bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalahrepository.unair.ac.id/105536/4/4. bab i...
TRANSCRIPT
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Wuling Motors, atau yang juga disebut SGMW Motors Indonesia, saat ini menjadi
salah satu perusahaan otomotif yang populer di Indonesia. Wuling Motors sendiri
merupakan anak perusahaan dari SGMW Motors, perusahaan otomotif Tiongkok
yang dibentuk dari joint venture antara tiga perusahaan, yakni SAIC Motors yang
mempunyai porsi saham sebesar 50,1%, General Motors (GM) China yang
mempunyai porsi saham sebesar 44%, dan Guangxi Automobile Group yang
mempunyai porsi saham sebesar 5,9% (SGMW Motors Indonesia, n.d.). SGMW
Motors Indonesia dapat dikatakan berhasil dalam ekspansi bisnisnya. Hal ini
ditunjukkan dalam capaiannya menjadi salah satu dari sepuluh perusahaan otomotif
dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia. Tabel 1.1. menunjukkan bagaimana
Wuling Motors berhasil meraih peringkat ke-9 dalam pasar otomotif Indonesia
sejak tahun 2018 dengan jumlah penjualan mencapai 17.002 unit kendaraan
(GAIKINDO, 2019b). Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa Wuling Motors
berhasil mempertahankan posisinya pada tahun 2019 sekaligus meningkatkan
penjualannya hingga mencapai 22.343 unit kendaraan (GAIKINDO, 2020a).
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Tabel 1.1. Penjualan Perusahaan Otomotif di Indonesia Tahun 2017-2019
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Sumber: GAIKINDO (2019a; 2019b; 2020a)
Pencapaian tersebut menjadi fenomena tersendiri mengingat operasi bisnis SGMW
Motors Indonesia masih muda. Perusahaan ini baru memulai penjualan kendaraan
secara resmi di Indonesia pada 11 Juli 2017 seiring dengan peresmian pabrik
pertamanya di Cikarang, Jawa Barat. Dalam dua tahun, terdapat beberapa seri
kendaraan yang telah dirilis, diproduksi, dan dijual oleh SGMW Motors Indonesia,
yakni Confero, Cortez, Formo, dan Almaz. Berbagai produk Wuling Motors
tersebut berhasil meraih beberapa penghargaan di Indonesia. Seri Confero telah
memenangkan penghargaan sebagai Best Small MPV dalam ajang Indonesian Car
of the Year (ICOTY) 2017 dan Best Value for Money dalam ICOTY 2018 yang
diselenggarakan oleh Majalah Mobilmotor. Seri Confero juga mendapatkan
predikat sebagai Rookie of the Year dalam OTOMOTIF Award 2018. Sementara
itu, seri Cortez memenangkan penghargaan sebagai Best Medium MPV pada ajang
ICOTY 2018 dan Best of Medium MPV Gasoline dalam OTOMOTIF Award 2019
(SGMW Motors Indonesia, 2019). Berbagai penghargaan tersebut secara tidak
langsung menunjukkan bahwa berbagai produk Wuling Motors diterima dengan
baik oleh konsumen, mitra bisnis, serta media di Indonesia.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Keberhasilan SGMW Motors Indonesia lantas menarik untuk diteliti karena
perusahaan asal Tiongkok tersebut bukanlah yang pertama dalam memasuki pasar
otomotif Indonesia. Sebelumnya, telah ada beberapa perusahaan otomotif asal
Tiongkok yang masuk ke Indonesia, namun tidak berhasil dalam operasinya. Salah
satu dari perusahaan-perusahaan tersebut adalah Chery. Chery pertama kali masuk
pasar otomotif Indonesia pada tahun 2006 untuk menantang dominasi perusahaan
Jepang pada saat itu. Namun demikian, Chery gagal dalam melakukan penetrasi
terhadap pasar otomotif Indonesia. Pada tahun pertamanya, Chery hanya mampu
menjual 279 unit kendaraan, jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan
penjualan merek Wuling di tahun pertamanya yang mencapai belasan ribu. Begitu
pula pada tahun kedua, Chery hanya mampu menjual sebanyak 759 unit kendaraan.
Hasil penjualan Chery pada tahun 2008 pun hanya mencapai 853 unit kendaraan.
Memasuki tahun 2009, penjualan Chery mulai merosot hingga hanya mampu
menjual 407 unit saja. Penurunan penjualan terjadi terus-menerus hingga Chery
tidak berhasil menjual kendaraan sama sekali pada tahun 2013-2015. (Rayanti,
2019).
Selain Chery, terdapat pula Geely yang masuk ke pasar otomotif Indonesia sejak
tahun 2009 hingga akhirnya keluar pada tahun 2017. Penjualan Geely memang
lebih baik dari pada Chery, namun masih jauh di bawah prestasi SGMW Motors
Indonesia. Tercatat pada tahun 2011, Geely berhasil menjual 1.022 unit kendaraan.
Penjualan Geely kemudian meningkat di tahun 2012 hingga mencapai 1.232 unit
kendaraan. Namun, penjualan perusahaan ini terus menurun pada tahun-tahun
berikutnya. Tahun 2016, Geely lantas tidak lagi menjual produknya di Indonesia
(Rayanti, 2019; Arifin, 2020). Catatan penjualan SGMW Motors Indonesia juga
lebih baik apabila dibandingkan dengan DFSK, perusahaan otomotif lainnya yang
berasal dari Tiongkok. Berdasarkan data yang dilansir oleh GAIKINDO (2019b;
2020a), DFSK hanya mampu mencatatkan penjualan sebanyak 1.222 unit
kendaraan pada tahun 2018 dan 3.857 unit kendaraan pada tahun 2019. Dengan kata
lain, penjualan DFSK masih jauh di bawah Wuling Motors. Keberhasilan Wuling
Motors dalam dua tahun operasinya di Indonesia lantas menjadi menarik karena
kontras dengan capaian perusahaan otomotif asal Tiongkok lainnya di Indonesia.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Selain alasan tersebut, keberhasilan Wuling Motors di pasar otomotif Indonesia
juga menarik untuk diteliti karena beberapa alasan lainnya. Pertama, pencapaian
Wuling Motors di Indonesia berhasil diraih dalam waktu yang cukup singkat, yakni
hanya setahun setelah perusahaan ini pertama kali menjual produknya di pasar
Indonesia. Dalam waktu yang singkat tersebut, Wuling Motors telah berhasil
mengalahkan Datsun yang telah beroperasi secara resmi di Indonesia sejak 17
September 2013, Nissan yang telah memasuki pasar otomotif Indonesia sejak 1960-
an, Mazda yang telah beroperasi secara resmi di Indonesia sejak 2006, hingga
Chevrolet yang telah dijual di Indonesia sejak 1927 dan telah beroperasi secara
resmi sejak 1993 (Datsun, 2020; Hadi, 2019; Sulistiyono, 2016; Chevrolet
Indonesia, 2020). Kedua, di antara sepuluh perusahaan otomotif terbesar di
Indonesia, Wuling Motors menjadi satu-satunya yang berasal Tiongkok. Data
dalam tabel 1.1. secara jelas menunjukkan bahwa pasar otomotif Indonesia hingga
saat ini dikuasai oleh perusahaan otomotif asal Jepang, seperti Toyota, Daihatsu,
Honda, Mitsubishi, Suzuki, Mitsubishi Fuso, Hino, Isuzu, hingga Nissan.
Perusahaan-perusahaan asal Jepang tersebut bahkan mempunyai pangsa pasar lebih
dari 90% dalam keseluruhan penjualan kendaraan di Indonesia (GAIKINDO,
2019a; 2019b; 2020a). Keberhasilan Wuling Motors menjadi salah satu dari
sepuluh perusahaan dengan pangsa pasar terbesar dalam industri otomotif Indonesia
lantas menjadi anomali tersendiri.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana strategi internasionalisasi Wuling Motors sehingga berhasil menjadi
salah satu dari sepuluh perusahaan otomotif terbesar di Indonesia dan mengubah
tren penjualan perusahaan otomotif asal Tiongkok dari tahun 2017 hingga tahun
2019?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan bagaimana strategi internasionalisasi
Wuling Motors di Indonesia sehingga berhasil menjadi salah satu dari sepuluh
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
perusahaan otomotif terbesar di negara tersebut dan menghentikan sejarah
kegagalan perusahaan otomotif asal Tiongkok.
