bab i proposal

14
BAB I PENDAHULUAN A . Latar Belakang Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan tidak terhambat, karena dari segi umur balita yang bertumbuh dan berkembang dan golongan paling rawan KEP ( Depkes, 2002) Sesuai dengan tahap perkembangan di usia balita, anak mulai ingin mandiri. Dalam hal makanan pun anak balita bersifat sebagai konsumen aktif. Artinya mereka dapat memilih dan menentukan sendiri makanan yang ingin dikonsumsi. Banyak dijumpai anak-anak yang terlalu kurus dan gemuk. Sekitar 14% anak balita di Indonesia kurus (sekitar 6% diantaranya sangat kurus) dan sekitar 12% gemuk. Ini merupakan masalh gizi yang harus mendapat perhatian keluarga (Kurniasih, 2010).

Upload: cevy-saputra

Post on 26-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

proposal skripsi

TRANSCRIPT

Page 1: Bab i Proposal

BAB I

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang

Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan

perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu balita

membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan

tidak terhambat, karena dari segi umur balita yang bertumbuh dan berkembang dan

golongan paling rawan KEP ( Depkes, 2002)

Sesuai dengan tahap perkembangan di usia balita, anak mulai ingin mandiri. Dalam

hal makanan pun anak balita bersifat sebagai konsumen aktif. Artinya mereka dapat

memilih dan menentukan sendiri makanan yang ingin dikonsumsi. Banyak dijumpai anak-

anak yang terlalu kurus dan gemuk. Sekitar 14% anak balita di Indonesia kurus (sekitar

6% diantaranya sangat kurus) dan sekitar 12% gemuk. Ini merupakan masalh gizi yang

harus mendapat perhatian keluarga (Kurniasih, 2010).

Aktivitas bermain sebagai cara mengenal dunia sekitar dan mengembangkan seluruh

potensinya membuat anak menunda waktu makannya. Usia balita yang rawan terhadap

masalah dan status gizi karena masa pertumbuhan dan perkembangan di usia ini

menentukan perkembangan fisik dan mental anak di usia remaja dan ketika dewasa.

Selain itu masalah pola makan yang sering terjadi pada anak balita seperti pilih-pilih

makanan, tidak suka sayuran dan menyukai ‘junk food’ akan semakin mempengaruhi

status gizi balita tersebut.

Dampak perubahan kesehatan rumah tangga akan semakin besar terhadap status gizi

balita jika balita memiliki berat badan diatas rata-rata. Sedangkan dampak asupan gizi

terhadap status gizi balita bergantung pada tingkat pengeluaran makanan rumah tangga.

Page 2: Bab i Proposal

Selain itu, pendidikan ibu berpengaruh signifikan terhadap status gizi balita, terutama di

daerah perkotaan (Hidayat, 2005).

Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-

zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi

mungkin. Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak

yang indikasikan oleh tinggi badan dan berat badan (Almatsier, 2003). Penelitian Muljati

(1997), status gizi kurang yang terjadi sewaktu anak berusia 2 atau 3 tahun dan pada usia

lebih muda, dapat mengakibatkan hambatan pada perkembangan fisik, didukung oleh

penelitian Satoto (1990) bahwa faktor usia berpengaruh terhadap perkembangan anak,

sedangkan menurut Kartika dan Latimulu (2002), terdapat hubungan yang bermakna

antara perkembangan kemampuan motorik kasar dengan tingkat kecukupan konsumsi

energi dan protein pada anak. Kekurangan Energi Protein (KEP) masih menjadi masalah

gizi utama di Indonesia dan tampak jelas pada balita, sehingga dapat mengakibatkan

gangguan pertumbuhan serta keterlambatan dalam perkembangan motorik balita

(Soekirman, 2000; Mukherje, 2007).

Perkembangan motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui

kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal cord. Perkembangan

motorik meliputi motorik kasar dan halus. Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang

menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh. Contohnya

kemampuan duduk, menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik

halus adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu,

yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih (Arfan,2008).

