bab i pendahuluan · jauh perbedaan prinsip pemajakan yang ada antara kedua negara yang terlibat....
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap negara biasanya memiliki undang-undang perpajakannya sendiri, yang
fungsinya antara lain yaitu fungsi budgetary, yaitu menghimpun penerimaan negara
dari masyarakat sebagai dana pembiayaan fungsi pembangunan sistem atau prinsip
perpajakan yang dianut oleh suatu negara akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara
lain oleh falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakan-kebijakanyang
berhubungan dengan pemberian dorongan investasi kepada sektor-sektor tertentu.
Dari segi kekuatan modalnya negara-negara didunia ini dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu capital exporting dan capital importing countries. Yang dimaksud
capital exportir adalah negara-negara yang sudah maju ,yang membutuhkan pasar lain
sebagai tempat ekspansi bagi modal yang dimilikinya. Sebaliknya capital importing
countries adalah negara yang kekurangan modal, sehingga ia perlu mengimpor modal
untuk mendorong kegiatan ekonominya. Kedua kelompok tersebut, cepat atau lambat,
akan saling berhubungan melalui pemasukan modal. Tetapi sering kali arus ini
terhambat oleh sistem perpajakan yang berbeda. Artinya, sistem perpajakan yang
berlainan tersebut menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap
penghasilan orang atau badan yang sama. Keadaan ini akan menghambat keinginan
untuk melakukan investasi di luar negeri. Jika masing-masing negara menerapkan
undang-undang pajak nasionalnya,tanpa da usaha untuk mengurangi resiko terjadinya
pengenaan pajak berganda, arus pemasokan modal dari satu negara ke negara lainnya
akan menimbulkan benturan-benturan antaradua jurisdiksi pajak yang berbeda.
2
Indonesia adalah negara berkembang, indonesia menutup kebanyakan
persetujuan penghindaran pajak berganda, yang tentunya dimodifikasi sedemikian
rupa untuk melindungi kepentingan sistem pajaknya dan selaras dengan hasil negosiasi
kedua belah pihak karena perjanjian tentu secara timbal balik (resiprositas) dalam
alokasi hak pemajakannya dirundingkan berdasarkan semangat saling menguntungkan
untuk mendorong mobilitas lalu lintas perdagangan, usaha, bisnis, dan investasi antar
negara mitra runding.
Semakin gencarnya usaha untuk melakukan penyelundupan pajak (tax
evasion). Penyelundupan pajak terjadi dengan berusaha melakukan tindakan ilegal
guna mendapatkanbeban pajak yang minim dengan memanfaatkan celah yang terbuka
untuk tidak membayar pajak di negara sumber penghasilan atau di negara domisili.
Semakin bertambah luas dan majunya hubungan ekonomi internasional, maka
dirasakan perlunya diadakan suatu rekonsiliasi jurisdiksi pajak dari negara-negara
yang bersangkutan. Dengan adanya rekonsiliasi ini, hak pemajakan masing-masing
negara yang terlibat diatur secara tegas, sehingga kemungkinan terjadi pengenaan
pajak berganda semakin kecil. Rekonsiliasi dari dua jurisdiksi pajak yang berbeda ini
biasanya disebut persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty atau tax
convention).
Proses terjadinya persekutuan tersebut memakan waktu, tergantung seberapa
jauh perbedaan prinsip pemajakan yang ada antara kedua negara yang terlibat. Di
samping itu, hal ini bergantung pada faktor sampai seberapa jauh suatu negara bersedia
mengorbankan hak pemajakannya dan memberikannya kepada negara partnernya.
Dalam hal ini, kebijakan perpajakan dari suatu negara sangat menentukan
tingkat kompromi yang akan dicapai. Yang menjadi faktor penentu adalah sejauh mana
suatu negara menentukan jurisdiksi perpajakan internasionalnya. Didunia perpajakan
3
internasional, tidak ada ketentuan atau kaidah-kaidah yang membatasi hak pemajakan
suatu negara terhadap objek pajak dan subjek pajak luar negeri. Keadaan inilah yang
menimbulkan terjadinya pengenaan pajak berganda. Dalam hal ini, persetujuan
tentang penghindaran pajak berganda secara bilateral merupakan pemecahan untuk
menghindari pengenaan pajak berganda.
Disinilah letak pentingnya suatu persetujuan penghindaran pajak berganda
antara dua negara. Persetujuan ini melalui suatu proses kompromi yang panjang,
tergantung pada sejauh mana suatu negara menentukan hak pemajakan
internasionalnya. Pada dasarnya, suatu persetujuan penghindaran pajak berganda
adalah penghindaran pajak secara juridis. Pasal-pasal yang ada didalam persetujuan
tersebut pada hakikatnya adalah distributive rules, yaitu membagi hak pemajakan dua
negara.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
menyusun tugas akhir dengan judul “Analisis Perlakuan dan Penerimaan Pajak
Terhadap Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia Berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda Pada KPP Badan Orang Asing Satu Kalibata”.
1.2. Perumusan masalah
1. Bagaimana cara perlakuan perpajakan bagi wajib pajak luar negeri yang
menjalankan kegiatan usaha pada kpp badan orang asing satu kalibata ?
2. Apakah penerimaan pajak sudah sesuai dengan jumlah target yang dikenakan oleh
wajib pajak luar negeri yang menjalankan kegiatan usaha pada kpp badan orang
asing satu kalibata ?
3. Bagaimana cara metode yang ditempuh untuk menghindari pajak berganda pada
kpp badan dan orang asing satu kalibata ?
4
1.3. Tujuan dan manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tugas akhir ini adalah :
1. Untuk mengetahui perlakuan perpajakan bagi wajib pajak luar negeri yang
menjalankan usahanya melalui bentuk usaha tetap pada kpp badan dan orang asing
kalibata.
2. Untuk mengetahui jumlah target pajak yang diterima dari wajib pajak luar negeri
yang menjalankan kegiatan usaha pada kpp badan dan orang asing satu kalibata.
3. untuk mengetahui metode yang ditempuh dalam menghindari pajak berganda,
sehingga dapat mengurangi beban pengusaha dan meningkatkan investasi.
sedangkan manfaat dari penulisan tugas akhir ini adalah :
1. Bagi penulis
memperoleh pengalaman melalui pengamatan mengenai perlakuan dan
penemerimaan wajib pajak terhadap bentuk usaha tetap di indonesia berdasarkan
perjanjian penghindaran pajak berganda pada Kpp Badan Orang Asing kalibata
sehingga dapat memberi gambaran yang jelas mengenai teori perkuliahan dan
praktiknya di suatu bentuk perusahaan.
2. Bagi perusahaan
Penulis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi KPP Badan Orang Asing
Satu Kalibata dan memberi informasi umumnya khususnya untuk manajemen
dalam penatapan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
3. Bagi pembaca
Penulis ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pembaca tentang
pentingnya perlakuan dan penerimaan wajib pajak luar negeri dan menambah
pengetahuan bagi pembaca.
5
1.4. Metode pengumpulan data
Dalam pengumpulan fakta atau data penulis memilih menggunakan teknik-
teknik sebgai berikut :
1. Observasi
Penulis melakukan pengamatan langsung pada KPP Badan Orang Asing Satu
proses perhitungan secara langsung dan menanyakan tentang bagaimana
perlakuan pajak pada bagian pajak di KPP Badan Orang Asing Satu Kalibata.
