dalam kalimat sederhana, metode adalah “bagaimana...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Metode merupakan cara, teknik, jalan, atau prosedur yang digunakan sebagai alat perantara
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kalimat sederhana, metode adalah “bagaimana”
mengajarkan sesuatu kepada orang/komunitas tertentu. Dalam hal ini, yang diajarkan adalah
pokok ajaran tertentu yang ingin diinformasikan. Pengajaran/pembelajaran merupakan
terjemahan dari kata “instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika
Serikat. Kegiatan ini berarti menempatkan anak-anak sebagai pusat kegiatan pembelajaran.1
Dengan demikian, metode pengajaran merupakan salah satu acuan atau rencana yang digunakan
dalam proses belajar mengajar yang melibatkan anak secara aktif. Melihat fungsi metode
tersebut, maka sebelum menentukan metode, tujuan dari materi pembelajaran yang ingin hendak
dicapai seharusnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Metode dan tujuan merupakan dua variabel
yang berkaitan, atau dengan kata lain tanpa adanya rumusan tujuan, metode sulit untuk
dirancang. Begitu juga sebaliknya, tanpa adanya metode, tujuan tidak bisa dicapai. Sara Little
mengatakan bahwa mengajar bagi seorang pengajar adalah juga berarti merancang sebuah
rencana mengajar yang memungkinkan peserta didik secara bertahap tertarik pada pokok
bahasan lalu mendorong dirinya untuk memahami dan merelasikan arti yang ia temukan ke
dalam hidupnya sendiri.2 Untuk melakukan hal tersebut, pengajar memilih model/metode yang
tepat dengan keberadaan peserta didik. Metode tersebut diyakini akan melibatkan peserta didik
secara aktif dalam proses menemukan makna yang dicari.
Berbicara mengenai metode pengajaran, berarti berbicara tidak hanya metode pengajaran dalam
ranah pendidikan formal, namun juga dalam pendidikan non formal, (misalnya, Sekolah
Minggu). Di sana diperlukan metode yang tepat dan relevan supaya tujuan yang telah
dirumuskan terlebih dahulu bisa tercapai. Sekolah Minggu merupakan salah satu bagian
kategorial/komisi dalam bidang pelayanan di gereja yang diperuntukkan bagi anak-anak. Sekolah
Minggu merupakan suatu wadah yang tepat untuk disediakan bagi anak-anak agar mereka dapat
memahami dan mengenal siapa Tuhan yang disembahnya dan bagaimana cara membangun
hubungan dengan Tuhan dan sesama.
1 H. Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 27
2 Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h. 91
©UKDW
2
Sekolah Minggu (Sunday School) hadir sebagai wadah untuk memperoleh pendidikan kristiani
bagi anak. Peserta didik yang ada di dalamnya terdiri dari berbagai macam klasifikasi usia anak-
anak (0-12 tahun). “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang
kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat.
19:14).” Ayat ini sering kali dipakai sebagai dasar Alkitabiah dalam pelaksanaan pendidikan
anak. Dalam ayat ini tersirat bahwa sebagaimana Yesus menerima dan menghargai anak-anak,
maka demikian pulalah Gereja harus dapat menerima dan menghargai mereka melalui
pendidikan anak.
Mengingat pendidikan sebagai suatu tugas transmisi atau pewarisan, maka gereja selayaknya
lebih memperhatikan kualitas pendidikannya. Sama halnya dengan masa depan bangsa yang
terletak dalam tangan generasi muda. Begitu pula masa depan gereja terletak pada pendidikan di
Sekolah Minggu, karena Sekolah Minggu merupakan fondasi awal bagi pertumbuhan dan
perkembangan Gereja. Agar Sekolah Minggu dapat menjalankan fungsinya sebagai fondasi
Gereja maka Sekolah Minggu membutuhkan metode pengajaran yang sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan anak yang dilayani.
Seiring dengan kemajuan bidang pendidikan, maka secara perlahan-lahan telah terjadi perubahan
paradigma pendidikan, seperti perubahan paradigma dari teacher centered ke student centered.
