bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106356/potongan/s2... ·...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian ini dipicu oleh sebuah pernyataan yang menggelitik; bahwa sejatinya
Desa adalah negara kecil. Ter Har menyebutnya dorps republic (republik desa). Ini
didasarkan pada kenyataan bahwa wilayah (domain), warga (community), aturan
(rules) atau hukum (laws), dan pemerintahan yang menjadi dasar terbentuknya
sebuah Negara (state), dimiliki oleh sebuah desa. Tidak adanya pengakuan
kedaulatan oleh negara-negara lain secara internasional yang menjadi perbedaan
prinsip antara Desa dengan Negara (Zakaria 2004).
Keberadaan Negara kecil seperti penggambaran di atas, telah ada dan berjalan
dengan teratur, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
terbentuk, termasuk di wilayah Timur Indonesia, Maluku. Menurut Cooley (1987),
sebelum datangnya pengaruh-pengaruh luar oleh bangsa barat yang menginvasi
Maluku, pada umumnya desa-desa diwilayah ini dibentuk oleh sebuah ikatan
geneologis yang merupakan sekelompok kecil keluarga yang menetap di suatu
tempat/wilayah, dikenal dengan sebutan Soa yang dikepalai oleh seorang upu. Pada
perkembangan selanjutnya, beberapa Soa bergabung dan mengangkat seorang raja
(latu) yang dianggap memiliki kekuatan paling hebat di antara upu-upu lainnya,
sehingga wilayah kekuasaan menjadi semakin luas. Inilah cikal bakal terbentuknya
Negeri/Desa adat di Maluku yang tersebar di beberapa wilayah. Negeri-Negeri ini
berkembang dengan struktur yang semakin kompleks seiring dengan semakin luasnya
kesatuan wilayah kekuasaan. Negeri-Negeri ini berdiri sendiri-sendiri, berdampingan
satu sama lain dan tidak merupakan satu kesatuan, masing-masing memiliki
community (warga), domain, laws dan government yang bersifat otonom (Efendi
1987).
2
Otonomisasi Negeri pada masing-masing level (community, domain, laws dan
government) terlihat pada karakteristik khusus dari sebuah Negeri. Masing-masing
Negeri memiliki marga (faam) dan bahasa daerah sendiri. Faam dan bahasa daerah
ini menjadi identitas community yang membedakan dengan Negeri lain. Negeri juga
memiliki domain yang disebut dengan petuanan adat (beschikkingsgebied), yang
terbagi di dalam wilayah administratif kecil (dusun). Secara informal community
yang menempati domain ini, terikat dengan roles dan laws yang berlaku setempat.
Umumnya aturan ini telah berlaku dan dijalankan secara turun temurun oleh seluruh
warga. Negeri dipimpin oleh seorang Raja (regent) atau pamerentah yang berasal dari
marga tertentu (mata rumah parentah). Terdapat tiga buah lembaga atau badan yang
aktif selain Pamerentah yaitu: Pemerintahan Negeri; Saniri Lengkap; dan Saniri
Besar, yang bertugas untuk dalam menjalankan roda pemerintahan Negeri (Efendi
1987).
Pemerintahan Negeri adalah badan pemerintahan Negeri yang terdiri atas
Pamerentah dan para kepala Soa. Saniri Lengkap atau sering disebut Saniri Negeri
keanggotaanya terdiri dari pejabat-pejabat yang merupakan wakil dari Soa Soa tapi
bukan kepala Soa, kepala-kepala adat dan tua-tua Negeri. Saniri Besar merupakan
semacam rapat terbuka antara Saniri Negeri langsung dengan seluruh masyarakat
yang dilaksanakan setahun sekali di Baileo Negeri (balai desa) sebagai
pertanggungjawaban pelaksanaan jalannya pemerintahan Negeri dan keuangan
Negeri serta hal hal lainnya yang menyangkut Negeri pada tahun yang sudah berjalan
dan pelaksanannya bisa dilakukan pada awal tahun.Sistem pemerintahan yang seperti
ini telah berlaku sejak para leluhur (tete nene moyang) orang Maluku yang menjadi
Entitas asli daerah ini.
Entitas asli Maluku ini sangat tertata rapi. Setiap warga Negeri, patuh dan
melaksanakan sistem ini dengan penuh ketaatan. Hal ini disadari oleh kompeni
sehingga Negeri, seperti halnya desa yang ada di wilayah Indonesia dijadikan sebagai
alat eksploitasi kekayaan dan sumber daya alam (Maschab, 2013). Untuk
memuluskan maksudnya, penjajah Belanda mengakui pemerinthan Negeri dengan
dikeluarkannya keputusan landraad Amboina No.14 Tahun 1919 tentang regent en de
3
kepala soas’s (Pemerintahan Negeri) dan diperkuat dengan keputusan landaard
Amboina No. 30 Tahun 1919 tentang negorijbestuur (Dewan Negeri).
Negorijbestuur adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa Raja
dan Kepala-Kepala Soa menjadi pelaksana pemerintahan Negeri (Efendi 1987).
Pengakuan terhadap keberadaan pemerintahan Negeri sebagai republik kecil
yang ada di Wilayah Maluku ini, tidak mendapat tempat saat Indonesia mampu
terlepas dari belenggu kekuasaan penjajah. Euforia kemerdekaan 17 Agustus tahun
1945, ternyata tidak serta merta membawa angin segar bagi kemerdekaan seluruh
warga. Seperti yang dikemukakan oleh Buya Hamka;
“ Masa penjajahan yang panjang, menyebabkan sebagian masyarakat
Indonesia terbagi dalam dua kategori yaitu bermental penjajah dan bermental
terjajah“
Negara Indonesia yang sebagai sebuah lembaga yang mewakili kepentingan
seluruh warganya (kepentingan umum) kembali menggunakan kekuasaannya melalui
Pemerintah untuk memaksakan adanya homogenisasi dalam tata kelola Pemerintahan
mulai dari pusat hingga ke daerah (desa). Cita-cita kemerdekaan melalui sistem
pemerintahan berkedaulatan rakyat dalam wajah negara demokrasi, mengoyak
kearifan lokal yang telah terbentuk sekian lama, puncaknya pada masa orde baru.
