bab i p e n d a h u l u a n 1. latar belakang permasalahan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
P E N D A H U L U A N
1. Latar Belakang Permasalahan
1.1. Kemiskinan sebagai Persoalan Global
Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak pernah berhenti
dibicarakan. Berbagai disiplin ilmu mencoba mengembangkan berbagai teori,
konsep dan pendekatannya untuk memahami berbagai dimensi yang berhubungan
dengan kemiskinan. Upaya tersebut bertujuan untuk meminimalisir kemiskinan.
Dalam perkembangannya dihasilkan berbagai tolak ukur yang digunakan untuk
menentukan keadaan miskin. Pada umumnya tolak ukur kemiskinan tersebut
sampai pada kesimpulan tentang keadaan serba kekurangan dan tidak terpenuhinya
kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan.
Pada tahun 2001, diperkirakan 21% penduduk dunia berada dalam keadaan
sangat miskin dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut miskin.54
Kebanyakan penduduk miskin tersebut berada di negara-negara berkembang,
secara khusus berada di wilayah Afrika. Namun demikian, di banyak negara di
wilayah Asia, terdapat pula penduduk miskin yang sangat banyak sehingga diberi
istilah kemiskinan yang luar biasa.55 Berbagai usahapun dilakukan untuk
mengentaskan kemiskinan di wilayah ini, namun kemiskinan masih tetap dominan.
54 www.developmentgoal.org/poverty.htm#percapita. Diakses, 12 Januari 2007. 55 Aloysius Pieris, S.J., Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 1996, hal. 115.
2
Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di kawasan Asia juga
tidak luput dari persoalan kemiskinan. Sekalipun kemiskinan telah ada sejak dulu
namun pada periode terakhir jumlahnya semakin banyak karena dampak krisis
multidimensional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini.56 Biro
Pusat Statistik (BPS), pada bulan Februari 2006 mengeluarkan data tentang angka
kemiskinan di Indonesia sebesar 39, 1 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta,
ketimbang Februari 2005, sebesar 35,1 juta (15,97%).57 Berbagai usaha dilakukan
untuk meminimalisir kemiskinan, baik melalui kebijakan politik maupun ekonomi.
Namun demikian keberadaan masyarakat yang miskin tidak pernah menurun tetapi
cenderung meningkat, terlebih lagi di daerah-daerah yang pada dasarnya kurang
memiliki sumber daya alam yang dapat dikelola untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakatnya. Salah satunya adalah daerah Nusa Tenggara
Timur (NTT).
1.2. Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur
Sebuah penelitian yang hasilnya tertuang dalam Laporan Pembangunan Manusia
Indonesia tahun 2001 (BPS, BAPPENAS dan UNDP) membuat peringkat kinerja
pendapatan perkapita pada lingkup provinsi di Indonesia. Pendapatan perkapita
yang tertinggi adalah provinsi DKI Jakarta dengan pendapatan:
Rp.5.943.000/tahun atau Rp. 495.250/bln, dan yang terendah adalah provinsi NTT
dengan pendapatan:Rp. 712.000,-/thn atau Rp. 59.333,-/bln. Laporan tentang 56 Edi Suharto, Ph.D., Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung:PT Refika Aditama, 2005, hal. 131. 57 Data BPS 2006.
3
peringkat dalam lingkup kabupaten, dari 294 kabupaten, pendapatan perkapita
terendah adalah kabupaten Timor Tengah Selatan (salah satu kabupaten di NTT)
dengan pendapatan: Rp. 497.000,-/thn atau Rp. 41.410,-/bln58. Data dari BPS
Propinsi NTT pada tahun 2006 memaparkan tentang perkembangan jumlah dan
prosentasi penduduk miskin di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS): pada
tahun 2003, jumlahnya sebesar 148.100 atau 37,38%; tahun 2004, sebesar 149.500
atau 37,43% dan tahun 2005 sebesar 160.600 atau 39,29%.59 Sekalipun pada tahun
2006, kabupaten TTS tidak dikatakan sebagai daerah paling miskin di Indonesia
tetapi angka kemiskinan di daerah ini masih sangat tinggi.
Gambaran kemiskinan di NTT dapat juga dilihat dari keadaan yang
seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama pada masyarakat pedesaan.
Pada umumnya penduduk di NTT mempunyai mata pencaharian sebagai petani
ladang kering. Hasil pertanian tersebut sangat bergantung pada curah hujan di
musim penghujan. Musim penghujan biasanya hanya berlangsung kurang lebih 3
bulan saja. Bahan makanan pokok yang ditanam adalah jagung dan kacang-
kacangan Pada bulan-bulan tertentu, sekitar bulan November sampai Februari,
biasa dikatakan sebagai bulan-bulan ‘lapar biasa’. Pada bulan-bulan tersebut,
makanan dari hasil panen tahun sebelumnya sudah habis, sementara itu makanan
dari hasil tanaman yang baru ditanam belum ada, sehingga bahan makanan yang
ada sangat terbatas. Pada masa ini, bahan makanan yang masih tersedia adalah
58 www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_10 htm. Diakses tanggal 14 Januari 2007. 59 BPS Propinsi NTT .
