bab ii
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Kelengkapan Imunisasi
Kelengkapan adalah alat atau segala sesuatu yang telah tersedia dengan
lengkap (Puerwadarminta, 2007). Kelengkapan imunisasi adalah alat atau segala
sesuatu yang tersedia dengan lengkap untuk membuat zat anti untuk mencegah
penyakit (Dino, 2004). Sesuai dengan program pemerintah (Depkes) tentang
program pengembangan imunisasi (PPI), maka anak diharuskan mendapat
perlindungan terhadap 7 jenis penyakit utama, yaitu penyakit TBC (dengan
pemberian vaksin BCG), difteria, tetanus, batuk rejan, poliomielitis, campak dan
Hepatitis B (Depkes, 2005).
Kelengkapan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia pada saat ini adalah
terhadap penyakit gondok dan campak jerman (dengan pemberian vaksin MMR),
tifus, radang selaput otak oleh kuman Heamophilus influenzae tipe B (Hib),
Hepatitis A, cacar air dan rabies (Markum, 2002). Imunisasi lengkap yaitu 1 (satu)
dosis vaksin BCG, 3 (tiga) dosis vaksin DPT, 4 (empat) dosis vaksin polio dan 1
(satu) vaksin campak serta ditambah 3 (tiga) dosis vaksin Hepatitis B diberikan
sebelum anak berumur satu tahun (9 -11 bulan) Depkes RI, 2000.
Menurut teori imunisasi dikatakan lengkap jika semua imunisasi dasar
terpenuhi dan kelengkapan itu bisa mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (Dep Kes RI, 2009).
2.2 Jenis-Jenis Imunisasi
1. Vaksin BCG (Bacillus Callmette Guerin)
Bacillus Callmette Guerin vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium
bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapat hasil yang tidak
virulen tetapi masih mempuyai imunogenitas. Vaksin BCG menimulkan
sensitivitas terhadap tuberculin, tidak mencegah infeksi tuberculosis tetapi
mengurangi resiko terjadi tuberkolusis berat seperti meningitis TB dan
tuberculosis milier (Ranuh, 2008).
Cara pemberian dan dosis:
a. Sebelum disuntikkan vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu.
Melarutkan dengan menggunakan alat suntik steril Auto Distruc
Scheering ( ADS) 5 ml.
b. Dosis pemberian 0,05 ml.
c. Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertion
musculus deltoideus). Dengan mengunakan Auto Distruct Scheering
(ADS) 0,05 ml.
d. Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum lewat 3 jam.
Efek samping
Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum sepeti
demam. Setelah 1-2 minggu akan timbul indurasi dan kemerahan ditempat
suntikan yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak
perlu pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut.
Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan atau leher,
terasa padat, tidak sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak
memerlukan pengobatan dan akan menghilang denga sendiri (Depkes RI, 2006).
2. Vaksin Polio
Vaksin Oral Polio adalah vaksin yang terdiri dari suspense virus
poliomyelitis tipe 1,2,3 (Strain Sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dibiarkan
jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
Cara pemberian dan dosis:
a. Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis ada 2 (dua) tetes sebanyak 4
kali (dosis) pemberian dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
b. Setiap membuka vial baru harus mengunakan penetes (dropperer) yang baru.
Efek samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa
paralisis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi (Depkes RI, 2006)
Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama setelah lahir. Selanjutnya vaksin
ini diberikan 3 kali, saat bayi berumur 2,4, dan 6 bulan. Pemberian vaksin ini
diulang pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Pada imunisasi polio hampir tidak ada
efek samping, bila ada kelumpuhan anggota gerak seperti penyakit polio
sebenarnya, ratio 1 : 3.000.000 (Depkes RI, 2002).
3. Vaksin DPT
Imunisasi DPT yang lengkap adalah jika bayi diberi imunisasi 1-3 dari
umur 4-12 bulan. Imunisasi DPT yang tidak lengkap adalah jika bayi diberi
imunisasi DPT kurang dari 3 kali pada usia 12 bulan (KIA, 2006).
Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari
toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri partusis yang telah
diinaktivasi (Depkes RI,2006).
Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheria. Difteri bersifat ganas, mudah menular dan
menyerang tertama saluran nafas bagian atas. Penularanyan bisa karena kontak
langsung dengan penderita melalui bersin atau batuk atau kontak tidak langsung
karena adanya makanan yang terkominasi bakteri difteri. Penderita akan
mengalami beberapa gejala seperi demam lebih kurang380C, mual, muntah,
sakit waktu menelan dan terdapat pseudomembran putih keabu-abuan di faring,
laring atau tonsil.
Pertusis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman
Bordetella Pertusis. Kuman ini mengeluarkan toksin yang menyebabkan ambang
rangsang batuk yang hebat dan lama.seranggan batuk lebih sering pada malam
hari, batuk tejadi berutun dan akhrir batuk menarik nafas panjang,biasanya
disertai muntah. Batuk bisa mencapai 1-3 blan, oleh karena itu pertusi disebut
juga “batuk seratus hari” (Dick, 1992).
Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman
Clostridium tetani. Kuman ini bersifat anearob, sehingga dapat hidup pada
lingkungan yang tidak terdapat zat sam (oksigen). Tatanus dapat menyerang bayi,
anak-anak bahkan orang dewasa. Pada bayi penularan disebabkan karena
pemotongan tali pusat tampa alat yang steril atau dengan cara tradisional dimana
alat pemotongan dibubuhi ramuantradisional yang terkontaminasi spora kuman
tetanus. Pada anak-anak atau orang dewasa bisa terinfeksi karena luka nyang
kotor atau luka terkontaminasi spora tetanus. Kuman ini paling banyak terdapat
diusus kuda berbentuk spora yang tersebar luas di tanah (Atikah, 2010).
Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus
Neonatorum (ETN) melalui imunisasi DPT, DT atau TT dilaksanakan berdasrkan
perkiraan lama waktu perlindungan sebagai berikut:
a. Imunisasi DPT 3x akan memberikan imunitas 1-3 tahun. Dengan 3 dosis
toksoid tetanus pada bayi dihitung setara dengan 2 dosis pada anak yang lebih
besar atau dewasa.
b. Ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan memperpanjang
imunisasi 5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun. Dengan 4 dosis
toksoid tetanus pada bayi dan anak dihitung setara dengan 3 dosis pada
dewasa ( Sudarti, 2010).
