bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdf · anak sebagai makhluk tuhan yang maha esa dan...

38
1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum dimana setiap tingkah laku manusia di dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara diatur dengan hukum. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, yang memuat norma atau kaidah hukum yang bersifat mendasar yang menjadi landasan bagi pembentukan dan penyelenggaraan Negara Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut asas bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, ketentuan ini merupakan amanat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensip tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, 1

Upload: danganh

Post on 12-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum dimana setiap tingkah

laku manusia di dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara diatur dengan

hukum. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, yang memuat norma

atau kaidah hukum yang bersifat mendasar yang menjadi landasan bagi

pembentukan dan penyelenggaraan Negara Republik Indonesia. Negara Kesatuan

Republik Indonesia menganut asas bahwa “segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, ketentuan ini merupakan

amanat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.

Lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensip tentang

perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan

dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

2

serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi berdasarkan pula

dengan Pasal 65 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia juga menegaskan bahwa “setiap anak berhak untuk memperoleh

perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,

perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika,

psikotrapika, dan zat adiktif lainnya”.

Perempuan dan anak-anak yang dalam pandangan berbagai pihak

merupakan pihak yang lemah, perlu mendapat perlindungan yang pantas dan

layak, hal ini disebabkan karena tidak sedikit kasus kejahatan menyebabkan

perempuan menjadi korban kejahatan terutama dalam kasus kekerasan seksual

atau yang lebih sering dikenal dengan perkosaan.

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak

dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta

mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat bangsa dan

negara. Oleh karena itu tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas

hak atas hidup dan merdeka tersebut.

Perlindungan terhadap anak perlu mendapat perhatian serius, oleh karena

acapkali anak menjadi korban pemerkosaan sebagaimana yang diperlihatkan di

Kabupaten Gowa Sulawesi seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri

yang duduk di kelas V SD (Sekolah Dasar). Salah satu peristiwa ini

menunjukkan betapa banyaknya anak menjadi korban kekerasan seksual dan

dapat dikatakan bahwa sudah ada pada taraf yang mengkhawatirkan. Maraknya

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

3

kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur seolah telah menjadi sebuah

fenomena bahkan „tren‟. Kasus demi kasus mulai terkuak ke publik, entah pelaku

atau korbannya adalah anak di bawah umur.1

Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara

memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, oleh karena

itu masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius.2 Pentingnya

perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari

dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and

Abuses of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai hasil dari The

Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment

of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, Sepetember 1985, dalam salah

satu rekomendasinya disebutkan: “Offenders or third parties responsible for their

behaviour should, where appropriate, make fair restitution to victims, their

families or dependents. Such restitution should include the return of property or

payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a

result of the victimization, the provision of services and the restoration of rights”.

(Pelaku atau mereka yang bertangung jawab atas suatu perbuatan melawan

hukum, harus memberi restitusi kepada korban, keluarga atau wali korban.

Restitusi tersebut berupa pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang

1 http://www.harianorbit.com/fenomena, “perkosaan-pada-anak-di-bawah-umur”, 2013-05-

13T14:07:23 2 Didik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

Antara Norma dan Realita, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 23

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

4

diderita korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya sehingga

menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan Undang-Undang sebagai

bentuk pelayanan dan pemenuhan atas hak).

Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang

diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan pada korban

kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal ini menunjukkan bahwa

perlindungan terhadap korban memperoleh perhatian yang serius tidak hanya dari

masing-masing negara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindungan

terhadap korban dengan memberikan restitusi, sehingga korban mendapatkan

ganti kerugian atas apa yang telah dideritanya.

Perlindungan terhadap korban perkosaan membutuhkan partisipasi

masyarakat yang berempati terhadap apa yang telah dialaminya, sehingga

memenuhi rasa kemanusiaan seperti yang tertuang dalam Pancasila sila ke-2 yang

berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang memuat butir-butir nilai

kemanusiaan yang adil dan beradab yang antara lain sebagai berikut:

1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

2. Mengakui persamaan hak, persamaan derajat dan persamaan kewajiban asasi

setiap manusia, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis

kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.

3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

5

4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposliro.

5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Perlindungan terhadap korban juga bertujuan untuk memenuhi rasa

keadilan dalam masyarakat seperti yang tertuang dalam Pancasila sila ke-5 yang

berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang memuat butir-

butir nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berikut ini:

1. Mengembangkan perbuatan yang luhur mencerminkan sikap dan suasana

kekeluargaan dan kegotong royongan.

2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.

3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

4. Menghormati hak orang lain.

5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.

Jika dikaitkan dengan perlindungan terhadap korban tindak pidana

perkosaan adalah bahwa memberi perlindungan kepada korban adalah sebagai

salah satu perwujudan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 (empat) yang berbunyi,

“.....melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.......”, yang juga diatur dalam Pasal 28D

(1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

6

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum”.

Perlunya perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak

lepas dari akibat yang dialami korban setelah perkosaan yang dialaminya.

