bab i pendahuluan di desa (menulis). kegiatan

32
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bali sangat kental dengan tradisi yang diturunkan oleh leluhurnya. Seperti yang terdapat pada kehidupan klen Brahmana Buddha di desa Budakeling mempunyai berbagai tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi tersebut sangat unik, diantaranya terdapat tradisi Nyurat (menulis). Kegiatan Nyurat (menulis), dilakukan dalam rangka pembelajaran untuk generasi penerus bagi klen Brahmana Buddha di desa Budakeling. Berhubungan dengan tradisi Nyurat (menulis) tersebut, di desa Budakeling mempunyai berbagai hasil budaya yang merupakan hasil dari leluhurnya dan hingga kini masih diwariskan secara turun temurun. Salah satu hasil budaya tersebut, yakni Kajang masutasoma yang digunakan dalam rangka ritus kematian (kelepasan) sebagai penutup jenasah khususnya kaum Pendeta Buddha, di mana Kajang masutasoma didalamnya terdapat berbagai rerajahan/surat yang bertuliskan aksara Bali, serta memiliki nilai-nilai yang memuat hubungan kosmologi dan kosmogoni penciptaan mikro dan makrokosmos. Mengenai ritus kematian (kelepasan) yang terdapat di desa Budakeling berbeda dengan ritus kematian di Bali pada umumnya. Perbedaan tersebut, terlihat pada ritus kematian 1

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Bali sangat kental dengan tradisi yang diturunkan oleh

leluhurnya. Seperti yang terdapat pada kehidupan klen Brahmana Buddha di desa

Budakeling mempunyai berbagai tradisi yang diwariskan secara turun temurun.

Tradisi tersebut sangat unik, diantaranya terdapat tradisi Nyurat (menulis). Kegiatan

Nyurat (menulis), dilakukan dalam rangka pembelajaran untuk generasi penerus bagi

klen Brahmana Buddha di desa Budakeling. Berhubungan dengan tradisi Nyurat

(menulis) tersebut, di desa Budakeling mempunyai berbagai hasil budaya yang

merupakan hasil dari leluhurnya dan hingga kini masih diwariskan secara turun

temurun.

Salah satu hasil budaya tersebut, yakni Kajang masutasoma yang digunakan

dalam rangka ritus kematian (kelepasan) sebagai penutup jenasah khususnya kaum

Pendeta Buddha, di mana Kajang masutasoma didalamnya terdapat berbagai

rerajahan/surat yang bertuliskan aksara Bali, serta memiliki nilai-nilai yang memuat

hubungan kosmologi dan kosmogoni penciptaan mikro dan makrokosmos. Mengenai

ritus kematian (kelepasan) yang terdapat di desa Budakeling berbeda dengan ritus

kematian di Bali pada umumnya. Perbedaan tersebut, terlihat pada ritus kematian

1

(kelepasan) di desa Budakeling yang tidak melanjutkan dengan upacara

Maligia/Ngasti, namun hanya terhenti pada upacara plebon/ngaben. Keunikan

tersebut memang diwariskan secara turun temurun, sehingga kegiatan keagamaan

masyarakat Budakeling khususnya kaum Brahmana Buddha pada ritus kematian

(kelepasan) masih terjaga dan lestari, serta perlu pendalam bagi generasi muda

Brahmana Buddha Budakeling mengenai bentuk upacara yang unik tersebut, dan

pengetahuan mengenai elemen upacara seperti kajang masutasoma.

Bali mempunyai segudang ilmu dari karya sastra, baik itu berbentuk lisan

(lontar) dan prasasti, yang berhubungan dengan keagamaan. Seperti halnya di desa

Budakeling memiliki hasil budaya berbentuk lisan (lontar), yakni kakawin Purusadha

Santa atau yang dikenal juga dengan Kakawin Sutasoma merupakan sebuah teks

besar karya Mpu Tantular. Mpu Tantular seorang pemimpin Agama Buddha pada

masa kejayaan Majapahit di abad ke-14 yang memiliki visi cemerlang mengangkat

sinkretisme Siwa-Buddha. Visi tersebut ditulis dalam kakawin Sutasoma sebagai

“bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”(kakawin Sutasoma Ph. 139 Bt.5).

Nilai-nilai yang terkandung dalam petikan di atas sangat penting dipelajari

untuk menambah pengetahuan tentang ide-ide religius khususnya mengenai bentuk

Buddhisme Mahayana seperti berlaku di Keraton Majapahit beserta hubungannya

dengan Siwaisme (Zoetmulder, 1983: 435). Nilai tersebut antara lain mengajarkan

kita mengenai toleransi antar umat. Keagungan nilai itu pula, pendiri bangsa

menggunakan penggalan teks Sutasoma “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai slogan

3

pemersatu bangsa.Melalui slogan “Bhinneka Tunggal Ika” bangsa Indonesia yang

beraneka suku, ras, bahasa, adat, kesenian dan agama, diharapkan hidup

berdampingan dengan rukun.

Salah satu hasil budaya yang mengandung keagungan nilai dalam teks besar

Sutasoma yakni kajang masutasoma. Kajang masutasoma dapat dilihat sebagai

fenomena budaya, karena selalu digunakan dalam rangka kematian pada kehidupan

Brahmana Buddha di desa Budakeling. Realita saat ini, masyarakat Brahmana

Buddha Budakeling mengalami transisi dari masyarakat tradisional ke modern.

Keadaan transisi tersebut tampak pada masyarakat Brahmana Buddha Budakeling

yang sebagian besar merantau ke kota karena tuntutan jaman. Namun, meski demikan

masyarakat Brahmana Buddha Budakeling masih percaya atas keyakinan yang

diturunkan oleh leluhurnya, hingga saat ini kajang masutasoma masih digunakan

dalam rangka kematian pada kehidupan Brahmana Buddha Budakeling.

Selain mengandung keagungan nilai-nilai tersebut, kajang masutasoma

merupakan sarana ritual penutup jenasah pada ritus kematian (kelepasan) Brahmana

Buddha di desa Budakeling. Desa Budakeling dikatakan sebagai pusat Brahmana

Buddha, keturunan dari pendeta Buddha Astapaka atau dengan gelar kehormatan

Bhatara Astapaka. Dengan demikan, “Klen ini menamakan dirinya Brahmana

Buddha Warih Bhatara Astapaka” (Suci, Dharmika dan Granoka, 1984:81).

