bab i pendahuluan - sinta.unud.ac.id bab i.pdf · pemerintahan hampir beragam dan universal, serta...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Desentralisasi pemerintah daerah dipandang dalam konteks keseluruhan
pemerintahan, menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi masyarakat lokal.
Manfaat pemerintah daerah itu baru akan nampak bila pemerintah daerah mampu
mengatur penyediaan barang publik sesuai dengan selera dan preferensi
masyarakat lokal didalam pengelolaannya. Untuk itu sejumlah ahli di bidang
pemerintahan berpendapat bahwa dengan pemberian otonomi daerah maka
pemerintah daerah harus diberi kekuatan yang memadai dari sisi pengelolaan
pajak daerah agar mampu membiayai tanggung jawab pengeluaran mereka, dan
tidak berkepanjangan bergantung pada hibah dari pemerintah pusat (Peter, 2006).
Dalam pembicaraan pemerintah daerah para ahli di bidang pemerintahan
bahkan senantiasa merujuk pada tiga nilai dasar yang dapat memenuhi struktur
pemerintahan daerah, yakni: a) otonomi : di sini alasan yang dikemukakan adalah
bahwa keberadaan pemerintahan daerah akan mampu mencegah konsentrasi
kekuasaan politik berlebihan, yang kemungkinan terjadi perbedaan pilihan politik
di lokasi berbeda, b ) demokrasi : di sini alasan yang dikemukakan adalah bahwa
pemerintahan daerah dapat diharapkan mampu mendorong setiap warga
keterlibatan aktif dalam pemerintahan, c ) efektivitas : di sini alasan yang
dikemukakan adalah bahwa struktur pemerintahan daerah yang efisien mampu
menyediakan berbagai layanan sesuai dengan kebutuhan daerah.
2
Selama sebelum ada pemerintahan daerah ini, penekanan nilai-nilai dasar
yang dimaksudkan di atas itu berbeda-beda dan bervariasi dari waktu ke waktu.
Kondisi tersebut dibuktikan melalui laporan yang dipersiapkan oleh L.J Sharpe
(Pawel, 2003) untuk Komite Keuangan Pemerintah Daerah di Inggris – Layfeld.
Menurut L.J Sharpe sejak tahun 1960-an nilai efektivitas dalam pemerintahan
daerah lebih mendominasi dan dikawal seperti sekarang, sementara penekanan
nilai otonomi dan demokrasi diprioritaskan setelah periode itu. Itulah yang
menjadi penyebab sistem demokrasi nampak tidak begitu berkembang dengan
baik selama periode itu.
Nilai efektifitas yang ditekankan dalam pemerintahan daerah
memungkinkan pengambil keputusan dalam desentralisasi lebih dekat dengan
hasil keputusan mereka, bahkan juga terbantu dalam memprediksi efek atas
keputusan yang harus mereka buat dan lebih lanjut keputusan yang dibuat itu
mendukung alokasi sumber daya secara efektif. Pemerintahan daerah
memungkinkan persaingan yang lebih baik atas kebijakan yang dibuat dengan
preferensi dan kondisi lokal. Efektivitas mendapat dukungan baik obyektif dan
subyektif (kebijakan yang lebih dekat dengan preferensi pemilih) bahkan dapat
dilihat sebagai contoh positif dari berbagai solusi dalam mempromosikan inovasi
dan difusi (pembauran). Pemerintahan daerah adalah fitur dari semua negara
anggota Uni Eropa hingga sekarang, meskipun diantara negara-negara tersebut
banyak memiliki perbedaan. Alasan menonjol yang perlu dicatat bahwa
keberadaan pemerintah daerah adalah sebagai sebuah solusi atas masalah yang
terkait dengan barang publik lokal. Sementara banyak barang publik selain
3
pertahanan nasional, seperti; taman lokal, penerangan jalan dan batas geografis
yang dimiliki daerah dimanfaatkan sangat terbatas oleh pemerintah daerah.