Maraknya kejahatan kesusilaan dewasa ini berkenaan dengan “Behaviour in

relation sexual matter” biasanya berbentuk pencabulan baik yang dilakukan oleh

sepasang orang dewasa atau sesama orang dewasa maupun dengan anak dibawah

umur. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak merasa bahwa anak-anak dapat

menjadi salah satu sasaran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Hal ini

dipengaruhi oleh pendapat bahwa anak-anak tidak cukup mampu untuk mengerti

bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana atau anak-anak tidak mempunyai

keberanian untuk menolak keinginan pelaku.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak paling banyak menimbulkan

kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan,

maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas,

juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang

umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.3

Karakteristik model kejahatan dengan kekerasan adalah agresivitas atau

apa yang dinamakan "assaultive conduct"4 kekeransan terhadap perempuan,

ditenggarai berakar dari sistem tata nilai yang memposisikan perempuan sebagai

kaum lemah dibandingkan laki-laki, sehingga sudah sepantasnya peran laki-laki

3 Leden Marpaung, 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta,

Sinar Grafika, hal. 81 4 Romli Atmasasmita, 1992. Teori dan kapitaselekta Kriminologi. Bandung. Hal 57

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

7

lebih dominan dibandingkan perempuan. Konsep demikian, memunculkan

suatu asumsi kontroversial mengenai causa perkosaan, yakni kasus perkosaan

merupakan efek dari praktek budaya patriarki. Pola pikir masyarakat, bahwa

kaum wanitalah yang bersalah dalam terjadinya perkosaan, makin memojokkan

kaum perempuan yang sudah dalam posisi kurang memperoleh perhatian.

Pemerkosaan pada hakikatnya merupakan bentuk kekerasan primitif yang

terdapat pada masyarakat manapun. Kekerasan seksual merupakan suatu istilah

yang menunjuk pada perilaku seksual derivatif atau hubungan seksual yang

menyimpang. Salah satu praktek seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk

kekerasan seksual (sexual violence) yakni praktek hubungan seksual yang

dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah.

Hubungan seksual yang dipaksakan merupakan bentuk kekerasan yang

mencerminkan bahwa kekuatan fisik laki-laki merupakan faktor alamiah yang

lebih hebat dibandingkan perempuan. Laki-laki tampil menjadi semacam

kekuatan yang bercorak represif yang menempatkan perempuan sebagai

korbannya. Kekuatan laki-laki yang lebih unggul daripada perempuan telah

disalahgunakan untuk melecehkan, menindas dan menodai hak-hak asasi

perempuan. Perempuan akhirnya menduduki posisi sebagai subordinasi

kebutuhan seksual laki-laki. 5

Tidak dapat dipungkiri, bahwa didalam kasus-kasus yang menyangkut

masalah perkosaan dapat terungkap atau tidaknya tentunya sangat bergantung

kepada partisipasi korban untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Banyak kasus yang tidak terungkap diakibatkan karena korban tidak mau

melaporkan, karena rasa malu dan diketahui keluarga atau orang lain, juga

adanya pemikiran pada si korban bahwa ia tidak akan memperoleh apa yang

diharapkan, yakni perlindungan hukum, bahkan dalam proses pemeriksaan di

pengadilan tak pelak lagi korban akan menjadi korban proses peradilan pidana

5 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan

Seksual (Advokasi atas hak-hak perempuan). Bandung, hal. 46

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

8

(viktimisasi). Korban menjadi orang yang terlupakan, setelah proses peradilan

pidana telah berhasil membuktikan kesalahan terdakwa dan terdakwa dijatuhi

pidana oleh hakim, padahal dampak kekerasan seksual yang dialaminya sangat

mempengaruhi perkembangan kejiwaannya, bahkan mungkin trauma

berkelanjutan.

Korban perkosaan, tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tetapi anak-

anakpun tak pelak lagi dapat menjadi korban perkosaan. Konsep-konsep

pemikiran tentang perlindungan hukum anak sebagai korban perkosaan, tentunya

tidak dapat dilepaskan dengan filosofi anak sebagai bagian dari generasi muda,

sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus

cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang akan datang, yang memiliki peran

strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan

perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,

mentaldan sosial secara seimbang.6

Perkosaan merupakan persoalan yang semakin banyak terjadi namun

sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana atau yang sering disebut KUHP seolah-olah tidak mampu

lagi digunakan untuk menegakkan hukum bagi para pelaku kejahatan terutama

perkosaan. Pasal-pasal yang dimuat di dalam KUHP tidak menjawab kebutuhan

sesungguhnya dari para korban perkosaan pada hal para korban merupakan pihak

yang sangat dirugikan baik itu secara fisik maupun psikis. Di Indonesai secara

umum kasus perkosaan semakin hari semakin meningkat bahkan tak jarang

perkosaan terjadi di dalam lingkungan keluarga bahkan kini pelaku perkosaan

maupun korbannya adalah anak dibawah umur tentunya ini menjadi suatu

6 I Gusti Ketut Ariawan, Perlindungan Hukum terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan

Seksual, Majalah Ilmu Hukum Kerta Wicaksana Volume 18 Nomor 2 Juli 2012, hal. 228

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

9

masalah yang sangat perlu untuk diperhatikan secara serius. Dari kasus

perkosaan sendiri akan memunculkan masalah baru yang tak kalah penting yaitu

prostitusi sebagai akibat dari lemahnya penegakkan hukum bagi pelaku serta

kurangnya perhatian pemerintah kepada korban perkosaan. Tindak pidana

perkosaan sering terjadi akibat lemahnya penegakan hukum pidana matriil.

