bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdf · anak sebagai makhluk tuhan yang maha esa dan...
TRANSCRIPT
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum dimana setiap tingkah
laku manusia di dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara diatur dengan
hukum. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, yang memuat norma
atau kaidah hukum yang bersifat mendasar yang menjadi landasan bagi
pembentukan dan penyelenggaraan Negara Republik Indonesia. Negara Kesatuan
Republik Indonesia menganut asas bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, ketentuan ini merupakan
amanat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensip tentang
perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
1
2
serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi berdasarkan pula
dengan Pasal 65 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia juga menegaskan bahwa “setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika,
psikotrapika, dan zat adiktif lainnya”.
Perempuan dan anak-anak yang dalam pandangan berbagai pihak
merupakan pihak yang lemah, perlu mendapat perlindungan yang pantas dan
layak, hal ini disebabkan karena tidak sedikit kasus kejahatan menyebabkan
perempuan menjadi korban kejahatan terutama dalam kasus kekerasan seksual
atau yang lebih sering dikenal dengan perkosaan.
Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak
dalam kandungan sampai lahir mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta
mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat bangsa dan
negara. Oleh karena itu tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas
hak atas hidup dan merdeka tersebut.
Perlindungan terhadap anak perlu mendapat perhatian serius, oleh karena
acapkali anak menjadi korban pemerkosaan sebagaimana yang diperlihatkan di
Kabupaten Gowa Sulawesi seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri
yang duduk di kelas V SD (Sekolah Dasar). Salah satu peristiwa ini
menunjukkan betapa banyaknya anak menjadi korban kekerasan seksual dan
dapat dikatakan bahwa sudah ada pada taraf yang mengkhawatirkan. Maraknya
3
kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur seolah telah menjadi sebuah
fenomena bahkan „tren‟. Kasus demi kasus mulai terkuak ke publik, entah pelaku
atau korbannya adalah anak di bawah umur.1
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara
memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, oleh karena
itu masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius.2 Pentingnya
perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari
dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuses of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai hasil dari The
Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, Sepetember 1985, dalam salah
satu rekomendasinya disebutkan: “Offenders or third parties responsible for their
behaviour should, where appropriate, make fair restitution to victims, their
families or dependents. Such restitution should include the return of property or
payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a
result of the victimization, the provision of services and the restoration of rights”.
(Pelaku atau mereka yang bertangung jawab atas suatu perbuatan melawan
hukum, harus memberi restitusi kepada korban, keluarga atau wali korban.
Restitusi tersebut berupa pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang
1 http://www.harianorbit.com/fenomena, “perkosaan-pada-anak-di-bawah-umur”, 2013-05-
13T14:07:23 2 Didik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 23
4
diderita korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya sehingga
menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan Undang-Undang sebagai
bentuk pelayanan dan pemenuhan atas hak).
Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang
diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan pada korban
kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal ini menunjukkan bahwa
perlindungan terhadap korban memperoleh perhatian yang serius tidak hanya dari
masing-masing negara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindungan
terhadap korban dengan memberikan restitusi, sehingga korban mendapatkan
ganti kerugian atas apa yang telah dideritanya.
Perlindungan terhadap korban perkosaan membutuhkan partisipasi
masyarakat yang berempati terhadap apa yang telah dialaminya, sehingga
memenuhi rasa kemanusiaan seperti yang tertuang dalam Pancasila sila ke-2 yang
berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang memuat butir-butir nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab yang antara lain sebagai berikut:
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan hak, persamaan derajat dan persamaan kewajiban asasi
setiap manusia, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
5
4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposliro.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Perlindungan terhadap korban juga bertujuan untuk memenuhi rasa
keadilan dalam masyarakat seperti yang tertuang dalam Pancasila sila ke-5 yang
berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang memuat butir-
butir nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berikut ini:
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotong royongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
Jika dikaitkan dengan perlindungan terhadap korban tindak pidana
perkosaan adalah bahwa memberi perlindungan kepada korban adalah sebagai
salah satu perwujudan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 (empat) yang berbunyi,
“.....melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.......”, yang juga diatur dalam Pasal 28D
(1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
6
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.
Perlunya perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan tidak
lepas dari akibat yang dialami korban setelah perkosaan yang dialaminya.
Maraknya kejahatan kesusilaan dewasa ini berkenaan dengan “Behaviour in
relation sexual matter” biasanya berbentuk pencabulan baik yang dilakukan oleh
sepasang orang dewasa atau sesama orang dewasa maupun dengan anak dibawah
umur. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak merasa bahwa anak-anak dapat
menjadi salah satu sasaran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Hal ini
dipengaruhi oleh pendapat bahwa anak-anak tidak cukup mampu untuk mengerti
bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana atau anak-anak tidak mempunyai
keberanian untuk menolak keinginan pelaku.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak paling banyak menimbulkan
kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan,
maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas,
juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang
umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.3
Karakteristik model kejahatan dengan kekerasan adalah agresivitas atau
apa yang dinamakan "assaultive conduct"4 kekeransan terhadap perempuan,
ditenggarai berakar dari sistem tata nilai yang memposisikan perempuan sebagai
kaum lemah dibandingkan laki-laki, sehingga sudah sepantasnya peran laki-laki
3 Leden Marpaung, 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta,
Sinar Grafika, hal. 81 4 Romli Atmasasmita, 1992. Teori dan kapitaselekta Kriminologi. Bandung. Hal 57
7
lebih dominan dibandingkan perempuan. Konsep demikian, memunculkan
suatu asumsi kontroversial mengenai causa perkosaan, yakni kasus perkosaan
merupakan efek dari praktek budaya patriarki. Pola pikir masyarakat, bahwa
kaum wanitalah yang bersalah dalam terjadinya perkosaan, makin memojokkan
kaum perempuan yang sudah dalam posisi kurang memperoleh perhatian.
