bab i pendahuluan di desa (menulis). kegiatan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Bali sangat kental dengan tradisi yang diturunkan oleh
leluhurnya. Seperti yang terdapat pada kehidupan klen Brahmana Buddha di desa
Budakeling mempunyai berbagai tradisi yang diwariskan secara turun temurun.
Tradisi tersebut sangat unik, diantaranya terdapat tradisi Nyurat (menulis). Kegiatan
Nyurat (menulis), dilakukan dalam rangka pembelajaran untuk generasi penerus bagi
klen Brahmana Buddha di desa Budakeling. Berhubungan dengan tradisi Nyurat
(menulis) tersebut, di desa Budakeling mempunyai berbagai hasil budaya yang
merupakan hasil dari leluhurnya dan hingga kini masih diwariskan secara turun
temurun.
Salah satu hasil budaya tersebut, yakni Kajang masutasoma yang digunakan
dalam rangka ritus kematian (kelepasan) sebagai penutup jenasah khususnya kaum
Pendeta Buddha, di mana Kajang masutasoma didalamnya terdapat berbagai
rerajahan/surat yang bertuliskan aksara Bali, serta memiliki nilai-nilai yang memuat
hubungan kosmologi dan kosmogoni penciptaan mikro dan makrokosmos. Mengenai
ritus kematian (kelepasan) yang terdapat di desa Budakeling berbeda dengan ritus
kematian di Bali pada umumnya. Perbedaan tersebut, terlihat pada ritus kematian
1
(kelepasan) di desa Budakeling yang tidak melanjutkan dengan upacara
Maligia/Ngasti, namun hanya terhenti pada upacara plebon/ngaben. Keunikan
tersebut memang diwariskan secara turun temurun, sehingga kegiatan keagamaan
masyarakat Budakeling khususnya kaum Brahmana Buddha pada ritus kematian
(kelepasan) masih terjaga dan lestari, serta perlu pendalam bagi generasi muda
Brahmana Buddha Budakeling mengenai bentuk upacara yang unik tersebut, dan
pengetahuan mengenai elemen upacara seperti kajang masutasoma.
Bali mempunyai segudang ilmu dari karya sastra, baik itu berbentuk lisan
(lontar) dan prasasti, yang berhubungan dengan keagamaan. Seperti halnya di desa
Budakeling memiliki hasil budaya berbentuk lisan (lontar), yakni kakawin Purusadha
Santa atau yang dikenal juga dengan Kakawin Sutasoma merupakan sebuah teks
besar karya Mpu Tantular. Mpu Tantular seorang pemimpin Agama Buddha pada
masa kejayaan Majapahit di abad ke-14 yang memiliki visi cemerlang mengangkat
sinkretisme Siwa-Buddha. Visi tersebut ditulis dalam kakawin Sutasoma sebagai
“bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”(kakawin Sutasoma Ph. 139 Bt.5).
Nilai-nilai yang terkandung dalam petikan di atas sangat penting dipelajari
untuk menambah pengetahuan tentang ide-ide religius khususnya mengenai bentuk
Buddhisme Mahayana seperti berlaku di Keraton Majapahit beserta hubungannya
dengan Siwaisme (Zoetmulder, 1983: 435). Nilai tersebut antara lain mengajarkan
kita mengenai toleransi antar umat. Keagungan nilai itu pula, pendiri bangsa
menggunakan penggalan teks Sutasoma “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai slogan
3
pemersatu bangsa.Melalui slogan “Bhinneka Tunggal Ika” bangsa Indonesia yang
beraneka suku, ras, bahasa, adat, kesenian dan agama, diharapkan hidup
berdampingan dengan rukun.
Salah satu hasil budaya yang mengandung keagungan nilai dalam teks besar
Sutasoma yakni kajang masutasoma. Kajang masutasoma dapat dilihat sebagai
fenomena budaya, karena selalu digunakan dalam rangka kematian pada kehidupan
Brahmana Buddha di desa Budakeling. Realita saat ini, masyarakat Brahmana
Buddha Budakeling mengalami transisi dari masyarakat tradisional ke modern.
Keadaan transisi tersebut tampak pada masyarakat Brahmana Buddha Budakeling
yang sebagian besar merantau ke kota karena tuntutan jaman. Namun, meski demikan
masyarakat Brahmana Buddha Budakeling masih percaya atas keyakinan yang
diturunkan oleh leluhurnya, hingga saat ini kajang masutasoma masih digunakan
dalam rangka kematian pada kehidupan Brahmana Buddha Budakeling.
Selain mengandung keagungan nilai-nilai tersebut, kajang masutasoma
merupakan sarana ritual penutup jenasah pada ritus kematian (kelepasan) Brahmana
Buddha di desa Budakeling. Desa Budakeling dikatakan sebagai pusat Brahmana
Buddha, keturunan dari pendeta Buddha Astapaka atau dengan gelar kehormatan
Bhatara Astapaka. Dengan demikan, “Klen ini menamakan dirinya Brahmana
Buddha Warih Bhatara Astapaka” (Suci, Dharmika dan Granoka, 1984:81).
Dhanghyang Astapaka merupakan keturunan dari Mpu tantular. Secara biologis,
Brahmana Budha warih Bhatara Astapaka merupakan pewaris yang bertanggung
4
jawab terhadap kelangsungan kehidupan nilai-nilai tersebut, karena nilai merupakan
pondasi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya dalam menghadapi globalisasi
saat ini. Hal tersebut mendorong penulis untuk mengangkat kajang masutasoma
sebagai objek penelitian.
Kajang masutasoma dilihat sebagai fenomena budaya tradisional. Fenomena
budaya ini disebabkan bentangan sejarah atas karya-karya besar dari Mpu Tantular
sebagai pemimpin agama Buddha pada masanya.Sehubungan dengan itu, nilai dalam
karya Mpu Tantular terdapat pada kajang masutasoma. Kajang masutasoma selalu
digunakan oleh kalangan pendeta dalam rangka upacara pelebon/ngaben. Sehingga,
kajang masutasoma perlu dikaji untuk memenuhi kebutuhan generasi penerus dalam
jaman globalisasi.
