bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia siaran sudah merambah Indonesia sejak zaman penjajahan. Bahkan,
kemerdekaan Indonesia pertama kali diproklamirkan melalui siaran Lembaga
Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI) pada 17 Agustus 1945.
Sehingga benar kiranya jika masyarakat Indonesia tidak lagi asing dengan siaran,
yang merupakan pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau
suara dan gambar, atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat
interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran
(UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, I:1). Sementara itu kegiatan
pemancarluasan siaran melalui perangkat pemancar disebut penyiaran.
Penyiaran (broadcasting) dalam bahasa Inggris merupakan pengiriman
program oleh media radio dan televisi. Sedangkan sebutan profesional untuk
orang yang mengirimkan program di radio atau televisi disebut dengan
broadcaster. Bentuk penyiaran dibagi menjadi dua, yakni penyiaran radio dan
penyiaran televisi. Perbedaan paling mendasar, jika penyiaran televisi tidak hanya
melingkupi audio yang bisa didengar massa, namun juga mampu menyajikan
visual yang bisa ditangkap indera penglihatan, lain hal dengan penyiaran radio
yang hanya menyajikan audio/ suara saja. Meskipun pada akhirnya, di era
persaingan global ini radio sudah mampu berkonvergensi dengan teknologi visual,
2
sehingga menciptakan video streaming. Terobosan ini menyebabkan para
pendengar radio bisa menyaksikan siaran langsung penyiar dari dalam studio
melalui internet. Teknologi penyiaran seakan berkejaran dengan waktu, mungkin
ini merupakan salah satu dampak dari berkembangnya gaya hidup masyarakat
yang semakin sulit lepas dari teknologi.
Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai
ketatnya peraturan, pengendalian, dan pemberian ijin oleh pemerintah yang pada
awalnya didasari pertimbangan kepentingan dari segi teknis, kemudian
berkembang menjadi kepentingan negara, pembiayaan, dan akhirnya sebagai
sebuah kebiasaan yang melembaga dalam negara. Hal ini dikarenakan semakin
disadarinya fungsi ekonomi dan politis radio dan televisi yang menyebabkan
keberadaannya sangat erat dengan kepentingan penguasa dan pemodal kapitalis.
Pasca-reformasi, media massa baik cetak maupun elektronik serasa
menemukan pintu kebebasan yang sangat luar biasa. Imajinasi liar yang disimpan
selama era kepemimpinan Soeharto, akhirnya bisa mereka ekspresikan sejak
masuk di era demokrasi. Pada dasarnya ini dampak yang baik bagi pers Indonesia
karena aspirasi rakyat lebih dihargai dan dipertimbangkan. Namun, tetap harus
ada pengontrol agar kebebasan itu tidak berubah menjadi semena-mena.
Termasuk juga lembaga penyiaran yang semakin berani menyajikan pemikiran-
pemikiran bebas, juga memerlukan pengontrol karena cakupan media massa
adalah ranah publik yang dampaknyapun juga bersentuhan dengan publik.
3
Freedom of the press (kebebasan pers) merupakan bentuk demokratisasi
pers. Pers berhak untuk menyiarkan segala bentuk informasi kepada publik tanpa
ada kekangan dari pihak manapun. Bentuk demokratisasi pers juga bisa dilihat
dalam hal diversity of content (keberagaman isi), diversity of ownership
(keberagaman kepemilikan), atau diversity of voice (keberagaman pendapat dan
suara) (KPI, 2012: 4). Keberagaman inilah yang bisa dimanfaatkan oleh lembaga
penyiaran dalam melayani kebutuhan masyarakat akan informasi, edukasi, dan
hiburan yang positif serta konstruktif.
Karena sifat penyiaran yang mencakup ranah publik, media penyiaran
harus dikontrol yang menurut McQuail dan dikutip Masduki (2007: 12) dibagi
pada dua wilayah dan alasan, yaitu:
1. wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan kultural,
2. wilayah infrastruktur terutama frekuensi dikontrol karena alasan
ekonomi dan teknologi.
Isi siaran perlu diatur karena sangat mudah untuk mempengaruhi sikap dan
perilaku audience, khususnya yang belum memiliki referensi yang kuat seperti
usia muda/ remaja. Untuk pedoman isi siaran ada tiga, yakni sopan (decency) dan
menyenangkan (converince), seperlunya (necessity), dan penting bagi publik
(public interest). Sementara, pengontrolan yang disandarkan pada kultural
dikarenakan efeknya yang sangat besar terhadap khalayak. Efek media penyiaran
mencakup efek dikotomi dan trikotomi. Efek dikotomi yang dimaksud adalah efek
kehadiran media itu sendiri dan efek pesan yang ditimbulkan kepada khalayak
4
dalam bentuk kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), dan behavioural
(perilaku). Sedangkan efek trikotomi, yaitu efek sasaran yang terdiri dari
individual, interpersonal, dan suatu sistem dalam bentuk kognitif, afektif, dan
behavioural.
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran telah menyebutkan, untuk
melindungi publik dari pers yang tidak bertanggung jawab, maka dibentuklah
lembaga independen yang tidak ada campur tangan pemerintah maupun
pengusaha di dalamnya, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu
kewenangan dari KPI adalah menyusun dan menetapkan Pedoman Perilaku
Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang berfungsi untuk
memartabatkan lembaga penyiaran dan isi siarannya.
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan terhadap beberapa pasal
dalam BAB XIX P3, yakni mengenai narasumber karena mengingat bahwa
lembaga penyiaran tak lepas dari narasumber sebagai salah satu sumber
pemberitaannya. Begitu pentingnya peran narasumber, maka perlu kiranya
melihat lebih dalam, apakah poin-poin ayat yang tertuang dalam pasal-pasal
tersebut dilaksanakan dengan baik ataukah tidak oleh lembaga penyiaran. Adapun
pasal yang akan diteliti implementasinya di lapangan adalah pasal 27-29 dan 35.
Pemilihan beberapa pasal ini dikarenakan beberapa pasal dalam BAB XIX inilah
yang relevan dijadikan pedoman saat penyiar berhadapan langsung dengan
narasumbernya. Peneliti ingin melihat secara langsung interaksi antara penyiar
beserta tim produksi dengan narasumber mereka dan hal ini bisa didapati dalam
program talk show radio.
5
Sebagai informasi, BAB XIX dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)
memuat tentang segala yang berhubungan dengan narasumber dan tertuang pada
pasal 27-35, diantaranya: penjelasan kepada narasumber (pasal 27), persetujuan
narasumber (28), anak dan remaja sebagai narasumber (29), hak narasumber
menolak berpartisipasi (30), wawancara (31), perekaman tersembunyi program
nonjurnalistik (32), pencantuman sumber informasi (33), hak siar (34), dan
pewawancara (35). Tiap-tiap pasal tersebut menjelaskan dengan terperinci
bagaimana hak narasumber dan kewajiban media penyiaran, baik televisi maupun
radio memperlakukan narasumber-narasumbernya. Bukan lantas, dengan asas
kebebasan berkreasi atau kebebasan pers, hak narasumber maupun kewajiban
lembaga penyiaran terhadap narasumber diabaikan.