Dari penyataan diatas maka alasan penulis sebagai berikut bahwa ada

banyak kasus yang terjadi di dalam masyarakat yang tidak sampai ke ranah

hukum dengan alasan malu ataupun takut dengan ancaman pelaku. Fenomena

kejahatan seksual menunjukkan dunia yang aman bagi anak semakin sempit dan

sulit kita temukan. Anak-anak ternyata tidak aman dari berbagai ancaman

kejahatan termasuk kejahatan seksual. Pelindungan hukum yang diberikan negara

belum mampu melindungi anak dari ancaman kejahatan seksual. Selain itu,

minimnya publikasi, perhatian serta upaya pencegahan dari banyak pihak

menghambat penyelesaian kasus kejahatan seksual. Hingga kini, dibandingkan

dengan pemberitaan seputar politik, tema-tema mengenai pelindungan anak

masih tersubordinasi. Padahal kasus kejahatan terhadap anak, terutama kejahatan

seksual terus meningkat setiap tahun.

Lemahnya Penegakan Hukum Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa ”setiap anak berhak

untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat pelindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Namun, kenyataannya setiap tahun jumlah kasus

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

10

kejahatan seksual anak terus meningkat. Ironisnya, kejahatan seksual yang

dialami anak-anak mayoritas terjadi di lingkungan sosial anak seperti rumah,

sekolah, panti, tempat kerja maupun di tengah komunitas mereka. Demikian juga

pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi anak, yaitu orang tua,

pengajar, saudara, tetangga, bahkan oknum penegak hukum.

Negara kita telah memiliki peraturan perundangan-undangan tentang

perlindungan anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak (UUPA) yang dengan jelas mengatur tentang pelindungan

anak dari berbagai ancaman. Namun, dalam impelementasi UUPA belum efektif

melindungi anak.

Hukuman maksimal 15 tahun penjara jarang diberikan. Kesulitan

membawa kasus-kasus kejahatan seksual pada anak ke ranah hukum adalah

lemahnya sistem perundangan-undangan, dimana keterangan korban di bawah

umur tidak diakui dalam sistem perundangan-undangan kita.

Sistem Peradilan Pidana yang selama ini berlaku, sebagaimana tergambar

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana selanjutnya disingkat KUHAP adalah potret betapa

instrument hukum pidana yang telah kita miliki kurang mampu diharapkan untuk

mengawal penegakan hukum pidana materiil. Kelemahan mendasar yang tampak

sekali dari KUHAP adalah hak-hak korban kejahatan dalam proses penanganan

perkara pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa maupun akibat yang

harus ditanggung oleh korban kejahatan yang harus diperhatikan kemungkinan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

11

mendapatkan perlindungan hukum akan hak-haknya sebagai korban kejahatan

terutama terhadap korban perkosaan yang menderita baik secara fisik maupun

psikis, tidak mendapat pengaturan yang memadai.

Perkosaan sendiri menurut Pasal 285 KUHP bahwa “barang siapa dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan

dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana

penjara dua belas tahun”. Dari pasal ini, dapat dikatakan bahwa unsur pokok dari

perkosaan ini adalah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dalam

melakukan persetubuhan dengan seorang wanita.

Terhadap hak-hak selama ini yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981

adalah hak-hak tersangka/terdakwa, sedangkan hak-hak korban kurang mendapat

perhatian yang memadai. Bila diteliti, di dalam KUHAP lebih banyak mengatur

hak-hak tersangka dan terdakwa. Untuk hak-hak korban (victim) pengaturannya

tidak secara tegas dan tidak sebanyak hak-hak tersangka atau terdakwa.

Kemungkinan hal ini disebabkan pihak korban kejahatan/tindak pidana sudah

diwakili oleh negara (penyidik dan penuntut umum).

Dalam proses penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu pada

hukum pidana dan acara pidana, negara melalui organ-organnya mempunyai hak

atau kewenangan untuk menjatuhkan pidana (ius puniendi). Di sini jika terjadi

tindak pidana, maka terhadap pelakunya akan ditindak melalui proses peradilan

dengan memberi sanksi pidana. Korban tindak pidana dan masyarakat secara

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

12

otomatis diwakili oleh negara dengan cara mengadili dan menjatuhkan pidana

yang setimpal dengan perbuatan terdakwa.

Terlihat bahwa korban (victim) kejahatan/tindak pidana tidak dapat

langsung mengambil haknya, tanpa melalui proses hukum. Inilah konsekuensi

negara hukum, penyelesaian hak-hak korban juga melalui proses hukum. Ketika

korban langsung meminta atau mengambil (paksa) hak dari tersangka atau

terdakwa dapat disebut pemerasan, balas dendam atau sebagai main hakim

sendiri (eigen riechting). Pada awal proses pidana tertentu yang bersangkutan

melakukan/membuat laporan atau pengaduan. Pelaku tindak pidana selanjutnya

diproses melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, putusan

dan pelaksanaan putusan pengadilan.

Dalam proses tersebut, korban dapat menjadi saksi yang biasanya

memberatkan terdakwa, sebenarnya berdasarkan Pasal 98 sampai dengan Pasal

101 KUHAP, pihak korban dan orang lain yang dirugikan dapat menuntut ganti

kerugian, tetapi dalam praktik tidak efektif diterapkan. Mekanisme tuntutan ganti

kerugian, tentu saja harus sesuai dengan ketentuan KUHAP, peraturan

pelaksanaannya, dan perundangan lainnya.