2. Wawancara
Penulis melakukan tanya jawab secara langsung kepada bapak Agus Puji Priyono
selaku bagian seksi pengawasan dan konsultasi tentang Perlakuan dan Penerimaan
pajak Terhadap Bentuk Usaha Tetap di Indonesia Berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda Pada KPP Badan Orang Asing Satu Kalibata.
3. Studi Pustaka
Dokumen-dokumen pendukung dalam penulisan tugas akhir ini yang penulis
dapatkan dari KPP Badan Orang Asing Satu Kalibata berupa daftar pertanyaan
wawancara dan data penerimaan pajak tahun 2015-2017.
1.5. Ruang Lingkup
pada penulisan penulisan tugas akir ini, penulis membatasi pembahasannya
meliputi perlakuan pajak WPLN, target dan realisasi data penerimaan pajak, dan
metode upaya menghindari pajak berganda. Untuk periode data yang digunakan tahun
2015 s.d 2017.
6
1.6. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan tugas akhir, penulis membuat sistemaika
dalam 4 bab, yaitu :
Bab I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat, metode pengumpulan data, ruang lingkup dan sistematika
penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini terdiri dari sub bab, yang antara lain teori-teori
pendukung penganalisaan dan penjelasan mengenai pembahasan yang
terkait dengan tugas akhir ini, yaitu pajak internasional, Bentuk Usaha
Tetap, dan perjanjian penghindaran pajak berganda.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini terdiri dari beberapa sub bab, yang menjelaskan tentang
umum, tinjauan perusahaan, sejarah perusahaan, struktur organisasi,
tugas dan fungsi organisasi, dan hasil penelitian.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran
dari bab sebelumnya, serta saran-saran yang dapat dicapai bagi
pengembangan sistem di masa yang akan datang.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pajak Internasional
2.1.1 Pengertian Pajak Internasional
Pemahaman tentang pajak internasional sering menjadi pembicaraan para
sarjana yang memberikan masing-masing pikirannya sesuai latar belakang yang
menyertainya. Paling tidak karena masalah pajak yang dibicarakan, masalah hukum
(yurisdiksi) yang mengatur dan masalah ekonomi bagaimana penghitungannya akan
ikut terkait.
Dari sisi hukum, terlebih dahulu perlu dipahami pengertian hukum pajak
internasional menurut pendapat beberapa ahli, yaitu :
Menurut Adriani (Arnold, 2016) hukum pajak internasional adalah suatu
kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-Undang
Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan
nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.
Menurut Hofstra (Arnold, 2016) hukum pajak internasional merupakan
keseluruhan peraturan hukum yang membatasi wewenang suatu negara untuk
memungut pajak dari hal-hal internasional.
Menurut soemitro (Arnold, 2016) hukum pajak internasional adalah hukum
pajak nasional yang terdiri dari kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun
kaedah-kaedah yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip atau kebiasaan
yang telah diterima baik oleh negara-negara didunia untuk mengatur soal-soal
perpajakan dan dimana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai
subjeknya maupun mengenai objeknya.
8
Menurut Gillian (Brock, 2014) pajak internasional adalah studi atau penentuan
pajak atas seseorang atau bisnis yang tunduk pada undang-undang perpajakan dari
berbagai negara atau aspek internasional dari undang-undang perpajakan suatu negara.
Pemerintah biasanya membatasi ruang lingkup pajak penghasilan mereka dengan cara
tertentu secara teritorial atau menyediakan kompensasi untuk perpajakan yang
berkaitan dengan pendapatan ekstrateritorial.
2.1.2 Ruang Lingkup Perpajakan Internasional
untuk memudahkan dalam pemahaman tentang pajak internasional khususnya
ditinjau dari subjek dan objek pajak menurut triyanto (Triyanto & Zulvina, 2017) ,
maka dapat dikategorikan menjadi dua pandangan, yaitu :
1. Taxing Inbound Income adalah pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri
(SPDN) yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
2. Taxing Outbond Income adalah pemajakan atas subjek pajak luar negeri (SPLN)
yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri.
Sebagai diketahui bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengenakan pajak
terhadap setiap penghasilan setiap individu dan badan dimana terdapat connecting
factors antara negara dengan suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan
penghasilan. Undang-Undang perpajakan menerapkan dua prinsip berdasarkan
connecting factors tersebut, yaitu :
1. Azas Residensi, hak negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu/badan)
karena terdapat “personal attachment”, seperti residensi, domisili,
kewarganegaraan, tempat pendirian, tempat kedudukan manajemen.
9
2. Azas Sumber, hak negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu/badan)
karena terdapat “economic attachment” yaitu penghasilan yang bersumber
dinegara tersebut.
Beberapa prinsip dalam perpajakan internasional tiga unsur netralitas yang
harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional menurut Triyanto (Triyanto
& Zulvina, 2017), yaitu :
1. Capital export neutrality (netralitas pasar domestik) : kemanapun kita berinvestasi,
beban pajak yang dibayar haruslah sama sehingga tidak ada bedanya bila kita
berinvestasi didalam/luar negeri.
2. Capital import neutrality (netralitas pasar internasional) : dari manapun investasi
berasal, dikenakan dikenakan pajak yang sama sehingga baik investor dari dalam
negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di
suatu negara.
3. National neutrality : setiap negara mempunyai bagian pajak penghasilan yang
sama. Maka, bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan, boleh
dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
2.1.3 Tujuan Pokok Pajak Internasional
Menurut (Brock, 2014) Salah satu aspek penting dalam perpajakan
internasional adalah masalah pajak berganda internasional. Dalam upaya mengatasi
masalah tersebut, persetujuan secara bilateral dua negara dibuat melalui suatu
perundingan terkait adanya potensi pajak ganda yang diakibatkan hubungan ekonomi
dua negara. Tujuan utama adanya persetujuan penghindaran pajak berganda (tax
treaties) adalah meniadakan atau mengurangi pemajakan berganda (avoid double
10
taxation) dan juga mencegah penghindaran atau penyeludupan pajak (avoid double
non-taxation).
Upaya-upaya ini penting dilakukan dalam upaya untuk menciptakan suatu kondisi
ekonomi yang sehat dengan tujuan akhir ,yaitu:
a. Adanya efisiensi ekonomi.
b. Terciptanya keseimbangan aliran modal ekspor dan impor.
c. Mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat.
d. Adanya keadilan perpajakan.
Pendapat serupa dinyatakan oleh Roy Rohatgi dalam bukunya basic
international taxation sebagaimana dikutip oleh Darussalam (Darussalam, 2016)
bahwa upaya penghindaran dan penyelundupan pajak ditujukan untuk:
1. Menjaga persaingan yang adil antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak
luar negeri dengan cara mengenakan beban pajak yang sama terhadap penghasilan
yang sama berdasarkan tingkat kemampuan membayar pajak (ability to pay) yang
sama tanpa memperhatikan di negara mana sumber penghasilan tersebut berasal.
2. Meningkatkan daya asing dan pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal.
3. Membagi hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber secara adil atas
penghasilan yang berasal dari transaksi lintas batas negara.
Menjamin adanya netralitas dalam perpajakan internasional, baik yang bersifat
netralitas dalam perpajakan atas aliran modal yang masuk ke suatu negara maupun
netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang keluar dari suatu negara.