4
umbi-umbian dan pisang. Keadaan tersebut selalu terjadi setiap tahun pada bulan-
bulan yang sama.
Mereka juga rentan terhadap penyakit. Anak-anak mengalami kurang gizi,
sementara banyak orang dewasa yang mengidap penyakit seperti TBC dan
Malaria. Kebanyakan tidak mengobati penyakit tersebut karena berbagai sebab,
diantara karena tidak mempunyai uang untuk mengobati penyakit tersebut ke
puskemas dan lebih memilih mengobati penyakitnya dengan pengobatan
tradisional. Sakit penyakit yang tidak segera diobati menyebabkan semakin
berkurangnya produktifitas kerja, padahal pekerjaan sebagai petani ladang kering
sangat membutuhkan kesehatan fisik. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa
kelemahah fisik mengakibatkan produktifitas kerja mereka menurun sehingga
mereka tidak dapat bekerja di ladang. Keadaan tersebut membuat mereka tidak
dapat memenuhi kebutuhan pokok dan dikategorikan sebagai orang miskin.60
1.3. Upaya Pengentasan Kemiskinan.
Pemerintah daerah menyadari bahwa kemiskinan menjadi salah satu tantangan
bagi masyarakat di NTT, sehingga berbagai usaha dilakukan dalam rangka
mengentaskan kemiskinan tersebut. Usaha-usaha tersebut dilakukan oleh
pemerintah daerah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan di kecamatan Amanatun Utara, kabupaten TTS,
upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan diantaranya:
60 Robert Chambers, Rural Development:Putting The Last First, New York, 1983, hal. 110.
5
1.3.1. Bantuan Bibit Tanaman Produktif.
Bantuan bibit tanaman perkebunan dilakukan oleh pemerintah daerah melalui
Dinas Perkebunan. Bantuan yang diberikan adalah bibit tanaman sukun, vanili,
kemiri, jambu mete, jarak, jati dan mahoni. Bantuan tersebut diharapkan dapat
memberi hasil yang baik dan meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga
membantu masyarakat hidup sejahtera dan keluar dari kemiskinan.
Namun demikian, bantuan tersebut tidak memberi hasil yang optimal
karena tidak adanya bimbingan dan penyuluhan tentang bagaimana cara menanam,
memeliharaan dan memasarkan hasilnya. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat
menanam tanaman tersebut dengan sembarangan bahkan membiarkan bibit
tersebut tidak tumbuh. Dengan demikian dapat diduga bahwa tujuan pemberian
bantuan tersebut tidak tercapai.
1.3.2. Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
PPK di Kecamatan Amanatun Utara dimulai pada tahun anggaran 2003-2004.
Dana PPK tersebut berasal dari bantuan Bank Dunia. Bantuan ini diberikan untuk
memberdayakan perekonomian masyarakat. Kegiatan yang dilakukan berupa
kegiatan simpan pinjam, usaha ekonomi produktif dan pembiayaan pembangunan
prasarana dan sarana umum. Usaha ekonomi produktif yaitu bantuan dana
bergulir untuk membuat usaha produktif, seperti: pembuatan kios, penggemukan
sapi dll. Sedangkan pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana umum
digunakan untuk pengadaan sarana kesehatan, pendidikan dan jalan. Dana PPK
6
yang diberikan untuk setiap kecamatan sebesar Rp. 1.000.000.000,- dan dana
tersebut harus dihabiskan dalam 1 tahun program.61 PPK telah 3 tahun
dilaksanakan di Kecamatan Amanatun Utara dengan total dana sebesar Rp.
3.000.000.000,-.62
Menurut Wellem Lopo63, petugas unit pengelolaan kegiatan kecamatan
Amanatun Utara, tujuan utama program tersebut adalah pengembangan
perekonomian masyarakat desa. Dana program tersebut difokuskan pada bantuan
dana bergulir untuk usaha produktif masyarakat. Usaha produktif yang diberikan
merupakan usulan dari anggota-anggota kelompok masyarakat. Namun dalam
pelaksanaannya, banyak usaha produktif tersebut tidak berkelanjutan dan dana
bergulir yang harus dikembalikan mengalami masalah. Pada tahun pertama,
pengembalian dana bergulir sebesar 100%, namun kemacetan terjadi pada tahun
kedua dan ketiga sehingga pengembalian dana bergulir tersebut tidak lebih dari
35%.