Keuntungan utama yang dipetik dari keberadaan pemerintahan daerah
yaitu ketersediaan barang dan jasa bagi masyarakat lokal dimungkinkan untuk
disesuaikan dengan mengikuti selera dan preferensi warga setempat. Alex (1945)
menyatakan bahwa berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat
lokal dapat saja tidak sesuai dengan apa yang disediakan oleh pemerintah secara
terpusat. Namun demikian di negara-negara dengan legislator yang sangat terpusat
wajib memberikan keseragaman karakter pada hukum, walaupun tidak selalu
sesuai dengan keragaman kabupaten dan adat. Oates (1972) secara resmi
mengungkap bahwa desentralisasi amat menguntungkan bagi pemerintah daerah,
dengan memberi pernyataan yang dipaparkan sebagai berikut. Untuk barang
publik – seperti konsumsi masyarakat secara keseluruhan di suatu bagian
geografis – sejumlah barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah di
wilayah yurisdiksi masing-masing, selalu lebih efisien (atau setidaknya efisien)
daripada disediakan oleh pemerintah pusat yang memberikan sejumlah barang dan
jasa tertentu dan seragam di semua wilayah hukum. Menurut Oates (2005)
implikasi rancangan yurisdiksi dari pemerintah daerah haruslah didasarkan pada
struktur barang publik lokal yang bermanfaat bagi daerah.
Menurut Brian (2009) keuangan pemerintah daerah ini ditinjau dari latar
belakang tren global yang terjadi akhir-akhir ini, haruslah lebih terarah ke
desentralisasi sektor publik seperti yang terjadi di banyak negara. Tren ini
didorong oleh berbagai kekuatan ekonomi, politik dan sosial, bahkan tidak sedikit
4
upaya untuk memenuhi perbedaan kebutuhan lokal dan regional di banyak negara
maju dan berkembang, serta mengatasi kegagalan negara transisi yang terpusat di
negara sosialis. Sebagai konsekuensi dari tren ini, perlu kesepakatan besar dari
upaya yang diarahkan pada sistem pemerintahan desentralisasi dalam merancang
masalah keuangan yang efisien dan adil. Namun, dihampir semua kasus, tanggung
jawab desentralisasi untuk tingkatan pemerintahan yang lebih rendah terutama
pemerintah daerah, belum disertai dengan desentralisasi yang sesuai dengan
dukungan kemampuan keuangan. Kecukupan finansial bagi pemerintah daerah
yang tidak hanya membutuhkan kekuatan tambahan untuk memungut pajak
daerah, tetapi juga kebebasan untuk menentukan biaya lokal dan sumber-sumber
pendapatan lokal lain. Konsekuensi utama dari kegagalan pemerintah nasional
untuk mendesentralisasikan kapasitas fiskal telah memperparah krisis dalam
keberlanjutan keuangan dibanyak sistem pemerintah daerah, terutama kota
pedesaan.
Brian (2009) juga menyatakan bahwa alasan spesifik kesulitan finansial
yang muncul dalam sistem pemerintah daerah antara negara-negara berbeda, serta
antara yurisdiksi pemerintah daerah di suatu negara yang juga berbeda, secara
umum dapat ditelusuri dan dikembalikan melalui kedua faktor umum berikut.
a) Pertama, ketidakseimbangan fiskal vertikal yang ada dalam sistem
pemerintahan hampir beragam dan universal, serta fakta menunjukkan
pengumpulan pendapatan pajak yang besar biasa dilakukan oleh
pemerintah nasional, bahkan melebihi persyaratan pengeluaran lembaga
pemerintahan pusat. Alasan utama yang dikemukakan adalah
5
ketidakseimbangan struktur fiskal yang ada bertumpu pada pemungutan
pajak berskala ekonomi besar. Menurut Brian (2009) karena Pemerintah
pusat memiliki kebutuhan yang berlebihan dibandingkan dengan
pendapatan dan sebaliknya, ini berarti kebutuhan untuk transfer fiskal
antara tingkatan pemerintahan pun menjadi berbeda. Untuk mengatasi hal
itu Brian (2009) menganjurkan tiga jalan yang mungkin dapat digunakan,
yakni: sharing pajak, transfer keuangan dari pusat dan/atau pemerintah
provinsi, dan melimpahkan kekuasaan pajak. Ketiga cara itu memperjelas
bahwa jika sejumlah dana yang ditransfer ke pemerintah daerah melalui
tiga metode tersebut tidak memadai, maka masalah keuangan akan
dikembangkan di pemerintahan lokal bilamana penyediaan layanan saat ini
harus dipertahankan. Hal ini sangat relevan dalam situasi di mana fungsi
tambahan ditransfer ke pemerintah daerah tanpa penyertaan dana
tambahan, sebagai akibat dari kebijakan desentralisasi.
