bab i pendahuluan dalam bab ini akan dibahas tentang latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
1.1. LATAR BELAKANG
Era globalisasi selalu ditandai dengan terjadinya perubahan-
perubahan pesat pada kondisi ekonomi dan tingkat persaingan yang sangat
ketat (hypercompetion) dalam dunia, sehingga dapat memengaruhi
keseluruhan dimensi kehidupan individu. Situasi tersebut dapat juga
menyebabkan persaingan global yang sangat tajam di antara individu
dalam organisasi. Kemajuan teknologi yang terus berkembang dengan
sejumlah tuntutan yang tidak bisa ditawar bagi individu yang ada dalam
organisasi, sehingga berdampak signifikan terhadap perubahan seluruh
organisasi. Oleh sebab itu, organisasi tersebut tidak hanya dipandang
sebagai sistem tertutup (closed-system) saja, tetapi dipandang sebagai
sistem terbuka (opened-system) yang harus dapat merespon dan
mengakomodasikan berbagai perubahan eksternal dengan cepat dan efisien
(Brahmasari & Suprayetno, 2008). Pertanyaannya adalah bagaimana
organisasi secara responsif menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi
dengan cepat, tepat, dan terarah. Dengan kata lain, organisasi tersebut
perlu mengalami perubahan baik secara internal maupun eksternal agar
dapat menghadapi persaingan global tersebut.
Dalam menghadapi persaingan global, maka diperlukan
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang optimal. Menurut Media
Indonesia (04 November 2011), laporan Pembangunan Manusia 2011 yang
dikeluarkan UNDP menunjukkan bahwa indeks pembangunan manusia
(IPM) Indonesia berada di peringkat 124 dari 187 negara yang tercatat.
2
IPM merupakan indeks komposit yang mencakup kualitas kesehatan,
tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi (pendapatan). Di lingkup
ASEAN, Indonesia hanya berada di peringkat 5 dari 10 negara. Peringkat
ini masih lebih rendah daripada Singapura (26), Brunei Darussalam (33),
Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112). Data ini menunjukkan
adanya peningkatan kualitas pembangunan manusia Indonesia yang
menurun drastis sebab pada tahun 2010 masih berada di posisi 108 dari
169 negara. Hal ini membuktikan bahwa kualitas sumber daya manusia
Indonesia masih rendah untuk dapat bersaing dengan negara-negara
lainnya. Demikian hal ini pula merupakan suatu tantangan untuk terus
meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara khusus bagi karyawan
yang bekerja baik di dalam organisasi swasta maupun organisasi
pemerintah sebagai sektor publik.
Dengan seiring perkembangan lingkungan strategis nasional dan
internasional yang dihadapi dewasa ini dan di masa datang mensyaratkan
perubahan paradigma kepemerintahan, pembaharuan sistem kelembagaan,
peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan bangsa serta hubungan antar bangsa yang
mengarah pada terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good
governance). Dengan terlaksananya reformasi sistem pemerintahan dari
otoriter menjadi pemerintahan demokratis dan dari sistem sentralistik
menjadi sistem desentralistik dengan pemberlakuan otonomi daerah
berdasarkan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang
nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok kepegawaian telah
memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
kepegawaian bagi pegawai negeri sipil yang mempunyai implikasi
langsung terhadap kesiapan pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas, serta ketersediaan sumber daya lainnya.
3
Dalam organisasi pemerintahan, pegawai merupakan sumber daya
manusia (human resources) yang paling penting sebagai faktor utama yang
menentukan keberhasilan suatu organisasi dengan berbagai perubahan
dalam menghadapi persaingan global. Sejalan dengan itu, Zagladi (2005)
mengatakan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) sebagai unsur aparatur
negara yang bertugas dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil sebagai pengemban
tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil
guna, sehingga pegawai negeri sipil tunduk pada hirarkhi organisasi.
Dengan demikian, setiap pelaksana dituntut untuk selalu berprestasi,
terutama dengan tugas sehari-hari yang menjadi kewajiban, dan diatur
dalam deskripsi pekerjaan (job description). Oleh karena itu, pegawai
negeri sipil diharapkan memiliki kemampuan dalam mengerjakan setiap
tugas dan tanggung jawabnya terutama memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku terhadap pekerjaan.
