bab i pengantar a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71307/potongan/s2...2 cerita...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pertunjukan wayang merupakan sebuah media untuk
menuturkan cerita yang hebat. Hal ini dikarenakan cerita
pertunjukan wayang kulit menceritakan peristiwa kepahlawanan
yang di dalamnya mengandung pesan-pesan atau nilai-nilai
kehidupan. Adapun cerita-cerita yang menjadi sumber repertoar
pertunjukan wayang berasal dari sejarah, cerita roman, cerita
setengah sejarah, kitab suci, maupun dongeng yang mengandung
cerita mitologi Jawa. Pertunjukan wayang kulit sebagai sebuah
pertunjukan boneka yang menceritakan sebuah dongeng juga
diungkapan Brandon dalam bukunya Theatre in Southeast Asia
yang telah diterjemahkan oleh R.M. Soedarsono menjadi Jejak-
jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. Brandon berpendapat
bahwa pada awalnya, pertunjukan wayang merupakan
pertunjukan boneka yang dimainkan oleh seorang dalang yang
menceritakan sebuah dongeng dengan diiringi beberapa instrumen
gamelan.1 Pertunjukan wayang yang pada awalnya memakai cerita
dongeng kemudian berkembang mengambil cerita Murwakala,
1 James R. Brandon, Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. Terj.
R. M. Soedarsono (Bandung: P4ST UPI, 2003), 63. Lihat pula: Claire Holt, Melacak Jejak-jejak Seni di Indonesia. Terj. R. M. Soedarsono (Bandung:
arti.line, 2000), 174.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
cerita Ramayana, cerita Mahabarata, cerita Panji, cerita
Damarwulan, cerita Amir Hamsyah, dan sebagainya sebagai
repertoarnya.2
Berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia, wayang kulit
purwa Jawa merupakan jenis wayang yang paling tua dan masih
eksis sampai saat ini. Keberadaan pertunjukan wayang kulit
purwa Jawa paling tidak sudah ada sejak tahun 840 M dengan
ditemukannya kata haringgit pada prasati Kuti.3 Pertunjukan
wayang kulit purwa Jawa pada abad XI M, zaman Airlangga
bahkan sudah mampu membangkitkan emosi penontonnya dan
menjadi pertunjukan yang populer. Keberadaan pertunjukan
wayang pada abad XI M tersebut dapat ditemukan dalam kitab
Arjunawiwaha karangan mpu Kanwa, sarga V, pupuh Cikharini,
pada ke 9 yang berbunyi :
Anânonton ringgit manangis asěkěl mudha hiděpan huwus wruh towin ya(n) walulang inukir molah angucap atur ning wwa(ng) trsnêng wisaya malahā tan wi(hi)ka[nhi]na r<i> tattwan(y)a-n (m)āyā sahana-hana ning bhāwa siluman.4
Artinya : Ada orang melihat wayang menangis sesenggukan, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit
2 James R. Brandon, 2003, 64-65. 3 Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif
Arkeologi Seni (Surakarta: ISI Press Solo, 2008), 34.
4 I Kuntara Wiryamartana, Arjunawiwaha Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa (Yogyakarta: Duta
Wacana University Press, 1990), 81. Lihat pula: Hazeu dalam Soetarno, Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan Hiburan (Surakarta: STSI Press, 2004), 1.
Solichin, Wayang Masterpiece Seni Budaya Dunia (Jakarta: Sinergi Persadatama
Foundation, dan Sheila Offset, 2010), 80.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu upamanya orang yang bernafsu
dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu
hanyalah bayangan seperti sulap, sesunggguhnya hanya semu saja.”5
Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa yang pada awalnya
dilaksanakan secara langsung (live), seiring perkembangan dan
kemajuan teknologi mengalami perkembangan dalam bentuk
siaran radio. Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa dalam bentuk
siaran radio diperkirakan sudah ada sejak pertengahan abad XX.
Dalang yang diperbolehkan siaran pada saat itu adalah dalang
yang mempunyai reputasi baik di mata masyarakat seperti Ki
Pujasumarta, Ki Arjacarita, Ki Nartasabda, dan Ki Anom Suroto.6
Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa dapat dinikmati
melalui audio tanpa melihat pertunjukannya secara langsung
disebabkan adanya konvensi tradisional yang berlaku7 yang
disebut dengan pakêm pedalangan.8 Pakêm pedalangan yang
5 Soetarno, dan Sarwanto, Wayang Kulit dan Perkembangannya
(Surakarta: ISI Press Solo, dan C. V. Cendrawasih, 2010), 5. Lihat pula: R.
Soetrisno, “Sekedar Pengetahuan Tentang Wayang”, Manuskrip, 1. 6 Wawancara dengan Soetarno, pada tanggal 28 Maret 2012.
7 Lihat: Aris Wahyudi, “Bima dan Drona dalam Lakon Dewa Ruci (Ditinjau dari Analisis Strukturalisme Lévi-Strauss)”, Disertasi untuk
memenuhi sebagian untuk mencapai derajat doktor, Program Studi Pengkajian
Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2011, 97. 8 Pakêm pedalangan berdasarkan golongannya dibagi menjadi tiga jenis
yaitu pakêm gancaran, pakêm balungan, dan pakêm pedalangan. Pakêm gancaran adalah sebuah pedoman di bidang cerita yang bentuknya mirip
dengan cerita roman dalam karya sastra, maupun dalam bentuk têmbang.
Pakêm balungan adalah cerita pendek yang berisi susunan adegan, penokohan,
dan pokok-pokok peristiwa. Pengertian pakêm pedalangan adalah panduan
teknis bagi calon dalang yang oleh keraton digunakan sebagai sarana
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
dimaksud dalam tulisan ini adalah panduan teknis bagi calon
dalang yang oleh keraton digunakan sebagai sarana melestarikan
estetika pedalangan. Panduan teknis tersebut menyangkut
bangunan pertunjukan, struktur adegan, sabêt, catur, sulukan,
iringan pakeliran, dan lakon.9 Pakêm pedalangan tersebut
didasarkan pada aturan-aturan yang diberlakukan oleh sekolah
dalang pertama. Sekolah-sekolah tersebut antara lain Padhasuka
(Pasinaon Dhalang ing Surakarta) yang dibuka pada tahun 1923
dan PDMN (Pasinaon Dhalang ing Mangkunêgaran) yang didirikan
pada tahun 1931.10 Adanya pakêm pedalangan tersebut
memungkinkan seorang penggemar wayang kulit purwa Jawa
mampu menikmati sebuah pertunjukan dalam bentuk audio.
Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa pada siaran radio
pada awalnya dilakukan secara langsung (siaran langsung)
kemudian berkembang dalam bentuk pemutaran kaset rekaman.
Perkembangan ini muncul karena timbulnya industri rekaman
wayang kulit purwa Jawa pada tahun 1970-an. Dalang pertama
melestarikan estetika pedalangan yang menyangkut bangunan pertunjukan, struktur adegan, sabêt, catur, sulukan, iringan pakeliran, dan lakon.
9 Lihat: Bambang Murtiyoso, dkk., Teori Pedalangan Bunga Rampai Elemen-elemen Dasar Pakeliran, editor Suyanto (Surakarta: ISI Surakarta dan
Percetakan C.V. Saka Production, 2007), 119-121. Lihat pula: Bambang Murtiyoso, dkk., Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang,
editor Kundaru Saddhono (Surakarta: Citra Etnika, 2004), 18-19. R. M. Soedarsono, Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), 188. 10 V. M. Clara van Groenendael, Dalang di Balik Wayang (Jakarta: Grafiti
Press, 1987), 53-54. Lihat pula: Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, Estetika Pedalangan (Surakarta: ISI Surakarta Press dan C. V. Adji, 2007), 36.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
yang masuk dapur rekaman saat itu adalah Ki Nartasabda.
Rekaman pertama Ki Nartasabda pada waktu itu dilakukan di
Lokananta pada tahun 1971 dengan lakon Banuwati Nagih Janji.