Regulasi yang mengatur tentang desa di Indonesia pada masa rezim orde baru,
dituangkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa. Desa adat mengalami
tekanan luar biasa dari negara melalui penyeragaman dan Jawanisasi sistem
pemerintahan desa dalam kesatuan administrasi sentralistik. Undang-undang ini
mengubah desa geneologis atau self governing community yang memiliki hukum adat
yang mengatur dan mengurus sumber daya lokal secara komunal menjadi desa
teritorial adminstratif sebagai perpanjangan tangan Negara untuk menjalankan tugas-
tugah administratif dan pelayanan terhadap warga (Eko 2013). Desa (termasuk desa
adat) tidak lagi berdaya dalam mengurus masyarakat hukum adat berdasarkan hukum
adat. Desa orde baru telah menjadi “perpanjangan tangan” pemerintah pusat yang
bertindak dan berperilaku seragam dalam komando yang sentralistik. Desa adat
kemudian hancur sebagai unit pemerintahan, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
4
hukum adat. Atas nama pembangunan bagi seluruh masyarakat, desa adat terpecah-
pecah menjadi desa-desa administrasi atau tidak diakui sebagai unit pemerintahan asli
(asal usul) masyarakat hukum adat. Keragaman politik lokal mengalami mati suri di
bawah cengkraman otoritas negara mengusung panji orde baru (Maschab, 2013).
Runtuhnya rezim orde baru yang melahirkan reformasi tahun 1999
mendorong perubahan struktur pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik
atau lazim disebut dengan otonomi daerah. Meskipun era ini ditandai dengan adanya
geliat penguatan lokalitas, pada kenyataannya otonomi daerah tidak secara signifikan
mengubah kondisi desa adat dan masyarakat hukum adat. Reformasi hanya
melahirkan delegasi kekuasaan antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah
(otonomi daerah). Desa dalam hal ini tetap menjadi unit pemerintahan yang
menjalankan fungsi pelimpahan administratif semata, yang dahulunya di dominasi
oleh pemerintah pusat menjadi dominasi pemerintah daerah. Pada kondisi ini, gaung
revitalisasi adat yang mengalir seiring reformasi, tindak mampu menempatkan
masyarakat adat pada posisi yang sesuai asal-usul.
Keadaan ini rupanya disadari oleh Pemerintah di tahun 2014, dengan
bercermin dari dinamika respon masyarakat adat di wilayah Indonesia, serta dan
dukungan dari organisasi internasional yang berkomitmen terhadap perjuangan hak-
hak masyarakat asli (indigeneous peoples), keanekaragaman budaya, dan pendapat
bahwa lingkungan dan sumber daya alam dapat dilindungi oleh masyarakat lokal dan
tradisi. Kesadaran akan hal ini dituang dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa. Melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, gambaran desa
sebagai dorps republic, semakin menguat. Di sana dilakukan pembedaan antara Desa
dengan Desa Adat. Secara politik, Desa merupakan suatu organisasi pemerintahan
atau organisasi kekuasaan yang mempunyai wewenang tertentu (Maschab 2013).
Sedangkan Desa Adat adalah warisan organisasi pemerintahan masyarakat lokal yang
dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin
dan masyarakat. Pembedaan desa dengan desa adat tersebut di atas memungkinkan
adanya sosok desa yang semakin berbeda dengan sosok desa adat (Sintya 2015).
Lebih dari itu, keberadaan republik desa sebagaimana ditengarai dari telaah hakiki
5
tersebut di atas menjadi semakin mendapat ruang aktualisasi, ketika amanat Undang-
undang untuk mewujudkan gagasan „Desa Adat‟, termasuk Negeri wilayah Maluku
Tengah.
B. Rumusan Masalah
Desa di Maluku Tengah yang disebut Negeri merupakan desa adat yang sudah
memiliki struktur pemerintahan yang sudah ada sejak zaman dahulu, namun seiring
perkembangan mengalami dinamika mengikuti regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat baik sejak masa kolonial hingga sekarang. Namun, masyarakat
tetap mempercayaai aturan yang mengatur kehidupan mereka baik pemerintahan,
hubungan masyarakat bahkan pengelolaan sumber daya alam, diatur dengan hukum
adat. Maka pertanyaan riset adalah : “Bagaimana cara kerja adat untuk membentuk
keyakinan masyarakat sehingga dapat mempertahankan tatanan sosial pemerintahah
Negeri/desa adat di kabupaten Maluku Tengah dalam ketatnya perubahan regulasi
tata kelola desa oleh Negara”
C. Pendekatan Teoritik
Guna mengkaji permasalahan yang ingin diungkap, kajian teoritik akan
digunakan akan dibagi kedalam dua pokok kajian. Pertama, kajian ini akan
membedah cara kerja adat melalui basis historis dalam membentuk tatanan
pemerintahan Negeri/Desa Adat di Kabupaten Maluku Tengah, yang menjadi
keyakinan yang telah berakar kuat dalam pribadi maupun komunitas secara kolektif
pada masyarakat adat secara turun-temurun khususnya di desa Soahuku, Yaputih, dan
Kabau, menggunakan pisau analisis teori Boerdieu yaitu simbol, habitus, doxa dan
ranah.
Kedua, karena kajian ini menganggap bahwa Negeri/Desa Adat di Maluku
Tengah sebagi sebuah “Negara kecil” di bawah wilayah NKRI, sudah menjadi
keniscayaan jika keduanya yang sama-sama memiliki kekuatan untuk mendominasi
6
praktik politik dalam kehidupan masyarakat ada. Berdasarkan alasan ini, teori Negara
akan dijadikan sebagai pijakan dalam menilai dialektika kekuatan Negara lewat
regulasi undang-undang dengan eksistensi adat telah terinternalisasi dalam ruang dan
waktu historis yang lama.
1. Intrumen dominasi
a. Habitus dan doxa: logika determinasi
Penggunaan konsep habitus dalam studi ini dimaksudkan agar menilai
bagaimana kecendrungan masyarakat adat (individu) memposisikan dirinya
dalam sebuah praktik yang berkaitan dengan keyakinan adat. Sedangkan konsep
doxa digunakan untuk mengupas bagaimana legitimasi adat untuk memproduksi
wacana yang berpengaruh (dominan) sehingga dapat diterima sebagai kebenaran
yang tidak dapat dipertanyakan lagi bagi masyarakat Negeri di Maluku Tengah.