Setiap anak akan melewati tahap tumbuh kembang secara fleksibel dan

berkesinambungan. Tumbuh kembang pada masa anak sudah dimulai sejak dalam kandungan

sampai usia 18 tahun. Hal ini sesuai dengan pengertian anak, menurut WHO, yaitu sejak

Page 3: Bab i Proposal

terjadinya konsepsi sampai usia 18 tahun. Hampir sepertiga dari masa kehidupan manusia

dipakai untuk mempersiapkan diri guna menghadapi dua per tiga masa kehidupan berikutnya.

Oleh karena itu, upaya untuk mengoptimalkan tumbuh kembang pada awal–awal kehidupan bayi

dan anak adalah sangat penting. Pencapaian suatu kemampuan pada setiap anak berbeda – beda,

tetapi ada patokan umur tertentu untuk mencapai kemampuan tersebut yang sering disebut

dengan istilah mileston (Moersintowarti, 2002)

Setiap anak tidak akan bisa melewati satu tahap perkembangan sebelum ia melewati

tahapan sebelumnya sebagai contoh, seorang anak tidak akan bisa berjalan sebelum ia bisa

berdiri. Seorang anak tidak akan bisa berdiri bila pertumbuhan kaki dan bagian tubuh lain yang

terkait dengan fungsi berdiri anak terhambat, karena itu perkembangan awal merupakan masa

kritis karena akan menentukan perkembangan selanjutnya (Depkes RI, 2005). Sekitar 16 % dari

anak usia di bawah lima tahun (balita) Indonesia mengalami gangguan perkembangan saraf dan

otak mulai ringan sampai berat (Depkes, 2006) Menurut Pusponegoro (2006), setiap 2 dari 1.000

bayi mengalami gangguan perkembangan motorik, karenanya perlu kecepatan menegakkan

diagnosis dan melakukan terapi untuk proses penyembuhannya, sedangkan berdasarkan suvey,

perkembangan motorik di desa jolotunda terdapat perkembangan motorik yang terlambat

contohnya anak usia lima bulan tidak mampu membalikkan badan dari posisi terlentang ke

telungkup Perkembangan motorik anak merupakan hasil interaksi antara faktor genetik-herediter-

konstitusi dengan faktor lingkungan, baik lingkungan prenatal maupun lingkungan postnatal.

Faktor lingkungan post natal ini meliputi berbagai macam lingkungan. Salah satunya lingkungan

biologis, yang terdiri dari kepekaan terhadap penyakit yaitu imunisasi (IDAI, 2002).

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk

variable tertentu atau perwujudan dari natritur dalam bentuk variable tertentu (Supariasa,

dkk. 1995). Status gizi juga merupakan bagian dari pertumbuhan anak, sehingga kita

dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan atau gangguan pertumbuhan dengan

Page 4: Bab i Proposal

melihat status gizinya dan dapat digunakan untuk mencari penyebab serta mengusahakan

pemulihannya (Soetjiningsih, 1995).

Masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih juga disebabkan susunan konsumsi

makanan yang salah, baik secara kuantitatis/kualitas. Konsumsi makanan berpengaruh

terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik/status gizi optimal terjadi bila tubuh

memperoleh cukup akan zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga

memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan

kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila

tubuh mengalami kekurangan satu/lebih zat-zat gizi essensial. Baik pada status gizi

kurang, maupun status gizi lebih terjadi gangguan gizi Status gizi seorang anak dapat

dipengaruhi oleh 2 hal yaitu asupan makanan yang kurang dan adanya infeksi. Penyakit

infeksi dapat meningkat karena di pengaruhi oleh pelayanan kesehatan dan higiene

sanitasi dan tindakan kuratif serta rehabilitatif (Supariasa,dkk. 2001)

Status gizi memegang peranan sangat penting dalam menentukan kualitas sumber

daya manusia (SDM). Hal itu pula yang seharusnya menjadi pegangan kita dalam

memandang masalah gizi di Indonesia, khususnya Jawa Barat.