Dhanghyang Astapaka merupakan keturunan dari Mpu tantular. Secara biologis,

Brahmana Budha warih Bhatara Astapaka merupakan pewaris yang bertanggung

4

jawab terhadap kelangsungan kehidupan nilai-nilai tersebut, karena nilai merupakan

pondasi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya dalam menghadapi globalisasi

saat ini. Hal tersebut mendorong penulis untuk mengangkat kajang masutasoma

sebagai objek penelitian.

Kajang masutasoma dilihat sebagai fenomena budaya tradisional. Fenomena

budaya ini disebabkan bentangan sejarah atas karya-karya besar dari Mpu Tantular

sebagai pemimpin agama Buddha pada masanya.Sehubungan dengan itu, nilai dalam

karya Mpu Tantular terdapat pada kajang masutasoma. Kajang masutasoma selalu

digunakan oleh kalangan pendeta dalam rangka upacara pelebon/ngaben. Sehingga,

kajang masutasoma perlu dikaji untuk memenuhi kebutuhan generasi penerus dalam

jaman globalisasi.

Kajang adalah sarana ritual penutup jenasah terdiri dari elemen-elemen kain

(kafan), ditulis dengan huruf (aksara Bali) yang menyertakan diagram-diagram rajah

(aksara modre) dan gambar (lukisan). Kajang masutasoma terbentuk dari surat-

rajah-gambar, didalamnya terdapat nilai-nilai sinkretisme Siwa-Buddha yang

merupakan representasi dari teks Sutasoma. Terdapat pembeda kajang masutasoma

dengan kajang lainya adalah varian gambar yang bergambar Sutasoma katadah kala.

Dengan demikian dapat dikatakan kajang masutasoma merupakan hasil budaya yang

unik dan penting untuk dikaji di dalam penelitian ini.

Kajang masutasoma dapat dikonsepsikan dalam tiga wujud kebudayaan

yakni 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,

5

peraturan-peraturan dan sebagainya, 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks

aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, 3. Wujud

kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1983: 189).

Dalam wujud pertama yakni ide, kajang masutasoma terbentuk dari konsepsi nilai-

nilai sinkritisme Siwa-Buddha yang terekpresikan dalam cerita Sutasoma. Wujud

yang kedua yakni tindakan/perilaku, bahwasanya di desa Budakeling terdapat tradisi

seorang Brahmana yaitu salah satunya membuat kajang masutasoma. Hal ini

dilakukan sebagai tindakan berpola bagi masyarakat sebagai tradisi seorang

brahmana, dan tentunya kajang masutasoma sebagai hasil budaya.

Berbicara mengenai kebudayaan bahwasanya terdapat tujuh unsur

kebudayaan universal yakni: 1. Bahasa, 2. Sistem pengetahuan, 3. Organisasi sosial,

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup, 6. Sistem

religi, dan 7. Kesenian (Koentjaraningrat, 1983: 206).Terkait dengan tujuh unsur

kebudayaan unirversal maka kajang masutasoma termasuk dalam unsur sistem religi.

Maksudnya agar dapat menjamah kajang masutasoma sebagai ritus dalam sistem

religi dari ajaran Hindu Buddha.

Sebagian besar elemen dari kajang masutasoma adalah aksara. Aksara

dalam kebudayaan Bali statusnya sangat tinggi yaitu berkaitan dengan Tuhan, di

mana menurut Granoka aksara dalam kehidupan masyarakat Bali tidak hanya

berfungsi sebagai simbol grafis tetapi juga memiliki fungsi idealis menjembatani

menara kesadaran manusia dengan ketuhanan, kesadaran tertinggi, tak termusnahkan

6

(a-ksara) (2007: 130). Aksara sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali

terutama mengenai orientasi hidup nyata kekinian (dalam aspek keagamaan dan

estetika) serta aspek ketuhanan (simbol-simbol) yang dimunculkan dalam aksara,

sehingga terjadi keseimbangan antara sekala dan niskala. Menurut Bagus, aksara dan

bahasa Bali merupakan alat untuk melestarikan pustaka suci yang mengandung antara

lain: filsafat kerohanian, serta tentang hal susastra dan politik yang merupakan

pegangan hidup masyarakat yang beragama Hindu (1994:6).

Betapa besar fungsi aksara dalam masyarakat Bali. Hal ini meyakinkan

penulis untuk melanjutkan gagasan besar dari Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, dalam

pidato pengukuhan jabatan Guru Besarnya mengenai “Aksara dalam Kebudayaan

Bali”. Mengangkat tema sentral, memposisikan aksara dalam masyarakat Bali.

Adapun tujuan dari pidato pengukuhan jabatan Guru Besarnya yakni “tujuannya tidak

lain ialah untuk merangsang agar masalah ini mendapat perhatian oleh para peneliti

pada masa mendatang” (1980:9) yang dimaksudkan adalah penelitian-penelitian

mengenai aksara khususnya aksara Bali. Melanjutkan gagasan besarnya, penulis

mengangkat kajang masutasoma, sebagai ritus dari ajaran Hindu Buddha di desa

Budakeling di mana aksara merupakan elemen terpenting dalam kajang masutasoma.

Sebagai pusat Brahmana Buddha, Budakeling tersebar berbagai daerah,

salah satunya terdapat di desa Batuan yang mengelompok pada satu klen Brahmana

Buddha dalam satu Banjar (ikatan wilayah). Dalam perjalanan waktu, sebaran dari

Brahmana Buddha yang tinggal di desa Batuan, mengalami perubahan budaya dalam

7

ritus kematian (kelepasan) dari pusat yakni Brahmana Buddha Budakeling.

perubahan tersebut dapat dilihat pada prosesi upacara serta elemen-elemen yang

berbeda dengan Brahmana Buddha Budakeling. Perubahan yang sangat mendasar

yakni terlihat pada penggunaan kajang, bahwa seperti yang telah disebutkan di atas,

Brahmana Buddha Budakeling menggunakan kajang masutasoma yang merupakan

warisan dari leluhurnya, sedangkan Brahmana Buddha Batuan, tidak menggunakan

kajang masutasoma, sehingga penting untuk diketahui isi dari kajang masutasoma

tersebut. Selain perubahan tersebut, pada prosesi upacaranya juga terjadi perubahan

pada Brahmana Buddha Batuan, yakni terdapat upacara Maligia/Ngasti.

