bab i pengaruh terapi musik terhadap depresi pada lansia di bpstw ciparay bandung

Upload: lusi-tobing

Post on 12-Oct-2015

274 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kisi-kisi penelitian.. ;-)

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Lanjut usia merupakan istilah bagi individu yang sudah memasuki periode

    dewasa akhir atau usia tua. Batasan lanjut usia menurut Organisasi Kesehatan

    Dunia atau World Health Organization (WHO) adalah usia 60 tahun atau lebih.

    Batasan ini sesuai dengan batasan lanjut usia yang ditetapkan di Indonesia yang

    tercantum dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan

    lansia yaitu lebih dari 60 tahun (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,

    1998).

    Penduduk lansia dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2000,

    jumlah lansia di dunia sekitar 600 juta (11%), diperkirakan akan ada 1,2 milyar

    (22%) pada tahun 2025, menjadi 2 milyar pada tahun 2050. Di negara

    berkembang pada tahun 2000, jumlah lansia akan mencapai 400 juta, tahun 2025

    diperkirakan mencapai 800 juta, dan tahun 2050 akan mencapai 1,49 milyar

    (WHO, 2002).

    Di Indonesia sendiri, pada tahun 2000 terdapat 14.439.967 jiwa lansia

    (7,18 %), tahun 2006 terdapat > 19 juta jiwa (8,90 %), pada tahun 2007 terdapat

    18,7 juta jiwa (8,42 %), kemudian tahun 2009 mencapai 18,7 juta jiwa (8,5 %),

    tahun 2010 terdapat > 23,9 juta jiwa (9,77%). Diperkirakan pada tahun 2020 akan

    terdapat 28,8 juta jiwa lansia (11,34 %) dan tahun 2050 akan menjadi dua kali

    lipatnya (Mentri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2010; Ronawulan,

  • 2

    2009; Soewono, 2009). Peningkatan jumlah penduduk lansia ini telah menjadikan

    Indonesia salah satu negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia

    (aging structured population) dan menempati urutan ke-4 terbanyak negara

    berpopulasi lansia setelah Cina, India, dan Amerika (Ronawulan, 2009).

    Peningkatan jumlah lansia ini tentunya akan memberikan dampak pada pelayanan

    bagi lansia khususnya pelayanan kesehatan, dimana setiap pemberi pelayanan

    kesehatan (termasuk pelayanan keperawatan) harus meningkatkan kualitas dan

    kuantitas pelayanannya.

    Proses menjadi lansia merupakan proses alamiah sesuai dengan

    peningkatan usia seseorang. Dalam proses menua ini terjadi beberapa perubahan

    yang menyangkut biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Perubahan-perubahan

    ini pada setiap individu dapat berbeda-beda, namun tetap mengalami proses

    perubahan yang sama. Kemunduran fisik dan psikis ini dikenal dengan istilah

    menua (aging), dan merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia

    karena sudah kodratnya manusia (Darmojo dan Martono, 2004).

    Perubahan psikologis lansia berkaitan erat dengan perubahan biologis

    yang dialaminya. Adanya perubahan biologis atau fisik pada lansia akan

    berdampak pada kemampuan sensasi, persepsi, dan penampilan psikomotor yang

    sangat penting bagi fungsi individu sehari-hari (Atchley & Barusch, 2004).

    Penurunan fungsi ini akan memberikan efek pada kemampuan belajar, daya ingat,

    berpikir, menyelesaikan masalah, daya kreativitas, intelegensi, keahlian, dan

    kebijaksanaan. Lansia yang tidak siap dengan perubahan tersebut akan sangat

    berdampak pada perubahan psikologisnya.

  • 3

    Permasalahan psikologis yang umum terjadi pada lansia adalah

    kecemasan, kesepian, rasa bersalah, depresi, keluhan somatik, reaksi paranoid,

    demensia, dan delirium (Shives, 2005). Depresi merupakan salah satu masalah

    kesehatan umum dan terbesar ditemukan pada lansia (Hitchcock, Schubert dan

    Thomas, 1999; Allender dan Spradley, 2005).