Bandung (Kompas). Status gizi memegang peranan sangat penting dalam

menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal itu pula yang

seharusnya menjadi pegangan kita dalam memandang masalah gizi di Indonesia,

khususnya Jawa Barat.

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jabar, angka gizi buruk dan gizi kurang pada

anak-anak di bawah usia lima tahun di Jabar masih tinggi. Dari

Page 5: Bab i Proposal

3.536.981 anak balita yang ditimbang melalui kegiatan posyandu, 380.673 anak

(10,8 persen) di antaranya termasuk dalam kategori gizi

kurang dan 38.769 anak (1,01 persen) divonis menderita gizi buruk.

Jumlah kasus gizi kurang dan gizi buruk sebenarnya lebih besar, seperti

fenomena gunung es, karena tidak semua anak balita akrab dengan

posyandu. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengakui bahwa ini merupakan

persoalan serius. "Jumlah anak balita yang menderita gizi buruk

di Jabar cukup banyak, yakni mencapai angka 419.000 orang atau 2 persen dari

penduduk Jabar," ujarnya.

Mengapa hal ini begitu penting kita cermati? Gizi kurang akan menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan anak secara keseluruhan, termasuk

kecerdasan. Ini merupakan kerugian yang sangat besar bagi Jabar yang

mendambakan SDM berkualitas. Selain itu, gizi kurang menyebabkan

penurunan sumber daya karena biaya pemeliharaan kesehatan meningkat.

Gizi rendah

Kurang gizi disebut juga malnutrisi. Dalam dunia kesehatan dikenal dua jenis

malnutrisi, yaitu malnutrisi primer dan sekunder. Malnutrisi primer

disebabkan kurangnya asupan gizi, baik karena masalah ekonomi maupun

kurangnya pengetahuan orangtua tentang gizi seimbang. Sementara

malnutrisi sekunder berkaitan dengan kurangnya perhatian orangtua terhadap gizi

dan tumbuh kembang anak.

Page 6: Bab i Proposal

Malnutrisi primer terjadi pada masyarakat kurang mampu, sedangkan malnutrisi

sekunder kerap kali diderita anak balita dari keluarga yang

berkecukupan. Hal ini berkaitan erat dengan gaya hidup. Saat ini anak-anak

sudah diperkenalkan dengan makanan cepat saji yang enak dan

gurih, padahal nilai gizinya rendah. Kebiasaan orangtua merokok di depan anak

balitanya tidak hanya kurang baik, tetapi juga membahayakan

kesehatan anak balita.

Akan tetapi, jika dihubungkan dengan keadaan masyarakat Jabar secara

keseluruhan, tingginya angka gizi kurang dan gizi buruk sepertinya

ekuivalen dengan jumlah warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Data

Badan Pusat Statistik menunjukkan, hingga akhir Juli 2009 saja

masih terdapat 11,96 persen dari 42 juta penduduk Jabar yang termasuk kategori

miskin dengan tingkat daya beli rendah.

Sebenarnya Pemerintah Provinsi Jabar telah menggulirkan beberapa kebijakan

yang bertujuan mengurangi angka gizi kurang dan gizi buruk

pada anak balita di Jabar. Secara umum kebijakan-kebijakan tersebut dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Pertama, kebijakan yang

mendorong ketersediaan pelayanan. Kedua, kebijakan yang meningkatkan akses

masyarakat terhadap layanan. Ketiga, kebijakan yang

mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi melalui

pendidikan gizi dan kesehatan.

Page 7: Bab i Proposal

Kebijakan pertama meliputi penimbangan anak balita di posyandu yang dicatat

dalam kartu menuju sehat, pemberian kapsul vitamin A, bantuan

pangan bagi anak kurang gizi dari keluarga miskin, dan fortifikasi (pengayaan

nutrisi) bahan pangan. Fortifikasi bisa meliputi fortifikasi garam

dengan yodium serta fortifikasi terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin

B1, dan B2.