Ada berbagai fenomena yang menunjukkan bahwa kerap kali
terjadi pemogokan kerja, ketidakhadiran/ bolos kerja, keterlambatan dalam
mengerjakan tugas, kemangkiran, minimnya kreativitas atau hilangnya
minat maupun ketertarikan pada suatu yang dahulu disukai, malas, lesu,
absensi yang tinggi, rendahnya semangat dan motivasi kerja, lingkungan
kerja yang dirasakan kurang nyaman dan monoton akibat tidak adanya
tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, tidak adanya
dorongan kepada pegawai untuk bertindak imajinatif dan tidak responsif
akibat dari prosedur yang birokratis, kurang berkomunikasi secara terbuka
antara pimpinan maupun rekan kerja sehingga mereka menerima hasil
seadanya. Hal ini mengindikasikan suatu sikap dari berbagai perasaan
sebagai wujud ketidakpuasan kerja sehingga berdampak pada turnover,
penurunan produktivitas, dan rendahnya kinerja pegawai (Panudju, 2003;
4
Frimansah & Santy, 2009; Ali, 2007; Karyanti, 2010). Sementara itu,
Schultz dan Schultz (1998) mengemukakan bahwa pegawai yang
menghabiskan sepertiga sampai setengah jam ada di tempat kerja, untuk
jangka waktu 40 sampai 45 tahun adalah waktu yang sangat lama untuk
menjadi frustrasi, tidak puas dan bahagia, terutama karena ini perasaan
membawa ke keluarga dan kehidupan sosial, dan memengaruhi kesehatan
fisik dan emosional. Quarstein, McAfee, dan Glassman (1992) yang
meneliti ketidakpuasan pekerja di Amerika menemukan bahwa secara
umum pekerjaan yang bagus dengan gaji yang tinggi dan tunjangan yang
layak tetapi seringkali melaporkan tingkat kepuasan kerja yang rendah.
Temuan di atas didukung oleh sebuah lembaga konsultan di
Hongkong yang bergerak di bidang Political and Economic Risk
Consultance (PERC), menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh
pegawai pemerintah di Indonesia selalu bertele-tele. Temuan tersebut
menyebutkan bahwa kualitas pegawai pemerintah Indonesia berada pada
urutan 12 dari 14 negara yang disurvei. Hasil riset tersebut memberikan
gambaran bahwa citra kurang baiknya pegawai pemerintah Indonesia
masih melekat pada masyarakat dan secara tidak langsung masyarakat
telah melakukan kontrol terutama terhadap prilaku pegawai pemerintah
(Hidayat, dalam Frimansah & Santy, 2009). Hal ini mengindikasikan suatu
sikap dan perilaku kurang baik yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil
sehingga pegawai tidak dapat mencapai suatu kepuasan kerja yang
diinginkan sebagai salah satu indikator keefektifan kinerja organisasi.
Berdasarkan pernyataan di atas didukung pula oleh penelitian
Lumbanraja (2009) yang mengungkapkan bahwa belum terwujudnya
kepuasan kerja pegawai yang otentik. Hal ini dapat dipahami sebagai
kondisi yang sangat menghambat peningkatan kualitas diri pegawai di
mana kepuasan kerja tidak mendapat perhatian yang serius. Hal tersebut
5
sangat berpengaruh terhadap orientasi kerja dan komitmen organisasi.
Kondisi tersebut tidak hanya diindikasikan oleh tingkat turnover para
pegawai, namun juga ditunjukkan oleh tingkat kedisplinan dan keseriusan
para pegawai dalam bekerja melayani masyarakat. Sementara itu, hasil
penelitian Noor (2008) menemukan 26 pegawai menyatakan puas dan 34
pegawai lebih banyak menyatakan tidak puas atas kebijakan yang
diberikan organisasi, terutama ketidakpuasan yang dikeluarkan pimpinan
yang kadang-kadang kurang memperhatikan keinginan dan kebutuhan
bawahan, keharmonisan kerja antara pegawai dirasa kurang dan ada juga
pimpinan yang selalu dekat dengan sekelompok orang. Selain itu, hasil
kerja pegawai kadang belum diperhatikan, dan kondisi ruang kerja yang
belum tersusun berdasarkan lay out yang benar. Dengan kata lain,
sebagian pegawai mengatakan bahwa kepuasan yang diberikan organisasi
belum optimal dirasakan terutama menyangkut kepuasan perilaku
pimpinan, kepuasan terhadap sistem kerja dan kepuasan terhadap
lingkungan kerja.