Fenomena perubahan budaya dalam satu klen tersebut, yakni pada

kehidupan Brahmana Buddha yang terdapat di desa Budakeling dan di desa Batuan,

tidak menyebabkan perpecahan namun perlu diketahui dengan dilakukan penelitian

ini, bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan di dalam kehidupan sosial

beragama. Minimnya tulisan-tulisan mengenai kajang menjadi problematik bagi

peneliti. Tetapi, proses penelitian lebih ke informan yang mempunyai intuisi. Karena

intuisi diyakini sebagai suatu bahasa Tuhan yang diterjemahkan dengan hasil karya.

8

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana fungsi kajang dalam ritus kematian Brahmana Buddha di desa

Budakeling dan sebaranya (Batuan)?

2. Bagaimana perubahan ritus kematian (kelepasan) klen Brahmana Buddha

Budakeling dan sebarannya di desa Batuan?

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

1.3.1.1 Tujuan Umum

Secara umun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi kajang

masutasoma sebagai ritus dari ajaran Hindu Buddha yang terdapat di desa Budakeling

dari sudut antropologi Agama.

1.3.1.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi kajang

masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan) oleh Brahmana Buddha di desa

Budakeling. Untuk mengetahui perubahan budaya dalam rangka kematian yang

terjadi pada klen Brahmana Buddha Batuan, serta upaya-upaya yang akan

dilakukan untuk mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhur di desa

Budakeling.

9

1.3.2 Manfaat Penelitian

1.3.2.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas

khusunya masyarakat Budakeling atas nilai-nilai yang terkandung dalam kajang

masutasoma serta fungsi kajang masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan) yang

merupakan kearifan lokal desa tersebut.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diharapkan dari penelitian ini mampu

memperluas pehatian dari semua kalangan, terutama untuk peneliti-peneliti lainya

agar melanjutkan penelitian mengenai aksara sebagai simbol budaya Bali. Tentunya,

masyarakat Bali, khususnya pada kehidupan Brahmana Buddha akan mengetahui dari

fungsi aksara dalam kajang masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan).

1.4 Kerangka Teori dan Konsep

1.4.1 Kerangka teori

Dalam teori yang hendak dipakai dalam penelitian ini, mengacu kepada

gagasan-gagasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai landasan teori dalam

suatu penelitian. Menurut Irawan (2006: 39), landasan teori atau yang disebut juga

kerangka teori diperlukan sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam

menganalisis dan memahami realitas yang ditelitinya. Penelitian tentang kebudayaan

10

mestilah berangkat dari Idealisme (Saiful Arif, 2010: 258). Di dalam penelitian kebudayaan

terfokus pada ide yang melatari dan tidak terhenti pada wujud empirik. Teori yang

digunakan sebagai berikut.

1.4.1.1 Azas Religi: dari sikap manusia yang berorientasi kepada

keyakinan religi, hingga hal yang gaib sampai ke ritus atau upacara religi

Menurut Koentjaraningrat (1987), di antara teori-teori yang menjelaskan azas

religi, ada teori yang berorientasi kepada sikap manusia yang gaib dan ada pula yang

berorientasi pada upacara religi. Teori yang berorientasi kepada sikap manusia

terhadap yang gaib dalam pandangan R. Otto, menegaskan bahwa sifat hal yang gaib

itu maha-abadi, maha-dasyat dll, sehingga menimbulkan sikap kagum, terpesona

terhadap yang gaib dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu

dengannya (Kontjaraningrat, 1987: 65-66).

Mengenai ritus, Preusz menganggap akan bersifat kosong dan tak-bermakna,

apabila tingkah-laku manusia didalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika;

tetapi secara naluri manusia mempunyai suatu emosi mistikal yang mendorong untuk

berbakti kepada kekuatan yang tingi yang olehnya tampak kongkret di sekitarnya,

dalam keteraturan dari alam serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam

dalam hubunganya dengan masalah hidup dan maut (Koentjaraningrat, 1987: 70).

Pada masyarakat Budakeling sebagai klen brahmana Budha dilihat dari sejarah desa

Budakeling yang didirikan oleh seorang pendeta Budha yang melakukan perjalanan

spiritual sehingga menjadikan masyarakatnya spiritualisme dan religius.

11

Dengan mengikuti pendapat Koentjaraningrat (1987), masyarakat ini dapat

dikatakan sebagai salah satu komponen sistem religi yang disebut umat agama atau

kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus

serta upacara. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa terdapat lima komponen

keagamaan yaitu sistem keyakinan, umat agama, emosi keagamaan, sistem ritus dan

upacara keagamaan serta peralatannya (Koentjaraningrat, 1987:82). Di dalam

keagamaan bagi umat Hindu Bali, terdapat Panca Yadnya yang kesemuanya

berkaitan dengan upacara semesta, dan hampir tidak pernah lepas dari penggunaan

rerajahan, terutama upacara kremasi atau ngaben (=pelebon, kelepasan). Seorang

pendeta Brahmana Budha (Budakeling) digunakan sistem aksara kajang (surat kajang

utamaning utama) yang luar biasa mempesona, indah dan penuh arti (Granoka, 2007:

131).

Menurut Preusz, ritus kematian merupakan ritus paling penting, sedangkan

Hertz menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka

adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakat yang berwujud sebagai gagasan

kolektif. Gagasan kolektif yang dimaksud oleh Hertz sebagai gejala kematian atau

mati itu berarti suatu proses peralihan atau inisiasi dari dunia ini ke dunia mahluk

halus (Koentjaraningrat, 1987: 71) sedangkan menurut Van Gennep menyatakan

bahwasanya upacara kematian sebagai proses peralihan menuju kehidupan yang baru

di alam baka, atau manusia yang mati harus diintegrasikan ke dalam kehidupan baru

di antara mahluk halus yang lain di alam baka (Koentjaraningrat, 1987: 73-77).

12

Kepercayaan masyarakat Budakeling juga menganggap bahwa mati bukan berarti

hilang, melainkan lahir kembali di alam baka menuju pemerdekaan jiwa (tidak terikat

keduniawian).

