bab i pendahuluan a. alasan pemilihan judul 1....
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
1. Aktualitas
Dewasa ini program bernafaskan pemberdayaan marak dilaksanakan.
Pemerintah selalu berusaha mengembangkan kapasitas masyarakat dengan
program pemberdayaan. Tidak ingin kalah dengan pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat dan swasta juga melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat ini memiliki tujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Dengan alur
logika bahwa jika masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri,
kemudian segala masalah yang dihadapinya akan dapat terpecahkan.
Sebenarnya ada beberapa contoh wirausahawan sosial di Indonesia yang
namanya sudah sering didengar. Almarhum Bob Sadino yang terkenal karena
perusahaan Kemchicknya. Beliau menganggap bahwa perusahaanya adalah
keluarga, semua anggota Keluarga Kem harus saling menghargai, semuanya
punya fungsi sendiri dan kekuatan sendiri-sendiri (Kaswan, 2015: 145). Susi
Pudjiastuti yang sekarang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan
periode pemerintahan Presiden Jokowi juga seorang wirausaha sosial. Semula ia
berbisnis perikanan dengan modal seadanya. Kemudian tuntutan ekspor memaksa
agar dapat mendistribusikan lobster dan ikan segarnya dengan pesawat. Akhirnya
dia memiliki banyak pesawat, alhasil dia memiliki dua perusahaan yaitu PT ASI
Pudjiastuti Marine Product untuk sektor bisnis maritim dan PT ASI Pudjiastuti
Aviation atau penerbangan Susi Air. Menariknya saat bisnis maritim lesu, ia
2
menyewakan pesawatnya yang semula digunakan untuk ekspor hasil laut untuk
misi kemanusiaan. Bahkan, pesawat milik Susi Air adalah pesawat pertama yang
berhasil mencapai lokasi bencana tsunami Aceh 2004 silam (Putra, 2014).
Kewirausahaan sosial sedang hangat dibincangkan di kalangan civitas
akademika. Pertengahan tahun 2015, di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada diadakan ASEAN YOUNG SOCIAL PRENEURS
PROGAM (AYSPP). Berupa kompetisi kewirausahaan sosial se-ASEAN dan
Timor Leste. Ada juga Young Social Entrepreneurships (YSE) diselenggarakan
oleh Singapore International Foundation. Berusaha membidik ide–ide brilian
mahasiswa Fakultas Teknik UGM, yang dimulai awal tahun 2016. Bahkan, rektor
UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D bertekad menjadikan UGM
sebagai Sociopreneur University dalam pidatonya saat dilantik menjadi rektor
UGM (Susanto, 2014). Walaupun hangat dibicarakan di ranah akademik. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pelaksana kewirausahaan sosial adalah pengusaha atau
organisasi.
APIKRI hadir di tengah perdagangan bebas di Indonesia. APIKRI yang
mulai berdiri tahun 1980an mengutamakan prinsip fair trade. APIKRI juga
melaksanakan kewirausahaan sosial. Desa Wisata Krebet merupakan salah satu
anggota dari APIKRI. Di Desa Wisata Krebet APIKRI hadir sejak tahun 1990
hingga saat ini. Di Desa Wisata Krebet proses kewirausahaan sosial dilaksanakan
oleh APIKRI.
3
2. Orisinalitas
Penelitian mengenai APIKRI dan Desa Wisata Krebet telah banyak
dilaksanakan oleh peneliti dari berbagai lembaga. Namun, belum ditemukan
penelitian yang berjudul “Implementasi Kewirausahaan sosial oleh APIKRI di
Desa Wisata Krebet”. Penulis telah melakukan penelusuran mengenai penelitian–
penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan topik terhadap penelitian yang
hendak penulis lakukan. Berikut akan disajikan penelitian terdahulu terkait
APIKRI di Desa Wisata Krebet untuk menunjukkan orisinalitas dan komparasi
dari penelitian yang telah dilaksanakan penulis.
Penelitian pertama berjudul “Pemberdayaan Pengrajin Partisipan APIKRI”
oleh Blasius Suryamitisen Jumpa. Karya ilmiah ini dilakukan pada tahun 2014.
Secara umum penelitian ini berusaha memberikan gambaran mengenai
pelaksanaan program pemberdayaan APIKRI. Metode penelitian yang digunakan
pada penelitian ini kualitatif untuk menjelaskan pelaksanaan program
pemberdayaan pengrajin partisipan APIKRI dan metode kuantitatif untuk
mengukur kemandirian pengrajin setelah adanya program. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa program pemberdayaan oleh APIKRI berperan dalam
memandirikan pengrajin.