KUHAP mengatur hak-hak korban tidak sebanding dengan jumlah hak-

hak tersangka/terdakwa namun demikian dalam perkembangan dewasa ini,

perhatian terhadap korban terlihat cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari

beberapa regulasi-regulasi atas hak-hak korban, saksi dan juga hak-hak

masyarakat akibat adanya reformasi, globalisasi dan demokratisasi.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

13

Diberikannya perlindungan hukum yang cukup pada korban perkosaan

perlu memperoleh perhatian serius. Masalah perlindungan dan hak asasi manusia

dalam kaitannya dengan penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan

pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam

kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang

memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Korban perkosaan yang pada

dasarnya merupakan pihak yang paling menderita justru tidak memperoleh

perlindungan. Akibatnya, pada saat pelaku perkosaan telah dijatuhi sanksi pidana

oleh pengadilan, kondisi korban perkosaan seperti tidak diperdulikan sama sekali

padahal masalah keadilan dan penghormatan harusnya berlaku terhadap korban

perkosaan. Dalam penanganan perkara pidana khususnya kasus perkosaan,

kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain

sebagai saksi yang mengetahui terjadinya kasus perkosaan juga karena

kedudukan korban sebagai subyek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di

hadapan hukum.

Dalam kehidupan nyata, sering terlihat bagaimana hak asasi manusia

terutama anak korban perkosaan dilanggar, baik oleh individu maupun

kelompok. Lahirnya beberapa Undang-Undang, diharapkan mampu mengatasi

kebutuhan masyarakat terutama bagi anak korban kejahatan khususnya korban

perkosaan untuk mendapatkan keadailan. Kerena pelanggaran mengakibatkan

munculnya ketidakseimbangan dalam diri anak korban (keluarganya), seperti

ketidakseimbangan dari aspek fisik yang mengakibatkan korban berhenti

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

14

beraktivitas, aspek psikis, yang mewujudkan munculnya

kegoncangan/ketidakstabilan psikis akibat baik temporer maupun permanen dari

korban. Agar korban dapat pulih kembali pada keadaan semula, maka harus

ditempuh berbagai upaya pemulihan secara finansial, medis dan psikis. Ternyata

bahwa undang-undang tidak memberikan perlindungan hukum terhadap anak

korban perkosaan di bawah umur secara baik, ini dapat di lihat pada Pasal 5, 6

dan 7 dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 di mana bentuk-bentuk

perlindungan untuk bantuan psiko sosial tidak termasuk korban perkosaan

(hanya untuk HAM berat saja)

Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan :

(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. kut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. mendapat identitas baru;

j. mendapatkan tempat kediaman baru;

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau

Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan

LPSK.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

15

Sementara itu Pasal 6 ”Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk

mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.”

Selanjutnya Pasal 7

(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang

berat;

b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku

tindak pidana.

(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam konteks perlindungan terhadap anak korban perkosaan, adanya upaya

preventif maupun repretif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun

pemerintah (melalui aparat penegak hukum) seperti pemberian

perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan

nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai,

proses pemeriksaan dan peradilan yang baik terhadap pelaku perkosaan, pada

dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia

serta instrument penyeimbang.

Namun demikan uraian di atas merupakan bahwa anak sebagai korban

perkosaan belum memperoleh perlindungan yang memadai dalam ketentuan

hukum Indonesia oleh karena itu ada masukan untuk di teliti lebih lanjut lagi.

1.2. Rumusan Masalah

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

16

Dengan bertitik tolak dari paparan latar belakang pemikiran tersebut di

atas, dapat diidentifikasi permasalahan-permasalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak korban

pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana ?

b. Bagaimana upaya untuk meningkatkan perlindungan hukum terhadap anak

korban pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana ?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadp anak

korban pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana

1.4. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian tentang perlindungan terhadap korban perkosaan

maka, manfaat yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu hukum

secara khusus sistem peradilan pidana di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap sub sistem peradialan

pidana di Indonesia yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan (Hakim)

dan Lembaga Pemasyarakatan, dan Advocat.

1.5. Originalitas Penelitian

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

17

Setelah penulis melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap judul

yang akan dikaji dalam penulisan ini terlebih dahulu penulis melakukan

pencaharian terhadap tulisan-tulisan baik Skripsi, Tesis dan Disertasi lainnya

yang merupakan kemiripan dari judul penulisan ini ternyata berbeda dengan

judul penelitian ini, sehungga penelitian ini masih bersifat original. Sesuai

dengan penelusuran yang telah dilakukan peneliti hanya mendapatkan dua

penulisan yang membahas mengenai perlindugan saksi dan korban perkosaan,

namun dari sisi pembahasan dan analisis kedua tesis tersebut berbeda dalam ojek

kajiannya.

Dari hasil pengkajian kedua penulis tersebut sebagai berikut : Penulis

pertama Saudara Johan Runtu dari UNSRAT Manado; (Studi S2 Ilmu Hukum)

Dengan Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana

Perkosaan Dalam Peradilan Pidana; Dengan Rumusan Masalah sebagai berikut :

(1). Apa ide dasar perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana

perkosaan? (2). Upaya apa yang dapat dilakukan untuk memberikan

perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan?