1.3.3. Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Bantuan ini merupakan bantuan yang diberikan kepada masyarakat miskin sebagai
biaya kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak. Pada tahun 2006, BLT
telah disalurkan kepada 2.351 KK dengan total dana sebesar: Rp. 2.821.200.000,-
61 Wawancara dengan Bp. Wellem Lopo, Pengurus PPK kecamatan Amanatun Utara, tanggal 2 Mei 2007. 62 Laporan Tahunan Camat Amanatun Utara tentang Pelaksanaan Kegiatan Pemerintahan Pembangunan dan Pelayanan Kemasyarakatan di Kecamatan Amanatun Utara tahun 2006, hal. 12. 63 Wellem Lopo, Wawancara, 2 Mei 2007.
7
Tujuan pemberian BLT adalah menolong masyarakat miskin supaya tidak semakin
terpuruk dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak.
Usaha pemberian BLT juga tidak menyelesaikan akar persoalan
kemiskinan yang ada. Bantuan tersebut bersifat karitatif dan sesaat saja. Hal
tersebut justru menimbulkan mental ketergantungan. Sementara itu juga, bantuan
tersebut tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang
berdampak pada kenaikan harga semua bahan kebutuhan hidup.
1.3.4. Bantuan dari LSM.
Terdapat dua yayasan LSM yang pernah berkarya di kecamatan Amanatun Utara
pada tahun 1996-1998, yaitu yayasan Tananua, yang bernaung dibawah gereja
Katolik dan yayasan Alfa Omega, yang bernaung dibawah Gereja Masehi Injili di
Timor (GMIT). Secara garis besar, kedua yayasan tersebut bergerak dibidang
pengembangan perekonomian masyarakat. Mereka mengarahkan program-
programnya yang menunjang upaya pengembangan perekonomian masyarakat
tersebut. Mereka membuat pelatihan-pelatiahn kepada para pemuda tentang cara
mengolah tanah di kebun, cara memelihara ternak yang baik. Mereka memberikan
bibit tanaman dan alat-alat pertanian.
Yayasan-yayasan tersebut dapat dikatakan merupakan perpanjangan
pelayanan gereja bagi pengembangan dan kesejahteraan masyarakat. Namun
demikian, sekalipun yayasan tersebut berbasis pada gereja, tetapi pengelolaannya,
diatur secara terpisah dan independen.
8
Kehadiran LSM cukup membantu masyarakat, khususnya dalam upaya
pemberdayaan melalui pelatihan-pelatihan yang bermanfaat bagi pekerjaan para
petani pada umumnya. Namun demikian, kehadirannya dalam kurun waktu yang
relatif singkat tersebut membuat program-program pengembangan masyarakat
tidak berkelanjutan. Pada saat ini, dampak dari kehadiran LSM tersebut tidak
terasa sama sekali, masyarakat tetap mengolah ladang dengan cara tradisional,
yaitu dengan cara tebas-bakar.
1.4. Kegagalan Upaya Pengentasan Kemiskinan.
Upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan LSM
sebagaimana telah diuraikan diatas, justru cenderung memperlihatkan hasil yang
tidak menggembirakan. Upaya pengentasan kemiskinan yang menghabiskan
banyak dana serta tenaga tidak memberi dampak yang signifikan dalam kehidupan
masyarakat. Masyarakat tetap berada dalam keadaan yang miskin. Hal tersebut
dapat terjadi karena pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan tidak
memiliki tujuan jangka panjang yang berkesinambungan.
Kendala lain yang dirasakan adalah sikap masyarakat yang tidak dapat
diajak keluar dari kemiskinan. Hal ini terkait dengan budaya masyarakatnya.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-
konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat.64
Konsepsi-konsepsi tersebut diterjemahkan dalam norma-norma serta aturan-aturan
64 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta, PT. Gramedia, 1974, hal. 32.
9
adat yang mengikat masyarakat. Memang bukan hal yang mudah jika upaya
pengentasan kemiskinan berbenturan dengan tatanan nilai masyarakat. Jadi
nampaknya program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh
pemerintah dan LSM kurang memperhatikan atau bahkan mengabaikan nilai-nilai
budaya masyarakat setempat.
Sesungguhnya, upaya pengentasan kemiskinan seharusnya diintegrasikan
dengan pendekatan sosial budaya.65 Pendekatan ini memperhatikan sistem nilai
budaya yang menyebabkan munculnya pola pikir serta tindakan tertentu pada
masyarakat. Namun pendekatan ini seringkali juga diabaikan. 66 Padahal
pengabaian pendekatan aspek sosial-budaya dapat mengakibatkan rapuhnya
penanganan kemiskinan dari aspek politik dan ekonomi.67
1.5. Masyarakat Atoni Pah Meto.
Masyarakat Atoni Pah Meto merupakan salah satu suku masyarakat di NTT.