2.1.4 Kecenderungan Tarif Pajak Dunia
menurut (Laffer, Martilla, & Watkinson, 2015) Tarif pajak antar negara sangat
bervariasi dan cenderung berubah-ubah. Perubahan tarif pajak ini dapat terjadi karena
11
kebijakan pajak jangka menengah ataupun jangka panjang. Namun, terhadap
kebijakan tarif ini adalah akbiat adnya pandangan bahwa terdapat hubungan antara
tarif pajak dengan penerimaan pajak. Hubungan antara tarif pajak dengan penerimaan
negara tersebut terjadi karena naik turunnya tarif pajak secara matematis akan
berakibat pada naik turunnya penerimaan pajak. Sementara itu, efek lainnya adalah
bahwa naik turunnya tarif pajak dapat mengakibatkan perubahan dalam kegiatan
ekonomi.
Tabel II.1
Corporate tax rates
Locations 2015 2016 2017
Africa Average 27.85% 27.92% 27.46%
American Average 27.96% 27.35% 27.86%
Asia Average 21.91% 22.59% 21.97%
Europe Average 19.68% 20.12% 20.48%
Oceania Average 27.00% 27.00% 26.00%
North America Average 33.25% 33.25% 33.25%
Latin America Average 27.52% 26.85% 27.29%
EU Average 21.34% 22.25% 22.09%
OECD Average 24.11% 24.86% 24.85%
menurut (Laffer, Martilla, & Watkinson, 2015) tabel diatas menunjukkan
berbagai tarif pajak perseroan dibelahan dunia sepanjang tahun 2015 s.d 2017. Dari
tahun ke tahun perubahan tarif berfluktuasi sangat rendah. Gejala ini menunjukkan
bahwa kebijakan tarif cukup sensitif. Hal ini menggambarkan perkembangan laju
perekonomian dunia yang sangat dinamis, dimana efek lambatnya pertumbuhan
ekonomi dunia yang terjadin direspon dengan penurunan tarif pajak.
Di sisi lain, kecenderungan global pada tarif pajak perorangan dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :
12
Tabel II.2
Personal tax rates
Locations 2015 2016 2017
Africa Average 32.09% 31.13% 31.43%
American Average 31.34% 31.91% 31.67%
Asia Average 27.64% 26.88% 27.29%
Europe Average 32.70% 32.28% 37.46%
Oceania Average 33.40% 35.00% 39.00%
North America Average 34.30% 34.30% 36.30%
Latin America Average 31.08% 31.70% 30.96%
EU Average 38.38% 38.08% 39.74%
OECD Average 41.78% 41.80% 41.88%
Brics Average 31.90% 32.02% 24.31%
Global Average 31.20% 30.79% 32.83%
menurut (Laffer, Martilla, & Watkinson, 2015) tabel diatas menunjukkan tarif
pajak perorangan di dunia sepanjang tahun 2015-2017. Berbeda dengan tarif pajak
pada perusahaan yang berdampak langsung pada biaya operasi kegiatan usaha, tarif
pajak perorangan lebih langsung berakibat pada konsumsi perorangan yang dikenakan,
maka sebesar itulah konsumsi seseorang berkurang. Dari gambaran angka tarif pajak
perorangan diatas, nampak bahwa turun naiknya tarif bersifat mendatar atau relatif
kecil. Termasuk dalam hal ini, rata-rata tarif negara-negara OECD tetap kurang lebih
mendatar.
2.2 Bentuk Usaha Tetap
2.2.1 Pengertian Bentuk Usaha Tetap
Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan (Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008), Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan
13
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Untuk adanya suatu bentuk usaha tetap diperlukan syarat-syarat di antaranya:
1. adanya tempat usaha (place of business).
2. usaha atau yang dilakukan haruslah bersifat permanent (certain degree of
permanent).
3. adanya sifat ketergantungan (dependence).
Dengan mengambil salah satu contoh bentuk usaha tetap tersebut di atas, misalnya
gedung kantor, gedung kantor tersebut baru akan merupakan bentuk usaha tetap apabila
di gedung kantor itu dijalankan usaha (business) atau kegiatan suatu perusahaan luar
negeri. Sebaliknya, apabila di gedung kantor tersebut tidak dijalankan usaha, misalnya
apabila kegiatan di gedung kantor tersebut hanya sebatas pengumpulan data atau promosi
untuk kepentingan suatu perusahaan di luar negeri, gedung kantor tersebut bukan bentuk
usaha tetap dari perusahaan luar negeri yang bersangkutan.
2.2.2 Objek Pajak
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU pajak penghasilan (Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008) Yang menjadi objek pajak luar negeri adalah :
1. penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dari harta yang dimiliki atau
dikuasai.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan
di Indonesia.
14
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 UU pph yang diterima atau
diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
2.2.3 Subjek Pajak
Berdasarkan pasal 2 ayat (4) UU pajak penghasilan (Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008) Yang menjadi subjek pajak luar negeri adalah :
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di indonesia, orang pribadi yang berada
di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat tinggal kedudukan di Indonesia yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di indonesia.
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di indonesia, orang pribadi yang berada
indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indonesia, yang dapat menerima aatu
memperoleh penghasilan dari indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di indonesia.
2.2.4 Dasar Hukum
berdasarkan (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008) Dasar hukum pajak
penghasilan Wajib Pajak Badan dan BUT pada dasarnya sama dengan dasar hukum
pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi, terutama undang-undang yang berlaku
bagi setiap jenis pajak penghasilan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan yang telah beberapa kali diubah dan disempurnakan, yakni
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dan yang terakhir Undang-Undang
15
Nomor 36 Tahun 2008. Selain perundang-undangan, dasar hukum pajak penghasilan
badan juga diatur dalam peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur
Jenderal Pajak, ataupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.
2.2.5 Branch Profit Tax
Menurut (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008) Branch profit tax adalah
pajak tambahan yang dikenakan atas sisa laba setelah pajak yang ditemukan dalam
P3B Indonesia dan tidak ditemukan dalam OECD model maupun UN model.
Pengenaan pph atas laba bersih setelah pajak penghasilan dengan dengan tarif sebesar
20% atau sesuai dengan P3B. Rumusan ini biasanya disisipkan dalam pasal 10 ayat
(5) sebagai upaya melindungi kepentingan nasional dari pelarian modal. Ketentuan ini
mengacu pada UU pph pasal 26 ayat (4), dimana atas sisa laba usaha dari suatu BUT
setelah dikenakan pph berdasarkan UU pph pasal 17, dikenakan lagi pph sebesar 20%.
2.2.6 Pemajakan Atas Passive Income
Menurut (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008) Passive income merupakan
penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk tangible maupun intangible
properties (termasuk dalam bentuk financial investment). Aspek perpajakan
internasional dari penghasilan investasi berupa passive income mencakup:
1. Deviden
Prinsip umum perpajakan internasional atas deviden adalah bahwa prioritas
hak pemajakan berada pada negara yang menerima penghasilan berdomisili. Selain
negara domisili, negara sumber juga dapat mengenakan pajak atas deviden tersebut.