Cara pemberian dan dosis :
a. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi
menjadi homogen.
b. Disuntik secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3
dosis. Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan
dengan interval paling cepat 4 minggu (1 bulan) Depkes RI, 2006).
c. Cara memberikan vaksin ini, sebagai berikut:
1. Letakkan bayi dengan posisi miring diatas pangkuan ibu dengan seluruh
kaki terlentang
2. Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi
3. Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk
4. Masukkan jarum dengan sudut 90 derjat
5. Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui kulit sehingga masuk
kedalam otot (Atikah. 2010).
Efek samping
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas,demam tinggi,
iritabilitas, dan meracau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi (Depkes,
2006). Efek samping pada pemberian imunisaasi DPT yang disebabkan komponen
pertusis yang ringan (bersifat sementara) berupa panas, peka rangsanga, reaksi
ditempat suntikan yaitu kemerahan, pembekakan dan nyeri. Sedangkan reaksi
berat berupa panas tinggi denga disertai kejang (Markum, 2002).
4. Vaksin Campak
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap
dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 inektive unit virus strain dan
tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin.
Campak disebabkan oleh virus yang termasuk kelompok Myxovirus, bersifat akut
dan sangat menular (Dick, 1992).
Cara pemberian dan dosis:
a. Sebelum disuntikkan vaksin terlebih dahulu harus dilarutkan dengan
pelarutan steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut.
b. Dosis pemberian 0.5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas,
pada usia 9=11 bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-7 tahun (kelas 1 SD)
setelah catchup compaing campak pada anak Sekolah Dasar kelas 1-6.
Efek samping pada imunisasi campak adalah malaise, hal ini
terjadisekitar 7 sampai 10 hari setelah imunisasi daan sebagiab darinya menderita
reaksi demam ringan. Efek samping yang lain adalah kelainan neurogik termasuk
ensefalitis, yang jarang sekali terjadi dan dilaporkan angka kejadiannya 1 :
1.000.000, timbul pada hari keenam selama 2 hari, rash ringan sebanyak 5 %
(Suraatmadja, 1995).
Penyebab penyakit campak adalah virus yang masuk ke dalam genus
Morbillivirus dan keluarga Paramyxoviridea. Penyakit ini merupakan penyakit
manular yang bersifat akut dan manular lewat udara melalui sistem pernafasan,
terutama percikan ludah (atau cairan yang keluar ketika seseorang bersin, batuk,
atau berbicara) seorang penderita. Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 10
hingga 12 hari, kadang-kadang bisa 2-4 hari. Gejala awal berupa demam, malaise
atau lemah, gejala conjuntivitas dan coryza atau kemerahan pada mata seperti
halnya sakit mata, serta gejala radang trakheo bronkhitis yakni daerah
tenggorokan saluran nafas bagian atas, telinga dan leher bagian atas, tangan, serta
saluran badan. Penyakit campak secara klinis dikenal memiliki tiga stadium atau
tingkat, pertama adalah stadium kataral, stadium erupsi (keluar bercak-bercak
kemerahan), dan stadium konvalesen. Pada stadium awal kataral, berlangsung
selama 4-5 hari disertai panas, malaise, batuk, fotofobia (takut terhadap suasana
terang atau cahaya), konjunctivitas dan koriza. Menjelang akhir stadium kataral
timbul bercak berwarna putih kelabu khas sebesar ujung jarum dan dikeliling
eritema, lokasinya di sekitar mukosa mulut. Disusul stadium erupsi, dengan gejala
batuk yang bertambah, serta timbul eritime di mana-mana. Ketika erupsi
berkurang, maka demam makain lama makin berkurang (Achmad, 2006).
Penyakit ini dapt dicengah dengan imunisasi yaitu dengan pemberian
vaksin Scwarz Vaccine (Further Attenuated Measles Virus Vaccine) yang disebut
dari Edmonston Strain (Suraatmadja, 1995).
Vaksin campak mengadug virus campak hidup yang telah dilemahkan.
Daya proteksi imunisasi campak sangat tinggi yaitu 96 sampia 99%. Imunisasi
diberikan untuk mendapatka kekebalan yang diperoleh berlangsung seumur hidup,
sama langgeng demga kekebalan yang diperoleh bila anak terjangkit campak
secara alamiah.
5. Vaksin Hepetitis B
Vaksin hepetitis B adalah vaksin virus rekombinan yang telah
diinaktivikasikan dan bersifat in infectious, berasal dari HBsAg yang dihasilkan
dalam sel ragi (Hansenula polymorph) menggunakan teknologi DNA rekombinan.
Cara pemberian dan dosis:
a. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspense
menjadi homogeny.
b. Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml, pemberian suntukan sacara
interamuskuler sebaiknya pada anterolateral paha.
c. Pemberian sebanyak 3 dosis.
d. Dosis pertama diberikan pada usia 0,7 hari, dosis berikutnya dengan interval
minimum 4 minggu (1 bulan).
Efek samping
Reaksi local seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan disekitar
tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang
setelah 2 hari (Depkes RI,2006,).
Virus hepatitis B merupakan penyebab utama dari hepatitis akut dan
kronik yang dapat berkembang sirosis dan kenker hati primer. Indonesia termasuk
endemis hepatitis B sedang berat, dengan prevalensi HbAg berkisar antara 15
sampai 20%. Masa inkubasi 4 sampai 26 minggu (Depkes RI, 1992).
Selama pemakaian vaksin hepatitis, tidak atau belum dilaporkan adanya
efek samping yang berati setelah penyuntikan imunisasi hepatitis B (Perum
Biofarma, 1997).
6. Vaksin Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit infeksi pada labus paru-paru. Pada saat
terserang pneumonia, labus paru mengalami kerusakan sehingga paru-paru tidak
mampu berfungsi lagi. Penyakit ini juga dapat memberikan komplikasi atau
penyulit berupa meningitis dan selulitis, serta dapat menimbulkan kemtian baik
pada anak-anak maupun orang tua, penyakit ini lebih banyak menyerang anak
umur 2 tahun kebawah dan paling banyak antara umur 6 bulan hingga 12 bulan.
2.3. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kelengkapan Imunisasi
Menurut markum (2000) kelengkapan imunisasi terhadap anak dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pendidikan ibu, pekerjaan, sosial
budaya, sosial ekonomi dan keyakinan.
2.3.1.Pendidikan
Dalam melakukan pekerjaan tertentu, pendidikan formal seringkali
merupakan syarat paling pokok untuk memegang fungsi-fungsi tertentu. Untuk
tercapainya kesuksesan didalam suatu pekerjaan dituntut pendidikan yang sesuai
dengan jabatan yang dipegang seseorang.