Mereka tinggal di pulau Timor. Pada saat ini, pada umumnya masyarakat Atoni
Pah Meto beragama Kristen, Katolik dan Protestan. Sekalipun mereka beragama
Kristen, namun dalam kehidupan sehari-hari nampak sekali bahwa mereka masih
memelihara serta menjalankan norma-norma serta aturan-aturan adat. Hal tersebut
nampak dalam interaksi mereka dengan sesama anggota suku dan juga dengan
65 Makalah Ir. Fred Benu, MS, Ph.D., (tidak dipublikasikan), Data Penduduk dan Rasionalisasi Program Penanggulangan Kemiskinan di NTT, hal. 10. 66 J.B. Banawiratma, S.J. dan J.Mulder, S.J., Berteologi Sosial Lintas Ilmu, hal. 124. 67 J.B. Banawiratma, S.J., “Analisa Sosial dan Pembebasan:Refleksi Teologis” dalam J.B.Banawiratma, S.J. (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 1987, hal. 153.
10
orang lain. Kebersamaan mereka nampak pada acara-acara yang berhubungan
dengan siklus hidup maupun siklus pertanian, seperti upacara penerimaan anak
yang baru lahir, pernikahan, kematian, permulaan masa menanam bibit dan
sebagainya.
Keyakinan masyarakat Atoni Pah Meto pada nilai-nilai budayanya
terbentuk dalam hubungan dengan ‘yang lain’ yaitu Yang Maha Tinggi atau
disebut Uis Neno, roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi.68
Masyarakat Atoni Pah Meto masih mempercayai bahwa ketiga unsur tersebut
mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu sekalipun banyak ritus adat
yang sudah tidak dilakukan lagi pada saat ini, namun penghayatan mereka dalam
relasi dengan ‘yang lain’ itu masih sangat mempengaruhi kehidupan mereka,
sebagai pribadi maupun dalam kehidupan sosial masyarakat Atoni Pah Meto
sampai saat ini. Kehidupan yang bermakna berarti mempunyai hubungan yang
baik dengan Uis Neno, roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi
itu. Relasi yang baik, di satu sisi membuat mereka terhindar dari malapetaka dan
di sisi lain mereka dapat mengharapkan kesejahteraan, keadilan dan kesehatan.
Kepercayaan kepada Uis Neno, roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan
yang lain mempersatukan anggota masyarakat dalam kesatuan sistem nilai budaya.
Oleh karena itu, individu dalam masyarakat juga mempunyai keterikatan yang
kuat dengan anggota masyarakatnya karena faktor kepercayaan dan kekerabatan.
Sistem nilai tersebut membentuk identitas kultural masyarakat, sehingga dalam
68 Pieter Middelkoop, Curse, Retribution, Enmity, Amsterdam:Drukkerij en Uitgeverij Jacob van Campen, 1960, hal. 23-24.
11
koridor nilai-nilai budaya tersebut, setiap individu didalamnya mendapatkan
makna hidup, kedudukan serta rasa aman. Menurut John M. Prior, kebudayaan
kosmis yang menjadi ciri bagi kebudayaan-kebudayaan lokal di Indonesia Timur
menempatkan pernghormatan terhadap pribadi sebagai bagian dari keseluruhan,
dari keluarga, suku dan kosmos.69 Dengan demikian, pribadi yang hidup dalam
masyarakat Atoni Pah Meto tidak pernah menjadi pribadi yang bebas pada dirinya
sendiri.
Komunalitas dalam kehidupan masyarakat Atoni Pah Meto membuat
individu di dalamnya terikat satu sama lain, namun demikian masing-masing
individu dalam masyarakat Atoni Pah Meto juga mempunyai tanggung jawab,
contohnya pada ritus memperkenalkan anak yang baru lahir kepada anggota
keluarga (napoitan li ana). Pada ritus tersebut tidak disebutkan apakah anak
tersebut laki-laki atau perempuan. Jika anak tersebut laki-laki maka disebutkan
bahwa anak itu membawa suni-auni (parang-tombak/linggis), sedangkan jika anak
tersebut perempuan, maka disebutkan bahwa anak itu membawa ike-suti (alat
memintal benang-alat menenun). Pemberian sebutan sebagai pembawa suni-auni
atau ike-suti memang menunjukkan peran sosial dalam masyarakat berdasarkan
gender bagi laki-laki dan perempuan. Namun demikian pembagian peran tersebut
tetap menjadi tanggung jawab dari masing-masing individu, yang seharusnya
dihayati dan dilaksanakan dengan baik.
