bab i pendahuluan latar belakangrepository.ub.ac.id/111553/2/bab_i.pdf · 2 begitu luas, sehingga...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengaturan narkotika berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), bertujuan untuk menjamin
ketersediaan kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, pencegahan
penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh
aparat penegakan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan hakim di sidang
pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan dapat menangkal merebaknya
peredaran perdagangan narkotika, tapi dalam kenyataan justru semakin intensif
dilakukan penegak hukum, semakin meningkat pula peredaran perdagangan
narkotika tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking industry), merupakan
bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional
(Activities of Transnational Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan
lainnya, yaitu, smuggling of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear
material, transnational criminal organizations and terrorism, trafficking in body
parts, theft and smuggling of vehicles, money laundering.1
Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi,
pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan
terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional
dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya
1Prof. sudarto, S.H, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986
1
2
begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime,
white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan, dengan
menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.
Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dari Pecandu yang
ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat. Bahkan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor:
143), tanggal 12 Oktober 2009, selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Narkotika yang menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor . 22
Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena
sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah
bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah
banyak menimbulkan Pecandu, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga
Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi
dan memberantas tindak pidana tersebut2. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan
penutup pasal 153 Undang-Undang Narkotika, bahwa dengan berlakunya Undang-
2 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
3
Undang Narkotika, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Pemerintah menilai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1997 ini
tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara
kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun
secara substansial, Undang-Undang Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan
yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu.
Kalau dilihat sejarah lahirnya Undang-Undang Narkotika, bahwa kenapa
Undang-Undang ini dirubah, berarti ada sebuah kekurangan, sehingga Undang-
Undang tersebut perlu dirubah karena bermacam hal. maka perlu pengkajian tentang
hal ini, bahwa dengan lahirnya Undang-Undang ini apa dampak bagi masyarakat
Indonesia, karena hukum atau Undang-Undang sebagai mobilitas masyarakat,
pastilah sangat berdampak terhadap kehidupan baik itu berdampak positif mupun
berdampak negatif, pastilah ada pro dan kontra dari lahirnya Undang-Undang yang
baru ini sebagai perubahan dari Undang-Undang yang lama tentang narkotika yang
juga saat kegagalan dalam penerapannya.
Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial
generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunaanya
merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan
3 Kusno Adi, Deversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Pers, Malang, 2009, Hlm.7-9
4
dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi
penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Dalam BAB
IV pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Narkotika menjamin ketersediaan narkotika guna
kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain dalam BAB
XI pasal 64 ayat (1) dan pasal 70-72 Undang-Undang Narkotika mengatur mengenai
pencegahan peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya
penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika.
Peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak
pidana narkotika sangat diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah
satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan
modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta dilakukan secara terorganisir
(or ganizeci crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational crime).4 Tindak
pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
(Undang-Undang Narkotika), memberikan sanksi pidana cukup berat, di samping dapat
dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya
para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan
sanksi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para
pelakunya. Gejala atau fenomena terhadap penyalahgunan narkotika dan upaya
penanggulangannya saat ini sedang mencuat dan menjadi perdebatan para ahli
hukum. Penyalahgunaan narkotika sudah mendekati pada suatu tindakan yang sangat
membahayakan, tidak hanya menggunakan obat-obatan saja, tetapi sudah meningkat
4 Peredaran Gelap Narkotika1988 (United Nation Convention Againts IllicitTraffic on Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988).
5
kepada pemakaian jarum suntik. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, telah
berupaya untuk meningkatkan program pencegahan dari tingkat penyuluhan hukum
sampai kepada program pengurangan pasokan narkotika.
Dari berbagai sumber pemberitaan di media massa, biasanya para pengedar
narkotika dalam menjalankan aksinya mengedarkan narkotika untuk berbagai jenis
apapun menggunakan cara yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Misalnya
ada yang menjual narkotika secara langsung kepada pembeli, ada yang mengedarkan
Narkotika kepada anak-anak dibawah umur dengan cara memasukan bahan narkotika
ke dalam makanan atau minuman yang kemudian dijual ke lingkungan sekolah-
sekolah, ada pula pengedar yang menggunakan jasa perantara orang lain (kurir) untuk
mengedarkan narkotika kepada pemakai (USER), biasanya ini adalah seorang bandar
besar yang mampu mendapatkan narkotika dalam jumlah besar, dan hal ini dilakukan
secara terorganisir dan professional. Kemudian ada yang memanfaatkan kecanggihan
teknologi yaitu handphone dengan cara para pengedar memberikan nomor
handphone kepada para pelanggan untuk memesan Narkotika lewat telepon maupun
lewat Short Message Service (SMS). Tingkat penyalahgunaan dan peredaran
narkotika di wilayah kota Malang pada saat ini sudah sangat tinggi, dan terus
menerus mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Hal ini tentu saja sangat
meresahkan dan membuat khawatir masyarakat, terutama bagi para orang tua yang
memiliki anak pada usia remaja yang memang menjadi sasaran empuk para pengedar
narkotika.