Ditinjau dari sudut hukum, difinisi pendidikan berdasarkan undang undang
RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat (1), yaitu pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses,
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara. Sedangkan peserta didik ialah anggota masyarakat yang
berusaha mengembangfkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan (pasal 1 ayat (4), potensi otak manusia
yang digunakan untuk berfikir baru 4%. Jadi masih 96% dari otak kiri belum
digenakan untuk berfikir (Sunario,2003).
Menurut Notoatmodjo 2007 peranan pendidikan kesehatan adalah
melakukan intervensi faktor prilaku sehingga prilaku individu atau kelompok
masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan . dengan katalain pendidikan
adalah suatu usaha menyediakan kondisi psikologi dari sasaran agar mereka
berprilaku sesuai dengan tututan nilai-nilai kesehatan.
Katagori pendidikan berdasarkan keputusan mentri pendidikan nasional
yaitu tingkat dasar yaitu pendidikan sekolah dasar dan sekolah menegah pertama,
tingkat menegah yaitu sekolah menegah atas dan tingkat pendidikan tinggi yaitu
akademi dan perguruan tinggi. (Diknas,2004).
Untuk mengetahui tingkat pendidikan maka dapat diklasifikasikan menjadi
(Sisdiknaskes, 2004).
a. Pendidikan tinggi : Akademi/S1
b. Pendidikan menegah : SLTA, MAN, SMK
c. Pendidikan dasar : MIN/SD, SLTP, MTsN
Pendidikan merupakan proses kegitan pada dasarnya melibatkan tingkah
laku individu maupun kelompok. Inti kegiatan pendidikan adalah proses belajar
mengajar. Hasil dari proses belajar mengajar adalah terbentuknya seperangkat
tingkah laku, kegiatan dan aktifitas. Dengan belajar baik secara formal maupun
informal, manusia akan mempunyai pengetahuan, dengan pengetahuan yang
diperoleh seseorang akan mengetahui manfaat dari saran atau nasehat sehingga
akan termotivasi untuk meningkatkan status kesehatan.pendidikan yang tinggi
terutama ibu akan memberikan gambaran akan pentinya menjaga kesehatan
terutama bagi bayinya (Sisdiknas,2004).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidak teraturan imunisasi pada
bayi. Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa
pengetahuan ibu tentang imunisasi yaitu kemampuan untuk menjawab materi
tentang pernah tidaknya mendengar istilah kelengkapan imunisasi, pengertian
imunisasi, jenis imunisasi, frekuensi pemberian tiap jenis imunisasi, frekuensi
pemberian imunisasi tiap jenis, umur untuk mendapatkan imunisasi, tempat
pelayanan dan waktu pelayanan imunisasi. Dari beberapa penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan dan pendidikan
dengan kelengkapan imunisasi pada bayi. Semakin cukup pengetahuan dan
pendidikan, maka akan semakin lengkap pula imunisasi bayi. Hasil penelitian
Zubaedah 2003, menemukan faktor bahwa ada hubungan pengetahuan dan
pendidikan dengan kelengkapan imunisasi bayi. Jarak merupakan salah satu faktor
yang menjadi pertimbangan dalam menentukan lengkap atau tidak lengkapnya
imunisasi yang ada di wilayah kerja puskesmas (Zubaedah, 2003).
Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah
laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat
pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan. Menurut Azwar (1996), merupakan
suatu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat
mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan
membuat keputusan dengan lebih tepat.
Pendidikan kesehatan dapat membantu para ibu atau kelompok masyarakat
disamping dapat meningkatkan pengetahuan juga untuk meningkatkan
kemampuan (perilakunya) untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimal. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi
terlaksananya kegiatan pelaksanaan imunisasi anak/ bayi, baik itu pendidikan
formal maupun non formal. Tahap pendidikan sangat menentukan kemampuan
seseorang dalam mengatasi masalah dalam kehidupannya baik dilingkungan sosial
maupun dilingkungan kerjanya. (Notoatmodjo, 1996)
Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi
strategi populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak
akan diimunisasi secara benar disebabkan orang tua tidak mendapat penjelasan
yang baik atau karena memiliki sikap yang buruk tentang kelengkapan imunisasi.
Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang sungguh-sungguh dan
berkesinambungan pada orang- orang yang memiliki pengetahuan dan komitmen
yang tinggi terhadap imunisasi.Jika suatu program intervensi preventif seperti
imunisasi ingin dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit
dan persoalan pada anak dan remaja, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku
kesehatan masyarakat dan peningkatan pengetahuan sangat diperlukan (M.Ali,
2002).
Sebagai contoh adalah hasil beberapa penelitian yang menyebutkan
peningkatan status kelengkapan imunisasi bayi/ anak akan meningkat seiring
meningkatnya pendidikan dan pengetahuan ibu. Diantaranya menurut
Singarimbun (1986), menyebutkan kelengkapan status imunisasi anak tertinggi
pada ibu yang berpendidikan SLTP keatas sebanyak 30,1%. Syahrul,Fariani.,dkk
(2002) dalam kesimpulan penelitiannya juga mengemukakan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara pengetahun ibu dan keterpaparan informasi
dengan status imunisasi,tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi sebagian besar
(73,0%) sudah baik Namun demikian juga masih didapat sebagian kecil (4%)
yang tergolong kurang.
Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Karenanya
suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.
Pemahaman ibu atau pengetahuan ibu terhadap kelengkapan imunisasi dasar
bayinya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu (M.Ali, 2002).
Slamet (1999), menyebutkan semakin tinggi tingkat pendidikan atau
pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan
kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan
berpendidikan tinggi, maka wawasan pengatehuan semakin bertambah dan
semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga
termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang
lebih baik. Sejalan dengan pendapat Slamet, Singarimbun (1986), juga
menyebutkan kelengkapan status imunisasi anak tertinggi pada ibu yang
berpendidikan SLTP keatas sebanyak 30,1%.Berdasarkan penelitian Idwar (2001)
juga disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu maka
makin besar peluang untuk mengimunisasikan bayinya yaitu 2,215 kali untuk
pendidikan tamat SLTA/ke atas dan 0,961 kali untuk pendidikan tamat
SLTP/sederajat. Ibu yang berpendidikan mempunyai pengertian lebih baik tentang
pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah
kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan di sekolah.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Aceh Besar pada tahun
1998-1999. Pada penelitian ini didapatkan adanya pengaruh antara tingkat
pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi, semakin tinggi tingkat pendidikan
ibu maka semakin besar kemungkinan ibu tersebut untuk mengimunisasi bayinya.