69 John M. Prior, SVD., ”Kebudayaan, Iman dan Sekularisme”, dalam DR. Georg Kirchberger, SVD. dan DR. John M. Prior, SVD. (Ed.), Iman dan Transformasi Budaya, Seri Verbum, Ende:Penerbit Nusa Indah, 1996, hal. 298-299.
12
2. Rumusan Permasalahan.
Melihat latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah kegagalan upaya pengentasan kemiskinan berhubungan dengan
nilai budaya yang dianut masyarakat Atoni Pah Meto?
2. Apakah nilai budaya masyarakat Atoni Pah Meto yang dapat
dikembangkan sehingga mendorong mereka keluar dari kemiskinan?
3. Bagaimana gereja menyikapi realita kemiskinan dan religiositas
masyarakat Atoni Pah Meto?
3. Hipotesa
Tesis ini berasumsi bahwa:
1. Banyaknya kegagalan upaya pengentasan kemiskinan masyarakat Atoni
Pah Meto yang dilakukan oleh berbagai pihak karena mereka tidak
mempertimbangkan budaya masyarakat Atoni Pah Meto.
2. Ada pemahaman religius-kultural yang dapat mendorong masyarakat Atoni
Pah Meto keluar dari kemiskinan.
3. Gereja mempunyai pandangan dan sikap tertentu terhadap kemiskinan dan
religiositas masyarakat Atoni Pah Meto.
13
4. Kerangka Teori Penelitian.
4.1. Tinjauan Sosio-Budaya terhadap Kemiskinan.
Istilah kemiskinan tidak dapat dipahami secara sempit sebagai suatu
realitas, mandiri dan dapat dihitung dengan angka, karena kemiskinan tidak dapat
diukur hanya menggunakan indikator kepemilikan materi.70 Kemiskinan tetap
merupakan kenyataan yang kompleks karena mempunyai banyak segi dan
dimensi, yang bersifat material sampai yang non-material/mental, sehingga tidak
mudah untuk menemukan dan menentukan tolak ukur yang tepat mengenai
kemiskinan.71 Namun demikian tetap ada usaha membuat tolak ukur yang
digunakan untuk menentukan kemiskinan. Hal tersebut dilakukan sebagai usaha
untuk mengerti serta menentukan kebijakan dalam usaha membantu masyarakat
yang miskin. Tolak ukur tersebut menggunakan kategori-kategori untuk
menentukan keadaan masyarakat yang miskin. Beberapa kategori kemiskinan
tersebut adalah kemiskinan mutlak/absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan
struktural, kemiskinan situasional dan kemiskinan kultural.72 Sekalipun banyak
tolak ukur serta kategori yang digunakan, namun pada dasarnya kemiskinan
merupakan keadaan serba kekurangan.
Banyak upaya telah dilakukan untuk membantu masyarakat miskin keluar
dari kemiskinannya. Namun upaya yang dilakukan biasanya ditinjau berdasarkan
70 Sunarso Hs dan Joh.Mardimin, “Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan” dalam Joh. Mardimin (ed.), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, hal. 19. 71 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, hal 124. 72 Sunarso Hs dan Joh.Mardimin, “Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan” dalam Joh. Mardimin (ed.), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, hal. 19.
14
pendekatan ekonomis, yang menentukan tujuan peningkatan serta kemajuan
ekonomi/material sebagai tolak ukur keberhasilan program pengentasan
kemiskinan dan juga tinjauan politis, kebijakan publik menjadi harapan untuk
mengurangi angka kemiskinan. Namun demikian, pada kenyatannya pengentasan
kemiskinan yang hanya dilihat dari aspek ekonomi dan politis tidak memberi hasil
seperti yang diharapkan. Oleh karena itu pada saat ini telah berkembang
pemahaman bahwa persoalam kemiskinan harus juga memperhatikan tinjauan dari
aspek sosio-budaya.
Tinjauan terhadap kemiskinan dari aspek sosio-budaya merupakan salah
satu upaya mengerti cara berpikir dan nilai-nilai yang dipegang oleh orang miskin,
yang diwujudkan dalam mentalitas serta struktur sosial yang dibangun.73 Hal
tersebut juga berarti bahwa dibelakang setiap masyarakat ada pandangan hidup
serta nilai-nilai tertentu yang mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat
tersebut.74 Oleh karena itu jika mentalitas suatu masyarakat tergantung pada
lingkungannya, maka mentalitas orang-orang miskin juga dibangun dari nilai-nilai
yang hidup dalam lingkungannya. Nilai-nilai hidup tersebut secara khusus
terbentuk dari budaya yang dikembangkan pada masyarakat tersebut.
