berpengaruh terhadap sifat dan perilakunya.
Dari sini dapat dipahami, mengapa Allah SWT
melarang umat islam mengkonsumsi daging babi. Karena,
68
orang yang suka mengkonsumsi daging babi dikhawatirkan
memiliki watak seperti babi sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas. Demikian juga, mengapa Rasulullah
melarang umat islam makan binatang buas. Karena tidak
mustahil orang yang suka makan daging binatang buas akan
terpengaruh oleh sifat buas binatang yang diamkan.
3. Mempengaruhi anak-anak yang akan dilahirkan
Makanan dan minuman yang haram dikonsumsi
manusia, akan mempengaruhi pertumbuhan fisik mereka,
termasuk sperma dan ovum yang menjadi cikal bakal anak-
anak yang akan dilahirkan. Makanan dan minuman yang halal
akan berdampak yang haram akan menimbulkan dampak
negatif terhadap mereka.
4. Mendorong manusia mlakukan suatu perbuatan tertentu
Makanan dan minuman yang haram dikonsumsi
manusia, akan mendorong jiwanya untuk melakukan suatu
perbuatan atau aktivitas. Jika makanan dan minuman yang
dikonsumis bersumber dari sesuatu yang halal, maka akan
mendorongnya berbuat baik atau beramal shaleh. Sebaliknya
69
jika makannan dan minuman yang dikonsumsi bersumber dari
suatu yang haram, maka akan mendorongnya berbuat jahat,
bahkan berperilaku bringas. Korelasi atau hubungan yang
sangat erat antara makanan dan perbuatan manusia telah
disyariatkan oleh Allah SWT dalam surat Al-Mukminun ayat
51:
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik,
dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
5. Mempengaruhi diterima atau ditolaknya Amal ibadah dan
do’a
Tujuan dan tugas hisup manusia dimuka bumi,
sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-qur’an, tidak lain
adalah untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT dan
dzat yang maha suci. Bagaimana mungkin ibadah seseorang
diterima oleh Allah jika makanan dan minumannya haram.
Oleh karena itu, kita harus berusaha semaksimal mungkin
agar makanan dan minuman yang akan kita konsumsi benar
70
benar halal dan baik, sehingga amal ibadah kita diterima oleh
Allah SWT. Karena jika makanan dan minuman yang kita
konsumsi tidak halal, kecil kemungkinan amal ibadah kita
akan diterima olehnya.54
Sebagaimana dijelaskan oleh hadis
shahih yang diriwayatkan imama muslim dari shabat Abu
Hurairah.
“sesungguhnya Allah adalah dzat yang maha suci, yang
tidak akan menerima, kecuali sesuatu yang suci. Dan
sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang
beriman dengan apa yang diperintahkan kepada para
rasulnya. Maka Allah SWT berfirman; wahai para Rasul,
makan lah kamu dari sesuatu yang baik dan baik dan
beramallah yang baik. Dan Allah pun berfirman; wahai
orang-orang yang beriman, makan lah dari rizki yang
baik yang telah kami anugerahkan kepada kalian.
Kemudian Rasul mengkisahkan seorang laki-laki yang
sudah lama sekali berdo‟a memohon sesuatu kepada
54
M. Hamdan Rasyid, peranan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal dan Haram Menjamin Kehalalan makanan dan minuman: Jurnal Syariah,
(November 2015) hal 22-25
71
Allah. Begitu lama berdo‟a sampai rambuya acak-acakan
tidak rapih, pakainya kotor terkena debu. Akan tetapi,
bagaimana mungkin do‟anya dikabulkan kalau
makanannya haram, minumannya haram, pakainya
haram, dan sejak kecil diberi makan yang haram.”55
6. Mempengaruhi kehidupan di Alam Akhirat
Makanan dan minuman yang haram dikonsumi
manusia akan mempengaruhi kehidupannya didalam akhirat.
Jika halal, maka akan mengantarkan manusia kesurga.
Sebaliknya, jika bersumber dari atau diperoleh dengan cara
yang haram. Maka akan menghantarkan kedalam neraka.
Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah dalam hadist hasan:
“setiap daging (manusia) yang tumbuh dari (makanan
dan minuman) yang haram, maka lebih berhak untuk
masuk neraka” (HR. Imam Tirmidzi dari Ka‟ab ibn
Ajazah).56
55
Imam An-Nawawi, Ad-Durrah A-Salafiyyah Syarh Al-Arba‟in An-
Nawawiyah, Markaz Fajr Lith-Thiba’ah, Pustaka Arafah, hal 159 56
M. Hamdan Rasyid, peranan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal dan Haram Menjamin Kehalalan makanan dan minuman: Jurnal
Syariah, (November 2015) hal 22-25
72
73
BAB IV
KEDUDUKAN HUKUM JUAL BELI BARANG
YANG HARAM DIKONSUMSI
A. Jual Beli Barang dan Jenis- Jenisnya Yang Haram
Dikonsumsi
1. Jual Beli Barang Yang Haram Dikonsumsi
Jual beli atau perdagangan yang diharamkan oleh syariat
ada banyak. Bagi setiap muslim wajib mengetahui serta
mewaspadai segala bentuk perdagangan yang dilarang agar tidak
jatuh didalamnya. Dengan demikian harta atau rezeki yang
diperoleh akan mendapatkan keberkahan.
Pada dasarnya hukum seluruh bentuk transaki jual beli
adalah mubah selama terjadi atas dasar kerelaan pembeli dan
penjual. Mereka boleh memperjualbelikan apa saja kecuali yang
dilarang oleh Rasulullah Saw secara tersurat maupun tersirat.
Yang dimaksud dengan muamalah dalam kaidah ini
hubungan yang terjadi antara manusia dengan manusia.
Berdasarkan kaidah maka jual beli apapun hukum asalnya adalah
72
74
boleh, karena Allah SWT menghalalkan jual beli. Namun hukum
asal jual beli dapat berubah menjadi haram.
Islam mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian
soal haram pun diperkeras dan tertutup semua jalan yang
mungkin akan membawa kepada yang haram itu, baik dengan
terang-terangan maupun dengan sembunyi- sembunyi. Justru itu
setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya dan apa
yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya haram juga, dan
setiap kebijakan (siasat) untuk berbuat haram, hukumnya haram.
Begitulah seterusnya seperti yang telah kami sebutkan prinsip-
prinsipnya.
Akan tetapi Islam pun tidak lupa terhadap kepentingan
hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi
kepentingannya itu. Oleh karena itu Islam kemudian menghargai
kepentingan manusia yang tidak terelakan lagi, dan menghargai
kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Justru itu seorang
muslim dalam keadaan yang sangat maksa, diperkenankan
melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar
menjaga diri dari kebinasaan.
75
2. Jenis-jenis jual beli Barang yang Haram Dikonsumsi
a. Barang-barang yang Haram Dikonsumsi
Adapun Barang yang haram diperjualbelikan dalam Islam
yaitu:
1. Bangkai
Bangkai merupakan semua bintang darat yang mati
bukan karena disembelih dengan tata cara penyembelihan
yang dibenarkan oleh syariat islam, seperti binatang yang
mati karena tertabrak mobil, ditusuk dengan besi, dipukul dan
dicekik.
2. Darah
Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang
mengalir yang keluar dari tubuh binatang yang disembelih,
berdasarkan firman Allah SWT:
76
Artinya : “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah.
Sehubunngan dengan haramnya darah untuk
dikonsumsi, maka Allah SWT mewajibkan umat islam
menyembelih terlebih dahulu hewan ternak yang akan
dimakan. Dengan disembelih, darah hewan ternak akan keluar
sehingga jika dagingnya dimakan tidak akan terjadi
percampuran antara darah manusia dengan darah binatang
didalam tubuh manusia. Sebab jika hal ini terjadi, pasti akan
akan menimbulkan bahaya bagi manusia, baik terhadap
kesehatannya maupun harkat dan martabatnya sebagai
khalifahnya dimuka bumi.
3. Daging babi
Para ulama telah sepakat bahwa daging babi haram
dikonsumsi. Demikian pula lemak babi yang dipergunakan
dalam industri makanan yang dikenal dengan istilah
shortening, serta semua zat yang berasal dari babi yang
77
biasanya dijadikan bahan campuran makanan . kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah memungkinkan manusia
memproduksi bahan campuran makanan, minuman, obat-
obatan,dan kosmetik dalam bentuk gelatin, lemak, pepsin,
renin, rennet, dan lain-lain.