Pemerkosaan pada hakikatnya merupakan bentuk kekerasan primitif yang
terdapat pada masyarakat manapun. Kekerasan seksual merupakan suatu istilah
yang menunjuk pada perilaku seksual derivatif atau hubungan seksual yang
menyimpang. Salah satu praktek seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk
kekerasan seksual (sexual violence) yakni praktek hubungan seksual yang
dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah.
Hubungan seksual yang dipaksakan merupakan bentuk kekerasan yang
mencerminkan bahwa kekuatan fisik laki-laki merupakan faktor alamiah yang
lebih hebat dibandingkan perempuan. Laki-laki tampil menjadi semacam
kekuatan yang bercorak represif yang menempatkan perempuan sebagai
korbannya. Kekuatan laki-laki yang lebih unggul daripada perempuan telah
disalahgunakan untuk melecehkan, menindas dan menodai hak-hak asasi
perempuan. Perempuan akhirnya menduduki posisi sebagai subordinasi
kebutuhan seksual laki-laki. 5
Tidak dapat dipungkiri, bahwa didalam kasus-kasus yang menyangkut
masalah perkosaan dapat terungkap atau tidaknya tentunya sangat bergantung
kepada partisipasi korban untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Banyak kasus yang tidak terungkap diakibatkan karena korban tidak mau
melaporkan, karena rasa malu dan diketahui keluarga atau orang lain, juga
adanya pemikiran pada si korban bahwa ia tidak akan memperoleh apa yang
diharapkan, yakni perlindungan hukum, bahkan dalam proses pemeriksaan di
pengadilan tak pelak lagi korban akan menjadi korban proses peradilan pidana
5 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi atas hak-hak perempuan). Bandung, hal. 46
8
(viktimisasi). Korban menjadi orang yang terlupakan, setelah proses peradilan
pidana telah berhasil membuktikan kesalahan terdakwa dan terdakwa dijatuhi
pidana oleh hakim, padahal dampak kekerasan seksual yang dialaminya sangat
mempengaruhi perkembangan kejiwaannya, bahkan mungkin trauma
berkelanjutan.
Korban perkosaan, tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tetapi anak-
anakpun tak pelak lagi dapat menjadi korban perkosaan. Konsep-konsep
pemikiran tentang perlindungan hukum anak sebagai korban perkosaan, tentunya
tidak dapat dilepaskan dengan filosofi anak sebagai bagian dari generasi muda,
sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus
cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang akan datang, yang memiliki peran
strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mentaldan sosial secara seimbang.6
Perkosaan merupakan persoalan yang semakin banyak terjadi namun
sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana atau yang sering disebut KUHP seolah-olah tidak mampu
lagi digunakan untuk menegakkan hukum bagi para pelaku kejahatan terutama
perkosaan. Pasal-pasal yang dimuat di dalam KUHP tidak menjawab kebutuhan
sesungguhnya dari para korban perkosaan pada hal para korban merupakan pihak
yang sangat dirugikan baik itu secara fisik maupun psikis. Di Indonesai secara
umum kasus perkosaan semakin hari semakin meningkat bahkan tak jarang
perkosaan terjadi di dalam lingkungan keluarga bahkan kini pelaku perkosaan
maupun korbannya adalah anak dibawah umur tentunya ini menjadi suatu
6 I Gusti Ketut Ariawan, Perlindungan Hukum terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan
Seksual, Majalah Ilmu Hukum Kerta Wicaksana Volume 18 Nomor 2 Juli 2012, hal. 228
9
masalah yang sangat perlu untuk diperhatikan secara serius. Dari kasus
perkosaan sendiri akan memunculkan masalah baru yang tak kalah penting yaitu
prostitusi sebagai akibat dari lemahnya penegakkan hukum bagi pelaku serta
kurangnya perhatian pemerintah kepada korban perkosaan. Tindak pidana
perkosaan sering terjadi akibat lemahnya penegakan hukum pidana matriil.