Ditunjang juga dengan teori dari Van Gennep mengenai ritus peralihan dan

upacara pengukuhan, disebutkan bahwa ritus dan upacara dapat dibagi menjadi tiga

yakni 1. Perpisahan, atau separation, 2. Peralihan, marge, 3. Integrasi kembali,

aggregation (Koentjaraningrat, 1987: 73). Pada bagian pertama yakni separation,

manusia dilepaskan dari kedudukanya yang semula atau manusia dianggap tidak ada

seolah-olah dipisahkan dari kehidupan sosialnya dalam kehidupan semula. Pada

bagian kedua yakni marge, dimana manusia dianggap mati atau “tidak ada” lagi dan

dalam keadaan tak tergolong lagi dalam sosial mana pun namun dipersiapkan untuk

menjadi manusia baru dalam lingkunganya yang baru. Pada bagian ketiga yakni

aggregation, manusia diresmikan kedalam tahap kehidupannya serta lingkungan

sosialnya yang baru seperti perlambang dalam inisiasi pada umunya dimana

seseorang dilahirkan kembali.

1.4.1.2 Teori Simbol

Aktifitas budaya dalam masyarakat beragama berkaitan erat dengan simbol-

simbol agama yang patut kita ketahui makna dibalik simbol tersebut. Agama sebagai

keyakinan secara mutlak dipercaya dapat menggetarkan jiwa manusia sehingga

menciptakan suasana kebahagiaan batiniah. Simbol dalam bahasa Inggris symbol

berarti sesuatu atau juga menggambarkan sesuatu, khusunya sesuatu yang immaterial,

13

abstrak, suatu ide dan tanda-tanda suatu obyek (Coulson, 1978). Simbol dalam agama

sangat berharga, karena memberikan arti penting dalam kehidupan beragama sebagai

suatu yang menggambarkan sesuatu, sehingga manusia memberikan asosiasi ke

dalam pikiran mereka kepada obyek sebagai tanda (sign) dan memberikan konsepsi

ke dalam simbol sebagai simbolis keagamaan.

Menurut Mircea Eliade (dalam Suci, 2006: 142), menyatakan bahwa kunci

pertama untuk memahami simbol-simbol keagamaan adalah bagaimana agar dunia,

“berbicara” atau “mengungkapkan diri” melalui simbol-simbol dan bukan dalam

bahasa objektif. Akan tetapi simbol juga dapat mengungkapkan sesuatu yang lebih

pokok dan mendasar, sehingga dapat disarikan dalam tulisanya, mengenai

pengungkapan Eliade tentang simbol lebih lanjut sebagai berikut:

“simbol keagamaan mampu menggungkapkan suatu modalitas dari yang nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman langsung. Dalam mengilustrasikan, bagaimana sebuah simbol mampu mengungkapkan modalitas kenyataan yang tak terjangkau oleh pengalaman manusia seperti contoh, yaitu simbolis air yang mampu mengekspresikan kondisi praformal, abstrak, yang jelas hal ini bukan masalah pengetahuan rasional, melainkan kesadaran hidup yang menangkap realita melalui simbol, yang lebih dari sekedar refleksi” (Eliade dalam Suci, 2006 :143)

Menurut Taylor dan Gadamer (1991), ilmu sosial interpretatif dapat di sebut

sebagi titik balik ke dunia objektif, yang memandang dunia sebagai lingkaran makna

yang didalamnya kita menemukan diri sendiri dan yang tak pernah dapat kita

melampauinya. Pernyataan tersebut juga sebagai titik berangkat peneliti untuk

mnggunakan teori Clifford Geertz mengenai teori interpretatif simbolik, bahwa kajian

sosial dari interpretatif adalah interpretasi dari praktik manusia yang bermakna

(Saifuddin, 2006: 286)

14

Definisi kebudayaan menurut Geertz (1973), mengemukakan bahwa

kebudayaan sebagai: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol,

yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia

mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat perasaan mereka.

(2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung

dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut

manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka

mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. (3) suatu peralatan simbolik bagi

mengontrol prilaku, sumber-sumber ekstraomatik dari informasi; dan (4) oleh karena

kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami,

diterjemahkan, dan diinterpretasi (Saiffudin, 2005: 288). Berdasarkan definisi

kebudayaan menurut Geertz di atas yakni memosisikan suatu kebudayaan dimana

kebudayaan di seluruh dunia terdapat simbol-simbol sehingga individu mampu

berkomunikasi, memahami pengetahuan dan sebagainya. Dalam hubunganya dengan

penelitian ini dapat dipahami dengan anggapan Geertz yang meyakini simbol sebagai

kebudayaan dalam masyarakat tentunya penelitian ini mengangkat masyarakat

Budakeling dimana dalam proses-proses dari bentuk pelaksanaan upacaranya

khususnya ritus kematian (kalepasan) yang menggunakan berbagai simbol-simbol

yang terekspresikan dalam kakawin Sutasoma dan diyakini sebagai ajaran dari Hindu

Buddha.

15

Mengenai asal-usul tidak terlepas dengan mitos yang melatarbelakangi

sejarah.Tentu juga di dalam mitos terdapat symbol-simbol yang perlu di berikan

pemaknaan sehingga terjadi saling keterikatan antara mitos dengan symbol. Mitos

juga simbolik, tetapi dalam suatu cara yang lebih complicated: mitos adalah simbol

yang diletakkan dalam bentuk cerita (Eliade dlm Daniel L. Pals, 2001: 285). Eliade

juga mengemukakan bahwa sebuah mitos bukan hanya suatu gambaran atau tanda,

melainkan serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita (Eliade dlm

Daniel L. Pals, 2001: 285).

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang

diberi makna oleh manusia (Saifuddin, 2005: 289). Dikatakan simbol sebagai objek,

dalam penelitian ini kajang masutasoma terdapat simbol-simbol aksara dan diagram-

diagram rajah sebagai objek dari simbol-simbol yang terdapat makna dalam nilai-nilai

pada ajaran sinkritisme Siwa-Buddha.

Definisi simbolik dari kebudayaan adalah bagian dari suatu tren yang

memandang kebudayaan sebagi ilmu mengenai makna-makna (Saifuddin, 2005: 291).