Penulis kedua Saudari Ira Dwiati dari UNDIP Semarang; (Studi S2 Ilmu

Hukum) Dengan Judul : Implementasi Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Pasal 98

KUHAP Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Di Wilayah Hukum Semarang;

Dengan Rumusan Masalah sebagai berikut : (1). Bagaimana Implementasi

Tuntutan Ganti Kerugian dalam pasal 98 KUHAP terhadap Tindak Pidana

Pemerkosaan senyatanya (riilnya atau yang berlaku saat ini berdasarkan hukum

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

18

Positif) di wilayah hukum Semarang ? (2). Bagaimana Implementasi Tuntutan

Ganti Kerugian dalam pasal 98 KUHAP terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan

yang seharusnya (ideal atau yang berlaku dimasa yang akan datang berdasarkan

hukum masa depan) di wilayah hukum Semarang ?

Dari kedua sumber bahan hukum sekunder (berupa tulisan para sarjana)

apabila dikaitkan dengan judul secara singkat dapat penulisan uraikan bahwa

perlindungan dari sisi landasan yuridis tidak terdapat persamaan dalam analisis

penelitiannya, secara yuridis pengkajian kedua penulis dari segi aspek

substansial/material dan aspek formal/prosedural tidak sama. Isu sentral dari

kedua penulis yaitu tentang perlindungan terhadap korban perkosaan dari

implementasinya di dalam KUHP. Hasil penelitian menunjukan bahwa undang-

undang belum memberikan kepastian hukum dalam penerapannya dilapangan,

secara khusus apa dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

secara garis besar dapat penulis gambarkan dalam penelitian ini adalah

menyangkut tugas dan wewenang dari aparat penegak hukum dalam memberikan

pelindungan terhadap hak dan kewajiban korban perkosaan sesuai dengan apa

yang terkandung dalam Undan-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

Kita ketahui bahwa dalam memberikan perlindingan kepada korban

perkosaan selama ini adalah bentuk perlindungan tertentu kepada korban

perkosaan tetapi tidak merupakan bagian integral dari perlindungan hukum bagi

masyarakat. "seperti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

19

Saksi dan Korban, tetapi ditujukan kepada korban perkosaan dalam keadaan

tertentu atau luar biasa saja, sedangkan korban perkosaan dalam keadaan biasa

belum diatur," Hal inilah yang menyebabkan kekosongan norma, meskipun

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 telah berlaku, namun masih terjadi

kekosongan hukum (wet vacuum) di Indonesia terhadap norma-norma pengaturan

perlindungan hukum terhadap hak-hak korban perkosaan dalam keadaan biasa.

Indonesia sebagai negara demokrasi, kekosongan hukum tersebut tidak searah

dengan negara-negara demokrasi lainnya, bahkan tidak sesuai dengan Sila ke 2,

4, dan 5 Pancasila. Kekosongan hukum tersebut perlu memperoleh prioritas

utama untuk diisi dengan menyisipkan pada ketentuan pasal 98 KUHAP

mengenai kedudukan korban perkosaan tentang wajib atau tidaknya hadir di

persidangan, dan hak-hak korban perkosaan, baik dalam keadaan tertentu

maupun dalam keadaan biasa untuk memperoleh restitusi atau ganti rugi dari

pelaku perkosaan, dan apabila pelakunya tidak mampu membayar, maka

kewajiban negara untuk memberikan kompensasi kepada semua korban

perkosaan untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

1.6. Landasan Teoritis

Pada umumnya setiap penelitian yang baik selalu menggunakan teori.

Menurut Fred Kerlinger dalam The Liang Gie, sebuah teori adalah seperangkat

pengertian (konsep), defenisi, dan proposisi yang saling berkaitan yang

menyajikan sebuah pandangan sistematik antara variabel-variabel dengan tujuan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

20

menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena itu7. Cooper dan Schindler,

mengemukakan bahwa, teori adalah seperangkat konsep, defenisi dan proposisi

yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan

meramalkan fenomena8. Bertolak dari kedua pandangan di atas maka penulis

mengemukakan beberapa teori dan konsep yang digunakan untuk membahas

obyek penelitian dengan Judul : “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai

Korban Pemerkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana”.

Landasan teoritis dimaknai pula sebagai upaya untuk mengidentifikasi

teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum dan lain-lainnya yang akan

dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai

landasan untuk membahas ilmu hukum yang bersifat consensus yang diperoleh

dari rangkaian upaya penelusuran.9 Penelitian ini mempergunakan landasan

teoritis sebagai alat untuk menganalisa konsep, teori, pandangan/pendapat para

sarjana sebagai pembenaran teoritis. Dalam hal pengkajian dan pembahasan

Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Perubahan

Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang

sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan

tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus

7 Gie, Liang The, 2004, “Pengantar Filsafat Ilmu,”, Liberty, Yogyakarta, hal. 145

8 Sugiyono, 2005, “Memahami Penelitian Kualitatif”, Alfabeta, Bandung, hal. 41.

9 Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 8

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

21

dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan

politik ataupun ekonomi. Karena itu, istilah yang biasa digunakan dalam bahasa

Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah „the rule of law, not of

man‟. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem,

bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai „wayang‟ dari skenario

sistem yang mengaturnya.10

Dengan keberadaan sebagai negara hukum

(rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat) maka ada berbagai

konsekuensi yang melekat pada negara sebagaimana yang dikemukakan oleh

Philipus M. Hadjon,11

konsep hukum.