Demikian temuan di atas merupakan fenomena ketidakpuasan yang
secara umum dialami oleh pegawai di Indonesia dan salah satunya
ditemukan pada pegawai yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur di
Kupang tepatnya di Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi
NTT di Kupang (Disperindag) sebagai lembaga instansi pemerintah yang
bertugas dalam bidang pembangunan sektor industri dan perdagangan.
Berdasarkan wawancara penulis pada tanggal 1 Februari 2012 kepada 10
pegawai yakni 5 pegawai mengatakan bahwa mereka kurang puas dengan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang keahlian dan latar belakang
pendidikan yang dimiliki, ketidakpuasan terhadap gaji, ketidakpuasan
terhadap kenaikan jabatan atau promosi yang dikeluhkan beberapa
pegawai yang telah 12 tahun bekerja namun belum memperoleh kenaikan
6
jabatannya, ketidakpuasan kepada pimpinan yang hanya mempercayakan
tugas dan pekerjaan kepada pegawai tertentu saja dan beberapa pegawai
memiliki hubungan yang dekat dengan pimpinan (Ingroup), ketidakpuasan
terhadap kondisi kerja yang kurang menyenangkan namun 5 pegawai
lainnya mengungkapkan kepuasan dalam bekerja terkait dengan pekerjaan
yang sesuai dengan keahlian, kenaikan jabatan dan penghargaan yang
diterima. Sementara itu, observasi dan informasi ditemukan penulis bahwa
beberapa pegawai menunjukkan ketidakpuasan dalam bekerja seperti
datang terlambat bekerja, lebih senang mengobrol dari pada melakukan
tugas pekerjaannya, sebagian pegawai pulang lebih awal dari jam kerja di
kantor, dan beberapa pegawai tidak berada di ruang kerjanya pada saat jam
kerja berlangsung.
Sejalan dengan hal itu, data yang diperoleh dari analisa SWOT
Disperindag Provinsi NTT di Kupang bahwa secara internal pegawai
belum memiliki kebutuhan tugas, keterampilan tenaga teknik yang belum
memadai, kurangnya sarana dan prasarana yang merupakan hambatan
pembinaan dan pengembangan industri dan perdagangan, pemanfaatan
teknologi informasi belum memadai, kurangnya motivasi kerja pegawai,
keterampilan dan disiplin yang menyebabkan terlambatnya pelaksanaan
tugas, dan kurangnya penghargaan terhadap pegawai yang berprestasi
(RENSTRA, 2009).
Adapun dilihat dari segi positifnya, cukup banyak pegawai yang
menjalankan tugas dan pekerjaan dengan baik sesuai tugas pokok dan
fungsi pekerjaan yang dilakukan dengan tekun, dan penuh tanggung jawab
terhadap setiap pekerjaan. Adanya kepuasan pegawai dalam hubungan
komunikasi dan bantuan kerjasama di antara rekan kerja maupun
dukungan dari pimpinan, dan adanya penghargaan bagi pegawai yang
berprestasi. Selain itu, ada beberapa penghargaan yang diterima
7
Disperindag Provinsi NTT di Kupang seperti pada tahun 2011 mendapat
juara 1 untuk pangan lokal nasional dan industri rumah tangga di tingkat
Nasional di Jakarta, penghargaan oleh Presiden RI dalam kegiatan
pameran produk ekspor nasional tahun 2011 di Jakarta, juara 3 visualisasi
data pembangunan sektor Indag tahun 2011 dan memperoleh piagam
penghargaan dari Gubernur NTT dengan 7 terbaik dalam penyusunan
laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah kategori AA tahun 2011
(RENSTRA, 2009).
Kepuasan kerja dipahami sebagai cerminan dari perasaan pegawai
yang nampak pada sikap pegawai saat bekerja. Secara teoritis, Koesmono
mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau
sikap karyawan terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan
lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar teman
kerja, hubungan sosial ditempat kerja sehingga dikatakan bahwa kepuasan
kerja dapat terpenuhi dari beberapa keinginan dan kebutuhannya melalui
kegiatan dalam bekerja (dalam Brahmasari & Suprayetno, 2008).