Cara Ki Nartasabda meniti karier dengan cara masuk dapur
rekaman tersebut diikuti dalang lain seperti Ki Anom Suroto dari
Surakarta, Ki Manteb Sudarsono dari Karanganyar, Ki Timbul
Hadiprayitna dari Bantul, Ki Hadi Sugita dari Kulonprogo, dan
lain-lain.11 Banyaknya kaset rekaman yang beredar di pasaran,
kaset rekaman yang paling banyak beredar sampai saat ini adalah
rekaman Ki Anom Suroto. Rekaman pertunjukan wayang kulit
purwa Jawa dengan dalang Ki Anom Suroto selain memiliki
kuantitas yang baik hingga sekarang masih disenangi masyarakat
pendukungnya dan sering diputar di radio-radio pemerintah
maupun swasta.12
Popularitas pedalangan Ki Anom Suroto yang sampai
sekarang telah berjalan lebih dari 40 tahun bukan semata-mata
karena kepandaiannya memanfaatkan media elektronik, tetapi
juga karena pakelirannya menarik dan indah secara audio
maupun visual. Keindahan secara audio dapat diamati pada
11 Sumanto, “Nartasabda Kehadirannya dalam Dunia Pedalangan sebuah
Biografi”, Tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat
Sarjana S-2, Program Studi Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Fakultas
Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1990, 69-70. 12 Lihat pula: Soetarno, dan Sarwanto, 2010, 197. Disana dijelaskan
bahwa berdasarkan angket popularitas dan besarnya opini publik terhadap dalang yang disenangi dalam mendengarkan siaran radio dari 188 jawaban,
62% menyatakan Anom Suroto sebagai dalang yang berkenan di hati mereka,
dan 29% menyatakan Nartasabda.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
keindahan suara Ki Anom Suroto yang bagus, mantap, memiliki
intensitas suara yang tidak pernah surut dari awal sampai akhir,
memiliki céngkok-céngkok sulukan yang banyak diwarnai luk dan
grêgêl; menggunakan gending-gending klasik dan memiliki tim
pengiring/pengrawit yang baik. Keindahan secara visual dapat
dilihat pada teknik sabêtnya yang rêsik, tata panggung yang
bagus, boneka wayang yang bagus, dan kostum pengiring yang
seragam.13
Kelebihan lain dari Ki Anom Suroto menurut Sugeng
Nugroho, Ki Anom Suroto mampu menguasai konsep-konsep
estetika pedalangan seperti amardawagung, amardibasa,
awicarita, paramakawi, paramasastra, rênggêp, dan sabêt, serta
memenuhi kriteria rêgu, grêgêt, sêm, ngês, antawacana, cucut,
tutuk, dan terampil.14 Kelebihan Ki Anom Suroto yang lain adalah
kemahiran menyelipkan misi-misi sponsor, pesan-pesan moral,
pembangunan, politik, dan sebagainya ke dalam pakeliran dengan
tetap menggunakan idiom-idiom bahasa pedalangan. Visi dan
pesan-pesan tersebut disampaikan melalui ginêm yang tidak
bersifat vulgar (méthok), tetapi samar-samar (mêdhang miring atau
sêmon mantri), dan kadang-kadang bersifat metafora (nyampar
13 Bandingkan dengan Sugeng Nugroho, “Sanggit dan Garap Lakon
Banjaran Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta”, Disertasi untuk
memenuhi sebagian untuk mencapai derajat Doktor, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2012, 675, 682. 14 Sugeng Nugroho, 2012, 677.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
pikolèh/êsêm bupati).15 Kemampuan Ki Anom Suroto dalam
menyampaikan pesan-pesan juga diungkapkan V.M. Clara van
Groenendael yang mengamati pakeliran Anom Suroto pada tahun
1976 sebagai berikut:
Dalam hal ini isi pergelaran yang menarik ialah
bagaimana dalang (Ki Anom Suroto) mengemukakan singgungannya terhadap keadaan-keadaan masa kini, dari sejak adegan pembuka yaitu pada saat ia mulai
mengurai alur lakon. Maka, disinggunglah berbagai macam masalah penyalahgunaan masalah kekuasaan seperti korupsi, intimidasi, laporan palsu, dengan
demikian juga tentang pemilihan presiden tahun 1978 melalui tema kepemimpinan. Srempetan-
srempetannya itu dituangkan ke dalam kerangka lakon tradisional .…16
Ki Anom Suroto sebagai dalang yang hebat dan terkenal,
sampai saat ini telah menghasilkan banyak rekaman lakon
wayang kulit purwa Jawa. Beberapa lakon hasil rekamannya
antara lain Abimanyu Lair, Abiasa Lair, Anoman Manêgês,
Pandhawa Manêgês, Bandung Naga Sèwu, Bisma Gugur,
Gandamana Lair, Joko Pêngalasan, Kakrasana Wisudha, Krêsna
Dhuta, Wahyu Tri Margajaya, Ranjapan Abimanyu, Antaséna Rabi,
dan sebagainya. Peneliti dalam penelitian ini tertarik pada lakon
Antaséna Rabi17.
Lakon AR dipilih sebagai objek kajian dikarenakan
beberapa alasan. Pertama, susunan adegan lakon AR sajian Ki
15 Sugeng Nugroho, 2012, 678. 16 V. M. Clara van Groenendael, 1987, 274. Lihat pula: Sugeng Nugroho,
2012, 678. 17 Penulisan Antaséna Rabi untuk selanjutnya disingkat menjadi AR.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
Anom Suroto cukup lengkap dan mendekati pakêm pedalangan.
Adapun susunan adegan lakon AR sajian Ki Anom Suroto adalah
jêjêr nêgari Ngastina, inggah-inggahan, kondur kêdhaton, kèndêl
gapuran, kêdhatonan, paséban jawi, budhalan, adegan pocapan
kereta, adegan nêgari Dwarawati, perang gagal, adegan pêrtapan
Sapta Arga, perang kêmbang, adegan dhasar samudra, perang
sampak manyura, adegan Jodhipati, adegan Madukara, dan
seterusnya. Kedua, lakon AR sajian Ki Anom Suroto memiliki
unsur pocapan dan janturan yang cukup lengkap mendekati
pakêm pedalangan. Beberapa janturan dan pocapan tersebut
antara lain: janturan jêjêr nêgari Ngastina, pocapan sasmita kondur
kêdhatonan, janturan gapuran, pocapan perjalanan raja
Duryudana, pocapan kêréta, pocapan setelah bidhalan, dan
sebagainya. Ketiga, lakon ini memiliki unsur karawitan pakeliran
yang relatif mendekati pakêm pedalangan. Hal ini didasarkan
pada: penggunaan sulukan yang masih cukup mematuhi pakêm
pedalangan; dan penggunaan gending-gending agêng untuk
adegan-adegan seperti: jêjêr, kondur kêdhaton, adegan sabrang,
adegan sanga sêpisan, dan sebagainya. Pemilihan objek penelitian
dengan susunan adegan; garap unsur catur (pocapan, janturan);
dan karawitan pakeliran yang cukup lengkap mendekati pakêm
pedalangan merupakan pertimbangan yang cukup penting.
Pertimbangan ini dikarenakan seorang dalang pada era tahun
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
1923-1970-an apabila sajian pakeliran tidak mengacu pakêm
pedalangan keraton dianggap kurang bermutu.18 Selain itu,
adanya pertunjukan wayang kulit purwa Jawa dengan unsur-
unsur yang mendekati pakêm pedalangan diharapkan mampu
memberikan gambaran umum struktur pertunjukan wayang kulit
tradisi Surakarta. Keempat, pertunjukan dalang bermutu yang
taat pada pakêm pedalangan sudah sulit ditemukan. Fenomena
yang berkembang saat ini, pertunjukan wayang kulit purwa Jawa
biasanya sudah tidak begitu taat dengan aturan-aturan yang ada.
Ketidak taatan dalang saat ini dapat dilihat dari penghilangan
beberapa adegan dan penambahan adegan. Contoh penghilangan
yang terjadi dalam pertunjukan dewasa ini adalah penghilangan
adegan gapuran, adegan kêdhatonan, adegan sabrang, adegan
pêrtapan, dan adegan sintrèn. Penambahan adegan terjadi dengan
ditambahkannya adegan tablo dan flash back.19 Masih adanya
pertunjukan wayang kulit purwa Jawa yang mendekati pakêm
pedalangan dengan dalang terkenal tersebut menarik untuk
dilakukan kajian secara komprehensif.
Lakon AR sajian Ki Anom Suroto menceritakan perjalanan
Bima melamar Manuwati untuk putranya Antasena dan akhirnya
Antasena menikah dengan Dewi Manuwati putri Arjuna. Awal
18 V. M. Clara van Groenendael, 1987, 57-60. 19 Lihat: Bambang Murtiyoso, dkk., 2004, 74-80. Lihat pula T. Slamet
Suparno, Pakeliran Wayang Purwa dari Ritus sampai Pasar (Surakarta: ISI Press
Solo, 2009), 138, 153.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
cerita lakon ini dimulai dari negara Ngastina dimana Duryudana
dihadap oleh Patih Sengkuni, Pendeta Durna, dan Adipati Karna.
Pertemuan membahas diterimanya lamaran Lesmana atas putri
Arjuna yang bernama Manuwati. Duryudana lalu memerintahkan
Patih Sengkuni, Pendeta Durna, Adipati Karna, dan Kurawa
berangkat ke Madukara untuk melangsungkan pernikahan.
Arjuna pada saat yang bersamaan ternyata menerima
lamaran Kresna untuk Samba, menerima lamaran Baladewa
untuk Wisatha, menerima lamaran Anoman untuk Purwaganti,
dan juga lamaran Bima/Werkudara untuk Antasena. Para pelamar
akhirnya datang ke Madukara meminta keterangan Arjuna
mengenai diterimanya lima lamaran sekaligus. Sesampainya di
Madukara, para pengiring mempelai putra meminta keterangan
Arjuna.
Arjuna lalu mengadakan sayembara yang isinya meminta
para calon mempelai pria untuk berkelahai dan saling bertanding.
Siapa yang keluar sebagai pemenang akan dijadikan suami
Manuwati. Para calon mempelai pria lalu bertarung dan saling
menyerang untuk mencari kemenangan sendiri-sendiri. Antasena
dalam sayembara tersebut rupanya tidak bersedia berperang,
bahkan rela dipukul calon mempelai lainnya. Petruk melihat
Antasena diam saja ketika dipukul calon mempelai lain merasa
geram karena membuat pertandingan tidak seru. Petruk lalu
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
berinisiatif mengadu domba para pengiring calon mempelai supaya
sayembara berjalan lebih meriah. Rencana menghasut para
pengiring calon mempelai dibantu Bagong, dan berhasil. Anoman
lalu berperang melawan Gathutkaca, Setyaki melawan Antareja,
Baladewa melawan Durna dilanjutkan Baladewa melawan Bima.