Ibu yang berpendidikan dikatakan memiliki pengertian yang lebih baik tentang
pencegahan dan kesadaran yang lebih tinggi terhadap masalah kesahatan yang
telah diajarkan disekolah. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
(M.Ali, 2003) disebutkan bahwa pendidikan sebenarnya sangat penting dalam
mempengaruhi pengertian dan partipasi orang tua dalam program imunisasi.
Dengan pendidikan yang semakin tinggi, maka para orang tua akan cendrung
mengunakan sarana kesehatan sebagai suatu upaya pencegahan bukan pengobatan
(Ali, 2003).
Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting, karenanya
suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.
Dalam hal ini peran orang tua dan pendidikan yang tinggi sangat penting, karena
orang terdekat dengan bayi dan anak adalah ibu. Demikian juga pengetahuan,
pendidikan, dan kepercayaan kesehatan ibu. Pengetahuan dan pendidikan seorang
ibu akan mempengaruhi kepatuhan dalam pemberian imunisasi dasar pada bayi
dan anak, sehingga dapat mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasarnya.
Masalah pengertian, pemahaman dan kepatuhan ibu dalam program imunisasi
bayinya tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan dan pengetahuan
yang memadai tentang hal itu diberikan (Ali, 2005).
Menurut Lestari (2007), makin tinggi pendidikan ibu maka akan
lebihmudah menerima, mempunyai sikap dan berprilaku sesuai dengan
yangdianjurkan. Demikian sebaliknya makin rendah pendidikan ibu maka akan
lebih sulit menyerap informasi, tingkat pendidikan formal ibu akan mempengaruhi
sikap dan tindakan ibu terhadap pemeliharaan anak terutama pada kelengkapan
imunisasi
Menurut penelitian Feby Angzila (2009), menujukan bahwa adanya
hubungan positif antara tingkat pendidikan formal ibu dengan status imunisasi
dasar lengkap dengan hasil uji statistik menghasilkan nilai X2 hitung = 12,071
dengan df = 3 dan nila p value = 0,007. Nilai X² tabel = 7,815 maka nilai X2
hitung > X² tabel dan nilai p < 0,05.
Menurut penelitian Rini (2009), menunjukan bahwa ada hubunganantara
pendidikan ( p = 0,021 dan koefisien pi = 0,359), dengan status kelengkapan
imunisasi dasar pada bayi.
2.3.2. Sikap.
Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus
atau obyek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit). Setelah
seseorang mengetahui stimulus atau obyek, proses selanjutnya akan memulai atau
bersikap terhadap stimulus atau obyek kesehatan tersebut. (Notoatmodjo, 2003)
Sedangkan sikap merupakan kesiap siagaan mental yang dipelajari dan
diorganisasi melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara
tanggap seseorang terhadap orang lain, obyek dan situasi yang berhubungan
dengannya. Batasan sikap tersebut memiliki empat implikasi pada manajer, yaitu:
1) sikap dipelajari. 2) sikap menentukan kecenderungan orang terhadap segi
tertentu. 3) sikap memberi dasar emosional bagi hubungan antar pribadi dan
pengenalannya terhadap orang lain. 4) sikap diorganisasi dan dekat dengan inti
kepribadian. Selanjutnya sikap atas komponen afektif, kognitif dan perilaku.
Afeksi, kognitif dan perilaku, afeksi, komponen emosional atau perasaan dan sikap
dipelajari dari orang tua, guru dan teman dalam kelompoknya. Sedangkan
komponen kognitif sikap terdiri atas prestasi, pendapat dan keyakinan seseorang.
Elemen kognitif yang penting adalah keyakinan evaluatif yang dimiliki seseorang.
Komponen perilaku dari suatu sikap berhubungan dengan kecenderungan
seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau sesuatu dengan cara yang
ramah, hangat, agresif, bermusuhan, apatis atau dengan cara lain. sering
didefinisikan sebagai gabungan dari semua interaksi dari semua cara dimana
individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain atau kadang kadang
didifinisikan sebagai organisasi internal dari proses psikologis dan kecenderungan
perilaku seseorang.
Sikap merupakan reksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek, manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya bisa ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup, sikap
secara nyata menunjukkan reputasi adanya kesesuianyan reaksi terhadap stimulus
tertentu dalam kehidupan sehari-hari. (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Notoatmodjo, 2007, menjelaskan bahwa seperti halnya dengan
pengetahuan sikap ini juga memiliki tingkat yaitu :
1. Menerima (receiving) di artikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding) yang berate memberikan jawaban apabila ditanya
mengerjakan, dan menyesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari sikap.
3. Menghargai (voluing) yang berate mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau mendiskusikan suatu masalah.
4. Bertangung jawab (responsible) yaitu bertangung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling
tinggi.
Menurut penelitian (Ali, 2003) sikap sangat mempengaruhi ibu dalam
melakukan pemberian imunisasi pada anaknya sehingga anak mendapatkan
imunisasi dengan baik.
Menurut Solita 2000 sikap adalah kecendrungan bertindak, berpersepsi,
berfikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai mempunyai
daya pendorong atau motivasi, lebih bersifat menetap, mengandung aspek
evaluasi artinya mengandung nilai menyenagkan atau tidak menyenangkan.
Dalam bagian Allpotr (1945) menjelaskan bahwa sikap ini mempuinyai 3
komponen pokok yaitu :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c. Kecendrungan untuk bertindak (Tend of behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pemikiran,
keyakinan dan emosi memang peranan penting, suatu contoh misalnya. Seorang
ibu telah mendengar tentang penyakit polio (penyebab, akibat, pencegahannya dan
sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir ini konponen
emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat mengimunisasi
anaknya untuk mencegah supaya anak tidak terkena polio, ibu ini mempunyai
sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit polio.
Struktu sikap menurut (Azwar. S. 2009) sikap di bagi 3 yang saling
menunjang
a. Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang
berlaku/apa yang benar bagi objek sikap, seperti dalam keyakinan ibu
bahwa dengan adanya pengabilan sikap yang tepat mengatasi jumlah
penyakit pada bayi.
b. Komponen efektif menyangkut masalah emusional subjektif seseorang
terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini di samakan
dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu, ibu merasa bertangung
jawab terhadap bayinya.
c. Komponen konotif menujukan bagaimana kecendrungan berprilaku
yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang
di hadapi.