Kajang adalah sarana ritual penutup jenasah terdiri dari elemen-elemen kain
(kafan), ditulis dengan huruf (aksara Bali) yang menyertakan diagram-diagram rajah
(aksara modre) dan gambar (lukisan). Kajang masutasoma terbentuk dari surat-
rajah-gambar, didalamnya terdapat nilai-nilai sinkretisme Siwa-Buddha yang
merupakan representasi dari teks Sutasoma. Terdapat pembeda kajang masutasoma
dengan kajang lainya adalah varian gambar yang bergambar Sutasoma katadah kala.
Dengan demikian dapat dikatakan kajang masutasoma merupakan hasil budaya yang
unik dan penting untuk dikaji di dalam penelitian ini.
Kajang masutasoma dapat dikonsepsikan dalam tiga wujud kebudayaan
yakni 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
5
peraturan-peraturan dan sebagainya, 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, 3. Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1983: 189).
Dalam wujud pertama yakni ide, kajang masutasoma terbentuk dari konsepsi nilai-
nilai sinkritisme Siwa-Buddha yang terekpresikan dalam cerita Sutasoma. Wujud
yang kedua yakni tindakan/perilaku, bahwasanya di desa Budakeling terdapat tradisi
seorang Brahmana yaitu salah satunya membuat kajang masutasoma. Hal ini
dilakukan sebagai tindakan berpola bagi masyarakat sebagai tradisi seorang
brahmana, dan tentunya kajang masutasoma sebagai hasil budaya.
Berbicara mengenai kebudayaan bahwasanya terdapat tujuh unsur
kebudayaan universal yakni: 1. Bahasa, 2. Sistem pengetahuan, 3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup, 6. Sistem
religi, dan 7. Kesenian (Koentjaraningrat, 1983: 206).Terkait dengan tujuh unsur
kebudayaan unirversal maka kajang masutasoma termasuk dalam unsur sistem religi.
Maksudnya agar dapat menjamah kajang masutasoma sebagai ritus dalam sistem
religi dari ajaran Hindu Buddha.
Sebagian besar elemen dari kajang masutasoma adalah aksara. Aksara
dalam kebudayaan Bali statusnya sangat tinggi yaitu berkaitan dengan Tuhan, di
mana menurut Granoka aksara dalam kehidupan masyarakat Bali tidak hanya
berfungsi sebagai simbol grafis tetapi juga memiliki fungsi idealis menjembatani
menara kesadaran manusia dengan ketuhanan, kesadaran tertinggi, tak termusnahkan
6
(a-ksara) (2007: 130). Aksara sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali
terutama mengenai orientasi hidup nyata kekinian (dalam aspek keagamaan dan
estetika) serta aspek ketuhanan (simbol-simbol) yang dimunculkan dalam aksara,
sehingga terjadi keseimbangan antara sekala dan niskala. Menurut Bagus, aksara dan
bahasa Bali merupakan alat untuk melestarikan pustaka suci yang mengandung antara
lain: filsafat kerohanian, serta tentang hal susastra dan politik yang merupakan
pegangan hidup masyarakat yang beragama Hindu (1994:6).
Betapa besar fungsi aksara dalam masyarakat Bali. Hal ini meyakinkan
penulis untuk melanjutkan gagasan besar dari Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, dalam
pidato pengukuhan jabatan Guru Besarnya mengenai “Aksara dalam Kebudayaan
Bali”. Mengangkat tema sentral, memposisikan aksara dalam masyarakat Bali.
Adapun tujuan dari pidato pengukuhan jabatan Guru Besarnya yakni “tujuannya tidak
lain ialah untuk merangsang agar masalah ini mendapat perhatian oleh para peneliti
pada masa mendatang” (1980:9) yang dimaksudkan adalah penelitian-penelitian
mengenai aksara khususnya aksara Bali. Melanjutkan gagasan besarnya, penulis
mengangkat kajang masutasoma, sebagai ritus dari ajaran Hindu Buddha di desa
Budakeling di mana aksara merupakan elemen terpenting dalam kajang masutasoma.
Sebagai pusat Brahmana Buddha, Budakeling tersebar berbagai daerah,
salah satunya terdapat di desa Batuan yang mengelompok pada satu klen Brahmana
Buddha dalam satu Banjar (ikatan wilayah). Dalam perjalanan waktu, sebaran dari
Brahmana Buddha yang tinggal di desa Batuan, mengalami perubahan budaya dalam
7
ritus kematian (kelepasan) dari pusat yakni Brahmana Buddha Budakeling.
perubahan tersebut dapat dilihat pada prosesi upacara serta elemen-elemen yang
berbeda dengan Brahmana Buddha Budakeling. Perubahan yang sangat mendasar
yakni terlihat pada penggunaan kajang, bahwa seperti yang telah disebutkan di atas,
Brahmana Buddha Budakeling menggunakan kajang masutasoma yang merupakan
warisan dari leluhurnya, sedangkan Brahmana Buddha Batuan, tidak menggunakan
kajang masutasoma, sehingga penting untuk diketahui isi dari kajang masutasoma
tersebut. Selain perubahan tersebut, pada prosesi upacaranya juga terjadi perubahan
pada Brahmana Buddha Batuan, yakni terdapat upacara Maligia/Ngasti.
Fenomena perubahan budaya dalam satu klen tersebut, yakni pada
kehidupan Brahmana Buddha yang terdapat di desa Budakeling dan di desa Batuan,
tidak menyebabkan perpecahan namun perlu diketahui dengan dilakukan penelitian
ini, bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan di dalam kehidupan sosial
beragama. Minimnya tulisan-tulisan mengenai kajang menjadi problematik bagi
peneliti. Tetapi, proses penelitian lebih ke informan yang mempunyai intuisi. Karena
intuisi diyakini sebagai suatu bahasa Tuhan yang diterjemahkan dengan hasil karya.
8
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana fungsi kajang dalam ritus kematian Brahmana Buddha di desa
Budakeling dan sebaranya (Batuan)?
2. Bagaimana perubahan ritus kematian (kelepasan) klen Brahmana Buddha
Budakeling dan sebarannya di desa Batuan?