b) Kedua, persoalan yang sama dengan ketidakseimbangan fiskal vertikal,
yakni kebanyakan sistem pemerintahan juga menunjukkan
ketidakseimbangan fiskal horizontal. Ketidakseimbangan fiskal horizontal
yang dimaksud, yaitu kondisi yang menggambarkan di mana pemerintah
daerah memiliki karakteristik dalam penggalangan pendapatan dan
pengeluaran yang berbeda-beda. Singkatnya, beberapa pemerintah daerah
ada yang “kaya” dan yang lain “miskin”, dengan pemerintah daerah
pedesaan yang kecil, di mana yang dikatagorikan terakhir ini sering
mengalami kebangkrutan. Implikasi yang dimunculkan yakni penyediaaan
6
pelayanan kepada masyarakat lokal yang tidak sepadan.
Brian (2009) lebih lanjut menyatakan ketidakseimbangan fiskal horizontal
dilihat dari yuridiksi pemerintah daerah banyak menimbulkan masalah, yangmana
hal ini diketahui melalui berbagai tingkat pentransferan fiskal. Sejumlah
ketidakseimbangan fiskal horizontal bagaimanapun juga jika lebih dintensifkan di
bawah desentralisasi maka akan memperburuk kesenjangan antara pemerintah
daerah yang berbeda.
Di Indonesia, pola perkembangan pemerintahan daerah sebelum tahun
1998 mengalami perubahan sejak era reformasi bergulir setelah tahun 1998.
Fenomena tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan sentralisasi
menjadi desentralisasi (otonomi daerah). Kebijakan tersebut tertuang dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 2, Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diganti dengan UU. Nomor 32, Tahun 2004. Kebijakan otonomi daerah
itu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam naungan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang semakin kokoh,
melalui strategi pelayanan kepada masyarakat yang semakin efektif dan efisien,
dan adanya akselerasi pertumbuhan serta perkembangan potensi daerah yang
semakin cepat. Dalam bahasa yang lebih sederhana dikatakan mewujudkan
pembangunan yang lebih adil dan lebih merata. Masing masing daerah otonom
didorong dan dipacu untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri, sesuai
kewenangan yang diberikan untuk mengelola potensi daerah masing masing.
Dalam rangka pelaksanaan pelayanan publik di daerah, instrumen utama
yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah melalui Anggaran Pendapatan dan
7
Belanja Daerah (APBD). Dalam APBD yang direncanakan setiap tahun yang
utama ditampilkan adalah sumber-sumber pendapatan daerah, disamping alokasi
belanja yang digunakan dalam pelaksanaan program/kegiatan. Pendapatan daerah
adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang
menambah ekuitas dana lancar, dan merupakan hak pemerintah daerah dalam satu
tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah (UU. Nomor 33,
Tahun 2004). Pendapatan daerah yang dimaksud di sini bersumber dari
penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah pusat,
dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (Kementrian Keuangan- RI, 2014).
Untuk melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah di
Indonesia pada tahun 2014, dapat ditelaah dari APBD 2014 secara agregatif,
maupun terpisah antara provinsi dengan kabupaten/kota. Uraian ini dimaksudkan
untuk melihat kontribusi pendapatan daerah Bali melalui pajak, terhadap
perekonomian Indonesia yang bersumber dari pendapatan daerah provinsi.
Sumber: Kementrian Keuangan RI, APBD, 2014 (data diolah).
Gambar 1.1.
Komposisi Pendapatan Daerah, APBD 2014 ( Juta Rupiah)
8
Pada Gambar 1.1 disajikan pendapatan daerah yang masih didominasi oleh dana
perimbangan yang bersumber dari transfer pemerintah pusat, yaitu mencapai
sebesar Rp 482,22 triliun (63,49 persen). Sementara itu PAD dan lain-lain
pendapatan daerah yang sah masing-masing hanya mencapai sebesar Rp 180,35
triliun (23,75 persen) dan sebesar Rp 96,91 triliun (12,76 persen).