Tindak pidana perkosaan dapat digolongkan ke dalam bentuk kejahatan

dengan kekerasan, karena biasanya tindak pidana ini disertai dengan

kekerasan/ancaman kekerasan. Menurut Soerjono Soekanto yang dikutip oleh

Mulyana W. Kusuma, penyebab terjadinya kejahatan dengan kekerasan adalah:

a. Adanya orientasi pada benda yang menimbulkan keinginan untuk mendapat

materi dengan jalan mudah.

b. Tak ada penyaluran kehendak serta adanya semacam tekanan mental pada

seseorang.

c. Keberanian mengambil resiko.

10

http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf 11

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, Bina

Ilmu, hal. 21

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

22

d. Kurangnya perasaan bersalah dan adanya keteladanan yang kurang baik12

.

Kekerasan terhadap perempuan menurut kesepakatan Internasional

adalah:

“Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang

mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik,

seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan,

perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan

umum atau dalam kehidupan pribadi”13

.

Kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan menghalangi atau

meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan

kebebasan mereka14

.

Dalam tindak pidana perkosaan, yang paling menderita adalah korban.

Menurut Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and

Abuses of Power mendefinisikan korban sebagai berikut:

“Victims” means persons who, individually, or collectively, have suffered harm,

including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or

substantial impairment of their fundamental rights, through acts or ommisions

that are in violation of criminal laws operative within Member States, including

those laws proscribing criminal abuse of power.

(Korban kejahatan diartikan sebagai orang yang secara perseorangan atau

bersama-sama, menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,

penderitaan emosional, kerugian ekonomis atau pelemahan substansial dari hak-

hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran

terhadap hukum yang berlaku di negara-negara anggota termasuk hukum-hukum

yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat pidana).

12

Mulyana W. Kusuma, 1982, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan

Kekerasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 41 13

Lihat Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Diadopsi oleh Majelis Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993, GA Res 48/104), Pasal 1 14

Saparinah Sadli, 2001, Beberapa Catatan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan di

Indonesia, (Jakarta, Makalah Program Studi Kajian Wanita PPS-UI), hal. 23

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

23

Dalam kasus tindak pidana perkosaan yang sering menjadi korban adalah

anak-anak, gadis, perempuan dewasa, termasuk golongan lemah mental, fisik dan

sosial yang peka terhadap berbagai ancaman dari dalam dan dari luar

keluarganya. Ancaman kekerasan dari luar keluarganya, rumahnya seringkali

dapat dihalau, karena dapat dilihat oleh sekelilingnya. Tetapi ancaman kekerasan

di dalam rumah yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri sering susah dapat

dilihat oleh orang luar. Pada umumnya yang mengalami kekerasan adalah istri,

ibu, anak perempuan, pembantu rumah tangga perempuan. Mereka seringkali

tidak berani melapor antara lain karena ikatan-ikatan keluarga, nilai-nilai sosial

tertentu, nama baik tertentu dan kesulitan-kesulitan yang diperkirakan akan

timbul apabila yang bersangkutan melapor15

.

Tindak pidana perkosaan yang banyak terjadi dalam realita kehidupan sehari-hari

mengakibatkan dalam diri perempuan timbul rasa takut, was-was dan tidak aman.

Apalagi ditunjang dengan posisi korban yang seringkali tidak berdaya dalam proses

peradilan pidana. Artinya, derita korban tidak dijembatani oleh penegak hukum.

1.6.1. Sistem Peradilan Pidana

Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban

tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya

ketentraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang

sekarang lebih populer disebut “stabilitas nasional”. Kepentingan

15

Arif Gosita, 1985, Victimisasi Kriminal Kekerasan, edisi II, Jakarta, Akademika presindo,

hal. 45

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

24

manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam

oleh bahaya-bahaya disekelilinginya, memerlukan perlindungan dan harus

dilindungi.

Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu

itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau

memulihkan keseimbangan tatanandi dalam masyarakat adalah penegakan

hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam

melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dalam

menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu

pengadilan16

. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari

campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau

peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana.

Kebebasan peradilan merupakan dambaan setipa bangsa atau negara.

Dimana-mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi

atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan

di negara-negara Eropa Timur dengan Amerika berbeda isi dan nilai

kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun

semuanya mengenal asas kebebasan peradilan; tidak ada negara yang rela

mengakatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau

tidak ada kebebasan peradilan di negaranya.

16

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, 2001. ”Kapita Selekta Ilmu Hukum” Liberty, Yogyakarta,

hal. 1

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

25

Tidak ada bedanya dengan pengertian hak asasi manusia, yang

sekarang sedang banyak disoroti; hak asasi bersifat universal, semua

negara “mengklaim” menghormati hak asasi manusia, tetapi nilai dan

pelaksaannya berbeda satu sama lain.17

Adil, tidak hanya bagi mereka

pencari keadilan saja tetapi juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif,

tidak a priori serta konsisten, adil dalam memutuskan, dalam arti perkara

yang sama (serupa, sejenis) harus diputus sama pula. Tidak ada dua

perkara yang sama. Setiap perkara harus ditangani secara individual “to

each his own”, secara kasuitis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi

kondisi dan waktu terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua

perkara yang sejenis atau serupa maka harus diputus sejenis atau serupa

pula. Ini merupakan “postulaat keadilan” perkara yang serupa diputus

sama Nieuwenhuis dalam Themis, 1976/6.18

Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam

hal konkrit adanya tuntutan 2hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu

badan yang badan yang berdiri sendiri dan dilakukan oleh negara serta

bebas dari

17

Masyhur Effendi, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional,

Ghalia Indonesia. Op. Cit. hal. 2. 18

Nieuwenhuis, J.H., Legitimatie en heuristik van het rechterlikj oordeel, Themis 1976/6.

hal. 2

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

26

pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang

bersifat mengikat dan bertujuan mencegah ”eigenrichting”19

.