Dari penyataan diatas maka alasan penulis sebagai berikut bahwa ada
banyak kasus yang terjadi di dalam masyarakat yang tidak sampai ke ranah
hukum dengan alasan malu ataupun takut dengan ancaman pelaku. Fenomena
kejahatan seksual menunjukkan dunia yang aman bagi anak semakin sempit dan
sulit kita temukan. Anak-anak ternyata tidak aman dari berbagai ancaman
kejahatan termasuk kejahatan seksual. Pelindungan hukum yang diberikan negara
belum mampu melindungi anak dari ancaman kejahatan seksual. Selain itu,
minimnya publikasi, perhatian serta upaya pencegahan dari banyak pihak
menghambat penyelesaian kasus kejahatan seksual. Hingga kini, dibandingkan
dengan pemberitaan seputar politik, tema-tema mengenai pelindungan anak
masih tersubordinasi. Padahal kasus kejahatan terhadap anak, terutama kejahatan
seksual terus meningkat setiap tahun.
Lemahnya Penegakan Hukum Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa ”setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat pelindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Namun, kenyataannya setiap tahun jumlah kasus
10
kejahatan seksual anak terus meningkat. Ironisnya, kejahatan seksual yang
dialami anak-anak mayoritas terjadi di lingkungan sosial anak seperti rumah,
sekolah, panti, tempat kerja maupun di tengah komunitas mereka. Demikian juga
pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi anak, yaitu orang tua,
pengajar, saudara, tetangga, bahkan oknum penegak hukum.
Negara kita telah memiliki peraturan perundangan-undangan tentang
perlindungan anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UUPA) yang dengan jelas mengatur tentang pelindungan
anak dari berbagai ancaman. Namun, dalam impelementasi UUPA belum efektif
melindungi anak.
Hukuman maksimal 15 tahun penjara jarang diberikan. Kesulitan
membawa kasus-kasus kejahatan seksual pada anak ke ranah hukum adalah
lemahnya sistem perundangan-undangan, dimana keterangan korban di bawah
umur tidak diakui dalam sistem perundangan-undangan kita.
Sistem Peradilan Pidana yang selama ini berlaku, sebagaimana tergambar
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana selanjutnya disingkat KUHAP adalah potret betapa
instrument hukum pidana yang telah kita miliki kurang mampu diharapkan untuk
mengawal penegakan hukum pidana materiil. Kelemahan mendasar yang tampak
sekali dari KUHAP adalah hak-hak korban kejahatan dalam proses penanganan
perkara pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa maupun akibat yang
harus ditanggung oleh korban kejahatan yang harus diperhatikan kemungkinan
11
mendapatkan perlindungan hukum akan hak-haknya sebagai korban kejahatan
terutama terhadap korban perkosaan yang menderita baik secara fisik maupun
psikis, tidak mendapat pengaturan yang memadai.
Perkosaan sendiri menurut Pasal 285 KUHP bahwa “barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara dua belas tahun”. Dari pasal ini, dapat dikatakan bahwa unsur pokok dari
perkosaan ini adalah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dalam
melakukan persetubuhan dengan seorang wanita.
Terhadap hak-hak selama ini yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981
adalah hak-hak tersangka/terdakwa, sedangkan hak-hak korban kurang mendapat
perhatian yang memadai. Bila diteliti, di dalam KUHAP lebih banyak mengatur
hak-hak tersangka dan terdakwa. Untuk hak-hak korban (victim) pengaturannya
tidak secara tegas dan tidak sebanyak hak-hak tersangka atau terdakwa.
Kemungkinan hal ini disebabkan pihak korban kejahatan/tindak pidana sudah
diwakili oleh negara (penyidik dan penuntut umum).
Dalam proses penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu pada
hukum pidana dan acara pidana, negara melalui organ-organnya mempunyai hak
atau kewenangan untuk menjatuhkan pidana (ius puniendi). Di sini jika terjadi
tindak pidana, maka terhadap pelakunya akan ditindak melalui proses peradilan
dengan memberi sanksi pidana. Korban tindak pidana dan masyarakat secara
12
otomatis diwakili oleh negara dengan cara mengadili dan menjatuhkan pidana
yang setimpal dengan perbuatan terdakwa.
Terlihat bahwa korban (victim) kejahatan/tindak pidana tidak dapat
langsung mengambil haknya, tanpa melalui proses hukum. Inilah konsekuensi
negara hukum, penyelesaian hak-hak korban juga melalui proses hukum. Ketika
korban langsung meminta atau mengambil (paksa) hak dari tersangka atau
terdakwa dapat disebut pemerasan, balas dendam atau sebagai main hakim
sendiri (eigen riechting). Pada awal proses pidana tertentu yang bersangkutan
melakukan/membuat laporan atau pengaduan. Pelaku tindak pidana selanjutnya
diproses melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, putusan
dan pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam proses tersebut, korban dapat menjadi saksi yang biasanya
memberatkan terdakwa, sebenarnya berdasarkan Pasal 98 sampai dengan Pasal
101 KUHAP, pihak korban dan orang lain yang dirugikan dapat menuntut ganti
kerugian, tetapi dalam praktik tidak efektif diterapkan. Mekanisme tuntutan ganti
kerugian, tentu saja harus sesuai dengan ketentuan KUHAP, peraturan
pelaksanaannya, dan perundangan lainnya.