1.4. Tinjauan Literatur
Sebagai dasar dalam menyusun tesis ini, penulis merujuk pada beberapa literatur
terdahulu yang pernah membahas kasus serupa dengan kasus yang diusung dalam
penelitian ini. Adapun penulis berhasil menemukan empat kategori literatur.
Kategori yang pertama merupakan hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan
bagaimana strategi Wuling Motors dalam memasuki pasar otomotif Indonesia
sekaligus faktor yang mendorong penjualan produk Wuling Motors di Indonesia.
Kategori yang kedua membahas tentang bagaimana strategi Wuling Motors dalam
melakukan ekspansinya di India. Kategori yang ketiga berkaitan dengan strategi
perusahaan-perusahaan otomotif lainnya dalam memasuki pasar Indonesia.
Kategori yang terakhir membahas strategi internasionalisasi yang umumnya
digunakan oleh perusahaan-perusahaan otomotif asal Tiongkok.
Dalam kategori literatur yang pertama, penulis menemukan bahwa analisis terhadap
bisnis Wuling Motors di Indonesia masih didominasi oleh kajian pemasaran. Salah
satunya ditunjukkan dalam analisis yang dilakukan oleh Heriyadi (2018), Amanda
dan Nurseto (2018), Suryo et al. (2020), Haspianti (2018), Themba et al. (2019),
Tirto (2018), serta Kusuma dan Wahyuati (2018). Hasil analisis Heriyadi (2018)
menyebutkan bahwa keberhasilan Wuling Motors di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari strategi positioning dengan menempatkan produknya, yakni Wuling
Confero di sektor low multipurpose vehicle (MPV) untuk bersaing dengan produk-
produk serupa asal Jepang yang telah mendominasi pasar Indonesia. Lebih spesifik,
positioning dilakukan dengan menerapkan point of difference yang terletak pada
harga Wuling Confero yang lebih murah dibandingkan dengan kompetitor dan di
sisi lain menerapkan points of parity dengan membentuk produk dengan kualitas
dan desain yang kurang lebih sama dengan kompetitornya. Sependapat, Amanda
dan Nurseto (2018) yang menunjukkan bahwa penetapan harga dan promosi
menjadi faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen Wuling
Motors. Berbeda pendapat, Suryo et al. (2020) justru menjelaskan bahwa faktor
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
harga tidak berpengaruh, tetapi justru faktor purnajual yang mempunyai pengaruh
signifikan bagi penjualan Wuling Motors di Indonesia.
Analisis lainnya dilakukan oleh Themba et al. (2019) yang berpendapat bahwa
keberhasilan penjualan Wuling Motors di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
strategi marketing, yang mencakup produk yang berkualitas, harga yang kompetitif,
promosi yang dilakukan, keberadaan gerai yang mudah diakses, hingga pegawai
yang peduli pada konsumen, hingga kualitas servis. Elemen-elemen tersebut
membentuk kepuasan konsumen dan selanjutnya membentuk loyalitas konsumen
pada brand Wuling itu sendiri. Kajian pemasaran lainnya dilakukan oleh Haspianti
(2018), yang menganalisis strategi internasionalisasi Wuling Motors di Indonesia
dalam sudut pandang Strength-Weakness-Opportunity-Threat. Hasil analisis
Haspianti (2018) menunjukkan bahwa Wuling Motors memasuki pasar Indonesia
dengan menerapkan strategi agresif yang menekankan pada aspek kekuatan dan
peluang dimiliki oleh perusahaan. Kekuatan yang dimaksud adalah harga produk
yang murah, kapasitas pabrik, layanan purnajual, hingga teknologi yang ada dalam
produk Wuling Motors. Sementara itu, peluang terletak pada penerimaan
masyarakat yang cukup baik dan pangsa pasar low MPV yang besar. Dengan
kekuatan dan peluang tersebut, Wuling Motors menerapkan strategi yang agresif,
ditunjukkan melalui promosi dan pemasaran yang lebih gencar, peluasan jaringan
penjualan ke area yang lebih luas di Indonesia, hingga mengembangkan produk-
produk baru lainnya.
Masih dalam konteks strategi marketing, Tirto (2018) memaknai kehadiran Wuling
di Indonesia sebagai bentuk strategi adaptasi yang dilakukan oleh GM, selaku salah
satu pemilik Wuling Motors. Adaptasi yang dimaksud adalah dengan membentuk
produk yang murah namun tetap berkualitas di sektor MPV. Sementara itu, analisis
yang dilakukan oleh Kusuma dan Wahyuati (2018) menjelaskan bahwa Wuling
Motors menerapkan strategi experiential marketing, yakni strategi pemasaran yang
dilakukan dengan menciptakan pengalaman atas produk bagi konsumen sehingga
dapat mendorong keputusan pembelian konsumen atas barang yang ditawarkan.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Dengan demikian, jelas bahwa literatur-literatur sebelumnya dalam membahas
strategi Wuling Motors di Indonesia masih terbatas dalam kajian pemasaran.
Sementara itu, kelompok literatur yang kedua membahas tentang bagaimana
strategi internasionalisasi yang dilakukan SGMW Motors, selaku induk perusahaan
SGMW Motors Indonesia dalam ekspansinya ke negara-negara lainnya. Fangfang
(2009) menyebutkan bahwa SGMW Motors memulai ekspansinya ke negara lain
dengan mengekspor Wuling N200 ke Peru pada Juli 2008. Pada tahun 2009,
SGMW Motors melakukan ekspor Wuling N200 dan N300 ke Amerika Selatan,
Timur Tengah, dan juga Afrika Utara dengan memanfaatkan jaringan penjualan
yang dimiliki oleh GM. Ekspor tersebut dilakukan dengan mengubah nama produk
menjadi merek Chevrolet. Ekspansi merek SGMW sendiri, yakni Wuling dan
Baojun, baru dimulai ketika perusahaan tersebut memasuki pasar otomotif India.
Nam dan Li (2014) serta Anderson (2012) menjelaskan bahwa SGMW Motors
melakukan ekspansinya ke India dengan menerapkan strategi kolaboratif. Strategi
kolaboratif ini dilakukan melalui kerja sama dengan GM yang telah beroperasi
sebelumnya di pasar India serta SAIC Motors. Dalam kolaborasi ini, GM
berkontribusi dengan menyediakan fixed assets dengan adanya dua pabrik
kendaraan dan satu pabrik mesin, SAIC berkontribusi sebagai penyokong dana,
sementara kontribusi SGMW terletak pada desain kendaraan yang dipasarkan.
Analisis terhadap internasionalisasi SGMW ke Indonesia lantas menjadi menarik
untuk dianalisis karena perusahaan tersebut menerapkan strategi yang berbeda
dengan membangun pabriknya sendiri.
Kelompok literatur yang ketiga membahas tentang strategi perusahaan otomotif
lainnya dalam memasuki pasar Indonesia. Analisis yang dilakukan oleh Fujimoto
dan Sugiyama (2002) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan otomotif asal
Jepang umumnya menggunakan strategi adaptasi dalam memasarkan produknya di
Indonesia. Adaptasi dilakukan dengan membuat produk turunan dari platform yang
sudah dimiliki atau yang dikenal dengan derivative product from an old platform
strategy. Dengan strategi tersebut, perusahaan otomotif asal Jepang dapat
menyesuaikan produknya dengan regulasi dan pasar di host countries serta
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
menurunkan biaya. Pendapat serupa terkait adaptasi di sampaikan oleh Simbolon
(2013), yang menyatakan bahwa perusahaan otomotif akan unggul di pasar
Indonesia apabila mampu mengakomodasi demand pasar ke dalam produknya,
yakni kendaraan yang mampu menampung banyak penumpang.