Perubahan paradigma tidak hanya berlaku pada pendidikan formal saja, tetapi Sekolah Minggu
juga perlu mengalami perubahan paradigma agar terjadi suatu pertumbuhan baik secara kualitas
maupun kuantitas. Melihat realita sekarang ini di mana dalam proses pembelajaran khususnya di
Sekolah Minggu, pengajar masih menggunakan paradigma pembelajaran lama. Komunikasi
dalam pembelajaran cenderung berlangsung satu arah yaitu proses penyampaian informasi atau
pengetahuan dari pengajar kepada anak. Pengajar memposisikan diri sebagai satu-satunya
sumber belajar yang bertugas untuk menyampaikan informasi sehingga pengajar lebih
mendominasi pembelajaran, sedangkan anak pasif sebagai penerima informasi, meskipun
paradigma baru sudah mengarah kepada student centered. Tidak heran jika proses pembelajaran
cenderung monoton yang mengakibatkan peserta didik merasa jenuh atau bosan.
Berdasarkan pengalaman penulis dalam mengamati sekaligus menjadi salah satu pengajar di
Sekolah Minggu, penulis melihat bahwa proses pembelajaran di Sekolah Minggu umumnya
mengembangkan model pembelajaran yang berpusat pada pengajar/guru. Artinya pembinaan
untuk anak-anak (peserta didik: anak Sekolah Minggu), kegiatan, dan acara Sekolah Minggu
©UKDW
3
dimulai dari “pemikiran menurut pengajar.”3 Bahkan dalam penyampaian materi didominasi oleh
metode ceramah yang berorientasi pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku
pedoman mengajar, serta jarang mengkaitkan yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang
ada dalam kehidupan Kristen dan pergumulan hidup sehari-hari. Proses pembelajaran lebih
cenderung kearah pembahasan tematik teoritik sehingga terkesan bahwa pengajaran Pendidikan
Kristiani terdiri dari materi hafalan belaka. Implikasi dari hasil pembelajaran ini berisikan
ajaran/doktrin Kristen, norma dan didikan yang bertujuan memampukan peserta didik
memahami kasih dan karya Allah serta membantu peserta didik mentransformasikan nilai-nilai
Kristiani ke dalam kehidupan sehari-hari.
Kehadiran Sekolah Minggu di sebuah Gereja merupakan pelayanan yang sangat penting, karena
proses pembentukan awal dari identitas diri terjadi pada anak-anak. Pendidikan iman yang
didapatkan oleh anak-anak akan menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan iman anak untuk
mengenal Tuhan Allah lewat Firman-Nya dalam Alkitab, memuji serta mengasihi pekerjaan-
Nya. Pada dasarnya, anak-anak jemaat adalah generasi jemaat masa depan Gereja. Dengan
demikian, Sekolah Minggu hadir untuk mengembangkan iman anak-anak sehingga hal ini bukan
hanya menjadi tanggung jawab pengajar/pendidik, tetapi juga menjadi tanggung jawab Gereja
secara umum.
Dengan melihat kenyataan seperti ini, maka sudah saatnya para pengajar untuk mencoba
mengembangkan metode-metode pengajaran yang benar-benar mampu mengaktifkan dan
menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dua
ahli pendidikan yang berasal dari Amerika yang meneliti metode pengajaran yaitu Joyce dan
Weil menyatakan bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun metode
pembelajaran harus memberi tekanan yang seimbang dari sisi pengajar dan peserta didik.4
Tekanan yang seimbang dalam hal ini mengarah kepada keaktifan baik kepada pengajar maupun
anak-anak di dalam kelas. Dengan demikian, anak-anak akan merasakan makna belajar bagi
hidupnya dan pada akhirnya mencapai tujuan yang diharapkan.
Ketika guru/pendidik Sekolah Minggu diperhadapkan pada memilih metode mengajar, ada
banyak sekali metode yang menarik. Misalnya, metode kuliah (bercerita), peragaan peran,
diskusi kelompok, bacaan terarah, studi kasus, dan lain-lain. Namun, metode yang hendak
digunakan bukan hanya dilihat dari menarik atau tidak menarik suatu metode jika diterapkan
3 Paulus Lie, Mereformasi Sekolah Minggu, (Yogyakarta: ANDI, 2003), h. 2-7
4 Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, (Yogyakarta: ANDI, 2006), h. 60-62
©UKDW
4
dalam mengajar anak-anak di Sekolah Minggu. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan/dipertimbangkan jika guru/pendidik hendak menggunakan suatu metode tertentu
dalam mengajar. Mengapa demikian? Karena dalam setiap metode mempunyai karakteristiknya
masing-masing. Oleh karena itu, suatu metode belum tentu relevan/cocok dengan usia dan latar
belakang anak-anak (peserta didik). Bisa jadi dalam suatu metode membutuhkan waktu yang
singkat dalam pelaksanaannya, sementara yang lain membutuhkan waktu yang cukup lama.