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.3.1.1 Tujuan Umum
Secara umun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi kajang
masutasoma sebagai ritus dari ajaran Hindu Buddha yang terdapat di desa Budakeling
dari sudut antropologi Agama.
1.3.1.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi kajang
masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan) oleh Brahmana Buddha di desa
Budakeling. Untuk mengetahui perubahan budaya dalam rangka kematian yang
terjadi pada klen Brahmana Buddha Batuan, serta upaya-upaya yang akan
dilakukan untuk mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhur di desa
Budakeling.
9
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas
khusunya masyarakat Budakeling atas nilai-nilai yang terkandung dalam kajang
masutasoma serta fungsi kajang masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan) yang
merupakan kearifan lokal desa tersebut.
1.3.2.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diharapkan dari penelitian ini mampu
memperluas pehatian dari semua kalangan, terutama untuk peneliti-peneliti lainya
agar melanjutkan penelitian mengenai aksara sebagai simbol budaya Bali. Tentunya,
masyarakat Bali, khususnya pada kehidupan Brahmana Buddha akan mengetahui dari
fungsi aksara dalam kajang masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan).
1.4 Kerangka Teori dan Konsep
1.4.1 Kerangka teori
Dalam teori yang hendak dipakai dalam penelitian ini, mengacu kepada
gagasan-gagasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai landasan teori dalam
suatu penelitian. Menurut Irawan (2006: 39), landasan teori atau yang disebut juga
kerangka teori diperlukan sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam
menganalisis dan memahami realitas yang ditelitinya. Penelitian tentang kebudayaan
10
mestilah berangkat dari Idealisme (Saiful Arif, 2010: 258). Di dalam penelitian kebudayaan
terfokus pada ide yang melatari dan tidak terhenti pada wujud empirik. Teori yang
digunakan sebagai berikut.
1.4.1.1 Azas Religi: dari sikap manusia yang berorientasi kepada
keyakinan religi, hingga hal yang gaib sampai ke ritus atau upacara religi
Menurut Koentjaraningrat (1987), di antara teori-teori yang menjelaskan azas
religi, ada teori yang berorientasi kepada sikap manusia yang gaib dan ada pula yang
berorientasi pada upacara religi. Teori yang berorientasi kepada sikap manusia
terhadap yang gaib dalam pandangan R. Otto, menegaskan bahwa sifat hal yang gaib
itu maha-abadi, maha-dasyat dll, sehingga menimbulkan sikap kagum, terpesona
terhadap yang gaib dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu
dengannya (Kontjaraningrat, 1987: 65-66).
Mengenai ritus, Preusz menganggap akan bersifat kosong dan tak-bermakna,
apabila tingkah-laku manusia didalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika;
tetapi secara naluri manusia mempunyai suatu emosi mistikal yang mendorong untuk
berbakti kepada kekuatan yang tingi yang olehnya tampak kongkret di sekitarnya,
dalam keteraturan dari alam serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam
dalam hubunganya dengan masalah hidup dan maut (Koentjaraningrat, 1987: 70).
Pada masyarakat Budakeling sebagai klen brahmana Budha dilihat dari sejarah desa
Budakeling yang didirikan oleh seorang pendeta Budha yang melakukan perjalanan
spiritual sehingga menjadikan masyarakatnya spiritualisme dan religius.
11
Dengan mengikuti pendapat Koentjaraningrat (1987), masyarakat ini dapat
dikatakan sebagai salah satu komponen sistem religi yang disebut umat agama atau
kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus
serta upacara. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa terdapat lima komponen
keagamaan yaitu sistem keyakinan, umat agama, emosi keagamaan, sistem ritus dan
upacara keagamaan serta peralatannya (Koentjaraningrat, 1987:82). Di dalam
keagamaan bagi umat Hindu Bali, terdapat Panca Yadnya yang kesemuanya
berkaitan dengan upacara semesta, dan hampir tidak pernah lepas dari penggunaan
rerajahan, terutama upacara kremasi atau ngaben (=pelebon, kelepasan). Seorang
pendeta Brahmana Budha (Budakeling) digunakan sistem aksara kajang (surat kajang
utamaning utama) yang luar biasa mempesona, indah dan penuh arti (Granoka, 2007:
131).
Menurut Preusz, ritus kematian merupakan ritus paling penting, sedangkan
Hertz menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka
adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakat yang berwujud sebagai gagasan
kolektif. Gagasan kolektif yang dimaksud oleh Hertz sebagai gejala kematian atau
mati itu berarti suatu proses peralihan atau inisiasi dari dunia ini ke dunia mahluk
halus (Koentjaraningrat, 1987: 71) sedangkan menurut Van Gennep menyatakan
bahwasanya upacara kematian sebagai proses peralihan menuju kehidupan yang baru
di alam baka, atau manusia yang mati harus diintegrasikan ke dalam kehidupan baru
di antara mahluk halus yang lain di alam baka (Koentjaraningrat, 1987: 73-77).
12
Kepercayaan masyarakat Budakeling juga menganggap bahwa mati bukan berarti
hilang, melainkan lahir kembali di alam baka menuju pemerdekaan jiwa (tidak terikat
keduniawian).
Ditunjang juga dengan teori dari Van Gennep mengenai ritus peralihan dan
upacara pengukuhan, disebutkan bahwa ritus dan upacara dapat dibagi menjadi tiga
yakni 1. Perpisahan, atau separation, 2. Peralihan, marge, 3. Integrasi kembali,
aggregation (Koentjaraningrat, 1987: 73). Pada bagian pertama yakni separation,
manusia dilepaskan dari kedudukanya yang semula atau manusia dianggap tidak ada
seolah-olah dipisahkan dari kehidupan sosialnya dalam kehidupan semula. Pada
bagian kedua yakni marge, dimana manusia dianggap mati atau “tidak ada” lagi dan
dalam keadaan tak tergolong lagi dalam sosial mana pun namun dipersiapkan untuk
menjadi manusia baru dalam lingkunganya yang baru. Pada bagian ketiga yakni
aggregation, manusia diresmikan kedalam tahap kehidupannya serta lingkungan
sosialnya yang baru seperti perlambang dalam inisiasi pada umunya dimana
seseorang dilahirkan kembali.