Alasan utama melatarbelakangi pemberian hak pemajakan kepada negara domisili
16
dikarenakan modal yang menjadi awal timbulnya penghasilan deviden tersebut berasal
dari negara domisili. Namun dengan pertimbangan negara sumber juga ikut
berkontribusi atas timbulnya penghasilan deviden maka negara sumber juga memiliki
hak terbatas atas penghasilan deviden tersebut. Hak pemajakan terbatas itu tidak
berlaku jika pihak penerima penghasilan mempunyai permanent establishment (PE)
atau tempat usaha tetap (fixed base) di negara sumber dan penghasilan yang diterima
oleh pihak penerima penghasilan tersebut memiliki hubungan efektif dengan PE
atau fixed base tersebut (effectively connected principle).
Untuk tujuan menentukan tarif pemajakan negara sumber atas penghasilan
deviden, Pasal 10 ayat (2) baik OECD Model dan UN Model membedakan deviden
berdasarkan bentuk investasi sahamnya sebagai berikut:
a. Investasi saham partisipasi, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(a)
b. Investasi saham portofolio, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(b).
2. Bunga
Pengertian bunga berdasarkan pasal 11 ayat (3) OECD adalah:
a. Penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, yang dijamin dengan hipotik
maupun tidak, dan yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak.
b. Penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan pemerintah dan penghasilan dari surat-
surat obligasi atau surat-surat utang.
c. Premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi atau surat utang.
d. Denda atas keterlambatan pembayaran tidak diperlakukan sebagai bunga.
Aspek perpajakan internasional atas bunga diatur dalam Pasal 11 OECD Model
yang memiliki 6 (enam) ayat. Adapun pengaturan dari masing-masing ayat adalah
sebagai berikut:
17
a. Ayat 1: Menjelaskan bahwa negara domisili dapat mengenakan pajak atas bunga
dan hak pemajakan negara domisili tidak dibatasi.
b. Ayat 2: Merupakan pembatasan atas hak negara sumber untuk mengenakan pajak
atas bunga dengan persentase tertentu dari jumlah pembayaran bunga.
c. Ayat 3: Mengatur tentang definisi bunga.
d. Ayat 4: Mengatur bahwa Pasal 11 tidak dapat diterapkan dalam hal hal pihak yang
menerima pembayaran bunga memiliki PE di negara sumber dan pembayaran
bunga kepada pihak yang menerima pembayaran bunga tersebut memiliki
hubungan efektif dengan PE yang dimilikinya di negara sumber.
e. Ayat 5: Menjelaskan tentang arti ‘arising in’.
f. Ayat 6: Mengatur bahwa dalam hal terjadi pembebanan pembayaran bungan yang
tidak wajar yang terjadi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa,
maka Pasal 11 tidak dapat diterapkan dan mengacu kepada ketentuan perpajakan
domestik negara sumber dan ketentuan lainnya yang terdapat dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda.
Terkait dengan hak pemajakan, masing-masing negara yang mengadakan
perjanjian penghindaran pajak berganda diberi hak pemajakan atas penghasilan bunga.
Pasal 11 ayat (5) OECD Model diatas mengatur bahwa penghasilan bunga akan
dianggap bersumber (arise in) di suatu negara jika:
a. Pihak yang membayar (payer) adalah subjek pajak dalam negeri dari Negara
sumber tersebut.
b. Apabila bunga tersebut dibebankan kepada PE yang berada di salah satu negara
yang mengadakan perjanjian penghindaran penghindaran pajak berganda maka
bunga tersebut dianggap timbul di negara dimana PE tersebut berada tanpa
18
memperhatikan bunga tersebut dibayarkan dari negara mana, sepanjang terdapat
hubungan ekonomis antara pinjaman dan bunga yang dibebankan kepada PE.
3. Royalti
Dalam istilah umum, royalti di didefinisikan sebagai pembayaran untuk
penggunaan aset tidak berwujud (intangible property). Pada saat ini, definisi royalti
juga mencakup pembayaran atas penggunaan hak kekayaan intelektual. Dalam pasal
12 ayat (2) OECD Model, royalti dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk memakai atau hak
memakai seperti Hak cipta atas karya tulis, karya seni atau karya ilmiah, termasuk
film bioskop dan Hak paten, merk dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia
atau proses rahasia.
b. Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas informasi yang berkenaan
dengan pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan,
disebut sebagai know-how.
OECD Model memberikan hak pemajakan sepenuhnya kepada negara domisili
untuk mengenakan pajak atas royalti dan tidak memperbolehkan negara sumber untuk
mengenakan pemotongan pajak atas royalti seperti yang dinyatakan dalam Pasal 12
ayat (1) OECD Model.
2.3 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
2.3.1 pengertian persetujuan penghindaran pajak berganda
menurut Paolini (Paolini, Pistone, Pulina, & Zagler, 2016) Persetujuan
penghindaran pajak berganda adalah suatu perjanjian antara dua negara, yang
menetapkan wewenang pemungutan pajak masing-masing negara atas suatu perjanjian
19
atau kekayaan. Suatu persetujuan yang berlaku mempunyai kedudukan lebih tinggi
dan menggantikan undang-undang pajak nasional dari negara yang bersangkutan.
Dalam hubungan internasional, umum terjadi bahwa dua negara menyatakan
mempunyai wewenanng untuk memungut pajak, yaitu negara dimana orang atau
badan bertempat tinggal atau berkedudukan dan negara dimana penghasilan berasal
atau kekayaan berada. Keadaan ini jelas menjurus pada konflik kewenangan
pemajakan dari kedua negara yang akhirnya menuju pada timbulnya pajak ganda, yaitu
apabila dua negara masing-masing memungut pajak atas penghasilan tersebut, akan
berakibat pajak-pajak yang dibayar menjadi terlalu tinggi, sehingga dapat menjadi
penghambat untuk memperlancar arus barang dan modal antara kedua negara tersebut.
Untuk menghindarkan keadaan yang tidak diinginkan itu, kedua negara haruslah
mencari suatu cara dan cara tersebut lazimnya adalah dengan mencari suatu
persetujuan dibidang perpajakann yaitu persetujuan penghindaran pajak berganda.
Perihal perkembangan sejarah tax treaty sebagaimana dikutip dari buku
Perjanjian penghindaran pajak berganda yang diterbitkan oleh Direktorat Perjanjian
Ditjen Pajak sebagai terjemahan bebas dari model UN, dinyatakan bahwa rancangan
sebagai suatu model untuk memudahkan negara melakukan perundingan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda diperkenalkan pertama kali oleh Liga Bangsa-Bangsa
ditahun 1928 yang kemudian disempurnakan oleh model Mexico 1943 dan London
1946. Selanjutnya, dijelaskan pada tahun 1956 fiscal comittee of the organization for
european economic co-operation merevisi kembali model London. Hasilnya adalah
model OECD 1963. Kemudian model ini diperbaiki lagi dan keluarlah model OECD
1977 menurut Paolini (Paolini , 2016).