KUHAP mengatur hak-hak korban tidak sebanding dengan jumlah hak-
hak tersangka/terdakwa namun demikian dalam perkembangan dewasa ini,
perhatian terhadap korban terlihat cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari
beberapa regulasi-regulasi atas hak-hak korban, saksi dan juga hak-hak
masyarakat akibat adanya reformasi, globalisasi dan demokratisasi.
13
Diberikannya perlindungan hukum yang cukup pada korban perkosaan
perlu memperoleh perhatian serius. Masalah perlindungan dan hak asasi manusia
dalam kaitannya dengan penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan
pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam
kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang
memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Korban perkosaan yang pada
dasarnya merupakan pihak yang paling menderita justru tidak memperoleh
perlindungan. Akibatnya, pada saat pelaku perkosaan telah dijatuhi sanksi pidana
oleh pengadilan, kondisi korban perkosaan seperti tidak diperdulikan sama sekali
padahal masalah keadilan dan penghormatan harusnya berlaku terhadap korban
perkosaan. Dalam penanganan perkara pidana khususnya kasus perkosaan,
kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain
sebagai saksi yang mengetahui terjadinya kasus perkosaan juga karena
kedudukan korban sebagai subyek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di
hadapan hukum.
Dalam kehidupan nyata, sering terlihat bagaimana hak asasi manusia
terutama anak korban perkosaan dilanggar, baik oleh individu maupun
kelompok. Lahirnya beberapa Undang-Undang, diharapkan mampu mengatasi
kebutuhan masyarakat terutama bagi anak korban kejahatan khususnya korban
perkosaan untuk mendapatkan keadailan. Kerena pelanggaran mengakibatkan
munculnya ketidakseimbangan dalam diri anak korban (keluarganya), seperti
ketidakseimbangan dari aspek fisik yang mengakibatkan korban berhenti
14
beraktivitas, aspek psikis, yang mewujudkan munculnya
kegoncangan/ketidakstabilan psikis akibat baik temporer maupun permanen dari
korban. Agar korban dapat pulih kembali pada keadaan semula, maka harus
ditempuh berbagai upaya pemulihan secara finansial, medis dan psikis. Ternyata
bahwa undang-undang tidak memberikan perlindungan hukum terhadap anak
korban perkosaan di bawah umur secara baik, ini dapat di lihat pada Pasal 5, 6
dan 7 dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 di mana bentuk-bentuk
perlindungan untuk bantuan psiko sosial tidak termasuk korban perkosaan
(hanya untuk HAM berat saja)
Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan :
(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. kut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau
Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan
LPSK.
15
Sementara itu Pasal 6 ”Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk
mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.”
Selanjutnya Pasal 7
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam konteks perlindungan terhadap anak korban perkosaan, adanya upaya
preventif maupun repretif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun
pemerintah (melalui aparat penegak hukum) seperti pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan
nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai,
proses pemeriksaan dan peradilan yang baik terhadap pelaku perkosaan, pada
dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia
serta instrument penyeimbang.
Namun demikan uraian di atas merupakan bahwa anak sebagai korban
perkosaan belum memperoleh perlindungan yang memadai dalam ketentuan
hukum Indonesia oleh karena itu ada masukan untuk di teliti lebih lanjut lagi.
1.2. Rumusan Masalah
16
Dengan bertitik tolak dari paparan latar belakang pemikiran tersebut di
atas, dapat diidentifikasi permasalahan-permasalah sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak korban
pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana ?
b. Bagaimana upaya untuk meningkatkan perlindungan hukum terhadap anak
korban pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana ?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadp anak
korban pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana
1.4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian tentang perlindungan terhadap korban perkosaan
maka, manfaat yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu hukum
secara khusus sistem peradilan pidana di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap sub sistem peradialan
pidana di Indonesia yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan (Hakim)
dan Lembaga Pemasyarakatan, dan Advocat.
1.5. Originalitas Penelitian
17
Setelah penulis melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap judul
yang akan dikaji dalam penulisan ini terlebih dahulu penulis melakukan
pencaharian terhadap tulisan-tulisan baik Skripsi, Tesis dan Disertasi lainnya
yang merupakan kemiripan dari judul penulisan ini ternyata berbeda dengan
judul penelitian ini, sehungga penelitian ini masih bersifat original. Sesuai
dengan penelusuran yang telah dilakukan peneliti hanya mendapatkan dua
penulisan yang membahas mengenai perlindugan saksi dan korban perkosaan,
namun dari sisi pembahasan dan analisis kedua tesis tersebut berbeda dalam ojek
kajiannya.
Dari hasil pengkajian kedua penulis tersebut sebagai berikut : Penulis
pertama Saudara Johan Runtu dari UNSRAT Manado; (Studi S2 Ilmu Hukum)
Dengan Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana
Perkosaan Dalam Peradilan Pidana; Dengan Rumusan Masalah sebagai berikut :
(1). Apa ide dasar perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
perkosaan? (2). Upaya apa yang dapat dilakukan untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan?