Tentunya dalam penelitian mengenai kajang masutasoma, terdapat simbol-simbol

aksara suci serta diagram rajah yang mempunyai makna-makna yang perlu diketahui

dan diinterpretasi sebagai ilmu pengetahuan dan simbol merupakan pencarian-

pencarian makna yang terkandung dalam objek penelitian. Geertz juga menekankan

bahwa antropolog seharusnya bergeser dari upaya melakukan eksplanasi menjadi

16

upaya menemukan makna dan yang memandang penting simbol dalam penelitian

antropologi (Saifuddin, 2005: 295).

Simbol tidak hanya dilihat secara abstrak melainkan dalam konteks sosial, di

mana suatu sistem simbol dijadikan makna oleh masyarakat, yang kemudian

membentuk praktik kehidupan dan bermasyarakat. Inilah yang disebut Geertz sebagai

kebudayaan dan Geertz memaknai budaya sebagai persoalan semiotik sehingga

mengkaji budaya adalah mengkaji makna (Syaiful Arif, 2010: 111).

Sebuah teori simbol dari Victor Turner yang mengangkat mengenai simbol

ritual sebagian besar memuat komonitas Ndembu yang merupakan gambaran untuk

mengkaji ritual secara mendalam (Endaswara, 2006: 173).Ritus kajang masutasoma

merupakan elemen dari ritual besar yang terdapat di desa Budakeling.Ritual besar ini

atau disebut dengan palebon/ngaben perlu dikaji kedalamanya tentunya dilihat dari

fungsi kajang masutasoma.Simbol adalah unit terkecil dalam ritual yang mengandung

makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus (Endaswara, 2006: 173).

Mengenai penelitian ini, ditujang dengan teori dari Turner, karena penulis akan

mengkaji mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam kajang masutasoma. Dalam

pernyataanya, melalui analisis simbol ritual akan membantu menjelaskan secara benar

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan menghilangkan keragu-raguan tentang

kebenaran sebuah penjelasan (Endaswara, 2006: 173).

Sebuah kebudayaan, pada dasarnya terdapat aspek formal intrinsik yakni

nilai yang terdapat pada ruang emik, mental, kognisi, dan makna (Syaiful Arif, 2010:

17

109). Nilai merupakan substansi dari sebuah kebudayaan, dimana masyarakat

memiliki sistem simbol dalam kebudayaanya, yang mana individu mampu melakukan

interpretasi atas makna dari kehidupanya.

Di dalam penelitian ini, makna-makna dalam simbol kajang masutasoma

akan mendapatkan bentangan nilai-nilai kognisi yang berguna bagi masyarakatnya.

Tidak dapat lepas memandang fenomena budaya ini dengan kaca mata semiotik.

Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Hoed, 2008:

3). Tanda yang dimaksud yakni komponen-komponen dari kehidupan kita yang

dilihat sebagai tanda yang patut ditafsirkan dan di beri makna. Di dalam teori

Ferdinand de Saussure menggunakan istilah signifiant (signifier, Ing.; penanda, Ind.;)

untuk segi bentuk suatu tanda, dan signifie (signified, Ing,; petanda, Ind,;) untuk segi

maknanya (Hoed, 2008: 3). Dapat dikatakan hubungan penanda dan petanda adalah

proses pemaknaan, karena penanda dan petanda mempunyai hubungan yang saling

terkait sebagai suatu struktur. Dengan menggunakan teori De Saussure mengenai

“penanda dan petanda” akan dapat mengkaji simbol-simbol suci yang terdapat di

dalam kajang masutasoma.

1.4.1.3 Teori Fungsionalisme

Teori ini digunakan untuk mengetahui fungsi sesuatu di dalam masyarakat.

Fungsi yang dimaksud adalah fungsi yang merujuk pada manfaat budaya bagi sesuatu

(Endaswara, 2006: 100).Semua komponen budaya memiliki fungsi. Antara lain, di

dalam penelitian ini akan tampak makna dan fungsi dari ritus kajang masutasoma

18

sebagai upacara palebon/ngaben pada masyarakat Budakeling dan pada masyarakat

Batuan yang dilanjutkan dengan upacara maligia/mamukur. Di dalam pendekatan

fungsionalisme, Malinowski juga mengisyaratkan penguasaan bahasa lokal terhadap

para peneliti lapangan, karena hanya melalui komunikasi dalam bahasa lokal dari

warga masyarakat yang ditelitinya, sehingga memperoleh pengertian yang mendalam

tentang gejala-gejala sosial yang ditelitinya (Koentjaraningrat, 1980: 166).Peranan

seorang peneliti dituntut untuk menguasai bahasa lokal, sehingga dengan mudah

memperoleh data-data yang diinginkan.

Menurut Endaswara (2006: 101) yang mengemukakan mengenai aksioma

dasar fungsionalisme budaya yang dapat dibagi menjadi lima bagian yakni 1). Budaya

merupakan sarana instrumental yang menempatkan manusia pada posisi istimewa

agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan lingkunganya, 2).Budaya

merupakan sebuah sistem dari obyek, aktifitas, dan sikap yang bertujuan untuk

mencapai sasaran tertentu, 3).Budaya merupakan bagian integral yang setiap unsur

saling tergantung, 4). Aktivitas, sikap, dan obyek budaya akan terorganisir ke dalam

institusi, seperti keluarga, klan, politik, pendidikan dan sebagainya, 5). Dari sudut

pandang dinamika budaya, dapat dilihat pada masing-masing institusi.

Fungsionalisme menempatkan manusia ke dalam posisi yang istimewa, di

mana manusia sebagai mahluk yang berakal-budi tidak hanya sebagai penyangga

kebudayaan melainkan mampu membuat dan memanipulasi kebudayaan.

Fungsionalisme juga merupakan salah satu metode analisis yang menitikberatkan

proses budaya yang berjalan, bertahap, dan mengikuti irama (Endaswara, 2006: 102).

19

Di dalam penelitian ini akan menitikberatkan penelitianya pada kajang masutasoma,

tentunya dilihat sebagai proses budaya dari pembuatan hingga penggunaanya dan

fungsinya sebagai ritus kematian (kelepasan) pada masyarakat Budakeling khususnya

klen Brahmana Buddha Budakeling, dan mengalami pergeseran makna dan fungsi

pada klen Brahmana Buddha di Batuan yang melanjutkanya dengan upacara

Maligia/Mamukur.