Peperangan antar calon mempelai dan pertarungan antar
pengiring calon mempelai tersebut menyebabkan kegaduhan, serta
keributan di Madukara.
Kresna lalu melerai semua yang bertarung lalu mengajak
menghadap Arjuna untuk meminta keadilan. Arjuna lalu
mengadakan sayembara kedua yang isinya siapa mampu
menerima pukulan Manuwati, dialah yang akan menjadi suami
Manuwati. Para calon mempelai pria lalu maju satu-persatu untuk
menerima pukulan Manuwati. Dalam sayembara terakhir ini,
hanya Antasena yang mampu menerima pukulan Manuwati, dan
akhirnya Antasena menikah dengan Manuwati. Permasalahan
yang cukup menarik berdasarkan cerita tersebut adalah Antasena
yang pada awalnya tidak ingin menikah justru menjadi jodoh
Manuwati. Hal ini tentu memiliki alasan tersendiri.
Ki Anom Suroto seperti dijelaskan di atas merupakan
dalang terkenal dengan memiliki banyak kelebihan seperti
memenuhi konsep-konsep estetika pedalangan, bersuara merdu,
dan pandai menyampaikan pesan-pesan. Selain itu, Ki Anom
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Suroto dalam sajian lakon AR cukup taat dan hormat pada pakêm
pedalangan dan sajian AR memiliki unsur-unsur garap pakeliran
yang cukup lengkap mendekati pakêm pedalangan. Unsur-unsur
garap pakeliran yang cukup lengkap dan utuh tersebut menjadi
daya tarik bagi penulis untuk melihat jalinan antar unsur
pakeliran Ki Anom Suroto dalam lakon AR sebagai satu kesatuan
yang utuh.
Sebuah pertunjukan wayang kulit purwa Jawa sebagai
satu kesatuan yang utuh tentu saja mengandung estetika dan
pesan-pesan kehidupan yang mendalam. Inilah yang menjadi
keingintahuan peneliti untuk mengkaji dan memahami
pertunjukan wayang kulit purwa lakon AR sajian Ki Anom Suroto,
disamping mengkaji mengenai struktur pertunjukan. Estetika
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah estetika pedalangan.
Pembicaraan mengenai estetika pedalangan sebenarnya ingin
menangkap unsur-unsur keindahan maupun makna pergelaran
wayang kulit.20 Oleh karena objek penelitian dipilih berdasarkan
pakêm pedalangan maka estetika pedalangan yang akan dipakai
lebih mengacu estetika pedalangan gaya keraton.
Konsep estetis keraton menurut Soetarno, dkk. merupakan
konsep estetika yang bersumber pada berbagai literatur yang
memuat tentang pedalangan keraton, seperti dalam Serat
20 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 22.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Sastramiruda tulisan Kusumadilaga, Serat Tuntunan Pedhalangan
Tjaking Pakeliran Lakon Irawan Rabi karya Nayawirangka, Serat
Wedhatama karya Mangkunegara IV, Serat Centini.21 Beberapa
contoh konsep estetika keraton adalah rêgu, grêgêt, sêm, ngês,
rênggêp, antawacana, cucut, unggah-ungguh, tutuk, trampil.22
Konsep estetika pedalangan selain berasal dari keraton juga
memiliki konsep estetika gaya kerakyatan. Konsep estetika gaya
kerakyatan merupakan sebuah konsep keindahan yang
berkembang pada masing-masing komunitas gaya kerakyatan
tersebut berkembang.23 Konsep-konsep estetika kerakyatan ini
dapat dilacak dari hasil wawancara dalang-dalang bermutu dari
berbagai daerah. Beberapa contoh kosep estetika pedalangan
kerakyatan adalah ngês, mungguh, wijang, mêntês, sêmu, ramé,
lucu, dan sebagainya.24 Sunardi dalam disertasinya mengatakan
bahwa model estetika pedalangan keraton lebih mengarah pada
kesan rasa estetik yang agung dan wingit sedangkan konsep
21 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 73. 22 Lihat: Kusumadilaga, Sêrat Sastramiruda, alih bahasa Kamajaya, alih
aksara Sudibjo Z. Hadisutjipto (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Sastra Indonesia dan Daerah, 1981), 50-51. M. Ng. Nojowirongko al. Atmotjendono, Sêrat Tuntunan Pêdalangan Tjaking Pakêliran Lampahan Irawan Rabi Jilid I (Yogyakarta, Cabang Bagian Bahasa
Yogyakarta Jawatan Kebudayaan, Departemen P. P. dan K., 1960), 57. Lihat
pula: Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 74. 23 Sunardi, “Nuksma dan Mungguh Estetika Pertunjukan Wayang Kulit
Purwa Gaya Surakarta”, Disertasi doktor untuk memenuhi sebagian untuk mencapai derajat Doktor, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012, 8. 24 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 97-98.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
estetika pedalangan kerakyatan berkesan ramé, gayêng, dan
gobyog.25
Sebuah pertunjukan wayang kulit purwa Jawa yang
dimainkan oleh seorang dalang dengan kandungan keindahan
yang menarik penonton tentu saja juga harus mengandung isi. Hal
ini dapat dilihat pada persyaratan seorang dalang yang termuat
dalam tembang Mijil berikut :
“Wus jamaké jênêng dhalang yêkti; kudu wruh lêlakon; ora amung lêlucone waé; sabêt, crita, tutuk, tur gêndhingi; yen isiné sêpi; sêpên, sêpa, samun”.26 Artinya:
“Seorang dalang harus memahami lakon (cerita) yang
ditampilkan tidak hanya humornya saja, tetapi juga menguasai gerak wayang, dialog, serta gending (karawitan pakeliran), namun jikalau isinya tidak ada
maka pakelirannya terasa hambar.”
Tembang macapat di atas menunjukan kepada kita bahwa aspek
isi atau sesuatu yang disampaikan dalang dalam pertunjukan
wayang merupakan hal yang cukup penting. Isi atau pesan dalam
sebuah pertunjukan wayang kulit purwa Jawa bisa berupa nilai
religius, nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan, patriotisme,
keadilan, kesetiaan, dan kesetiakawanan sosial.27 Oleh karena itu
tidak mengherankan apabila pertunjukan wayang kulit dikatakan
25 Sunardi, 2012, 10. 26 Soetarno, Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan Hiburan
(Surakarta: STSI Press, 2004), 23. Lihat pula: Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolisme (Surakarta: STSI Pess, 2005), 9.
27 Soetarno, 2004, 24. Lihat pula Soetarno, 2005, 10.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
sebagai sumber nilai yang penyampainya diungkapkan secara
artistik-estetik dan mampu dipakai sebagai pendidikan karakter.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini selain mengkaji lakon
AR sajian Ki Anom Suroto secara struktural, peneliti hendak
mengkaji nilai-nilai estetis, pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya, dan peranannya dalam pendidikan karakter.
B. Rumusan Masalah
Berbagai permasalahan yang disebutkan di muka, peneliti
melakukan pemilihan beberapa permasalah saja. Untuk itu
rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut.
1. Bagaimana struktur dramatik lakon AR sajian Ki Anom
Suroto?
2. Nilai estetika apakah yang terkandung dalam pertunjukan
wayang lakon AR sajian Ki Anom Suroto?
3. Pesan apa saja yang relevan bagi pendidikan karakter?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ada dua macam yaitu tujuan praktis
dan teoretis. Tujuan praktis ialah menggali potensi lokal dengan
menghadirkan naskah lakon AR sajian Anom Suroto dalam bentuk
translasi, sekaligus sebagai bahan apresiasi lakon bagi
masyarakat pemerhati seni pedalangan. Tujuan praktis yang lain
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
adalah ditemukannya pesan-pesan yang mampu dipakai sebagai
pendidikan karakter. Tujuan teoretisnya adalah kajian struktural
dan estetis. Penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan di bidang pewayangan, dan mampu memberi andil
dalam pendidikan karakter, serta dapat bermanfaat bagi penelitian
lebih lanjut.
D. Tinjauan Pustaka
Buku atau hasil penelitian, tesis, dan disertasi yang ada
relevansinya dengan lakon AR sajian Ki Anom Soeroto dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Het Javaansche Tooneel: Wayang Poerwa, tulisan J. Kats,
(1929) dibagi menjadi dua bagian. Bagian I berisi 7 bab dengan
pembahasan (1) pertunjukan wayang Parwa (wayang kulit) dari
aspek alat pertunjukan, bentuk pertunjukan, gamelan, dan
dalang; (2) umur, asal, dan keaslian sifat wayang Jawa; (3) asal
dan sifat repertoar lakon wayang meliputi Ramayana, Mahabarata,
dan cerita-cerita lokal Indonesia; (4) sifat dan pembagian
kesusastraan dari sisi bentuk dan isi; (5) teknik penyusunan
lakon-lakon wayang; (6) Arti wayang pada awal tahun 1900-an;
dan (7) pandangan tentang Ramayana dan Mahabarata. Pada
bagian kedua dibahas cerita wayang kulit purwa meliputi siklus
Arjunasasrabahu, siklus Rama, dan siklus Pandawa. Kats
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
meskipun membahas sifat repertoar lakon wayang dan teknik
penyusunannya, tetapi sama sekali tidak menyinggung garap
lakon wayang kulit purwa Jawa. Hal ini selain pada saat itu baru
ada satu macam pola penyajian lakon wayang kulit yang
konvensional. Buku ini juga ditulis ketika Kerajaan Surakarta dan
Kadipaten Mangkunegara sedang merintis berdirinya kursus
pedalangan. Oleh karena itu, dapat dimaklumi apabila Kats tidak
melihat adanya kebebasan dalang dalam menafsirkan lakon
wayang. Ia justru menegaskan bahwa dalang tidak boleh
mengubah kerangka atas maksud dari lakon pertunjukan wayang
kulit yang telah ditetapkan.28 Tulisan ini memberi gambaran
mengenai pengaruh kuat pakêm pedalangan terhadap pertunjukan
wayang kulit purwa Jawa pada masa itu.