Menurut Bimo Walgito 2001, sikap merupakan organisasi pendapat,
keyakinan seseorang mengenai obyek atau situasi yang relatif tetap, disertai
perasaan tertentu, dan memberi respon atau berprilaku dalam kelengkapan
imunisasi dan cara-cara yang tetentu yang dipilihnya.
Sikap petugas terdiri atas beberapa uraian besar yaitu respon yang
diperlihatkan oleh petugas saat pasien datang berkunjung ketempat pelayanan
kesehatan oleh tenaga kesehatan di wilayah kerja pukesmas guna memanfaatkan
pelayanan imunisasi. Sikap seorang tenaga kesehatan di tempat pelayanan
kesehatan sangat berpengaruh dan berhubungan terhadap keinginan ibu untuk
melengkapi imunisasi anak-anaknya (Nasrul Effendi, 2002).
2.3.3. Pengalaman
Sesuai dengan katagori hidonisme (bahasa yunani) yang berate kesukaran,
kesenangan, atau kenikmatan (purwanto, 2000). Dalam hal ini semua orang akan
menghindari hal-hal yang sulit dan mengusahakan atau mengundang resiko berat.
Jika kegiatan imunisasi tetap berjalan dengan baik misalnya, bayi menagis saat
menunggu giliran yang lama, tubuh menjadi panas setelah diimunisasi. Hal ini
dapat mempengaruhi ibu untuk mengimunisasikan bayinya.
Stress adalah salah satu bentuk trouma, merupakan penyebab kerentan
seseorang terhadap suatu penyakit infeksi tertetu. Pengalaman merupakan salah
satu factor dalam diri mansia yang sangat menentukan terhadap penerimaan orang
yang pada proses persepsi berlangsusng, orang yang mempunyai pengalaman
akan selalu lebih pandai dalam menyikapi segala hal dari pada mereka yang sama
sekali tidak mempuyai pengalaman (Notoatmodjo, 2003).
Kebiasaan dalam masyarakat merupakan suatu gejala budaya dan social
yang dapat memberikan sambaran prilaku dan nili-nilai sekelompok masyarakat.
Kepercayaan ini dipengaruhi oleh kepercayaan seseorang atau kelompok
masyarakat. Menurut (David morley dan Notoatmodjo, 2003) sebagai pencetus
ide memerlukan waktu 15 tahun melakukan uji coba di lapangan untuk dirinya
diterima secara luas. Selain itu harus diingatkan bahwa pemantaan anak
akansangat tergatung pada petugas pelaksana dan norma yang ada itu sendiri.
Latar belakang budaya mempengaruhi nilai-nilai, keyakinan dan atau
istiadat seseorang, juga mempengaruhi caranya mengunakan faselitas kesehatan,
faktor-faktor social dan psikososial dapat meningkatkan resiko penyakit dan
mempengeruhi cara seseorang untuk memahami dan mengatasi penyakitnya.
Variabel psikososial meliputi stabilitasnya hubungan perkawinan, gaya hidup dan
lingkunga kerja. Variabel ekonomi juga mempengaruhi derajat kesehatan
seseorang dengan cara peningkatan resiko terhadap penyakit dan mempengaruhi
cara penguna pelayanan kesehatan. (Petter & Perry, 2005).
Menurut Azwar menyebutkan bahwa pengalaman seseorang akan
membentuk sikap positif atau negative sehingga bisa mempengaruhi tingkah laku.
Berdasarkan penelitian ini responden yang pasif dalam arti kurang mendapatkan
informasi , pengetahuan yang kurang dan pengalaman yang tidak menyenangkan
dalam melakukan kelengkapan imunisasi, mengakibatkan ibu jera terhadap obyek
yang dialami, sehingga responden tidak akan mengimunisasikan lagi bayinya,
bahkan ada yang menolak untuk di imunisasi.
Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat
utama. Umur atau pengalaman mempunyai hubungan dengan kelengkapan
imunisasi dan tingkat keterpaparan, besarnya resiko serta resistensi. Perbedaan
pengalaman terhadap masalah kesehatan atau dalam kelengkapan imunisasi dan
pengambilan keputusan oleh umur atau pengalaman individu tersebut (Noor, N.N,
2000).
Pengetahuan ibu tentang imunisasi polio juga dipengaruhi olehpengalaman
ibu mengimunisasi polio anaknya selain faktor pendidikan dan informasi. Sebagai
contoh ibu yang mempunyai jumlah anak lebih dari satu dan selalu melakukan
imunisasi polio tanpa mendapatkan efek samping yang berarti pasca imunisasi
polio, maka hal tersebut akan dilakukan kembali pada anak berikutnya.
Sebaliknya, ibu yang mempunyai seorang anak pengalaman mengimunsasi polio
anaknya masih sangat kurang karena baru didapatkan pada anak pertama. Hal ini
menunjukkan bahwa pengalaman ibu dapat digunakan sebagi upaya memperoleh
pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapinya pada massa lalu. Menurut
Notoatmodjo (2003) pengalaman adalah guru yang baik yang merupakan sumber
pengetahuan atau suatu cara untuk memperolehkebenaran pengetahuan.
Menurut Judarwanto (2004) kecemasan ibu untuk tidak melakukan
imunisasi karena adanya pemberitaan miring tentang efek imunisasi. Peran
petugas kesehatan sangat diperlukan dalam memberikan informasi tentang
kelengkapan imunisasi polio kepada ibu karena informasi ini akan membentuk
kepercayaan ibu yang akan mempengaruhi tingkat kecemasan ibu pasca imunisasi
polio. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmat (1998) yang mengemukakan bahwa
penggalaman ibu terhadap kelengkapa imunisasi akan membentuk kepercayaan
yang selanjutnya akan memberiak perspektif pada manusia dalam mempersepsi
kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan sikap
terhadap objek tertentu (imunisasi).
2.3.4. Sosial budaya
Unsur-unsur kebudayaan adalah meliputi pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral hokum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang dilakukan
oleh masyarakat-masyarakat yang merupakan hasil budi atau akal manusia. Dalam
mengatasi masalah-masalah lebih berorientasi pada adaptasi dan pelaksanaan
srategi terhadap keadaan sosial.
Pengaruh sosial budaya dalam masyarkat memberikan peranan penting
dalam mencapai derajat kesehatan yang setingi-tinginya. Perkembangan social
budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu
daerah atau kabupaten tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam berfikir.
Perubahan social budaya bisa memberikan dampak positif maupun negatif.