Berikut ini adalah data yang diperoleh dari BNN Kota Malang mengenai
kasus narkotika yang terjadi pada tahun 2011-2012:.Walaupun sudah banyak kasus
6
narkotika yang terungkap dan pelakunya tertangkap seperti contoh pada data di atas,
namun tetap saja tindak pidana penyalahgunaan narkotika terjadi di masyarakat,
dengan pelaku yang residivis maupun pelaku-pelaku yang baru dalam tindak pidana
penyalahgunaan narkotika. Inilah yang menjadi permasalahan hukum mengapa para
pelaku kejahatan narkotika tidak juga menjadi jera walau sudah pernah tertangkap
dan menjalani proses hukum serta hukuman penjara pidana oleh pihak yang
berwajib.5
Seperti contoh kasus yang baru-baru ini terjadi di kota Malang6 selama
periode tahun 2011-2012, 55 kasus telah ditangani. Di antaranya 46 kasus narkotika,
3 kasus psikotropika dan 6 oker baya. Dengan tersangka sebanayak 74 orang, yakni
71 tersangka laki-laki dan 3 tersangka perempuan. Berdasarkan kelompok usia
tersangka, antara 18 sampai dengan usia 25 tahun sebanyak 22 orang, antara 26
sampai dengan usia 35 tahun sebanyak 32 orang, antara 36 sampai dengan usia 45
tahun sebanyak 13 orang dan diatas usia 45 tahun sebanyak 7 orang. Jika digolongkan
menurut profesinya, mahasiswa dan wiraswasta masing-masing sebanyak 3 orang,
swasta sebanyak 63 orang, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik
Indonesia (POLRI) sebanyak 2 orang, petani sebanyak 1 orang dan pengangguran
sebanyak 2 orang. Sementara barang bukti (BB), berupa ganja seberat 1071,6 gram,
shabu-shabu seberat 69,12 gram, LL sebanyak 2188 butir dan diazepam sebanyak
5Data Survey Awal Dari Bnnk (Badan Narkotika Nasional Kota Malang), 2011/2012
6http: //www.malangraya.info/2011/07/26/204704/1121/kasus-Narkotika-di-kota-malang-meningkat / , Selasa, 26 Juli 2011 – 20:47, diakses 2 Oktober 2012.
7
1178 butir.7 Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwasanya penyalahgunaan
narkotika tidak hanya dilakukan oleh golongan atau kalangan tertentu melaiankan
semua bisa menyalahgunakannya. Selian itu ternyata di dalam penjara, seorang
narapidana masih dapat menyimpan dan mengkonsumsi narkotika. Hal ini diketahui
pada saat BNNK (Badan Narkotika Nasional Kota Malang) melakukan tes urin di
lingkungan LAPAS. Hal ini mengindikasikan bahwa masih lemahnya pengawasan
serta sistem birokrasi yang ada dalam lembaga pemasyarakatan.
Situasi dan kondisi wilayah hukum Polresta Malang saat ini memang perlu
diwaspadai, terutama terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Apalagi jika
melihat kondisi wilayah kota Malang yang cukup luas, dan memiliki tingkat
kepadatan penduduk yang cukup tinggi dengan berbagai latar belakang kehidupan
dan profesi yang berbeda-beda, sehingga sangat dimungkinkan untuk banyak terjadi
kasus kejahatan terutama tindak pidana penyalangunaan narkotika, baik itu pengguna
narkotika, pengedar narkotika, maupun tindakan lain yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana penyalahgunaan narkotika sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Narkotika.