On Thrones of Gold : The Javanese Shadow Plays, tulisan
James R. Brandon (1970) menjelaskan secara panjang lebar
perihal seni pewayangan yang meliputi asal mula wayang, tipe
lakon, makna pertunjukan wayang, struktur dramatik lakon
wayang, bahasa, dan pelaksanaan pementasan lakon wayang.
Pada pembicaraan pementasan wayang mengemukakan tentang
skrip, skenario, alat pentas, wayang, musik, teknik-teknik bicara,
dan gerak wayang, serta kemampuan dalang. Pembahasan tentang
translasi meliputi struktur, karakter, bahasa, etika, dan humor.
28 J. Kats, Het Javaansche. Toneel: Wayang Porwa I (Wetervredem:
Comissie Voor de Vols Lectuur, 1929).
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Pembahasan tentang struktur dramatik, dijelaskan bahwa
pertunjukan wayang kulit purwa Jawa dibagi atas tiga pathêt. Tiap
pathêt memiliki adegan baku dan adegan tambahan. Pada setiap
adegan terdapat narasi, dialog, dan suluk. Dalang dalam
pertunjukan wayang bertumpu pada catatan singkat alur lakon
yang kemudian secara improvisasi diterjemahkan dalam setiap
adegan. Pada bagian akhir, Brandhon menunjukan translasi lakon
Wahyu Purba Sêjati, Irawan Rabi, dan Karna Tandhing, tetapi
tanpa disertai analisis.29 Tulisan ini memberikan gambaran awal
mengenai struktur dramatik wayang kulit purwa Jawa.
Brandon dalam bukunya: Jejak-jejak Seni Pertunjukan di
Asia Tenggara terjemahan R.M. Soedarsono (2003) berisi informasi
tentang seni pertunjukan di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Brandon dalam buku ini mengetengahkan studi perbandingan
tentang seni pertunjukan di Asia Tenggara. Seni pertunjukan
Indonesia yang dibahas dalam tulisan ini antara lain wayang Jawa
dan Bali. Uraian wayang Jawa meliputi wayang bèbèr, wayang
gêdog, wayang klithik, wayang pancasila, wayang suluh, dan
wayang topèng dengan mempertimbangkan segi artistik, dimensi-
dimensi sosial, keragaman, popularitas, maupun fungsinya untuk
propaganda politik. Empat bagian dari buku ini, dipandang dari
empat prespektif yakni asal-usul dan latar belakang, pertunjukan
29 James R. Brandon, On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow Plays
(Cambridge, Massachussetts: Harvard University Press, 1970).
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
sebagai seni, seni pertunjukan sebagai institusi sosial, dan seni
pertunjukan sebagai alat komunikasi. Dijelaskan bahwa
perubahan struktur dan urutan cerita Ramayana, Mahabarata
telah lama dilakukan orang Jawa (awal abad XIX), dan
penyimpangan, serta munculnya cerita-cerita baru menjadi nyata
setelah kedua wiracarita itu berada di tangan para dalang.
Meskipun demikian, Brandon tidak menjelaskan wujud perubahan
dan alasan para sastrawan maupun dalang Jawa mengadakan
perubahan terhadap Ramayana, Mahabarata.30 Buku ini memberi
wawasan mengenai seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa.
Dalang di Balik Wayang, buku yang ditulis V. Clara van
Groenendael (1987) menjelaskan tentang para dalang dalam
masyarakat kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah yang mencakup
pembicaraan mengenai pendidikan dalang, pentingnya silsilah,
perbedaan gaya antara tradisi istana dengan gaya kerakyatan, dan
kedudukan dalang di istana. Pembicaraan mengenai dalang
diuraikan pula mengenai bagaimana seorang dalang menjalankan
tugasnya dan pada kesempatan apa saja ia bermain. Pada bagian
lampiran diuraikan mengenai susunan adegan pakeliran semalam
gaya Surakarta menurut tradisi yang dibakukan.31 Tulisan ini
memberi gambaran mengenai pengaruh, dan perkembangan
pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, serta pengaruh pendidikan
30 James R. Brandon, 2003. 31 V. M. Clara van Groenendael, 1987.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
dalang terhadap dalang. Buku ini juga memberi gambaran jelas
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dalang di Jawa.
Tulisan Soedira Satoto berjudul Wayang Kulit Purwa Makna
dan Struktur Dramatiknya merupakan tulisan yang cukup penting
dalam kajian struktural yang akan dilakukan. Tulisan ini
membahasan mengenai struktur lakon Banjaran Karna dan Karna
Tandhing dari transkripsi kaset. Unsur-unsur yang dibahas dalam
tulisan ini antara lain tema, amanat, alur, penokohan, setting
ruang, setting waktu, dan latar suasana dengan pendekatan
sastra. Soedira Satoto setelah melihat struktur pertunjukan kedua
lakon kemudian dilanjutkan penggalian nilai-nilai yang dikandung
kedua lakon tersebut. Soediro Satoto dalam tulisan ini
menyatakan bahwa Karna dalam kedua lakon tersebut merupakan
tokoh bulat sedangkan tokoh Pandawa pipih, dan persoalan hidup
Karna cukup rumit sehingga tidak bisa digolongkan dalam tokoh
antagonis, maupun protagonis.32 Setelah dicermati, penyajian teks
dan struktur lakon Banjaran Karna dan Karna tandhing tulisan
Soedira Satoto kurang memperhatikan konvensi pementasan lakon
wayang gaya Yogyakarta maupun gaya Surakarta. Buku ini
memberikan gambaran pada cara kerja beliau dengan jalan
transkripsi kaset kemudian dilakukan analisis struktural.
32 Soediro Satoto, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya
(Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
(Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1985).
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
Kasidi dalam tesisnya ”Lakon Wayang Kulit Purwa Palasara
Rabi Suntingan Teks dan Analisis Struktural” (1995) menjelaskan
cara kerja transkripsi teks dengan menggunakan tanda-tanda
khusus, dan analisis struktur lakon wayang gaya Yogyakarta
secara detail dan rinci. Unsur-unsur pembentuk pertunjukan yang
dibahas meliputi bentuk dan fungsi dari bentuk bangunan lakon,
bahasa wayang, kêprakan, dhodhogan, sulukan, dan gending
pengiring. Bentuk bangunan lakon Parasara Rabi terdiri tiga
pathêt; masing-masing pathêt terdiri dari jêjêran, adegan, perang;
masing-masing bagian tersebut terdiri dari diskripsi, ginêm, dan
tindakan. Kasidi dalam penelitian ini menemukan adegan diluar
jêjêr, adegan, dan perang yang bernama gladhagan yaitu adegan
yang dipergunakan dalang sebagai pengganti jêjêran pokok.33
Sebagai sebuah kajian struktural, Kasidi belum melihat unsur-
unsur pembentuk pertunjukkan wayang lakon Parasara Rabi
sebagai sesuatu yang saling berhubungan. Cara kerja Kasidi pada
transkripsi serta pengidentifikasian unsur-unsur pakeliran
memberi inspirasi penulis dalam cara pentranskripan.
Kaswadi dalam tesisnya berjudul Lakon Wahyu Sri Makutha
Rama Tuturan Ki Nartasabda: Transkripsi dan Terjemahan serta
Telaah Struktur Lakon dan Satuan-satuan Naratif (1998), berhasil
33 Kasidi, “Lakon Wayang Kulit Purwa Palasara Rabi Suntingan Teks dan
Analisis Struktural”, Tesis untuk memenuhi sebagian untuk mencapai derajat
Sarjana S.2, Program Studi Sastra Indonesia dan Jawa, Jurusan Ilmu-ilmu
Humaniora, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1995.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
mengidentifikasikan satuan naratif pertunjukan sajian Ki
Nartasabda dari pita kaset meliputi bahasa wayang, deskripsi,
dialog, kêprakan, dhodhogan, sulukan, dan gending pengiring.34
Tesis ini meskipun berhasil dalam mengidentifikasikan unsur-
unsur pementasan wayang kulit purwa gaya Surakarta, tetapi
kurang dalam mengidentifikasi unsur-unsur pementasan dalam
gaya Yogyakarta. Identifikasi unsur-unsur pementasan sesuai
istilah dalam pakeliran gaya Yogyakarta penting karena Ki
Nartasabda dalam pertunjukan tersebut menggunakan dua gaya
pedalangan yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Hasil
identifikasi Kaswadi dalam tesis ini memberikan gambaran
mengenai unsur-unsur pembentuk pertunjukan wayang kulit
purwa gaya Surakarta.