73 Sunarso Hs dan Joh.Mardimin, “Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan” dalam Joh. Mardimin (ed.), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, hal. 172. 74 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, hal 151.
15
4.2. Masyarakat berbudaya Kosmis.
Identitas suatu kelompok masyarakat mengungkapkan ‘konsep diri’ yang
dikembangkan dalam interaksi dengan lingkungannya. Identitas tersebut dapat
dilihat melalui kebudayaan yang dikembangkan. Kebudayaan itu sendiri terkait
dengan pertanyaan tentang makna sosial yang dimiliki bersama, yaitu bagaimana
cara seseorang memahami dunia yang berada disekitarnya.75 Kebudayaan yang
dikembangkan dalam masyarakat yang hidup dalam budaya agraris dan lisan
adalah kebudayaan kosmis. Kebudayaan yang melihat seluruh tatanan alam, sosial
dan simbolik dalam suatu satu sistem yang total, sehingga segala sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan mereka tidak pernah dilihat berdiri sendiri tetapi selalu
saling terkait dengan keseluruhan tata kosmis.76
Dalam masyarakat berbudaya kosmis itu, pembentukan pandangan hidup
dan perilaku berkaitan dengan relasi yang dibangun dalam masyarakat. Tata
kosmis merupakan harmoni antara empat hubungan yang membentuk identitas
masyarakat maupun individu. Pembentukan identitas tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:77
75 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2004, hal. 8. 76 John M. Prior, Kebudayaan, Iman dan Sekularisme, dalam Dr. Georg Kirchberger dan Dr. John M. Prior, Seri Verbum: Iman dan Transformasi Budaya, Ende, Penerbit Nusa Indah, 1996, hal. 298. 77 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial lintas Ilmu, hal 174.
16
Dunia gaib/transenden (2)
Kosmos
Alam semesta (2) Masyarakat/sesama manusia (1)
IDENTITAS
SOSIO-BUDAYA DAN INDIVIDU
Dunia benda/ (3) Diri Sendiri (4)
Alam
Bagan di atas memperlihatkan bahwa identitas sosio-budaya dan individu dalam
masyarakat kosmis ditentukan oleh:
1. Hubungan manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat. Hal
tersebut menunjukkan gambaran tentang masyarakat.
2. Hubungan manusia dengan dunia gaib, termasuk didalamnya kosmos atau
alam semesta serta roh-roh. Dalam relasinya dengan manusia, dunia gaib
menjadi semacam masyarakat transenden. Relasi ini hendak
memperlihatkan apakah suatu masyarakat masih mempunyai hubungan
dengan dunia gaib dan roh-roh. Dalam masyarakat kosmis, relasi ini masih
17
terpelihara karena roh-roh yang tinggal dalam dunia gaib tetap menjadi
bagian serta mempengaruhi kehidupan masyarakat.
3. Hubungan manusia dengan dunia materi, termasuk lingkungan alam.
4. Hubungan manusia dengan diri sendiri sebagai individu.
Identitas masyarakat kosmis memang terbentuk dari pandangan yang
menghubungkan relasi-relasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
mengambil contoh masyarakat Jawa, yang dapat dikatakan sebagai bagian dari
masyarakat kosmis, J.B. Banawiratma dan J. Muller mengatakan bahwa jika
terjadi konflik dalam relasi ke empat unsur tersebut maka masyarakat cenderung
mengutamakan relasi dengan dunia gaib dan sesamanya daripada dunia materi dan
dirinya sendiri.78 Dan relasi dengan sesama merupakan perwujudan dari
pemahaman terhadap relasi manusia dengan dunia gaib. Pada dasarnya, relasi
yang terpenting adalah relasi manusia dengan Yang Maha Kuasa, karena relasi
tersebut menentukan bagaimana manusia berelasi dengan sesama, alam/materi dan
dirinya sendiri. Dengan demikian nilai-nilai budaya masyarakat kosmis cenderung
ditentukan oleh religiositas masyarakatnya. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dari
religiositas masyarakat tersebut kemudian membentuk mentalitas masyarakat,
yang terwujud dalam sikap, prilaku dan peranan sosial yang dimainkan oleh setiap
individu dalam masyarakat.79
78 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial lintas Ilmu, hal 176. 79 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial lintas Ilmu, hal 151.