Robert Merton (Endaswara, 2006: 102) merumuskan mengenai fungsi yang

mengetengahkan postulat tentang fungsionalis bahwa: 1). Postulat keutuhan

fungsionalis masyarakat, yaitu segala sesuatu berhubungan secara fungsional, 2).

Postulat fungsionalisme universal, yaitu bahwa segala unsur budaya melaksanakan

suatu fungsi, dan tidak satu pun unsur lain yang mampu melaksanakan fungsi yang

sama. Budaya sebagai kesatuan yang integral di dalamnya terdapat komponen-

komponen yang memiliki fungsinya masing-masing. Robert Merton juga memberikan

rumusan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi

terselubung). Penelitian ini yakni kajang masutasoma di dalam perjalanan proses

ritualnya mengalami perubahan pada masyarakat brahmana Buddha desa Batuan yang

tentunya terjadi perubahan fungsi pada ritus kajang masutasoma.

Berbicara mengenai perubahan, sebagaimana atas kritik-kritik dari kalangan

antropologi terhadap Malinowski, sehingga beliau kembali memperhatikan kritikan

terhadapnya dengan mengajukan sebuah metode.Malinowski melihat perubahan

kebudayaan, dengan mengambil bahan-bahan dari Afrika sebagai contoh untuk

mengajukan suatu metode untuk mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses

20

perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat yang hidup (Koentjaraningrat, 1987:

171).Kebudayaan yang bersifat dinamis disebabkan unsur-unsur atau komponen-

komponenya juga berubah. Di dalam penelitian ini, di mana perubahan terjadi pada

proses ritual pada brahmana Buddha di Batuan. Dengan mengikuti pendapat dari

Malinowski, peneliti dapat mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses yang

terdapat dalam ritual di desa Batuan, sehingga akan memeroleh data-data penyebab

perubahan ritual yang dilihat dari ritus kajang masutasoma.

1.4.2 Konsep

Sebagai unsur pokok dalam suatu penelitian, konsep sebenarnya adalah

definisi singkat mengenai sekelompok fakta atau gejala yang menjadi pokok

perhatian dalam penelitian yang bersangkutan. Dengan pernyataan diatas peneliti

hendak merumuskan masalah sebagai berikut.

1.4.2.1 Kajang Masutasoma

Kajang artinya rurub bangke (Watra, 2008: 88). Kata Kajang berasal dari

bahasa Jawa Kuno yang artinya tirai atau penutup (Wiana, 2004: 55), fungsinya

adalah sebagai penutup jenazah. Kajang adalah selembar kain putih berukuran sekitar

satu setengah meter, bertuliskan sejumlah aksara suci (Bandana, dkk, 2012: 108).

Dapat didefinisikan bahwa kajang merupakan sarana ritual penutup jenasah yang

terdiri dari elemen-elemen kain (kafan), ditulis dengan huruf (aksara Bali) yang

21

menyertakan diagram-diagram rajah (aksara modre) dan gambar (lukisan). Filosofi

dari kajang adalah simbol wahana atman menuju Brahman (menyatu dengan-Nya),

sehingga dapat diartikan bahwa kajang adalah simbol dari badan jasmani manusia

serta simbol pengganti lapisan-lapisan yang membungkus atman.

Kajang pada umumnya terdapat empat bagian yakni nista ‘terkecil’, madya

‘biasa, utama ‘utama’, dan mahotama ‘yang paling utama’.(Bandana, dkk, 2012:

108).Kajang masutasoma jugaterdapat pembagian atas penggolongannya yakni

kajang masutasoma yang nista, madya, utama dan mahotama. Dengan demikian,

penulis membatasi penelitian ini dengan meneliti kajang masutasoma yang tergolong

mahotama. Tergolong kajang masutasoma yang mahotama disebabkan dengan

adanya varian gambar sutasoma katadah kala dan hanya digunakan oleh kalangan

pendeta dengan persetujuan nabe (seorang guru dari pendeta tersebut). Secara

leksikal, kajang masutasoma merupakan kata dasar dari kajang-sutasoma. Atas

fungsi kajang sebagai ritus kematian (kalepasan) yang dipergunakan oleh pendeta,

sehingga kajang-sutasoma mendapatkanawalan/prefiks “ma” yang berarti “berisi”,

sehingga mengalami perubahan penyebutan yakni kajang masutasoma (kajang yang

bertuliskan varian gambar sutasoma) (wawancara, Granoka: 13 mei 2014).

1.4 2.2 Ritus Kematian (kalepasan) ajaran Hindu Buddha

22

Ritus di dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tata

cara dalam upacara keagamaan (Ali, 1995: 844). Sedangkan Ritual yakni berkenaan

di dalam ritus (1995: 843) sehingga dapat di golongkan ritual/upacara merupakan

wadah untuk keberlangsungan dari ritus tersebut. Mengenai “ritus kematian”, dalam

banyak ahli seperti Preuzs, Hertz dan Van Gennep, menyebutkan bahwa ritus yang

paling penting di dunia adalah “ritus kematian” (Koentjaraningrat, 1980). Menurut

Van Gennep mengenai arti ritus lebih kepada sistem religi yang terdapat pada banyak

kebudayaan, dimana ritus merupakan tahap religi yang paling penting dalam

lingkungan sosial budayanya dan diperjelas oleh Koentjaraningrat mengenai macam

sistem religi yang dibagi menjadi dua yakni, “ritus” bersifat perpisahan yang menjadi

satu dengan yang bersifat peralihan, dan “upacara” lebih bersifat integrasi dan

pengukuhan (Koentjaraningrat, 1987: 77). Dengan demikian, teori-teorinya juga

banyak berbicara mengenai “ritus kematian”. Sebagai “ritus kematian” yakni

didalamnya suatu proses perpisahan dimana yang meninggal dianggap “tidak ada”

dan juga peralihan “lahir kembali” atau dapat di konsepsikan bahwa berbicara “ritus

kematian” sebagai suatu yang dianggap tidak ada atau meninggal (bukan berarti mati)

melainkan lahir kembali ke alam baka (tempat kekal bagi roh-roh manusia yang telah

meninggal dunia dan merupakan alam gaib), sehingga ritus kematian merupakan

substansi dari upacara.