Habitus lahir dari penolakan Boerdieu terhadap pandangan kaku
subjektivisme dan objektivisme yang menilai pelaku sosial (agen) atau aktor di
dalam perilaku keseharian. Artinya, kehidupan sosial yang tercermin dalam cara
seseorang menerima maupun mempraktekkan sebuah perilaku, bukan semata-
mata akibat pengaruh struktur objektif dalam hal ini adalah struktur sosial
(objektivisme), akan tetapi juga merupakan hasil produksi pemikiran dan
penalaran subjektif individu dalam memahami realitas sosial (subjektivisme).
Dalam telaah kritisnya, Bourdieu memandang bahwa problem dikotomi
antara objektivisme dan subjektivisme atau pertentangan antara agen dan
struktur dalam praktik sosial dapat didamaikan dengan habitus. Bourdieu (1980),
dalam Swartz (1997:96) menyebutkan bahwa "the socialized body (which one
calls the individual or person) does not stand in opposition to society; it is one of
its forms of existence". Boerdeu menawarkan solusi habitus menggunakan suatu
kerangka berpikir relasional. Kerangka ini mensyaratkan adanya proses
dielektika antara struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku,
7
yang saling mempengaruhi secara timbal balik. Kedua hal ini tidak saling
menafikan, tetapi saling bertaut dalam sebuah praktik sosial (Fashri 2014).
Melalui ide habitus, Bourdieu mencoba mengurai praktik sosial sehari-hari
beserta prinsip-prinsip keteraturan yang mengiringinya. Boierdeu ingin
menunjukan bahwa praktik sosial bukan hanya dipahami sebagai pola
pengambilan keputusan yang bersifat individual atau praktik sosial sebagai hasil
dari struktur supra-individual (Fashri 2014) yang diungkapkan lewat pernyataan
“habitus is both a system of schemes of production of practices and a system of
perception ana appreciation of practices” (Bourdieu, 1989) dalam (Bayo 2010)
Konsep habitus dapat ditemukan garis penghubung antara pola determinasi
individu dan determinasi struktur supra-individual. Habitus dapat diandaikan
sebagai mekanisme pembentuk bagi praktik sosial yang beroperasi dari dalam
diri aktor. Boerdieu menyatakan bahwa habitus merupakan “the mental
structures through which they apprehend the social world, are essentially the
product of internalization of the structure of the social world” artinya habitus
adalah hasil internalisasi struktur dunia sosial atau struktur sosial yang
dibatinkan dan diwujudkan.
Dalam hal ini Fashri, menjabarkan habitus dengan empat ciri prinsip yaitu;
pertama, mencakup dimensi kognitif dan afektif yang teaktualisasi dalam sistem
disposisi. Disposisi sendiri mencakup dalam tiga makna yang berbeda: 1)
disposisi dimengerti sebagai hasil dari sebuah tindakan yang mengatur; 2)
merujuk kepada cara meng ada (a way of being) atau kondisi habitual (a habitual
state); dan 3) disposisi sebagai sebuah predisposisi, tendensi, niat atau
kecendrungan. Disposisi terbentuk melalui praktik individu dengan pengalaman
personalnya, interaksi individu dengan orang lain dan dengan struktur objektif.
Kecendrungan-kecendrungan ini dipupuk di dalam posisi-posisi sosial suatu
lingkungan dan memberikan kerangka adaptasi subjektif terhadap posisi sosial
tersebut. Sebagai sebuah sistem disposisi, habitus mencakup kecendrungan-
kecendrungan yang berlangsung kokoh dalam jangka waktu yang lama. Akan
tetapi, karena habitus juga mencakup dimensi kognitif dan afektif, sehingga
8
habitus juga bersifat fleksibel, dan memberi raung bagi individu untuk
beradaptasi terkait dengan posisinya dalam sebuah stuktur atau praktik sosial
tertentu.
Kedua, habitus merupakan struktur-struktur yang dibentuk (structured
structure) dan struktur-struktur yang membentuk (structuring-structure). Hal ini
menyaratkan adanya peran ganda dari habitus dimana di satu sisi, habitus
berperan sebagai sebuah struktur yang membentuk kehidupan sosial. Sedangkan
di sisi lain,habitus dipandang sebagai sruktur yang dibentuk oleh kehidupan
sosial.
Prinsip ketiga adalah habitus merupakan sebuah produk sejarah. Hal ini
tertuang dalam perkataan Boerdieu yaitu “The habitus, the product of history,
produces individual and collectives practice, and hence hstory, in accordance
with the schemes engendered by history”. Habitus merupakan hasil akumulasi
pembelajaran maupun sosialisasi individu maupun kelompok. Dalam hal ini,
sejarah adalah suatu rangkaian berlanjut dari sebuah probabilitas, menjadi
produk dari apa yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang (praktik)
(Jenkins 2004). Pengaruh masa lalu tidak disadari sepenuhnya dan dianggap
sebagai sesuatu yang alamiah atau wajar. Ketidaksadaran kultural yang melekat
dalam habitus, senantiasa diawetkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
dan terus menerus diproduksi ulang bagi pembentukan paktik sosial sehari-hari.
Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Praktik sosial Bourdieu
Keempat, habitus bekerja di bawah aras kesadaran dan bahasa, melampaui
jangkauan pengamatan introspektif atau kontrol oleh keinginan aktor. Habitus
Struktur
Praktik
Habitus
9
memberi strategi bagi individu untuk mengatasi pelbagai situasi yang berubah-
ubah dan tidak terduga. Lewat pengalalaman-pengalaman masa lalu, habitus
berfungsi sebagai matriks persepsi, apersepsi dan tindakan. Dengan kata lain
bahwa sebuah tindakan tidak melulu dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan
terhadap aturan, tetapi sisa-sisa masa lalu juga berperan membentuk tindakan-
tindakan atau praktik individu atau kelompok.
Praktik selanjutnya merupakan hasil dari pengintegrasian, pembiasaan, dan
dibentuk dalam lingkungan tertentu. Praktik yang telah dipelajari berdasarkan
persepsi maupun pengalaman afektif individu tersebut, menjadikan individu
mampu bernegosiasi dalam interaksinya dengan individu lainnya pada sebuah
lingkungan sosial.