    Depresi adalah gangguan mental berupa gangguan alam perasaan yang

    ditunjukkan dengan perasaan yang sangat tertekan, kehilangan terhadap hal-hal

    yang menarik, perasaan bersalah, penilaian terhadap diri yang rendah, gangguan

    tidur, gangguan nafsu makan, lemah dan kehilangan daya konsentrasi (WHO,

    2010). Sedangkan menurut Frisch & Frisch (2006), depresi adalah suatu keadaan

    hilangnya aktivitas umum yang menyenangkan. Depresi terjadi sebagai dampak

    beragam perubahan dan kehilangan dalam hidup (multiple loss), seperti:

    perubahan sosiodemografi dan konsekuensinya, pensiun, penurunan kesehatan,

    kurangnya hubungan sosial, dan kehilangan orang yang dicintai (Friedman,

    Bowden dan Jones, 2003; Allender dan Spradley, 2005). Faktor-faktor penyebab

    depresi menurut Nevid dkk (2003) adalah usia, status sosioekonomi, status

    pernikahan, jenis kelamin, genetik, peristiwa kehidupan stressful, learned

    helplessness, negative cognitive styles, dan dukungan sosial.

    Adapun tanda dan gejala depresi ialah berupa keluhan fisik dan psikis.

    Keluhan fisik antara lain nafsu makan berubah; mengeluh sulit tidur, dan

    sebaliknya ada juga yang tidur terus dan tidak mempunyai keinginan apa-apa; ada

    yang mengeluh sakit kepala, punggung, pinggang pegal, dan rasa nyeri umum

    yang berkepanjangan.; biasanya mereka mengeluh lelah sepanjang waktu, merasa

    tidak bertenaga atau kekuatannya hilang. Umumnya keluhan fisik ini tidak dapat

  • 4

    dibuktikan kaitannya dengan kelainan fungsi organ tubuh. Sedangkan gangguan

    psikis yang terlihat antara lain suasana hati yang murung, sedih, kecewa, resah,

    gelisah, takut, emosinya labil, mudah marah, cepat tersinggung, merasa tertekan,

    mudah menangis tanpa alasan yang jelas, merasa kesepian, tidak berharga, tidak

    berdaya, perasaan hampa, rasa bersalah yang berlebihan sehingga kadang-kadang

    mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk bunuh diri. Mereka juga

    kehilangan minat, gairah, dan kesenangan (Santoso dan Ismail, 2009).

    Prevalensi depresi pada lansia di dunia sekitar 8 15 %. Hasil meta

    analisis dari berbagai negara di dunia diperoleh prevalensi rata-rata depresi pada

    lansia adalah 13,5 % dengan perbandingan wanita dan pria adalah 14,1 : 8,6. Dari

    data berikut juga ditemukan bahwa depresi merupakan masalah utama pada lansia.

    Prevalensi depresi pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan panti

    perawatan sebesar 30 45 % (Dharmono, 2008). Rahardjo (2010) mengatakan

    bahwa di Indonesia sendiri, sekitar 74 % lansia usia 60 tahun ke atas menderita

    penyakit kronis yaitu hipertensi, diabetes, osteoporosis, rematik dan jantung yang

    harus makan obat terus selama hidupnya. Angka ini dapat mengindikasikan

    bahwa ada kemungkinan sebanyak 74 % lansia di Indonesia berpotensi untuk

    mengalami depresi.

    Menurut Gallo dan Gonzales (2001), penelitian-penelitian pada komunitas

    di seluruh dunia menunjukkan bahwa angka depresi mayor pada lansia adalah

    berkisar dari 3 15%. Insidensi depresi paling rendah terdapat pada lansia yang

    menetap di masyarakat dan paling tinggi pada lansia yang menjadi penghuni panti

    rawat werdha (Futterman, Thompson, Gallagher-Thompson, dan Ferris, 1995)

    dalam (Hoyer & Roodin, 2003). Di unit komunitas, prevalensi depresi pada lansia

  • 5

    lebih bervariasi antara 1 35 % (Frazer, Christensen & Griffith, 2005). Meskipun

    tidak terlalu signifikan, namun tanda dan gejala depresi akan sangat berdampak

    pada kualitas hidup lansia dan juga dapat menjadi gangguan jiwa yang lebih berat

    jika tidak diintervensi secara tepat. Bahkan dapat mengakibatkan keinginan untuk

    bunuh diri pada lansia.