20
Dalam rangka untuk penghindaran pajak berganda (avoidance of double
taxatin) dan pencegahan penyelundupan pajak (prevention of fiscal evasion),
Indonesia telah mengadakan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Perjanjian
Perpajakan) dengan negara-negara lain. Perjanjian Perpajakan yang ketentuannya
telah diberlakukan di Indonesia dan di negara mitranya dalam Perjanjian Perpajakan,
antara lain Perjanjian Perpajakan dengan negara-negara di bawah ini :
Tabel II.3
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan Negara lain
No Perjanjian perpajakan dengan
negara lain
Saat berlakunya ketentuan
perpajnjian perpajakan
1 Afrika Selatan 01-01-1999
2 Australia 01-07-1993
3 Austria 01-01-1989
4 Amerika Serikat 01-02-1997
5 Arab Saudi 01-02-1997
6 Belanda 01-01-1989
7 Belgia 01-01-2004
8 Brunei Darussalam 01-01-1975
9 Bulgaria 01-01-1993
10 Ceska 01-01-1997
11 Denmark 01-01-1987
12 Filipina 01-01-1983
13 Finlandia 01-01-1990
14 Hungaria 01-01-1994
15 Inggris Raya 01-01-1995
16 Italia 01-01-1996
17 Jepang 01-01-1983
18 Jerman 01-01-1992
19 Kanada 01-01-1980
20 Korea Selatan 01-01-1990
21 Kuwait 01-01-1999
22 Luxemburg 01-01-1995
23 Malaysia 01-01-1987
24 Mauritius 01-01-1998
25 Mesir 01-01-2003
26 Mongolia 12-01-2001
27 Norwegia 01-01-1991
28 Pakistan 01-01-1991
29 Prancis 01-01-1981
21
30 Polandia 01-01-1994
31 Romania 01-01-2000
32 Rusia 01-01-2000
33 Selandia Baru 01-01-1989
34 Seychelles 01-01-2001
35 Singapura 01-01-1992
36 Slovakia 01-01-2002
37 Sri Lanka 01-01-1995
38 Sudan 01-01-2001
39 Suriah 01-01-1999
40 Swedia 01-01-1990
41 Swiss 01-01-1990
42 Taiwan 01-01-1996
43 Thailand 01-01-1982
44 Tunisia 01-01-1994
45 Turki 01-01-2001
46 Uni Emirat Arab 01-01-2000
47 Ukraina 01-01-1999
48 Uzbekistan 01-01-1999
49 Venezuela 01-01-2001
50 Vietnam 01-01-2000
51 Yordania 01-01-1999
Dengan berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Perpajakan tersebut di
atas, perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap (permanent establishment) dari
perusahaan-perusahaan yang merupakan penduduk (resident) di negara-negara mitra
tersebut, selain didasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, sebagaimana terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, juga didasarkan kepada ketentuan-
ketentuan dalam Perjanjian Perpajakan yang berkenan.
2.2.2 peran OECD Model dan UN Model
menurut (OECD, 2014) dengan adanya penanaman modal asing yang masuk
ke indonesia terutama sejak tahun 1967, pemerintahan mempersiapkan mekanisme
perjanjian/persetujuan perpajakan sebagai antisipasi kebijakan fiskal secara bilateral.
22
Beberapa insentif yang menarik kepada para penanam modal swasta asing termasuk
memberikan termasuk memberikan fasilitas perpajakan pada mulanya Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda merupakan unsur pelengkap kebijakan umum
pemerintah indonesia dibidang penanaman modal asing ,namun tujuan pokoknya
adalah untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda atas modal asing yang
ditanamkan di indonesia. Penggunaan OECD model atau UN model adalah
dimaksudkan sebagai acuan dasar bagi kedua negara yang melakukan perundingan
dalam melakukan negosiasi. Kedua model adalah pilihan terhadap mana model yang
digunakan sebagai acuan oleh masing-masing negara runding. Dalam rangka menjaga
kepentingannya negara-negara maju lebih memilih OECD model sebagai dasar acuan
negosiasi, sebaliknya negara-negara berkembang lebih memilih UN model karena
model ini dipandang lebih memihak kepentingan negara-negara berkembang.
2.3.3 Upaya Menghindari Pajak Berganda
Menurut Mehra (Mehra, 2017) Untuk menghindari pemajakan ganda atas
penghasilan dari berbagai negara, perlu diatur mengenai hak pemajakan di negara-
negara tersebut berdasarkan azas pengenaan pajak. Bila tidak diatur maka akan
membebani dunia usaha, karena harus menanggung beban pajak yang besar dan tidak
seimbang dengan laba atau penghasilan yang diperoleh, bahkan tidak tertutup
kemungkinan menjadi rugi karena persentase pajak lebih besar dari persentase
keuntungan akibat terjadi double taxation. Metode hak pemajakan negara untuk
penghindaran pajak berganda tersebut adalah :
1. Upaya Pemajakan secara Unilateral
Upaya ini mengatur bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan
hukum di dalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional, dan
23
ditetapkan sepihak oleh Negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang
bisa mengatur negara kita karena hal itu merupakan kewibawaan dan kedaulatan
negara kita. Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya PPh Pasal 26
dalam UU PPh. Apabila tidak ada perjanjian tax treaty atau konvensi internasional,
maka negara Indonesia memiliki hak atau kewenangan untuk menetapkan jumlah
pajak terutang terhadap masyarakat internasional atau badan internasional yang
memperoleh pendapatan dari negara Indonesia.
2. Upaya Pemajakan secara Bilateral
Upaya ini dalam penghitungan pemajakannya harus mempertimbangkan perjanjian
kedua negara (tax treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan jumlah pajak
terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah mengadakan
perjanjian. Justru peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku bilamana terdapat tax
treaty.
3. Upaya Pemajakan secara Multilateral
Pendekatan multilateral melibatkan lebih dari dua negara. Secara regional (misalnya
negara-negara Skandinavia), negara yang berada dalam satu kawasan dapat menutup
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda secara bersama-sama. Karena merupakan
kesepakatan bersama, pemberian keringanan pajak berganda dapat lebih bersifat
harmonisasi (atau malahan unifikasi) ketentuan perpajakan masing-masing negara
terkait. Upaya ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang
berada di Indonesia, upaya ini muncul dikarenakan adanya Konvensi Wina pada
tanggal 18 April 1961 yang dihadiri 81 negara di antaranya Indonesia, yang mengatur
tentang kekebalan para diplomat terutama kekebalan perpajakan wakil-wakil
diplomatik.
24
2.3.4 Metode Penghindaran Pajak Berganda
Menurut (Colley , 2016) Dalam upaya menghindarkan pajak ganda dalam tax
treaty, dikenal beberapa metode, seperti :
1. Metode kredit pajak
Dalam metode ini, penghasilan yang berasal dari luar negeri dianggap sebagai objek
pajak. Karenanya, penghasilan tersebut harus digabungkan dengan penghasilan dalam
negeri sehingga besar penghasilan kena pajak terdiri penghasilan dalam negeri dan
luar negeri. Kemudian dalam rangka menggeliminir dampak atas pengenaan pajak
berganda, pajak yang terhutang atau sudah dibayar diluar negeri tersebut dapat
dikurangkan sebagai pengurang pajak terhadap pajak yang terhutang atas penghasilan
kena pajak secara keseluruhan. Metode kredit pajak ini dapat dibedakan dalam kredit
pajak penuh dan kredit pajak biasa.