Prevalensi gizi kurang di Indonesia pada tahun 1989 sebesar 37,4%, telah

berhasil diturunkan menjadi 27,3% tahun 2002. Kajian gizi kurang berdasarkan tinggi

badan menurut umur masih sekitar 30-40% anak balita di Indonesia diklasifikasikan

pendek (Menkes, 2004).

Prevalensi gizi kurang di Kota Banjar, Jawa Barat masih sangat tinggi yaitu 504

balita dari 15.726 dengan BGM sebanyak 2.109. Berdasarkan data balita di wilayah kerja

Puskesmas Langensari 2 tahun 2012 sampai saat ini masih terdapat 79 balita yang

mengalami gizi kurang untuk jenis kelamin laki-laki dan 69 balita untuk jenis kelamin

perempuan jadi keseluruhannya untuk yang gizi kurang 148 balita yang mengalami gizi

kurang, untuk gizi lebih terdapat 52 balita untuk jenis kelamin laki-laki dan 27 balita

untuk jenis kelamin perempuan jadi keseluruhannya untuk yang gizi lebih 79 balita, dan

untuk yang gizi baik 735 balita untuk jenis kelamin laki-laki dan 645 untuk jenis kelamin

perempuan jadi total keseluruhannya untuk yang gizi baik 1.380 balita. Untuk jumlah

balita yang ditimbang yang terdapat di Puskesmas Langensari 2 untuk desa muktisari

sebanyak 402, langensari 581, waringisari 624 jadi total keseluruhan dari 3 desa yang

terdapat di puskesmas langensari 1.607 jumlah balita yang ditimbang. 10 balita yang

mengalami gizi buruk dari 15.726 balita dan 504 balita yang mengalami gizi kurang yang

terdapat di Kota Banjar (Depkes 2006; Dinkes Kota Banjar 2012). Berdasarkan data

Page 8: Bab i Proposal

tersebut balita dengan gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Langensari 2 masih relatif

tinggi, sedangkan status gizi merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap

perkembangan motorik balita.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, perlu adanya suatu kajian untuk

mengetahui hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik pada anak balita

di wilayah kerja Puskesmas Langensari 2 Kota Banjar.

A. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

Apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik pada anak

balita usia 1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas 2 Langensari ?

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Pada Anak

Balita Usia 1 – 5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas 2 Langensari.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui status gizi pada anak balita usia 1-5 tahun di wilayah kerja

Puskesmas 2 Langensari.

b. Mengetahui perkembangan motorik pada anak balita usia 1-5 tahun di wilayah

kerja Puskesmas 2 Langensari.

c. Mengetahui hubungan status gizi dengan perkembangan motorik pada anak balita

1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas 2 Langensari.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat praktis

a. Bagi peneliti

Page 9: Bab i Proposal

Menambah pengetahuan serta pengalaman secara langsung menghadapi masalah-

masalah gizi di masyarakat.

b. Bagi instansi

Sebagai masukan bagi instansi untuk lebih bisa meningkatkan atau menambah

semangat kinerja dalam upaya meningkatkan pemantauan-pemantauan gizi di

masyarakat terutama perkembangan anak sebagai tindak kewaspadaan dan deteksi

dini untuk mengetahui gangguan perkembangan dan diagnosis, mencegah dan

pemulihannya dilakukan lebih awal sehingga tumbuh kembang anak berlangsung

seoptimal mungkin.

c. Bagi masyarakat

Dapat mengetahui secara dini masalah gizi dan perkembangan motorik pada anak

balita.

2. Manfaat teoritis

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan masalah status

gizi dan perkembangan motorik pada anak balita serta sebagai referensi penelitian

selanjutnya.