Seluruh makanan, minuman, obat-obatan dan
kosmetik yang mengandung unsur babi dalam bentuk apapun,
haram dikonsumsi. Hal ini didasarkan pada firman Allah
SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 173:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah.”
Sehubungan dengan hal itu, kita harus berhati-hati dalam
membeli atau mengkonsumsi daging segar dan sosis. Apakah
benar-benar daging sapi atau daging babi. Demikian juga dalam
78
membeli produk makanan olahan, baik produk makanan industri,
produk industri rumah tangga, ataupun makanan restoran.57
4. Khamar
Khamar adalah cairan yang dihasilkan dari frementasi
biji-bijian atau buah- buahan dan merubah zat gula yang
terkandung didalamnya menjadi alkohol dengan menggunakan
enzim aktif yang mampu mengeluarkan unsur- unsur tertentu,
keberadaannya dianggap penting dalam prosesfermentasi
tersebut.
Setiap sesuatu yang dapat memabukan masuk dalam
katagori khamar, tanpa melihat komponen yang terkandung
didalamnya. Oleh sebab itu, setiap jenis minuman yang dapat
memabukan bisa disebut khamar menurut syariat islam dan
memiliki ketetapan hukum yang sama, baik terbuat dari anggur,
kurma, madu dan gandum maupun terbuat dari jenis-jenis yang
lain. Semua itu termasuk khamar yang diharamkan karena
mengandung unsur bahaya yang bersifat khusus dan bersifat
57
M. Hamdan Rasyid, peranan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal dan Haram Menjamin Kehalalan makanan dan minuman: Jurnal Syariah,
(November 2015) hal 12-14
79
umum, dapat melalaikan seseorang dari dzikir kepada Allah
swt.58
b. Jual Beli Barang Yang Haram Dikonsumsi Untuk
Pengobatan
Islam membolehkan melakukan hal terlarang apabila
dalam keadaan darurat, dan ini adalah merupakan jiwa
kemudahan Islam yang tidak dicampuri oleh kesukaran, seperti
cara yang dilakukan oleh umat- umat terdahulu.
Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam
Firmannya:
“Allah berkhendak memberikan kemudahan bagi kamu, dan
ia tidak menghendaki memberikan beban kesukaran
kepadamu”. ( QS al- Baqarah :185)
Sementara ada juga yang menganggap keadaan seperti
itu sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu
seperti makan, dengan alasan bahwa keduanya itu sebagai suatu
keharusan kelangsungan hidup. Barangkali pendapat inilah yang
58
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 4,(jakarta: Cakrawala Publishing 2009)
hal 196
80
lebih mendekati kepada jiwa islam yang selalu melindungi
kehidupan manusia dalam seluruh perundang- undangan dan
rekomendasinya. Tetapi perkenan ( rukhsah) dalam menggunakan
obat yang haram itu harus terpenuhinya syarat-syarat.
Adapun tentang darurat pengobatan hanya bisa sembuh
jika mengkonsumsi makanan jenis yang haram, maka para ulama
fiqih berselisih pendapat dalam memandangnya. Sebagai mereka
ada yang berpendapat bahwa pengobatan tidak dapat dianggap
sebagai sesuatu yang bersifat darurat. Sebagaimana makanan,
namun sebagaian mereka menganggap bahwa pengobatan dapat
disebut sesuatu yang darurat sebagaimana makan, keduanya
merupakan kebutuhan hidup, disamping untuk
mempertahankannya.59
Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa benda najis tidak boleh
digunakan dalam pengobatan, Alasannya adalah:
1. Berobat dengan meminum arak tidak meyakinkan untuk
sembuh sedangkan arak itu haram, berbeda dengan orang
59
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surakarta:
intermedia,2003) hal 84
81
yang memakan bangkai karena dengan memakan bangkai itu
akan menghilangkan rasa lapar. Orang yang sedang dalam
keadaan darurat lalu memakan bangkai misalnya, secara pasti
tujuannya telah tercapai. Sebab dengan memakannya akan
menghilangkan rasa lapar. Adapun dengan meminum arak itu
belom pasti bisa mendatangkan kesembuhan. Buktinya orang-
orang banyak yang berobat tetapi tidak sembuh.