    Walaupun demikian, depresi dapat diatasi dengan berbagai terapi, baik

    terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Terapi nonfarmakologis biasanya

    didahulukan sebelum memulai terapi farmakologis (Setiati, 2000). Terapi

    nonfarmakologis diantaranya adalah terapi suportif, terapi kognitif, terapi musik,

    biblioterapi, life review therapy, terapi rekreasi, dan lain-lain (Setyoadi dan

    Kushariyadi, 2011).

    Pelaksanaan terapi suportif, kognitif, life review therapy, dan kebanyakan

    terapi nonfarmakologis lainnya memerlukan pelatihan khusus dan hanya dapat

    dilakukan oleh tenaga yang telah tersertifikasi. Bibliografi sendiri cukup sulit

    dilakukan karena kebanyakan lansia memiliki masalah dengan penglihatannya

    sehingga akan sulit untuk menerima terapi dengan membaca (Setyoadi dan

    Kushariyadi, 2011). Berbeda dengan terapi lainnya, terapi musik merupakan

    terapi suplemen yang paling efektif, terutama untuk terapi jangka panjang karena

    dapat dilakukan oleh siapa saja dengan biaya terjangkau dan tanpa menimbulkan

    efek samping (Djohan, 2006; Salempessy, 2001).

    Terapi musik adalah penggunaan musik dalam lingkup klinis, pendidikan,

    dan sosial bagi klien atau pasien yang membutuhkan pengobatan, pendidikan atau

    intervensi pada aspek sosial dan psikologis (Wigram, 2000 dalam Djohan, 2006).

    Secara fisiologis, musik akan meningkatkan aktivitas hemisphere nondominan

  • 6

    yang akan meningkatkan proses relaksasi (Djohan, 2009). Musik merupakan

    getaran udara harmonis yang ditangkap oleh telinga kemudian diteruskan oleh

    syaraf pusat otak, yang menimbulkan kesan tertentu pada lansia. Harmoni musik

    yang setara dengan irama internal tubuh akan memberikan kesan menyenangkan

    pada lansia (Salempessy, 2001).

    Penggunaan musik yang tepat juga selain membuat tubuh kita menjadi

    rileks, dapat meningkatkan kekebalan tubuh kita (Salempessy, 2001). Hal tersebut

    dikarenakan saat mendengarkan musik, tubuh mengeluarkan zat-zat seperti

    serotonin, hormon pertumbuhan, endorfin, dan Salivatory Immunoglobulin A

    (Djohan, 2009). Dalam hal ini, yang berperan dalam penurunan depresi adalah

    serotonin dan norepinefrin, dimana pada penderita depresi ditemukan keadaan

    serotonin dan norepinefrin menurun. Menurunnya kadar serotonin dan

    norepinefrin ini yang menimbulkan gejala depresi seperti berkurangnya tidur,

    selera makan, dorongan seks, dan aktivitas motor yang sering dihubungkan

    dengan depresi (Semiun, 2006). Serotonin dilepaskan saat otak mengalami

    kejutan positif. Contohnya jika kita melihat gambar yang indah, alunan melodi

    flute yang indah, atau menikmati makanan yang enak. Otak akan melepaskan

    sejumlah serotonin dalam jumlah tertentu yang meningkatkan perasaan yang

    menyenangkan (Djohan, 2006). Terapi musik juga dapat dilakukan dalam waktu

    10 15 menit, karena dalam waktu 15 menit dapat membuat rileks tubuh kita

    (Djohan, 2009).

    Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan efektifitas

    dari terapi musik. Baharati dan Brinda Jayaraman, psikolog dari India telah

    melakukan penelitian tentang penggunaan terapi musik melalui headphone dalam

  • 7

    waktu 30 menit selama seminggu dan ditemukan dapat menurunkan tekanan

    darah, memperbaiki metabolisme dasar dan pernafasan sehingga mengurangi

    tekanan terhadap respon fisiologis. Terapi musik juga dapat dilakukan dalam

    waktu 10 15 menit, karena dalam waktu 15 menit dapat membuat rileks tubuh

    kita (Djohan, 2009). Sementara itu, Ashida (2000) dalam penelitiannya tentang

    efek sesi terapi musik reminisans terhadap perubahan gejala depresi pada lansia

    dengan dimensia menemukan bahwa terdapat penurunan signifikan gejala depresi

    setelah lansia mendapatkan sesi musik pada terapi reminisans selama 5 hari

    berturut-turut. Selain itu, terapi musik juga terbukti menurunkan tingkat stres pada

    mahasiswa yang sedang menyusun skripsi di PSIK Undip Semarang (Primadita,

    2011). Masih banyak penelitan lain yang telah dilakukan mengenai efek terapi

    musik pada kesehatan, seperti pada penderita penyakit jantung, stres, cemas,

    skizofrenia, dan lain sebagainya.