Pada sebuah lingkungan sosial, individu mungkin akan terpapar dengan
berbagai macam habitus. Habitus yang beragam tersebut, dapat menjadi stimulus
yang tumpang tindih. Habitus dengan stimulus (wacana) yang kuat (dominan)
biasanya lahir dari sebuah interaksi sosial yang intens, dan merupakan sesuatu
yang dikondisikan oleh kelompok-kelompok yang homogen. Wacana dominan
ini selanjutnya yang disebut oleh Boerdieu dengan doxa.
Doxa adalah dunia wacana yang mendominasi individu. Ia merupakan
semesta makna yang diterima begitu saja kebenarannya, tanpa dipertanyakan
lagi. Doxa menjadi tatanan sosial yang dalam diri individu yang stabil dan terikat
pada tradisi, serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak
dipertanyakan lagi. Ia kemudain menjadi kesadaran kolektif yang dianggap hadir
begitu saja tanpa pertimbangan. Sebagai sebuah wacana dominan, doxa memiliki
kemampuan untuk mendefinisikan “yang lain” (the others). Hal ini dapat terjadi
karena doxa memiliki otoritas untuk menjadikan “yang lain” patuh dan percaya.
b. Ranah, Modal dan Simbol
Konsepsi Boerdieu tentang habitus dan doxa dalam membangun logika
dominasi tidak terlepas dari konsepsi lain yang dikemukakan olehnya yaitu
ranah (field) dan modal (capital).
10
Boerdieu mendefinisikan ranah sebagai “a network, or configuration, of
objective relations between positions. These positions are objectively defined, in
their existence and in the determinations they impose upon their occupants,
agents or institusions, by their present and potential situation (situs) in the
structure of the distributions of species of power (or capital) whose possession
commads access to the specific profits that are at stakein the field, as well as by
their objective relation to other positions (domination, subordination, homology,
etc) (Fashri 2014).
Ranah merupakan arena kekuatan yang didalamnya terdapat upaya
memperebutkan sumber daya (modal) dan demi memperoleh akses tertentu, yang
biasanya dekat dengan hirarki kekuasaan. Ranah juga merupakan arena
pertarungan di mana mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau
mengubah konfigurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang membimbing
dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu maupun kelompok,
untuk melindungi atau meningkatkan posisi mereka dalam kaitannya dengan
jenjang pencapaian sosial.
Ruang sosial yang memandang realitas sosial sebagai suatu tipologi (ruang)
sangat terkait erat dengan konsep ranah. Di dalam sebuah ruang sosial, terdapat
berbagai ranah yang saling berhubungan satu dan lainnya. Setiap ranah memiliki
struktur dan kekuatan-kekuatan sendiri. Menurut model teoritis Bourdieu,
pembentukan ruang sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian ranah yang
terorganisasi secara hirarkis (ranah ekonomi, pendidikan, politik, sastra, dan
sebagainya) (Krisdiato, 2014:201).
Dalam setiap ranah, selalu terdapat pertarungan antara yang wacana yang
mendominasi dan yang didominasi. Dalam kaitannya dengan doxa, mereka yang
memiliki kepentingan paling besar untuk mempertahankan integritas doxa adalah
kelompok-kelompok dominan dalam suatu ranah. Dengan kata lain, mereka akan
membangun dalam ruangnya sendiri sebuah orthodoxa. Orthodoxa merupakan
seperangkat keyakinan untuk mendukung doxa (status quo) di dalam sebuah
ranah menggunakan strategi defensif dan pelestarian (conservation). Sebaliknya,
11
wacana yang selalu menentang doxa disebut dengan heterodoxa. Heterodoxa
merupakan wacana kritis yang biasanya diserukan oleh agen (individu atau
kelompok dalam ranah) yang menempati posisi marginal dengan menggunakan
strategi subversi. Strategi defensif atau conservation dengan kemapanan doxa
dalam arena pertarungan wacana, hanya dapat dimenangkan dengan mudah jika
agen yang mendominasi dapat menggunakan mendominasi modal (capital).
Terdapat beberapa modal yang tersebar di dalam sebuah ranah. Pertama,
modal ekonomi (economic capital) yang mencakup alat-alat produksi (mesin,
tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan
mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Kedua, modal budaya (cultural capital) adalah keseluruhan
kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun
warisan keluarga. Termasuk dalam modal budaya antara lain kemampuan
menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai
tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan. Ketiga, modal
sosial (social capital) menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki oleh agen
dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Keempat, modal
simbolik (symbolic capital), yang wujudnya berupa legitimasi otoritas seperti
segala bentuk prestise, status, gelar kehormatan maupun reputasi. Kepemilikan
atas modal yang menentukan kecendrungan posisi seseorang di dalam ranah
menurut kualitas dan kuantitas modal. Semakin besar seseorang mengakumulasi
modal tertentu, maka semakin besar pula peluang untuk mengkonversi antar
modal. Distribusi kapital menentukan struktur objektif kelas-kelas di dalam
sistem sosial. Kelas yang dominan adalah kelas yang memiliki jumlah
(akumulasi) terbesar dari keempat bentuk kapital, sedangkan kelas bawah atau
kaum marginal adalah pemilik kapital yang paling sedikit. Secara logis, maka
kelas pemilik kapital adalah kelas yang paling dominan (Bayo 2010).
Setiap jenis modal tersebar tidak merata di antara kelas-kelas sosial dan
fraksi-fraksi kelas. Meskipun jenis-jenis modal itu sama-sama bisa diubah dalam
kondisi tertentu, mereka tidak bisa direduksi satu sama lain. Kepemilikan modal
12
ekonomi tidak serta-merta mengimplikasikan kepemilikan modal kultural atau
simbolis. Meskipun memiliki peran penting dalam praktik, modal-modal tersebut
tidak otomatis memiliki kekuatan signifikan di dalam suatu ranah. Setiap ranah
memiliki kebutuhan modal spesifik yang berbeda dengan kebutuhan ranah
lain.Bourdieu mengilustrasikan perbedaan jenis modal yang signifikan berikut
efeknya sebagai berikut: “There is thus a chiasmatic structure, homologous with
the structure of the field of power, in which, as we know, the intellectuals, rich in
cultural capital and (relatively) poor in economic capital , and the owners of
industry and business, rich ini economic capital and (relatively) poor in cultural
capital, are I opposition…” (Bourdieu: 1993; 185 dalam Krisdinanto, 2014).
Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut
memiliki daya-daya yang memberikan arti. Menurut Bourdieu 1997:96 dalam
Chopra 2003:427, apa yang dinegosiasikan dan dikontestasikan dalampertukaran
modal didalam ranah bukan hanya seperangkat aksi yang akan membuat
berbagai kelompok orang meningkatkan akumulasi modalnya, namun yang lebih
penting adalah pertaruhan modal dalam mendefinisikan segala sesuatu yang
disebut nomos. Nomos ini dipahami sebagai tata cara regulasi yang mengatur
fungsi-fungsi dari ranah. Nomos bersifat irreducible, mendasar (foundational),
dan membentuk dasar hukum (fundamental law). Secara historis, nomos
membentuk pandangan yang merefleksikan kepentingan kelompok yang
dominan posisinya dalam sebuah ranah. Dengan kata lain, nomos merupakan
segala sesuatu yang membentuk doxa di pada tingkat ranah (Bayo 2010).
Dalam menerangkan praktik sosial, habitus, ranah, dan modal memiliki
hubungan yang berikatan secara langsung (Gambar 2). Karakteristik modal
dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi,
sedangkan ranah sebagai tempat beroperasinya modal. Ranah senantiasa
dikelilingi oleh relasi kekuasaan objektif yang mendominasi berdasarkan pada
jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus.
Berdasarkan skema praktik sosial di atas, kepemilikan modal dan habitus
dalam suatu ranah, akan melahirkan perbedaan dan pembedaan sosial.
13
Diferensiasi ini menjadi dasar dari munculnya sebuah kekuasaan simbolik
(symbolic power). Kuasa simbolik merupakan modal yang langka yang ada di
dalam masyarakat karena kekuasaan untuk merepresentasikannya berakar dalam
modal simbolik. Karena sifatnya yang melegitimasi, mehibahkan sebuah
otoritas, sehingga pemilik kekuatan simbolik akan berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan modal tersebut dalam praktik sosial dan menjadi pertukaran
modal yang paling hebat jika dipertukarkan.
Gambar 2. Praktik sosial
2. Teori Negara
Negara adalah lembaga yang memiliki kekuasaan. Ada beberaa teori yang
menjelaskan dari mana kekuasaan ini di peroleh Negara. Ada yang mengatakan
kekuasaan tersebut dating dari Ilahi dan adapula yang mengatakan bahwa
kekuasaan itu di peroleh dari masyarakat untuk menciptakan perdamaian.
Semua teori pada dasarnya mengatakan bahwa kekuasaan diperuntukan
supaya Negara bisa menciptakan kebaikan bagi masyarakat di wilayah
kekuasaannya. Misalnya, Plato berpendapat bahwa negaralah yang mengajarkan
nilai nilai moral kepada masyarakat; ajaran gereja menyatakan Negara
berkewajiban menegakan nilai nilai Ilahi di dunia; semntara Hegel berpendapat
bahwa berkewajiban untuk menciptakan masyarakat diujung proses sejarah
Habitus
Prinsip disposisi dan
tindakan dan
klasifikasi
Field
Posisi kekuasaan
(relasi antara posisi)
Capital
Bentuk spesifik ranah
(ekonomi, sosial,
kultural, dan
simbolik)
14
manusia dan atau untuk menciptakan perdamaian seperti pendapat dari Hobbes
(Budiman 1996).
Pendapat pendapat tentang teori Negara diatas banyak di perdebatkan,
karena semua menyatakan bahwa kekuasaan Negara bukanlah untuk kepentingan
penguasa dan hanya mengabdi pada masyarakat. Kenyataannya sepanjang
catatan sejarah banyak sekali ditemukan penguasa tidak mengabdikan
kekuasaannya untuk kepentingan rakyat. Karen itulah muncul ilmu ilmu yang
berusaha mendudukan Negara sebagai lembaga kedaulatan rakyat.
Perdebatan tentang teori Negara, sepertinya dicapai suatu kesimpulan umum
bahwa Negara memang dibutuhkan masyarakat, tetapi kekuasaannya harus
dibatasi. Negara memang harus memiliki kekuasaan yang cukup besar supaya
bisa efektif dalam memerintah tetapi kekuasaan tersebut harus dikontrol dan
dikendalikan oleh masyarakat. Masyarakat harus memiliki kekuatan politik
untuk mengganti pemerintahannya jika kenyataannya pemerintah tidak menepati
janji-janjinya(Budiman 1996). Agar Negara benar benar berguna bagi
masyarakat maka keseimbangan antara kekuasaan Negara dan kedaulatan rakyat
harus dijaga dan di cari titik optimalnya.
Menurut Arif Budiman dalam buku yang sama, mengatakan terdapat
beberapa perSoalan pokok masalah Negara diantaranya: Apakah Negara tersebut
netral atau berpihak; mengapa Negara berpihak; bagaimana menjelaskan Negara
yang berpihak bisa memiliki kekuasaan hegemonic dari Negara pemerintah.
Kelompok teori Liberal (Negara pluralis) menyatakan pada dasarnya Negara
adalah netral, sedangkan kelompok teori radikal (Teori Kaum Marxis)
menyatakan bahwa Negara memihaksalah satu kelompok di masyarakat dank
arena itu tidak netral.
Terdapat tiga masalah yang menerangkan mengapa Negara berpihak.
Pertama, menurut teori marxis klasik bahwa Negara hanya merupakan alat dari
kelompok lain yang lebih berkuasa, kondisi ini Negara tergantung terhadap
kekuatan yang lebih besar yang diluar dirinya. Kedua, menurut teori Negara
organis, Negara bukan alat dari kelompok manapun, kalaupun dalam
15
kebijakannya negaraternyata berpihak, ini dilakukan atas dasar kesadaran dan
perhitungannya sendiri. Mungkin keberpihakannya ini dilakukan karena
kedekatan psikologis antara pejabat Negara dan elit yang ada di masyarakat, atau
Negara mempunyai isis tersendiri demi terwujudnya masyarakat yang ideal.