Jika melihat pada rekap teguran dan himbauan 2010 yang dirilis KPI dan
peneliti unduh melalui situs resmi KPID Jawa Timur (kpid-jatimprov.go.id),
terdapat 98 catatan sepanjang 12 Januari 2010 – 12 November 2010. Dari sederet
rekapan itu, hanya 2 poin yang menyangkut radio, yaitu mengenai program
Sexophone (Sex Solution On The Microphone) yang disiarkan oleh MD Radio
93,2 FM Jakarta. Dalam surat tertanggal 3 Maret 2010 nomor 96/K/KPI/03/10,
KPI menyebutkan bahwa pelanggarannya adalah memuat siaran mengenai
pembenaran terhadap hubungan seks di luar nikah, hubungan seks secara vulgar,
percakapan yang menggambarkan rangkaian aktifitas ke arah hubungan seks.
Sayangnya, dalam situs resmi KPI maupun KPID hingga penelitian ini
dilaksanakan belum ada rekapan terbaru yang memuat teguran dan himbauan
sejak 2011.
6
Sekalipun dalam rekapan teguran dan himbauan 2010 oleh KPI tidak
terdapat pelanggaran yang berkaitan dengan narasumber, namun pada
kenyataannya banyak sekali pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran
terkait dengan hal tersebut. Diantaranya yang disebutkan oleh Wakil Ketua KPI
Pusat, Ezki Suyanto dalam acara pelatihan pelatihan jurnalistik PPMN
(Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara) di Jakarta, 19 April 2012 lalu,
bahwa masih ada saja televisi yang sudah menyamarkan wajah dan identitas
korban anak-anak, tetapi justru menyebutkan nama sekolah dan mewawancarai
orangtua korban maupun pelaku yang masih di bawah umur. Ezki mengatakan:
“Seharusnya, semua yang berhubungan dengan korban atau pelaku
harus di tutupi dan disamarkan. Berita ini memang harus naik,
tetapi televisi harus berhati-hati dalam menayangkan si korban dan
pelaku yang masih anak-anak atau remaja”
(http://www.kpi.go.id/P3SPS Lindungi Anak dan Remaja.htm.)
Begitu pula dengan penayangan adegan reka ulang untuk pemerkosaan atau tindak
asusila lain, tidak menutup kemungkinan anak-anak dan remaja juga menyaksikan
tayangan ini dan bisa berdampak buruk untuk ke depannya.
Kasus narasumber palsu yang dihadirkan oleh presenter Indy Rahmawati
dan TV One pada 2011 lalu juga sempat menjadi buah bibir seluruh media massa
cetak, elektronik, dan online. Kesalahan penulisan nama, gelar, ataupun jabatan
narasumber terkadang juga masih kita temui pada media massa. Ketika kita juga
melihat kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 2 (dewanpers.or.id), disebutkan
bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan
tugas jurnalistiknya. Diantara beberapa cara profesional yang dimaksud dalam
pasal ini adalah: (1) menunjukkan identitas diri kepada narasumber, (2)
7
menghormati hak privasi, dan (3) menghormati pengalaman traumatik narasumber
dalam penyajian gambar, foto, suara.
Ketiadaan pengaduan kepada KPI mengenai pelanggaran terhadap
narasumber radio bisa jadi disebabkan ketidaktahuan radio sebagai penyelenggara
penyiaran maupun narasumber mengenai P3. Kemungkinan lain adalah
keengganan melaporkan pelanggaran yang terjadi karena dianggap hal yang
sepele. Melihat fenomena di atas, peneliti tergugah untuk mengkaji suatu
permasalahan yang membahas tentang implementasi P3 mengenai narasumber.
Peneliti mengharapkan penelitian ini mampu mendeskipsikan secara detail dan
jelas tentang bagaimana implementasi peraturan komisi penyiaran Nomor 1
Tahun 2012 Pasal 27-29 dan 35 tentang narasumber oleh media massa yang
dalam penelitian ini pada program talk show di radio-radio Kota Malang.
Dengan kata kunci implementasi, kebijakan/ peraturan KPI, talk show, dan radio,
judul yang diangkat peneliti adalah “Implementasi Peraturan Komisi
Penyiaran Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 27-29 dan 35 Oleh Media Massa (Studi
pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang”.
B. Rumusan Masalah
Kebutuhan informasi langsung dari subyek yang terkait dengan berita/
narasumber, sangatlah dibutuhkan oleh media massa yang melakukan kegiatan
jurnalistik. Hal ini berkaitan dengan kefaktualan, keakuratan, dan keberimbangan
informasi yang kemudian diolah dan disajikan kepada para pendengar.
8
Dikarenakan narasumber yang seharusnya berada pada keadaan yang baik dan
aman, sementara di sisi lain masih ada aduan dari narasumber mengenai perlakuan
awak media yang kurang baik, maka didapatkan rumusan beberapa masalah yang
dideskripsikan dalam penelitian ini diantaranya:
1. Bagaimana implementasi P3 Pasal 27-29 dan 35 oleh radio-radio di
Kota Malang?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat radio-radio
di Kota Malang dalam mengimplementasikan P3 Pasal 27-29 dan 35?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk:
1. Menjelaskan implementasi P3 Pasal 27-29 dan 35 oleh radio-radio di
Kota Malang,
2. Menganalisis faktor-faktor yang mendukung dan menghambat radio-
radio di Kota Malang dalam mengimplementasikan P3 Pasal 27-29 dan
35.
D. Manfaat Penelitian
Betapapun baiknya sebuah penelitian, tidak akan pernah sempurna jika
hasilnya tidak bisa memberikan manfaat terhadap apa yang menjadi perhatian dari
penelitian tersebut. Oleh karenanya, peneliti mengharapkan penelitian ini nantinya
bisa memberikan manfaat berupa:
9
D.1 Manfaat praktis
1. Memberikan masukan terhadap pelaksana kebijakan, yang dalam
hal ini media massa beserta sumber daya manusia yang ada di
dalamnya untuk bisa bersama-sama meninjau, menyimak, dan
kemudian mengimplementasikan seluruh kebijakan yang dibuat
oleh KPI demi terciptanya iklim penyiaran Indonesia yang lebih
baik.
2. Memberikan masukan terhadap pembuat kebijakan, yang dalam
hal ini adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mengenai ada
tidaknya hambatan yang ditemukan dalam hasil penelitian ini
untuk kemudian ditindaklanjuti demi pengoptimalan implementasi
kebijakan-kebijakan yang sedang dan akan dibuat secara
menyeluruh dan kontinyu.
D.2. Manfaat Akademis
1. Memberikan gambaran bagaimana implementasi kebijakan oleh
media massa yang merupakan salah satu kajian Ilmu Komunikasi.
2. Dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan
membahas kajian kebijakan yang berkaitan dengan narasumber.
3. Menjadi pembelajaran sekaligus buah karya peneliti guna
persyaratan menyelesaikan studi Strata 1 di Universitas
Muhammadiyah Malang.
10
E. Tinjauan Pustaka
E.1 Implementasi
E.1.1 Pengertian dan Proses Implementasi
Secara garis besar, implementasi membentuk suatu hubungan yang
memungkinkan tujuan ataupun sasaran dari kebijakan diwujudkan sebagai
hasil akhir kegiatan yang dilakukan (Wahab, 2008: 117).