Sementara itu, Balser dan Harris (2008) berpendapat bahwa seorang
pekerja yang merasa puas dalam pekerjaannya adalah seorang pekerja
yang produktif.
Menurut Spector (1997), kepuasan kerja menjadi perhatian penting
dalam setiap organisasi karena berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja
dan kelangsungan hidup organisasi. Sejalan dengan ini, Hasibuan (2007)
menuliskan bahwa kepuasan kerja pegawai menjadi penting sebagai salah
satu kunci pendorong moral dan disiplin serta kinerja karyawan yang akan
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan dalam upaya mewujudkan
sasaran organisasi. Selain itu, kepuasan kerja merupakan sebuah cara
untuk mengaktualisasikan diri, jika kepuasan tidak tercapai, maka dapat
8
terjadi kemungkinan tenaga kerja akan frustasi dan dampaknya pada
kualitas kerja yang rendah (Strauss & Sayles dalam Handoko, 2000).
Beberapa karakteristik orang yang tidak puas dalam bekerja, di
antaranya adalah mereka yang tidak giat dalam bekerja, tidak termotivasi
dalam bertugas, tidak menjalankan tugas dengan optimal, serta kinerjanya
akan menurun. Sedangkan karakteristik individu yang puas dalam bekerja
adalah mereka yang bekerja giat, sepenuh hati, dan senang hati sehingga
hasil kerjanya akan semakin meningkat dan optimal (dalam Luthans,
2011). Sementara itu, menurut Happock (dalam Jatman, 1980), seseorang
yang merasa puas terhadap pekerjaannya memiliki ciri-ciri seperti, (1)
memiliki penyesuaian emosional yang lebih baik, (2) menunjukkan gejala
yang lebih religius, (3) memiliki hubungan yang lebih baik dengan para
supervisornya, (4) merasa lebih sukses, (5) lebih menyukai pengaruh
keluarga dan status sosial, (6) lebih selektif dalam pekerjaan, dan (7)
memiliki tingkat kejenuhan dan kejemuan yang rendah.
Kepuasan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya
faktor intrinsik yang bersumber dari diri pegawai untuk bekerja seperti
kepribadian (Thomas, Buboltz, & Winkelspecth, 2004), locus of control
(Sarita, 2009), kedisplinan, komitmen organisasi dan motivasi kerja
(Mamik, 2009), sedangkan faktor ekstrinsik yang berasal dari lingkungan
pekerjaan seperti persepsi dukungan organisasi (Yekta & Ahmad, 2010),
gaya kepemimpinan dan budaya organisasi (Lumbanraja, 2009), iklim
organisasi dan kualitas kepemimpinan (Setyawan, 2005).
Kepuasan kerja pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang yang demikian adanya diduga
dipengaruhi oleh faktor iklim organisasi. Gibson, Ivancevich, dan Donelly
(1996) mengungkapkan iklim organisasi adalah serangkaian sifat
lingkungan kerja yang dinilai langsung dan tidak langsung oleh pekerja
9
serta dianggap menjadi kekuatan utama yang memengaruhi perilaku. Iklim
organisasi sangat perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap
motivasi, produktivitas dan kepuasan kerja. Iklim organisasi memengaruhi
dengan cara membentuk harapan karyawan tentang konsekuensi yang akan
timbul dari berbagai tindakan. Iklim yang belum menunjang penampilan
kerja yang produktif, penyediaan teknologi organisasi, dan kondisi kerja
(seperti kantor dan fasilitas lainnya) yang belum memadai, serta arus
komunikasi yang tidak menunjang dalam arti jumlah mutu, praktik
pengambilan keputusan yang tidak sejalan di semua jenjang organisasi. Di
sisi lain, kesejahteraan pegawai yang belum diperhatikan secara baik, akan
mengakibatkan rendahnya kepuasan kerja. Karena itu, iklim organisasi
seyogianya berfungsi sebagai faktor pengukuh dalam proses pelaksanaan
tugas bagi perilaku kerja, kinerja, motivasi kerja dan kepuasan kerja,
sehingga semakin sehat suatu iklim organisasi akan semakin tinggi tingkat
kepuasan kerja dan kinerja karyawan dalam suatu organisasi
(Purnomosidhi dalam Andriani, Thoyib & Soemarsono, 2004).