Penelitian kedua ditulis oleh Amrol Kamel dengan judul “Persepsi
Pengrajin terhadap Model Pendampingan Yayasan APIKRI untuk Pengembangan
Usaha Mikro (Studi Kasus Pengrajin Batik Kayu Topeng di Kabupaten Bantul)”.
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2016 metode penelitian yang digunakan
adalah kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pengrajin batik
4
kayu di Desa Wisata Krebet dan persepsi pengrajin terhadap model
pendampingan APIKRI.
Penelitian selanjutnya berjudul “Respon Pengrajin Partisipan Bidang
Agribisnis terhadap Program APIKRI di Kabupaten Bantul” ditulis oleh Hesti
Aina. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2016. Penelitian ini berusaha
mengetahui respon pengrajin partisipan terhadap Program APIKRI dan faktor-
faktor yang mempengaruhi respon pengrajin partisipan terhadap program
APIKRI. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif.
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya tidak terdapat pembahasan
mengenai kewirausahaan sosial oleh APIKRI. Belum ada yang menjabarkan
bagaimana implementasi kewirausahaan sosial oleh APIKRI. Hal tersebut dapat
dikatakan sebagai kelemahan penelitian terdahulu. Maka dari itu, penelitian ini
berusaha melengkapi kajian tentang APIKRI utamanya membahas implementasi
kewirausahaan sosial oleh APIKRI di Desa Wisata Krebet.
Penelitian yang dilakukan sebelumnya merupakan referensi yang penting
dalam pembahasan hasil penelitian ini. Penulis memberikan apresiasi kepada
penelitian-penelitian sebelumnya yang telah memberikan makna, pengetahuan dan
pemahaman yang baru terkait dengan program pemberdayaan yang dilakukan oleh
APIKRI, tetapi penelitian-penelitian tersebut belum ada yang fokus pada
pembahasan mengenai kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh APIKRI. Oleh
karena itu, penelitian ini berfokus pada implementasi sosial entrepreneurship oleh
APIKRI di Desa Wisata Krebet, Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan
Pajangan, Bantul, Yogyakarta.
5
3. Relevansi dengan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) memiliki tiga
konsentrasi keilmuan. Kebijakan Sosial (Social Policy), Pemberdayaan
Masyarakat (Community Empowerment) dan Tanggung Jawab Sosial perusahaan
(Coorporate Social Responsibility). Ketiga konsentrasi tersebut dipelajari dan
dikembangkan ilmunya di Departemen PSdK. Tentunya dengan objek
masyarakat. Dalam rangka memperoleh kesejahteraan tanpa kecuali. Salah satu
konsentrasinya berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Pemberdayaan Masyarakat
(Community Empowerment).
Topik penelitian yang hendak dilaksanakan oleh penulis adalah untuk
mengetahui implementasi kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh APIKRI di
Desa Wisata Krebet. Ada dua hal yang relevan dengan kajian Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan, yakni pemecahan masalah sosial melalui implementasi
pemberdayaan. Kedua hal tersebut dapat dilihat dari implementasi kewirausahaan
sosial oleh APIKRI. Dengan demikian, maka penelitian mengenai implementasi
kewirausahaan sosial APIKRI memiliki relevansi yang kuat terhadap bidang studi
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
B. Latar Belakang
Kewirausahaan sosial adalah salah satu contoh bentuk penanganan
masalah sosial yang dapat dilakukan oleh selain pemerintah (Soebiakto, 2015).
Artinya masyarakat atau swasta dapat membawa perubahan sosial tanpa ada
6
campur tangan pemerintah. Menggunakan kepekaan sosial untuk membaca
kondisi masalah sosial. Kemudian menggunakan kewirausahaan untuk
menyelesaikannya.
Kewirausahaan sosial kini sedang menjadi perbincangan yang hangat
dikalangan civitas akademika. Tercantum dalam Tri Dharma perguruan tinggi
yaitu pengabdian masyarakat. Mahasiswa yang dianggap sebagai pembela nasib
rakyat harusnya menumbuhkan kepekaannya dan kemudian berusaha
menyelesaikan permasalahan sosial yang ada. Bukan berarti harus mahasiswa saja
yang melakukan praktik kewirausahaan sosial. Banyak praktisi–praktisi yang
memiliki kepekaan sosial dan menerapkannya dalam kewirausahaan sosial ini.
Menurut Andersen (Wibowo, 2015:8) praktik kewirausahaan sosial mungkin
sudah sangat tua, tetapi sebagai sebuah kajian akademik ilmiah, topik ini terhitung
masih bayi. Oleh sebab itu penulis merasa sangat tergerak untuk meneliti.
