bab i referatku
DESCRIPTION
BAB I referatkuTRANSCRIPT
BAB ITINJAUAN PUSTAKA
1.1 PendahuluanCara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore bahkan
kadang-kadang sampai malam hari duduk dibelakang meja menyebabkan tidak
adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, apalagi bagi para
eksekutif hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan
menu makanan yang cepat saji. Pola hidup berisiko seperti inilah yang
menyebabkan tingginya kekerapan penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes,
dan hiperlipedemia, Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, Indonesia telah
memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi
nampaknya merupakan penyebab penting masalah ini, dan terus menerus
meningkat pada milenium baru ini. Diabetes melitus atau lebih populer dikenal
dikalangan masyarakat dengan nama penyakit kencing manis, merupakan satu
dari sekian penyakit berbahaya yang ada didunia (1)(5)(18).
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi
366 juta tahun 2030. Penyebab kematian tertinggi didunia adalah penyakit jantung
koroner yang merupakan kompliasi dari diabtes mellitus itu. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah
penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000,
jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030
jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya
50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita
diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.
Penyakit tidak menular (PTM) menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
cukup besar. Hal ini ditandai dengan bergesernya epidemiologi dari penyakit
menular yang cenderung menurun bergeser kepenyakit yang tidak menular yang
secara gelobal meningkat didunia menduduki sepuluh besar dan secara nasional
1
menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak diantaranya penyakit diabetes
mellitus dan penyakit metabolik (1)(10)(15)(20).
Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit
tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa datang. Diabetes sudah
merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21,
jumlahnya itu akan membengkak menjadi 300 juta orang. Diabetes mellitus (DM)
merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan
dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia yang prevalensinya akan terus
meningkat dari tahun ke tahun. DM merupakan penyakit degeneratif yang
ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan
sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi. Diabetes
melitus Tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit kronis yang prevalensinya tinggi.
Biaya perawatan yang dibutuhkan di Indonesia mencapai Rp. 500 milyar per
tahun, maka perlu adanya upaya untuk pencegahan penyakit tersebut. Untuk
mencegah timbulnya kasus DM tipe 2, masyarakat perlu mengetahui faktor-faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit ini (1)(8)(14).
Diabetes mellitus(DM) membutuhkan layanan komprehensif dan integratif.
Menghadapi jumlah pasien DM yang semakin meningkat, Perkumpulan Endokrin
Indonesia (PERKENI) menerbitkan buku konsensus pengelolaan dan pencegahan
DM tipe 2 sebagai pegangan dokter layanan primer. Sosialisasi buku konsensus
PERKENI dan pelatihan telah dilakukan, tetapi penerapan rekomendasi tersebut
hanya 2-45%. Diabetes Mellitus biasa disebut dengan the silent killer karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan antara lain gangguan
penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka
sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan pembuluh
2
darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah parah
menjalani amputasi anggota tubuh karena terjadi pembusukan(1)(13).
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang,
akibat peningkatan kemakmuran dinegara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak
disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama
dikota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif,
seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipedimia, diabetes dan
lain-lain. Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang
belum terdiagnosis di Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang
terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik non farmakologis maupun
farmakologis(1)(5). Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipotensi dengan tekanan
darah 85/palpasi, denyut jantung ireguler sekitar 100x/mnt, peningkatan tekanan
JVP, auskultasi jantung dalam batas normal, rhonki pada kedua sisi paru tanpa
mengi, serta hati yang teraba 2 jari dibawah arkus kostae, serta ekstremitas yang
hangat disertai edema(1)(5)(19).
Dalam meyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang
efisien dan efektif untuk mengdapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada
pencegahan penyakit menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan untuk
menanggulangi penderita tersebut, antara lain:
- Pendekatan populasi, merupakan upaya yang bertujuan untuk mengubah
perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat
agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup beresiko.
Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga
untuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena
target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak saja
oleh petugas kesehatan tetapi harus oleh segala lapisan masyarakat
termasuk pemerintah dan swasta.
- Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang
dilakukan oleh individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes
3
pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang :
berumur > 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat
melahirkan bayi >4 k, riwayat DM pada saat kehamilan, dan
dislipedemia(1).
Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan
meningkatnya komplikasi terutama PJK, tadi sudah diuraikan upaya pencegahan,
baik primer, sekunder maupun tersier adalah yang paling baik. Karena upaya itu
sangat erat dikerjakan bersama, maka tidak mungkin dilakukan hanya oleh
dokter ahli diabetes atau endokrinologis. Oleh karena itu, diperlukan tenaga
trampil yang dapat berperan sebagai perpanjangan tangan dokter endokrinologis
itu. Di luar negeri tenaga itu sudah lama ada disebut diabetes educator yang
terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, atau pekerja sosial dan lain-lain yang
berminat. Pelaksana para penyuluh diabetes itu sebaiknya memberikan
pelayanan secara terpadu dalam suatu instansi misalnya dalam bentuk sentral
informasi yang bekerja 24 jam sehari dan akan melayani pasien untuk siapapun
yang ingin menanyakan seluk beluk tentang diabetes terutama sekali tentang
penatalaksanaanya termasuk diet dan komplikasi(1).
Saat ini epidemi penyakit tidak menular muncul menjadi penyebab kematian
terbesar di Indonesia, sedangkan epidemi penyakit menular juga belum tuntas,
selain itu semakin banyak pula ditemukan penyakit infeksi baru dan timbulnya
kembali penyakit infeksi yang sudah lama menghilang, sehingga Indonesia
memiliki beban kesehatan ganda yang berat. Berdasarkan studi epidemiologi
terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Perubahan
gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting masalah ini,
dan terus menerus meningkat pada milenium baru ini(1).
Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang belum
terdiagnosis di Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis
yang menjalani pengobatan, baik nonfarmakologis maupun farmakologis. Dari
yang menjalani pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali
4
dengan baik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah
dengan kontrol glikemik yang optimal(1) .
sangatlah penting, namun demikian di Indonesia sendiri target pencapaian
kontrol glikemik belum tercapai, rerata HbA1c masih 8%, masih di atas target
yang diinginkan yaitu 7%. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman
pengelolaan yang dapat menjadi acuan penatalaksanaan diabetes melitus(1).
Dalam 5 tahun terakhir setelah diterbitkannya Konsensus Pengelolaan
diabetes Melitus tipe 2 pada tahun 2006, banyak penelitian yang dilakukan
berhubungan dengan usaha pencegahan dan pengelolaan baik diabetes maupun
komplikasinya(1).
1.2 PatofisiologiPankreas adalah sebuah kelenjar memanjang yang terletak di belakang dan di
bawah lambung, di atas lengkung pertama duodenum. Kelenjar campuran ini
mengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin yang predominan
yang terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip anggur yang
membentuk kantung yang dikenal sebagai asinus, yang berhubungan dengan
duktus yang akhirnya bermuara di duodenum. Bagian endokrin yang lebih kecil
terdiri dari pulau-pulau jaringan endokrin terisolasi, pulau-pulau langerhans,
yang tersebar diseluruh pangkreas. Hormon-hormon terpenting yang disekresikan
oleh sel pulau-pulau langerhans adalah insulin dan glukagon. Pankreas eksokrin
dan endokrin berasal dari jaringan berbeda selama perkembangan. Meskipun
sama-sama terlibat dalam metabolisme molekul nutrien namun keduanya
memiliki fungsi berbeda dibawah kontrol mekanisme regulatorik yang
berlainan(2).
Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pangkreas yang terdiri dari dua
komponen : (1) Enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh sel asinus
yang membentuk asinus yang membentuk asinus dan (2) larutan cairan basa
yang secara aktif disekresikan oleh sel duktus yang melapisi duktus pankreatikus.