Iklim organisasi merupakan suasana atau kondisi yang
menggambarkan lingkungan internal yang dialami atau dirasakan oleh
pegawai dalam bekerja. Dengan iklim organisasi yang menyenangkan,
maka akan tercipta suasana lingkungan kerja yang kondusif yang terwujud
dalam hubungan dan kerja sama yang harmonis dan serasi di antara
seluruh anggota organisasi, baik di antara sesama pegawai maupun antara
pegawai dengan pimpinan. Demikian juga halnya, kepuasan kerja dapat
ditentukan oleh suasana atau iklim organisasi/ lingkungan kerja pada
lembaga pemerintah yang merupakan tempat pegawai tersebut bekerja.
Hal ini didukung oleh temuan Adenike (2011) yang membuktikan bahwa
ada hubungan yang positif dan signifikan iklim organisasi dengan
kepuasan kerja karyawan akademik yang bekerja di universitas swasta,
10
Nigeria (r=0.671 dan p<0.01). Hal senada pula dalam penelitian Sari
(2009) menyimpulkan bahwa iklim organisasi memiliki hubungan yang
positif signifikan dengan kepuasan kerja karyawan British International
School. Hasil penelitian tersebut juga ditemukan oleh Hartuti (2006),
Wibowo dan Utomo (2006), Singh, Chauhan, Agrawal, dan Kapoor
(2011), Natarajan (2001), Zhang dan Liu (2010) menyimpulkan adanya
pengaruh yang positif signifikan antara iklim organisasi terhadap kepuasan
kerja karyawan.
Namun hasil penelitian di atas bertolak belakang dengan penelitian
Schulte, Ostroff, dan Kinicki (2006) yang menemukan bahwa iklim secara
keseluruhan dalam unit kerja tidak memengaruhi kepuasan kerja individu.
Hal ini diperkuat dalam penelitian yang dilakukan Temitope (2010)
menemukan tidak ada pengaruh yang signifikan antara iklim organisiasi
dengan kepuasan kerja pegawai sipil di organisasi publik, Ekiti State. Hal
tersebut karena iklim organisasi yang tercipta dalam suatu organisasi tidak
benar-benar memprediksi untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai
selama ada masa perubahan yang terjadi dalam organisasi. Demikian juga
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyanto dan Suryani (2010)
menyimpulkan iklim organisasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap kepuasan kerja guru SD di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda
dan Olahraga Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar.
Selain itu, faktor yang memengaruhi kepuasan kerja adalah
motivasi kerja. Menurut Berendoom dan Stainer (dalam Sedarmayanti,
2007), motivasi adalah kondisi mental yang mendorong aktivitas dan
memberi energi yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan yang
memberi kepuasan atau mengurangi keseimbangan. Sejalan dengan itu,
teori motivasi Alderfer secara operasional menyatakan kebutuhan seorang
karyawan sebagai kekuatan pendorong utama dalam memotivasi karyawan
11
untuk meningkatkan kepuasan kerja (dalam Trivellas, Kakkos, & Reklitis,
2010). Lebih lanjut, Alderfer (dalam Shouksmith, 1989) mengemukakan
tiga aspek motivasi kerja, yaitu kebutuhan eksistensi, kebutuhan relasi dan
kebutuhan pertumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa aspek-aspek
terpenting untuk memacu motivasi kerja bukan hanya terletak pada
kebutuhan fisiologis saja, melainkan pada kebutuhan-kebutuhan
psikologis. Itulah sebabnya manajemen harus memfasilitasi kebutuhan-
kebutuhan karyawan tersebut bukan hanya pada tingkat kebutuhan
fisiologis saja, tetapi juga ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi untuk
memacu motivasi kerja karyawannya (McGregor, 1988). Selain itu, ketiga
aspek tersebut menjadi dasar yang sangat penting bagi pegawai untuk
mencapai kepuasan kerja yang berdampak pada kinerja pegawai.