Masih dalam konteks strategi adaptasi, analisis yang dilakukan oleh Nkomo (2015)
secara spesifik membahas tentang strategi Toyota dalam menguasai pasar otomotif
di Indonesia. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pada mulanya Toyota
memasuki pasar Indonesia dengan joint venture. Keberhasilan Toyota di Indonesia
di abad ke-21 tidak dapat dilepaskan dari strategi “Innovative International
Multipurpose Vehicle”, yakni strategi adaptasi yang dilakukan dengan membuat
produk Avanza sebagai multi-purpose vehicle (MPV) dengan harga yang murah.
Analisis serupa juga dilakukan oleh Purba (2015). Penelitian Purba (2015)
menunjukkan bahwa Nissan melakukan adaptasi dalam menguasai pasar otomotif
di Indonesia. Adaptasi tersebut dilakukan dengan mendatangkan Datsun, anak
perusahaan Nissan, untuk memproduksi kendaraan yang sesuai dengan regulasi
Low Cost Green Car (LCGC) yang diterapkan pemerintah Indonesia. Dengan
demikian, analisis dalam kategori literatur yang ketiga secara umum menunjukkan
bahwa perusahaan otomotif lainnya cenderung menerapkan strategi adaptasi dalam
menguasai pasar Indonesia, yakni bagaimana membentuk produk yang disesuaikan
dengan kondisi pasar otomotif di Indonesia.
Kategori literatur yang keempat membahas tentang strategi internasionalisasi yang
umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan otomotif asal Tiongkok. Tinjauan
literatur terhadap kategori yang ketiga ini menunjukkan beberapa variasi dalam
menjelaskan internasionalisasi yang dilakukan oleh perusahaan otomotif Tiongkok.
Bai (2019) menjelaskan bahwa Automotive MNCs (AMNCs) termasuk Chinese
AMNCs (CAMNCs) umumnya menerapkan strategi internasionalisasi pasar secara
bertahap. Tahapan dimulai dari ekspor secara langsung dan menunggu sampai
pangsa pasar ekspor mereka stabil. Setelah stabilitas tercapai, CAMNCs akan
memperdalam komitmennya dengan melakukan investasi lebih dan membentuk
operasi secara internasional. Investasi tersebut dapat berupa investasi langsung,
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
joint venture, merger dan akuisisi, pembentukan aliansi strategis, hingga
pembangunan pusat riset dan pengembangan di suatu negara. Analisis yang
dilakukan oleh Balcet dan Richet (2012) menunjukkan argumen serupa dalam
konteks yang lebih spesifik yakni internasionalisasi yang dilakukan oleh Geely.
Keduanya berpendapat bahwa internasionalisasi yang dilakukan oleh Geely
dilakukan dengan memulai ekspor pada tahun 2003. Upaya internasionalisasi
kemudian diikuti dengan pembangunan pabrik perakitan di sejumlah negara yakni
Russia, Ukraina, Indonesia, dan Taiwan. Selain itu, Geely juga menerapkan strategi
akuisisi dan merger dengan sejumlah perusahaan seperti London Taxi di tahun 2006
dan Volvo di tahun 2010.
Sementara itu, Fetscherin dan Beuttenmuller (2012) membahas tentang strategi
internasionalisasi Geely yang secara umum dilakukan dengan akuisisi terhadap
perusahaan-perusahaan otomotif lokal seperti Manganese Bronze Holdings yang
memproduksi London Taxi dan Limousine; Drivetrain Systems International,
perusahaan Australia yang bergerak di bidang perancangan, pengembangan, dan
manufaktur transmisi kendaraan; hingga Volvo yang sebelumnya dimiliki oleh Ford
Motor Company. Sementara itu, Miao Zhang et al. (2012) menjelaskan tentang
strategi internasionalisasi Chery di Malaysia, yang dilakukan melalui joint venture
dengan Alado Corporation Sendirian Berhad pada tahun 2008 dengan mekanisme
pembagian saham 50:50. Moda masuk joint venture memberikan keuntungan
karena jaringan penjualan yang dimiliki oleh Alado berhasil menjadikan Chery
sebagai perusahaan otomotif asal Tiongkok yang terbesar di Malaysia dengan diler
resmi mencapai 50 diler. Chery kemudian memperluas jaringannya melalui kerja
sama dengan government linked investment company, yakni Lembaga Tabung
Angkatan Tentera (LTAT). Kerja sama dilakukan dengan menjual 20% saham
Chery-Alando ke LTAT pada tahun 2009. Perluasan jaringan melalui joint venture
dan kerja sama ini memberikan dasar yang kuat bagi Chery untuk menguasai pasar
otomotif Malaysia. Ying Zhang et al. (2012) memberikan penjelasan yang sedikit
berbeda tentang internasionalisasi yang dilakukan oleh Chery. Hasil analisis Ying
Zhang et al. (2012) menunjukkan bahwa internasionalisasi Chery dilakukan dengan
membangun akuisisi sekaligus membangun aliansi strategis untuk mendapatkan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
akses terhadap teknologi ataupun social and market capital. Aliansi ini
memungkinkan Chery untuk berinovasi, memperkuat posisinya di dunia
internasional, sekaligus mengakses pasar di berbagai negara. Merujuk pada
penjelasan di kategori ketiga, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada strategi
internasionalisasi tertentu yang dimiliki oleh perusahaan otomotif asal Tiongkok
karena bergantung pada kepentingan perusahaan itu sendiri.
Hay et al. (2013) memberikan penjelasan yang berbeda dengan menyatakan bahwa
terdapat dua pendekatan umum yang digunakan oleh CAMNCs dalam menjalankan
internasionalisasinya. Pendekatan yang pertama adalah bring-in approach. Bring-
in approach berkaitan dengan bagaimana CAMNCs berupaya untuk mendatangkan
teknologi-teknologi terbaru dengan melakukan joint venture dengan perusahaan-
perusahaan asing yang lebih besar. Selanjutnya, CAMNCs dapat menerapkan go-
out approach dengan memulai ekspansinya di berbagai negara. Ekspansi di
antaranya dilakukan dengan melakukan akuisisi terhadap perusahaan otomotif di
suatu negara. Akuisisi umumnya dipilih untuk mengatasi proteksionisme serta
untuk alasan strategis seperti kaitannya dengan transfer teknologi. Selain akuisisi,
CAMNCs juga melakukan join-ventures ataupun dengan membangun pabrik
produksi di negara-negara lainnya. Sependapat dengan hal ini, Drauz (2013)
menjelaskan bahwa internasionalisasi yang dilakukan oleh CAMNCs menunjukkan
suatu pola, yakni diawali dengan inward-oriented internationalization.
Merujuk pada hasil tinjauan literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
berbagai penjelasan dalam menjelaskan strategi internasionalisasi perusahaan
otomotif. Secara khusus, penjelasan terkait internasionalisasi SGMW atau Wuling
Motors di Indonesia masih terbatas pada strategi marketing. Sementara itu,
penjelasan tentang strategi internasionalisasi SGMW di negara lain tidak
memberikan gambaran tentang strategi masuknya perusahaan tersebut ke Indonesia
karena dilakukan dengan cara berbeda. Sementara itu, penjelasan terkait strategi
internasionalisasi perusahaan-perusahaan lain di Indonesia menunjukkan
kecenderungan penggunaan strategi adaptasi. Kelompok literatur yang terakhir
tidak menunjukkan pola yang pasti dalam memahami internasionalisasi yang
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
dilakukan oleh perusahaan otomotif asal Tiongkok. Penelitian ini lantas berupaya
untuk memberikan penjelasan yang berbeda terkait strategi internasionalisasi
SGMW Motors di Indonesia dengan memberikan penjelasan terkait tiga hal, yakni:
(1) penerapan bring-in dan go-out approach; (2) penerapan marketing mix; dan (3)
peran pemerintah dalam strategi internasionalisasi Wuling Motors.