2. Adapun berobat itu tidak harus dengan meminum arak.
Berbagai macam obat- obatan bisa ditemukan. Dan orang
sakit bisa saja sembuh tanpa harus meminum obat. Caranya
bisa dengan berdo’a dan membaca mantera-mantera.
Kesembuhan juga bisa saja terjadi begitu saja, bahkan hanya
dengan kekuatan alami didalam tubuh yang diciptakan Allah
SWT dan lain sebagainya. Bagi orang yang sedang dalam
keadaan darurat, cara satu- satunya untuk menghilangkan
kesulitannya ialah dengan memakan barang- barang haram
tersebut.60
60
Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatwaa Ibn Taimiyyah, (Madinah:Dar
Wafaa Littibaah Wannasyir Wattaauzi, 2008) jilid 23, hal 268-269
82
Dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai
hukum mengkonsumsi bangkai serta barang-barang haram
lainnya dalam keadaan darurat.
a. Menurut salah satu pendapat unggulan dikalangan para ulama
madzhab syaf’I dan juga dikalangan para ulama madzhab
hambali, tidak wajib hukumnya memakan sesuatu yang haram
dalam keadaan darurat, melainkan boleh. Itu juga yang
menjadi pendapat Abu Yusuf dari kalangan ulama madzhab
hanafi, dan abu Ishak Asy-Syairazi dari kalangan ulama
madzhab syafi’i. jadi apabila seseorang yang sedang dalam
keadaan darurat tidak mau memakan sesuatu yang haram lalu
ia meninggal dunia maka ia tidak berdosa.
b. Menurut pendapat para ulama dari kalangan madzhab Hanafi,
pendapat yang shahih dari para ulama madzhab Maliki, salah
satu pendapat unggulan dikalangan para ulama madzhab
syaf’I, dan juga satu pendapat unggulan dikalangan para
ulama madzhab hanbali, wajib hukumnya mengkonsumsinya
lalu ia mati maka ia tidak tahu bahwa hal berdosa, kecuali ia
83
tidak tahu bahwa hal itu diperbolehkan dan ia bermaksud
menjaga diri untuk tidak melakukan maksiat.61
Sedangkan sebagian ulama yang lain yang membolehkan
berobat dengan yang haram asalkan bukan khamr. Pendapat ini
dimotori oleh para ulama dari kalangan madzhab Asy Syafi’iyah
dan sebagian perkataan dari kalangan Hanafiyah. Al Imam Izz
Abdussalam berkata, dibolehkan berobat dengan barang najis
sekalipun jika tidak ada ditemukan dihadapannya benda yang suci
atau halal. Karena mencari keselamatan dan keafiatan itu
didahulukan dari sekedar menghindari najis. Namun tidak
dibolehkan berobat dengan khmar.
Dalil yang digunakan oleh kalangan ini pertama adalah
keumuman kaidah bahwa sesuatu yang darurat itu bisa
menghalalkan sesuatu yang terlarang. Firman Allah:
61
Abdullah bin Muhamad Ath-Thariqy, Fiqih Darurat, (melayu:
Pustaka Azzam) hal 42
84
“ Maka, Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya)
sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. Al-Baqarah: 173)
Namun kebolehan berobat dengan benda najis menurut
kalangan ini tidak bersifat mutlak, namun memiliki syarat dan
ketentuan, yakni:
1. Tidak ditemukan obat yang berasal dari bahan yang suci yang
bisa menggantikannya
2. Diketahui secara keilmuan bahwa benda najis atau haram
tersebut memang bisa memberikan kesembuhan.62
B. Jual Beli Barang Dengan Menggunakan Uang Hasil
Penjualan Barang Yang Haram Dikonsumsi
Islam mengajarkan setiap pemeluknya untuk terikat
dengan hukum syariat. Termasuk juga soal penggunaan uang.