Ritus kematian sebagai istilah dari antropologi, dan terdapat pula istilah lokal

yakni “kelepasan”. “Kelepasan” disebutkan dalam kamus besar bahasa Indonesia

23

yakni sebagai kebebasan, perihal lepas dari keadaan yang mengikat (Ali, 1995: 586).

Masyarakat Budakeling menggunakan istilah “kelepasan” bagi orang yang meninggal

khususnya kalangan pendeta.Kepercayaan masyarakat Budakeling dengan istilah

“kelepasan” yang berarti “lepas” terbebas dari keduniawian menuju pemerdekaan

jiwa.Sehingga istilah ini menjadi umum di kalangan masyarakat Budakeling.

Di dalam hal ini peneliti memusatkan perhatian dalam kajang masutasoma,

yang digunakan oleh klen Brahmana Buddha (pendeta) di desa Budakeling.

Budakeling sebagai pusat Brahmana Buddha di Bali. Sejarah Budakeling berawal

dari datangnya seorang pendeta Buddha yakni Dhangyang Astapaka yang

memberikan ajaran kabudhan (budha bajrayana Mahayana) (kitab Sanghyang

Kamayanikan). Hingga dewasa ini, ajaran ini masih dianut oleh masyarakat

Budakeling. Sehingga masyarakat Budakeling menyebutnya sebagai masyarakat yang

beragama Hindu Buddha.

1.5 Model Penelitian

24

Keyakinan Pengetahuan Budaya Mitos

KAJANGMASUTASOMA

Masyarakat MasyarakatBrahmana Brahmana

Buddha BuddhaBudakeling Batuan

Ritus

Solusi

Keterangan garis: (mempengaruhi)

(mempengaruhi)

(implementasinya)

Keterangan Bagan:

25

Berdasarkan bagan di atas dapat dipahami bahwa semua kebudayaan berakar

dari pengetahuan budaya. Pengetahuan budaya yang dimaksud adalah sebagai

pengetahuan yang didasari oleh keyakinan dan mitos karena, dalam penelitian ini

pada masyarakat tradisional khususnya masyarakat Budakeling sangat kuat dengan

keyakinan religi dan mitos yang terdapat dalam kebudayaannya. Keyakinan dapat

dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan setiap umat yang meyakininya atau sikap

yang ditujukan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa

diriya telah mecapai kebenaran. Mitos merupakan suatu cerita yang berkaitan dengan

dewa-dewa yang diyakini kebenaranya yang diungkapkan dengan cara gaib, sehigga

mitos dan keyakinan sebagai wujud ide dari gagasan kolektif.

Dari pengetahuan budaya, mucul sebuah hasil budaya yakni kajang

masutasoma di mana, didalamnya terdapat simbol-simbol suci. Kajang masutasoma

dapat di bagi tergantung dari pemakaianya. Untuk pendeta Budha (meninggal, lepas)

menggunakan kajang masutasoma yang lengkap (mahotama, surat kajang utamaning

utama), sedangkan untuk pemakaian seorang Brahmana welaka (seorang Brahmana

yang belum medwijati/belum menjadi seorang pendeta) menggunakan kajang

masutasoma yang utama (utama) dan juga sebagai masyarakat Budakeling yang non-

Brahmana jika mau menggunakan kajang masutasoma menggunakan kajang

masutasoma yang biasa hingga terkecil (madya, nista). Brahmana yang dimaksud

adalah Brahmana Buddha keturuan dari Danghyang Astapaka yang terdapat di desa

Budakeling. Penulis juga membatasi penelitiannya dengan mengkaji kajang

26

masutasoma yang tergolong paling utama (mahotama), digunakan oleh pendeta

Budha.

Di dalam kajang masutasoma, terdapat nilai-nilai yang perlu dikaji. Nilai-

nilai tersebut, merupakan nilai dari ajaran sinkritisme Siwa-Buddha yang perlu digali

kedalamannya. Kajang masutasoma digunakan sebagai ritus kematian (kelepasan)

yang terdapat di desa Budakeling. Ritus kematian (kelepasan) ini digunakan oleh

brahmana Buddha Budakeling yang masih memegang teguh tradisi leluhur, di mana

pada rangkaiannya hanya terhenti pada upacara palebon/ngaben tidak dilanjutkan

dengan upacara maligia/mamukur. Pada Brahmana Buddha desa Batuan merupakan

sebaran dari Budakeling mengalami perubahan budaya yakni dalam ritus kajang

masutasoma yang dilanjutkan dengan upacara maligia/mamukur. Tentunya dalam

pergeseran budaya yang terjadi, akan menimbulkan perbedaan prinsip. Dengan

demikian penulis berusaha untuk mencari solusi-solusi dengan problematika yang

terjadi.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan metode penelitian kualitatif, artinya

bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang dikaji sebagian

besar berupa informasi atau fakta-fakta yang tidak berbentuk angka-angka, melainkan

pernyataan-pernyataaan. Di dalam metode penelitian ini peneliti menggunakan

pendekatan empiris. Pendekatan empiris yakni pendekatan yang ditandai pengguna

27

data objektif yang dapat ditangkap oleh panca indra, yaitu dapat dilakukan dengan

pengkajian tafsir kebudayaan di mana kajian ini memandang budaya sebagai teks.

Tafsir kebudayaan merupakan langkah atau penerapan model hermeneutik terhadap

kebudayaan (Endaswara, 2006: 123). Hermeneutik dapat diartikan sebagai “cara

membaca” fenomena budaya sehingga dapat berkembang, kajian ini ke arah

pemahaman dan penafsiran terhadap budaya (Endaswara, 2006: 123). Di

dalamkajang masutasoma terdapat aksara serta diagram-diagram sehingga dengan

menggunakan kajian ini akan dapat diketahui fungsi kajang masutasomadalam

kaitanya dengan hubungan kosmologis dan kosmogoni penciptaan mikrokosmos dan

makrokosmos yang di pakai oleh masyarakat Budakeling sebagai ritus kematian

(kelepasan) dan masyarakat Batuan sebagai sebarannya yang mengalami

perkembangan dalam ritus kematian (kelepasan) dari ajaran Hindu Buddha

Budakeling.