1.4.1.2 Teori Simbol
Aktifitas budaya dalam masyarakat beragama berkaitan erat dengan simbol-
simbol agama yang patut kita ketahui makna dibalik simbol tersebut. Agama sebagai
keyakinan secara mutlak dipercaya dapat menggetarkan jiwa manusia sehingga
menciptakan suasana kebahagiaan batiniah. Simbol dalam bahasa Inggris symbol
berarti sesuatu atau juga menggambarkan sesuatu, khusunya sesuatu yang immaterial,
13
abstrak, suatu ide dan tanda-tanda suatu obyek (Coulson, 1978). Simbol dalam agama
sangat berharga, karena memberikan arti penting dalam kehidupan beragama sebagai
suatu yang menggambarkan sesuatu, sehingga manusia memberikan asosiasi ke
dalam pikiran mereka kepada obyek sebagai tanda (sign) dan memberikan konsepsi
ke dalam simbol sebagai simbolis keagamaan.
Menurut Mircea Eliade (dalam Suci, 2006: 142), menyatakan bahwa kunci
pertama untuk memahami simbol-simbol keagamaan adalah bagaimana agar dunia,
“berbicara” atau “mengungkapkan diri” melalui simbol-simbol dan bukan dalam
bahasa objektif. Akan tetapi simbol juga dapat mengungkapkan sesuatu yang lebih
pokok dan mendasar, sehingga dapat disarikan dalam tulisanya, mengenai
pengungkapan Eliade tentang simbol lebih lanjut sebagai berikut:
“simbol keagamaan mampu menggungkapkan suatu modalitas dari yang nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman langsung. Dalam mengilustrasikan, bagaimana sebuah simbol mampu mengungkapkan modalitas kenyataan yang tak terjangkau oleh pengalaman manusia seperti contoh, yaitu simbolis air yang mampu mengekspresikan kondisi praformal, abstrak, yang jelas hal ini bukan masalah pengetahuan rasional, melainkan kesadaran hidup yang menangkap realita melalui simbol, yang lebih dari sekedar refleksi” (Eliade dalam Suci, 2006 :143)
Menurut Taylor dan Gadamer (1991), ilmu sosial interpretatif dapat di sebut
sebagi titik balik ke dunia objektif, yang memandang dunia sebagai lingkaran makna
yang didalamnya kita menemukan diri sendiri dan yang tak pernah dapat kita
melampauinya. Pernyataan tersebut juga sebagai titik berangkat peneliti untuk
mnggunakan teori Clifford Geertz mengenai teori interpretatif simbolik, bahwa kajian
sosial dari interpretatif adalah interpretasi dari praktik manusia yang bermakna
(Saifuddin, 2006: 286)
14
Definisi kebudayaan menurut Geertz (1973), mengemukakan bahwa
kebudayaan sebagai: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol,
yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia
mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat perasaan mereka.
(2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung
dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut
manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka
mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. (3) suatu peralatan simbolik bagi
mengontrol prilaku, sumber-sumber ekstraomatik dari informasi; dan (4) oleh karena
kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami,
diterjemahkan, dan diinterpretasi (Saiffudin, 2005: 288). Berdasarkan definisi
kebudayaan menurut Geertz di atas yakni memosisikan suatu kebudayaan dimana
kebudayaan di seluruh dunia terdapat simbol-simbol sehingga individu mampu
berkomunikasi, memahami pengetahuan dan sebagainya. Dalam hubunganya dengan
penelitian ini dapat dipahami dengan anggapan Geertz yang meyakini simbol sebagai
kebudayaan dalam masyarakat tentunya penelitian ini mengangkat masyarakat
Budakeling dimana dalam proses-proses dari bentuk pelaksanaan upacaranya
khususnya ritus kematian (kalepasan) yang menggunakan berbagai simbol-simbol
yang terekspresikan dalam kakawin Sutasoma dan diyakini sebagai ajaran dari Hindu
Buddha.
15
Mengenai asal-usul tidak terlepas dengan mitos yang melatarbelakangi
sejarah.Tentu juga di dalam mitos terdapat symbol-simbol yang perlu di berikan
pemaknaan sehingga terjadi saling keterikatan antara mitos dengan symbol. Mitos
juga simbolik, tetapi dalam suatu cara yang lebih complicated: mitos adalah simbol
yang diletakkan dalam bentuk cerita (Eliade dlm Daniel L. Pals, 2001: 285). Eliade
juga mengemukakan bahwa sebuah mitos bukan hanya suatu gambaran atau tanda,
melainkan serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita (Eliade dlm
Daniel L. Pals, 2001: 285).
Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang
diberi makna oleh manusia (Saifuddin, 2005: 289). Dikatakan simbol sebagai objek,
dalam penelitian ini kajang masutasoma terdapat simbol-simbol aksara dan diagram-
diagram rajah sebagai objek dari simbol-simbol yang terdapat makna dalam nilai-nilai
pada ajaran sinkritisme Siwa-Buddha.
Definisi simbolik dari kebudayaan adalah bagian dari suatu tren yang
memandang kebudayaan sebagi ilmu mengenai makna-makna (Saifuddin, 2005: 291).
Tentunya dalam penelitian mengenai kajang masutasoma, terdapat simbol-simbol
aksara suci serta diagram rajah yang mempunyai makna-makna yang perlu diketahui
dan diinterpretasi sebagai ilmu pengetahuan dan simbol merupakan pencarian-
pencarian makna yang terkandung dalam objek penelitian. Geertz juga menekankan
bahwa antropolog seharusnya bergeser dari upaya melakukan eksplanasi menjadi
16
upaya menemukan makna dan yang memandang penting simbol dalam penelitian
antropologi (Saifuddin, 2005: 295).