Permasalahan sosial di Indonesia sangat mendalam dan multidimensi.
Dalam menyelesaikan permasalahan sosial di Indonesia membutuhkan lebih dari
sekedar intervensi pemerintah, lembaga non-profit dan lembaga internasional
(Dhewanto, 2013:69). Masalah tersebut antara lain kemiskinan, urbanisasi,
pengangguran, pendidikan, kesehatan, diskriminasi gender dan korupsi. Hal
tersebut membuka peluang munculnya wirausahawan sosial untuk menyelesaikan
masalah sosial dengan inovasi- inovasi sosial.
Pelaku kewirausahaan sosial adalah wirausahawan yang memiliki misi
sosial. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia pada dasarnya tidak dapat hidup
sendiri di dunia karena manusia diciptakan memang untuk saling berinteraksi dan
7
terikat dengan orang lain. Oleh karena itu sudah selayaknya setiap manusia
memiliki rasa peduli terhadap orang lain (Dhewanto, 2013: 51). Bentuk
kepedulian itu merangsang wirausahawan menjunjung misi sosialnya.
Kewirausahaan sosial adalah individu atau kelompok yang menciptakan
perubahan bagi masyarakat dengan menangkap peluang yang hilang dan
memperbaiki sistem melalui pendekatan-pendekatan baru dan menciptakan solusi
untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik (Dhewanto, 2013: 52).
Salah satu lembaga pelaku kewirausahaan sosial adalah APIKRI (Asosiasi
Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia). APIKRI berusaha untuk
mengembangkan kerajinan–kerajinan asli Indonesia agar layak untuk diekspor.
APIKRI membina kelompok–kelompok usaha mikro. Mengajarkan pembuatan
produk yang memiliki standar produksi, berusaha menyediakan bahan baku dan
berakhir pada usaha mengekspor barang hasil produksi.
Visi APIKKRI adalah menjunjung tinggi gerakan fair trade. Fair Trade
sendiri berarti perdagangan yang adil, di mana perdagangan selalu
mempertemukan antara pembeli dan penjual. Tidak terdapat pihak yang merasa
dirugikan atas diadakannya perdagangan tersebut. Kejadian yang sering terjadi
banyak penjual yang dirugikan akibat harga pasar tidak sesuai dengan biaya
produksi. Kegiatan ekspor tanpa adanya asuransi sama artinya perjudian yang
harus ditanggung pengrajin. Visi tersebut sangat menguntungkan pengrajin
anggota APIKRI, apalagi menjadi keuntungan APIKRI dalam melaksanakan
kewirausahaan sosial.
8
Selain fair trade, APIKRI juga menerapkan nilai–nilai kewirausahaan
sosial. Menggunakan kepekaan terhadap masalah sosial. Kemudian berusaha
mengatasi masalah–masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Selanjutnya
berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan nilai–nilai kewirausahaan untuk
mencapai perubahan sosial. Wujud pelaksanaan kewirausahaan sosial tersebut
salah satunya ada di Desa Wisata Krebet. Implementasi kewirausahaan sosial
APIKRI adalah hal yang hendak dicari dalam penelitian ini.
Desa Wisata Krebet terletak di Dusun Krebet, Desa Sendangsari,
Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY. Merupakan satu dari sekian
banyak desa wisata yang berada di Yogyakarta. Memiliki hasil kerajinan yang
beragam. Oleh sebab itu banyak warga di sana yang berprofesi menjadi pengrajin
kerajinan. Hasil kerajinan yang paling terkenal adalah batik ukir kayu. Terdapat
anggota pengrajin APIKRI di Dusun Krebet. Kurang lebih ada tiga pengrajin yang
aktif hingga saat ini. Berawal dari bengkel industri yang kecil hingga berkembang
menjadi besar. APIKRI meyakini bahwa usaha tersebut dapat dikembangkan lebih
lanjut, kemudian dapat menjalin kerja sama dengan APIKRI. Dimulai dari
bimbingan mengenai produk kerajinan, penentuan kualitas dan harga.