Ketiga, Negara pada dasarnya mandiri, tetapi terlihat pada sistim ekonomi –
politik atas kondisi structural yang membuat kemandiriannya terbatas, dan jika
Negara memutuskan sesuatu diluar batas batas system atau struktur yang ada
Negara akan mengalami kesulitan.
Permasalahan terakhir tentang Negara adalah cara kerja Negara itu sendiri.
Komponen Negara yang terpenting adalahpemerintah dan kondisi structural,
yang dimaksud dengan pemerintah adalah personal dan Negara, baik alat
maupun aparat birokrasi. Mereka adalah komponen yang mandiri, memiliki
kesadaran sendiri, mempunyai kepentingan dan perhitungan perhitungan untuk
mencapai apa yang diinginkannya. Tetapi karena mereka bekerja pada sebuah
kondisi structural, kebebasan orang yang menguasaai pemerintahan ini menjadi
terbatas.
3. Teori Negara di Dunia Ketiga
Teori Negara pada dunia ketiga bukan merupakan sebuah teori baru tentang
Negara, dalam memahami peranan Negara setidaknya ada beberapa prespektif
teoritis yang menjelaskan fenomena tersebut, yaitu dengan perdebatak
cultural/Teori Budaya, Teori Negara Pasca Kolonial, Teori Negara Otoriter
Birokratis (Budiman 1996).
Teori Budaya menyatakan bahwa hampir semua di Negara ketiga masih
bersifat feudal. Kekuasaan politik dianggap sebagai perpanjangan dari ekuasaan
ke-Ilahian sehingga tidak bisa ditumbangkan.Teori Negara Pasca Kolonial,
menyatakan bahwa bentuk pemerintahan yang merupakan warisan penjajah
biasanya masih dipertahankan atau sangat sedikit sekali diubah untuk penguasa
baru. Pakta dominasi pada dasarnya masih sama dengan Negara colonial,
pemerintah menggalang kekuatannya tanpa melibatkan kelompok kelompok
16
yang ada di masyarakat, Negara berada di atas masyarakat. Teori Nagara
Otoriter Birokratis di perdebatkan oleh Guillermo O‟ Donel yang mengkaitkan
masalah otoritas dengan tahap pembangunan ekonomi dengan melakukan
industry subtitusi impor, rezim yang yang ada akan bersifat nasionalistik dan
demokratis. Namun pada saat tertentu perekonomian industry subtitusi impor ini
akanmencapai titik jenuh dan pertumbuhan ekonomihanya bisa ditingkatkan
kalau pemerintah melebarkan ekspor hasil industrinya. Untuk itu dibutuhkan
akses ke pasar internasional dan teknologi modern serta investor investor baru.
Pemerintah dunia ketiga biasanya tidak memiliki semua itu sehingga perlu
mengajak investasi asing untuk membantu. Investor asing akan masuk jika
stabilitas Negara terjamin, karena itu pemerintah harus menegakan disiplin bagi
masyarakatnya, disini Negara akan berpihak kepada pengusaha dan konsekuesi
logisnya pemerintah menjadi otoriter. Karena itu sebagai akibatnya pemerintah
sangat mandiri dalam menghadapi masyarakat.
4. Masyarakat adat
Adat adalah istilah yang merujuk pada adat istiadat setempat, keyakinan,
dan praktik. Adat identik dengan alam semesta simbolik yang memerintahkan
dunia. Adat dapat pula diartikan sebagai ideologi hegemonik yang melegitimasi
dan struktur kehidupan politik dan seremonial di desa-desa.
Masyarakat Adat diartikan sebagai terjemahan dari kata indigenous peoples.
Hal ini berbeda dengan istilah Masyarakat Hukum Adat yang merupakan
terjemahan dari bahasa belanda yaitu rechtgemencshap. Masyarakat Hukum adat
hanya akan mempersempit entitas masyarakat adat sebatas entitas hukum.
Masyarakat Adat memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar hukum,
misalnya dimensi kultur dan religi. Jadi istilah masyarakat adat dan masyarakat
hukum adat memiliki sejarah dan pemaknaan berbeda.(Zakaria 2004).
Keberadaan masyarakat Adat tidak dapat diabaikan dalam
dinamikakehidupan bangsa Indonesia. Hal ini melihat bahwa masyarakat adat
merupakan salah satu keragamaan dan kearifan lokal yang patut dihargai serta
17
dipelihara dengan bentuk pembangunan yang sesuai. Sayangnya pemahaman
mengenai dinamika masyarakat adat belum benar-benar terinternalisasi dalam
pembangunan tersebut.
Istilah Masyarakat Hukum Adat dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum
adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik akademis. Istilah
tersebut digunakan untuk member identitas kepada golongan pribumi yang
memiliki sistim dan tradisi hukum sendiri untuk membedakan dengan golongan
yang sudah memiliki sistim dan tradisi hukum tertulis.
Sedangkan Masyarakat Adat yang dikenal dengan istilah indegeneus
peoples Aiansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefenisikan sebagai
kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di
wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, idiologi, ekonomi, politik,
budaya dan wilayah sendiri. Selain definisi umum tersebut, definisi dari AMAN
ini secara langsungmendasarkan masyarakat adat dalam empat ciri spesifik
sebagai berikut: (1) Sekelompok orang dengan identitas budaya yang sama. (2)
Sekelompok orang yang saling berbagi sistem pengetahuan. Ciri khas ini terkait
erat dengan sistem pengetahuan yang bagikan (sharing knowledge) yang
bermuara pada kesamaan dalam sosialisasi dan internalisasi kebudayaan. (3)
Sekelompok orang yang tinggal di wilayah yang sama.(4) Sekelompok orang
yang memiliki sistem hukum yang khas dan tata kepengurusan kehidupan
bersama.