Pembuatan kebijakan berakhir bukan lantas setelah dibuat dan
diputuskan, namun berkelanjutan hingga implementasi dan evaluasi
apakah kebijakan tersebut baik ataukah tidak, terlaksana dengan maksimal
ataukah tidak. Hal ini akan berimbas terhadap pembuatan kebijakan-
kebijakan selanjutnya sebagai bahan evaluasi. Clausewitz seperti yang
dikutip dalam Public Policy (Parsons, 2008: 464) menyebut implementasi
adalah pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara-cara lain.
Mazmanian dan Sabatier (Dwidjowijoto, 2006: 119)
mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
keputusan kebijakan.
E.1.2 Syarat Implementasi yang Baik
Implementasi pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
bisa mencapai tujuan yang sudah direncanakan, tidak lebih dan tidak
kurang. Namun, dalam pelaksanaannya, dibutuhkan trik-trik khusus yang
dianggap paling cocok dan ideal untuk bisa memenuhi tujuan tersebut.
Dalam buku Limits to Administration (1976), Christopher Hood (dikutip
11
Parsons, 2008: 467) mengungkapkan syarat untuk implementasi yang
sempurna, yakni:
1. implementasi ideal itu adalah produk dari organisasi yang padu
seperti militer, dengan garis otoritas yang tegas,
2. norma-norma ditegakkan dan tujuan ditentukan,
3. orang akan melaksanakan apa yang diminta dan diperintahkan,
4. harus ada komunikasi yang sempurna intra dan antar organisasi,
5. tidak ada tekanan waktu.
Memang menurut Christopher Hood, implementasi efektif membutuhkan
sistem komando, pengorganisasian, dan pengontrolan yang baik.
Sedangkan George Edward III (1980) (dikutip Dwidjowijoto,
2006: 140) menegaskan bahwa masalah utama dari administrasi publik
adalah lack of attention to implementation (kurangnya perhatian terhadap
implementasi). Dikatakannya, bahwa without effective implementation the
decision of policymakers will not be carried out successfully (tanpa
implementasi yang efektif, keputusan oleh pembuat kebijakan tidak akan
terlaksana dengan sukses). Edward menyarankan untuk memperhatikan
empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu
communication (komunikasi), resource (sumber daya), disposition or
attitudes (sikap), dan bureaucratic structures (struktur organisasi).
Komunikasi berkaitan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan/
disosialisasikan kepada lembaga/ publik. Ketersediaan sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggapan dari para pihak yang terlibat
12
dalam pelaksanaan kebijakan. Terakhir, bagaimana struktur organisasi
pelaksana kebijakan juga menjadi isu penting dalam implementasi
kebijakan.
E.2 Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran (P3)
Sebagai salah satu produk kebijakan yang dihasilkan oleh KPI
selain Standar Program Siaran (SPS), Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)
dibuat dalam rangka mengatur perilaku lembaga penyiaran dan lembaga-
lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia dan ditinjau
kembali dalam rapat koordinasi nasional (rakornas) setiap 3 tahun sekali.
Selain itu, fenomena menjamurnya stasiun radio dan televisi hingga ke
pelosok negeri ini, harus disusun standar baku yang mampu mendorong
lembaga penyiaran untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya
watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan
kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka
membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera
(KPI, 2010:1).
P3 seyogyanya sudah harus diimplementasikan sejak ditetapkan di
Jakarta pada 22 Maret 2012 oleh ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto,
S.H., M.Si. Sebanyak 54 pasal P3 memuat ketentuan-ketentuan yang
mencakup:
13
1. nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan;
2. nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan;
3. etika profesi;
4. kepentingan publik;
5. layanan publik;
6. hak privasi;
7. perlindungan kepada anak;
8. perlindungan kepada orang dan kelompok masyarakat tertentu;
9. muatan seksual;
10. muatan kekerasan;
11. muatan program siaran terkait rokok, NAPZA (narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif) dan minuman beralkohol;
12. muatan program siaran terkait perjudian;
13. muatan mistik dan supranatural;
14. penggolongan program siaran;
15. prinsip-prinsip jurnalistik;
16. narasumber dan sumber informasi;
17. bahasa, bendera, lambing negara, dan lagu kebangsaan;
18. sensor;
19. lembaga peyiaran berlangganan;
20. siaran iklan;
21. siaran asing;
22. siaran lokal dalam system stasiun jaringan;
14
23. siaran langsung;
24. muatan penggalangan dana dan bantuan;
25. muatan program kuis, undian berhadiah, dan permainan lain;
26. siaran pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah; dan
27. sanksi dan tata cara pemberian sanksi.
(Sumber: Pedoman Perilaku Penyiaran 2012 pasal 5)
E.3 Radio
E.3.1 Pengertian Radio
Beberapa pakar radio memberikan pandangan beragam
tentang radio, diantaranya:
1. Menurut dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM)
Universitas Mercu Buana Jakarta, Riswandi, “Penyiaran
radio adalah media komunikasi massa dengar, yang
menyalurkan gagasan informasi dalam bentuk suara
secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur
dan berkesinambungan” (Riswandi, 2008: 1),
2. Fatmasari Ningrum dalam bukunya yang berjudul Sukses
Menjadi Penyiar, Scriptwriter & Reporter Radio
berpendapat, “Radio merupakan media massa auditif,
yakni dikonsumsi telinga atau pendengaran sehingga isi
15
siarannya bersifat sepintas lalu dan tidak dapat diulang”
(Ningrum, 2007: 6),
3. Menurut Masduki, penulis Jurnalistik Radio, 2006, “Peran
ideal radio sebagai media publik adalah mewadahi
sebanyak mungkin kebutuhan dan kepentingan
pendengarnya. Ada tiga bentuk kebutuhan, yaitu informasi,
pendidikan, dan hiburan” (Masduki, 2006: 2),
4. Sementara itu, Santi Indra Astuti, S.Sos, M.Si dalam
bukunya, Jurnalisme Radio berpendapat, “Radio adalah
buah perkembangan teknologi yang memungkinkan suara
ditransmisikan secara serempak melalui gelombang radio
di udara” (Astuti, 2008: 5),
5. Dalam testimonial yang diberikan Menteri Komunikasi dan
Informatika, Tifatul Sembiring dalam buku karangan Ficky
A. Hidajat (2011: back cover), dia mengatakan, “Radio itu
teman setia. Ia bisa didengarkan kapan & dimana saja.
Pilihan acaranya beragam sesuai dengan kesukaan. Di era
digital ini, mendengarkan radio tidak selalu melalui
pesawat radio, di mobile phone bisa, semakin praktis”,
6. Sedangkan Shahnaz Haque, yang sampai saat ini masih
aktif bersiaran di Delta FM, Jakarta ini mengatakan,
“Radio adalah media selintas karena kebanyakan orang
mendengar radio dengan melakukan aktifitas sampingan
16
lain. Misal: sambil bekerja, berkendara, belajar…”
(Hidajat, 2011: 33),
7. Penyiar sekaligus presenter kondang Farhan berpendapat,
“Radio kan personal yang memungkinkan kita bisa sedekat
yang kita inginkan dibanding dengan televisi.” (Hidajat,
2011: 117),
8. Manager on air Radio Suara Surabaya, Yoyong
Burhanuddin menjelaskan bahwa radio adalah sarana to
educate, to entertaint, to inform, and to influence (untuk
memberi pengajaran, menghibur, menginformasikan, dan
mempengaruhi) (Jufriansah, 2010).