Gambaran rasio pendapatan daerah berdasarkan data APBD tahun 2014 di
kabupaten, kota, dan provinsi di beberapa wilayah disajikan pada Gambar 1.2.
Secara agregat fakta menunjukkan daerah yang mempunyai rasio PAD
dibandingkan dengan total pendapatan daerah yang tertinggi adalah daerah-daerah
di wilayah Jawa dan Bali, yaitu mencapai 37,36 persen. Hal ini menandakan
tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
40% Jawa-Bali 35%
30%
25%
20% Kalimantan Sumatra 15% Sulawesi NTT-Maluku Papua 10%
5%
0%
Sumber: Kementrian Keuangan RI, APBD 2014 (Data diolah).
Gambar 1.2.
Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah
37,36
%
15,66
%
18,83
%
14,14
%
7,08
%
9
Pada Gambar 1.3 dapat dilihat tingkat pertumbuhan total pendapatan
daerah beserta komponen PAD. Tren pertumbuhan total pendapatan tahun 2010-
2014 menunjukkan Provinsi Banten adalah provinsi yang memiliki rata-rata PAD
paling tinggi, yaitu mencapai 26,69 persen. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI
Jakarta yang mencapai 25,74 persen, dan Provinsi Jawa Barat yang mencapai
22,33 persen. Sedangkan Bali menduduki posisi kedelapan yakni mencapai 20
persen. Peningkatan PAD tersebut diperkirakan banyak mendorong antara lain;
30% Banten DKI-Jakarta
25% Jawa Barat 20% Bali
15%
10%
5%
0%
Sumber: Kementrian Keuangan RI, APBD 2014 (Data diolah).
Gambar 1.3
Rata-Rata Pertumbuhan Pendapatan Daerah Per Agregat Provinsi,
Kabupaten Dan Kota
antara lain oleh keberadaan kebijakan penguatan kewenangan perpajakan daerah,
pertumbuhan ekonomi, upaya penggalian PAD oleh daerah.
Pajak daerah yang biasa dinyatakan dengan pajak adalah kontribusi wajib
pajak kepada daerah yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
26,69%
Ranking
1
25,74%
Ranking
2 22,33%
Ranking
3
20,00%
Ranking
8
10
kemakmuran rakyat (Kesit, 2003). Dalam UU. Nomor 28, Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah, dinyatakan sebagai berikut,bahwa penguatan perpajakan daerah
dapat dilakukan, antara lain melalui pemberian diskresi penetapan tarif dan
pendaerahan beberapa jenis pajak baru. Hasil dari perubahan kebijakan penguatan
perpajakan daerah itu terlihat dari peningkatan PAD mulai tahun 2010 sampai
dengan 2014 yang mencapai 22,1 persen secara rata-rata.
Menurut UU. Nomor 28, Tahun 2009 kebijakan pajak daerah memberikan
kewenangan kepada daerah Pemerintah provinsi untuk memungut 5 jenis pajak
dan pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis
pajak, yang penjelasan selengkapnya disajikan pada BAB II. Dengan adanya
pengalihan kewenangan pemungutan pajak tersebut kepada daerah, diharapkan
akan menambah peluang bagi daerah untuk melakukan pemungutan secara lebih
optimal.
Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi perbandingan jumlah
penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam satu
tahun digunakan rasio pajak. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio pajak
dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar
pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki.
PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat menggambarkan
kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi daerah baik itu
menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut.
Ilustrasi mengenai rasio pajak secara agregat provinsi, kabupaten dan kota
11
pada 33 provinsi seluruh Indonesia disajikan pada Gambar 1.4. Secara agregat,
rata-rata pajak yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun
kabupaten dan kota hanya 1,9 persen dari PDRB non migas. Provinsi Bali
memiliki rasio pajak tertinggi, yaitu sebesar 5,3 persen. Provinsi Bali mencapai
tertinggi karena didukung oleh posisi Provinsi Bali sebagai daerah tujuan wisata,
yang memiliki basis pajak (atau kepemilikan dan/atau penguasaan atas objek
pajak) yang cukup besar terutama dari pajak perhotelan, restoran dan sarana
hiburan lain. Provinsi lain selain Bali yang memiliki rasio pajak di atas rata-rata
nasional, adalah: Kalimantan Selatan, Maluku (3,5 persen), Banten (3,0 persen),
Maluku, Gorontalo (2,8 persen) dan Provinsi lain dibawah (2,8 persen), sesuai
dengan data yang disajikan pada Gambar 1.4.