Penulis kedua Saudari Ira Dwiati dari UNDIP Semarang; (Studi S2 Ilmu
Hukum) Dengan Judul : Implementasi Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Pasal 98
KUHAP Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Di Wilayah Hukum Semarang;
Dengan Rumusan Masalah sebagai berikut : (1). Bagaimana Implementasi
Tuntutan Ganti Kerugian dalam pasal 98 KUHAP terhadap Tindak Pidana
Pemerkosaan senyatanya (riilnya atau yang berlaku saat ini berdasarkan hukum
18
Positif) di wilayah hukum Semarang ? (2). Bagaimana Implementasi Tuntutan
Ganti Kerugian dalam pasal 98 KUHAP terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan
yang seharusnya (ideal atau yang berlaku dimasa yang akan datang berdasarkan
hukum masa depan) di wilayah hukum Semarang ?
Dari kedua sumber bahan hukum sekunder (berupa tulisan para sarjana)
apabila dikaitkan dengan judul secara singkat dapat penulisan uraikan bahwa
perlindungan dari sisi landasan yuridis tidak terdapat persamaan dalam analisis
penelitiannya, secara yuridis pengkajian kedua penulis dari segi aspek
substansial/material dan aspek formal/prosedural tidak sama. Isu sentral dari
kedua penulis yaitu tentang perlindungan terhadap korban perkosaan dari
implementasinya di dalam KUHP. Hasil penelitian menunjukan bahwa undang-
undang belum memberikan kepastian hukum dalam penerapannya dilapangan,
secara khusus apa dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
secara garis besar dapat penulis gambarkan dalam penelitian ini adalah
menyangkut tugas dan wewenang dari aparat penegak hukum dalam memberikan
pelindungan terhadap hak dan kewajiban korban perkosaan sesuai dengan apa
yang terkandung dalam Undan-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Kita ketahui bahwa dalam memberikan perlindingan kepada korban
perkosaan selama ini adalah bentuk perlindungan tertentu kepada korban
perkosaan tetapi tidak merupakan bagian integral dari perlindungan hukum bagi
masyarakat. "seperti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan
19
Saksi dan Korban, tetapi ditujukan kepada korban perkosaan dalam keadaan
tertentu atau luar biasa saja, sedangkan korban perkosaan dalam keadaan biasa
belum diatur," Hal inilah yang menyebabkan kekosongan norma, meskipun
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 telah berlaku, namun masih terjadi
kekosongan hukum (wet vacuum) di Indonesia terhadap norma-norma pengaturan
perlindungan hukum terhadap hak-hak korban perkosaan dalam keadaan biasa.
Indonesia sebagai negara demokrasi, kekosongan hukum tersebut tidak searah
dengan negara-negara demokrasi lainnya, bahkan tidak sesuai dengan Sila ke 2,
4, dan 5 Pancasila. Kekosongan hukum tersebut perlu memperoleh prioritas
utama untuk diisi dengan menyisipkan pada ketentuan pasal 98 KUHAP
mengenai kedudukan korban perkosaan tentang wajib atau tidaknya hadir di
persidangan, dan hak-hak korban perkosaan, baik dalam keadaan tertentu
maupun dalam keadaan biasa untuk memperoleh restitusi atau ganti rugi dari
pelaku perkosaan, dan apabila pelakunya tidak mampu membayar, maka
kewajiban negara untuk memberikan kompensasi kepada semua korban
perkosaan untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
1.6. Landasan Teoritis
Pada umumnya setiap penelitian yang baik selalu menggunakan teori.
Menurut Fred Kerlinger dalam The Liang Gie, sebuah teori adalah seperangkat
pengertian (konsep), defenisi, dan proposisi yang saling berkaitan yang
menyajikan sebuah pandangan sistematik antara variabel-variabel dengan tujuan
20
menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena itu7. Cooper dan Schindler,
mengemukakan bahwa, teori adalah seperangkat konsep, defenisi dan proposisi
yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena8. Bertolak dari kedua pandangan di atas maka penulis
mengemukakan beberapa teori dan konsep yang digunakan untuk membahas
obyek penelitian dengan Judul : “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Korban Pemerkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana”.
Landasan teoritis dimaknai pula sebagai upaya untuk mengidentifikasi
teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum dan lain-lainnya yang akan
dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai
landasan untuk membahas ilmu hukum yang bersifat consensus yang diperoleh
dari rangkaian upaya penelusuran.9 Penelitian ini mempergunakan landasan
teoritis sebagai alat untuk menganalisa konsep, teori, pandangan/pendapat para
sarjana sebagai pembenaran teoritis. Dalam hal pengkajian dan pembahasan
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Perubahan
Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang
sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan
tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus
7 Gie, Liang The, 2004, “Pengantar Filsafat Ilmu,”, Liberty, Yogyakarta, hal. 145
8 Sugiyono, 2005, “Memahami Penelitian Kualitatif”, Alfabeta, Bandung, hal. 41.
9 Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 8
21
dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan
politik ataupun ekonomi. Karena itu, istilah yang biasa digunakan dalam bahasa
Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah „the rule of law, not of
man‟. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem,
bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai „wayang‟ dari skenario
sistem yang mengaturnya.10
Dengan keberadaan sebagai negara hukum
(rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat) maka ada berbagai
konsekuensi yang melekat pada negara sebagaimana yang dikemukakan oleh
Philipus M. Hadjon,11
konsep hukum.