Analisis tentang peran pemerintah, baik home country maupun host country dalam
internasionalisasi bisnis pada dasarnya telah dilakukan oleh beberapa akademisi
sebelumnya. Deng (2011) menyatakan bahwa institusi pemerintah home country
maupun host country turut berperan bagi internasionalisasi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan Tiongkok. Sebagai contoh, ekspansi perusahaan asal
Tiongkok di tahun 1990-an pada dasarnya dilakukan searah dengan tujuan
pemerintah untuk mendorong ekspor, mencari suplai sumber daya, dan
mendapatkan teknologi lebih lanjut (Deng 2011). Pemerintah Tiongkok juga
memberikan dukungan modal melalui bank-bank yang dikontrol pemerintah seperti
bank EXIM, untuk ekspansi perusahaan (Luo et al. 2010; Deng 2011). Selain itu,
ada berbagai kebijakan pemerintah Tiongkok lainnya yang dapat mendorong
ekspansi yang dilakukan perusahaan seperti kerja sama double taxation avoidance
dengan negara host country, potongan pinjaman bunga untuk korporasi yang
berinvestasi di luar negeri, subsidi, mekanisme penjaminan risiko, menyediakan
informasi terkait hambatan investasi yang mungkin dihadapi di negara host, hingga
katalog panduan untuk ekspansi ke luar negeri (Luo et al. 2010).
Sementara itu, Wei et al. (2015) secara spesifik menjelaskan bahwa pemerintah
Tiongkok berperan dalam internasionalisasi perusahaan Tiongkok, baik secara
sadar (concious) maupun tidak sadar (unconcious). Secara sadar, perusahaan asal
Tiongkok mendorong internasionalisasi melalui regulasi dan dukungan finansial.
Secara tidak sadar, pemerintah Tiongkok telah membentuk pasar domestik yang
menyebabkan private-owned enterprise (POE) tidak dapat berkompetisi dengan
state-owned enterprise (SOE) sehingga mendorong POE untuk ekspansi ke luar
negeri. Peran pemerintah ini selanjutnya memengaruhi strategi internasionalisasi
perusahaan. Dukungan sadar pemerintah telah mendorong SOE untuk menerapkan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
strategi internasionalisasi yang lebih agresif, yakni dengan melakukan akuisisi
ataupun greenfield investment, termasuk pembangunan pabrik. Sementara itu,
peran unconcious oleh pemerintah Tiongkok telah menyebabkan perusahaan untuk
menerapkan strategi internasionalisasi yang lebih hati-hati, yakni dengan
melakukan ekspansi secara bertahap, dimulai dengan ekspor ke bentuk investasi
yang lebih besar.
Sama halnya dengan pemerintah home country, pemerintah host country juga
dinilai berpengaruh terhadap internasionalisasi perusahaan. Deng (2011)
menjelaskan bahwa ketika perusahaan asal Tiongkok hendak melakukan ekspansi
ke pasar yang belum dikenal, maka mereka cenderung memilih untuk akuisisi.
Lebih lanjut, perusahaan asal Tiongkok cenderung memilih investasi di negara yang
mempunyai lingkungan bisnis hampir sama dengan lingkungan bisnis di Tiongkok.
Kecenderungan ini muncul karena perusahaan-perusahaan tersebut telah
mempunyai pengalaman yang menjadi special ownership advantages untuk
beroperasi di negara yang dituju (Alden and Davies 2006; Gebre-Egziabher 2007
dalam Deng 2011). Tidak hanya itu, terdapat argumen pula bahwa perusahaan asal
Tiongkok menyesuaikan strategi internasionalisasinya baik terhadap regulasi yang
ada di negara host maupun yang ditetapkan oleh Tiongkok selaku home country
(Liou 2009; Obi, 2008 dalam Deng 2011). Sementara itu, Ramasamy et al. (2012)
menjelaskan bahwa SOE asal Tiongkok cenderung bergantung pada hubungan
government-to-government (G2G) sebagai dasar atas tindakan dan kebijakannya.
Dalam konteks ini, risiko terkait ketidakpastian bisnis akibat nasionalisasi ataupun
kegagalan kontrak dianggap lebih minim ketika investasi dilakukan atas dasar G2G.
Menyadari pentingnya peran pemerintah dalam internasionalisasi perusahaan,
maka dari itu, penulis memasukkan aspek peran pemerintah sebagai salah satu
variabel untuk dianalisis. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan
penjelasan yang lebih rinci terkait strategi internasionalisasi Wuling Motors di
Indonesia.
1.5. Kerangka Pemikiran
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Penelitian ini menggunakan lima kerangka pemikiran dalam menjelaskan strategi
internasionalisasi Wuling Motors di Indonesia. Kerangka pemikiran pertama
berkaitan dengan bring-in dan go-out approach sebagai strategi internasionalisasi
yang umumnya dilakukan oleh perusahaan otomotif asal Tiongkok. Berangkat dari
penjelasan bring-in dan go-out approach tersebut, penulis selanjutnya
menggunakan dua kerangka tambahan sebagai penjelasan pelengkap, yakni tentang
joint venture dan wholly-owned subsidiary. Kerangka pemikiran terkait joint
venture digunakan untuk menjelaskan keuntungan yang didapatkan perusahaan
dalam melakukan joint venture sebagai bagian dari penerapan bring-in approach.
Kerangka pemikiran ini penting untuk menunjukkan keuntungan-keuntungan
tersendiri yang dimiliki oleh SGMW Motors, selaku perusahaan induk dari Wuling
Motors Indonesia. Kerangka selanjutnya berkaitan dengan wholly-owned
subsidiary, khususnya tentang alasan dan keuntungan bagi perusahaan ketika
melakukan ekspansi dengan moda masuk tersebut. Sementara itu, kerangka
pemikiran keempat membahas tentang marketing mix. Analisis terhadap marketing
mix ini dibutuhkan untuk mengetahui lebih rinci bagaimana Wuling Motors
memasarkan produknya di Indonesia. Analisis ini dibutuhkan untuk melengkapi
penjelasan penulis terkait strategi internasionalisasi Wuling Motors. Selain itu,
penulis juga menambahkan kerangka pemikiran yang kelima, terkait peran
pemerintah dalam bisnis internasional. Kerangka pemikiran ini ditujukan untuk
menjelaskan pemerintah, baik dari home maupun host country, memengaruhi
strategi internasionalisasi suatu perusahaan. Dengan demikian dapat didapatkan
gambaran yang lebih mendalam mengenai strategi internasionalisasi Wuling
Motors di Indonesia.
1.5.1. Bring-in dan Go-out Approach sebagai Strategi Internasionalisasi
Sebelum membahas lebih lanjut tentang bring-in dan go-out approach, perlu
dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan strategi internasionalisasi.
Internasionalisasi oleh Welch and Luostarinen (1988 dalam Melin, 1992) diartikan
sebagai sebuah proses meningkatnya keterlibatan perusahaan dalam operasi lintas
batas. Tidak jauh berbeda, Javalgi et al. (2003) mendefinisikan internasionalisasi
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
sebagai proses yang dilalui perusahaan untuk berkembang dari sebelumnya hanya
beroperasi di pasar domestik menjadi beroperasi di pasar internasional atau lintas
batas. Sementara itu, strategi oleh Bull (1968) diartikan sebagai sebuah seni ataupun
pengetahuan dalam memanfaatkan cara-cara atau means yang ada untuk mencapai
tujuan dalam berbagai situasi konflik (Bull, 1968). Dalam konteks ini, Bull (1968)
menggunakan istilah strategi sama halnya dengan strategi militer sehingga strategi
erat kaitannya dengan bagaimana memanfaatkan kekuatan militer untuk mencapai
tujuan yang dimiliki oleh negara. Namun, penggunaan strategi saat ini telah meluas
seiring perkembangan yang terjadi di dunia. Strategi tidak hanya mencakup aspek-
aspek tradisional terkait perang dan militer, tetapi juga aspek-aspek lain seperti
bisnis. Hal inilah yang kemudian memunculkan konsep strategi bisnis. Strategi
bisnis oleh Ghemawat (2002) dijelaskan sebagai serangkaian taktik yang dibuat
untuk mendapatkan kontrol atas lingkungan bisnis dengan maksud mendapatkan
keuntungan bagi perusahaan. Apabila dikaitkan dengan definisi yang dikemukakan
oleh Bull (1968) sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa strategi bisnis
berhubungan dengan bagaimana korporasi memanfaatkan cara-cara tertentu untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Strategi internasionalisasi lantas dapat
diartikan sebagai serangkaian cara yang digunakan oleh perusahaan dalam
melakukan operasi bisnis lintas batas.