Estimasi waktu yang digunakan dalam mengajar dengan menggunakan metode tertentu juga
harus diperhatikan. Satu hal yang perlu untuk diketahui adalah tidak ada metode yang paling
baik dalam dirinya. Metode yang baik adalah metode yang membantu anak-anak untuk mencapai
tujuan yang sudah dirumuskan pada pelajaran tertentu.5 Jangan sampai metodenya bagus, tetapi
pesan (dalam hal ini firman) tidak bisa diserap dan diterapkan oleh anak-anak Sekolah Minggu.
Dengan melihat betapa pentingnya metode dalam pengajaran di Sekolah Minggu, penulis ingin
membahas serta mengkajinya dalam penulisan skripsi ini. Sejauh mana peran metode ketika
mengajar di Sekolah Minggu? Dengan menggunakan metode dalam pengajaran Sekolah Minggu
sedemikian rupa di setiap minggunya, apakah tujuan dari pelajaran tersebut sudah bisa dicapai?
Dengan menggunakan metode dalam pengajaran tersebut, apakah didalamnya sudah terdapat
unsur kerygma dan didache? Bagaimana peran-serta dan implikasi/dampak dari penggunaan
metode dalam rangka kerygma dan didache terhadap peserta didik (anak-anak) di Sekolah
Minggu? Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan membahas metode dalam pengajaran Sekolah
Minggu dengan menggunakan tiga pemikiran yang ahli di bidang metode pengajaran. Ketiga ahli
tersebut adalah, Mangunhardjana, Sara Little, dan Bruce Joyce. Penulis ingin menjabarkan hasil
pemikiran ketiga pakar tersebut kemudian meninjau dari segi kerygma dan didache yang
cocok/relevan untuk peserta didik di Sekolah Minggu. Setelah itu, penulis akan meninjau ketiga
pemikiran beliau sehingga menemukan metode yang baru serta kemudian mengkorelasikannya
dengan metode dalam pengajaran di Sekolah Minggu. Penulis mencoba untuk menawarkan hasil
dari pengklasifikasian tersebut untuk digunakan di Sekolah Minggu.
Metode pengajaran dalam rangka kerygma dan didache di Sekolah Minggu merupakan suatu
bentuk metode pengajaran yang tidak hanya sekedar untuk menarik perhatian peserta didik
(anak), tetapi juga mempunyai nilai teologis didalamnya. Ditinjau dari segi etimologinya,
5 Harianto GP, Pendidikan agama Kristen dalam Alkitab dan Dunia Pendidikan Masa Kini, (Yogyakarta: Yayasan
ANDI, 2012), h. 18.
©UKDW
5
kerygma-didache merupakan bentuk pemberitaan dan pengajaran.6 Konsep pemberitaan dan
pengajaran bisa dilihat dalam Perjanjian Baru yaitu bentuk pengajaran zaman Yesus dan Para
Rasul kepada kemaat mula-mula. Metode kerygma dan didache digunakan oleh Yesus ketika
mengajar dan memberitakan firman Allah. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita dengan
perumpamaan. Dia juga sering mengemukakan pertanyaan yang kemudian menjadi bahan
pengajaran-Nya. Yesus mengajar bukan hanya dengan perkataan, tetapi juga mempraktikkan
makna dari pengajaran-Nya. Tujuan pengajaran Tuhan Yesus bukan hanya membahas berbagai
topik tentang keagamaan dan kesusilaan secara ilmiah atau teori, melainkan juga melayani setiap
orang yang datang kepada-Nya.7 Masih banyak bentuk metode lain yang Yesus praktikkan dalam
pelayanan-Nya. Dengan membaca kembali riwayat hidup dan pekerjaan Tuhan Yesus dalam
Perjanjian Baru (terutama metode), penulis dapat melihat bagaimana cara Yesus mengajar orang-
orang dalam rangka Pendidikan agama Kristen. Dapat disimpulkan bahwa seluruh kehidupan
Yesus merupakan bentuk pemberitaan dan pengajaran, bahkan sampai Ia mati di Kayu Salib.
Selain bentuk dari kerygma dan didache pada jaman Yesus, penulis juga memakai bentuk
pemberitaan dan pengajaran pada jaman para Rasul dan jemaat mula-mula. Dalam penulisan
skripsi ini, penulis mencoba mendalami mengenai kerygma dan didache tersebut dalam Kisah
Para Rasul 2:22-47. Penulis akan membagi perikop ini ke dalam dua bagian, yaitu kerygma (Kis.