Tindak pidana perkosaan dapat digolongkan ke dalam bentuk kejahatan
dengan kekerasan, karena biasanya tindak pidana ini disertai dengan
kekerasan/ancaman kekerasan. Menurut Soerjono Soekanto yang dikutip oleh
Mulyana W. Kusuma, penyebab terjadinya kejahatan dengan kekerasan adalah:
a. Adanya orientasi pada benda yang menimbulkan keinginan untuk mendapat
materi dengan jalan mudah.
b. Tak ada penyaluran kehendak serta adanya semacam tekanan mental pada
seseorang.
c. Keberanian mengambil resiko.
10
http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf 11
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, Bina
Ilmu, hal. 21
22
d. Kurangnya perasaan bersalah dan adanya keteladanan yang kurang baik12
.
Kekerasan terhadap perempuan menurut kesepakatan Internasional
adalah:
“Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik,
seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan,
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi”13
.
Kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan menghalangi atau
meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan
kebebasan mereka14
.
Dalam tindak pidana perkosaan, yang paling menderita adalah korban.
Menurut Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuses of Power mendefinisikan korban sebagai berikut:
“Victims” means persons who, individually, or collectively, have suffered harm,
including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or
substantial impairment of their fundamental rights, through acts or ommisions
that are in violation of criminal laws operative within Member States, including
those laws proscribing criminal abuse of power.
(Korban kejahatan diartikan sebagai orang yang secara perseorangan atau
bersama-sama, menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomis atau pelemahan substansial dari hak-
hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran
terhadap hukum yang berlaku di negara-negara anggota termasuk hukum-hukum
yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat pidana).
12
Mulyana W. Kusuma, 1982, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan
Kekerasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 41 13
Lihat Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Diadopsi oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993, GA Res 48/104), Pasal 1 14
Saparinah Sadli, 2001, Beberapa Catatan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan di
Indonesia, (Jakarta, Makalah Program Studi Kajian Wanita PPS-UI), hal. 23
23
Dalam kasus tindak pidana perkosaan yang sering menjadi korban adalah
anak-anak, gadis, perempuan dewasa, termasuk golongan lemah mental, fisik dan
sosial yang peka terhadap berbagai ancaman dari dalam dan dari luar
keluarganya. Ancaman kekerasan dari luar keluarganya, rumahnya seringkali
dapat dihalau, karena dapat dilihat oleh sekelilingnya. Tetapi ancaman kekerasan
di dalam rumah yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri sering susah dapat
dilihat oleh orang luar. Pada umumnya yang mengalami kekerasan adalah istri,
ibu, anak perempuan, pembantu rumah tangga perempuan. Mereka seringkali
tidak berani melapor antara lain karena ikatan-ikatan keluarga, nilai-nilai sosial
tertentu, nama baik tertentu dan kesulitan-kesulitan yang diperkirakan akan
timbul apabila yang bersangkutan melapor15
.
Tindak pidana perkosaan yang banyak terjadi dalam realita kehidupan sehari-hari
mengakibatkan dalam diri perempuan timbul rasa takut, was-was dan tidak aman.
Apalagi ditunjang dengan posisi korban yang seringkali tidak berdaya dalam proses
peradilan pidana. Artinya, derita korban tidak dijembatani oleh penegak hukum.
1.6.1. Sistem Peradilan Pidana
Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban
tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya
ketentraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang
sekarang lebih populer disebut “stabilitas nasional”. Kepentingan
15
Arif Gosita, 1985, Victimisasi Kriminal Kekerasan, edisi II, Jakarta, Akademika presindo,
hal. 45
24
manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam
oleh bahaya-bahaya disekelilinginya, memerlukan perlindungan dan harus
dilindungi.
Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu
itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau
memulihkan keseimbangan tatanandi dalam masyarakat adalah penegakan
hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam
melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dalam
menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu
pengadilan16
. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari
campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau
peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana.
Kebebasan peradilan merupakan dambaan setipa bangsa atau negara.
Dimana-mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi
atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan
di negara-negara Eropa Timur dengan Amerika berbeda isi dan nilai
kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun
semuanya mengenal asas kebebasan peradilan; tidak ada negara yang rela
mengakatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau
tidak ada kebebasan peradilan di negaranya.