Peneliti juga menggunakan pendekatan spekulatif. Pendekatan spekulatif

yakni pendekatan yang ditandai oleh spekulasi atau argumentasi yang semata-mata

berdasarkan kepada tipe penalaran tertentu yang tidak selalu memerlukan pembuktian

(Slamet Riyadi, 1996: 5), yang artinya didalam penelitian ini adalah menimba data

kajang yang berisikan penjelasan-penjelasan baik pengertian maupun pemaknaan

yang kemudian direkontruksi menjadi kesatuan yang integral. Selain itu data

spekulasi murni yakni dengan penalaran dari salah seorang narasumber karena kajang

28

diyakini sebagai hasil karya kebudayaan yang diperoleh dari tindakan dan juga ide

yang bersumber intuisi manusia karena intuisi diyakini suatu bahasa dari tuhan.

1.6.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Budakeling dan sebaranya yang ada

di desa Batuan. Karena desa Budakeling merupakan pusat dari klen Brahmana

Buddha dan di desa Batuan merupakan sebaran terbesar dari klen Brahmana Buddha

Budakeling. Secara administratif terletak di Kabupaten Karanngasem, kecamatan

Bebandem, karena desa ini sebagai pusat Brahmana Budha di Bali dan desa Batuan

terletak di Kabupaten Gianyar. Tentunya dalam penelitian ini akan mengkaji

Pelaksanaan ritus kematian yang menggunakan kajang masutasoma pada klen

Brahmana Budda Budakeling sebagai pokok, dan klen Brahmana Buddha desa

Batuan sebagai sebaranya.

1.6.2 Penentuan Informan

Informan dalam penelitian ini adalah para ahli yakni Ida Wayan Raja yang

paham mengenai sastra serta Ida Wayan Ngurah sebagai pendampingnya, dan

partisipan yang paham dalam pembuatan kajang masutasoma di desa Budakeling.

Penentuan informan dilakukan secara purposif, yakni dengan memilih orang-orang

yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai seperti kalangan pendeta

29

dan penglingsir/orang yang dianggap paling tahu terkait dengan pembuatan kajang

masutasoma dan isi dari surat kajang masutasoma, serta bagaimana proses ritualnya

yang terdapat di Budakeling dan di desa Batuan yang nantinya akan dijadikan sebagai

informan kunci (key informan) dalam penelitian ini. Peneliti juga menggunakan

teknik snowball yakni pemilihan informan secara beranting sehingga orang yang di

wawancara bisa diminta sarannya untuk mendapatkan informan lainya.

1.6.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kualitataif

berupa kata-kata, kalimat dan ungkapan. Dilihat dari sumbernya, data tersebut

meliputi data primer dan skunder. Sumber data primer dalam hal ini adalah data yang

digali sendiri oleh peneliti, baik melalui pengamatan maupun wawancara, sedangkan

data sekunder adalah data yang telah ada dalam dokumentasi terkait yang disusun

oleh orang lain dalam rangka kepentingan lain, tetapi ada gunanya untuk penelitian

ini. Sumber data sekunder tersebut berupa buku, catatan dari pendeta Buddha atau

orang yang memahami mengenai kajang atau bagan-bagan dari kajang.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan sesuai dengan yang telah di

paparkan di atas meliputi, teknik observasi partisipasi yakni peneliti melakukan

30

pendekatan secara kekeluargaan serta mohon ijin akan mengangkat mengenai

penelitian ini. Teknik wawancara yakni peneliti melakukan penelitian dengan

menggunakan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, serta teknik

penggunaan dokumentasi yakni peneliti berbekal peralatan rekam baik audio maupun

visual untuk mengefektifkan penelitian.

1.6.5 Instrumen Penelitian

Instrument utama (primer) penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Namun

keterbatasan kemampuan peneliti sendiri, maka digunakan pula instrument tambahan

berupa pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera dan alat-alat tulis. Pedoman

wawancara yang digunakan memuat pokok-pokok pertanyaan yang dibuat

berdasarkan permasalahan dalam rumusan masalah yang diajukan oleh peneliti,

sehingga mendapatkan data yang valid sebagai bahan penelitian.

1.6.6 Teknik Pengamatan

Teknik pengamatan yang dilakukan oleh peneliti yakni mengamati prilaku

para partisipan yang sedang melakukan pembuatan kajang masutasoma. Dalam

pengamatan ini juga dicermati situasi kegiatan tersebut termasuk di dalamnya, waktu,

tempat peralatan yang di pakai serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dan mencari

31

informasi atas rumusan masalah dalam penelitian ini. Peneliti juga menggunakan

kamera untuk mendukung penelitianya.

1.6.7 Teknik Wawancara

Penggunaan teknik wawancara yang akan dilakukan yakni menggunakan

informan kunci/key informan dengan wawancara mendalam yang mengacu kepada

pedoman wawancara. Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali informasi dari para

informan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam hal ini bersifat leluasa, dalam

arti tanpa terikat oleh suatu daftar pertanyaan pada pedoman wawancara yang

disiapkan sebelumnya.

1.6.8 Teknik Penggunaan Dokumentasi

Teknik ini digunakan untuk memeroleh data dan keterangan yang ada dalam

dokumen yang terkait dengan permasalahan penelitian ini. Teknik penggunaan

dokumentasi ini meliputi mengumpulkan dan mencermati isi dokumen tertentu,

antara lain berupa surat-surat, gambar (foto) dan data terkait dengan objek penelitian

baik informan kunci dan data-data mengenai kajang masutasoma dan ritualnya.

32

1.6.9 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama penelitian ini

berlangsung secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Secara lebih kongkrit dengan

mengikuti prosedur analisis data kualitatif yakni melakukan reduksi data , penyajian

data sementara, penafsiran data, dan menarik simpulan. Reduksi data meliputi

berbagai kegiatan, yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, penggolongan data,

pengutipan informasidalam wawancara yang memiliki makna subyektif, dan refleksi.

Penyajian data dan penafsiran data dilakukan dengan menyusun teks naratif yang

menunjukan keteraturan, penjelasan, dan alur sebab akibat; sedangkan penarikan

kesimpulan atau verifikasi dilakukan dengan mengintisarikan hasil penelitian yang

telah disajikan.

Dengan demikian, analisis seperti ini dapat dilakukan secara terus menerus.

Rangkaian ini bukan dilakukan dalam satu kali tahapan, melainkan terus berulang-

ulang tahap demi tahap untuk mencapai dan menjawab rumusan masalah yang dikaji

dalam penelitian ini.