2:22-36) dan didache (Kis. 2:37-47). Dalam perikop tersebut penulis melihat bagaimana metode
pengajaran Petrus kepada jemaat mula-mula tentang pemahaman hari Pentakosta. Melalui pesan
kerygma yang disampaikan dan bentuk didache yang diajarkan kemudian membentuk jemaat
perdana untuk mendapatkan gambaran yang bernilai dan berpengaruh pada tradisi iman
selanjutnya. Pada perikop ini penulis melihat seperti apa ciri orang Yahudi yang menampilkan
warna perayaan Pentakosta dan sekaligus juga mengembangkan ‘berita/pesan’ akan karya
keselamatan Allah bagi umat manusia. Kerygma yang disampaikan Petrus melalui khotbahnya
(Kis 2:22-36), kemudian menghasilkan pengajaran/didache (Kis. 2: 36-47) dalam kehidupan
jemaat perdana. Dua akibat secara dasar ditegaskan dalam perikop ini. Akibat pertama yaitu
menyangkut setiap dasar hidup Kristen (pertobatan), sedangkan yang kedua adalah bentuk
kehidupan, atau kehidupan gaya baru jemaat perdana yang sesuai dengan bimbingan Roh
Kudus.8
6 Maria Harris, Fashion Me A People-Curriculum in the Church, (Louisville London-Leiden: Westminster John Knox
Press, 1989), h. 113 & 128 7 Ch. Abineno, Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), h. 89
8 I. Howard Marshall, The Acts of the Apostles – (The Tyndale New Testament Commentaruies), (Surabaya:
Momentum, 2007), h. 56
©UKDW
6
Dengan melihat metode pengajaran dalam Perjanjian Baru, maka hal tersebut juga dapat
dikaitkan dengan metode pengajaran di Sekolah Minggu. Menggunakan metode pengajaran di
Sekolah Minggu merupakan suatu tindakan memberitakan dan mengajarkan pesan/firman Tuhan
kepada peserta didik (anak-anak). Dengan demikian, Sekolah Minggu mampu untuk meneruskan
kerygma dan didache mengenai Kabar Baik (Injil), yaitu tentang kerajaan Allah yang sudah,
sedang, dan yang akan datang. Dengan menggunakan metode sedemikian rupa hendaknya
peserta didik bisa mengerti ‘pesan’ yang disampaikan dan membawa mereka ke jalan yang benar
sehingga tercipta iman dan keyakinan yang teguh kepada Yesus Kristus. Sesuai dengan arti
kerygma dan didache, peserta didik juga hendaknya bisa membagikan/memberitakan serta
mengajarkan Kabar Baik tersebut kepada sesama.
I.2. Kajian Teori
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka untuk mendalami mengenai metode pengajaran
dalam rangka kerygma dan didache di Sekolah Minggu, penulis menggunakan tiga teori yang
membahas mengenai metode pengajaran yaitu, Mangunhardjana, Sara Little, dan Bruce Joyce,
dkk. Ketiga teori ini membahas mengenai metode pengajaran yang berbeda-beda sesuai dengan
konteks dan klasifikasi metodenya masing-masing.
Penulis melihat bahwa pemaparan mengenai metode yang dibahas oleh Mangunhardjana dalam
bukunya “Pembinaan – Arti dan Metodenya” lebih cocok digunakan untuk kalangan orang
dewasa khususnya dalam metode pembinaan orang yang bekerja di sektor formal. Beliau
memaparkan ragam metode ke dalam empat klasifikasi yaitu:9
1. Metode Informatif: artinya penyajian pokok bahasan yang dilaksanakan lebih bersifat
informatoris.
2. Metode Partisipatif: artinya penyajian pokok bahasan dalam metode ini sudah
melibatkan/mengikutsertakan peserta didik.
3. Metode Partisipatif-Eksperensial: metode ini melengkapi dari metode sebelumnya
(partisipatif), di mana peserta didik dilibatkan secara aktif dan mengikutsertakan
pengalaman mereka.
4. Metode Eksperensial: metode ini memberikan kemungkinan kepada peserta didik untuk
“belajar” melalui pengalaman langsung dan nyata.