9. Penyiaran radio adalah media massa dengar, yang
menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara
secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur
dan berkesinambungan (UU 32/2002 pasal 1 ayat 3).
Dari beberapa pengertian tersebut, radio merupakan media
massa auditif yang mentransmisikan suara melalui gelombang
radio dan bisa didengar melalui perangkat penerima; bersifat
selintas, bisa didengar sambil lalu, personal, dan berfungsi to
inform, to educate, to entertaint, dan to influence kepada
pendengarnya.
17
E.3.2 Kekuatan dan Kelemahan Radio
Semenjak kemunculan teknologi wireless telegraph yang
memanfaatkan gelombang radio sebagai pembawa pesan dalam
bentuk kode Morse di tahun 1896 ditemukan oleh Gugliemo
Marconi, banyak fenomena yang terjadi akibat teknologi tersebut.
Seratus tahun yang lalu, berita mengenai kapal pesiar mewah yang
diklaim pembuatnya tidak akan pernah tenggelam, namun pada
pelayaran perdananya di tahun 1912 tenggelam akibat menabrak
gunung es, yaitu kapal Titanic, dikirimkan melalui radio.
Karenanya, banyak penumpang Titanic yang selamat.
Pada 30 Oktober 1938 sempat di Amerika Serikat ada
sebuah stasiun radio yang menyajikan drama radio War of the
Worlds karya H.G. Wells yang bercerita tentang kedatangan
makhluk luar angkasa yang menguasai bumi. Akibat dari siaran
tersebut, gelombang kepanikan melanda Amerika. Banyak orang
yang kabur dari rumahnya dikarenakan mendengar siaran drama
radio yang dianggap suatu realitas oleh masyarakat. Bahkan ada
yang terluka dan ada yang hampir bunuh diri. Fenomena ini
merupakan satu gambaran tentang salah satu kekuatan radio, yakni
membentuk theatre of mind. Dengan kekuatan suara, musik, dan
berbagai efek suara, radio mampu membuat sesuatu yang
direkayasa terasa sangat nyata.
Adapun kekuatan dan kelemahan dari radio, yakni:
18
E.3.2.1 Kekuatan Radio
Dalam Jurnalisme Radio (Astuti, 2008: 40)
dijabarkan beberapa kekuatan radio, diantaranya:
1. radio dapat membidik secara spesifik. Radio
memiliki kemampuan untuk memfokuskan
pendengarnya secara demografis maupun kultural
melalui program acara yang disajikan. Mengenai
perubahan segmen seperti ini, radio jauh lebih
fleksibel dibanding media massa yag lain,
2. radio bersifat mobile dan portable. Hal ini berkaitan
dengan perangkat pemutar radio yang bisa dibawa
kemana-mana, simple, dan lebih murah dibanding
media massa lain,
3. radio bersifat intrusive, memiliki daya tembus
tinggi. Begitu radio dinyalakan, maka radio bisa
menembus batas ruang karena juga sesuai dengan
sifat gelombang suara,
4. radio bersifat fleksibel. Yang dimaksud dengan
fleksibel adalah radio mampu dengan mudah dan
sederhana mengubah program acaranya,
mengudarakan suatu informasi, dan dengan cepat
dan mudah pula mengubah ataupun meng-update-
nya,
19
5. radio itu sederhana. Sederhana dalam artian
mengoperasikannya, sederhana dalam
manajemennya dibanding media massa lain, dan
sederhana isinya, sehingga mudah untuk dicerna
oleh pendengar meskipun didengar sambil lalu.
Kelebihan radio yang umum diketahui ialah:
1. cepat dan langsung, karena radio tidak
membutuhkan proses yang rumit untuk
penyampaian informasi,
2. hangat dan dekat, karena sifatnya yang personal.
Seakan-akan hanya ada penyiar dan Anda
(pendengar). Penyiar seolah menjadi teman baik
bagi pendengarnya dalam keadaan apapun,
3. memancing theatre of mind, seperti gambaran
sebelumnya, hanya melalui suara penyiar, musik,
efek suara, masing-masing pendengar akan
membentuk gambarannya masing-masing atas apa
yang didapatkan melalui radio, berdasarkan frame
of reference dan field of experience-nya,
4. tanpa batas, siaran radio bisa didengar oleh
siapapun, menembus batas geografis, demografis,
suku, ras, usia, dan kelas sosial. Hanya tunarungu
20
yang hingga saat ini belum bisa menikmati siaran
radio,
5. bisa didengar sambil mengerjakan pekerjaan lain.
Lain halnya saat kita menonton televisi maupun
membaca koran yang membutuhkan konsentrasi
lebih,
6. murah,
7. menghibur, selain dikarenakan musik yang diputar
juga karena penyiar yang memiliki kemampuan
untuk menghibur para pendengarnya,
E.3.2.2 Kelemahan Radio
Menurut Meeske yang ditulis dalam buku Jurnalisme
Radio (Astuti, 2008: 40), kelemahan radio adalah:
1. Radio is aural only. Satu-satunya yang diandalkan
dari radio adalah suara (sound) saja,
2. Radio message are short lived. Pesan radio hanya
bersifat satu arah, sekilas, antidetil dan tidak dapat
ditarik kembali,
3. Radio listening is prone to distraction. Radio
rentan dengan gangguan. Jika suara yang
ditangkap kurang jernih, bisa jadi informasi yang
didapat kurang maksimal.
21
E.3.3 Jurnalistik Radio
Jurnalistik radio sama halnya dengan jurnalistik pada
umumnya, ada proses mencari, mengolah dan kemudian
mempublikasikan berita. Yang membedakan hanyanya medianya
saja. J.B. Wahyudi membagi produk radio menjadi dua kelompok
besar (Astuti, 2008: 55-56), yakni:
1. Karya artistik, tentunya diproduksi dengan pendekatan
artistik. Biasanya karya ini membutuhkan dramatisasi,
sehingga fiksi atau non-fiksi boleh dibuat sekreatif
mungkin. Contoh: drama radio, iklan, pernik.
2. Karya jurnalistik, tentu diproduksi dengan pendekatan
jurnalistik, dibuat sesuai dengan kaidah jurnalistik serta
mengindahkan kode etik jurnalistik sebagai acuannya.
Sebisa mungkin dijauhkan dari dramatisasi, sehingga tidak
menimbulkan ambiguitas. Contoh: berita, feature,
dokumenter.
E.3.4 Program Berita Radio
Dalam jurnalistik radio, berita (news) memang menjadi
dasarnya dan disajikan dalam berbagai bentuk, diantaranya:
actualities/ soundbite, voicer, wrap, berita langsung (straight
news), breaking news, sequence/ sequel news, kronik (chronicles),
soft news, dan reportase langsung. Actualities/ soundbite
memanfaatkan suara-suara dari kejadian yang sebenarnya untuk
22
melengkapi penyampaian berita. Dengan actualities, informasi
yang disampaikan akan terdengar lebih riil dan bisa menimbulkan
reaksi emosi yang lebih dari pendengar.
Voicer memberikan observasi, persepsi, deskripsi nyata
yang terjadi disertai suara pendukung yang diliput dan disampaikan
oleh reporter. Wrap, format ini menggabungkan ciri dari voicer dan
actualities sehingga tercipta satu paket berita yang direkam dan
diedit terlebih dahulu. Jenis berita yang lebih mengedepankan
aktualitas adalah straight news atau berita langsung.