Masalah pemasaran adalah masalah utama yang dialami oleh pengrajin
Desa Wisata Krebet. Terutama pada saat melakukan ekspor kerajinan ke luar
negeri. Pengrajin dihadapkan terhadap dua pilihan yaitu ekspor secara mandiri
atau melalui perusahaan atau Perseroan Terbatas. Tentunya terdapat keuntungan
dan kerugian pada tiap pilihan tersebut. Kalau dilakukan ekspor secara mandiri,
yaitu langsung oleh pengrajin. Keuntungan yang didapat akan sangat terasa
9
karena tidak melalui pihak perantara. Resikonya sangat besar mungkin hasil
kerajinan dapat rusak saat perjalanan yang berarti konsumen enggan membeli bila
barang yang didapat tidak sesuai keinginan. Berbeda cerita dengan menggunakan
jasa eksportir. Barang kerajinan tentu memiliki “asuransi” dan dipastikan selamat
sampai negara tujuan. Mana mungkin ada perusahaan yang mau rugi saat
melakukan pekerjaannya. Akan tetapi, biaya yang harus diberikan oleh pengrajin
tentu tidaklah sedikit. Oleh karena itu APIKRI hadir di Desa Wisata Krebet
dengan cara yang berbeda, yakni mengutamakan prinsip fair trade.
APIKRI juga ingin mengembangkan jaringannya dengan memperluas
kekayaan produknya berupa kerajinan batik ukir kayu. APIKRI melaksanakan
kewirausahaan sosial di Desa Wisata Krebet juga mengarahkan APIKRI pada
keuntungan. Setidaknya agar APIKRI memiliki jaringan-jaringan kerajinan
tradisional yang makin berlimpah. Hal tersebut berdampak pada keuntungan bagi
pengrajin tersebut dan tentunya bagi APIKRI sendiri. Terutama bagi pengrajin
yaitu prinsip fair trade yang begitu diutamakan oleh APIKRI sebab memangkas
pihak-pihak penyalur yang menyebabkan keuntungan pengrajin berkurang.
Dengan demikian maka penelitian ini layak untuk dilaksanakan. Untuk
memperkaya kajian akademik mengenai kewirausahaan sosial. Meskipun
prakteknya dianggap sudah cukup tua, tetapi tidak disertai perkembangan
akademis yang kurang memadahi. Apalagi wirausahawan sosial memiliki
kesadaran yang tinggi untuk peduli terhadap sesama manusia. Berusaha untuk
menyelesaikan masalah sosial dan mencari solusinya demi menciptakan
perubahan sosial yang positif.
10
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka rumusan penelitian ini adalah:
Bagaimana implementasi kewirausahaan sosial oleh APIKRI di Desa Wisata
Krebet, Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan,
Kabupaten Bantul, DIY dalam pemberdayaan pengrajin?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Substansial
Mengetahui implementasi kewirausahaan sosial oleh APIKRI di Desa
Wisata Krebet, Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta dalam pemberdayaan pengrajin.
b. Tujuan Operasional
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembangan Ilmu
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, terutama mengenai kajian pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah salah satu konsentrasi dalam
program studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Kewirausahaan sosial
merupakan salah satu upaya pemberdayaan yang berusaha menyelesaikan masalah
sosial. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi landasan atau acuan dan
bahan komparasi serta pertimbangan bagi penelitian terkait yang selanjutnya.
11
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan perbandingan organisasi lain dalam melaksanakan
kewirausahaan sosial pada kelompok masyarakat.
b. Penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi dan referensi untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya bidang
pemberdayaan masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga tinjauan pustaka sesuai
dengan rumusan masalah. Terdapat tiga tinjauan pustaka dalam subbab ini
digunakan untuk memberi gambaran agar pembaca memiliki pengetahuan awal.
Pembaca diharapkan dapat lebih memahami terkait hal-hal yang bersangkutan
dengan rumusan masalah.
1. Implementasi
Implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu
kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman, 2002:70).
Dapat dikatakan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan yang terencana
dan sengaja dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan
kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus
diikuti oleh objek berikutnya. Menurut Setiawan (2004:39) Implementasi adalah
perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan
12
tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang
efektif.
Proses implementasi dilaksanakan saat rencana sudah dirancang. Kaswan
(2015:88) rencana harus disertai pedoman implementasi yang menunjukkan
bagaimana tindakan–tindakan itu dilaksanakan. Implementasi meliputi membagi
tugas di antara pelaksana yang berbeda, dan menjelaskan batas waktu
penyelesaian. Baik program maupun kebijakan penyusunan rencana merupakan
hal yang sangat penting. Rencana atau road map adalah panduan dalam rangka
mencapai tujuan yang diharapkan. Kalaupun tujuan yang dicapai sedikit
terlambat. Maka, pasti ada faktor–faktor penyebab kenapa implementasi tidak
berjalan sesuai harapan.
Menurut Meter dan Horn (dalam Subarsono, 2005) terdapat enam variabel
yang memberikan pengaruh terhadap implementasi. (1) standar dan sasaran, harus
jelas dan terukur supaya dapat direalisasikan, jika standar dan sasarannya tidak
jelas, maka yang akan terjadi adalah multitafsir atau dapat menimbulkan konflik.