Bring-in dan go-out approach itu sendiri merupakan hasil analisis dari sejumlah
peneliti mengenai bagaimana cara yang digunakan oleh CAMNCs untuk
melakukan internasionalisasi (Wang, 2002; Kang and Ke, 2004; Liu, 2009 dalam
Hay et al., 2013). Bring-in merupakan mode pengembangan yang banyak diadopsi
perusahaan otomotif Tiongkok pada tahun 1980 dan 1990-an. Mengacu pada fakta
bahwa pertumbuhan perusahaan otomotif Tiongkok cenderung terlambat dengan
teknologi yang terbelakang, pemerintah Tiongkok memutuskan untuk membangun
banyak joint venture dengan perusahaan otomotif asing untuk menghadirkan
teknologi canggih. Hingga tahun 2012, terdapat setidaknya 40 joint venture dalam
industri otomotif Tiongkok (Hay et al., 2013). Joint venture sendiri merupakan
kolaborasi yang dilakukan oleh dua atau lebih organisasi bisnis dalam jangka
panjang. Setiap pihak yang terlibat dalam kolaborasi berbagi aset, risiko, dan laba,
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
walaupun ekuitas tidak dibagi secara rata (Czinkota dan Ronkainen, 2013).
Kolaborasi tersebut lantas memberikan proses pembelajaran yang bermanfaat bagi
perusahaan-perusahaan otomotif asal Tiongkok, khususnya yang dimiliki oleh
negara. Perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan pengetahuan know-how
secara luas, mulai dari kemampuan teknis hingga pelatihan tingkat lapangan untuk
teknisi dan insinyur. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan otomotif asal
Tiongkok juga diajari cara bertindak secara rasional, menangani kendala keamanan,
hingga bagaimana mengatasi preferensi dan demand pasar luar negeri (Hay et al.,
2013). Pengetahuan-pengetahuan inilah yang kemudian memungkinkan industri
otomotif di Tiongkok untuk terus berkembang dan mengejar ketertinggalan
terhadap industri otomotif yang telah maju seperti milik Jepang, Eropa, dan
Amerika Serikat.
Menanggapi perkembangan tersebut, muncul pendekatan baru yakni go-out
approach. Go-out approach pada dasarnya berkaitan dengan dorongan pemerintah
Tiongkok terhadap perusahaan-perusahaan otomotif agar mulai melakukan
ekspansi ke negara lain. Pendekatan ini sejatinya sudah dimulai sejak 1990-an dan
mulai digencarkan sejak 2009 (Hay et al., 2013). Perusahaan-perusahaan otomotif
menyambut baik inisiatif pemerintah ini dengan menjalankan ekspansinya ke
berbagai negara. Ekspansi terhadap negara maju umumnya dilakukan dengan
akuisisi dan merger dengan perusahaan-perusahaan otomotif Barat. Hal ini
dilakukan tidak hanya untuk memperluas pasar, tetapi juga untuk upaya mengejar
ketertinggalan dan meneguhkan posisi mereka di skala internasional (Hay et al.,
2013). Sementara itu, ekspansi ke negara berkembang dilakukan secara beragam,
mulai dari ekspor hingga bentuk investasi yang membutuhkan komitmen lebih kuat.
Ekspor umumnya dilakukan untuk menguji kemampuan mereka di pasar dan
merancang strategi untuk investasi lebih lanjut di kemudian hari. Sementara itu,
investasi lanjutan umumnya dilakukan melalui joint venture dengan mitra lokal
(Hay et al., 2013). Namun demikian, terdapat beberapa pilihan moda masuk lainnya
bagi MNCs dalam melakukan penetrasi terhadap suatu pasar asing.
1.5.2. Joint Venture
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Joint venture menjadi salah satu bentuk operational sharing yang populer di antara
perusahaan-perusahaan dunia (Daniels et al., 2015). Joint venture dapat diartikan
sebagai perusahaan yang dibentuk sebagai hasil kerja sama antara dua atau lebih
perusahaan yang berbeda dengan tujuan tertentu (Kogut, 1988; Czinkota dan
Ronkainen, 2013; Wild dan Wild, 2016). Kerja sama dalam joint venture pada
dasarnya tidak terbatas pada perusahaan swasta, tetapi juga dapat melibatkan badan
pemerintah ataupun state-owned enterprise (Wild dan Wild, 2016). Dalam joint-
venture, setiap pihak yang terlibat dalam kerja sama berbagi aset, risiko, dan laba,
walaupun ekuitas tidak dibagi secara rata (Czinkota dan Ronkainen, 2013). Lebih
lanjut, Wild dan Wild (2016) menjelaskan bahwa pada dasarnya joint venture tidak
selalu melibatkan ekuitas. Setiap pihak yang terlibat dapat berkontribusi melalui
apa pun yang dipandang berharga oleh partnernya, mencakup kemampuan
manajerial, keahlian pemasaran, akses pasar, teknologi produksi, kapital finansial,
hingga pengetahuan ataupun teknik superior dalam riset dan pengembangan.
Terkait hal ini Daniels et al. (2015) menjelaskan bahwa meskipun terdapat bentuk
kerja sama non-ekuitas, joint venture pada umumnya melibatkan kepemilikan
ekuitas oleh lebih dari satu pihak.
Terdapat berbagai motif dalam melaksanakan joint venture. Kogut (1988)
mengidentifikasi setidaknya tiga alasan dalam pembentukan joint venture, yakni:
(1) untuk mengurangi beban masing-masing perusahaan mitra dalam aktivitas
ekspor ataupun operasi bisnisnya di suatu pasar; (2) sebagai strategi untuk
menyaingi ataupun meminimalkan potensi munculnya perusahaan pesaing di pasar;
dan (3) untuk mendorong terjadinya transfer teknologi yang bermanfaat bagi setiap
perusahaan yang terlibat dalam mekanisme kerja sama. Terkait alasan yang ketiga,
Daniels et al. (2015) menjelaskan bahwa banyak perusahaan melakukan kerja sama
untuk belajar tentang teknologi, metode operasi, ataupun informasi tentang pasar.
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kompetensi perusahaan sehingga menjadi
lebih kompetitif di masa depan. Selain transfer teknologi, perusahaan dapat
memanfaatkan joint ventures untuk melakukan penetrasi pasar internasional di
kemudian hari.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
1.5.3. Wholly-owned Subsidiary
Ekspansi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pada dasarnya dapat dilakukan
melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan membangun wholly-owned
subsidiary (WOS). WOS merupakan anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki
dan dikendalikan oleh perusahaan induk. Pembentukan WOS dalam ekspansi
sebuah perusahaan dapat dilakukan baik dengan: (1) membangun anak perusahaan
dan fasilitas yang sepenuhnya baru, seperti kantor, pabrik, dan peralatan; atau (2)
melakukan akuisisi melalui pembelian perusahaan yang sudah ada dan
menginternalisasi fasilitasinya (Wild dan Wild, 2016). Terkait hal ini, Wild dan
Wild (2016) menjelaskan bahwa ketika anak perusahaan dirancang untuk
memproduksi produk-produk dengan teknologi baru, biasanya perusahaan induk
perlu membangun fasilitas yang baru pula. Namun, cara ini mempunyai kelemahan
tersendiri karena adanya waktu yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas baru,
merekrut dan melatih karyawan, dan meluncurkan produksi.
Pembentukan WOS mempunyai setidaknya tiga keuntungan utama. Keuntungan
pertama berkaitan dengan adanya kontrol penuh yang dimiliki oleh perusahaan
induk, baik atas operasi pasar sehari-hari ataupun akses terhadap teknologi dan aset-
aset lainnya yang berharga di dalam perusahaan. Kontrol penuh dapat mengurangi
potensi bagi pesaing untuk mengakses keunggulan kompetitif perusahaan, yang
mana penting bagi perusahaan berbasis teknologi (Wild dan Wild, 2016). Kontrol
penuh juga dinilai menguntungkan karena memungkinkan adanya pengambilan
keputusan yang lebih cepat (Chang et al. 2013 dalam Zhao et al. 2017). Keuntungan
kedua berkaitan dengan argumen bahwa WOS memungkinkan perusahaan untuk
mengoordinasikan kegiatan semua anak perusahaannya. Dalam konteks ini, setiap
pasar dipandang sebagai bagian dari pasal global yang saling berhubungan (Wild
dan Wild, 2016). Keuntungan selanjutnya adalah bahwa WOS mendorong
perusahaan induk untuk menggunakan lebih banyak sumber daya, termasuk
teknologi canggih, untuk mendukung anak perusahaan mereka sehingga
mendorong tingkat produktivitas dan kinerja yang lebih tinggi (Anand dan Delios,
1997; Luo, 2003; Luo dan Zhao, 2004; Li et al., 2009 dalam Zhao et al., 2017).