Komponen cairan alkalis banyak mengandung natrium bikarbonat (NaHCO3)(2).
5
Pankreas endokrin berhubungan dengan banyaknya sel ᵝ (beta), tempat
sintesis dan sekresi insulin. sel ᵅ (alfa), yang menghasilkan glukagon. Sel D
(delta), yang lebih jarang, adalah tempat sintesis somatostatin. Sel pulau
langerhans yang paling jarang, sel PP (polipeptida pankreas). Yang mungkin
berperan dalam mengurangi nafsu makan dan asupan makanan(2).
Somatostatin pankreas menghambat saluran cerna dalam berbagai cara,
dengan efek keseluruhan adalah menghambat pencernaan nutrien dan
mengurangi penyerapannya. Somatostatin dikeluarkan oleh sel D pankreas
sebagai respon langsung terhadap peningkatan glukosa darah dan asam amino
darah selama penyerapan makanan, Dengan menimbulkan efek inhibisi,
somatostatin pankreas bekerja melalui mekanisme umpan balik negatif untuk
mengerem kecepatan pencernaan dan penyerapan makanan sehingga kadar
nutrien dalam plasma tidak berlebihan. Somatostatin pankreas juga berperan
parakrin dalam mengatur sekresi hormon pankreas. Keberadaan lokal
somatostatin mengurangi sekresi insulin, glukagon, dan somatostatin itu
sendiri(2).
Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam amino
darah serta mendorng penyimpanan bahan-bahan tersebut. Sewaktu molekul
nutrien ini masuk kedarah selama keadaan absortif, insulin mendorong
penyerapan bahan-bahan ini oleh sel dan pengubahnya masing-masing menjadi
glikogen, triglesirida, dan protein. Insulin melaksanakan banyak fungsinya
dengan mempengaruhi transfor nutrien darah spesifik masuk kedalam sel atau
mengubah aktivitas enzim-anzim yang berperan dalam jalur-jalur metabolik
tertentu(2).
Karbohidarat dalam memelihara homeostatis merupakan salah satu fungsi
penting pankreas. Konsentrasi glukosa dalam darah ditentukan oleh
keseimbangan antara proses-proses berikut : penyerapan glukosa dari saluran
6
cerna, pemindahan glukosa ke dalam sel, produksi glukosa oleh hati, dan (secara
abnormal) ekskresi glukosa urin(2).
Insulin memilki empat efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan
mendorong penyimpanan karbohidrat :
1. Insulin mempermudah transfor glukosa kedalam sebagian besar sel.
2. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa, di
otot rangka dan hati.
3. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi
glukosa. Dengan menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa.
Dengan menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin
cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi
pengeluaran glukosa oleh hati.
4. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan
menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di
hati. Insulin melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino di
darah yang tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan
menghambat enzim-enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam
amino menjadi glukosa(2).
Karena itu, insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan mendorong
penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan disimpan, dan
secara bersamaan menghambat dua mekanisme pembebasan glukosa oleh hati
kedalam darah (glikogenolisis dan glukoneogenisis). Insulin adalah satu-satunya
hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Insulin mendorong
penyerapan glukosa oleh sebagian besar sel melalui rekrutmen pengangkut
glukosa(2).
Lemak sangat dipengaruhi oleh insulin terutama pada penurunan lemak darah
dan mendorong penyimpanan trigleserida :
1. Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah kedalam
jaringan lemak.
7
2. Insulin meningkatkan transfor glukosa kedalam sel jaringan lemak
malalui rekrutment GLUT-4 (glukosa tansfort – 4). Glukosa berfungsi
sebagai prekursor untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu
asam lemak untuk membentuk trigleserida.
3. Insulin medorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan
turunan asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigleserida.
4. Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), mengurangi
pembebasan asam lemak dari jaringan kedalam darah(2).