Pentingnya motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai
diperkuat dengan serangkaian penelitian di antaranya penelitian Ayub dan
Kafif (2011) yang membuktikan bahwa ada hubungan positif signifikan
antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja manajer Bank di Pakistan
(r=0.563, p=0.000). Penelitian Saleem, Mahmood, dan Mahmood (2010)
menemukan adanya hubungan yang positif signifikan antara motivasi kerja
dengan kepuasan kerja karyawan dalam sektor telekomunikasi di Pakistan.
Hal ini terbukti dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.263 pada taraf
signifikansi 1%. Temuan yang sama juga dilakukan oleh Kinman dan
Kinman (2001), Brahmasari dan Suprayetno (2008), Mamik (2009), dan
Gunawan (2009) yang membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.
12
Sebaliknya dalam penelitian yang dilakukan Budiyanto dan
Oetomo (2011) menemukan bahwa motivasi kerja tidak berpengaruh
signifikan terhadap kepuasan kerja PNS yang bekerja pada pemerintah
kabupaten Magetan, Jawa Timur. Hasil tersebut dikarenakan kondisi kerja
tidak memotivasi pegawai dalam pekerjaan sehingga tidak menghasilkan
dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Selain itu, pegawai
merasa kurang puas dengan pekerjaannya sendiri karena pekerjaan
tersebut relatif mudah untuk dilakukan dan tidak bervariasi,
membosankan, kurang menyenangkan, kurang relevan dengan keahlian/
pengalaman dan harapan mereka. Namun bagaimanapun juga, iklim
organisasi dan motivasi kerja dapat memengaruhi sikap dan perilaku
pegawai untuk bekerja dalam organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, iklim organisasi dan motivasi kerja
merupakan isu penting dalam suatu organisasi yang berkaitan dengan
perilaku sumber daya manusia (pegawai) dalam hal ini menyangkut
kepuasan kerja. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai iklim
organisasi dan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja telah di lakukan
pada kasus dan konteks yang berbeda, termasuk di antaranya dalam
konteks lembaga pemerintahan sebagai organisasi publik dengan hasil
penelitian yang berbeda. Iklim organisasi sebagai faktor eksternal dan
motivasi kerja sebagai faktor personal/ internal, yang merupakan suatu
interaksi antara kedua faktor untuk memperoleh kepuasan dalam bekerja.
Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah tempat, situasi, dan subjek penelitian. Secara khusus
dalam penelitian ini, belum ditemukan studi tersebut untuk meneliti topik
kepada pegawai pemerintah di Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang sehingga penulis merasa perlu
untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan kerja pegawai. Oleh
13
karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti iklim organisasi
dan motivasi kerja sebagai prediktor kepuasan kerja pegawai di Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah iklim
organisasi dan motivasi kerja secara simultan dapat dijadikan sebagai
prediktor terhadap kepuasan kerja pegawai pada Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengkaji iklim organisasi dan motivasi kerja secara simultan sebagai
prediktor terhadap kepuasan kerja pegawai pada Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
1.4.1. Manfaat Teoritis
1). Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan kepada lembaga
pemerintah khususnya sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu
psikologi mengenai pengembangan sumber daya manusia khususnya
di lingkungan pemerintah sebagai sektor publik. Hal yang dapat
digali dari penelitian ini adalah kemungkinan munculnya
pengembangan konsep-konsep interpendensi iklim organisasi dan
motivasi kerja yang memberikan peningkatan bagi kepuasan kerja
pegawai yang akhirnya mengarah kepada tercapainya kinerja dan
produktivitas kerja serta kualitas pemerintah yang diharapkan.
2). Menguji kembali beberapa teori yang berhubungan dengan masalah
iklim organisasi, motivasi kerja, dan kepuasan kerja.
14
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat secara praktis yaitu:
1). Sebagai kontribusi positif bagi lembaga-lembaga pemerintah di mana
pun, secara khusus lembaga pemerintah di Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang, dalam
pengambilan kebijakan baik sekarang maupun yang akan datang
dalam rangka peningkatan kepuasan kerja pegawai.
2). Sebagai masukan dan evaluasi perbaikan kepuasan kerja bagi para
pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa
Tenggara Timur di Kupang pada khususnya.
3). Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman atau referensi
untuk penelitian berikutnya yang sejenis.