Penyampaiannya bisa berupa actualities, voicer, ataupun wrap¸
yang terpenting 5W+1H (who, what, where, when, why, dan how)
bisa tersampaikan dengan tepat dan sesegera mungkin. Berita yang
disampaikan dengan sangat segera, biasanya berkaitan dengan
insiden/ peristiwa yang sedang berlangsung disebut dengan
breaking news.
Jenis berita selanjutnya adalah sequence, yakni berita yang
disusun secara berurutan dan disampaikan secara
berkesinambungan dalam waktu yang berbeda. Lazimnya,
sequence disampaikan untuk menginformasikan perkembangan
satu topik berita (Indra Astuti, 2008: 104). Kemudian, kronik yang
merupakan kumpulan headline berita, yang berisi pokok-pokok
penting dan biasanya berdurasi singkat, tidak lebih dari 15 detik.
Ada berita yang kadang tidak aktual, namun penting untuk
23
diinformasikan yang disebut soft news. Penyajiannya tidak setajam
straight news, tapi lebih ringan tanpa menghilangkan nilai
beritanya. Live reportage atau siaran langsung merupakan
informasi yang disiarkan langsung dari tempat kejadian dalam
waktu yang bersamaan. Untuk jenis berita yang terakhir, dewasa
ini lebih banyak digunakan karena berkaitan dengan persaingan
antar lembaga penyiaran dalam kecepatannya menyampaikan
informasi.
Selain reportase langsung, radio dengan jurnalisme yang
kental biasanya akan lebih banyak menampilkan siaran berbasis
talk show berbentuk forum diskusi interaktif yang melibatkan
banyak pihak. Penyiarannya kepada publik bisa secara langsung
(live talk show) ataupun siaran tunda yang direkam sebelumnya.
Namun untuk talk show yang menyediakan ruang interaksi
langsung bersama pendengar, dituntut untuk menyiarkan secara
langsung. Instruktur radio dari Munchen, Jerman, Klaus Kastan
menyumbangkan metode talk show, yaitu HARLEY (Harmony,
Actual, Responsible, Leading, Entertainment, and Yield).
E.3.5 Wawancara Radio
Wawancara dalam bahasa inggris disebut “interview”, yaitu
dari kata inter (antara) dan view (pandangan). Makna ini
menunjukkan terjadi saling pandang atau kontak antara
pewawancara dan yang diwawancarai (Riswandi, 2009: 43).
24
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang akurat
dari orang yang berhak memberikan keterangan (narasumber) atas
suatu gejala sosial atau suatu topik pembicaraan. Kegiatan
wawancara dilakukan dengan persiapan yang matang dan memiliki
tujuan tertentu. Tujuan wawancara penting untuk dirumuskan
karena menentukan keberhasilan wawancara itu sendiri. Kegagalan
suatu wawancara sering didapati karena pewawancara tidak tau apa
sebenarnya tujuan dari wawancara yang dilakukan, apakah sekedar
untuk konfirmasi, meminta opini, atau tujuan lain.
Pakar komunikasi radio, Dr. Myles Martel dalam buku
Dasar-dasar Penyiaran (Riswandi, 2009: 44) merumuskan 8
tujuan wawancara, yaitu:
1. memastikan kebenaran dan aktualitas fakta,
2. memperoleh pernyataan resmi langsung dari sumbernya,
3. menggali titik pandang/opini (point of view),
4. memformulasikan suatu masalah,
5. memperoleh suara yang mewakili masyarakat,
6. menciptakan gaya berita bercerita,
7. meningkatkan citra pribadi reporter,
8. memperkuat kredibilitas radio di bidang informasi.
Selain itu, tujuan dari wawancara juga untuk konfirmasi,
melengkapi data, mendorong narasumber agar mengungkapkan
25
suatu fakta, atau hanya sekedar menyambung tali silaturahim
antara media dengan narasumber.
Ditinjau dari segi teknis (Masduki, 2006: 41), wawancara
radio dibagi menjadi:
1. wawancara berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
bersama,
2. wawancara konferensi pers. Reporter diundang oleh
narasumber untuk mendapatkan penjelasan atas suatu
peristiwa,
3. wawancara di lokasi peristiwa,
4. wawancara dari studio dengan menggunakan telepon
atau alat telekomunikasi lainnya,
5. wawancara siaran langsung. Reporter mengadakan
wawancara yang disiarkan saat itu juga,
6. wawancara jalanan (on the street/ vox pop interview),
wawancara spontan yang dilakukan di berbagai lokasi
untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat
mengenai suatu peristiwa.
Dari segi isi, wawancara dibagi menjadi wawancara
infomasi, wawancara opini, dan wawancara tokoh. Wawancara
informasi dilakukan untuk mencari kejelasan data faktual dari
suatu peristiwa, bisa berupa hasil reportase langsung maupun
wawancara melalui sambungan telepon dari studio. Wawancara
26
opini merupakan wawancara yang memusatkan pada gagasan,
penilaian, dan kepercayaan narasumber atas sebuah persoalan.
Terakhir, yakni wawancara tokoh yang mengungkap biografi
seorang public figure.
Sementara itu, berdasarkan penyajiannya wawancara radio
dibagi menjadi tiga (Tebba, 2005: 129-130), yaitu:
1. Wawancara aktualitas/ band interview/ ATI (Audio
Tape Insert), yaitu petikan wawancara berdurasi
pendek untuk mendukung berita aktual. Biasanya
ditampilkan sebagai penegasan yang mendukung suatu
berita yang ditayangkan,
2. Wawancara berita, yaitu wawancara dalam waktu
singkat yang merupakan sebuah berita actual. Biasanya
wawancara ini membahas sebuah persoalan secara
singkat,
3. Wawancara program, yaitu wawancara dalam waktu
yang panjang dan dalam perbincangan itu dapat dibahas
secara tuntas permasalahan yang diangkat. Wawancara
jenis ini juga biasa disebut talk show.
E.3.6 Talk show Radio
E.3.6.1 Pengertian Talk show Radio
Menurut sejarah, program talk merupakan program
tertua. Obrolah formal mulai dipopulerkan di Inggris,
27
wawancara dengan gaya modern muncul dari Amerika,
sedangkan forum diskusi-diskusi publik yang bersifat lokal
dimulai di Kanada. Sekarang, bentuk-bentuk talk program
ini sudah diadopsi untuk kemudian dikreasikan dengan
kultur dan kebutuhan komunitas masing-masing di seluruh
dunia.
Ada perbedaan dan persamaan antara wawancara
dan dialog/ talk show. Persamaan antara keduanya adalah
sama-sama selalu terdiri dari orang yang mewawancarai
atau pewawancara atau moderator atau host dan orang yang
diwawancarai atau narasumber. Perbedaannya, pada
wawancara, pewawancara hanya mengajukan pertanyaan
kepada narasumber dan narasumber berfungsi menjawab
pertanyaan. Sementara pada dialog/ talk show,
pewawancara tidak selalu hanya bertanya tapi juga bertukar
argumen dengan orang yang diwawancarai untuk sepakat,
saling memperkuat argumen atau berbeda pendapat (Tebba,
2005: 127).