Buku berjudul: Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu
Makhutarama dalam Perspektif Metafisika (2009) membahas lakon
Wahyu Makutharama secara metafisik. Sebelum menganalisis
lakon Wahyu Makutharama secara metafisik, Suyanto melakukan
analisis struktural terlebih dahulu. Pembicaraan struktur
terhadap lakon Wahyu Makutharama meliputi tema, pesan, alur
cerita, penokohan, dan setting. Pembicaraan metafisika lakon
34 Kaswadi, “Lakon Wahyu Sri Makutha Rama Tuturan Ki Nartosabda :
Transkripsi dan Terjemahan serta Telaah Struktur Lakon dan Satuan-satuan Naratif”, Tesis untuk memenuhi sebagian untuk mencapai derajat Sarjana S.2,
Program Studi Sastra Indonesia dan Jawa, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora,
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Wahyu Makutharama dilihat dari aspek ontologis, kosmologi,
antropologi metafisika, teologi metafisik. Pada bab terakhir
dibahas mengenai hakikat kepemimpinan, hakikat mawas diri,
hakikat keseimbangan alam semesta, hakikat manunggaling
kawula Gusti, dan hakikat manusia seutuhnya yang dikandung
lakon Wahyu Makutharama sajian Nartasabda.35 Buku ini dilihat
dari analisis strukturalnya, rupanya belum membahas unsur-
unsur pakeliran seperti iringan (karawitan pakeliran). Unsur-
unsur pembentuk pakelirannya juga masih dibicarakan terpisah-
pisah. Buku ini menunjukkan bahwa penelitian struktur lakon
perlu dilakukan sebelum dilakukan analisis lainnya.
Lakon Dewa Ruci Cara Menjadi Jawa Sebuah Analisis
Strukturalisme Levi-Strauss dalam Kajian Wayang tulisan Aris
Wahyudi (2012) membahas lakon Déwa Ruci sajian Ki Nartasabda
secara struktural. Lakon Déwa Ruci dalam penelitian ini dikaji
secara struktural semantik. Buku ini selain berhasil menemukan
makna lakon Déwa Ruci dilihat dari strukturalisme Levis Strauss,
juga berhasil menunjukkan jalinan antar unsur cerita Déwa Ruci,
serta dramaturgi wayang dipandang dari sudut struktur dramatik
dan tekstur dramatik. Analisis strukturalisme Lévi-Strauss
terhadap lakon Déwa Ruci diperoleh kesimpulam bahwa makna
lakon Déwa Ruci adalah struktur “Lingkaran Berlapis Tiga”
35 Suyanto, Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu Makutharama dalam
Perspektif Metafisika (Surakarta: ISI Press Solo, 2009).
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
dalam sistem relasi struktur “Tiga Vertikal”. Masing-masing
lapis dibangun oleh sub-sub struktur yang memberikan
pemahaman mengenai transformasi atas lapis-lapis unsur pokok
lakon Déwa Ruci. Adapun lapis-lapis lakon Déwa Ruci adalah
relasi Bima, Durna sebagai guru, murid, dan prana. Perjalanan
Arjuna, peristiwa Bima masuk samudra, Bima bertemu Dewa
Ruci. Dari sistem relasi tersebut diperoleh pemahaman bahwa
pertunjukan lakon Déwa Ruci merupakan transformasi dari ritual
pemujaan Siwa.36 Disertasi ini memberikan inspirasi bagi penulis
untuk mengkaji struktur dramatik pertunjukan wayang secara
mendetail dan menyeluruh dilihat dari struktur dramatik, tekstur
dramatik, dan caking pakeliran.
Disertasi Sugeng Nugroho, “Sanggit dan Garap Lakon
Banjaran Pertunjukan Wayang Kulit Purwa gaya Surakarta” (2012)
berhasil menunjukkan bahwa lakon banjaran merupakan
ungkapan kreativitas dan inovasi dalang; tokoh yang dapat
dibanjarkan adalah semua tokoh wayang, namun biasanya yang
dipilih dalang dalam membuat lakon banjaran adalah tokoh yang
memiliki permasalahan hidup yang banyak dan rumit; lakon
banjaran menggunakan alur linier; dan bentuk lakon banjaran
36 Aris Wahyudi, Lakon Dewa Ruci Cara Menjadi Jawa sebuah Analisis
Strukturalisme Levi-Strauss dalam Kajian Wayang (Yogyakarta: Bagaskara,
2012).
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
telah meninggalkan pola-pola garap konvensional.37 Disertasi ini
menunjukkan bahwa lakon banjaran memiliki pola yang
meninggalkan garap konvensional pertunjukan wayang kulit dan
menggunakan alur linier. Oleh karena itu, penelitian terhadap
objek dengan pola bangunan sesuai pakêm pedalangan masih
relevan dilakukan.
Buku berjudul Pakeliran Pujasumarta, Nartasabda, dan
Pakeliran Dekade 1996-2001 tulisan Soetarno (2002) merupakan
buku yang cukup penting dalam analisis struktur lakon wayang
yang dilanjutkan analisis estetika. Buku ini menganalisis estetika
pakeliran sajian dalang Pujasumarta, sajian dalang Nartasabda,
serta garap unsur pakeliran dekade 1996-2001. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Pujasumarta merupakan dalang yang
pakelirannya mengikuti pakêm keraton dan mengikuti estetika
pedalangan istana. Nartasabda merupakan dalang pembaharu
yang menyimpang dari patokan yang dibuat keraton.
Penyimpangan Nartasabda terlihat dari berbagai unsur pakeliran
dalam pertunjukannya sajiannya yang berbeda. Meskipun
demikian, sajian Nartasabda masih memiliki nilai estetis yang
agung. Pada era sesudah Nartasabda pakeliran terus mengalami
perubah dan pembaharuan yang disesuaikan dengan
perkembangan jaman. Pada akhir buku ini dijelaskan bagaimana
37 Sugeng Nugroho, 2012.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
metode dalam penelitian estetika pedalangan.38 Buku ini
membantu peneliti dalam menentukan metode penelitian pada
analisis estetika pedalangan.
Soetarno dalam bukunya Pertunjukan Wayang dan Makna
Simbolis (2005), membahas pergelaran wayang kulit dari dimensi
filsafat dengan mengambil lakon Bima Suci. Dalam analisisnya
dijelaskan aspek-aspek yang terkandung dalam lakon Bima Suci
yaitu: aspek metafisika, aspek antropologis, aspek etika, dan
estetika. Buku ini memperkaya penelitian ini terutama dalam
analisis mengenai kandungan isi dalam pertunjukan wayang.
Seno Sastroamidjaja dalam bukunya Renungan tentang
Pertunjukan Wayang Kulit (1964) menganalisis wayang dari
dimensi simbolis dan filosofis masyarakat Jawa; dan dikatakan
bahwa fenomena wayang merupakan simbol bagi masyarakat
Jawa. Lakon dan tokoh-tokoh yang tampil dipandang sebagai
lambang hidup manusia Jawa, maka peristiwa dalam lakon
dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam menjalani
kehidupannya.39 Buku ini memantapkan analisis mengenai pesan-
pesan yang dikandung dalam pertunjukan wayang nantinya.
Buku Wayang dan Panggilan Manusia karya Franz Magnis
Suseno (1991) merupakan buku yang memaparkan bagaimana
38 Soetarno, Pakeliran Pujosumarto Nartosabdo, dan Pakeliran Dekade
1996-2001 (Surakarta: STSI Press, 2002). 39 Seno Sastroamidjojo, Renungan tentang Pertunjukan Wayang Kulit
(Jakarta: Kinta, 1964).
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
tokoh-tokoh dalam pewayangan merupakan sumber etika yang
dapat digali oleh masyarakat Jawa, baik etika Jawa, maupun etika
keselarasan. Salah satu tokoh yang dibahas adalah Semar. Melalui
Semar dipelajari hakikat dari manusia, bahkan dalam usaha
mistispun diperlukan Semar dalam diri manusia Jawa.40 Buku ini
memberi inspirasi penulis, bahwa pesan-pesan etis sebuah
pertunjukan wayang perlu digali lebih banyak lagi sebagai wujud
panggilan manusia dalam hidup.
“Peranan Wayang dalam Menunjang Jati Diri Bangsa”
laporan penelitian yang ditulis Soetarno (2011) merupakan tulisan
yang tidak dapat diabaikan dalam penelitian ini. Laporan
penelitian membahas pentingnya melakukan pendidikan karakter
bagi bangsa untuk memperkokoh jati diri bangsa Indonesia
melalui pesan-pesan pertunjukan wayang kulit purwa Jawa. Hal
ini terjadi karena dalam pertunjukan wayang kulit purwa Jawa
terkandung pesan-pesan dan nilai-nilai moral yang diperlukan
dalam pembentukan karakter bangsa.41 Hasil penelitian ini
memberikan gambaran bahwa pertunjukkan wayang kulit purwa
Jawa mengandung pesan-pesan yang perlu digali guna lebih
diketahui oleh masyarakat umum.
40 Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: PT.