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Lebih spesifik, terdapat argumen bahwa pembangunan perusahaan yang benar-
benar baru atau new venture dalam WOS mempunyai kinerja yang lebih baik
ketimbang entry mode lainnya (Woodcock et al., 1994). Argumen ini didukung oleh
riset yang dilakukan oleh Blesa da Rippoles (2008 dalam Zhao et al., 2017) yang
berargumen bahwa entry mode dengan tingkat investasi tinggi seperti pembentukan
new venture menghasilkan performa yang lebih baik dengan meningkatkan
kemampuan pemasaran dari anak perusahaan yang didirikan.
Pembentukan WOS sebagai cara ekspansi perusahaan salah satunya didorong oleh
pengalaman internasional yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam pendekatan
Uppsala dan the path dependence perspective, tindakan yang dilakukan perusahaan
sangat dipengaruhi oleh masa lalu, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan
pengalaman dan pengetahuan (Johanson dan Mattson, 1988 dalam Chiao et al.
2010). Dengan kata lain, pengalaman sebelumnya dalam melakukan
internasionalisasi akan memengaruhi langkah ekspansi selanjutnya (Eriksson et al.,
2000). Argumen utamanya adalah bahwa pengalaman internasional lebih banyak
memungkinkan perusahaan untuk mempunyai pemahaman yang lebih
komprehensif mengenai operasi bisnis internasional, sehingga memungkinkan
perusahaan tersebut untuk berkomitmen lebih dalam melakukan investasi langsung
dan lebih memilih WOS (Stopford dan Wells, 1972; Barkema et al., 1996; Johanson
dan Vahlne, 1977 dalam Chiao et al., 2010). Sebaliknya, perusahaan dengan
pengalaman internasional yang lebih sedikit cenderung lebih memilih joint venture
dalam melaksanakan ekspansinya karena mengandalkan pengetahuan lokal yang
diberikan oleh mitra lokal (Park dan Park, 2004).
Pengalaman internasional itu sendiri secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni
general international experience (GIE) dan country specific experience (CSE). GIE
merujuk pada pengalaman yang didapat perusahaan dari operasinya di berbagai
belahan dunia. Dalam hal ini GIE berperan dalam meningkatkan kemampuan
manajerial dalam operasi internasional. Argumen umumnya menyatakan bahwa
pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki secara internasional dapat ditransfer
ke operasi investor di negara lain (Chang dan Rosenzweig, 2001; Johanson dan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Vahlne, 1977; Terpstra & Yu, 1988; dalam Li dan Meyer, 2009). GIE dapat diukur
dengan berbagai cara, di antaranya adalah kurun waktu pengalaman di seluruh
dunia, jumlah total investasi asing, apakah perusahaan mempunyai anak perusahaan
di negara tetangga, hingga penyebaran geografis dari pengalaman internasional
perusahaan (Li dan Meyer, 2009). Sementara itu, CSE merujuk pada pengalaman
yang dimiliki perusahaan terhadap satu pasar secara spesifik. Pengalaman ini
memberikan wawasan penting tentang lingkungan bisnis dan dapat membantu
mengenali peluang di negara yang hendak dituju (Johansen dan Vahlne, 1977 dalam
Li dan Meyer, 2009), mengatasi ketidakpastian dari bahaya politik (Delios dan
Henisz, 2003), serta membangun hubungan dengan otoritas lokal (Luo, 2001).
Dengan kata lain, CSE meningkatkan pengetahuan tentang kondisi lokal. Hal ini
dapat mempermudah perusahaan untuk membentuk joint venture, tetapi pada saat
yang sama dapat mengurangi kebutuhan atau urgensi untuk pembentukan joint
venture (Li dan Mayer, 2009). Adapun CSE dapat diukur dengan meninjau berapa
lama sebuah perusahaan beroperasi di sebuah negara (Luo dan Peng, 1999 dalam
Li dan Mayer 2009).
1.5.4. Peran Pemerintah Home Country, Host Country, dan Hubungan
Antarnegara
Pembentukan joint venture dapat melibatkan peran pemerintah, utamanya berkaitan
dengan regulasi mengenai operasi bisnis. Regulasi yang ditetapkan pemerintah
dapat memengaruhi bisnis secara langsung dengan adanya pelarangan terhadap
bentuk operasi bisnis tertentu, termasuk pelarangan terhadap derajat kepemilikan
dan kontrol yang dimiliki perusahaan asing atas operasi bisnisnya (Czinkota dan
Ronkainen, 2013; Daniels et al., 2015). Negara dengan sistem ekonomi terpusat
umumnya sangat restriktif dengan membatasi kepemilikan di sektor-sektor industri
tertentu. India dan Rusia menjadi contoh negara yang menetapkan batas
kepemilikan maksimal bagi perusahaan asing di berbagai sektor industri. Selain itu,
regulasi pemerintah juga dapat memengaruhi secara tidak langsung, yakni dengan
memengaruhi profitabilitas (Daniels et al., 2015). Dalam konteks ini, joint venture
memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan insentif pajak, grants, dukungan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
pemerintah hingga meminimalkan risiko politik. Pemerintah juga dapat mendorong
terbentuknya joint venture melalui proyek-proyek pengadaan pemerintah dengan
adanya preferensi untuk memberikan proyek-proyek tersebut kepada bentuk kerja
sama yang melibatkan perusahaan lokal dan perusahaan asing (Daniels et al., 2015).
Tidak hanya dalam joint venture, pemerintah dapat mengimplementasikan hukum
dan regulasi khusus untuk mengatur operasi bisnis di luar negeri dari korporasi yang
berasal dari negaranya (Czinkota dan Ronkainen 2013). Lebih rinci, Wild dan Wild
(2016) menjelaskan bahwa pemerintah home country dapat mendorong ataupun
membatasi outward foreign direct investment (FDI). Untuk mendorong outward
FDI misalnya, pemerintah home country dapat: (1) menawarkan asuransi untuk
menanggung risiko investasi luar negeri; (2) memberikan pinjaman untuk korporasi
yang hendak berinvestasi ke luar negeri; (3) menawarkan keringanan pajak atas
keuntungan yang diperoleh dari luar negeri ataupun menawarkan perjanjian pajak
khusus; (4) menerapkan tekanan politik pada negara tujuan untuk melonggarkan
pembatasan atas investasi yang hendak dilakukan. Namun di sisi lain, pemerintah
home country juga dapat membatasi outward FDI, yakni dengan: (1) memberikan
pajak khusus, tepatnya menetapkan beban pajak yang lebih tinggi bagi pendapatan
yang didapat dari luar negeri dari pada pendapatan domestik; dan (2) menetapkan
sanksi yang melarang perusahaan domestik melakukan investasi di negara tertentu.