Menurut Masduki (2006: 45) perbedaan paling
penting antara talk show dan wawancara berita adalah talk
show bersifat dinamis, tidak terpaku pada aktualitas topik
perbincangan, dan jam tayang fleksibel. Talk show dapat
28
dimasukkan ke dalam kategori program spesial atau
program wawancara sebagai acara. Komponen yang selalu
ada dalam program talk show adalah obrolan dan musik
yang berfungsi sebagai selingan.
Santi Indra Astuti (2008: 119) dalam bukunya
mengatakan paling tidak ada dua program yang berbasis
talk yang sering muncul di radio, yakni interview
(wawancara) dan diskusi radio. Keduanya bisa bersifat
interaktif dengan pendengar ataupun tidak. Untuk
narasumbernya bisa jadi dihadirkan di dalam studio atau
hanya melalui teleconference/ mobile phone. Menurut
konsultan radio UNESCO Paris, Richard Aspinall yang
dikutip Astuti (2008: 141), “The best radio talks
programming is simply an extension of the talking we do in
our everyday lives”. Program radio talk yang paling baik
adalah perpanjangan obrolan dari apa yang kita lakukan
dalam kegiatan sehari-hari. Obrolan seperti ini akan
berlangsung alamiah, bebas, mengalir, terbuka, dan saling
mempengaruhi.
Dalam Jurnalisme Radio (Gunawan, dkk, 2001:
139) yang diterbitkan UNESCO Jakarta bekerjasama
dengan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta menjelaskan
program interaktif adalah program yang melibatkan
29
interaksi antara pembawa acara atau presenter (dengan atau
tanpa pembicara dari luar) di studio, dengan pendengar di
luar studio (dalam beberapa kejadian, pendengar bisa juga
diundang hadir di studio). Karena sifatnya yang sarat
muatan dialog, program interaktif juga sering disebut
sebagai talk show atau tontonan perbincangan.
E.3.6.2 Macam-macam Talk Show
Ada beragam jenis program interaktif/ talk show,
diantaranya (Gunawan, dkk, 2001: 140-141):
1. Pilihan pendengar, pendengar bisa menelpon
penyiar di studio untuk diputarkan lagu pilihannya,
sekaligus bisa berbincang tentang berbagai hal,
2. Kuis, dewasa ini radio selalu menggunakan telepon
sebagai penghubung pendengar dengan penyiar
untuk kebutuhan kuis radio,
3. Program pengaduan, masyarakat bisa mengadukan
tentang hal apapun, termasuk public service,
pelayanan pemerintah, traffic, dll,
4. Konseling pribadi, biasanya radio akan
menghadirkan psikolog dan pendengar bisa
melakukan konsultasi lewat udara untuk
mendapatkan solusi dari segala permasalahan yang
dihadapi,
30
5. Diskusi atau perdebatan, lazimnya ditentukan
terlebih dulu topik yang akan dibicarakan. Ada
pakar yang dihadirkan di studio yang sesuai dengan
topik yang akan dibahas. Terkadang pendengar juga
ikut diundang untuk ikut berpartisipasi dalam
diskusi radio ini.
Jenis diskusi atau perdebatan merupakan jenis talk
show yang paling rumit dalam pengerjaannya, namun juga
yang paling mendukung radio-radio yang memiliki program
pemberitaan. Karena banyak kasus pemberitaan hanya
dinformasikan sekilas saja, padahal banyak hal yang ingin
dibahas, dalam diskusi inilah bisa menghadirkan
narasumber untuk secara bersama-sama membahas
pemberitaan tersebut hingga tuntas. Semua pemikiran baik
dari pakar maupun pendengar bisa ditampung untuk
mendapatkan solusi bersama, jika dibutuhkan. Oleh
karenanya, bisa dikatakan bahwa program semacam ini
merupakan program yang menjunjung tinggi asas
demokrasi.
E.3.6.3 Produksi Program Talk Show
Langkah yang harus dipersiapkan radio untuk
membuat program talk show (Gunawan, dkk, 2001: 142-
145) adalah:
31
1. Menentukan format
Program interaktif format apa yang dipakai harus
ditentukan terlebih dahulu oleh produser acara dan
tim. Mulai dari tema, apakah ada narasumber,
membutuhkan apa saja baik itu segi teknis maupun
SDM, dll.
2. Memilih topik
Topik yang dipilih harus benar-benar menadi daya
tarik bagi masyarakat, sehingga talk show tersebut
akan benar-benar efektif dan menimbulkan efek
yang sesuai dengan tujuan dari program,
3. Melakukan riset
Sama halnya dengan kegiatan jurnalistik lain, jika
ingin memperbincangkan suatu permasalahan,
mutlak untuk mencari informasi sebanyak-
banyaknya tentang apa yang akan kita bahas.
Semakin kaya hasil riset yang didapat, maka
semakin bermanfaat dan berkualitas talk show
tersebut,
4. Menentukan narasumber
Menentukan siapakah yang akan menjadi
pembicara ini juga penting, jangan sampai kita
salah memilih narasumber kalau tidak ingin acara
32
yang sudah kita arrange sedemikian rupa rusak
hanya gara-gara narasumber tidak kompeten di
topik yang diangkat. Narasumber yang baik adalah
yang memiliki kompetensi untuk berbicara
mengenai topik yang dibahas dan artikulatif
(mempunyai kemampuan berbicara yang baik,
runtut, jelas, dan berisi),
5. Mempersiapkan peralatan teknis
Peralatan di dalam studio harus dicek dan
dipastikan berfungsi dengan baik demi kelancaran
talk show, baik itu michophone, headset, mixer,
maupun sambungan telepon untuk interaktif, jika
digunakan,
6. Menyiapkan langkah tindak lanjut bila diperlukan
Obrolan yang bagus, jika masih meninggalkan
ganjalan di akhir acara tidak akan bisa dikatakan
sukses sepenuhnya. Masyarakat akan lebih
mengapresiasi radio yang mampu menyelesaikan
permasalahan hingga tuntas. Jika dalam talk show
itu masih ada hal yang harus diteruskan ke instansi
lain atau individu lain, alangkah baiknya jika
diselesaikan. Jika hal ini dilakukan, maka
masyarakat akan menilai bahwa radio kita tidak
33
diragukan lagi kredibilitasnya dalam melayani
kebutuhan masyarakat.
E.3.6.4 Struktur Siaran Talk Show
Seperti program siaran lain, struktur dari talk show
radio adalah opening, body, dan closing (Astuti, 2008: 139-
140). Opening talk show biasanya diisi dengan pengantar
pada topik, alasan mengapa topik ini diangkat, apa yang
diharapkan dari diskusi yang akan berlangsung. Kemudian
penyiar akan mengenalkan narasumber dan latar belakang
narasumber.
Body berisikan pokok permasalahan diskusi, dalam
talk show dibagi menjadi beberapa segmen. Di tiap jeda
segmen disajikan iklan, lagu, atau yang lain. Agar
pembahasan mudah dicerna oleh pendengar dan lebih
mudah pembahasannya oleh narasumber, disarankan agar
setiap segmen berisikan satu isu, aspek, atau subtema.
Terakhir adalah closing atau penutup. Biasanya
kesimpulan dari perbincangan diutarakan lagi di segmen
terakhir ini dalam kalimat yang singkat, boleh disampaikan
oleh penyiar, atau oleh narasumber. Tidak lupa ucapan
terimakasih dan informasi lain yang berkaitan dengan
tindak lanjut talk show tersebut.