    Samuel Halim (2003) dalam Djohan (2006) menyatakan bahwa efek

    musik yang menenangkan dapat memperbaiki kondisi kesehatan, khususnya

    jantung dan pembuluh darah. Karena itu jenis musik yang dianjurkan adalah

    musik yang lembut, yang memiliki tempo stabil, tekstur musik yang konsisten,

    modulasi harmoni terprediksi (biasanya memiliki tempo kisaran 60 80) (Djohan,

    2006; Chan, 2009). Walaupun demikian, setiap manusia memiliki irama internal

    tubuh yang berbeda, hal ini yang menyebabkan pemberian terapi musik terkadang

    harus disesuaikan dengan irama internal tubuh manusia tersebut. Dalam artian,

    pemberian terapi musik yang diperdengarkan terkadang harus sesuai dengan jenis

    musik yang disukai karena irama jenis musik yang disukai biasanya sesuai dengan

    irama internal tubuh (Djohan, 2006). Pada British Journal of Health Psychology

  • 8

    dalam jurnal Music Can Facilitate Blood Pressure Recovery from Stress juga

    dinyatakan bahwa pada Studi oleh Gerdner (1999) menemukan dalam

    penelitiannya orang yang menderita Alzheimer mengalami lebih sedikit agitasi

    ketika diberikan program musik pilihan sendiri dibandingkan dengan yang

    diberikan program musik klasik (Chaffin, 2004).

    Terapi musik terhadap lansia yang mengalami depresi juga sudah pernah

    dilakukan sebelumnya oleh Swara pada tahun 2012 di Yogyakarta, namun terapi

    musik yang diberikan oleh Swara adalah musik langgam jawa keroncong.

    Demikian juga dengan Shalehuddin (2010), Shalehuddin memberikan terapi

    musik gamelan jawa terhadap lansia yang mengalami depresi di Pasuruan.

    Berbeda dengan kedua penelitian tersebut, penelitian kali ini akan memberikan

    terapi musik sesuai dengan jenis musik dan lagu kesukaan lansia masing-masing,

    karena hal tersebut akan lebih efektif dampaknya pada tubuh lansia.

    Panti werdha merupakan unit pelaksana teknis di bidang pembinaan

    kesejahteraan sosial bagi para lansia di panti, berupa pemberian penampungan

    jaminan hidup seperti makanan, pakaian, pemeliharaan, pengisian waktu luang

    seperti rekreasi, bimbingan sosial, mental, serta agama (Departemen Sosial RI,

    1997 dalam Darmodjo et all, 2006). Badan Perlindungan Sosial Tresna Werdha

    Ciparay Jawa Barat merupakan salah satu panti bagi para lansia yang berasal

    dari berbagai daerah di jawa barat. Terdapat 150 orang lansia yang terdaftar

    menerima pelayanan di BPSTW ini, dengan jumlah lansia laki-laki sebanyak 56

    orang dan 94 lansia perempuan. Sedangkan jumlah lansia yang tinggal di BPSTW

    ini ada 144 orang dan 6 orang lansia lainnya masih tinggal bersama keluarga

  • 9

    mereka masing-masing di daerah sekitar panti, namun mengikuti kegiatan yang

    diadakan di BPSTW Ciparay dan terdaftar di tempat ini.

    Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada 2 4 Mei 2013

    di BPSTW Ciparay, ditemukan bahwa 8 dari 14 orang lansia yang diwawancarai

    menderita depresi, mulai dari depresi ringan sampai depresi berat. Ada juga lansia

    yang mengatakan bahwa mereka sulit tidur, ada yang merasakan rindu untuk

    bertemu keluarganya namun tidak bisa. Beberapa lansia juga mengatakan bahwa

    mereka sudah lama tidak berkomunikasi dengan keluarga mereka. Dari penelitian

    yang dilakukan sebelumnya di BPSTW Ciparay tahun 2008 oleh Juniarni terhadap

    35 orang lansia, didapatkan bahwa sebagian besar lansia mengalami depresi

    ringan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah responden 26 orang (74,29 %)

    mengalami depresi ringan, 9 orang (25,71 %) sedang, dan tidak ada seorangpun

    responden yang tidak mengalami depresi. Sementara itu pada penelitian Febi

    Yulianti pada tahun 2011 dari 38 orang yang diteliti, ditemukan 32 lansia

    mengalami depresi ringan dan 6 lansia depresi berat.

    Meskipun rata-rata lansia berada pada tingkat depresi ringan, namun hal

    ini harus menjadi perhatian pemberi pelayanan kesehatan. Karena apabila tidak

    segera diintervensi, depresi yang diderita lansia akan menjadi semakin berat,

    bahkan dapat mengarah pada keinginan untuk bunuh diri. Selain itu, depresi dapat

    memperburuk kondisi kesehatan lansia. Berdasarkan uraian fenomena depresi

    yang terjadi pada lansia tersebut dan belum pernahnya dilakukan penelitian

    mengenai pengaruh terapi musik pada lansia yang mengalami depresi di BPSTW

    Ciparay hingga saat ini, peneliti tertarik untuk meneliti Pengaruh Terapi Musik

  • 10

    terhadap Depresi pada Lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha

    Ciparay Bandung.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah pada

    penelitian ini adalah Bagaimana Pengaruh Terapi Musik terhadap Depresi

    pada Lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay

    Bandung.

    1.3 Tujuan Penelitian

    Berdasarkan lingkupnya, terdapat 2 garis besar tujuan penelitian, yaitu

    tujuan umum dan tujuan khusus.

    1.3.1 Tujuan Umum

    Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana perbedaan depresi

    sebelum dan sesudah diberikan terapi musik pada lansia yang mengalami depresi.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

    1. Untuk mengetahui depresi lansia sebelum dilakukan terapi musik di

    BPSTW Ciparay

    2. Untuk mengetahui depresi lansia setelah dilakukan terapi musik di

    BPSTW Ciparay

  • 11

    3. Untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap depresi pada lansia di

    BPSTW Ciparay

    4. Untuk mengetahui pengaruh terapi musik selama 2 kali follow up di

    BPSTW Ciparay

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Manfaat Teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi karya ilmiah

    keperawatan gerontik. Selain itu, dapat menjadi informasi pada usaha pelayanan

    keperawatan gerontik dalam menjadikan terapi musik sebagai salah satu

    intervensi terhadap depresi pada lansia. Penelitian ini diharapkan juga dapat

    menjadi langkah awal guna pertimbangan dalam penelitian lebih lanjut mengenai

    jenis musik yang tepat pada lansia. Peneliti selanjutnya juga dapat menjadikan

    penelitian ini sebagai data awal dalam meneliti terapi modalitas lainnya yang

    dinilai dapat menurunkan tingkat depresi pada lansia. Dapat juga menjadi

    pertimbangan awal untuk meneliti efektifitas terapi musik terhadap depresi pada

    lansia jika dibandingkan dengan terapi modalitas lainnya.

    1.4.2 Manfaat Praktis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk

    memilih terapi musik sebagai intervensi yang tepat untuk menangani kasus

    depresi pada lansia di BPSTW Ciparay dan Panti Werdha lainnya.

  • 12

    1.5 Kerangka Pemikiran

    Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

    Lansia terus-menerus mengalami kemunduran fisik maupun psikis (aging). Aging

    atau penuaan merupakan proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

    memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga

    tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

    Keadaan seperti ini cenderung membuat lansia lebih berpotensi untuk

    mendapatkan masalah-masalah kesehatan (Nugroho, 2008).

    Salah satu masalah kesehatan yang sangat sering terjadi pada lansia adalah

    depresi. Adapun faktor-faktor penyebab depresi menurut Nevid dkk (2003) yaitu

    usia, status sosioekonomi, status pernikahan, jenis kelamin, genetik, peristiwa

    kehidupan stressful, learned helplessness, negative cognitive styles, dan dukungan

    sosial. Salah satu terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan untuk mencegah

    dan mengatasi depresi lebih lanjut adalah terapi musik.