Contoh kredit pajak penuh :
Wajib Pajak A adalah penduduk negara x,dalam tahun 2010 memperoleh penghasilan
Sebagai berikut :
a) Penghasilan dalam negeri sebesar 200 juta (tarif 30%)
b) Penghasilan luar negeri sebesar 400 juta (tarif 40%)
Dari keterangan ini diperoleh perhitungan sebagai berikut :
Penghasilan dalam negeri = Rp 200.000.000
Penghasilan luar negeri = Rp 400.000.000
Penghasilan kena pajak = Rp 600.000.000
Pajak terhutang 30% x 600.000.000 = Rp 180.000.000
Kredit pajak luar negeri :
Full tax credit 40% x 400.000.000 = Rp 160.000.000
Contoh kredit pajak biasa :
Dengan contoh diatas, perhitungan ordinary tax credit, sebagai berikut :
25
400.000.000/600.000.000 x 180.000.000 = 120.000.000
Jumlah pajak terhutang yang masih harus dibayar :
180.000.000 – 120.000.000 = 60.000.000
2. Metode pembebasan pajak
Pada metode ini penghasilan yang diperoleh dari luar negeri tidak dianggap sebagai
objek penghasilan dalam perhitungan penghasilan kena pajak. Oleh karena itu, hanya
penghasilan yang diperoleh dari dalam negeri saja yang diperhitungkan atau
dikenakan pajak. sementara itu, penghasilan dari luar negeri hanya menjadi objek
pajak di luar negeri saja. Karena itulah metode ini disebut sebagai metode pembebasan
pajak.
Contoh pembebasan pajak :
Data Seperti contoh sebelumnya.
Penghasilan kena pajak = 200.000.000
Pajak terhutang 30% x 200.000.000 = 60.000.000
3. Metode pembebanan pajak sebagai biaya
Dalam metode ini, penghasilan yang diperoleh dari luar negeri tetap diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak. Namun demikian, atas pajak yang
terhutang atau dibayar di luar negeri akan dibebankan sebagai biaya dalam
menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Contoh pembebanan pajak sebagai biaya :
Data seperti contoh sebelumnya.
Penghasilan dalam negeri 200.000.000
Penghasilan luar negeri 400.000.000
Jumlah penghasilan 600.000.000
Biaya pengurangan :
Pajak yang harus dibayar diluar negeri :
26
40% x 400.000.000 160.000.000
Penghasilan kena pajak 440.000.000
Pajak terhutang 30% x 440.000.000 = 132.000.000
2.3.5 Proses Pembentukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Menurut (OECD, 2014) proses pembentukan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda yaitu :
1. Adanya inisiatif dari salah satu negara untuk mengadakan suatu Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda.
2. Pertukaran draft Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Negosiasi akan
dilakukan untuk membahas isi pasal-pasal dari draft Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda.
3. Setelah dicapainya kesepakatan, para negosiator melakukan penandatanganan
draft dan melanjutkannya ke proses ratifikasi.
4. Ratifikasi dilakukan dengan penerbitan peraturan Presiden tanpa melalui
pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah kedua negara meratifikasi dan melakukan pertukaran ratifikasi, biasanya
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda akan berlaku pada tanggal 1 Januari tahun
berikutnya atau sesuai dengan persetujuan.
2.3.6 Berlakunya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Berdasarkan Undang-Undang OECD (OECD, 2014) Saat mulai berlakunya
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dimaksudkan saat kapan ketentuan-
ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dapat dipergunakan oleh subjek
pajak persetujuan secara efektif. Dalam setiap Perjanjian Penghindaran Pajak
27
Berganda, tanggal mulainya berlakunya suatu Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda dinyatakan dalam beberapa bentuk :
1. Secara eksplisit dinyatakan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
2. Saat dimana dihubungkan dengan saat berlakunya Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.
3. Saat dimana dihubungkan dengan saat pemberitahuan nota ratifikasi.
2.3.7 Berakhirnya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Berdasarkan Undang-Undang OECD (OECD, 2014) Pada dasarnnya masa
berlakunya suatu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda tidak disebutkan kapan
berakhirnya sampai suatu saat dihentikan oleh salah satu negara yang terkait atas
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Dalam ketentuannya, OECD Model
menyatakan dalam hal suatu negara ingin mengakhiri suatu perjanjian, maka
sebaiknya diberitahukan terlebih dahulu sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum
berakhirnya suatu tahun pajak atau tahun kalender yang dilakukan melaluli saluran
diplomatik
28
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Tinjauan Umum Perusahaan
3.1.1 Sejarah dan Perkembangan Organisasi
Untuk menjamin terlaksananya pengelolaan pemungutan pajak Negara secara
tertib dan teratur serta semakin bertambahnya jumlah Wajib Pajak, maka dibentuklah
Kantor Inspeksi untuk memungut pajak di daerah khusus Jakarta Raya yang berada di
bawah koordinasi inspeksi daerah Jakarta.
Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing Satu adalah Kantor Pelayanan
Pajak Badan dan Orang Asing (lama) yang struktur organisasinya masih berdasarkan
jenis pajak. Untuk menjamin terlaksananya pengelolaan pemungutan pajak Negara
secara tertib dan teratur serta semakin bertambahnya jumlah Wajib Pajak, maka
dibentuklah kantor Inspeksi untuk memungut pajak di daerah khusus Jakarta Raya
yang berada di bawah koordinasi inspeksi daerah Jakarta.
Inspeksi Pajak untuk Wajib Pajak diterapkan dalam Keputusan Menteri Nomor
KEP-08/KMK/II/1979 tanggal 6 Januari 1972. Kemudian pada tanggal 14 Febuari
1974, Direktur Jenderal Pajak mengesahkan 18 Inspeksi Pajak yang didalamnya
termasuk Inspeksi Pajak Khusus untuk menangani Wajib Pajak Asing. Inspeksi Pajak
Khusus ini kemudian berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Pajak Asing, sehingga
sekitar tahun 1979 didirikannya Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing.
Sebelum diterapkannya sistem administrasi modern, Kantor Pelayanan Pajak
Badan dan Orang Asing adalah Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP
Badora) yang struktur organisasinya masih berdasarkan jenis pajak. KPP Badora
dibagi menjadi KPP Badora Satu dan KPP Badora Dua berdasarkan Keputusan
29
Menteri Keuangan Nomor 587/KMK.01/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP)
Jakarta Khusus, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di
lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib
Pajak Besar. KPP Badora Satu diresmikan dan mulai beroperasi pada tanggal 1
September 2004. Perubahan yang mendasar pada struktur organisasi dan tata kerja di
KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus adalah struktur organisasi dibagun
berdasarkan fungsi, tidak lagi berdasarkan jenis pajak.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-67/PJ/2004
tanggal 29 Maret 2004, Tempat Pendaftaran Bagi Wajib Pajak Tertentu dan/atau
Tempat Pelaporan Usaha Bagi Pengusash Kena Pajak, ditetapkan tugas dan wilayah
kerja KPP Badora Satu adalah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang
berkedudukan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan Orang Asing yang
bertempat tinggal di DKI Jakarta yang berasal dari negara-negara di benua Asia dan
Afrika termasuk Maldives, Cape Verde, Comoros, Mauritius, Saint Helena,
Seychelles, Sao Tome, dan Principe.
Berdasarkan KEP-15/PJ/2008 tanggal 25 Maret 2008 tentang Tempat
Pendaftaran Bagi Wajib Pajak Tertentu dan/atau Tempat Pelaporan Usaha Bagi
Pengusaha Kena Pajak Tertentu pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus,
ditetapkan 1500 Wajib Pajak Tertetntu dan/atau Pengusaha Kena Pajak Tertentu yang
melaporkan usahanya pada KPP Badora Satu.