16
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, 2001. ”Kapita Selekta Ilmu Hukum” Liberty, Yogyakarta,
hal. 1
25
Tidak ada bedanya dengan pengertian hak asasi manusia, yang
sekarang sedang banyak disoroti; hak asasi bersifat universal, semua
negara “mengklaim” menghormati hak asasi manusia, tetapi nilai dan
pelaksaannya berbeda satu sama lain.17
Adil, tidak hanya bagi mereka
pencari keadilan saja tetapi juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif,
tidak a priori serta konsisten, adil dalam memutuskan, dalam arti perkara
yang sama (serupa, sejenis) harus diputus sama pula. Tidak ada dua
perkara yang sama. Setiap perkara harus ditangani secara individual “to
each his own”, secara kasuitis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi
kondisi dan waktu terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua
perkara yang sejenis atau serupa maka harus diputus sejenis atau serupa
pula. Ini merupakan “postulaat keadilan” perkara yang serupa diputus
sama Nieuwenhuis dalam Themis, 1976/6.18
Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam
hal konkrit adanya tuntutan 2hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu
badan yang badan yang berdiri sendiri dan dilakukan oleh negara serta
bebas dari
17
Masyhur Effendi, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional,
Ghalia Indonesia. Op. Cit. hal. 2. 18
Nieuwenhuis, J.H., Legitimatie en heuristik van het rechterlikj oordeel, Themis 1976/6.
hal. 2
26
pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang
bersifat mengikat dan bertujuan mencegah ”eigenrichting”19
.
Sistem peradilan pidana suatu sistem yang di dalamnya terdapat
unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan.
Sistem peradilan pidana bekerja untuk menanggulangi kejahatan yang
terjadi dalam masyarakat oleh karena itu sistem peradilan pidana dibangun
dari proses dalam masyarakat.
Pelanggaran yang berasal dari masyarakat kemudian masuk dalam
pada tahapan sistem peradilan pidana dan selanjutnya akan kembali
kepada masyarakat dalam keadaan yang berbeda. Oleh karena itu
lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan pidana harus selalu
memperhatikan berbagai pertimbangan yang terjadi dalam masyarakat.
Fungsi sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan
sangat diperlukan dalam penegakan hukum. Akan tetapi sistem yang ada
belum berfungsi secara optimal. Hal itu dikarenaka banyak hal-hal yang
belum sesuai dengan kondisi masyarakat. Kondisi masyarakat yang terus
berkembang memaksa hukum untuk terus berkembang pula,
menyesuaikan dengan keinginan masyarakat agar tetap dapat menjaga rasa
keadilan dan kepastian hukum yang selama ini diinginkan.
19
Sudikno Mertokusumo, 1973. Sejarah Peradilan dan Perundangan-Undangannya di
Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung. Lihat Op. Cit, hal. 3
27
Agar hukum dapat berfungsi dengan optimal dan sesuai dengan
keinginan masyarakat (sosiologis) maka tentu sistem yang ada sekarang
harus diperbaharui dengan sistem yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sistem yang harus
diperbaharui, mengingat fungsi dan kewenangannya yang sentral, yaitu
memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh pakar hukum dan para ahli dalam “criminal justice
science” di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap
mekamisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum.
Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika
Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan
dalam penegakan hukum adalah “hukum dan ketertiban (law and order
approach)” dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut
dikenal dengan istilah, ”law enforcement”.20
Istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP) kini telah menjadi suatu
istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulan kejahatan
dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.21
Mardjono
memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan
20
Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolismionisme, Putra Bardin, Bandung, hal. 7 21
Ibid, hal. 14
28
pidana adalah, sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga
kepolisian, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.22
Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana dimuat
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), maka ”criminal
justice system” di Indonesia terdiri atas komponen kepolisian, kejaksaan,
pengadilan negeri dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak
hukum. Keempat aparat tersebut memiliki hubungan yang sangat erat satu
sama lain. Bahkan dapat dikatakan saling menentukan.23
Menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan ”sistem” dalam
peradilan pidana ialah :
a. Titik berat pada koordinasi dan sikronisasi komponen peradilan
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);
b. Pengawasan dan pengadilan penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana;
c. Efektivitas sistem penanggulan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara;
d. Penggunaan hukum sebagai instumen untuk memantapkan “the
administration of justice”.24
22
Mardjono Reksodiputro, 1993. Sistem PeradilanPidana Indonesia (Melihat kepada
kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi), Pidato Pengukuhan Penerimaan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
hal. 1 23
opcit 24
Ibid, hal. 9-10
29
Selanjutnya Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi
dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana;
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.25
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas, Mardjono mengemukakan
bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal justice
system”. Apabila keterpaduan dalam bekerjanya dari sistem tidak
dilakukan dengan baik, maka diperkirakan akan terdapat tiga kerugian
sebagai berikut :
1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-
masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-
masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana); dan
3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas
terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas
menyeluruh dari sistem peradilan pidana.26
25
Muladi, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 14
30
Dalam Sistem Peradilan Pidana dikenal tiga pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan Normatif
Memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga
keempat aparatur merrpakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum semata-mata.
b. Pendekatan Administratif
Memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu
organisasi menajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan
yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan
struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem
yang dipergunakan adalah sistem administrasi.
c. Pendekatan Sosial
Memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat
secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut
dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah
sistem sosial.27
26
Opcit 27
Opcit
31
Sistem peradilan pidana yang ada sekarang masih diperlukan
pembaharuan hukum pidana di dalamnya. Makna dan hakikatnya
pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan
urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar
belakang dan urgensi pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari
aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek
kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum). Ini berarti makna dan hakekat pembaharuan hukum
pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya,
pembaharuan hukum pidana juga pada hakekatnya harus merupakan
perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek
kebijakan.