Gramedia, 1991). 41 Soetarno, “Peranan Wayang dalam Menunjang Jari diri Bangsa”,
Laporan Penelitian Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta
Kementrian Pendidikan Nasional, 2011.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
Beberapa hasil penelitian yang telah dikemukakan
memperlihatkan bahwa dalam kajian struktur lakon telah banyak
dilakukan para peneliti. Beberapa hasil penelitian mengenai
struktur lakon wayang kulit, penulis melihat bahwa unsur-unsur
garap pakeliran seperti bangunan lakon, susunan adegan, alur
cerita, suasana, karawitan pakeliran masih kurang dilihat sebagai
satu kesatuan yang utuh. (1) Becker,42 Kasidi,43 dan Kaswadi44
dalam hasil penelitian telah berhasil mengidentifikasikan unsur-
unsur pakeliran, namun unsur-unsur tersebut belum dilihat
sebagai satu kesatuan yang utuh. (2) Soediro Satoto45 dalam
penelitiannya melihat pertunjukan wayang kulit Purwa dengan
teori sastra, namun belum melihat unsur pakeliran secara
komprehensip. Selain itu, objek penelitian Soediro Satoto adalah
lakon banjaran yang memiliki alur linier, jadi teori sastra dengan
mudah masuk ke dalamnya. (3) Aris Wahyudi46 secara implisit
menyebutkan hubungan antara struktur dramatik dan tekstur
dramatik. Penulis melihat bahwa Aris Wahyudi telah berhasil
melihat ada hubungan tiap-tiap unsur garap pakeliran sebagai
satu kesatuan. (4) Sugeng Nugroho47 dengan lakon banjarannya
telah melihat struktur dramatik dengan cukup baik, namun
42 Backer, 1979. 43 Kasidi, 1995. 44 Kaswadi, 1998. 45 Soediro Satoto, 1984. 46 Aris Wahyudi, 2012. 47 Sugeng Nugroho, 2012.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
struktur banjaran memiliki struktur yang linier, jadi dengan
mudah teori-teori drama barat dapat masuk ke dalamnya. Selain
itu lakon banjaran merupakan lakon hasil inovasi yang sudah
meninggalkan pola-pola garap konvensional atau pakêm
pedalangan. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian
terhadap struktur lakon AR sajian Ki Anom Suroto sebagai satu
kesatuan dari pola bangunan, struktur dramatik, dan tekstur
dramatik secara keseluruhan masih relevan dilakukan. Selain itu
analisis mengenai nilai estetika lakon AR dan perananannya dalam
pendidikan karakter juga sama sekali belum pernah diteliti.
Kenyataan ini semakin memperlihatkan pentingnya penelitian ini.
E. Landasan Teori
Penelitian ini berusaha mengungkapkan bangun struktur,
estetika, pesan-pesan dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto, dan
peranannya dalam pendidikan karakter. Dalam rangka studi
struktur lakon wayang, Becker menjelaskan bahwa struktur lakon
wayang dibangun secara hirarkis terdiri dari tiga unit pokok
sesuai dengan pembabakan lakon yang disebut pathêt. Setiap
lakon wayang dibagi ke dalam tiga babak, masing-masing babak
memiliki struktur internal yang sama sebagai suatu kesatuan
lakon wayang secara menyeluruh. Bangunan lakon wayang yang
terdiri dari tiga pathêt secara tepat menyatu dengan unsur-unsur
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
penyangga pementasan, meliputi pembagian bentuk-bentuk
jêjêran, adegan, dan perang. Pembabakan dalam pementasan
lakon wayang tersebut diikuti dengan adanya deskripsi, dialog,
dan tindakan, sehingga struktur lakon wayang harus selalu sesuai
dengan pola pembagian nada-nada instrumen musik gamelan
sebagai iringannya.48
Analisis struktur lakon AR dalam tulisan ini senada dengan
pendapat di atas, dimana akan dipaparkan satu kesatuan unsur-
unsur yang ada di dalamnya, serta melihat hubungan antar unsur
dengan keseluruhan lakon wayang dalam rangka pementasannya.
Sebuah pementasan teater menurut George Kernodle dalam
bukunya Invitation to The Theatre terdiri dari enam unsur yaitu
alur, tokoh, tema, dialog, musik (mood atau rhythm), dan
spektakel. Keenam unsur tersebut dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu struktur dramatik dan tekstur dramatik. Struktur
dramatik adalah relasi antar unsur dalam naskah drama yang
meliputi alur, tokoh, dan tema. Tekstur dramatik adalah aspek
yang membuat drama itu menjadi tampak, meliputi dialog,
suasana (mood), dan spektakel.49 Brandon menyebutkan bahwa
sifat dan karakter drama wayang berbeda dengan drama/teater
48 Backer dalam Kasidi, 1995, 12. 49 George Kernodle and Portia Kernodle, Invitation to The Theatre (New
York, San Diego, Chicago, San Francisco, Atlanta: Harcourt Brace Jovanovich,
Inc., 1978), 265. Istilah struktur dramatik, dan tekstur dramatik ini oleh Aris Wahyudi diadaptasikan ke dalam istilah pedalangan. Struktur dramatik menjadi sambung rapêt, dan tekstur dramatik menjadi grêgêt saut. Lihat Aris
Wahyudi, 2012, 29.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
Barat.50 Oleh sebab itu unsur-unsur pentas drama Barat menurut
George Kernodle perlu diadaptasikan menurut sifat dan karakter
pertunjukan wayang kulit.
Soetarno, dkk., berkenaan dengan unsur-unsur drama
wayang atau garap pakeliran membaginya menjadi empat jenis
yaitu (1) lakon (sanggit) meliputi tema, pesan, amanat, penokohan,
dan alur; (2) catur terdiri dari ginêm, janturan, dan pocapan; (3)
sabêt terdiri dari tancêpan, bêdholan, êntas-êntasan, pêrangan;
dan (4) karawitan pakeliran terdiri dari gending, dhodhogan,
kêprakan, sulukan, dan sebagainya.51 Senada dengan pendapat
tersebut, menurut Kasidi, unsur-unsur yang membangun sebuah
pementasan wayang semalam suntuk meliputi adegan, bahasa
wayang, deskripsi/bahasa candran, kêprakan, sulukan, dialog
wayang (ginêm), gending-gending pengiring yang digunakan selama
pertunjukan.52
Adanya dua pendapat mengenai unsur-unsur pentas
drama yaitu menurut drama Barat dan menurut drama wayang,
maka kedua pendapat tersebut akan digunakan saling melengkapi
dan dianggap memiliki kesejajaran. Unsur-unsur drama Barat
meskipun dapat disejajarkan dengan drama wayang, namun
drama wayang memiliki sifat dan karakter yang khas. Unsur alur,
50 James R. Brandon dalam Aris Wahyudi, 2011, 106. 51 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 48-63. 52 Kasidi, 1995, 181.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
tokoh, dan tema dalam drama Barat dapat disejajarkan dalam
unsur lakon/sanggit menurut drama wayang. Kesejajaran unsur
tekstur dramatik yang terdiri dari dialog, musik (mood atau
rhythm), dan spektakel dapat dijelaskan sebagai berikut: dialog
dalam drama Barat dapat disamakan dengan ginêm dalam drama
wayang, namun ginêm merupakan salah satu bagian dari unsur
catur dalam drama wayang. Unsur catur terdiri dari janturan,
pocapan, dan ginêm. Adanya perbedaan ini menunjukkan bahwa
unsur janturan dan pocapan merupakan unsur khas dari drama
wayang. Unsur musik yang membentuk suasana dalam drama
Barat dapat disamakan dengan karawitan pakeliran. Unsur drama
wayang yang tidak terdapat dalam drama Barat adalah sabêt dan
unsur drama Barat yang belum diperhatikan dalam drama wayang
adalah spektakel.
Perbedaan menonjol antara drama Barat dan drama
wayang yang lain terletak pada bagian alur dan penokohan. (1)
Alur dramatik dalam pakeliran tidak hanya terbentuk oleh
struktur lakon, tetapi juga tekstur lakon yang meliputi: catur,
sabêt, gending, sulukan, dhodhogan, dan kêprakan.53 Bahkan
pertautan garap antarunsur ekspresi itulah yang dapat
membentuk pola sebuah alur dramatik lakon wayang. Alur dalam
pertunjukan wayang kulit purwa Jawa selain dibentuk oleh
53 Brandon, 1970, 31. Lihat pula: Suyanto, 2009, 65
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
struktur dramatik dan tekstur dramatik juga dibentuk oleh pola
bangunan lakon wayang.54 Berkenaan dengan analisis alur
dramatik, Gustave Freytag mengatakan bahwa alur dramatik
terdiri dari: pengenalan (exposition), peristiwa mulai bergerak
(rising action), perumitan atau komplikasi (complication), saat yang
menentukan atau klimaks (climax), peristiwa mulai mereda (falling
action), penyelesaian (resolution), dan kesimpulan (conclution). Alur
dramatik tersebut membentuk sebuah piramid, sehingga disebut
„Freytags Piramid‟ atau „Piramid Freyrag‟ atau Struktur Piramidal
Gustave Freytag.55 Jadi, analisis alur dramatik dalam pertunjukan
wayang merupakan hubungan antara (a) pola bangunan lakon
wayang, (b) struktur dramatik, dan (c) tekstur dramatik
(suasana/mood) serta dilengkapi dengan struktur piramidal
Gustave Freytag. (2) Tokoh dalam drama wayang bersifat tetap dan
dikenal sebagai tokoh mitologis. Hal ini berbeda dengan
penokohan dalam drama Barat yang sifat tidak tetap. Tokoh
wayang dikatakan tetap karena cerita tokoh wayang dalam sebuah
lakon semalam suntuk sebenarnya merupakan bagian kecil dari
cerita wayang yang sangat panjang. Tokoh wayang dianggap
sebagai tokoh mitologis juga diungkapkan Becker yang
menyebutkan bahwa “wayang has reference to a mythology
54 Suyanto, 2009, 66. 55 John E. Dietrich, Play Ditection (New York: Prentice-Hall, Inc., 1955), 29-
30.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
accessible to us in Old Javanese or Sanskrit literature, primarily the
two great epic, the Ramayana and the Mahabharata”.56
Berdasarkan pandangan tersebut dapat diasumsikan bahwa
munculnya wayang berawal dari pemikiran mitologis yang terdapat
dalam sastra Jawa Kuna maupun literatur berbahasa sansekerta
terutama dari kisah Mahabharata dan Ramayana. Pandangan
tersebut dihargai karena tokoh-tokoh dalam lakon AR bersumber
dari Mahabarata. Mahabarata merupakan sebuah epos yang
memuat tentang ajaran-ajaran ritual Wedik Brahmanisme yang
meliputi prinsip-prinsip kehirarkian serta keseimbangan alam
yang diatur dalam sebuah kelembagaan ritual.57 Oleh karena itu,
pembahasan mengenai pergerakan cerita pertunjukan wayang
lakon AR sajian Ki Anom Suroto tidak dapat dilepaskan dari
pelaku karena setiap tokoh dianggap mitos yang memiliki prinsip
dan peran masing-masing dalam kelembagaan ritual. Dalam
pembahasan mengenai peran tokoh dalam pergerakan cerita,
penulis akan mengikuti pandangan Hiltebeitel yang ditawarkan
Aris Wahyudi melalui pendekatan mitologi-ritual. Hiltebeitel
berpendapat bahwa setiap pembahasan yang berkaitan dengan
kisah Mahabarata tidak dapat lepas dari masalah mite dan
56 A. L. Becker, 1979, 227; Lihat pula Aris Wahyudi, 2012, 25. 57 A. H. Johns; Minkowaki, Greog Von Simson dalam Aris Wahyudi, 2012,
25.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
ritual.58 Lebih lanjut dijelaskan mengenai pemikiran yang terdapat
dalam Mahabarata bahwa alam semesta ini terbagi menjadi tiga
tataran, yaitu tataran mite, tataran ritual, dan tataran epik.