Tidak hanya pada skala nasional, dunia internasional pun mengakui
keberadaan masyarakat adat. Hal ini terbukti dengan adanya konvensi ILO
tentang masyarakat adat. ILO mengartikan Masyarakat Adat (indegeneus
peoples) dalam konvensi ILO 169 tahun 1989 sebagai suku-suku bangsa yang
berdiam di Negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya
berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Atau suku suku bangsa yang telah
mendiami sebuah Negara sejak masa kolonisasi yang memiliki kelembagaan
ekonomi, budaya dan politik sendiri, sementara Jose Martinez Cobo
mendefenisikan Masyarakat Adat sebagai kelompok masyarakat atau suku
18
bangsa yang memiliki kalnjutan hubungan sejarah antara masa sebelum invasi
dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka, menganggap
diri mereka berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian bagian dari
masyarakat yang lebih luas(Zakaria 2004).
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative empiris dengan
menggunakan studi kasus pada desa-desa adat di Kabupaten Maluku tengah dan
bersifat deskriptip analitis, karena dari penilitian ini diharapkan dapat diperoleh
gambaran desa desa adat dalam menjalankan pemerintahan desanya sehingga
dilakukan analisis yang bersifat kualitatif terhadap berbagai aspek yang di teliti.
1. Lokasi Penelitian
secara geografis Kabupaten Maluku Tengah pada umumnya terdapat pada
Pulau Seram Pulau Banda dan Pulau-Pulau lease dan secara adat Kabupaten
Maluku Tengah terbagi menjadi 2 (dua) yaitu Patasiwa dan Patalima secara
keyakinan masyarakat Maluku Tengah terbagi menjadi menjadi 2 (dua) yaitu
Desa Islam (salam) dan Desa Kristen (sarani).
Untuk itu penulis berusaha untuk mengumpulkan data secara optimal
sehingga data yang dikumpulkan bias menjadi representative dari unsur tersebut
baik geografis, adat maupun keyakinan
a. Pulau Seram
Pulau Seram terdapat 10 Kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja
Pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah
1. Kecamatan Kota Masohi
2. Kecamatan Amahai
3. Kecamatan Tehoru
4. Kecamatan Telutih
5. Kecamatan TNS
19
6. Kecamatan Teluk Elpaputih
7. Kecamatan Seram Utara Barat
8. Kecamatan Seram Utara
9. Kecamatan Seram Utara Timur Kobi
10. Kecamatan seram Utara Timur Seti
dari sepuluh keecamatan tersebut hanya 2 kecamatan yang diambil sebagai
lokasi peneilitian yaitu Kecamatan Amahai dan Kecamatan Tehoru
b. Pulau Ambon, Pulau Pulau Lease dan Banda
1. Kecamatan Salahutu
2. Kecamatan Leihitu
3. Kecamatan Leihitu Barat
4. Kecamatan Saparua
5. Kecamatan Saparua Timur
6. Kecamatan Pulau Haruku
7. Kecamatan Nusalaut
8. Kecamatan Banda
Dari 8 Kecamatan tersebut peneliti hanya mengambil Kecamatan Pulau
Haruku sebagai lokasi penelitian
Lokasi penelitian ditentukan dengan melihat keterwakilan unsur
geografis, adat dan keyakinan sehingga lokasi penelitian adalah
1. Kecamatan Amahai
2. Kecamatan Tehoru
3. Kecamatan Pulau Haruku
Dengan demikian dari 3 kecamatan tersebut 2 kecamatan berada di
Pulau Seram satu dekat dengan kota kabupaten dan yang satu jauh dari kota
kabupaten dan satu kecamatan lagi di Pulau Lease jauh dari kota kabupaten,
sehingga dimungkinkan ada perbedaan dalam sistim pemerintahan desanya.
Selanjutnya dari setiap kecamatan di pilih 1 (satu) desa sebagai lokasi
penelitian sehingga jumlah keseluruhan menjadi 3 (tiga) desa, yakni :
1. Kecamatan Amahai
20
a. Desa/Negeri Soahuku
2. Kecamatan Tehoru
a. Desa/Negeri Yaputih
3. Kecamatan Pulau Haruku
a. Desa/Negeri Kabau
2. Penentuan Informan
Dalam penelitian ini penentuan informan akan ditentukan berdasarkan
prinsip representative, yang artinya bahwa semua responden betul-betl
dianggap bisa dimintai keterangan, sehingga data-data yang diperoloeh dari
mereka dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, yaitu :
a. Pemerintah Daerah, sebagai pengemban amanat undang-undang dalam
mengatur pemerintahan baik di kabupaten hingga desa yang merupakan
daerah otonomi khusus dengan sistim dan tata cara sendiri yang sudah
ada sejak jaman dahulu. Yaitu instansi yang membidangi sebagai nara
sumber.
b. DPRD sebagai representasi dari masyarakat yang di hasilkan melalui
pemilu dan mempunyai tugas dalam mengeluarkan legislasi daerah
dalam pengaturan Desa Adat.
c. Tokoh tokoh adat yang merupakan perwakilan dari lembaga-lembaga
adat yang mengatur jalannya pemerintahan desa, seperti Raja, Kepala
Soa, serta sekretaris desa yang merupakan lembaga formal sesuai
undang-undang yang terdapat dalam sistim pemerintahan desa.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk memdapatkan data yang akurat, maka dalam penelitian ini akan
menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Wawancara
Tehnik ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat dari
informan, yang memungkinkan bagi peniliti untuk berinteraksisecara
21
langsung dengan informan, yang menjadi informan adala pihak-pihak yang
berkopenten dan sesuai dengan permasalahan penelitian, wawancara ini
terutama di tujukan kepada Raja, Tokoh-tokoh adat, sekretaris des, Instansi
Pemerintahan Kabupaten yang membidangi pemerintahan Desa, serta
Anggota DPRD, Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah disiapkan secara terstruktur , dalam hal ini mula-mula
diajukan beberapa pertanyaan terstruktur, kemudian dari jawaban yang
diperoleh di perdalam lagi dengan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan
keterangan lebih rinci dan mendalam.
Cara seperti ini lazim disebut sebagai method kualitatif yang
mengandalkan interprestasi dari sejumlah data yang dikumpulkan, oleh
karena itu dianggap bahwa kemampuan data metode kualitatif tergantung
dari para penelitinya.