    Terapi musik merupakan hal yang penting yang dapat dilakukan pada

    lansia yang mengalami depresi. Musik bermanfaat sebagai audioanalgesik

    (penenang) dan menimbulkan pengaruh biomedis yang positif, sebagai penguat

    untuk kesehatan dalam hal keterampilan fisiologis, emosi, dan gaya hidup,

    mereduksi stres pada pikiran dan meningkatkan kesehatan tubuh (Djohan, 2006).

    Dalam hal ini yang berperan menurunkan tingkat depresi adalah serotonin dan

    norepinefrin, dimana pada penderita depresi ditemukan keadaan serotonin dan

    norepinefrin menurun. Menurunnya kadar serotonin dan norepinefrin ini yang

    menimbulkan gejala depresi seperti berkurangnya tidur, selera makan, dorongan

    seks, dan aktivitas motor yang sering dihubungkan dengan depresi (Semiun,

  • 13

    2006). Dengan diberikannya terapi musik, serotonin dilepaskan dalam jumlah

    tertentu yang kemudian meningkatkan perasaan yang menyenangkan (Djohan,

    2006) dan diharapkan dapat mengurangi gejala depresi.

    Baharati dan Brinda Jayaraman melakukan penelitian tentang penggunaan

    terapi musik melalui headphone dalam waktu 30 menit selama seminggu

    ditemukan menurunkan tekanan darah, memperbaiki metabolisme dasar dan

    pernafasan sehingga mengurangi tekanan terhadap respon fisiologis. Tamaroh dan

    Puspitosari dalam penelitiannya menemukan bahwa mendengar bacaan Alquran

    selama 8 hari menurunkan tingkat depresi pada lansia di PSTW Budi Luhur

    Yogyakarta. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam waktu 30 menit

    selama 8 hari pada lansia depresi. Walaupun demikian, terdapat beberapa hal yang

    dapat menjadi faktor perancu dalam pelaksanaan terapi musik pada lansia depresi

    ini. Diantaranya jika lansia tidak mengikuti keseluruhan pelaksanaan sesi terapi

    musik, lansia sedang menggunakan obat-obatan anti depresan (Setiati, 2000), dan

    lansia yang melakukan konseling dengan penurus panti (hal ini juga merupakan

    bagian dari terapi modalitas lain) (Setyoadi dan Kushariyadi, 2011). Maka untuk

    mencegah biasnya data, selama pelaksanaan terapi musik (30 menit) peserta tidak

    diperkenankan untuk meninggalkan ruangan. Demikian pula untuk obat-obatan

    antidepresan, akan diminta kesediaan peserta untuk tidak mengonsumsi

    antidepresan selama masa penelitian. Kalaupun tetap mengonsumsi, waktu

    pelaksanaan akan disesuaikan dengan efek dosis obat masing-masing

    antidepresan.

  • 14

    Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Pengaruh Terapi Musik pada Lansia yang Mengalami Depresi di BPSTW Ciparay

    : Variabel yang diteliti

    Sumber: Modifikasi teori Nevid dkk. (2003), Durand & Barlow (2006), Djohan (2006), WHO (2010), Sheikh dan Yesavage (1986)

    FAKTOR-FAKTOR

    PENYEBAB DEPRESI

    Internal:

    Usia

    Jenis kelamin

    Genetik

    Learned helplessness

    Negative cognitive styles Eksternal:

    Status sosioekonomi

    Status pernikahan

    Peristiwa kehidupan stressful

    Dukungan Sosial

    LANSIA

    DEPRESI

    TERAPI MUSIK

    (30 menit 1 x sehari selama 8

    hari)

    DEPRESI SEBELUM TERAPI

    MUSIK:

    Depresi ringan (5-9)

    Depresi sedang sampai berat (10-15)

    DEPRESI SETELAH TERAPI MUSIK:

    Tidak depresi (0-4)

    Depresi ringan (5-9)

    Depresi sedang sampai berat (10-15)

    Faktor perancu/ confounding:

    - Bila lansia sedang dalam penggunaan obat-obatan

    antidepresan

    - Bila lansia melakukan konseling dengan pengurus

    panti selama penelitian

    berlangsung

    - Bila lansia sedang dalam terapi modalitas lain selama

    penelitian