4,0% Bali 3,5%
Banten
3,0% Maluku & Gorontalo
2,5%
2,0% Rerata 1,9%
1,5%
1,0%
0,5%
0,0%
Sumber: Kementrian Keuangan RI, APBD 2014 (Data diolah).
Gambar: 1.4
Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten Dan Kota
Rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing - masing
2,8%
3,5%
2,8%
12
wilayah provinsi, disajikan pada Gambar 1.5. Rata-rata pajak yang dipungut oleh
pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia sebesar 0,53 persen dari PDRB non
migas. Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37
persen. Data itu mempunyai pengertian bahwa upaya perluasan objek pajak dan
pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU. Nomor 28
Tahun 2009 telah memberikan efek positif kepada penguatan perpajakan daerah.
Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali menunjukkan angka
yang paling tinggi, yaitu sebesar 3,4 persen. Sebagai daerah tujuan wisata, sumber
penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor pariwisata seperti Pajak Hotel,
Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, sehingga potensi penerimaan pajaknya
menjadi lebih tinggi dibanding daerah lain.
3,5% Bali
3,0%
2,5%
2,0%
1,5% Banten
Yogyakarta Maluku/MalukuUtara/Riau 1,0%
0,5% Rerata 0,53 %
0,0%
Sumber: Kementrian Keuangan RI, APBD 2014 (Data diolah).
Keterangan: Tidak termasuk DKI-Jakarta.
Gambar 1.5
Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten Dan Kota Se Provinsi
Pada Gambar 1.6 disajikan data tentang rata-rata pajak yang dipungut oleh
3,4%
1,2 %
0,9 % 0,8 %
13
pemerintah provinsi sebesar 1,4 persen dari PDRB non migas. Untuk seluruh
pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Provinsi
Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 3,1 persen. Sedangkan untuk Provinsi Bali
mencapai 2,2 persen atau diposisi ke empat dibandingkan dengan daerah lain. Ini
berarti kontribusi pajak ditingkat provinsi masih cukup besar karena berada di atas
rata-rata nasional.
3,5% Kalimantan
Selatan 3,0% Maluku DKI-Jakarta
2,5% Bali/Gorontalo 2,0%
1,5% Rerata 1,4%
1,0%
0,5%
0,0%
Sumber: Kementrian Keuangan RI, APBD 2014 (Data diolah).
Gambar 1.6
Rasio Pajak Provinsi
Pendapatan daerah Provinsi Bali ditentukan melalui Peraturan Daerah
(Perda) Provinsi Bali Nomor 14, Tahun 2009. Pada Perda ini tertera bahwa
Provinsi Bali memiliki sumber PAD yang membentuk penerimaan daerah, antara
lain pajak daerah yang dikelola provinsi seperti pajak kendaraan bermotor.
Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam upaya meningkatkan PAD
memanfaatkan sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial, yakni sumber–
sumber yang dapat digali sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan
3,1%
2,7% 2,6%
2,2%
14
yang berlaku baik Pajak dan Retribusi daerah. Semakin tinggi kewenangan
keuangan yang dimiliki daerah, semakin tinggi peranan PAD dalam struktur
keuangan daerah, begitu pula sebaliknya. Pemerintah Daerah Provinsi Bali
memiliki potensi PAD yang diperkirakan masih banyak belum dikelola secara
maksimal dan dalam ukuran jumlah terus meningkat secara signifikan setiap
tahun, tetapi belum maksimal digali karena ada faktor keterbatasan. Di era
otonomi daerah adalah waktu yang tepat untuk mengoptimalkan pajak daerah ini.
Menurut Mangku Pastika (Metro Bali, 2014) pajak memiliki peran yang
sangat penting dalam pembangunan daerah, karena PAD daerah Provinsi Bali
ditopang oleh pajak daerah. Mangku Pastika juga mengapresiasi usaha Kanwil.