Secara khusus, Lu et al. (2014) menjelaskan bahwa korporasi dari emerging
economies umumnya mempunyai pengalaman internasionalisasi yang minim
sehingga dukungan dari home country menjadi hal yang krusial dalam proses
internasionalisasi. Pemerintah dapat memberikan informasi mengenai negara-
negara mana saja yang berpotensi untuk dijadikan lokasi investasi, hingga
menetapkan syarat-syarat tertentu untuk memberikan perlakukan istimewa terkait
pendanaan, pengumpulan pajak, pertukaran mata uang asing, bea cukai, dan
berbagai keuntungan lainnya. Perlakuan istimewa ini dapat menjadi perlindungan
tersendiri bagi korporasi, yakni sebagai kompensasi atas minimnya pengalaman
internasional dan pengetahuan tentang pasar asing dan memungkinkan perusahaan-
perusahaan ini untuk mempercepat proses internasionalisasi (Buckley, et al., 2010;
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Luo & Tung, 2007 dalam Lu et al. 2014). Terkait dukungan pemerintah dalam
internasionalisasi, Han et al. (2018) menjelaskan bahwa dukungan non-finansial
dari home country dapat meningkatkan performa anak perusahaan. Dukungan non-
finansial ini mencakup informasi, penyederhanaan proses administrasi, dan
peningkatan perlindungan diplomatik dapat secara langsung meningkatkan kinerja
anak perusahaan melalui peningkatan efisiensi dan pengurangan biaya operasional.
Hal ini dinilai penting, khususnya bagi korporasi yang baru memulai proses
internasionalisasinya.
Pemerintah host country juga berpengaruh dalam proses internasionalisasi
perusahaan. Wild dan Wild (2016) menjelaskan bahwa pemerintah host country
dapat berperan ganda dalam kaitannya dengan investasi yang dilakukan oleh
korporasi. Di satu sisi, pemerintah host country dapat mendorong terjadinya
investasi dengan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, memberikan
insentif finansial seperti pajak yang lebih rendah, atau bahkan penghapusan pajak.
Pemerintah host country juga dapat menawarkan bunga pinjaman rendah untuk
menarik perusahaan melakukan investasi. Sementara itu, di sisi lain, pemerintah
juga dapat memberikan batasan dalam proses internasionalisasi perusahaan, seperti
dengan membatasi kepemilikan perusahaan asing, pelarangan investasi di sektor
tertentu. Selain itu, pemerintah host country juga dapat menetapkan aturan dalam
operasi anak perusahaan, seperti dengan menetapkan kandungan lokal dari produk
yang hendak diproduksi, menetapkan sebagian hasil produksi yang harus diekspor,
ataupun dengan mewajibkan teknologi tertentu ditransferkan dalam bisnis lokal.
Hubungan antarnegara juga dianggap berpengaruh dalam proses internasionalisasi
korporasi. Hubungan antarnegara dalam konteks ini mengacu pada kondisi
hubungan politik yang terjalin antarnegara, yang bervariasi mulai dari kooperatif
hingga konflik (Camba, 2017). Kooperatif menunjukkan bentuk hubungan yang
positif, sedangkan konflik menunjukkan bentuk hubungan yang negatif. Dalam hal
ini, konflik dapat mendorong peningkatan maupun penurunan jumlah FDI.
Sementara itu, hubungan yang kooperatif dapat meningkatkan FDI (Hirschman,
1980 dan Gilpin, 2016 dalam Camba, 2017). Lebih lanjut, Zhang dan Hao (2018)
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
menjelaskan bahwa peningkatan dalam hubungan bilateral akan mendorong
perusahaan untuk melakukan investasi ke negara yang dituju. Peningkatan
hubungan itu sendiri dapat ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kunjungan
pejabat negara, pembentukan strategic partnership, terciptanya hubungan friendly
cities, hingga penandatanganan perjanjian investasi bilateral. Peningkatan
hubungan diplomatik ini dianggap dapat membantu operasi bisnis dengan
mengurangi transaction costs dan ketidakpastian yang dihadapi dalam bisnis.
Peran hubungan antarnegara dalam operasi bisnis perusahaan secara spesifik
ditunjukkan dalam dua bentuk hubungan, yakni hubungan politik dan hubungan
ekonomi. Terkait hubungan politik, Han et al. (2018) menjelaskan bahwa
perusahaan dapat menghadapi liability of country of origin dalam menjalankan
bisnis di tingkat internasional (Han et al., 2018). Country of origin merujuk pada
negara yang menjadi letak dari kantor pusat dari suatu perusahaan (Johansson et al.,
1995 dalam Moeller et al., 2013). Country of origin ini dapat berdampak pada
persepsi individu terhadap nilai, kegunaan, merek, organisasi yang berasal dari
negara tertentu. Apabila negara asal perusahaan mempunyai hubungan politik yang
kurang baik, maka perusahaan dapat menerima citra negatif ketika beroperasi di
negara tersebut. Berinvestasi di negara yang mempunyai hubungan baik dengan
negara asalnya dapat membantu perusahaan untuk meminimalkan citra negatif yang
diasosiasikan dengan identitas nasional mereka. Secara khusus, hal ini menjadi
penting bagi perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang sering kali mendapatkan
dukungan finansial dari pemerintah. Hubungan yang baik lantas meningkatkan
kemungkinan bagi host country untuk tidak mempermasalahkan dukungan yang
diberikan dan bahkan mau untuk bekerja sama dengan home country dalam proses
ekspansi. Hubungan politik yang baik antarnegara juga dapat mendukung operasi
perusahaan dengan mendorong pemerintah host country untuk menyediakan
informasi yang dibutuhkan terkait ekspansi sehingga dapat membantu operasi
bisnis perusahaan. Hubungan politik yang baik juga dapat menjadi risk-buffering
mechanism yang berguna untuk memproteksi operasi bisnis korporasi di host
country.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Selain hubungan politik, hubungan ekonomi antarnegara juga berperan sebagai
perangkat yang dapat membantu internasionalisasi perusahaan. Han et al. (2018)
menyebutkan bahwa perjanjian ekonomi antarnegara menjadi pelengkap bagi
dukungan non finansial dari pemerintah home government yang dapat mendorong
keberhasilan bisnis anak perusahaan. Hal ini dapat ditunjukkan perjanjian-
perjanjian ekonomi, seperti keberadaan bilateral investment treaties (BITs) dan
double taxation treaties (DTTs) (Sauvant dan Sachs, 2009 dalam Han et al. 2018).
BITs merujuk pada perjanjian yang ditandatangani dua negara terkait proteksi
terhadap investasi antara kedua negara, sedangkan DTTs merujuk pada perjanjian
antara kedua negara yang ditujukan untuk mengharmonisasikan metode kalkulasi
serta definisi subjek pajak, serta meminimalkan ketidakpastian yang dihadapi oleh
investor terkait sistem fiskal. BITs umumnya mencakup klausul yang menekankan
pada perlakuan yang sama terhadap perusahaan asing sebagaimana perlakuan
terhadap perusahaan domestik sekaligus mekanisme kompensasi apabila terjadi
nasionalisasi di kemudian hari. Sebagai salah satu dampaknya, BITs
memungkinkan perusahaan untuk mengakses pasar finansial di host country
sekaligus mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah. Sementara itu, DTTs
memberikan keuntungan berupa cost saving. Standarisasi pajak mengurangi beban
perusahaan untuk membayarkan pajak kepada dua negara sekaligus. DTTs juga
memperjelas isu-isu perpajakan seperti pembebasan pajak untuk proyek spesifik
tertentu ataupun mekanisme sengketa antara perusahaan dengan biro pajak host
country (Han et al., 2018). Dengan demikian, jelas bahwa hubungan antara
pemerintah home dan host country dapat memengaruhi internasionalisasi yang
dilakukan oleh perusahaan.
1.5.5. Marketing Mix
Marketing mix dapat dikatakan sebagai salah satu strategi marketing yang populer
dalam bisnis. Marketing mix itu sendiri merupakan bentuk kombinasi antara
berbagai variabel keputusan pemasaran yang dapat digunakan oleh perusahaan
untuk memasarkan produk dan jasanya (Singh 2012). Dalam hal ini, marketing mix
menawarkan kombinasi optimal dari semua aspek pemasaran sehingga perusahaan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
dapat mewujudkan tujuannya, seperti meningkatkan laba, volume penjualan,
market share, dan lain sebagainya. Penentuan proporsi yang tepat merupakan hal
yang penting dalam marketing mix. Grönroos (1994 dalam Goi 2009) menyatakan
bahwa setiap komponen dalam marketing mix pada dasarnya penting karena dapat
menentukan competitive position dari sebuah perusahaan.