Tentu bukan hal mudah bagi aparat kepolisian untuk menanggulangi kejahatan
penggunaan narkotika, terutama bagi Satuan Reskriminal narkotika (RESKOBA)
polresta Kota Malang. Dibutuhkan kerjasama dan peran aktif oleh seluruh elemen
masyarakat untuk membantu kinerja aparatur baik dari pihak kepolisian maupun
lembaga non kementerian seperti BNNK (Badan Narkotika Nasional Kota Malang),
7Ibid. tabel
8
Dalam Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika
(P4GN) yang sesuai dengan BAB XIII pada pasal 104-108 Undang-Undang
Narkotika dan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2011, (Inpres No 12 tahun 2011)
tentang Strategi dan kebijakan Badan Narkotika Nasional. Selama ini hasil
pengungkapan kasus narkotika, hampir 100% penangkapan tersangka narkotika di
lakukan seluruhnya oleh jajaran kepolisian serta BNNK sebagai perantara informasi
dan advokasi permaslahan kasus Narkotika secara preventif, dan kebanyakan hanya
pihak polri yang aktif, sedangkan untuk penangkapan berdasarkan laporan
masyarakat masih jarang terjadi dan sangat kurang sekali.8
Untuk membantu kinerja aparat kepolisian dan BNNK (Badan Narkotika
Nasional Kota Malang) dalam Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan Dan
Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) , maka pemerintah berkomitmen membentuk
suatu lembaga baru yang khusus untuk menangani permasalahan-permasalahan
narkotika sesuai dengan Undang-Undang Narkotika yaitu BNN (Badan Narkotika
Nasional) ini berkedudukan di pusat, di ibukota Negara yaitu Jakarta. Namun untuk
memperlancar kinerja didaerah-daerah, maka dibentuk sub kelembagaan yang sama
ditingkat provinsi, kota, dan kabupaten yaitu BNNP (Badan Narkotika Nasional
Provinsi), BNNK (Badan Narkotika Nasional Kota/ Kabupaten).9
Badan Narkotika Nasional Kota Malang dalam pelaksanaan Pencegahan,
Pemberantasan, Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) yang sesuai
8Iptu Didik Suharmadi, Dialog Interaktif di Radio Mas FM Malang, 28 April 2011.www.google.com diakses tanggal 9 september 2012
9UU no 35 tahun 2009, tentang Narkotika dan lembaga BNN non kementerian.
9
dengan pasal 70 huruf d Undang-Undang Nakotika dan Instruksi Presiden Nomor 12
tahun 2011 tentang Strategi dan kebijakan Badan Narkotika Nasional dan usaha penal
serta non penal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009
melalui tugas dan wewenang BNN, adalah sebagai tindakan alternatif yang dilakukan
atau dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasional Kota Malang (BNNK).10
Untuk mengatasi masalah pecandu sesuai yang telah diatur dalam undang-
undang Narkotika pada BAB IX pasal 53 dan 54 yang masih minim pengobatan dan
rehabilitasi. Turunnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2011 (PP No.25 Tahun
2011) Tentang Wajib Lapor Bagi Penyalahguna Narkotika, merupakan wujud
komitmen negara untuk mengakomodir hak pecandu dalam mendapatkan layanan
terapi dan rehabililtasi, Intinya, para penyalahguna tidak perlu khawatir untuk
melaporkan dirinya ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang telah ditunjuk
pemerintah, karena dengan payung hukum pasal 54 Undang-Undang Narkotika serta
PP No.25 Tahun 2011 dan Permenkes RI No. 1305 dan 2171 tahun 2011 ini, para
penyalahguna tidak akan dijebloskan ke dalam penjara jika terbukti hanya
mengkonsumsi narkotika, namun justru akan mendapatkan layanan rehabilitasi.11
Upaya penanganan penyalahguna narkotika dipandang penting mengingat
masih banyaknya kendala dalam pelaksanaan proses rehabillitasi khususnya bagi
pecandu narkotika yang tengah menjalani proses hukum, Pasal 54 dan 56 Undang-
Undang Narkotika mengatur kewajiban pecandu untuk melakukan rehabilitasi. Baik
rehabilitasi medis maupun sosial yang harus dijalani oleh para pecandu narkotika
10 Inpres No.12 tahun 2011
11 PP no 25 tahun 2011 tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika
10
diharapkan agar dapat membuat mereka kembali sehat, produktif, terbebas dari
perbuatan kriminal, dan terhindar dari ketergantungan terhadap narkotika, dan masa
menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan
sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak
lagi melakukan penyalahgunaan narkotika.12
Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dalam Peraturan Pemerintah Nomor
25 tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika, salah satu hal
yang mendapat perhatian adalah terkait dengan pelaksanaan wajib lapor pecandu
narkotika yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah sebagai upaya