Sosial budaya merupakan suatu kebiasaan atau kepercayaan masyarakat
terhadap pengalaman masa lalu, pengaru teman setempat tingal dan pengaruh dari
keluaga. Sarwono 2000 mengatakan bahwa, social budaya dapat dikatagorikan
dari positif dan negatf, jika pengaruh masyarakat positif terhadap pemamfaatan
pusat pelayanan kesehatan, maka akan terdorong untuk memanfaatkan dan
melakukan kunjungan kepukesmas, akan tetapi sebaliknya jika pengaruh
masyarakat negatif, maka semakin kurang semagat atau bahkan tidak mau
memamfaatkan pusat-pusat pelayanan kesehatan, karena mereka kurang yakin
akan yang dirasakan pada pengalaman masalu tidak baik.
Azwar (1996) menyebutkan, sosial budaya masyarakat berpengaruh
terhadap pemilihan baik sulit untuk dihilangkan, dan sudah terbiasa. Akan tetapi
jika sosial budaya masyarakat baik sulit untuk dihilangkan, dan sudah terbiasa
dengan nilai-nilai yang baik serta menyadari bahwa pentingnya pemeliharaan
kesehatan yang lebih baik dan selalu disiplin dalam hidup bersih dan sehat. Sosial
budaya dapat merupakan pengaruh dari lingkungan tempat tingal, sehigga tidak
mudah untuk membawa anak keposyandu. Sosial budaya sangat besar pengaruh
terhadap imunisasi, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang
imunisasi akan berakibat terhadap anak yang banyak terjangkit penyakit dan
menimbulkan dampak yang negatif. Oleh karena itu, sosial budaya ibu
mempengaruhi kelengkapan imunisasi terhadap anak.
Faktor sosial ekonomi merupakan yang sangat berpengaruh terhadap
tingkah laku seseorang, keadaan ekonomi keluarga yang baik diharapkan maupun
mencukupi dan menyediakan faselitas serta kebutuhan untuk keluarga, sehingga
seseorang dengan tingkat sosial ekonomi tinggi akan berbeda dengan tingkat
sosial ekonomi rendah. Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi akan
mengusahakan terpenuhinya imunisasi yang lengkap bagi bayi (Budioro,2002;
Notoatmodjo, 2003).
Lingkungan merupakan segala objek baik yang berupa benda hidup atau
tidak hidup yang ada disekitar dimana orang berada. Dalam hal ini lingkungan
sangat berperan dalam kepatuhan untuk melengkapi imunisasi dimana apabila
lingkungan mendukung secara otomatis ibu akan patuh untuk melengkapi
imunisasi pada anaknya (Budioro, 2002).
Hollingshead dan Redlich (dalam Azwar, Azrul,1999) dalam melakukan
penelitian sosial menggunakan indikator pekerjaan, pendidikan dan keadaan
tempat tinggal dalam menentukan status sosial ekonomi.Sedangkan Parker &
Bennet memakai indikator pendapatan, pendidikan, jumlah anak dan sikap
terhadap kesehatan. Adanya keterlibatan dari anggota keluarga lain juga
mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar.
Dukungan keluarga yang mempegaruhi kelengkapan imunisasi adalah
dalam teori lingkungan kebudayaan dimana orang belajar dari lingkungan
kebudayaan sekitarnya (Purwanto, 2000). Pengaruh keluarga terhadap
pembentukan sikap sangat besar karena keluarga merupakan orang yang paling
dekat dengan onggota keluarga yang lain. Jika sikap keluarga terhadap imunisasi
kurang begitu respon dan bersikap tidak menghiraukan atau bahkan pelaksanaan
kegiatan imunisasi. Maka pelaksanaan imunisasi tidak akan dilakukan oleh ibu
karena tidak ada dukungan keluarga.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemenuhan imunisasi dasar telah
diteliti sebelumnya oleh Burns dan Zimmerman (2005) dan Topuzogludkk (2006).
Kedua penelitian tersebut menyebutkan bahwa kurangnya pengetahuan mengenai
imunisasi, kondisi yang berhubungan dengan miskonsepsi imunisasi, terbatasnya
akses ke pelayanan imunisasi, kondisi yang berhubungan dengan status, keluarga
atau budaya; keterbatasan ekonomi, dan kondisi yang berhubungan dengan
perilaku petugas kesehatan akan mempengaruhi pelaksanaan imunisasi. Menurut
Saari, faktor lain yang berhubungan adalah bayi preterm dan low birth weight.
Pentingnya mengetahui faktor-faktor tersebut untuk memperbaiki cakupan
kelengkapan imunisasi dasar.
Ada hubungan antara status sosial budaya dan tingkat pendapatan keluarga
dengan kelengkapan imunisasi dasar, akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa
anak dengan tingkat pendapatan keluarga rendah mempunyai riwayat imunisasi
dasar yang tidak lengkap. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di
Palembang tahun 2006 yang menyebutkan bahwa status ekonomi mempengaruhi
kelengkapan imunisasi seorang anak Hubungan antara tingkat pendapatan
keluarga dengan kelengkapan imunisasi dapat dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah mengenai pelaksanaan imunisasi tidak dikenakan biaya. Jadi
walaupun dengan pendapatan ataupun tingkat ekonomi rendah atau kurang,
imunisasi tetap dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lennon (1995), Syamsudin di propinsi Sulawesi Tengah tahun
2008, Antoni di Medan tahun 1996, dan Hanum di Yogyakarta tahun 2005 yang
menyebutkan bahwa jarak dari tempat tinggal ke tempat pelayanan imunisasi
memiliki hubungan yang bermakna dengan kelengkapan imunisasi. Selain jarak,
kemudahan transportasi menuju ke tempat pelayanan imunisasi juga berpengaruh.
Walaupun jarak dari tempat tinggal ke tempat pelayanan imunisasi jauh, namun
jika dapat dijangkau dengan mudah maka imunisasi tetap dapat dilakukan.
Pada daerah terisolir, peran tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan
kepala desa mungkin dapat mempengaruhi tinggi rendahnya partipasi masyarakat
dalam mengikuti program-program pemerintah seperti kelengkapan imunisasi
pada anak dan balitanya. Daerah yang tersedia sarana transportasi berbeda dengan
mereka yang terpencil. Kemudahan tempat yang strategis dan sarana transportasi
yang lengkap akan tercapai pelayanan kesehatan (Budioro, 2002).