18
5. Judul:
RELIGIOSITAS DAN KEMISKINAN:
Mengembangkan Religiositas Masyarakat Atoni Pah Meto
Menghadapi Kemiskinan
Religiositas berangkat dari pengertian kata religi, yang dapat berarti
penyerahan diri kepada sesuatu yang lebih tinggi dalam keyakinan bahwa manusia
itu bergantung pada sesuatu ‘yang lebih tinggi’ itu.80 Religi juga memuat hal-hal
keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan tingkah laku. alam pikiran dan
perasaan di samping hal-hal yang menyangkut para penganutnya sendiri.81
Mangunwijaya mengatakan bahwa religiositas lebih melihat aspek yang ‘didalam
lubuh hati’, riak getaran hati nurani pribadi, yang terjadi dalam perjumpaan
dengan ‘yang lebih tinggi’.82 Dari ketiga pemahaman tersebut, nampaknya
religiositas lebih banyak berhubungan dengan respon yang muncul karena
pengalaman perjumpaan dengan ‘yang lebih tinggi’. Sekalipun nampaknya
merupakan pengalaman pribadi, namun demikian, dalam masyarakat kosmis, yang
pengalaman pribadi tersebut dapat diceritakan dari individu kepada yang lainnya
dan kemudian dapat menjadi pengalaman bersama yang diturunkan dari generasi
ke generasi. Dengan demikian, religiositas adalah nilai-nilai budaya yang
80 Prof.DR. R.M. John Tondowidjojo, Etnologi dan Pastoral di Indonesia, Ende:Penerbit Nusa Indah, 1992, hal. 123. 81 Koentjaraningrat, Beberapa pokok Antropologi Sosial, Jakarta:P.T. Dian Rakyat, 1974, hal. 269- 272. 82 Y.B. Mangunwiajaya, Sastra dan Religiositas, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1982, hal. 11.
19
terbentuk dari pengalaman perjumpaan dengan ‘yang lebih tinggi’. Religiositas
tersebut mempengaruhi seluruh segi kehidupan masyarakat.
Kemiskinan merupakan keadaan serba kekurangan.83 Kekurangan tersebut
dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif.84 Kenyataan kemiskinan ini jugalah yang
dihadapi oleh masyarakat Atoni Pah Meto. Aloysius Pieris mengatakan bahwa
dalam kehidupan bangsa-bangsa di Asia, kenyataan yang mencolok adalah
kenyataan kemiskinan dan religiositas yang beragam, dan keduanya saling
berhubungan.85. Dengan demikian, kemiskinan masyarakat Atoni Pah Meto
berhubungan juga dengan religiositas masyarakatnya.
Atoni Pah Meto merupakan salah satu suku yang berada di Propinsi NTT.
Suku ini dapat dikatakan sebagai suku terbesar di antara suku-suku yang lain.
Nama Atoni Pah Meto berarti orang dari tanah kering.86 Pemberian sebutan Atoni
Pah Meto dapat dipahami karena tanah Timor dikenal sebagai daerah yang kering,
curah hujan yang sedikit, struktur tanah yang berbukit-bukit, berbatu dan
mengandung zat kapur.87
Sementara itu Penggunaan kata ‘mengembangkan’ berarti menjadikan
lebih baik88 Suatu upaya untuk melihat kembali apa yang telah ada. Dalam
kehidupan masyarakat Atoni Pah Meto, tentu saja telah ada nilai-nilai religius yang 83 W.J.S. Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet. XI, 1989, hal. 652. 84 Sunarso Hs dan Joh. Mardimin, “Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan”, dalam Joh. Mardimin (ed.), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, hal. 20. 85 Aloysius Pieris, Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, hal. 115. 86 H.G.Schulte Nordholt, The Political System of The Atoni of Timor, The Hague, Martinus Nijhoff. 1971, hal. 19. 87 Andreas T. Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis, Ende:Penerbit Nusa Indah, 2004, hal. 15. 88 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 2001, hal 173.
20
mewarnai kehidupan mereka. Upaya membangun merupakan usaha menemukan
nilai-nilai yang dapat dikembangkan, diperluas dan memperdalam makna hidup
masyarakat. Namun demikian, upaya pengembangan tersebut bukan berarti
romantisme masa lalu yang membawa masyarakat kembali pada religiositas
‘mula-mula’. Upaya mengmbangkan mengandung unsur konfirmasi dan
konfrontasi/koreksi terhadap diri sendiri, sebagai mana yang dilakukan dalam
upaya kontekstualisasi antara Injil dan kebudayaan.89 Oleh karena itu religiositas
masyarakat yang diterjemahkan dalam nilai budaya, mentalitas serta perilaku
diharapkan dapat mendorong masyarakat keluar dari kemiskinan berdasar pada
kesadaran bahwa kebudayaan merekapun mempunyai nilai-nilai yang dapat
dikembangkan untuk menghadapi kemiskinan..
6 Tujuan Penelitian
a. Menemukan dan memahami makna nilai budaya masyarakat Atoni Pah
Meto sehingga dapat mendorong mereka mengembangkannya untuk
menghadapi kemiskinan.
b. Memberikan sumbangan pemikiran teologis yang memperhatikan konteks
sosio-budaya masyarakat sehingga mendorong gereja memperkaya
perhatian dan kepedulian kepada masyarakat miskin.