Simbol tidak hanya dilihat secara abstrak melainkan dalam konteks sosial, di
mana suatu sistem simbol dijadikan makna oleh masyarakat, yang kemudian
membentuk praktik kehidupan dan bermasyarakat. Inilah yang disebut Geertz sebagai
kebudayaan dan Geertz memaknai budaya sebagai persoalan semiotik sehingga
mengkaji budaya adalah mengkaji makna (Syaiful Arif, 2010: 111).
Sebuah teori simbol dari Victor Turner yang mengangkat mengenai simbol
ritual sebagian besar memuat komonitas Ndembu yang merupakan gambaran untuk
mengkaji ritual secara mendalam (Endaswara, 2006: 173).Ritus kajang masutasoma
merupakan elemen dari ritual besar yang terdapat di desa Budakeling.Ritual besar ini
atau disebut dengan palebon/ngaben perlu dikaji kedalamanya tentunya dilihat dari
fungsi kajang masutasoma.Simbol adalah unit terkecil dalam ritual yang mengandung
makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus (Endaswara, 2006: 173).
Mengenai penelitian ini, ditujang dengan teori dari Turner, karena penulis akan
mengkaji mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam kajang masutasoma. Dalam
pernyataanya, melalui analisis simbol ritual akan membantu menjelaskan secara benar
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan menghilangkan keragu-raguan tentang
kebenaran sebuah penjelasan (Endaswara, 2006: 173).
Sebuah kebudayaan, pada dasarnya terdapat aspek formal intrinsik yakni
nilai yang terdapat pada ruang emik, mental, kognisi, dan makna (Syaiful Arif, 2010:
17
109). Nilai merupakan substansi dari sebuah kebudayaan, dimana masyarakat
memiliki sistem simbol dalam kebudayaanya, yang mana individu mampu melakukan
interpretasi atas makna dari kehidupanya.
Di dalam penelitian ini, makna-makna dalam simbol kajang masutasoma
akan mendapatkan bentangan nilai-nilai kognisi yang berguna bagi masyarakatnya.
Tidak dapat lepas memandang fenomena budaya ini dengan kaca mata semiotik.
Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Hoed, 2008:
3). Tanda yang dimaksud yakni komponen-komponen dari kehidupan kita yang
dilihat sebagai tanda yang patut ditafsirkan dan di beri makna. Di dalam teori
Ferdinand de Saussure menggunakan istilah signifiant (signifier, Ing.; penanda, Ind.;)
untuk segi bentuk suatu tanda, dan signifie (signified, Ing,; petanda, Ind,;) untuk segi
maknanya (Hoed, 2008: 3). Dapat dikatakan hubungan penanda dan petanda adalah
proses pemaknaan, karena penanda dan petanda mempunyai hubungan yang saling
terkait sebagai suatu struktur. Dengan menggunakan teori De Saussure mengenai
“penanda dan petanda” akan dapat mengkaji simbol-simbol suci yang terdapat di
dalam kajang masutasoma.
1.4.1.3 Teori Fungsionalisme
Teori ini digunakan untuk mengetahui fungsi sesuatu di dalam masyarakat.
Fungsi yang dimaksud adalah fungsi yang merujuk pada manfaat budaya bagi sesuatu
(Endaswara, 2006: 100).Semua komponen budaya memiliki fungsi. Antara lain, di
dalam penelitian ini akan tampak makna dan fungsi dari ritus kajang masutasoma
18
sebagai upacara palebon/ngaben pada masyarakat Budakeling dan pada masyarakat
Batuan yang dilanjutkan dengan upacara maligia/mamukur. Di dalam pendekatan
fungsionalisme, Malinowski juga mengisyaratkan penguasaan bahasa lokal terhadap
para peneliti lapangan, karena hanya melalui komunikasi dalam bahasa lokal dari
warga masyarakat yang ditelitinya, sehingga memperoleh pengertian yang mendalam
tentang gejala-gejala sosial yang ditelitinya (Koentjaraningrat, 1980: 166).Peranan
seorang peneliti dituntut untuk menguasai bahasa lokal, sehingga dengan mudah
memperoleh data-data yang diinginkan.
Menurut Endaswara (2006: 101) yang mengemukakan mengenai aksioma
dasar fungsionalisme budaya yang dapat dibagi menjadi lima bagian yakni 1). Budaya
merupakan sarana instrumental yang menempatkan manusia pada posisi istimewa
agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan lingkunganya, 2).Budaya
merupakan sebuah sistem dari obyek, aktifitas, dan sikap yang bertujuan untuk
mencapai sasaran tertentu, 3).Budaya merupakan bagian integral yang setiap unsur
saling tergantung, 4). Aktivitas, sikap, dan obyek budaya akan terorganisir ke dalam
institusi, seperti keluarga, klan, politik, pendidikan dan sebagainya, 5). Dari sudut
pandang dinamika budaya, dapat dilihat pada masing-masing institusi.
Fungsionalisme menempatkan manusia ke dalam posisi yang istimewa, di
mana manusia sebagai mahluk yang berakal-budi tidak hanya sebagai penyangga
kebudayaan melainkan mampu membuat dan memanipulasi kebudayaan.
Fungsionalisme juga merupakan salah satu metode analisis yang menitikberatkan
proses budaya yang berjalan, bertahap, dan mengikuti irama (Endaswara, 2006: 102).
19
Di dalam penelitian ini akan menitikberatkan penelitianya pada kajang masutasoma,
tentunya dilihat sebagai proses budaya dari pembuatan hingga penggunaanya dan
fungsinya sebagai ritus kematian (kelepasan) pada masyarakat Budakeling khususnya
klen Brahmana Buddha Budakeling, dan mengalami pergeseran makna dan fungsi
pada klen Brahmana Buddha di Batuan yang melanjutkanya dengan upacara
Maligia/Mamukur.
Robert Merton (Endaswara, 2006: 102) merumuskan mengenai fungsi yang
mengetengahkan postulat tentang fungsionalis bahwa: 1). Postulat keutuhan
fungsionalis masyarakat, yaitu segala sesuatu berhubungan secara fungsional, 2).