untuk memenuhi hak pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Tujuan dari pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika adalah untuk
mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam meningkatkan
tanggung jawab terhadap Pecandu narkotika yang ada di bawah pengawasan dan
bimbingannya, selain itu pelaksanaan wajib lapor juga sebagai bahan informasi bagi
pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. Sehubungan dengan hal tersebut,
Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan kejelasan serta menguraikan
secara tegas mengenai Institusi Penerima Wajib Lapor dari pecandu narkotika serta
bagaimana tata cara pelaksanaan wajib lapor, sehingga tujuan yang diharapkan dapat
12Op. cit Pasal 54 dan 56
11
tercapai secara optimal untuk mendukung keberhasilan upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.13
Hal yang mendapatkan perhatian khusus dalam PeraturanPemerintah tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ini adalah terkait dengan pelaporan
serta monitoring dan evaluasi yang dimaksudkan agar pelaksanaan wajib lapor dapat
berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain hal tersebut di atas, Peraturan Pemerintah
tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ini juga memuat ketentuan
mengenai rehabilitasi pecandu narkotika, serta ketentuan mengenai pendanaan
kegiatan wajib lapor pecandu narkotika.
Dengan didukung oleh keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 1305 tahun 2011 tentang penetapan institusi penerima wajib lapor (IPWL),
serta Nomor 2171 tahun 2011 tentang tata cara wajib lapor pecandu narkotika, hal ini
diharapkan dapat mendukung kebijakan dalam penanganan kasus pengguna
narkotika, yaitu menyediakan layanan rehabilitasi medis dan sosial yang layak serta
IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) sesuai dengan keputusan menteri kesehatan
dan keputusan menteri sosial dapat dilakukan untuk menerima pecandu yang akan
melaporkan diri, dalam hal ini institusi yang di tunjuk bisa siap baik dari segi sumber
daya manusia yang menjalaninya, maupun instrumen kebijakan sesuai surat
keputusan. Pemerintah lebih serius dalam menjalankan penanganan rehabilitasi untuk
pecandu penyalahgunaan narkotika yang tersangkut masalah hukum, serta melakukan
13Kusno Adi. Diversi Sebagai upaya alternative penanggulanagan tindak pidana Narkotika oleh anak, Umm
Press, 2009, Hlm. 23
12
langkah-langkah konkrit atau nyata dalam mendukung dekriminalisasi pecandu
narkotika.
.Usaha non penal dalam menanggulangi kejahatan sangat berkaitan dengan usaha
penal. Usaha non penal ini dengan sendirinya akan sangat menunjang
penyelenggaraan peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pencegahan atau
menanggulangi kejahatan harus dilakukan pendekatan integral yaitu antara sarana
penal dan non penal.14 Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dan mengingat
bahwasanya upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, Dengan demikian, dilihat dari sudut
politik kriminal secara makro dan global, upaya-upaya non penal menduduki posisi
kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal, maka penulis tertarik
untuk mengangkat sebagai Skripsi dengan judul:“IMPLEMENTASI REHABILITASI PECANDU NARKOTIKA DALAM
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA SEBAGAI UPAYA NON PENAL BADAN
NARKOTIKA NASIONAL”.
(Studi Badan Narkotika Nasional Kota Malang)
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana implementasi rehabilitasi pecandu Narkotika dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai
upaya non penal Badan Narkotika Nasional?
14Sudarto, kapita selekta hukum pidana, 1981, hlm. 118
13
2. Bagaimana mekanisme Badan Narkotika Nasional dalam penanganan
rehabilitasi terhadap pencandu narkotika?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisa hasil Implementasi rehabilitasi dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
sebagai upaya non penal Badan Narkotika Nasional dan mekanisme
penanganan rehabilitasi sesuai dengan PP no. 25 tahun 2011 dan Permenkes RI
nomor. 1305 dan 2171 tahun 2011 dalam pencegahan, pemberantasan,
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dilakukan Badan
Narkotika Nasional Kota Malang.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah rehabilitasi medis dan sosial
oleh badan Narkotika nasional yang sudah dilakukan oleh Institusi Penerima
Wajib Lapor (IPWL) pecandu narkotika dalam pencegahan, pemberantasan,
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, sesuai dengan upaya non penal
dalam Undang-Undang Narkotika.