1.6.2. Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat
penting untuk dikaji, karena fokus kajiannya adalah memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat yaitu masyarakat yang berada
pada posisi lemah, baik secara ekonomi maupun lemah dari aspek yuridis.
Adapun istilah teori perlindungan hukum ini berasal dari bahasa
Inggris, yaitu legal protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda
32
disebut dengan theorie van de wettelijke bescheriming, dan dalam bahasa
Jerman disebut dengan theorie der rechtliche schutz.28
Secara gramatikal, perlindungan adalah :
1. tempat berlindung; atau
2. hal (perbuatan) memperlindungi
Memperlindungi adalah menyebabkan berlindung. Arti berlindung,
meliputi : (1) menempatkan diri supaya tidak terlihat, (2) bersembunyi,
atau (3) minta pertolongan. Sedangkan pengertian melindungi, meliputi :
(1) menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, (2) menjaga, merawat atau
memelihara, (3) menyelamatkan atau memberikan pertolongan.29
Pengertian Perlindungan dapat dikaji dari rumusan yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disajikan rumusan perlindungan.
Perlindungan adalah :
“Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman
terhadap korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga
sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.”
Pengertian Perlindungan dalam konsep ini difokuskan pada :
1. tujuan;
2. pihak yang melindungi korban; dan
28
Dr. H. Salim HS, S.H., M.S dan Erlies Septiana Nurbani, S.H., LLM, 2013, Penerapan
Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 259 29
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Op. Cit., hal 259
33
3. sifatnya.
Tujuan Perlindungan adalah untuk memberikan rasa aman bagi
korban. Rasa aman adalah bebas dari bahaya, bebas dari gangguan,
tenteram, tidak merasa takut atau khawatir terhadap suatu hal. Sedangkan,
yang berhak memberikan perlindungan, yaitu :
1. pihak keluarga;
2. advokat;
3. lembaga sosial;
4. kepolisian;
5. kejaksaan;
6. pengadilan; atau
7. pihak lainnya.
Sifat perlindungan ini ada dua (2) macam, yaitu :
1. perlindungan sementara; dan
2. adanya perintah pengadilan.
Perlindungan sementara adalah :
“Perlindungan yang diberikan langsung oleh kepolisian dan/atau
lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan.”30
Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.31
Di samping
30
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, hal 260
34
rumusan itu, dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat telah disajikan rumusan
perlindungan adalah sebagai berikut :
“suatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh aparat penegak
hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror,
dan kekerasan dari pihak mana pun, yang diberikan pada tahap
penyelidikan, penyidikan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan”.
Dalam rumusan ini perlindungan di konstruksikan sebagai berikut :
1. bentuk pelayanan; dan
2. subjek yang dilindungi
Yang memberikan pelayanan yaitu :
1. aparat penegak hukum; atau
2. aparat keamanan.
1.7. Metode Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu
masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan
tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Maka
31
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
35
metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.32
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum normatif adalah hukum yang dikonsepsikan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Kegiatan
penelitian ini didasarkan pada sistematika, metode dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum
tertentu dengan jalan mengenalinya.
Jika tipe penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan, cukup
dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan
pernyataan demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat
normatif. Karena pendekatan dan bahan-bahan yang digunakan harus
dikemukakan.33
1.7.2. Metode Pendekatan
Adapun Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,
adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan perundang-undangan (statuta approach), maksudnya
bahwa penggunaan pendekatan statuta approach bertujuan untuk
32
Soekanto Soejono, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal. 5 33
Peter Mahmud Marzuki., 2013, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hal. 55-56
36
menjelaskan peraturan perundang-undangan serta mengkaji kerangka-
kerangka pemikiran teoritis berdasarkan konsep-konsep hukum yang
berkaitan dengan penelitian ini.
b. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual
approach), maksudnya bahwa dengan pendekatan tersebut dapat
dicari pembenaran atas suatu asas yang telah digunakan dalam
penelitian.
c. Pendekatan fakta (the fact approach), artinya penulisan melakukan
identitas terhadap fakta yang berkaitan dengan masalah penelitian.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang dikenal dengan penelitian ini hukum normatif
terdiri dari dua, yaitu bahan hukum primer dan hukum sekunder. Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara hukum yang terdiri dari norma dasar, peraturan dasar,
peraturan perundang-undangan.34
Bahan hukum primer merupakan
pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah baru ataupun pengertian baru
tentang yang diketahui mengenai suatu gagasan/ide yang berkaitan
dengan penelitian ini yang meliputi :
1. Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945
34
Soekanto Soerjono dan Mahmudji Sri, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13
37
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentan Sistem Peradilan
Pidana Anak
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini yang meliputi : buku-buku hukum (text book),
lembaran negara dan tambahan lembaran negara, jurnal-jurnal hukum,
karya tulis hukum atau pandangan para ahli hukum yang termuat dalam
media massa, kamus hukum dan ensiklopedia hukum.
1.7.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan
berdasarkan sistem bola salju dan diklasifikasikan menurut sumber dan
hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.
38
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan
berdasarkan sistem bola salju dan diklasifikasikan menurut sumber dan
hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.