Karena kehidupan saat ini tidak berlandaskan pada aturan Islam,
maka uang yang haram banyak beredar dimasyarakat. Seperti
uang hasil riba yang tidak diingankan dan sebagainya. Mengenai
62
Imam Syafi’i, Fiqih Imam Syafi’i, ( Jakarta : Putaka Azzam, 2012)
hal 694
85
perolehan harta melalui aktivitas riba, keharamannya telah jelas
dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Allah Swt. Berfirman:
“..Allah telah menghalalkan jual beli, dan
mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah:275)
\
Transaksi riba itu lebih tujuh puluh macam jenisnya
(sesuai penjelasan hadis Rasullah Saw). Salah satunya adalah riba
bunga bank. Allah SWT juga berfirman:
“ Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil. (QS Al-Baqarah:188).
Artinya, janganlah kalian mengolah dan memperoleh
harta kekayaan melalui jalan yang batil, yaitu jalan yang tidak
sesuai dengan syariat Islam. Harta yang diperoleh melalui jalan
yang batil antara lain adalah harta hasil perjudian, hasil
pencurian, hasil perampokan, hasil pemalakan dan sejenisnya
atau hasil dari aktivitas ekonomi atau perdagangan yang
86
didalamnya mengandung unsur penipuan, gharar, dan
ketidakjelasan. Sebab semua perolehan itu tidak disyari’atkan.63
Dalam syarat dan rukun Jual beli, tidak ada ketentuan
bahwa uang yang digunakan untuk membeli harus uang halal.
Sehingga pada hakikatnya, bila seorang pembeli membeli barang
dengan uang haram, seperti hasil judi, maka jual beli itu tetap sah.
Adapun pembeli berdosa karena berjudi, itu urusan yang
bersangkutan. Yang perlu diperhatikan adalah syarat dan rukun
jual belinya itu sendiri, apakah sudah terpenuhi atau tidak. Bila
tidak terpenuhi, maka jual beli itu tidak sah. Sebaliknya bila
sudah terpenuhi, maka jual beli itu sah secara hukum.
Uang hasil judi, meski hukum mendapatkannya haram,
namun uang itu sendiri sebagai sebuah benda tidak ikut jadi nasjis
sehingga tidak boleh disentuh secara fisik. Ketika penjudi itu
membeli sesuatu dengan memenuhi syarat dan rukun jual beli,
maka jual belinya itu sah.64
63
Umay M. Dja’far Shiddieq, Harta,Kedudukan dalam Islam (
Jakarta, Al-Ghuraba:2007) hal 28-29 64
https://m. Eramuslim.com diakses pada tanggal 26 Agustus 2018
87
Setelah diteliti ternyata ada dua kelompok dalil yang
kelihatannya saling bertentangan. Sebagian dalil menjelaskan
ketidak bolehan menggunakan harta haram secara mutlak, dan
sebagian yang lain menjelaskan kebolehannya. Oleh karena itu
para ulama berpeda pendapat dalam menyikapi dalil- dalil
tersebut. Sebagian dari mereka membaginya dalam dua kaidah,
sebagai berikut:
1. Jika harta haram tersebut berasal dari hasil pencurian,
perampokan, penipuan, dan perbuatan criminal yang
merugikan orang lain secara nyata, seperti menjadi penadah
barng- barang curian dan membeli dari tempat penadah
tersebut dengan harga murah seperti yang terjadi dipasar-
pasar gelap, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada
yang berhak, dan haram untuk diambil atau dimanfaatkan
dalam bentuk apapun.
2. Jika harta tersebut berasal dari hasil keuntungan penjualan
khamar yang pada dasarnya adalah perbuatan haram, tetapi
dilakukan secara suka rela antara kedua belah pihak atau
lebih, selama itu tidak mengikat atau tidak bersyarat serta
88
tidak ada unsur membantu kebatilan mereka, maka mayoritas
ulama membolehkan untuk memanfaatkan uang tersebut
untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti membangun
masjid, jembatan, membuat jalan dan yang lainnya. Harta
semacam ini termasuk dalam katagori “Hak Allah”.