34
E.4 Model Implementasi Bottom-up
Model bottom-up bermakna meskipun kebijakan dibuat oleh
pemerintah, namun pelaksanaan oleh rakyat. Pendekatan bottom-up
dikembangkan oleh Michael Lipsky dan Benny Hjern. Model ini
menekankan pada fakta bahwa bagaimana tiap-tiap pelaku kebijakan
diberikan keleluasaan dalam menetukan bagaimana mereka
mengimplementasikan kebijakan. Para pelaku kebijakan seperti halnya
media massa, mendapatkan kesempatan untuk menerapkan kebijakan yang
dibuat pemerintah sesuai dengan kondisi di wilayah masing-masing.
Artinya, bisa jadi metode yang disiapkan pembuat kebijakan untuk
diimplementasikan di lapangan tidak dipergunakan oleh pelaku kebijakan
karena metode, sistem koordinasi, maupun sistem pengontrolannya tidak
sesuai untuk diterapkan.
Model ini mengkritik model top-down yang dianut Daniel
Mazmanian, Paul Sabatier, Robert Nakamura, Frank Smallwood, dan Paul
Berman yang merupakan tipe implementasi ideal, dengan rantai komando
yang baik, kapasitas koordinasi dan kontrol baik. Sehingga peran pembuat
kebijakan seakan menjadi sakral kedudukannya dan pelaku kebijakan tidak
bisa dengan kritis dan bebas melaksanakan kebijakan sesuai dengan apa
yang dirasa cocok untuk diterapkan.
Dwidjowijoto (2006: 126) memaparkan model pemetaan top-down
versus bottom-up terhadap mekanisme pasar versus mekanisme paksa
lewat Gambar 1.1.
35
Gambar 1.1 Pemetaan Implementasi Top-Down Versus Bottom-Up
Terhadap Mekanisme Pasar Versus Mekanisme Paksa Model
Dwidjowijoto
Model bottom-up yang digunakan dalam penelitian ini yang
bernomor 5 pada gambar. Model yang disusun oleh Richard Elmore,
Michael Lipsky, dan Benny Hjern dan David O’Porter. Letaknya ada pada
kuadran bawah ke atas dan lebih berada di mekanisme pasar. Mekanisme
pasar yang dimaksud adalah mengedepankan mekanisme insentif bagi
yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak akan mendapat
sanksi, namun tidak mendapat insentif.
Model implementasi bottom-up ini dimulai dengan
mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan
Atas ke bawah
Mekanisme Mekanisme
Paksa Pasar
Bawah ke Atas
(Sumber: Dwidjowijoto, 2006: 126)
2
1
3
4
5
36
menanyakan kepada mereka tentang tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-
kontak yang mereka miliki. Model ini didasarkan pada jenis kebijakan
publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri
implementasi kebijakannya, atau masih melibatkan pejabat pemerintah,
namun hanya di tataran rendah (Dwidjowijoto, 2006: 134-135).
Dwidjowijoto (2006: 148) mengistilahkannya dengan diskresi,
yakni ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk memilih
tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila
menghadapi situasi khusus ketika kebijakan tidak mengatur atau mengatur,
namun berbeda dengan kondisi lapangan. Penyesuaian di lapangan inilah
yang menjadi inti dari diskresi. Akan tetapi, agar tidak terjadi diskresi
yang “keterlaluan” maka tetap dibutuhkan pengawasan oleh policymakers,
yang dalam penelitian ini adalah monitoring dari KPI.
Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan model
implementasi bottom-up yang bisa digambarkan lebih sederhana dalam
Gambar 1.2 berikut:
37
Gambar 1.2 Penyederhanaan Model Implementasi Bottom-up
Menurut pendukung model bottom-up, yang terpenting adalah
hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Daripada
menganggap manusia sebagai mata rantai dalam garis komando, seperti
yang dianut model top-bottom, pembuat kebijakan semestinya sadar bahwa
kebijakan paling baik diimplementasikan dengan apa yang diistilahkan
Richard Elmore “backward mapping” (pemetaan mundur) problem dan
kebijakan. Artinya, mendefinisikan sukses berdasarkan term manusia atau
perilaku manusia, dan karenanya kesuksesan bukanlah sekedar pemenuhan
sebuah “hipotesis” (Parson, 2008: 470).
F. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan kepada bagaimana
implementasi atau penerapan P3 pasal 27-29 dan 35, baik berupa perilaku maupun
ucapan dari penyiar dan atau tim produksi terhadap narasumber yang hadir dalam
(Dapat mempengaruhi)
(Sumber: Diolah dari data primer)
Peraturan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI)
Lembaga Penyiaran
(Produser, penyiar,
moderator, dll)
Lembaga Penyiaran
(Produser, penyiar,
moderator, dll)
Lembaga Penyiaran
(Produser, penyiar,
moderator, dll)
38
acara talk show di radio-radio Kota Malang, yakni di Radio RRI Pro-1,
Kosmonita, dan Mas FM. Dalam pasal tersebut dijelaskan apa saja hak dari
narasumber dan kewajiban media yang harus dipenuhi pada saat sebelum dan saat
berlangsungnya program siaran talk show radio. Hal-hal yang dibahas dalam
pasal-pasal yang diteliti, yakni:
1. Pasal 27: penjelasan kepada narasumber,
2. Pasal 28: persetujuan narasumber,
3. Pasal 29: anak dan remaja sebagai narasumber, dan
4. Pasal 35: pewawancara.
Dari penelitian ini, peneliti mencari tahu tentang bagaimana bentuk
implementasi P3 yang dilakukan oleh penyiar beserta tim produksi terhadap
narasumbernya. Peneliti juga mengumpulkan informasi terkait apa saja hambatan
maupun faktor pendukung implementasi P3 pasal 27-29 dan 35, sesuai dengan apa
yang menjadi tujuan dari penelitian ini.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu pendekatan umum ke arah fenomena yang
telah dipilih oleh peneliti untuk diselidiki dan dengan demikian merupakan sejenis
logika yang mengarahkan penelitian (Robert & Ernest, 1984: 80).
G.1 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah pendekatan penelitian yang berlandaskan
39
pada filsafat post-positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan
snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis
data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2009: 15).
G.2 Tipe dan Dasar Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe deskriptif karena
peneliti ingin menggambarkan sekaligus menjelaskan bagaimana
implementasi P3 di media massa terutama dalam penelitian ini adalah
radio-radio di Kota Malang secara utuh, lengkap, dan menyeluruh.
Sedangkan dasar penelitian ini adalah penelitian kebijakan (policy
research), karena dalam hal ini penelitian mengarah kepada bagaimana
peneliti menganalisis implementasi peraturan dari KPI, yakni pasal 27-29
dan 35 dalam P3. Salah satu pelopor dan pendiri analisis kebijakan, Harold
Lasswell menggambarkan orientasi kebijakan itu sebagai pendekatan ilmu
kebijakan (the policy science approach), suatu istilah untuk menunjukkan
adanya sumbangan pemikiran berupa pengetahuan yang sistematik,
rasionalitas terstruktur dan kreativitas yang terorganisasikan untuk
membuat kebijakan yang lebih baik (Wahab, 2008: 7).