Pada tahun 2011 terbit Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
20/PJ/2011 tanggal 5 Agustus 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2008 tentang Tempat Pendaftaran bagi Wajib Pajak
Tertentu dan/atau Tempat Pelaporan Usaha bagi Pengusaha Kena Pajak Tertentu yang
30
membuka pendaftaran Wajib Pajak baru di KPP Badora Satu bagi BUT yang
berkedudukan tetap di DKI Jakarta dan Orang Asing yang bertempat tinggal di DKI
Jakarta juga Wajib Pajak yang berasal dari negara-negara di Benua Asia dan Afrika
termasuk Maldives, Cape Verde, Comoros, Mauritius, Saint Helena, Seychelles, Sao
Tome, dan Principe.
Penerimaan pendaftaran Wajib Pajak baru di KPP Badora Satu ditegaskan
kembali dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-
49/PJ/2011 tentang Tempat Pendaftaran dan Pelaporan Usaha bagi Wajib Pajak pada
KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP
Jakarta Khusus dan KPP Madya. Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini menetapkan
bahwa KPP Badora Satu sejak tanggal 30 Desember 2011 menerima pendaftaran bagi
semua BUT dan Orang Asing yang berkedudukan dan/atau berdomisili di DKI Jakarta
tanpa menyebutkan asal negara.
Perubahan nomenklatur nama instasi dari KPP Badora Satu menjadi KPP
Badan dan Orang Asing (KPP Badora) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 29/PMK.01/2012 tanggal 13 Februari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.01/2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
3.1.2 Struktur dan Tata Kerja Organisasi
Struktur organisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing Satu
dibangun berdasarkan fungsi, yaitu dirancang berdasarkan fungsi pelayanan (Seksi
Pelayanan dan Seksi Pengawasan Konsultasi), fungsi penegakan hukum (Seksi
Pemeriksaan dan Seksi Penagihan), dan fungsi pendukung (Sub Bagian Umum dan
Seksi Pengolahan Data dan Informasi), selain itu terdapat bagian Pejabat Fungsionalis
31
Pemeriksa Pajak. Untuk mempermudahnya, struktur organisasi di Kantor Pelayanan
Pajak Badan dan Orang Asing Satu digambarkan sebagai berikut :
Gambar III.I
Struktur organisasi kantor pelayanan pajak badan orang asing satu kalibata
1. Bagian Umum
Bagian ini bertugas untuk melakukan urusan kepegawaian, keuangan, tata usaha,
dan rumah tangga dan bantuan hukum.
2. Seksi Pengolahan Data dan Informasi
Bagian ini memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengumpulan, pencarian
dan pengolahan data, pengamatan potensi perpajakan, penyajian informasi
perpajakan, perekaman dokumen perpajakan, pelayanan dukungan teknis
komputer, pemantauan aplikasi e-SPT dan e-Filing, serta penyiapan laporan
kinerja.
Kepala kantor pelayanan pajak
Sub bagian umum
Seksi
pengolahan data
dan informasi
Seksi
pelayanan
Seksi
pemeriksaan
Seksi
penagihan
Seksi
pengawasan
dan konsultasi
Kelompok pejabat
fungsional pemeriksaan
pajak
32
3. Seksi Pelayanan
Bagian ini memiliki tanggung jawab untuk melakukan penetapan dan penerbitan
produk hukum perpajakan, pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan,
penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan serta penerimaan surat lainnya,
penyuluhan perpajakan, pelaksanaan registrasi Wajib Pajak, pelaksanaan
ekstensifikasi, serta melakukan kerjasama perpajakan.
4. Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Bagian ini bertugas untuk melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak, bimbingan/himbauan kepada Wajib Pajak dan konsultasi
teknis perpajakan, penyusunan profit Wajib Pajak, analisis kinerja Wajib Pajak,
melakukan rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka melakukan intensifikasi,
serta melakukan evaluasi hasil banding. Pada KPP Badora Satu terdapat 4 (empat)
Seksi Pengawasan dan Konsultasi dengan penugasan berdasarkan sektor usaha
Wajib Pajak.
5. Seksi Pemeriksaan
Bagian ini memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyusunan rencana
pemeriksaan, pengawasan pelaksanaan aturan pemeriksaan, penerbitan dan
penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak, serta administrasi pemeriksaan
perpajakan lainnya.
6. Seksi Penagihan
Bagian ini memiliki tanggung jawab untuk melakukan urusan penatausahaan
piutang pajak, penundaan dan angsuran tunggakan pajak, penagihan aktif, usulan
penghapusan piutang pajak, serta penyimpanan dokumen-dokumen penagihan,
serta administrasi penagihan lainnya.
33
7. Kelompok Fungsional Pemeriksa Pajak
Bagian ini bertugas untuk melakukan pemeriksaan pajak, yang meliputi
pemeriksaan lengkap, pemeriksaan sederhana, dan pemeriksaan dalam rangka
penagihan.
3.1.3 Kegiatan Organisasi
Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing Satu mempunyai tugas yang
bergerak sesuai dengan fungsi pajak, yaitu :
1. Penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan.
2. Penyuluhan perpajakan.
3. Pelaksanaan registrasi wajib pajak.
4. Pelaksanaan pemeriksaan pajak.
5. Pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak.
6. Pelaksanaan konsultasi perpajakan.
7. Pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan.
8. Penerimaan dan pengolahan SPT, serta penerimaan surat lainnya.
9. Penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
3.2 Hasil Penelitian
3.2.1 Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Menjalankan
Kegiatan Usaha Di Indonesia Pada Kpp Badan Orang Asing Satu
Kalibata
Perlakuan perpajakan bagi WP yang menjalankan kegiatan usahanya dijelaskan
pada pasal 2 ayat 1a UU PPH bahwa bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang
34
perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak. Yang menjadi dasar
hukum dan peraturan yaitu UU nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan.
Yang menjadi syarat WP yang menjalankan kegiatan usahanya yaitu :