Kaidah ini didasarkan oleh dalil Firman Allah Swt:
“ Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa oarng
lain.”(Qs Al- An‟am:164)
Ayat diatas menunjukan bahwa siapa saja yang bekerja
pada sesuatu yang mengandung keharaman yang mana pekerjaan
tersebut adalah hasil kesepakatan antara mereka sendiri, maka
dosanya akan dia tangung sendiri, dan dosa ini tidak menular
pada orang lain.65
65
Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, ( Bogor:
PT. Berkat Mulia Insani, 2018) hal 25
89
Jadi, jelaslah bahwa hukum yang berkaitan dengan
perbuatan atau tingkah laku. Hukum tidak berhubungan dengan
benda atau zat, akan tetapi hukum hanyalah berhubungan dengan
perbuatan, sehingga benda tidak bisa disifati dengan halal dan
haram.
Yang dimaksud dengan uang haram dalam kaitan hukum
islam adalah uang yang diperoleh melalui jalan, cara atau
pekerjaan yang dilarang oleh agama. Perbuatan manusia dalam
memperoleh uang menjadi batas antara yang halal dan yang
haram. Karena uang disepakati sebagai salah satu bentuk harta
kekayaan, maka banyak aktivitas kegiatan manusia diarahkan
untuk memperoleh uang tersebut. Ada sebagian manusia yang
memperoleh uang tersebut dengan cara yang halal dan adapula
sebagian manusia yang memperolehnya dengan cara yang haram.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian- uraian dan pembahasan pada
bab- bab sebelumnya mengenai kedudukan hukum Islam tentang
jual beli barang yang haram dikonsumsi, maka dari keseluruhan
pembahasan tersebut penyusun mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa jual beli barang yang haram dikonsumsi untuk
pengobatan menurut Para ulama fiqih berbeda pendapat,
Diantaranya Menurut pendapat para ulama madzhab syafi’I
dan juga ulama madzhab hanbali, tidak wajib hukumnya
memakan sesuatu yang haram dalam keadaan darurat,
melainkan boleh. Itu juga yang menjadi pendapat Abu Yusuf
dari kalangan ulama madzhab hanafi, dan abu Ishak Asy-
Syairazi dari kalangan ulama madzhab syafi’i. jadi apabila
seseorang yang sedang dalam keadaan darurat tidak mau
memakan sesuatu yang haram lalu ia meninggal dunia maka
91
ia tidak berdosa. Menurut pendapat para ulama dari kalangan
madzhab hanafi, pendapat yang shahih dari para ulama
madzhab Maliki, salah satu pendapat unggulan dikalangan
para ulama madzhab syafi’I, dan juga satu pendapat unggulan
dikalangan para ulama madzhab hanbali, wajib hukumnya
mengkonsumsinya lalu ia mati maka ia tidak tahu bahwa hal
berdosa, kecuali ia tidak tahu bahwa hal itu diperbolehkan
dan ia bermaksud menjaga diri untuk tidak melakukan
maksiat. Sedangkan sebagian ulama yang lain yang
membolehkan berobat dengan yang haram asalkan bukan
khamr.
2. Hukum menjual barang yang haram dikonsumsi adalah
haram. Keharamannya secara zatiyah seperti bangkai, darah,
daging babi dan khamr dan secara hufiyah seperti judi,
perampokan, korupsi. Namun, transaksi jual beli
menggunakan uang dari hasil penjualan barang haram baik
dari zatiyah atau hufiyah adalah sah bila telah terpenuhi
syarat dan rukunnya.
92
B. Saran-Saran
1. Kepada para tokoh agama dan ulama perlu untuk
menggencarkan penyebarluasan tentang hukum dan bahasa
dari menggunakan obat- obatan dari benda najis sebagai obat
alternatif, karena memang pada dasarnya masih banyak obat
alternatif lain yang berasal dari bahan yang halal. Bahkan jika
perlu mengeluarkan fatwa atau sejenisnya yang lebih tegas
terkait dampak negatif yang ditimbulkan.
2. Kepada para cendikiawan muslim yang mendalami bidang
kesehatan dan pengobatan seperti asosiasi dokter muslim
mungkin, diharapkan untuk tidak menganjurkan para pasien
untuk mengkonsumsi obat- obatan dari benda najis juga
diharapkan untuk lebih memprioritaskan dalam pengusaha
atas obat- obatan yang memang halal.
3. Selanjutnya kepada seluruh pembaca, dengan adanya
perbedaan pendapat dikalangan ulama, jangan sampai
menyebabkan terjadinya perbuatan saling menjatuhkan
karena tidak sependapat dalam memahami suatu perkara.