Dalam analisis ini, analisis penulis fokus pada keempat elemen dalam marketing
mix yang diungkapkan oleh McCarthy (1953), atau yang dikenal sebagai 4Ps (Goi,
2009). Elemen yang pertama adalah produk. Singh (2012) menjelaskan bahwa
produk merupakan elemen kunci dalam marketing mix. Produk dapat berupa
barang, jasa ataupun gabungan dari keduanya yaitu barang dan jasa (Akgun et al.,
2014). Dalam konteks pemasaran internasional, elemen ini menekankan bahwa
perusahaan multinasional pada dasarnya perlu untuk memperhatikan kesesuaian
antara karakteristik produknya dengan pasar yang hendak dituju. Menurut Akgun
et al. (2014), perusahaan multinasional mempunyai dua pilihan dalam memasarkan
produknya, yakni antara melakukan adaptasi ataupun dengan melakukan
standardisasi. Adaptasi dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan kebijakan
pemerintah, perbedaan budaya, dan kebiasaan pelanggan. Sementara itu,
standardisasi pada dasarnya memberikan keuntungan tertentu bagi perusahaan
yakni dengan memungkinkan adanya efisiensi budaya dan membentuk citra produk
yang lebih tinggi. Elemen yang kedua adalah price atau harga, berkaitan dengan
jumlah yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk mendapatkan produk yang
diinginkan (Singh, 2012). Terdapat berbagai faktor yang perlu diperhatikan dalam
penentuan harga, di antaranya adalah biaya produk, biaya terkait pemasaran dan
distribusi, biaya iklan, biaya-biaya lainnya (Singh, 2012). Lebih lanjut, Akgun et
al. (2004) menyatakan bahwa penentuan harga perlu memperhatikan tidak hanya
keuntungan dan biaya, tetapi juga perbandingan terhadap kompetitor dan
kesesuaian dengan pasar yang hendak dituju (Akgun et al., 2014).
Elemen selanjutnya adalah promosi. Jackson dan Ahuja (2016) menjelaskan bahwa
promosi merupakan aktivitas pemasaran yang dilakukan perusahaan untuk
menyebarkan informasi dan memengaruhi pasar sasaran agar mengetahui,
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
membeli, dan menjadi konsumen loyal atas produk yang ditawarkan perusahaan
tersebut. Dalam hal ini, perusahaan berusaha untuk menciptakan dan
mengembangkan citra perusahaan dalam pasar (Singh, 2012). Elemen ini mencakup
iklan, promosi penjualan atau sales promotion, penawaran spesial atau special
offers, ataupun hubungan masyarakat atau public relations. (Akgun et al., 2014).
Elemen promosi lantas perlu diperhatikan dengan baik karena hal ini merupakan
instrumen penting dalam menentukan posisi produk maupun perusahaan dalam
pasar serta menentukan bagaimana perusahaan dapat bertahan di tengah persaingan
bisnis. Tidak hanya itu, elemen promosi juga perlu disusun secara matang karena
elemen ini membutuhkan biaya yang akan menjadi pertimbangan dalam penentuan
harga produk. Elemen yang terakhir adalah place atau tempat. Elemen ini dapat
dipahami sebagai mekanisme yang dilakukan perusahaan agar produknya dapat
dijangkau oleh konsumen (Singh, 2012). Hal ini mencakup saluran distribusi,
fasilitas pergudangan, moda transportasi, dan manajemen pengendalian inventaris
yang menghubungkan proses produksi suatu produk hingga produk tersebut sampai
ke tangan konsumen. Pada intinya, elemen tempat berkaitan dengan bagaimana
perusahaan mengelola supply chain dan logistik secara baik. Hal ini menjadi
penting karena berhubungan dengan efisiensi distribusi produk kepada konsumen,
yang selanjutnya berpengaruh besar terhadap profitabilitas perusahaan (Singh,
2012). Keempat elemen dalam marketing mix tersebut pada dasarnya berkaitan satu
sama lain. Maka dari itu, komposisi dari masing-masing elemen dalam strategi
marketing mix perlu disusun secara tepat. Sebagai mana telah dijelaskan
sebelumnya, strategi marketing mix yang tepat dapat membantu perusahaan dalam
mencapai posisi kompetitifnya dalam sebuah pasar.
Adapun kelima kerangka pemikiran di atas dapat digambarkan seperti pada bagan
1.1. berikut.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Bagan 1.1. Penggambaran Kerangka Pemikiran
1.6. Argumen Penelitian
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, penulis berargumen bahwa keberhasilan
Wuling Motors di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penerapan bring-in dan go-
out approach sebagai strategi internasionalisasi. Penerapan bring-in approach
ditunjukkan dalam pembentukan joint venture dalam proses pendirian induk
perusahaan Wuling Motors, yakni SGMW. Sementara itu, penerapan go-out
approach dilakukan dengan membangun WOS di Indonesia. Dalam prosesnya,
penerapan strategi tersebut tidak dapat dipisahkan dari peran pemerintah baik
pemerintah Tiongkok maupun pemerintah Indonesia dalam pembentukan joint
venture, proses ekspansi, hingga dalam pembentukan comprehensive strategic
partnership dengan pemerintah Indonesia. Strategi internasionalisasi Wuling
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
Motors juga dilengkapi dengan penggunaan strategi pemasaran yang menyesuaikan
dengan kondisi pasar otomotif di Indonesia.
1.7. Ruang Lingkup dan Jangkauan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah rentang waktu antara tahun 2017 hingga tahun
2019. Tahun 2017 dipilih sebagai batas ruang lingkup penelitian karena merupakan
saat pertama kali Wuling Motors memasuki pasar otomotif Indonesia. Sementara
itu, tahun 2019 dipilih karena data-data terkait penelitian ini secara umum baru
tersedia untuk tahun tersebut sedangkan untuk tahun berikutnya masih minim
tersedia. Namun demikian, penulis juga menggunakan data lain di luar jangkauan
penelitian untuk mendukung argumen penulis dalam penelitian ini.
1.8. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif yang bertujuan untuk menjelaskan
fenomena keberhasilan Wuling Motors dalam memasuki pasar otomotif Indonesia.
Penjelasan dilakukan dengan menjabarkan strategi internasionalisasi yang
digunakan Wuling Motors dalam memasarkan produknya di Indonesia sehingga
berhasil menjadi sepuluh besar perusahaan otomotif dengan penjualan terbanyak di
tahun 2019.
1.9. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder. Adapun yang
dimaksud dengan sumber primer dalam penelitian ini adalah dokumen dan
publikasi resmi pemerintah Indonesia maupun Tiongkok, dokumen dan publikasi
resmi Wuling Motors. Sementara itu, yang dimaksud dengan sumber-sumber
sekunder adalah buku, jurnal, artikel-artikel dalam buku, majalah, surat kabar,
working papers, dan publikasi yang dilakukan oleh think tank dan institusi yang
kredibel, serta referensi lainnya yang mempunyai korelasi dengan topik penelitian.
Untuk membuktikan argumen dan menjawab rumusan masalah dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan teknik analisis kualitatif yang menekankan pada
interpretasi penulis terkait dengan sumber-sumber data yang telah didapat.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29 TESIS STRATEGI INTERNASIONALISASI WULING... YANUAR ALBERTUS
1.10. Sistematika Pembahasan
Pembahasan mengenai hasil penelitian dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama
berisi pendahuluan yang di dalamnya menjelaskan latar belakang masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, argumen penelitian
hingga metode analisis yang digunakan penulis. Bab selanjutnya menjelaskan
bagaimana kondisi pasar otomotif Indonesia, untuk memberikan gambaran
mengenai kondisi yang dihadapi oleh Wuling Motors. Bab ketiga menjelaskan
tentang penerapan bring-in dan go-out approach oleh SGMW, selaku induk
perusahaan Wuling Motors, sekaligus peran pemerintah Tiongkok maupun
Indonesia di dalamnya. Bab keempat menjelaskan tentang penerapan marketing mix
oleh Wuling Motors Indonesia, yang di dalamnya mencakup empat elemen yakni
harga, produk, place, dan promosi. Bab kelima berisi tentang kesimpulan dari
penelitian ini yang mencakup temuan penting dalam penelitian, konfirmasi atas
argumen penelitian, serta prospek untuk penelitian di masa depan.