(2) Sumber daya, pada implementasi tentu dibutuhkan sumber daya manusia
maupun sumberdaya non manusia. (3) hubungan antar organisasi, implementasi
sebuah program sangat memerlukan dukungan maupun organisasi dari pihak-
pihak yang berkaitan, koordinasi dan kerja sama harus diperhitungkan agar
sasaran implementasi dapat tercapai. (4) Karakteristik agen pelaksana yang
mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi
dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu
kebijakan. (5) Kondisi sosial politik dan ekonomi yang mencakup sumber daya
13
ekonomi lingkungan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok
kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijkan, sifat opini-opini
publik yang ada di lingkungan pelaksanaan implementasi dan sikap-sikap elit
politik dalam mendukung implementasi suatu kebijakan. (6) Disposisi, mencakup
tiga hal penting yaitu: respons implementator terhadap kebijakan yang
mempengaruhi kemauan untuk melaksanakan kebijakan, kognisi atau pemahaman
terhadap kebijakan dan intensitas disposisi implementator. Variabel tersebut
benar-benar menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yang sudah
diatur dan direncanakan.
Selain definisi dan konsep, hal lain yang perlu diperhatikan dalam melihat
dan menganalisis proses implementasi kebijakan adalah model-model dari
implementasi kebijakan tersebut. Model yang digunakan sebagai dasar analisis
data penelitian ini adalah model atau teori implementasi kebijakan yang
dikembangkan oleh George C, Edwads III. Menurut Edward III (Subarsono,
2005:90), terdapat empat variabel yang mempengaruhi implementasi suatu
kebijakan , dimana variabel-variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain,
yaitu komunikasi (communication), sumber daya (resources), disposisi
(disposition) dan struktur birokrasi (bureaucratic structure).
Menurut Widodo (2008:97), komunikasi kebijakan didefinisikan sebagai
suatu proses yang terjadi di antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan
dalam usaha penyampaian informasi kebijakan. Informasi–informasi mengenai
kebijakan tersebut harus disampaikan kepada pelaksana kebijakan agar mereka
bisa memahami dan mengetahui apa yang menjadi substansi, kelompok sasaran
14
kebijakan, arah, dan tujuan kebijakan (Widodo, 2008). Keberhasilan implementasi
kebijakan dapat terlihat dari kesiapan para pelaku kebijakan dalam mengetahui
apa yang harus dikerjakan dan dipersiapkan, sesuai dengan tujuan dan sasaran
kebijakan (Subarsono, 2005).
Sumber daya merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan penting
dalam implementasi suatu kebijakan. Apabila substansi dan tujuan kebijakan
sudah diinformasikan dengan jelas dan konsisten, namun sumber daya yang
dimiliki dalam pelaksanaan kebijakan terbatas, maka hal tersebut akan
berpengaruh pada keefektifan implementasi kebijakan (Subarsono, 2005:91).
Menurut Widodo (2008) terdapat tiga sumber daya yang diperlukan dalam
implementasi suatu kebijakan, yaitu sumber daya manusia, sumber daya keuangan
dan sumber daya peralatan. Pertama, sumber daya manusia berkaitan dengan
jumlah pelaku kebijakan beserta keahlian dan kemampuan yang perlu dimiliki
dalam pengimplementasian suatu kebijakan. Kedua, sumber daya keuangan
merupakan sumber daya yang diperlukan untuk membiayai operasionalisasi
implementasi program. Terbatasnya sumber daya keuangan akan berpengaruh
pada terbatasnya kualitas pelayanan publik dan keberhasilan pelaksanaan
kebijakan. Ketiga, sumber daya peralatan merupakan sumber daya yang
digunakan dalam operasionalisasi implementasi suatu kebijakan, seperti: gedung,
tanah dan berbagai sarana yang akan memudahkan dalam implementasi suatu
kebijakan (Widodo, 2008:98-102).
Menurut Subarsono (2005:92), apabila para pelaku kebijakan mempunyai
disposisi yang baik, maka ia akan melaksanakan kebijakan dengan baik sesuai
15
dengan tujuan kebijakan dan keinginan para pembuat kebijakan. Disamping itu,
akan terjadi pertentangan yang berakibat pada tidak efektifnya proses
implementasi kebijakan apabila para pelaksana kebijakan memiliki sikap dan
perspektif yang berbeda dengan para pembuat kebijakan (Subarsono, 2005).