Sistem peradilan pidana suatu sistem yang di dalamnya terdapat

unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan.

Sistem peradilan pidana bekerja untuk menanggulangi kejahatan yang

terjadi dalam masyarakat oleh karena itu sistem peradilan pidana dibangun

dari proses dalam masyarakat.

Pelanggaran yang berasal dari masyarakat kemudian masuk dalam

pada tahapan sistem peradilan pidana dan selanjutnya akan kembali

kepada masyarakat dalam keadaan yang berbeda. Oleh karena itu

lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan pidana harus selalu

memperhatikan berbagai pertimbangan yang terjadi dalam masyarakat.

Fungsi sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan

sangat diperlukan dalam penegakan hukum. Akan tetapi sistem yang ada

belum berfungsi secara optimal. Hal itu dikarenaka banyak hal-hal yang

belum sesuai dengan kondisi masyarakat. Kondisi masyarakat yang terus

berkembang memaksa hukum untuk terus berkembang pula,

menyesuaikan dengan keinginan masyarakat agar tetap dapat menjaga rasa

keadilan dan kepastian hukum yang selama ini diinginkan.

19

Sudikno Mertokusumo, 1973. Sejarah Peradilan dan Perundangan-Undangannya di

Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung. Lihat Op. Cit, hal. 3

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

27

Agar hukum dapat berfungsi dengan optimal dan sesuai dengan

keinginan masyarakat (sosiologis) maka tentu sistem yang ada sekarang

harus diperbaharui dengan sistem yang sesuai dengan kondisi masyarakat.

Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sistem yang harus

diperbaharui, mengingat fungsi dan kewenangannya yang sentral, yaitu

memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk pertama kalinya

diperkenalkan oleh pakar hukum dan para ahli dalam “criminal justice

science” di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap

mekamisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum.

Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika

Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan

dalam penegakan hukum adalah “hukum dan ketertiban (law and order

approach)” dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut

dikenal dengan istilah, ”law enforcement”.20

Istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP) kini telah menjadi suatu

istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulan kejahatan

dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.21

Mardjono

memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan

20

Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan

Abolismionisme, Putra Bardin, Bandung, hal. 7 21

Ibid, hal. 14

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

28

pidana adalah, sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga

kepolisian, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.22

Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana dimuat

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), maka ”criminal

justice system” di Indonesia terdiri atas komponen kepolisian, kejaksaan,

pengadilan negeri dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak

hukum. Keempat aparat tersebut memiliki hubungan yang sangat erat satu

sama lain. Bahkan dapat dikatakan saling menentukan.23

Menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan ”sistem” dalam

peradilan pidana ialah :

a. Titik berat pada koordinasi dan sikronisasi komponen peradilan

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);

b. Pengawasan dan pengadilan penggunaan kekuasaan oleh komponen

peradilan pidana;

c. Efektivitas sistem penanggulan kejahatan lebih utama dari efisiensi

penyelesaian perkara;

d. Penggunaan hukum sebagai instumen untuk memantapkan “the

administration of justice”.24

22

Mardjono Reksodiputro, 1993. Sistem PeradilanPidana Indonesia (Melihat kepada

kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi), Pidato Pengukuhan Penerimaan

Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,

hal. 1 23

opcit 24

Ibid, hal. 9-10

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

29

Selanjutnya Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi

dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana;

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.25

Bertitik tolak dari hal tersebut diatas, Mardjono mengemukakan

bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat

bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal justice

system”. Apabila keterpaduan dalam bekerjanya dari sistem tidak

dilakukan dengan baik, maka diperkirakan akan terdapat tiga kerugian

sebagai berikut :

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-

masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-

masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana); dan

3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas

terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas

menyeluruh dari sistem peradilan pidana.26

25

Muladi, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 14

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

30

Dalam Sistem Peradilan Pidana dikenal tiga pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan Normatif

Memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi

pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

keempat aparatur merrpakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

penegakan hukum semata-mata.

b. Pendekatan Administratif

Memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu

organisasi menajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan

yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan

struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem

yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

c. Pendekatan Sosial

Memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat

secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau

ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut

dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah

sistem sosial.27

26

Opcit 27

Opcit

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

31

Sistem peradilan pidana yang ada sekarang masih diperlukan

pembaharuan hukum pidana di dalamnya. Makna dan hakikatnya

pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan

urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar

belakang dan urgensi pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari

aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek

kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan

penegakan hukum). Ini berarti makna dan hakekat pembaharuan hukum

pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya,

pembaharuan hukum pidana juga pada hakekatnya harus merupakan

perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek

kebijakan.