Protein juga dipengaruhi oleh insulin dalam penurunan kadar asam amino
darah dan meningkatkan sintesis protein melalui efek :
1. Insulin mendorong transfor aktif asam amino dari darah ke dalam otot dan
jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan
menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein didalam sel.
2. Insulin meningkatkan laju inkorporasi asam amino menjadi protein oleh
perangkat pembentuk protein yang ada di sel.
3. Insulin menghambat penguraian insulin(2).
Diabetes militus tipe II adalah suatu penyakit kronik yang disebabkan oleh
ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin atau memproduksi insulin. Seorang
dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa ≥126 ml/dL
dan sewaktu ≥200 mg/dL. Diabetes militus tipe II adalah adanya gangguan
sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ
target terutama hati dan otot (3)(1).
Pasien diabetes tipe II mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran.
Abnormalitas mana yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif , tiga fase dapat
dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal
meskipun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase
kedua, resistensi insulin semakin memburuk hingga meskipun konsentrasi insulin
meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah
8
makan. Pada fase ke tiga resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun menyebabkan hiperglikemia dan menyebabkan diabetes yang nyata.
Kebanyakan yakin bahwa resistensi insulin merupakan hal yang pertama,
hiperinsulinemia yang kedua, jadi sekresi insulin merupakan kompensasi dari
keadaan resisten. Namun, hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin :
yaitu defek sel pankreas primer menyebabkan hipersekresi insulin dan sebaliknya
hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang menjelaskan
melibatkan sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan traspor lemak
menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi
lemak akan menggangu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan
pelepasan insulin yang terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa
terhadap pola pangkreas atau akibat defek genetik yang mnedasari. Sebagian
besar NIDDM (noninsulin dependent diabetes mellitus) adalah merka yang
obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita NIIDDM
dapat mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekan insulin,
membuktikan bahwa obesitas bukan merupakan penyebab resisitensi satu-
satunya. Defek sekresi insulin dan resistensi insulin merupakan ciri khas
NIDDM. Individu yang sangat obes dengan resistensi insulin yang nyata dapat
mempunyai toleransi glukosa normal(4).
1.3 Gejala klinis
Kelainan pada diabetes yang tidak tergantung insulin biasanya mulai pada
pertengahan umur atau lebih, pasien khas biasanya gemuk, gejalanya bertahap
dibandingkan dengan yang tergantung insulin. Diagnosa sering dibuat jika
individu tanpa gejala ditemukan mempunyai peningktan glukosa plasma pada
pemeriksaan laboratorium rutin(4).
1.4 Pemeriksaan penunjang
- Evaluasi Laboratoris/penunjang lain
- Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
- A1C
9
- Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, high density lipoprotein,
Low density lipoprotein, dan trigliserida)
- Kreatinin serum
- Albuminuria
- Keton, sedimen, dan protein dalam urin
- Elektrokardiogram
- Foto sinar-x dada(5).
1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus(5)(1).
Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung
10
pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
Ket:
- GDP = glukosa darah puasa
- GDS = glukosa darah sewaktu
- TTGO = tes toleransi glukosa oral
11
Keluhan klinis diabetes
Gejala Klinis (-) Gejala klinis (+)
GDPAtauGDS
≥126atau≥200
< 126Atau<200
GDPAtauGDS
≥126Atau≥200
100-125Atau
140 -199
<100Atau <140
DIABETES MELITUS
GDPAtauGDS
≥126Atau≥200
<126Atau<200
TTGO GD 2 jam
Cara pelaksanaan TTGO :
• Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-
hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa
• Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
• Diperiksa kadar glukosa darah puasa
• Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit•
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
• Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
• Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat
dan tidak merokok
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3
yaitu:
12
TTGO
GD 2 jam pasca pembebanan
≥200 140-199 <140
DM TGT Normal
- < 140 mg/dL normal
- 140- < 200 mg/dL toleransi glukosa tergangu
- ≥ 200 mg/dL diabetes(5)(1).