Dirjen. Pajak Bali yang berupaya melakukan ekstensifikasi pajak yaitu berupa
perluasan basis wajib pajak atau objek pajak terutama objek pajak kendaraan
bermotor (UU. Nomor 33 Tahun 2004), dan upaya lain seperti peningkatan mutu
pelayanan pajak kepada masyarakat. Sebagai hasil dari upaya itu Kanwil. Dirjen.
Pajak Bali telah mampu melampaui target perolehan pajak yang ditetapkan
pemerintah, yakni mencapai sebesar Rp 5.054 triliun atau 103 persen (Antara
News, 2014). Setelah berhasil menembus target penerimaan pajak pada tahun
2012, Kanwil. Ditjen. Pajak Bali pada tahun 2013 ini kembali mampu melampaui
target yang ditetapkan dengan jumlah penerimaan pajak senilai Rp 6.768 triliun
atau meningkat 40 persen dari penerimaan tahun 2012 (Inspirasi Bangsa, 2013).
Mangku Pastika (Antara News, 2014) juga menyatakan selama ini
pendapatan Pemerintah Daerah Provinsi Bali mengandalkan Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB). Disamping itu perlu dipikirkan sumber-sumber lain untuk
15
meningkatkan pajak daerah, misalnya penerapan pajak progresif kendaraan
bermotor di Bali dan lain-lain. Apabila pajak ini diberlakukan maka diperkirakan
akan mampu menambah pendapatan sekitar 5 – 7 persen per tahun. Dengan
menggali berbagai sumber potensial yang ada di daerah Bali maka target
pendapatan di tahun-tahun berikut dapat dimaksimalkan.
Pajak progresif adalah pajak yang sistem pemungutannya dengan cara
menaikkan persentase pajak yang harus dibayar sesuai dengan kenaikan objek
pajak. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, paling tidak ada 2 (dua) jenis pajak
yang menerapkan sistem pajak progresif, yaitu (i) Pajak Penghasilan; dan (ii)
Pajak Kendaraan Bermotor. Tujuan pengenaan tarif pajak progresif pajak
kendaraan bermotor, selain untuk menambah potensi penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), juga ditujukan untuk mengurangi tingkat kemacetan karena jumlah
kepemilikan kendaraan bermotor lebih dari satu (Indarto, 2014).
Suarjana (2014) sebagai Kadispenda menegaskan rencana penerapan pajak
progresif di daerah Provinsi Bali dengan mempertimbangkan realitas yang ada,
yakni kendaraan bermotor yang ada di daerah ini secara keseluruhan belum
terdaftar sebagai objek wajib pajak hingga tahun 2014. Suarjana (2014) bahkan
mensinyalir basis pajak kendaraan bermotor masih banyak yang belum
didaftarkan oleh pemilik kendaraan, dikarenakan dalam proses pelaksanaan jual
beli kendaraan banyak yang tidak dilaporkan sehingga menyulitkan pendataan
kendaraan ini dengan tepat. Tarif pajak progresif di daerah Bali diberlakukan
untuk kendaraan bermotor roda empat saja dengan nilai pajak untuk kendaraan
bermotor yang pertama 1,5 persen, kedua 2 persen, ketiga 2,5 persen, keempat 3
16
persen, kelima dan seterusnya 3,5 persen. Obyek pajak yang dikenakan pajak
progresif adalah kendaraan bermotor pelat hitam atau pribadi seperti sedan, jeep,
station wagon, minibus, kabin ganda dan pikup. Khusus kendaraan bermotor yang
berpelat merah, kendaraan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) serta kendaraan umum mendapatkan pengecualian
dari pajak progresif. Pengenaan pajak tersebut atas kepemilikan kendaraan
bermotor didasarkan kesesuaian kepemilikan dengan nama dan alamat yang sama.