1. Adanya suatu tempat usaha.
2. Yang bersifat tetap (permanen).
3. Yang digunakan SPLN.
4. Untuk menjalankan usaha atau kegiatan usaha.
3.2.2 Penerimaan Pajak Yang Dikenakan Oleh Wajib Pajak Luar Negeri Yang
Menjalankan Kegiatan Usaha Pada Kpp Badan Orang Asing Satu
Kalibata
Data penerimaan pajak yang penulis dapatkan dari kpp badan orang asing dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Tabel III.1
Data penerimaan pajak tahun 2015-2017
Nama 2015 2016 2017
Jasa Pendidikan 129.906.979.944 117.101.208.975 119.082.759.327
Wajib Pajak KLU Error 463.227.059.483 127.782.055.299 (41.814.045.950)
Jasa Profesional, Ilmiah dan Teknis 613.529.261.886 627.738.242.708 513.090.728.932
Industri Pengolahan 420.798.378 383.481.386 342.543.404
4.685.414.194 1.069.169.823 7.678.675.717
Informasi dan Komunikasi 18.938.356.955 19.697.521.786 1.008.417.119.529
Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air
Panas dan Udara Dingin 15.823.766.266 92.729.002.736 10.182.277.352
Jasa Keuangan dan Asuransi 586.285.559.557 733.301.682.495 887.092.329.265
35
Kebudayaan, Hiburan dan Rekreasi 1.583.381.514 1.603.715.951 1.373.553.414
Konstruksi 1.403.684.903.564 1.268.717.398.271 1.345.368.729.607
Transportasi dan Pergudangan 268.561.732.857 292.172.624.655 390.240.023.472
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 13.688.121.389 5.201.859.516 6.124.833.524
Jasa Persewaan, Ketenagakerjaan,
Agen Perjalanan dan Penunjang
Usaha Lainnya
135.929.714.853 123.300.902.146 120.366.764.517
Kegiatan Jasa Lainnya 414.717.448.570 678.918.685.791 800.303.299.742
Kegiatan Badan Internasional dan
Badan Ekstra Internasional Lainnya 11.519.635.119 38.171.221.952 26.946.170.708
Perdagangan Besar dan Eceran;
Reparasi dan Perawatan Mobil dan
Sepeda Motor
33.558.742.512 42.655.299.996 42.229.833.661
Pertambangan dan Penggalian 51.385.627.809 39.376.133.965 144.513.760.711
Pertanian, kehutanan, dan
perikanan - 49.200 100.000
TOTAL 4.167.476.544.850 4.209.920.256.651 5.381.539.656.931
Berdasarkan tabel III.1, untuk penerimaan pajak lebih besar yaitu pajak
konstruksi mencapai 4.017.771.031.442 jika ditotalkan selama 3 tahun. Alasan kenapa
pajak konstruksi lebih besar yaitu sumber penghasilannya berasal dari pph 21/23, ppn,
dan pph 26 ayat (4).
Tabel III.2
Data realisasi dan target penerimaan pajak tahun 2015-2017
Tahun Target Penerimaan pajak Capaian
2015 5.127.794.711.778 4.167.476.544.850 81,27%
2016 5.588.061.873.066 4.209.920.256.651 45,79%
2017 5.349.421.000.000 5.381.539.656.931 97,38%
36
Berdasarkan tabel III.2, untuk tahun 2015 dan 2016, penerimaan pajak belum
tercapai karena terhambatnya proses administrasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi.
Untuk tahun 2017, penerimaan pajak sudah tercapai.
Rencana untuk kedepannya supaya KPP badora bisa mencapai target lebih baik
lagi yaitu :
1. pembenahan administrasi, yaitu know your tax office dalam 1 aplikasi
pengawasan, restitusi kedutaan besar dan organisasi internasional, dan surat
keterangan bebas.
2. Intensifikasi, yaitu himbauan penggalian potensi, pemeriksaan khusus atas WP
potensial, optimalisasi tindakan penagihan aktif
3. Ekstensifikasi, yaitu optimalisasi tim ekstensifikasi melalui pencarian data dan
pemanfaatnya.
3.2.3 Metode Cara Yang Ditempuh Untuk Menghindari Pajak Berganda Di
Indonesia
Karena indonesia adalah negara berkembang, maka negara indonesia
menggunakan metode OECD model, model ini lebih mengedepankan asas sumber
penghasilan, karena mereka umumnya yang menggunakan jasa dan yang menerima modal
dari luar negeri, sehingga model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara
yang memberi penghasilan. Namun demikian, model OECD dan UN tidaklah dapat
berdiri sendiri, karena tergantung kesepakatan kedua negara yang mengadakan perjanjian
tersebut. Untuk menghindari terjadinya pajak berganda, maka negara Indonesia
menganut metode penghindaran pajak berganda dengan kredit pajak terbatas (ordinary
37
tax credit) yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh yaitu pengkreditan pajak luar negeri
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk Indonesia di luar negeri.
Wp tidak wajib mengikuti P3B karena P3B merupakan hak wp.
Syarat untuk mengikuti P3B yaitu :
1. adanya surat keterangan domisili.
2. adanya persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam
persetujuan penghindaran pajak berganda telah dipenuhi
3. tidak terjadi penyalahgunaan oleh persetujuan penghindaran pajak berganda
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan
persetujuan penghindaran pajak berganda.
38
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlakuan perpajakan sangat penting untuk wp yang menjalani kegiatan
usahanya dengan syarat-syarat ketentuan dan peraturan yang dijelaskan dari
data tersebut supaya WP tersebut mudah memahami perlakuan, ketentuan, dan
peraturan pajak pada KPP badan orang asing satu kalibata.
2. selama 3 tahun penerimaan pajak mengalami kenaikan sebanyak
5.381.539.656.931 dan penerimaan pajak terbanyak terdapat pada konstruksi
yaitu sebanyak 1.345.368.729.607. untuk target penerimaan pajak dari tahun
2015-2016 belum tercapai karena terhambatnya proses administrasi,
intensifikasi, dan ekstensifikasi. Untuk tahun 2017, penerimaan pajak sudah
tercapai. Rencana untuk kedepannya supaya KPP badora bisa mencapai target
lebih baik lagi yaitu pembenahan administrasi ,intensifikasi, dan
ekstensifikasi.
3. Dalam pencegahan pajak berganda ini, dalam tax treaty dikenal United Nation
(UN) Model dan Organization for Economic Co-operation and Development
(OECD) Model. Negara-negara berkembang cenderung memakai united
nation (UN) Model, sedangkan negara maju memakai Organization for
Economic Co-Operation and Development (OECD) Model. Indonesia
menggunakan model sendiri dalam mengadakan perjanjian penghindaran
39
pajak berganda mengombinasikan kedua model United Nation (UN) maupun
Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) dengan
menyesuaikannya kepada UU PPh. Diklasifikasikan sebagai metode kredit
pajak pembatasan apabila pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri yang
dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dibatasi tidak boleh melebihi batas
maksimum yang diperkenankan oleh undang-undang domestik dari suatu
negara. Pengkreditan pajak luar negeri ini merupakan refleksi kebijakan
netralitas ekspor kapital yang secara berkelanjutan dianut oleh Indonesia.
Seperti negara berkembang lainnya, sudah selayaknya Indonesia melindungi
pasaran investasi domestik agar tidak ditinggal para pemodal domestik.
4.2. Saran
Dari kesimpulan yang telah diperoleh tersebut, perlu kiranya untuk
disampaikan beberapa saran sebagai masukan, antara lain :
1. Kpp Badan dan Orang Asing Satu Kalibata harus mampu melihat prospek
perekonomian ke depan, sehingga dalam pengenaan pajak dan pengaturannya
dalam tax treaty dapat mencegah terjadinya pajak berganda, pengelakan pajak
dan bahkan penyelundupan pajak. Dan kebijakan pemerintah Indonesia dalam
pembuatan tax treaty diharapkan akan membantu investor asing yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia dengan perlindungan hukum dan
pengenaan pajak yang tepat sehingga mampu pula meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
2. Sumber daya manusia dalam bidang perdagangan dan perekonomian harus
mampu mengejar ketertinggalannya terutama akibat krisis moneter, agar
mampu bersing dengan pengusaha asing, terutama dalam pemahaman dan
40
pengetahuan yang mendalam lagi mengenai tax treaty apabila ingin
mengembangkan usahanya dan menjalin kerja sama dalam perdagangan
barang dan jasa dengan pihak luar negeri, terutama dalam perdagangan
internasional yang semakin berkembang pesat dewasa ini.
3. Kpp Badan dan Orang Asing Satu Kalibata harus segera melaksanakan
deregulasi dan debirokratisasi dalam bidang perdagangan terutama dalam
bidang perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara untuk
kemandirian bangsa Indonesia serta peningkatan sumber daya manusia aparat
perpajakan Indonesia.