89 E.G. Singgih, Berteologi dan Konteks, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2000, hal. 30.
21
7. Metode Penelitian.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian literatur dan
penelitian lapangan.
7.1.Penelitian Literatur:
Penelitian ini digunakan untuk membangun landasan teoritis tentang unsur-unsur
yang mempengaruhi keberadaan masyarakat kosmis. Hal tersebut dilakukan untuk
menyusun gambaran umum nilai-nilai religius-kultural serta relasi yang terjalin,
yang kemudian didialogkan dengan konteks kehidupan masyarakat Atoni Pah
Meto. Penelitian ini berguna bagi perspektif hermeneutis permasalahan yaitu
dalam rangka mencari sumber-sumber yang dapat dipakai untuk memahami dan
menganalisa perspektif empiris yang terjadi dalam masyarakat Atoni Pah Meto.
7.2. Penelitian Lapangan:
7.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lilo, Kecamatan Amanatun Utara,
Kabupaten TTS. Pilihan terhadap lokasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
prosentasi kemiskinan di wilayah ini sangat besar, yaitu sebesar 93,28%.
Disamping itu, masyarakatnya masih memegang nilai-nilai budaya dan aturan adat
setempat sehingga masih dapat ditelusuri pandangan dan pengalaman religius
mereka.
22
7.2.2. Subyek Penelitian.
Nara sumber penelitian ini adalah beberapa anggota masyarakat yang mewakili
unsur-unsur kelompok masyarakat, yaitu 5 orang dari unsur masyarakat adat, yang
beragama Katolik dan Protestan, 3 orang dari unsur pemerintahan daerah, 2 orang
dari unsur gereja, 3 orang dari unsur perempuan, 3 orang dari unsur pemuda, 2
orang dari unsur LSM, tokoh masyarakat atau adat, orang-orang yang
berkecimpung di LSM dan 2 orang dari unsur pendidikan. Wawancara yang
dilakukan mengarahkan mereka pada tujuan penelitian
7.2.3. Waktu Penelitian.
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, yaitu bulan April dan Mei 2007.
7.2.4. Jenis Penelitian.
Penelitian lapangan berguna untuk mencari jawaban dari kategori-kategori yang
telah dibuat dalam penelitian literatur. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan
digunakan metode penelitian etnografi karena penelitian ini berupaya untuk
memahami, mengartikan dan menjelaskan pemahamanan masyarakat tentang
pengalaman hidup mereka.90 Dan penelitian ini menggunakan ancangan kualitatif,
data diperoleh berdasarkan hasil obeservasi dab wawancara dengan subyek
penelitian. Ancangan ini digunakan karena lebih menekankan pada proses dan
makna yang lebih fleksibel karena tidak secara ketat diukur dari segi jumlah,
90 A.B. Subagyo, Ph.D., Pengantar Riset Kualitatif dan Kuantitatif, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004, hal. 109-111.
23
intensitas dan frekwensinya. Ancangan ini juga berusaha mencari jawaban atas
pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberi
makna.91 Penggunaan ancangan kualitatif lebih berguna karena penelitian ini lebih
mengarah pada pengalaman dan pencarian makna hidup.
8 . Sistematika Pembahasan.
Bab I : PENDAHULUAN
Bagian ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan,
rumusan permasalahan, hipotesa, kerangka teoritis, tujuan
penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II : KEADAAN RELIGIUS-KULTURAL MASYARAKAT.
ATONI PAH METO
Bab ini memaparkan tentang keberadaan masyarakat Atoni Pah
Meto secara khusus yang berada di desa Lilo, kosmologi
masyarakat Atoni Pah Meto, relasi-relasi yang dijalin dalam
kehidupan sosio-kultural mereka serta ritus-ritus adat.
91 A.B. Subagyo, Ph.D., Pengantar Riset Kualitatif dan Kuantitatif, hal.62.
24
Bab III : MEMAKNAI KEPERCAYAAN MASYARAKAT
ATONI PAH METO
Bagian ini merupakan analisa dan interpretasi tentang nilai-nilai
budaya masyarakat Atoni Pah Meto sehingga dapat memberi
sumbangan dalam upaya keluar dari kemiskinan.
Bab IV : GEREJA BERADA BERSAMA MASYARAKAT
ATONI PAH METO.
Bagian ini berisi upaya gereja mendukung masyarakat Atoni Pah
Meto untuk mengupayakan pengentasan kemiskinan yang
memperhatikan religiositas masyarakat.
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan kesimpulan dan saran yang dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak yang peduli pada kemiskinan masyarakat Atoni
Pah Meto.