Postulat fungsionalisme universal, yaitu bahwa segala unsur budaya melaksanakan
suatu fungsi, dan tidak satu pun unsur lain yang mampu melaksanakan fungsi yang
sama. Budaya sebagai kesatuan yang integral di dalamnya terdapat komponen-
komponen yang memiliki fungsinya masing-masing. Robert Merton juga memberikan
rumusan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi
terselubung). Penelitian ini yakni kajang masutasoma di dalam perjalanan proses
ritualnya mengalami perubahan pada masyarakat brahmana Buddha desa Batuan yang
tentunya terjadi perubahan fungsi pada ritus kajang masutasoma.
Berbicara mengenai perubahan, sebagaimana atas kritik-kritik dari kalangan
antropologi terhadap Malinowski, sehingga beliau kembali memperhatikan kritikan
terhadapnya dengan mengajukan sebuah metode.Malinowski melihat perubahan
kebudayaan, dengan mengambil bahan-bahan dari Afrika sebagai contoh untuk
mengajukan suatu metode untuk mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses
20
perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat yang hidup (Koentjaraningrat, 1987:
171).Kebudayaan yang bersifat dinamis disebabkan unsur-unsur atau komponen-
komponenya juga berubah. Di dalam penelitian ini, di mana perubahan terjadi pada
proses ritual pada brahmana Buddha di Batuan. Dengan mengikuti pendapat dari
Malinowski, peneliti dapat mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses yang
terdapat dalam ritual di desa Batuan, sehingga akan memeroleh data-data penyebab
perubahan ritual yang dilihat dari ritus kajang masutasoma.
1.4.2 Konsep
Sebagai unsur pokok dalam suatu penelitian, konsep sebenarnya adalah
definisi singkat mengenai sekelompok fakta atau gejala yang menjadi pokok
perhatian dalam penelitian yang bersangkutan. Dengan pernyataan diatas peneliti
hendak merumuskan masalah sebagai berikut.
1.4.2.1 Kajang Masutasoma
Kajang artinya rurub bangke (Watra, 2008: 88). Kata Kajang berasal dari
bahasa Jawa Kuno yang artinya tirai atau penutup (Wiana, 2004: 55), fungsinya
adalah sebagai penutup jenazah. Kajang adalah selembar kain putih berukuran sekitar
satu setengah meter, bertuliskan sejumlah aksara suci (Bandana, dkk, 2012: 108).
Dapat didefinisikan bahwa kajang merupakan sarana ritual penutup jenasah yang
terdiri dari elemen-elemen kain (kafan), ditulis dengan huruf (aksara Bali) yang
21
menyertakan diagram-diagram rajah (aksara modre) dan gambar (lukisan). Filosofi
dari kajang adalah simbol wahana atman menuju Brahman (menyatu dengan-Nya),
sehingga dapat diartikan bahwa kajang adalah simbol dari badan jasmani manusia
serta simbol pengganti lapisan-lapisan yang membungkus atman.
Kajang pada umumnya terdapat empat bagian yakni nista ‘terkecil’, madya
‘biasa, utama ‘utama’, dan mahotama ‘yang paling utama’.(Bandana, dkk, 2012:
108).Kajang masutasoma jugaterdapat pembagian atas penggolongannya yakni
kajang masutasoma yang nista, madya, utama dan mahotama. Dengan demikian,
penulis membatasi penelitian ini dengan meneliti kajang masutasoma yang tergolong
mahotama. Tergolong kajang masutasoma yang mahotama disebabkan dengan
adanya varian gambar sutasoma katadah kala dan hanya digunakan oleh kalangan
pendeta dengan persetujuan nabe (seorang guru dari pendeta tersebut). Secara
leksikal, kajang masutasoma merupakan kata dasar dari kajang-sutasoma. Atas
fungsi kajang sebagai ritus kematian (kalepasan) yang dipergunakan oleh pendeta,
sehingga kajang-sutasoma mendapatkanawalan/prefiks “ma” yang berarti “berisi”,
sehingga mengalami perubahan penyebutan yakni kajang masutasoma (kajang yang
bertuliskan varian gambar sutasoma) (wawancara, Granoka: 13 mei 2014).
1.4 2.2 Ritus Kematian (kalepasan) ajaran Hindu Buddha
22
Ritus di dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tata
cara dalam upacara keagamaan (Ali, 1995: 844). Sedangkan Ritual yakni berkenaan
di dalam ritus (1995: 843) sehingga dapat di golongkan ritual/upacara merupakan
wadah untuk keberlangsungan dari ritus tersebut. Mengenai “ritus kematian”, dalam
banyak ahli seperti Preuzs, Hertz dan Van Gennep, menyebutkan bahwa ritus yang
paling penting di dunia adalah “ritus kematian” (Koentjaraningrat, 1980). Menurut
Van Gennep mengenai arti ritus lebih kepada sistem religi yang terdapat pada banyak
kebudayaan, dimana ritus merupakan tahap religi yang paling penting dalam
lingkungan sosial budayanya dan diperjelas oleh Koentjaraningrat mengenai macam
sistem religi yang dibagi menjadi dua yakni, “ritus” bersifat perpisahan yang menjadi
satu dengan yang bersifat peralihan, dan “upacara” lebih bersifat integrasi dan
pengukuhan (Koentjaraningrat, 1987: 77). Dengan demikian, teori-teorinya juga
banyak berbicara mengenai “ritus kematian”. Sebagai “ritus kematian” yakni
didalamnya suatu proses perpisahan dimana yang meninggal dianggap “tidak ada”
dan juga peralihan “lahir kembali” atau dapat di konsepsikan bahwa berbicara “ritus
kematian” sebagai suatu yang dianggap tidak ada atau meninggal (bukan berarti mati)
melainkan lahir kembali ke alam baka (tempat kekal bagi roh-roh manusia yang telah
meninggal dunia dan merupakan alam gaib), sehingga ritus kematian merupakan
substansi dari upacara.
Ritus kematian sebagai istilah dari antropologi, dan terdapat pula istilah lokal
yakni “kelepasan”. “Kelepasan” disebutkan dalam kamus besar bahasa Indonesia
23
yakni sebagai kebebasan, perihal lepas dari keadaan yang mengikat (Ali, 1995: 586).