9 Rangkuman dari buku: A. Mangunhardjana, Pembinaan: Arti dan Metodenya, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 51-
117
©UKDW
7
Teori yang kedua yaitu metode pengajaran yang dipaparkan oleh Sara Little dalam bukunya “To
Set One’s Heart – Belief and Teaching in the Church” yang membahas mengenai ragam metode
pengajaran untuk kalangan orang Kristen yaitu bagaimana metode pengajaran di gereja untuk
membantu pribadi-pribadi menumbuh-kembangkan dirinya secara utuh. Beliau memaparkan
ragam metode ke dalam lima klasifikasi yaitu:10
1. Metode Pemrosesan Informasi: metode yang digunakan dalam mengolah fakta-fakta agar
dapat menentukan kerangka pemahaman, menafsirkan pengalaman, dan membangun
suatu cara-pandang terhadap kenyataan hidup.
2. Metode Interaksi Kelompok: metode yang digunakan supaya dapat saling belajar dan
bersama-sama membangun suatu pemahaman melalui proses interaksi (saling
mempengaruhi). Artinya, kelompok juga ikut serta untuk mempengaruhi pembentukan
“keyakinan” dan “pribadi” peserta didik.
3. Metode Komunikasi Tidak Langsung: bagian ini karya seni mempunyai kemampuan
untuk menjembatani keterbatasan komunikasi verbal, mampu melibatkan seseorang
dengan seutuhnya dalam berbagai tahap pemahaman diri dan tahap konfrontasi.
4. Metode Pengembangan Pribadi: yaitu metode yang digunakan dalam rangka
menyadarkan dan mengembangkan pribadi supaya memiliki rasa sadar diri dan sadar
lingkungan dengan baik. Dengan demikian pribadi tersebut merasa diterima dan dapat
berperan sebagai pribadi yang mampu menyumbangkan sesuatu. Melalui proses ini
seseorang dapat mengenal kemampuan-kemampuan yang tersimpan dalam dirinya.
5. Metode Aksi-Refleksi: dalam metode ini terdapat aspek “teori” dan “praktek”, di mana
keduanya akan disatukan. Sambil mempraktekkan suatu gagasan, orang mengingat dan
menguji praktek tersebut dengan gagasan yang dianutnya. Atau praktek tersebut juga
dapat merevisi gagasan yang dianut.
Sementara itu teori yang ketiga yaitu ragam metode pengajaran yang dipaparkan oleh Bruce
Joyce, dkk dalam bukunya “Models of Teaching”. Teori mengenai ragam mengajar yang
dibahas oleh beliau-beliau timbul dari penelitian mereka terhadap setiap aktivitas pengajaran di
sekolah. Dengan demikian, model-model pengajaran yang dipaparkannya lebih mengarah kepada
10
Rangkuman dari buku: Sara Little, To Set One’s Heart: Belief and Teaching in the Church, (Altlanta: John Knox, 1983), h. 42-85
©UKDW
8
pendidikan formal untuk mempresentasikan suatu landasan bagi teknik-teknik pengajaran yang
profesional. Mereka memaparkan ragam metode ke dalam empat klasifikasi yaitu:11
1. Kelompok Model Pengajaran Memproses Informasi (the information-processing family:
menekankan cara-cara dalam meningkatkan dorongan alamiah seseorang untuk
membentuk makna tentang dunia (sense of the world) yaitu dengan memperoleh dan
mengolah data, merasakan masalah-masalah dan menghasilkan solusi-solusi yang tepat,
serta mengembangkan konsep dan bahasa untuk mentransfer solusi/data tersebut.
2. Kelompok Model Pengajaran Sosial (Membangun Komunitas Pembelajaran):
menekankan sinergi kerjasama dengan cara membuat komunitas pembelajaran (learning
community).
3. Kelompok Model Pengajaran Personal: menekankan pada individu untuk memahami diri
mereka sendiri dengan lebih baik, bertanggung jawab pada pendidikannya dan belajar
untuk menjangkau atau bahkan melampaui perkembangannya saat ini agar lebih kuat,
sensitif dan kreatif dalam mencari kehidupan yang lebih sejahtera.
4. Kelompok Sistem Perilaku: menekankan kepada sistem-sistem komunikasi perbaikan diri
yang dapat mengubah perilakunya saat merespon informasi tentang seberapa sukses
tugas-tugas yang mereka lakukan.
Melihat dari paparan teori mengenai ragam metode diatas, maka dapat disimpulkan bahwa di
sana terdapat persamaan dan perbedaan dari ketiganya. Walaupun demikian, hal tersebut tidak
menutup kemungkinan bahwa ragam metode yang telah mereka klasifikasikan tersebut bisa
digunakan dalam metode pengajaran di Sekolah Minggu. Maka dari itu, setelah memaparkan
ketiga teori metode ini penulis akan membuat klasifikasi ragam metode yang relevan dengan
metode pengajaran dalam rangka kerygma dan didache di Sekolah Minggu. Dari hasil klasifikasi
tersebut akan melahirkan contoh-contoh metode pengajaran yang bisa digunakan dalam Sekolah
Minggu saat ini.