Sementara itu, khusus kendaraan roda dua belum akan dikenakan pajak
progresif, namun untuk selanjutnya menurut Suarjana perlu dikaji ulang untuk
dikenakan pajak progresif, dengan pertimbangan jumlah jenis kendaraan itu
sudah sangat banyak. Suarjana menyatakan pula bahwa saat ini mungkin belum
perlu, tetapi jika ada pertimbangan lain sepertinya perlu juga dikaji.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS-Bali, 2014), pada 2013
jumlah kendaraan bermotor di daerah Bali ini sebanyak 440 ribu unit. Jenis
kendaraan bermotor yang masuk katagori kena pajak progresif dimasing-masing
kabupaten/kota disajikan pada Tabel 1.1. Jumlah kendaraan bermotor terbanyak
pada tahun 2013 berdasarkan data pada Tabel 1.1 ada di Kota Denpasar (55,04
persen), disusul tempat kedua Kabupaten Badung (12,84 persen) dan Kabupaten
Gianyar ditempat ketiga (9,39 persen), ditempat keempat Kabupaten Tabanan
(7,86 persen) dan kabupaten lain mencapai persentase dibawah 7 persen. Dengan
data tersebut jelas jumlah kendaraan bermotor yang terkena pajak progresif
sebagian terbesar beroperasi di daerah Bali Selatan. Sampai dengan akhir tahun
2014 jumlah kendaraan bermotor yang termasuk dikenakan pajak progresif belum
17
diketahui secara tepat, karena diperkirakan masih banyak anggota masyarakat
yang belum mendaftarkan kembali kendaraan yang dimiliki.
Tabel 1.1
Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kena Pajak Progresif Per
Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2013
Kabupaten
/Kota
Jumlah
(Unit) (%)
Jenis Kendaraan (Unit)
Sedan Jeep Minibus Pickup
Jembrana
8 326 2.22 463 509 4 383 2 971
Tabanan
29 413 7.86 2 434 2 908 15 042 9 029
Badung
48 075 12.84 6 227 5 153 29 153 7 542
Gianyar
35 151 9.39 2 508 4 187 20 460 7 996
Klungkung
8 222 2.20 506 741 4 374 2 601
Bangli
7 101 1.90 241 497 2 098 4 265
Karangasem
10 138 2.71 321 560 5 568 3 689
Buleleng
21 883 5.84 1 613 1 476 10 887 7 907
Denpasar
206 022 55.04 25 531 25 543 122 228 32 720
B a l i
374 331 100.00 39 844 41 574 214 193 78 720
Sumber :Bali Dalam Angka, 2014.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor di daerah Bali diyakini
berdampak pada PAD Provinsi Bali selama tahun 2010 – 2014. PAD Provinsi
Bali berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 1.2 menunjukkan peningkatan
setiap tahun. Kontribusi pajak kendaraan bermotor terhadap PAD Provinsi Bali
pada tahun terakhir (2014) mencapai tertinggi yaitu 33,33 persen dibandingkan
dengan tahun 2013. Menurut Suarjana (2015) pemerintah daerah dalam upaya
18
meningkatkan kembali penerimaan dari sektor pajak pada tahun 2015, dapat
dilakukan dengan melakukan perbaikan kualitas pelayanan kepada wajib pajak.
Bentuk perbaikan yang dimaksud antara lain Samsat On-Line, yang bertujuan
mempermudah wajib pajak dalam pembayaran pajak. Khusus pajak progresif atas
kendaraan bermotor ini Suarjana (2014) mengakui bahwa penerimaan dari pajak
progresif memang memiliki andil dalam peningkatan pajak daerah, akan tetapi
dari besaran nilai kontribusi pajak tersebut masih tergolong relatif kecil.
Tabel 1.2
Perkembangan PAD Dan Pajak Kendaraan Bermotor Di Provinsi Bali
Tahun 2011-2014
Tahun Realisasi
PAD
(Triliun Rp)
Realisasi
PKB
(Triliun Rp)
PKB/PAD
(%)
2011 1.7 0.5 29,41
2012 2.1 0.6 28,57
2013 2.2 0.7 31,81
2014 2.4 0.8 33,33
Sumber:Dispenda. Provinsi Bali, Tahun 2011s/d 2014.
Menurut Mankiw (2000) Ketika tarif pajak menigkat, pendapatan
pemerintah dari pajak pada awalnya meningkat dengan meningkatnya tarik pajak.