Masyarakat Budakeling menggunakan istilah “kelepasan” bagi orang yang meninggal
khususnya kalangan pendeta.Kepercayaan masyarakat Budakeling dengan istilah
“kelepasan” yang berarti “lepas” terbebas dari keduniawian menuju pemerdekaan
jiwa.Sehingga istilah ini menjadi umum di kalangan masyarakat Budakeling.
Di dalam hal ini peneliti memusatkan perhatian dalam kajang masutasoma,
yang digunakan oleh klen Brahmana Buddha (pendeta) di desa Budakeling.
Budakeling sebagai pusat Brahmana Buddha di Bali. Sejarah Budakeling berawal
dari datangnya seorang pendeta Buddha yakni Dhangyang Astapaka yang
memberikan ajaran kabudhan (budha bajrayana Mahayana) (kitab Sanghyang
Kamayanikan). Hingga dewasa ini, ajaran ini masih dianut oleh masyarakat
Budakeling. Sehingga masyarakat Budakeling menyebutnya sebagai masyarakat yang
beragama Hindu Buddha.
1.5 Model Penelitian
24
Keyakinan Pengetahuan Budaya Mitos
KAJANGMASUTASOMA
Masyarakat MasyarakatBrahmana Brahmana
Buddha BuddhaBudakeling Batuan
Ritus
Solusi
Keterangan garis: (mempengaruhi)
(mempengaruhi)
(implementasinya)
Keterangan Bagan:
25
Berdasarkan bagan di atas dapat dipahami bahwa semua kebudayaan berakar
dari pengetahuan budaya. Pengetahuan budaya yang dimaksud adalah sebagai
pengetahuan yang didasari oleh keyakinan dan mitos karena, dalam penelitian ini
pada masyarakat tradisional khususnya masyarakat Budakeling sangat kuat dengan
keyakinan religi dan mitos yang terdapat dalam kebudayaannya. Keyakinan dapat
dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan setiap umat yang meyakininya atau sikap
yang ditujukan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa
diriya telah mecapai kebenaran. Mitos merupakan suatu cerita yang berkaitan dengan
dewa-dewa yang diyakini kebenaranya yang diungkapkan dengan cara gaib, sehigga
mitos dan keyakinan sebagai wujud ide dari gagasan kolektif.
Dari pengetahuan budaya, mucul sebuah hasil budaya yakni kajang
masutasoma di mana, didalamnya terdapat simbol-simbol suci. Kajang masutasoma
dapat di bagi tergantung dari pemakaianya. Untuk pendeta Budha (meninggal, lepas)
menggunakan kajang masutasoma yang lengkap (mahotama, surat kajang utamaning
utama), sedangkan untuk pemakaian seorang Brahmana welaka (seorang Brahmana
yang belum medwijati/belum menjadi seorang pendeta) menggunakan kajang
masutasoma yang utama (utama) dan juga sebagai masyarakat Budakeling yang non-
Brahmana jika mau menggunakan kajang masutasoma menggunakan kajang
masutasoma yang biasa hingga terkecil (madya, nista). Brahmana yang dimaksud
adalah Brahmana Buddha keturuan dari Danghyang Astapaka yang terdapat di desa
Budakeling. Penulis juga membatasi penelitiannya dengan mengkaji kajang
26
masutasoma yang tergolong paling utama (mahotama), digunakan oleh pendeta
Budha.
Di dalam kajang masutasoma, terdapat nilai-nilai yang perlu dikaji. Nilai-
nilai tersebut, merupakan nilai dari ajaran sinkritisme Siwa-Buddha yang perlu digali
kedalamannya. Kajang masutasoma digunakan sebagai ritus kematian (kelepasan)
yang terdapat di desa Budakeling. Ritus kematian (kelepasan) ini digunakan oleh
brahmana Buddha Budakeling yang masih memegang teguh tradisi leluhur, di mana
pada rangkaiannya hanya terhenti pada upacara palebon/ngaben tidak dilanjutkan
dengan upacara maligia/mamukur. Pada Brahmana Buddha desa Batuan merupakan
sebaran dari Budakeling mengalami perubahan budaya yakni dalam ritus kajang
masutasoma yang dilanjutkan dengan upacara maligia/mamukur. Tentunya dalam
pergeseran budaya yang terjadi, akan menimbulkan perbedaan prinsip. Dengan
demikian penulis berusaha untuk mencari solusi-solusi dengan problematika yang
terjadi.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan metode penelitian kualitatif, artinya
bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang dikaji sebagian
besar berupa informasi atau fakta-fakta yang tidak berbentuk angka-angka, melainkan
pernyataan-pernyataaan. Di dalam metode penelitian ini peneliti menggunakan
pendekatan empiris. Pendekatan empiris yakni pendekatan yang ditandai pengguna
27
data objektif yang dapat ditangkap oleh panca indra, yaitu dapat dilakukan dengan
pengkajian tafsir kebudayaan di mana kajian ini memandang budaya sebagai teks.
Tafsir kebudayaan merupakan langkah atau penerapan model hermeneutik terhadap
kebudayaan (Endaswara, 2006: 123). Hermeneutik dapat diartikan sebagai “cara
membaca” fenomena budaya sehingga dapat berkembang, kajian ini ke arah
pemahaman dan penafsiran terhadap budaya (Endaswara, 2006: 123). Di
dalamkajang masutasoma terdapat aksara serta diagram-diagram sehingga dengan
menggunakan kajian ini akan dapat diketahui fungsi kajang masutasomadalam
kaitanya dengan hubungan kosmologis dan kosmogoni penciptaan mikrokosmos dan
makrokosmos yang di pakai oleh masyarakat Budakeling sebagai ritus kematian
(kelepasan) dan masyarakat Batuan sebagai sebarannya yang mengalami
perkembangan dalam ritus kematian (kelepasan) dari ajaran Hindu Buddha
Budakeling.