1.6 PenatalaksanaanHal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah
perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan
atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur
(bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian
glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM.
Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis(5).
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan Intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan(5)(12). Pasien DM tipe 2 yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak
13
baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk
penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin
tunggal. Insulin yang diberikan lebih dini dan lebih agresif menunjukkan hasil
klinis yang lebih baik terutama berkaitan dengan masalah glukotoksisitas. Hal
tersebut diperlihatkan oleh perbaikan fungsi sel beta pankreas. Insulin juga
memeliki efek lain yang menguntungkan dalam kaitannya dengan komplikasi
DM. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel, menekan proses
inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis, dan memperbaiki profil lipid.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa luaran klinis pasien yang
diberikan terapi insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog,
merupakan jenis yang baik karena memeliki profil sekresi yang sangat mendekati
pola sekresi insulin normal atau fisiologis(5)(12)(16).
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Berbagai hal tentang edukasi dibahas lebih mendalam di
bagian promosi perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,
setelah mendapat pelatihan khusus(5).
Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya).
14
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin(5).
Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan(5).
Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
15
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase
alfa.
E. DPP-IV inhibitor
2. Suntikan
A. Insulin
B. Agonis GLP-1/incretin mimetic
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi
empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)(5).
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
16
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Insulin merupakan obat
pilihan karena tidak teratogen pada kehamilan, namun memiliki kelemahan yaitu
memerlukan suntikan, risiko hipoglikemia, berat badan berlebihan dan biaya
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah. Metformin meningkatkan kontrol glikemik pada diabetes tipe 2 dengan
menghambat produksi glukosa hepatik dan glukoneogenesis serta meningkatkan
sensitivitas insulin jaringanperifer (otot) (5)(7)(9).
1.7 KomplikasiKetoasidosis diabetik (KAD) Merupakan komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion
gap(5).
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) Pada keadaan ini terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan
gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat(5).
keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan
penatalaksanaan yangmemadai(5).
Hipoglikemia hipoglikemia dan cara mengatasinya hipoglikemia ditandai
dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL bila terdapat penurunan
kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan
sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
17
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat
telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya
(24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut
merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau
terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada
DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama
Semakin ringan derajat infeksi pasien maka semakin besar peluang untuk
mencapai clinical outcome yang memuaskan (5).
Makroangiopati pembuluh darah jantung pembuluh darah tepi: penyakit arteri
perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala
tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul dan pembuluh darah otak
Mikroangiopati juga terjadi pada penderita diabetes tipe 2 diantaranya:
- Retinopati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
- Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risiko terjadinya nefropati
- Neuropati(5).
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi
gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien
perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
18
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap
tahun(5)(6) .
Pasien yang lama menderita DM dikhawatirkan akan mengalami komplikasi
apabila kadar gula darah tidak terkontrol. Komplikasi yang terjadi salah satunya
adalah nefropati diabetika merupakan komplikasi DM pada fungsi ginjal yang
dapat berakhir sebagai gagal ginjal(5)(8).
1.8 Prognosis
Prognosis penyakit diabetes millitus tipe 2 tergantung pada jenis keparahan
penyakit dan komplikasinya. diabetes melitus umumnya meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) yang
dilaporkan oleh departemen kesehatan pada tahun 2008, menunjukan prevalensi
dm di indonesia membesar sampai 5,7%. Penyebab mortalitas dan morbiditas
utama pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 adalah penyakit jantung koroner
(PJK) dimana penderitanya dua sampai empat kali lebih berisiko terkena penyakit
jantung dari pada non DM. Mekanisme terjadinya PJK pada DM tipe 2 dikaitkan
dengan adanya aterosklerosis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian
ini bertujuan mengetahui hubungan berbagai faktor risiko terhadap kejadian PJK
pada penderita DM tipe 2 (5)(10)(11).
19