Menurut Widodo (2008:106), struktur birokrasi ini mencakup berbagai
aspek, seperti: pembagian kewenangan, hubungan antar unit-unit dalam organisasi
yang bersangkutan, struktur organisasi, serta hubungan organisasi dengan
organisasi luar dan sebagainya. Struktur birokrasi mencakup dua dimensi, yaitu
fragmentasi dan standar prosedur operasi yang bisa menyeragamkan dan
memberikan kemudahan dalam pelaksanaan tindakan dan tugas (Widodo, 2008).
2. Kewirausahaan Sosial
Sejarah kewirausahaan sosial di dunia sudah dimulai sejak tahun 1960.
Walaupun, pada masa itu belum benar–benar menyebut diri dengan
kewirausahaan sosial. Tetapi, Florance Nightingale merupakan pendiri sekolah
perawat. Pada masa itu opini publik cenderung menyebutnya sebagai pekerja
sosial. Padahal, nuansa pemberdayaan ala kewirausahaan sosial mengalir kental di
sekolah keperawatan itu. Grameen Bank dari Bangladesh juga merupakan satu
dari bentuk kewirausahaan sosial. Dimulai sekitar tahun 1975, Muhhamad Yunus
adalah seorang profesor ahli ekonomi yang turun langsung untuk mengentaskan
kemiskinan. Oleh karena itu, fokus grameen bank adalah kemiskinan saja.
Istilah kewirausahaan sosial merupakan turunan dari kewirausahaan
(Destianto, 2015). Munculnya kata social yang erat kaitannya dengan masyarakat.
16
Makna kata masyarakat tersebut menyamarkan makna kewirausahaan yang
cenderung akan sisi ekonomi. Walaupun akhirnya menggunakan prinsip–prinsip
ekonomi untuk menyelesaikan masalah sosial. Karena tujuan dari kewirausahaan
sosial sendiri adalah menciptakan perubahan sosial berupa kesejahteraan.
Wirausaha sosial merupakan salah satu bentuk dari jenis–jenis
kewirausahaan. Mereka adalah wirausaha yang memiliki misi sosial. Akan tetapi,
oleh sebab misi tersebut, mereka menghadapi tantangan yang khas dan segala
definisi untuk mencerminkannya (Gregory, 1998:3). Sedangkan, (Richez-Battesti
& Francesca Petrella, 2013) kewirausahaan sosial adalah jenis kewirausahaan
yang berbeda yang bertujuan menciptakan nilai sosial, yaitu manfaat dalam skala
besar bagi masyarakat. Memang diperlukan kejelian membaca peluang untuk
melakukan perubahan sosial. Sudah barang pasti bila kemampuan tersebut wajib
dimiliki oleh wirausahawan.
Menurut Saifan (dalam Dhewanto, 2013: 45) kewirausahaan sosial telah
berkembang secara signifikan di tingkat praktis, tetapi tidak pada tingkat teoritis.
Ia juga menambahkan kurangnya kesepakatan tentang definisi kewirausahaan
sosial yang berarti bahwa disiplin ilmu lainnya sering keliru dalam
mendefinisikan kewirausahaan sosial. Kesamaan definisi sangatlah penting guna
mengatur fungsi kewirausahaan sosial secara terpisah dari kegiatan yang
berorientasi dan mengidentifikasi batas-batas sosial di mana kewirausahaan sosial
melakukan usahanya. Berikut akan disajikan tabel yang menunjukan perbedaan
konsep penyelesaian maslah sosial antara filantropi (charty), Lembaga Swadaya
17
Masyarakat (LSM) dan kewirausahaan sosial menggunakan analogi cara
mendapatkan ikan.
Tabel I. Perbedaan Konsep Kewirausahaan Sosial
Konsep Penyelesaian Masalah Filantropi/ Charity “Beri seseorang ikan dan Anda
memberinya makan untuk satu hari ...”
Lembaga Swadaya Masyarakat/ Pemberdayaan Masyarakat
“... Mengajarkan seseorang pria untuk menangkap ikan dan anda memberikannya untuk makan seumur hidup”
Kewirausahaan Sosial “Memberikan akses modal untuk menciptakan bisnis perikanan yang berkelanjutan pada tingkat yang adil pengembalian dan mengubah dunia.”
Sumber: Saifan (dalam Dhewanto, 2013)
Tabel I menjelaskan bahwa kedalaman kewirausahaan sosial dibandingkan
konsep filantropi. Kewirausahaan sosial memberikan peluang terselesaikannya
masalah sosial secara lebih nyata. Hal yang paling menegaskan antara
kewirausahaan sosial dibandingkan dengan LSM yaitu potensi keberlangsungan
penyelesaian masalah sosial konsep kewirausahaan sosial lebih terjamin karena
menjadi bisnis bukan untuk kepentingan sendiri. Dalam penelitian ini ternyata
APIKRI adalah sebuah LSM yang melaksanakan kewirausahaan sosial.