Tataran mite memiliki kedudukan yang paling tinggi karena yang
berada dalam tataran ini adalah para dewa yang dianggap sebagai
sumber bagi segala sesuatu yang berada di dalam semesta ini.
Tataran epik adalah semua makhluk yang berada di dunia,
terutama para ksatria. Tataran ritual merupakan tataran transisi
atau tataran tempat terjadi komunikasi antara tataran mite
dengan tataran epik. Tataran ritual dapat dicapai oleh tataran epik
dengan jalan melaksanakan laku atau proses ritual, sedangkan
tataran ritual dapat dicapai oleh tataran mite melalui inkarnasi
atau pewahyuan. Dengan demikian, tataran ritual merupakan
tempat terjalinnya komunikasi antara tataran epik dengan tataran
mite.59 Jadi, tokoh wayang di sini dipahami sebagai tokoh mitos.
Artinya, peristiwa yang dialami oleh tokoh titah selalu melibatkan
campur tangan dari tokoh-tokoh dewa yang ditunjukkan melalui
sistem simbol yang berupa inkarnasi, kepemilikan atas sesuatu,
karakter, ciri-ciri fisik, dan keturunan.60 Teori epik, ritual, dan
58 Alf Hiltebeitel, The Ritual of Battle; Krishna in The Mahabharata (Albany:
State University of New York Press, 1990), p. 360. Lihat pula: Aris Wahyudi,
“Sanggit dan Makna Lakon Wahyu Cakraningrat Sajian Ki Hadi Sugito”, Tesis
untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-2,
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2001, 17.
59 Aris Wahyudi, 2001, 18. 60 Hiltebeitel, 1990, 35-37. Lihat Pula: Aris Wahyudi, 2012, 26.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
mite selain digunakan untuk melihat peran tokoh dalam
menggerakkan cerita melalui tindakannya juga digunakan untuk
mengetahui hubungan mite apa yang ada pada masing-masing
tokoh sehingga Antasena berjodoh dengan Manuwati. Jadi,
pembahasan struktur lakon AR sajian Ki Anom Suroto dalam
penelitian ini meliputi struktur dramatik yang dalam drama
wayang disebut lakon (alur, tema, tokoh), tekstur dramatik yang
meliputi catur (dialog/ginêm, janturan, pocapan), karawitan
pakeliran (gending, sulukan, dhodhogan, kêprakan), sabêt, dan
spektakel.
Teori lain yang mendukung dalam kajian struktural adalah
tulisan M. Ng. Nayawirangka dalam bukunya Serat Tuntunan
Pedalangan Caking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi.
Nayawirangka mengatakan bahwa pengetahuan pedalangan tradisi
gaya Surakarta terdiri dari lima hal penting yaitu carita, laras,
sabêt, kawruh, dan pakeliran. Dalam rangka studi struktur lakon
akan dibahas carita, laras, dan kawruh. Nayawirangka
mengatakan bahwa carita atau deskripsi dalang terdiri dari
janturan, pocapan, ginêm, antawacana. Berkaitan dengan analisis
struktur lakon wayang ini bagian antawacana tidak dibicarakan
secara mendetail. Antawacana tidak dibahas dengan detail karena
antawacana membicarakan nada berapa yang diambil oleh dalang
dalam menyuarakan tokoh wayang. Laras meliputi sulukan,
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
gending iringan, dan tanda dalang yang berupa dhodhogan-
kêprakan. Kawruh terdiri dari cacad seorang dalang, susunan
adegan, golongan wayang, wanda, kayon, dan sebagainya.61
Berkaitan dengan analisis struktur lakon wayang dalam penelitian
ini, bagian kawruh hanya akan dibicarakan susunan adegan.
Carita, laras, dan susunan adegan menurut Nayawirangka
tersebut akan dipakai untuk menganalisis susunan adegan,
bentuk carita, dan bentuk laras pada kedua lakon tersebut.
Buku lain yang menunjang dalam membedah unsur-unsur
garap pakeliran tradisi gaya Surakarta adalah Teori Pedalangan
Bunga Rampai Elemen-elemen Dasar Pakeliran tulisan Bambang
Murtiyoso, dkk.62 Buku ini merupakan buku penunjang tulisan
Soetarno dan Nayawirangka karena dalam buku ini dipaparkan
unsur-unsur garap pakeliran secara lengkap sesuai
perkembangan saat ini. Tulisan ini berguna untuk menganalisis
jenis dan fungsi janturan, pocapan, ginêm, dhodhogan-kêprakan,
sulukan, dan gending iringan yang telah mengalami perkembangan
dari buku Nayawirangka.
Penelitian ini selain ingin mengkaji lakon AR sajian Ki
Anom Suroto secara struktural juga ingin menganalisis estetika
serta pesan-pesan yang ada dalam lakon AR. Berkaitan dengan
analisis estetika pedalangan, Soetarno dkk., dalam bukunya
61 M. Ng. Nojowirongko al Atmotjendono, 1960. 62 Bambang Murtiyoso, dkk., 2007.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
Estetika Pedalangan membahas berbagai macam estetika
pedalangan. Beberapa macam konsep estetika pedalangan
berkaitan dengan garap unsur antara lain rêgu, sêdhih, grêgêt,
ngês, sêm, dll.63 Konsep-konsep estetika pedalangan tersebut akan
digunakan untuk menganalisis estetika lakon AR sajian Ki Anom
Suroto.
Estetika dalam wayang bagi masyarakat Jawa selain
berbicara mengenai keindahan juga menyampaikan pesan-pesan,
dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Hal ini diungkapkan
Andherson, dimana dalam peradaban Jawa tradisional tidak ada
garis pemisah yang jelas antara gagasan baik dan gagasan indah
oleh karenanya apa yang baik adalah indah dan apa yang indah
adalah baik. Andherson lebih lanjut mengatakan bahwa
pengembangan aspek estetik perasaan seseorang merupakan
aspek utama dari pendidikan Jawa. Artinya, bahwa dalam aspek
keindahan dalam pertunjukan wayang disana terkandung pesan-
pesan yang akan mendidik masyarakat Jawa.64 Isi atau pesan
dalam sebuah pertunjukan wayang kulit purwa Jawa bisa berupa
pesan religius, pesan moral, pesan-pesan kemanusiaan, pesan
63 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 15. 64 Benedict R. O‟G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Terj.
Ruslani (Yogyakarta: Qalam, 2000), 46.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
patriotisme, pesan keadilan, pesan kesetiaan, pesan pendidikan,
pesan penerangan, pesan hiburan, dan pesan keutamaan.65
Berbagai pesan dalam pertunjukan wayang kulit purwa
Jawa tersebut akan didukung dengan pemikiran Benedict R. O‟G.