1.6.2. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat

penting untuk dikaji, karena fokus kajiannya adalah memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat yaitu masyarakat yang berada

pada posisi lemah, baik secara ekonomi maupun lemah dari aspek yuridis.

Adapun istilah teori perlindungan hukum ini berasal dari bahasa

Inggris, yaitu legal protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

32

disebut dengan theorie van de wettelijke bescheriming, dan dalam bahasa

Jerman disebut dengan theorie der rechtliche schutz.28

Secara gramatikal, perlindungan adalah :

1. tempat berlindung; atau

2. hal (perbuatan) memperlindungi

Memperlindungi adalah menyebabkan berlindung. Arti berlindung,

meliputi : (1) menempatkan diri supaya tidak terlihat, (2) bersembunyi,

atau (3) minta pertolongan. Sedangkan pengertian melindungi, meliputi :

(1) menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, (2) menjaga, merawat atau

memelihara, (3) menyelamatkan atau memberikan pertolongan.29

Pengertian Perlindungan dapat dikaji dari rumusan yang tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disajikan rumusan perlindungan.

Perlindungan adalah :

“Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman

terhadap korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga

sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara

sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.”

Pengertian Perlindungan dalam konsep ini difokuskan pada :

1. tujuan;

2. pihak yang melindungi korban; dan

28

Dr. H. Salim HS, S.H., M.S dan Erlies Septiana Nurbani, S.H., LLM, 2013, Penerapan

Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 259 29

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Op. Cit., hal 259

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

33

3. sifatnya.

Tujuan Perlindungan adalah untuk memberikan rasa aman bagi

korban. Rasa aman adalah bebas dari bahaya, bebas dari gangguan,

tenteram, tidak merasa takut atau khawatir terhadap suatu hal. Sedangkan,

yang berhak memberikan perlindungan, yaitu :

1. pihak keluarga;

2. advokat;

3. lembaga sosial;

4. kepolisian;

5. kejaksaan;

6. pengadilan; atau

7. pihak lainnya.

Sifat perlindungan ini ada dua (2) macam, yaitu :

1. perlindungan sementara; dan

2. adanya perintah pengadilan.

Perlindungan sementara adalah :

“Perlindungan yang diberikan langsung oleh kepolisian dan/atau

lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan

perintah perlindungan dari pengadilan.”30

Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh

Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.31

Di samping

30

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga, hal 260

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

34

rumusan itu, dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun

2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat telah disajikan rumusan

perlindungan adalah sebagai berikut :

“suatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh aparat penegak

hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik

maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror,

dan kekerasan dari pihak mana pun, yang diberikan pada tahap

penyelidikan, penyidikan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan”.

Dalam rumusan ini perlindungan di konstruksikan sebagai berikut :

1. bentuk pelayanan; dan

2. subjek yang dilindungi

Yang memberikan pelayanan yaitu :

1. aparat penegak hukum; atau

2. aparat keamanan.

1.7. Metode Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan

tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Maka

31

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

35

metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara

untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.32

1.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum normatif adalah hukum yang dikonsepsikan

sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Kegiatan

penelitian ini didasarkan pada sistematika, metode dan pemikiran tertentu

yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum

tertentu dengan jalan mengenalinya.

Jika tipe penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan, cukup

dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan

pernyataan demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat

normatif. Karena pendekatan dan bahan-bahan yang digunakan harus

dikemukakan.33

1.7.2. Metode Pendekatan

Adapun Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,

adalah sebagai berikut :

a. Pendekatan perundang-undangan (statuta approach), maksudnya

bahwa penggunaan pendekatan statuta approach bertujuan untuk

32

Soekanto Soejono, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal. 5 33

Peter Mahmud Marzuki., 2013, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

hal. 55-56

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

36

menjelaskan peraturan perundang-undangan serta mengkaji kerangka-

kerangka pemikiran teoritis berdasarkan konsep-konsep hukum yang

berkaitan dengan penelitian ini.

b. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual

approach), maksudnya bahwa dengan pendekatan tersebut dapat

dicari pembenaran atas suatu asas yang telah digunakan dalam

penelitian.

c. Pendekatan fakta (the fact approach), artinya penulisan melakukan

identitas terhadap fakta yang berkaitan dengan masalah penelitian.

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dikenal dengan penelitian ini hukum normatif

terdiri dari dua, yaitu bahan hukum primer dan hukum sekunder. Bahan

hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat secara hukum yang terdiri dari norma dasar, peraturan dasar,

peraturan perundang-undangan.34

Bahan hukum primer merupakan

pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah baru ataupun pengertian baru

tentang yang diketahui mengenai suatu gagasan/ide yang berkaitan

dengan penelitian ini yang meliputi :

1. Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945

34

Soekanto Soerjono dan Mahmudji Sri, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

37

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP

5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentan Sistem Peradilan

Pidana Anak

9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini yang meliputi : buku-buku hukum (text book),

lembaran negara dan tambahan lembaran negara, jurnal-jurnal hukum,

karya tulis hukum atau pandangan para ahli hukum yang termuat dalam

media massa, kamus hukum dan ensiklopedia hukum.

1.7.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder

dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan

berdasarkan sistem bola salju dan diklasifikasikan menurut sumber dan

hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan

38

1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder

dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan

berdasarkan sistem bola salju dan diklasifikasikan menurut sumber dan

hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.