Kewirausahaan sosial berdampak lebih jauh daripada pemberdayaan
masyarakat. LSM atau pemberdayaan masyarakat tidak mengajarkan bagaimana
sebuah usaha dapat mendatangkan keuntungan sesuai asas kewirausahaan. Oleh
karena itu, yang membedakan pemberdayaan masyarakat dengan kewirausahaan
sosial, dimana kewirausahaan sosial mengajarkan berbisnis untuk menyelesaikan
masalah sosial.
Menurut Kaswan (2015:18) kewirausahaan sosial biasanya digunakan
untuk menjelaskan semua program ekonomi yang melayani misi sosial dan atau
18
misi lingkungan hidup serta yang menginvestasikan ulang sebagian besar
surplusnya dalam mendukung misinya. Fokusnya pada pencapaian efisiensi
ekonomi dan inovasi sosial. Misi sosial tersebut sengaja diangkat demi melakukan
perubahan sosial. Oleh sebab itu kepekaan sosial wirausahawan mempengaruhi
ketercapaian misi sosialnya.
Menurut Ryszard Praszkier dan Anderzej Nowak (Kaswan, 2015:30) ada
lima dimensi utama dalam kewirausahaan sosial: (1) misi sosial, tidak hanya
mencari keuntungan, tetapi wirausahawan sosial percaya bahwa tujuannya lebih
besar dari sekedar membangun nilai ekonomi dalam organisasi. (2) Inovasi sosial,
pembaharuan yang sifatnya sosial baik dalam tujuan maupun sarananya yang
secara stimultan memenuhi nilai sosial dan menciptakan hubungan sosial baru. (3)
Perubahan Sosial, susah untuk dapat memisahkan inovasi sosial dengan
perubahan sosial. Tetapi, ciri utama dari perubahan sosial adalah bersifat letupan
dan pada akhirnya memiliki konsekuensi luas dan jangka panjang. (4) Semangat
kewirausahaan, dapat dilihat melalui inovasi, kreasi terhadap pembaharuan,
menciptakan kekayaan bagi individu dan menambahkan nilai bagi masyarakat. (5)
Kepribadian, tiga ciri menonjol yang mencerminkan kepribadian wirausahawan
sosial: kebutuhan untuk berprestasi, lokus kontrol dan keberanian mengambil
resiko.
Menurut Durieux & Stebbins (Kaswan, 2015) Kewirausahaan sosial dapat
ditinjau dari tiga unsur utama: motivasi, organisasi, dan masyarakat . Ketiga unsur
tersebut saling mengisi satu sama lain. Motivasi kewirausahaan sosial kebanyakan
dimulai dari rasa simpati terhadap nasib orang lain, kegentingan dan kepedulian
19
Antecendent
•Motivasi sosial/ Misi
•Identifikasi peluang
•Akses Permodalan/ Funding
•Banyaknya kuantitas pihak-pihak yang bersentuhan
Entrepreneurial Orientation
•Keinovasian
•Keproaktivan •Pengambilan resiko
•Potensi agresi dalam kompetisi
•Otonomi
Outcomes
•Penciptaan nilai sosial
•kesinambungan solusi
•Tingkat kepuasan pihak-pihak yang bersentuhan
yang menginspirasi wirausaha sosial. Unsur organisasi menegaskan bahwa
orientasi organisasi tersebut bergerak sebagai lembaga bisnis atau nirlaba. Apabila
berbentuk organisasi bisnis maka staf yang bekerja didalamnya diberi upah. Jika
organisasi nirlaba, mereka bisa saja dibayar atau bekerja sebagai relawan.
Organisasi juga harus memiliki misi dan misi yang jelas. Sehingga, tujuan dari
organisasi tersebut memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat diwujudkan.
Masyarakat merupakan sasaran dari perubahan sosial yang direncanakan.
Kewirausahaan sosial berusaha mengidentifikasi peluang untuk
mengkonversikannya menjadi pendorong perubahan di masyarakat agar dapat
memecahkan masalah sosial.
Proses kewirausahaan sosial secara umum tidak jauh berbeda dengan
wirausaha. Terdapat beberapa bagian yang menyebabkan proses ini menjadi khas
dan unik Lumpkin (dalam Wibowo, 2015: 27). Terdapat tiga tahap dalam proses
ini
Bagan Kerangka Kerja Proses Kewirausahaan Sosial
Sumber: Lumpkin (dalam Wibowo, 2015: 27)
20
Cara mengukur keberhasilan kewirausahaan sosial bukan dilihat dari profit yang
didapatkan, tetapi pada tingkat di mana nilai-nilai sosial yang sudah dihadirkan
oleh Dees (dalam Wibowo, 2015: 19).