Akan tetapi dalam jangka panjang justru dapat mengurangi pendapatan
pemerintah karena semakin besar pajak memperkecil ukuran pasar dan
menimbulkan gangguan insentif yang lebih terasa, dan kerugian beban bakunya
semakin besar. Pajak menimbulkan “kerugian beban baku” karena pajak
19
menyebabkan konsumsi pembeli lebih sedikit dan prosuksi penjual juga lebih
sedikit, dan perubahan pada perilaku ini menyusutkan ukuran pasar di bawah
tingkat yang memaksimumkan surplus total. Penurunan surplus total yakni
jumlah surplus konsumen, surplus produsen dan pendapatan pemerintah dari pajak
disebut kerugian beban baku akibat pajak. Pajak yang dikenakan pada barang
mengurangi kesejahteraan para pembeli dan para penjual barang, dan penurunan
surplus konsumen dan produsen biasanya lebih besar dari pada pendapatan yang
diperoleh pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam teori perpajakan pemungutan pajak tidak saja bergantung kepada
perubahan – perubahan ekonomi yang terjadi di masyarakat maupun adanya
perbedaan – perbedaan dalam perekonomian daerah, tetapi juga bergantung
kepada kemampuan administrasi pemungutan pajak daerah. Dengan diberlakukan
pajak progresif atas kendaraan bermotor di Provinsi Bali tentu memunculkan
berbagai reaksi dari masyarakat terutama bagi wajib pajak (WP) pemilik
kendaraan bermotor. Tanggapan masyarakat yang dimaksud antara lain
berkenaan dengan kemungkinan basis pajak, prilaku konsumtif, kepatuhan
pembayar pajak dalam membayar dan perkiraan pendapatan daerah provinsi Bali
yang bersumber dari pajak dari wajib pajak (WP).
Dengan berbagai fenomena yang dikemukakan di atas, maka dalam
penelitian ini diajukan masalah sebagai berikut.
20
1) Bagaimanakah pengaruh peningkatan beban pajak progresif, terhadap
kemungkinan kepemilikan dan /atau penguasaan (basis pajak) dari WP
kendaraan bermotor di Provinsi Bali?
2) Bagaimanakah pengaruh peningkatan beban pajak progresif, terhadap
perilaku konsumtif WP kendaraan bermotor di Provinsi Bali?
3) Bagaimanakah pengaruh peningkatan beban pajak progresif dan perilaku
konsumtif, terhadap kepatuhan WP membayar pajak di Provinsi Bali?
4) Bagaimanakah pengaruh peningkatan beban pajak progresif, kepatuhan
membayar pajak, terhadap perkiraan pendapatan daerah yang bersumber
dari pajak dari WP di Provinsi Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang disajikan berikut disesuaikan dengan masalah
yang diajukan, dan dinyatakan sebagai berikut.
1) Untuk menganalisis pengaruh peningkatan beban pajak progresif, terhadap
kemungkinan kepemilikan dan /atau penguasaan (basis pajak) kendaraan
bermotor dari WP di Provinsi Bali.
2) Untuk menganalisis pengaruh peningkatan beban pajak progresif,
terhadap perilaku konsumtif WP kendaraan bermotor di Provinsi Bali.
3) Untuk menganalisis pengaruh peningkatan beban pajak progresif dan
perilaku konsumtif, terhadap kepatuhan membayar pajak dari WP di
Provinsi Bali.
21
4) Untuk menganalisis pengaruh peningkatan beban pajak progresif dan
kepatuhan dalam membayar pajak, terhadap perkiraan pendapatan daerah
yang bersumber dari pajak oleh WP di Provinsi Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara garis besar penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut.
1) Manfaat Teoritis.
Penelitian ini sebagai media dalam mengaplikasikan teori ekonomi
terutama teori pembangunan daerah, perpajakan, dengan masalah riil di
masyarakat seperti pemberlakuan pajak progresif atas kendaraan bermotor
oleh Pemerintah Provinsi Bali.
2) Manfaat praktis
Hasil penelitian diharapkan mampu memberi sumbang pemikiran
dalam bentuk hasil analisis pemberlakukan pajak progresif kepada
masyarakat wajib pajak, sehingga dapat menjadi masukan dalam
penyusunan kebijakan perpajakan bagi instansi berwenang. Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat memberi tambahan informasi, sebagai
rujukan kepada peneliti lain, dalam pengembangan ilmu ekonomi.