3. Untuk mengetahui fungsi dan tujuan rehabilitasi medis dan sosial oleh Badan
Narkotika Nasional terhadap pecandu, serta upaya non penal dalam
penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Badan Narkotika Nasional Kota
Malang.
D. MANFAAT PENELITIAN
14
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk dapat menghasilkan konsepsi secara deskriptif tentang bagaimana
implementasi rehabilitasi pecandu narkotika dalam Undang-Undang
Narkotika sebagai upaya non penal Badan Narkotika Nasional dalam
pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika yang dilakukan Badan Narkotika Nasional Kota Malang.
b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum
kepidanaan.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Penulis, Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wacana dan
wawasan keilmuan bagi penulis sendiri yang berkaitan dengan tindak
pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
b. Bagi Akademisi, Untuk memperkaya wawasan pengetahuan akademisi di
bidang hukum pidana khususnya tentang bagaimana keefektifan dalam
implementasi rehabilitasi sebagai upaya non penal dalam menanggulangi
kejahatan terhadap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
c. Bagi Pihak Kepolisian, Bagi pihak kepolisian diharapkan penulis ini dapat
menjadi informasi tambahan dalam melaksanakan berbagai upaya dalam
menaggulangi tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika.
15
d. Bagi Pihak Badan Narkotika Nasional Kota Malang (BNNK), Diharapkan
penulisan ini dapat menjadi informasi yang berguna dalam mendukung
upaya-upaya yang dilakukan oleh BNNK Kota Malang Untuk
mencegahan, memberantasan, penyalahgunaan, peredaran gelap dan tindak
pidana kejahatan narkotika di kota Malang.
e. Bagi Masyarakat, Diharapkan penulisan skripsi ini dapat menambah
wawasan bagi masyarakat mengenai narkotika, dan bahaya yang
ditimbulkan apabila mengkonsumsi narkotika, serta ancaman hukumanya.
Sehingga dapat mengurangi jumlah tindak pidana penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika di kota Malang.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Guna memperoleh hasil penulisan yang sistematis dan mudah untuk dipahami,
maka diperlukan suatu tata penulisan yang benar. Adapun tata penulisan dalam
proposal ini akan dijabarkan dan dirinci dalam bab-bab dan sub bab sebagai
berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab 1 ini akan berisi uraian mengenai latar belakang pentingnya
permasalahan yang diangkat dalam penulisan proposal ini, memuat rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab II ini, merupakan kerangka dasar teori untuk dapat menganalisa
pada bab yang selanjutnya. Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai kajian
16
umum tentang narkotika, kajian umum mengenai Badan Narkotika Nasional,
Badan Narkotika Nasional Provinsi, dan kajian umum mengenai Badan Narkotika
Nasional Kota, Kajian Umum Mengenai Badan Narkotika Nasional Kota Malang
serta kajian umum tentang upaya non penal dan Kajian Umum mengenai Teori
Implementasi hukum.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab III ini menguraikan Metode penelitian yang digunakan penulis dalam
melakukan penelitian mulai dari jenis penelitian, metode pendekatan penelitian,
alasan pemilihan lokasi penelitian, jenis dan sumber data penelitian, teknik
pengumpulan data, populasi dan sample, serta teknik analisa data penelitian yang
digunakan penulis.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini merupakan pembahasan atas permasalahan pokok dalam
penelitian hukum ini. Dalam bagian pertama akan dibahas mengenai gambaran
secara umum tentang narkotika dan lokasi penelitian yaitu Kantor Badan
Narkotika Nasional Kota Malang. Selanjutnya akan dibahas mengenai
implementasi rehabilitasi pecandu Narkotika Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai upaya non penal Badan
Narkotika Nasional dalam pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika yang dilakukan Badan Narkotika Nasional Kota
Malang, kesesuaian rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional sebagai upaya non
17
penal dalam melaksanakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika tersebut,
dan solusi untuk mengatasi kendala tersebut, realita tindak pidana penyalahgunaan
narkotika di kota Malang, serta implementasi rehabilitasi sebagai upaya non penal
Badan Narkotika Nasional Kota Malang (BNNK) dalam pencegahan,
pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, sesuai dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 yang dilakukan di
Kota Malang.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab
sebelumnya sekaligus saran yang berisi beberapa masukan yang diharapkan
menjadi perimbangan bagi pihak-pihak yang terkait.