Anderson66 dan Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa
sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Benedict R. O‟G. Anderson berpendapat bahwa sikap toleransi
orang Jawa tersirat dalam karakter tokoh-tokoh cerita
pewayangan yang dalam hal ini lakon AR sajian Ki Anom Suroto.67
Menurut Magnis Suseno, ada dua kaidah dasar kehidupan orang
Jawa yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat.68 Menurut
Zoetmulder bahwa pandangan hidup masyarakat Jawa sudah
tersusun secara teratur dan selaras. Tugas moral adalah menjaga
keselarasan dengan tata tertib serta menjaga keseimbangan
masyarakatnya dalam arti selaras hubungannya dengan
lingkungan, dengan sesama manusia, dan dengan Tuhan. Nilai
tertinggi dalam kehidupan bersama orang Jawa adalah
keselarasan yang menempatkan manusia dalam kondisi rukun
dan tentram.69
65 Soetarno, 2004, 24. Lihat pula: Soetarno, 2005, 10, Soetarno, 2011,
169. 66 Benedict R. O‟G. Anderson, 2000. 67 Benedict R. O‟G. Anderson, 2000. 68 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1996). 69 P. J. Zoemulder, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang
(Jakarta: Djambatan, 1985), 12.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
Berbagai pesan yang terdapat dalam lakon AR sajian Ki
Anom Suroto pada era saat ini bisa dipakai sebagai penanaman
sikap untuk pendidikan karakter. Sikap-sikap yang mendukung
dalam pendidikan karakter meliputi delapan belas butir sikap
yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab.70
F. Metode Penelitian
Langkah awal dalam penelitian ini adalah dimulai dengan
studi pustaka mengenai lakon AR. Penulis secara khusus mencari
refrensi yang bersinggungan dengan lakon AR, struktur lakon,
jalinan unsur-unsur pakeliran, estetika pedalangan, pesan-pesan
dalam pakeliran baik yang sudah diterbitkan maupun yang belum
diterbitkan. Sumber-sumber pustaka sebagai data tertulis ini
berupa buku-buku, laporan penelitian, kaset, dan naskah.
Mengenai dilakukannya studi kepustakaan dimaksudkan untuk
memperoleh keabsahan bagi suatu penelitian.
Tahap selanjutnya adalah tahap wawancara. Wawancara
dilakukan kepada ahli pedalangan, dalang, pengrawit, swarawati,
dan beberapa ahli yang memahami seluk beluk permasalahan.
Adapun beberapa nara sumber yang dipilih adalah Soetarno dan
70 Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Pengembangan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa (Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, 2010), 9-10.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
Aris Wahyudi, sebagai pakar wayang; Ki Sayoko Ganda Saputra
sebagai wakil kalangan dalang. Sebagai perwakilan dari pengrawit
akan dipilih Ki Suwito Radyo, Ki Nuryanto dari Klaten.
Tahap selanjutnya adalah metode deskripsi analitik.
Metode deskripsi analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan
pertunjukan wayang kulit lakon AR sajian Ki Anom Suroto disusul
dengan analisis.71 Metode lain yang digunakan untuk analisis
penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian struktural
dengan objek kajian rekaman lakon AR sajian Ki Anom Suroto.
Analisis strukturalisme bertujuan membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti, dan semendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua unsur yang bersama-sama menghasilkan
makna yang menyeluruh.72 Langkah pertama analisis struktur
lakon AR ialah mentranskrip rekaman audio ke dalam bentuk
tulisan beserta penanda-penanda unsur pementasan wayang.
Cara kerja pentranskripan mengikuti Kasidi dalam tesisnya,
”Lakon Wayang Kulit Purwa Palasara Rabi Suntingan Teks, dan
Analisis Struktural”.73 Adapun pentranskripan dilakukan dengan
memperhatikan tiga aspek yang sangat mempengaruhi sebuah
pementasan wayang, meliputi :
71 Lihat: Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 53. 72 A. Teuw, Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra (Jakarta:
Pustaka Jaya,1984), 135. 73 Kasidi, 1995.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
1. Aspek naratif/catur yang terdiri atas ginem, janturan, dan
pocapan.
2. Aspek iringan/karawitan pakeliran yang terdiri dari
kêprakan, dhodhogan, sulukan, kombangan, gending iringan,
serta berbagai hal yang berkaitan dengan aspek iringan.
Dalam tulisan ini berbagai hal yang berhubungan dengan
aspek iringan tidak ditulis secara lengkap, tetapi hanya
ditulis nama-namanya saja, misalnya nama gending,
kêprakan, dan sulukan, sedangkan notasi tidak disajikan.
3. Aspek respon penonton yang terdiri dari tawa, sorak-sorai
penonton, tepuk tangan, dan komentar.
Ketiga aspek tersebut masih ditambahkan penulisan durasi
waktu, iringan musik gêndèr, dan lakuan dalam pementasan yang
memungkinkan ditranskripsi dalam bentuk tulisan. Hal ini
dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang
berbagai peristiwa yang terjadi dalam rekaman tersebut. Berbagai
hal tersebut dalam transkripsi dipergunakan tanda-tanda yang
khas untuk setiap unsur pementasanya. Penggunaan istilah-
istilah yang dipakai Kasidi dalam transkripsi ini tidak sepenuhnya
akan diikuti, tetapi akan disesuaikan dengan istilah-istilah yang
ada dalam tradisi pewayangan gaya Surakarta.
Langkah selanjutnya adalah menyajikan bangunan lakon
dan struktur umum lakon tradisi pewayangan gaya Surakarta.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
Kemudian disajikan struktur naratif lakon AR yang meliputi
pembagian pathêt; bentuk jêjêran, adegan, pêrangan; jenis-jenis
catur/deskripsi, bentuk tindakan, dan gending iringan pakeliran.
Telah diketahuinya struktur naratif lakon AR dilanjutkan analisis
unsur-unsur garap pakeliran lakon/sanggit (alur, tema,
penokohan), catur (dialog, janturan, dan pocapan), karawitan
pakeliran (sulukan, dhodhogan, kêprakan, gending-gending
karawitan).
Setelah ditemukannya semua unsur-unsur lakon AR,
langkah selanjutnya adalah menganalisis garap unsur-unsur
pakeliran melalui kajian estetika pedalangan. Estetika pedalangan
ini peneliti akan melihat suasana rêgu, sêdih, grêgêt, ngês, sêm,
tutuk, antawacana, trampil, dll.
Langkah selanjutnya adalah melihat pesan-pesan yang
terkandung dalam lakon AR sajian Ki Anom Soeroto. Dalam
melihat pesan-pesan tersebut penulis mengikuti langkah kerja
Soetarno dalam laporan penelitiannya ”Peranan Wayang dalam
Menunjang Jati Diri Bangsa”. Analisis pesan-pesan lakon dilihat
dari pesan moral, spiritual, pesan etis, pesan estetis, pesan
pendidikan dan penerangan, pesan hiburan atau hedonistik,
pesan keutamaan dengan memperhatikan aspek etika Jawa di
dalamnya. Langkah terakhir adalah melihat lakon tersebut dengan
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
nilai-nilai pembentuk karakter yang diidentifikasi oleh Pusat
Kurikulum dan Perbukuan.
G. Sitematika Penulisan
BAB I PENGANTAR
Bagian ini menyajikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori yang digunakan dalam analisis, metode penelitian yang
digunakan, dan sistematika penyusunan tesis.
BAB II SUMBER LAKON ANTASÉNA RABI
Bab ini menyajikan uraian tentang sumber lakon Antaséna
Rabi. Pembahasan dalam bab ini didahului dengan pengertian dan
jenis lakon yang berkembang dalam jagad pewayangan. Uraian
dilanjutkan dengan pengetahuan umum mengenai repertoar lakon
wayang kulit purwa Jawa yang terdiri dari berbagai sumber, baik
sumber cerita lakon berbentuk prosa, balungan lakon, maupun
pakêm jangkêp. Bab II diakhiri uraian mengenai sumber cerita
lakon Antaséna Rabi.
BAB III UNSUR-UNSUR PAKELIRAN
Bab ini menyajikan uraian mengenai unsur-unsur
pakeliran. Unsur pakeliran yang dibahas meliputi pola bangunan
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
wayang dan struktur lakon wayang kulit purwa Jawa. Sub bab
mengenai struktur lakon wayang kulit purwa Jawa terdiri dari
pertama, struktur lakon yang terdiri dari alur dramatik, tema, dan
penokohan, kedua tekstur dramatik yang terdiri dari catur,
karawitan pakeliran, sabêt, dan spektakel.
BAB IV STRUKTUR LAKON ANATASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM
SUROTO
Bab ini memaparkan analisis struktural terhadap lakon
Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto. Analisis struktural ini
meliputi struktur lakon yang terdiri alur dramatik, tema, dan
penokohan; tekstur dramatik yang meliputi catur, karawitan
pakeliran, sabêt, dan spektakel.
BAB V NILAI-NILAI ESTETIKA DAN PESAN-PESAN PERTUNJUKAN
WAYANG ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO
Bab ini memaparkan nilai-nilai estetika dan pesan-pesan
yang terdapat dalam pertunjukan wayang Antaséna Rabi sajian Ki
Anom Suroto. Nilai-nilai estetika yang dibahas meliputi suasana
rêgu, grêgêt, sêm, ngês, rênggêp, antawacana, cucut, unggah-
ungguh, tutuk, dan trampil. Pesan-pesan yang terdapat dalam
pertunjukan Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto meliputi pesan
moral, pesan spiritual, pesan etika, pesan hiburan, dan pesan
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
pendidikan dan penerangan. Analisi terakhir dalam bab ini
melihat berbagai pesan yang ada dalam lakon Antaséna Rabi
dalam hubungannya dalam peran lakon Antaséna Rabi dalam
pendidikan karakter.
Bab VI KESIMPULAN
Bagian ini merangkum dan menyimpulkan hasil analisis
dari bab I sampai bab IV.
PERTUNJUKAN WAYANG LAKON ANTASÉNA RABI SAJIAN KI ANOM SUROTO(KAJIAN STRUKTURAL DAN ESTETIKA)KRYSTIADIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/