Peneliti juga menggunakan pendekatan spekulatif. Pendekatan spekulatif
yakni pendekatan yang ditandai oleh spekulasi atau argumentasi yang semata-mata
berdasarkan kepada tipe penalaran tertentu yang tidak selalu memerlukan pembuktian
(Slamet Riyadi, 1996: 5), yang artinya didalam penelitian ini adalah menimba data
kajang yang berisikan penjelasan-penjelasan baik pengertian maupun pemaknaan
yang kemudian direkontruksi menjadi kesatuan yang integral. Selain itu data
spekulasi murni yakni dengan penalaran dari salah seorang narasumber karena kajang
28
diyakini sebagai hasil karya kebudayaan yang diperoleh dari tindakan dan juga ide
yang bersumber intuisi manusia karena intuisi diyakini suatu bahasa dari tuhan.
1.6.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Budakeling dan sebaranya yang ada
di desa Batuan. Karena desa Budakeling merupakan pusat dari klen Brahmana
Buddha dan di desa Batuan merupakan sebaran terbesar dari klen Brahmana Buddha
Budakeling. Secara administratif terletak di Kabupaten Karanngasem, kecamatan
Bebandem, karena desa ini sebagai pusat Brahmana Budha di Bali dan desa Batuan
terletak di Kabupaten Gianyar. Tentunya dalam penelitian ini akan mengkaji
Pelaksanaan ritus kematian yang menggunakan kajang masutasoma pada klen
Brahmana Budda Budakeling sebagai pokok, dan klen Brahmana Buddha desa
Batuan sebagai sebaranya.
1.6.2 Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini adalah para ahli yakni Ida Wayan Raja yang
paham mengenai sastra serta Ida Wayan Ngurah sebagai pendampingnya, dan
partisipan yang paham dalam pembuatan kajang masutasoma di desa Budakeling.
Penentuan informan dilakukan secara purposif, yakni dengan memilih orang-orang
yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai seperti kalangan pendeta
29
dan penglingsir/orang yang dianggap paling tahu terkait dengan pembuatan kajang
masutasoma dan isi dari surat kajang masutasoma, serta bagaimana proses ritualnya
yang terdapat di Budakeling dan di desa Batuan yang nantinya akan dijadikan sebagai
informan kunci (key informan) dalam penelitian ini. Peneliti juga menggunakan
teknik snowball yakni pemilihan informan secara beranting sehingga orang yang di
wawancara bisa diminta sarannya untuk mendapatkan informan lainya.
1.6.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kualitataif
berupa kata-kata, kalimat dan ungkapan. Dilihat dari sumbernya, data tersebut
meliputi data primer dan skunder. Sumber data primer dalam hal ini adalah data yang
digali sendiri oleh peneliti, baik melalui pengamatan maupun wawancara, sedangkan
data sekunder adalah data yang telah ada dalam dokumentasi terkait yang disusun
oleh orang lain dalam rangka kepentingan lain, tetapi ada gunanya untuk penelitian
ini. Sumber data sekunder tersebut berupa buku, catatan dari pendeta Buddha atau
orang yang memahami mengenai kajang atau bagan-bagan dari kajang.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan sesuai dengan yang telah di
paparkan di atas meliputi, teknik observasi partisipasi yakni peneliti melakukan
30
pendekatan secara kekeluargaan serta mohon ijin akan mengangkat mengenai
penelitian ini. Teknik wawancara yakni peneliti melakukan penelitian dengan
menggunakan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, serta teknik
penggunaan dokumentasi yakni peneliti berbekal peralatan rekam baik audio maupun
visual untuk mengefektifkan penelitian.
1.6.5 Instrumen Penelitian
Instrument utama (primer) penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Namun
keterbatasan kemampuan peneliti sendiri, maka digunakan pula instrument tambahan
berupa pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera dan alat-alat tulis. Pedoman
wawancara yang digunakan memuat pokok-pokok pertanyaan yang dibuat
berdasarkan permasalahan dalam rumusan masalah yang diajukan oleh peneliti,
sehingga mendapatkan data yang valid sebagai bahan penelitian.
1.6.6 Teknik Pengamatan
Teknik pengamatan yang dilakukan oleh peneliti yakni mengamati prilaku
para partisipan yang sedang melakukan pembuatan kajang masutasoma. Dalam
pengamatan ini juga dicermati situasi kegiatan tersebut termasuk di dalamnya, waktu,
tempat peralatan yang di pakai serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dan mencari
31
informasi atas rumusan masalah dalam penelitian ini. Peneliti juga menggunakan
kamera untuk mendukung penelitianya.
1.6.7 Teknik Wawancara
Penggunaan teknik wawancara yang akan dilakukan yakni menggunakan
informan kunci/key informan dengan wawancara mendalam yang mengacu kepada
pedoman wawancara. Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali informasi dari para
informan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam hal ini bersifat leluasa, dalam
arti tanpa terikat oleh suatu daftar pertanyaan pada pedoman wawancara yang
disiapkan sebelumnya.
1.6.8 Teknik Penggunaan Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk memeroleh data dan keterangan yang ada dalam
dokumen yang terkait dengan permasalahan penelitian ini. Teknik penggunaan
dokumentasi ini meliputi mengumpulkan dan mencermati isi dokumen tertentu,
antara lain berupa surat-surat, gambar (foto) dan data terkait dengan objek penelitian
baik informan kunci dan data-data mengenai kajang masutasoma dan ritualnya.
32
1.6.9 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama penelitian ini
berlangsung secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Secara lebih kongkrit dengan
mengikuti prosedur analisis data kualitatif yakni melakukan reduksi data , penyajian
data sementara, penafsiran data, dan menarik simpulan. Reduksi data meliputi
berbagai kegiatan, yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, penggolongan data,
pengutipan informasidalam wawancara yang memiliki makna subyektif, dan refleksi.
Penyajian data dan penafsiran data dilakukan dengan menyusun teks naratif yang
menunjukan keteraturan, penjelasan, dan alur sebab akibat; sedangkan penarikan
kesimpulan atau verifikasi dilakukan dengan mengintisarikan hasil penelitian yang
telah disajikan.
Dengan demikian, analisis seperti ini dapat dilakukan secara terus menerus.
Rangkaian ini bukan dilakukan dalam satu kali tahapan, melainkan terus berulang-
ulang tahap demi tahap untuk mencapai dan menjawab rumusan masalah yang dikaji
dalam penelitian ini.