Pada prinsipnya menurut Majchrzak, penelitian kebijakan adalah
suatu proses penelitian yang dilakukan pada masalah-masalah sosial yang
mendasar, sehingga hasil dari penelitian dapat dijadikan sebagai
40
rekomendasi dalam pembuatan keputusan untuk bertindak secara praktis
dalam menyelesaikan kasus-kasus (pps.unud.ac.id).
H. Tempat Penelitian
Penentuan tempat penelitian dengan pendekatan bertujuan (purposive).
Radio yang dipilih adalah radio yang memiliki program talk show dengan
beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan yakni:
1. Instrumen talk show minimal terdiri dari satu orang penyiar/
moderator dan satu orang narasumber,
2. Jenis talk show adalah talk show program pengaduan atau talk show
diskusi / dialog interaktif,
2. Talk show bertema pendidikan, publik service, human interest, atau
poleksosbudhankam,
3. Talk show bersifat non-komersil (misal: talk show promosi produk/
jasa berbayar),
4. Bukan merupakan talk show human interest artis hiburan yang bersifat
promosi (misal: talk show promosi lagu musisi, baik solo/ band).
Adapun radio yang memiliki program talk show dengan dasar pertimbangan di
atas adalah:
1. LPP RRI Programa 1 (Pro-1) 94,6 FM
Jl. Candi Panggung Barat 58, Malang (0341) 495 850
2. Radio Kosmonita 95,4 FM
Kompleks ruko WR. Supratman C1 Kav. 18 (0341) 558 044
41
3. Radio Mitra Adiswara (Mas FM) 104,5 FM
Jl. Dr. Cipto 16, Malang (0341) 327 463
Pada Radio RRI Pro-1, Kosmonita, dan Mas FM inilah penelitian dilakukan.
I. Subyek Penelitian
Penentuan subyek berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu teknik
penentuan sampel dengan tujuan tertentu dari peneliti. Tidak semua orang yang
ada dalam radio-radio tempat penelitian dijadikan subyek/ informan dalam
penelitian ini. Oleh karenanya, hanya beberapa orang saja yang berkaitan
langsung dengan acara talk show yang diudarakan oleh radio-radio tersebut yang
dijadikan informan dan dibagi menjadi informan utama dan informan tambahan.
Penyiar/ moderator sebagai informan utama karena penyiar yang berhadapan
langsung dengan narasumber talk show yang dipandunya dan menjadi tolok ukur
implementasi P3 pasal 27-29 dan 35. Sedangkan informan tambahan yang
dibutuhkan adalah: (1) produser acara talk show, yang merupakan “otak” dari
program talk show dan bertanggung jawab atas penyiarnya; (2) narasumber
program talk show, sebagai data pembanding.
J. Metode Pengumpulan Data
Guna memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian
ini, maka digunakan beberapa metode pengumpulan data, yakni:
1. Wawancara Semiterstruktur (Semistructure Interview)
42
Termasuk dalam kategori in depth interview, pada wawancara jenis ini
tujuannya adalah menemukan permasalahan dengan lebih terbuka,
dimana partisipan diminta untuk memberikan pendapat dan ide-idenya.
Pertanyaan yang diajukan dalam jenis interview ini disesuaikan dengan
draf wawancara, meskipun dalam perjalanannya tidak menutup
kemungkinan pertanyaan akan berkembang. Dengan metode ini,
peneliti mengharapkan wawancara yang lebih luwes, arahnya bisa
lebih terbuka, percakapan tidak membuat jenuh kedua belah pihak,
sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya (Patilima, 2005: 75).
2. Observasi Tak Berstruktur
Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan
secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi (Sugiyono, 2009:
313). Seperti yang tertulis dalam karangan Prof. Dr. Sugiyono
(2009:310), Marshal (1995) menyatakan bahwa “through observation,
the researcher learn about behavior and the meaning attached to those
behavior” (melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan
makna dari perilaku tersebut).
3. Dokumen
Dokumen yang dibutuhkan guna membantu peneliti menganalisis data
diantaranya adalah dokumen peraturan yang dibuat oleh KPI (P3),
hasil rekaman talk show.
43
K. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis
kualitatif Miles dan Huberman (1984). Langkah yang harus dilakukan peneliti
menurut mereka adalah:
1. Data reduction (reduksi data)
Kegiatan merangkum, menyeleksi mana data yang dipakai dan mana
data yang tidak dipakai. Banyaknya data yang diperoleh baik dari
wawancara maupun observasi menuntut adanya penyeleksian data
untuk kemudian difokuskan pada tujuan penelitian,
2. Data display (penyajian data)
Dalam penelitian ini jenis datanya adalah kualitatif, sehingga data
yang disajikan berupa kata-kata atau gambar, sehingga tidak
menekankan pada angka-angka.
3. Conclusion drawing/ verification (penarikan kesimpulan dan
verifikasi)
Dari data yang sudah disajikan, maka perlu ditarik kesimpulan untuk
menjawab rumusan masalah yang sudah dibuat mengenai bagaimana
implementasi P3 di radio Kota Malang. Peneliti dapat memverifikasi
kembali kesimpulan yang didapat untuk mempertajam dan mengecek
kembali dengan fenomena yang ada untuk bisa memperoleh
kesimpulan akhir yang lebih valid.
Pada dasarnya Miles dan Huberman membagi analisis data menjadi dua
model (Patilima, 2005: 99), yakni model air dan interaktif. Pada model air,
44
peneliti memperhatikan pengaturan waktu, penyusunan proposal penelitian,
pengumpulan data dan analisis data, dan pasca pengumpulan data. Ketiga kegiatan
analisis dilakukan secara bersamaan dalam model air ini. Sedangkan model
interaktif, reduksi data dan penyajian data memperhatikan hasil data yang
dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian baru pada proses penarikan kesimpulan
dan verifikasi. Lebih mudahnya, model interaktif Miles dan Huberman yang
dikutip Machmud (2011: 26) dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data model interaktif Miles dan
Huberman. Penggunaan model ini dikarenakan dalam konteks melihat bagaimana
implementasi P3 oleh media massa menuntut peneliti melakukan analisis setahap
demi setahap guna mendapatkan hasil yang maksimal.
L. Uji Keabsahan Data
Triangulasi dalam pengujian keabsahan diartikan sebagai pengecekan data
dari berbagai sumber, cara dan waktu. Adapun yang digunakan untuk menguji
(Sumber: Machmud, 2011: 26)
Pengumpulan data Penyajian data
Reduksi data Penarikan/ pengujian
kesimpulan
45
kebenaran dari data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber
dan teknik.
Triangulasi sumber dilakukan dengan mengecek data yang diperoleh lewat
beberapa sumber. Yang dalam hal ini peneliti mengecek data yang diperoleh dari
penyiar/ moderator dalam talk show radio dengan yang diperoleh dari narasumber
yang diwawancarai oleh penyiar tersebut. Sehingga didapati kecocokan dari data
yang diperoleh apakah sah ataukah tidak.
Sedangkan penggunaan triangulasi teknik adalah dengan mengecek data
pada sumber yang sama, namun dengan cara yang berbeda. Misalkan dari salah
seorang penyiar yang memandu acara talk show radio, peneliti tidak hanya
menghimpun data dengan teknik wawancara, namun juga mengecek dengan
observasi terhadapnya agar diperoleh data yang lebih akurat. Setelah itu, baru
peneliti mengecek dengan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan
mengenai penyiaran radio, maupun dokumen pendukung lain.