Tanggung jawab keluarga terutama para ibu terhadap kelengkapan
imunisasi bayi atau anak baita sangat memegang peran penting sehingga akan di
peroleh suatu manfaat terhadap keberhasilan imunisasi serta peningkatan
kesehatan anak. Kelengkapan imunisasi sangat dipenggaruhi oleh komponen-
komponen pendorong yang mengambarkan faktor-faktor individu secara tidak
langsung berhubungan dengan pelayanan kesehatan yang mencakup beberapa
faktor, terutama pengetahuan ibu tentang kelengkapan status imunisasi dasar bayi
atau anak. Komponen pendukung antara lain kemampuan individu mengunakan
pelayanan kesehatan yang diperkirakan berdasarkan pada faktor pendidikan,
pengetahuan, sumber pendapatan atau penghasilan keluarga (Depkes RI, 2000).
2.4. Konsep Imunisasi
Imunisasi adalah suatu usaha untuk memberi kekebalan kepada bayi dan
anak dengan memberikan vaksin tertentu sehingga terhindar dan dapat
terlindungi dari penyakit-penyakit infeksi tertentu. Pemberian imunisasi ini
dimaksudkan untuk memberi kekebalan, sehingga anak itu walaupun kemudian
mendapat infeksi tidak akan meninggal. Umumnya anak yang telah bereaksi
terhadap infeksi tidak akan sakit sama sekali atau sakit tetapi ringan (Depkes RI,
2005).
Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu (Theophilus, 2007), sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah
suatu obat yang diberikan untuk membantu mencgah satu penyakit. Vaksin
membantu tubuh ntuk menghasilkan antibody. Anti bodi ini berfungsi melindungi
terhadap penyakit (Theophilus 2007)
Imunisasi adalah usaha untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit
infeksi pada bayi, nak dan juga orang dewasa (Indiarti, 2008). Imunisasi
merupakan vaksin antara antigen dan antibodi-antibodi yang didalam bidang ilmu
imunologi merupakan kuman atau racun (toxin disebut sebagai antigen) (Riyadi,
2009).’
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara efektif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpapar
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. Imunisasi dasar
lengkap pada bayi meliputi : 1 dosis bcg, 3 dosis dpt, 4 dosis polio, 3 dosis
hepatitis b, 1 dosis campak. (Depkes RI,2009).
Hasil kegiatan imunisasi dasar adalah pencapaian cakupan imunisasi dasar
lengkap pada anak umur 0 sampai dengan 11 bulan. ada beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil kegiatan imunisasi dasar di antaranya adalah masyarakat,
faktor individu petugas, jangkauan pelayanan, sarana dan prasarana. (Depkes RI,
2009).
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukan
antigen lemah agar merangsang antibody keluar sehingga tubuh dapat resisten
memori (daya ingat), ketika vaksin masuk kedalam tubuh, maka akan dibentuk
antibody untuk melawan vaksin tersebut dan system memori akan menyimpannya
sebagai suatu pengalaman. Jika nantinya tubuh terpapar dua atau tiga kali oleh
antigen yang sama dengan vaksin maka antibody akan tercipta lebih kuat dari
vaksin yang pernah dihadapi sebelunya (Atikah, 2010).
2.4.1. Tujuan Pemberian Imunisasi
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar
dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh
penyakit yang sering berjangkit (Proverawati, 2010).
Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal
terhadap penyakit mortalitas serta dapat menurunkan angka morbiditas dan akibat
penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi (Alimul, 2009).
Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada
imunisasi cacar variola (Ranuh, 2008).
Memberikan kekebalan terhadap penyakit yang dapat di cegah dengan
imunisasi yaitu : Polio, Campak, Defteri, Partusis, Tetanus, TBC, dan Hepatiti B
(depkes,2000).
Dari tujuan diatas dapat kita simpulkan bahwa tujuan pemberian imunisasi
adalah memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan maksud menurunkan
angka kematian dan kesakitan serta mencegah akibat buruk lebih lanjut dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi
agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh
penyakit yang sering berjangkit. Secara umum tujuan imunisasi, antar lain:
a. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit maular.
b. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit manular.
c. Imunisasi menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan motalitas
(angka kematian) pada balita.
Untuk mencengah terjadinya penyakit infeksi tertantu dan apabila terjadi
penyakit, tidak akan terlalu parah dan dapat mencengah gejala yang menimbulkan
cacat atau kematian (Depkes RI,2009).
2.4.2. Jenis Kekebalan
Untuk tercapainya program tersebut perlu adanya pemantauan yang
dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas
imunisasi vaksinasi. Tujuan pemantauan menurut Azwar (1996) adalah untuk
mengetahui sampai dimana keberhasiln kerja, mengetahui permasalahan yang ada.
Hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki program. Hal-hal yang perlu
dilakukan pemantauan (dimonitor) sebagaimana disebutkan oleh Sarwono (1998)
adalah sebagai berikut :pemantauan ringan adalah hal-hal sebagai berikut apakah
pemantauan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, apakah vaksin cukup
tersedia, pengecekan lemari esnormal, hasil imunisasi dibandingkan dengan
sasaran yang telah ditetapkan, peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang
aman dan stelril, apakah diantara penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
dijumpai dalam seminggu (azwar, 1996)
Cara memantau cakupan imunisasi dapat dilakukan melalui cakupan dari
bulan ke bulan dibandingkan dengan garis target, dapat digambarkan masing-
masing desa. Untuk mengetahui keberhasilan program dapat dengan melihat
seperti, bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 75-100% dari target,
berati program sangat berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 thun terlihat antara
50-75% dari target, berati program cukup berhasil dan bila garis pencapaian
dalam 1 tahun dibawah 50% dari target berati program belum berhasil. bila garis
pencapian dalam 1 tahun terlihat dibawah 25% dari target berati program sama
sekali tidak berhasil. Untuk tinkat kabupaten dan propinsi, maka penilaian
diarahkan pada penduduk tiap kecamatan dan kabupaten. Disamping itu, pada
kedua tingkat ini perlu mepertimbangkan pula memonotoring evaluasi vaksin.
Perlidungan terhadap penyakir infeksi dihubungkan dengan suatu
kekebalan. Ada dua mekanisme dasar untuk mendapatkan kekebalan ini yaitu
dengan cara aktif dan pasif. (Depkes RI,2009).
2.4.2.1. Kekebalan pasif
Merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara
pemberian zat imumunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses
infeksi yang dapat berasl dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari
ibu melalui plasenta) atau binatang yanh digunakaan untuk mengatasi mikroba
yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi (Atikah, 2010).