I.3. Permasalahan
Dengan mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis mengajukan
pertanyaan besar pada skripsi ini. “Bagaimana peran metode pengajaran di Sekolah Minggu
dalam rangka kerygma dan didache?” Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis
menjabarkannya dalam 3 rumusan masalah:
11
Rangkuman dari buku: Bruce Joyce, dkk, Models of Teaching: Model-model pengajaran, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), h. 31-45
©UKDW
9
1.3.1 Mengapa metode dalam pengajaran di Sekolah Minggu penting dan hal apa saja
yang harus dipertimbangkan ketika memilih suatu metode?
1.3.2 Bagaimana hasil klasifikasi metode pengajaran berdasarkan tinjauan dari ke tiga
teori (Mangunhardjana, Sara Little, dan Bruce Joyce, dkk).
1.3.3 Bagaimana implikasi/dampak dari penggunan/penerapan suatu metode dalam
rangka kerygma dan didache terhadap peserta didik (anak-anak) di Sekolah
Minggu?
I.4. Judul Tulisan
“Metode Pengajaran Dalam Rangka Kerygma dan Didache di Sekolah Minggu.”
I.5. Tujuan dan Alasan Penulisan
Tujuan: - Menjelaskan bahwa metode dalam pengajaran di Sekolah Minggu adalah penting
dalam rangka kerygma dan didache.
- Menemukan serta mengklasifikasikan metode pengajaran yang relevan terhadap
Sekolah Minggu berdasarkan tinjauan dari ketiga teori metode pengajaran, yaitu
Mangunhardjana, Sara Little, dan Bruce Joyce, dkk.
- Menjelaskan dampak/implikasi dari penggunaan suatu metode terhadap peserta didik
yang diterapkan ketika mengajar di Sekolah Minggu.
Alasan: Dewasa ini, masih banyak Sekolah Minggu yang kurang menyadari bagaimana peran
serta pentingnya metode pengajaran bagi peserta didik (anak-anak). Berangkat dari
permasalahan tersebut, maka penulis mencoba untuk mengangkat dan kemudian
membahas ke dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap, penemuan hasil metode
pengajaran yang telah diklasifikasikan oleh penulis nantinya bisa gunakan untuk peserta
didik (anak-anak) Sekolah Minggu yang masih membutuhkan.
I.6. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan. Penulis mencari
dan menggunakan berbagai macam sumber pustaka yang mempunyai kaitan dengan pembahasan
dalam skripsi ini. Melalui pustaka yang sudah (akan) dibaca oleh penulis kemudian ‘dituangkan’
ke dalam beberapa bab penulisan dengan sistematika tertentu. Proses penulisan skripsi ini
akhirnya nanti bisa menjawab permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya.
©UKDW
10
I.7. Sistematika Tulisan
Bab I. PENDAHULUAN
Berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, judul, tujuan penulisan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II. METODE DALAM PENGAJARAN DI SEKOLAH MINGGU
Pada bab ini penulis memaparkan tiga teori mengenai metode yaitu Mangunhardjana dalam
bukunya Metode dan Arti Pembinaannya, Sara Little dalam bukunya To Set One’s Heart, dan
Bruce Joyce, dkk dalam bukunya Model’s of Teaching. Metode-metode yang dibahas dalam
ketiga teori ini masih belum relevan jika digunakan dalam pengajaran di Sekolah Minggu. Oleh
karena itu, penulis meninjaunya sehingga menemukan metode yang relevan untuk digunakan
dalam pengajaran di Sekolah Minggu.
Bab III. TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP METODE DALAM PENGAJARAN DI
SEKOLAH MINGGU DARI SUDUT DIDACHE DAN KERYGMA
Pada bab ini penulis meninjau segi teologis dari hasil metode yang telah dibuat dan
diklasifikasikan oleh penulis yang relevan terhadap metode dalam pengajaran di Sekolah
Minggu. Tinjauan teologis terhadap metode dalam pengajaran di Sekolah Minggu ini dipandang
dari sudut kerygma dan didache (pemberitaan dan pengajaran) pada Perjanjian Baru.
Bab IV. PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan serta saran yang semoga akan berguna bagi perkembangan metode
dalam pengajaran di Sekolah Minggu.
©UKDW