Dalam penelitian ini definisi utama yang dipakai dalam mengkerangkai
kewirausahaan sosial adalah pendapat George. Wirausaha sosial merupakan salah
satu bentuk dari jenis–jenis kewirausahaan. Mereka adalah wirausaha yang
memiliki misi sosial. Akan tetapi, oleh sebab misi tersebut, mereka menghadapi
tantangan yang khas dan segala definisi untuk mencerminkannya (Gregory,
1998:3). Lalu, untuk menginterpretasikan kewirausahaan sosial dalam penelitian
ini menggunakan lima dimensi kewirausahaan sosial menurut Ryszar Praszkier
dan Anderzej Nowak.
3. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dapat ditinjau dari perspektif pembangunan.
Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu
terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata (Wrihatnolo &
Dwidjowijoto, 2007: 43). Tentunya segala upaya yang dilakukan oleh negara
untuk kemakmuran rakyatnya. Setidaknya berusaha memperbaiki keadaan saat ini
menuju kondisi yang lebih baik. Maka dari itu salah satu tujuan pembangunan
adalah perubahan sosial. Menurut Soetomo (2012:42) berbagai prinsip, teori dan
kecenderungan umum proses perubahan sosial dapat digunakan untuk
menjelaskan fenomena perkembangan atau pembangunan masyarakat. Dalam
penelitian ini prinsip-prinsip pemberdayaan yang akan digunakan berdasarkan
21
Soetomo (2006: 82) yaitu: (1) fokus perhatian ditujukan pada komunias sebagai
suatu kebulatan (2) berorientasi pada kebutuhan dan permasalahan komunitas (3)
mengutamakan prakarsa, partisipasi dan swadaya masyarakat.
Selama ini, pelaksanaan pembangunan seakan–akan turun dari atas ke
bawah. Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah merupakan pembangunan
yang berorientasi pada perspektif pertumbuhan yang dikombinasikan dengan
kebijakan sendiri. Justru, menimbulkan kesan sepihak atau sentralis dan top down.
Memang benar jika, kebijakan secara makro dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Tetapi, tidak berlaku pada kaum–kaum marginal yang hidup dibawah
garis kemiskinan.
Konsep pemberdayaan muncul untuk meratakan kekuasaan yang selama
ini mengalir dari atas ke bawah. Ketidakberdayaan masyarakat dalam
mempengaruhi proses perencanaan kebijakan merupakan contoh kekuasaan yang
sentralis. Padahal, kebutuhan masyarakat daerah satu dengan yang lain tentu tidak
sama. Jadi, perlu ada identifikasi sesuai kondisi dan keadaan yang ada dengan
cara mandiri. Menurut Wrihatnolo (2007:115) unsur penting dalam pemberdayaan
adalah desentralisasi dan pengembangan kapasitas. Pemberdayaan atau
empowerment mengandung dua pengertian, (1) to give power or Authority to atau
memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas ke
pihak lain, (2) to give ability to atau to enable atau usaha untuk memberi
kemampuan atau keberdayaan.
22
Tinjauan pustaka ini telah digunakan untuk mengkerangkai pembahasan
tentang topik penelitian. Penelitian berfokus pada implementasi, kewirausahaan
sosial dan pemberdayaan masyarakat sesuai rumusan masalah. Implementasi
digunakan untuk melihat bagaimana kegiatan teknis yang dilakukan oleh APIKRI.
Hal tersebut dilihat mulai dari tahap awal identifikasi atau perencanaan hingga
akhir prosesnya. Kewirausahaan sosial digunakan untuk menggarisbawahi,
bagaimana konsep kewirausahaan sosial yang digunakan oleh APIKRI. Konsep-
konsep apa yang dijunjung tinggi oleh APIKRI dalam melaksanakan
kewirausahaan sosial hingga pelaksanaan yang dilakukan di lapangan.
Pemberdayaan masyarakat dalam penelitian ini digunakan untuk melihat bahwa
pengrajin batik ukir kayu adalah wujud dari masyarakat. Pemberdayaan tersebut
dilakukan oleh APIKRI sebagai lembaga non pemerintah atau Lembaga Swadaya
Masyarakat. Bentuk pemberdayaan yang dilakukan adalah kewirausahaan sosial.
Akhirnya, konsep-konsep tersebut telah dilihat dalam Desa Wisata Krebet tempat
pengrajin batik ukir kayu, karena APIKRI memiliki anggota pengrajin di Desa
Wisata Krebet.