Sejumlah alat rekam juga digunakan untuk mendukung tehnik penelitian
dilapangan, diantaranya tape recorder dan camera yang digunakan untuk
mengikat peneliti mengenai suasana wawancara dan lokasi-lokasi penting di
daerah penelitian. Dengan demikian kelengkapan dasar bagi penelitian ini
diharapkan dapat membuat data yang dikumpulkan di lapangan lebih rinci
dan lengkap sekaligus dapat mendukung proses elaborasi penelitian.
b. Pengamatan
Tehnik ini dianggap perlu karena memungkinkan penulis untuk bisa
secara langsung mengamati sekaligus mencermati keadaan lapangan, hal ini
untuk dapat mendapatkan informasi dari sebuah jenis data yang tidak dapat
di jangkau dengan menggunakan tehnik wawancara.
c. Dokumentasi
Data ini lebih bersifat data pendukung (sekunder) dan dibutuhkan untuk
melengkapi data primer yang ada, dokumentasi-dokumentasi yang
dipergunakan berupa bahan bahan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya yang sedikit punya kesamaan serta dianggap layak untuk
dijadikan bahan pertimbangan, berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan
22
penelitian serta regulasi regulasi baik regulasi nasional maupun daerah yang
berkaitan dengan penelitian.
4. Teknik Analisa Data
Metode analisis yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah
analisis kualitatif deskriptif, sesuai dengan jenis penelitian yang bersifat
kualitatif, yang artinya dalam menganalisa data tidak digunakan model uji
statistic dengan memakai rumus rumus tertentu melainkan lebih ditujukan
sebagai tipe penelitian deskriptif. Penelitian Deskriptif mempunyai tujuan yaitu
mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekwensi terjadinya suatu
aspek fenomena sosial dan mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial
tertentu seperti interaksi sosial, sistim kekerabatan dan lain-lain. Sehingga model
penelitian seperti ini biasanya dilakukan tanpa melibatkan sebuah rumusan
hipotesa.
Hasil wawancara maupun pengamatan sejauh mungkin diharapkan dapat
membantu dan mendukung analisis yang dihasilkan serta seluruh data yang
diperoleh akan dianalisisi sejak awal terkumpulnya diatas sampai selesai
pengumpulan data dilapangan, hal ini dimungkinkan agar pembahasan nanti
akan memberikan uraian secara sistimatis dan akan mampu menjawab
permasalahan-permasalahan yang ada.
Materi pengadalisaan juga memanfaatkan data sekunder yang sudah ada,
yaitu informasi informasi yang berupa bahan bahan penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya yang sedikit punya kesamaan serta dianggap layak untuk
dijadikan bahan pertimbangan, berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan
penelitian serta regulasi regulasi baik regulasi nasional maupun daerah yang
berkaitan dengan penelitian, yang diperlukan sebagai pendukung kerangka dasar
pemikiran, asumsi asumsi dan pedoman dalam pengumpulan data, serta sebagai
alat konfrehensif dalam penganalisaan.
Agar memperoleh data yang betul-betul representative, maka dalam
menganalisa data akan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu :
23
a. Reduksi Data
Tahapan ini akan memungkinkan agar semua data yang telah terkumpul
selanjutnya direduksi, dengan cara pemilihan dan sekaligus penyederhanaan
data dengan memusatkan perhatian pada pokok permasalahan serta
mempertimbangkan factor-faktor pendukung lainnya yang dianggap terkait
dengan masalah penelitian.
b. Pennyajian Data
Setelah mereduksi data yang ada maka tahapan selanjutnya adalah proses
penyusunan kembali data yang ada secara selektif agar penyajian data
nantinya betul-betul valid.
c. Penarikan Kesimpulan
Proses penarikan kesimpulan ini nantinya adalah hasil dari analisis kualitatif
yang tentunya sesuai dengan pertanyaan atas permasalahan penelitian,
karena penelitian ini bersifat analisis kualitatif, maka dalam menganalisisi
datanya lebih banyak menggunakan cross cheking analisis.
5. Sistematika penulisan
Tesis ini terbagi dalam lima bagian. Adapun sistematika penulisan
sebagaiberikut:
Bab I merupakan pendahuluan. Di dalamnya memuat penjelasan tentang
masalah yang melatarbelakangi penelitian ini, termasuk di dalamnya alasan
mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji. Kerangka teori dan konsep-
konsep utama Pierre Bourdieu, teori negara dan negara ketiga dijelaskan secara
singkat tetapi jelas yang nantinya akan menuntun pembaca pada dalam bab-bab
selanjutnya. Dengan menggunakan konsep tersebut, studi ini mendapatkan basis
dan cara menganalisis data-data yang dikumpulkan dari wawancara, observasi
dan studi pustaka.
Bab II memuat penjelasan sejarah perkembangan masyarakat adat di
Negeri/desa adat kabupaten Maluku Tengah Khususnya desa Soahuku, Yaputi
dan Kabau. Tujuan bab ini adalah untuk menguraikan sejarah dan karakteristik
24
masyarakat adat di desa-desa tersebut yang umumnya masih bersifat genealogis.
Alur pemaran akan dimulai dengan menjelaskan histori terbentuknya Negeri
hingga kondisi saat ini dengan menggunakan pendekatan teori terbentuknya
sebuah negara.
Bab III menjelaskan tentang dinamika perkembangan politik pada
Negeri/desa adat dan sumber-sumber kekuasaan yang memproduksi dan
mereproduksi praktik-praktik kuasa adat daerah tersebut. Tujuan utamanya
menjelaskan logika yang bermain dibalik dominasi kekuasaan adat. Pada bab ini,
alur pemaparan akan dimulai dari menjelaskan rangkaian ide yang menjadi logika
dan praktik-praktik adat menggunakan kerangka berpikir Bourdieu yaitu habitus,
doxa, ranah dan modal.
Bab IV akan memuat penjelasan wajah Negeri/desa adat disetiap perubahan
regulasi pada tiap rezim politik yang berkuasa. Tujuan utama dari bab ini
adalahuntuk menguraikan secara rinci dinamika yang terjadi dalam pemerintahan
Negeri/desa adat serta mencelaskan kepentingan yang bermain di belakang tiap
regulasi yang dikeluarkan. Selain itu, respon masyarakat adat terhadap regulasi
tersebut, juga diuraikan dengan gambalang.
Bab V sebagai bab penutup merupakan kesimpulan dari argumen utama.
Bagian ini merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah
diajukan pada bab I.