Antibody yang diberikan kepada anak adalah yang sudah jadi, seperti
serum yang diberikan kepada penderita yang sakit difteri atau tetanus. Pada
kekebalan bawaan, seseorang bayi menerima antibody dari ibunya melalui
plasenta yang masuk kedalam peredarab darah, selanjudnya melindungi bayi itu
pada bulan-bulan pertama kehidupannya terhadap penyakit seperti campak dan
malaria. Kekebalan bawaan hanya akan bekerja sampai bayi berumur kira-kira
enam bulan. Pemberian vaksin akan merangsang tubuh anak untuk membuat
antibody sebagai respon terhadap antigen dalam vaksin (Perum Biofarma, 1990).
Pemberian suntikan terhadap kekebalan tetanus pada masa antenatal pada
seorang ibu hamil dimaksudkan untuk membuat suatu kekebalan pasif. Ini dapat
diberikan kepada bayi yang baru akan lahir untuk melindunginya dari tetanus
neonatum. Manfaat pemberian vaksin tersebut untuk menimbulkan kekebelan
tubuh dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteri, pertesis dan tetanus
(Markum, 2002).
2.4.2.2. Kekebalan aktif
Pada kekebalan aktif anak membuat sendiri antibodinya. Dalam rangka
memulai pembentukan antibody, oarang tersebut perlu diinjeksikan dengan suatu
penyakit atau diberi vaksin dari bakteri atau produknya dalam bentuk yang tidak
berbahaya. Imunisasi aktif, baik yang berbentuk karena sakitt maupun karena
pemberian vaksin bekerja sampai denga waktu lama bahkan kadang-kadang
seumur hidup (Jelliffe, 1994).
Vaksin ialah suatu bahan yang terbuat dari kuman, komponen kuman, atau
racun kuman telah dilemahkan atau dimatikan. Pemberian vaksin akan
merangsang tubuh anak untuk membuat antibody (Markum, 2002).
Vaksin ialah suatu bahan yang terbuat dari kuman/sebagian kuman atau
racunnya yang telah dilemahkan atau dimatikan. Pemberian vaksin akan
merangsang tubuh anak untuk membuat antibodi sebagai respon terhadap antigen
dalam vaksin (Perum Biofarma, 1997).
Menurut Depkes RI (2005), dalam pemberian imunisasi ada syarat yang
harus diperhatikan yaitu : diberikan pada bayi atau anak yang sehat, vaksin yang
diberikan harus baik, disimpan di lemari es dan belum lewat masa berlakunya,
pemberian imunisasi dengan tehnik yang tepat, mengetahui jadwal iminisasi
dengan melihat umur dan jenis imunisasi yang telah diterima, meneliti jenis
vaksin yang diberikan, memberikan dosis yang akan diberikan, mencatat nomor
betch pada buku anak atau kartu imunisasi serta memberikan informed concent
kepada orang tua atau keluarga sebelum melakukan tindakan imunisasi yang
sebelumnya telah dijelaskan kepada orang tuanya tentang manfaat dan efek
samping atau Kejadia Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) yang dapat timbul setelah
pemberian imunisasi.
2.4.3. Penyakit Yang Dapat di Cegah Dengan Imunisasi
Dari sebahagian kecil penyakit yang telah ditemukan vaksinnya, hanya
tujuh yang telah diupayakan pencegahannya melalui program imunisasi yang
untuk selanjutnya kita sebut PD13. beberapa pertimbangan untuk memasukkanya
kedalam program antara lain adalah besarnya masalah yang ditimbulkan,
kenganasan penyakit, efektifitas vaksin dan yang terakhir adalah kemungkinan
pengadaan vaksi (Depkes RI, 2000).
2.4.3.1.1 Tuberkulosis
Penyakit TBC di Indonesia merupakan penyakit kelima setelah penyakit
infeksi saluran nafas bagian atas, muntah mencret, kurang gizi dan kurang vitamin
A. Angka kesakitan dan kematian ini dapat menurun bila keadaan sosial ekonomi
meningkat. Hal ini terbukti di negara Belanda, angka kesakitan tahun 1949 adalah
17.508 dari 11 juta penduduk, yang menurun menjadi 7.457 pada tahun 1986,
tampa adanya program pemberantasan penyakit TBC. Di negara yang sedang
berkembang, tidaklah tepat jika kita mengharapkan perbaikan sosial ekonomi
penduduk untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ini. Oleh karena itu
vaksinasi BCG sebagai usaha untuk mencengah penyakit TBC di negara
berkembang umumnya, Indonesia khususnya masih perlu dilaksanakan
(Suraatmadja, 1995).
Seorang anak akan menderita TBC karena terhisapnya percikan udara
yang mengandung kuman TBC, yang berasal orang dewasa yang berpenyakit
TBC. Mungkin juga bayi sudah terjangkit penyakit TBC sewaktu lahir ia terifeksi
kuman TBC sewaktu dalam kandungan, bila ibu mengidap penyakit TBC, tetapi
hal ini jarang terjadi. Pada anak yang terinfeksi kuman TBC dapat menyerang
berbagai alat tubuh. Yang diserangnya adalah paru (paling sering), kelenjer getah
bening, tulang, sendi, ginjal, hati atau selaput otak. TBC selapu otak merupakan
jenis TBC yang paling berat (Rahmawati., 2007.)
Tuberkulosis pada anak sulit di diaqnosis secara klinik, gejara merupak
demam yang tidak diketahui sebabnya, disertai batuk pilek dan tanda-tanda infeksi
saluran nafas bagian atas. Penyebabnya adalah mycobacterium tuberculosisi dan
penularannya melalui percikan sputum (Rahmawati., 2007.)
Pemberian vaksi BCG (Bacilus Calmette Guerin) mengandung kuman
tuberkulosis yang sudah dilemahkan bertujuan untuk menimbulkan kekebalan
sacara aktif penyakit TBC. (Rahmawati., 2007.)
Vaksin BCG diberikan dengan suntika intra dermal dengan memakai
jarum suntik. Kira-kira 3 minggu setelah injeksi, pustula kecil yang tidak sakit
akan timbul yang kemudian memecah dan megeluarkan sedikit cairan selama 3
minggu, akhirnya menyembuh meninggalkan perut yang sangat kecil. Di beberapa
negara BCG diberikan kepada semua anak-anak, biasanya saat lahir atau waktu
imunisasi pertama yang dimulai pada umur 2 bulan yang diulang pada umur
sekolah (Lanasari R, 2007)
2.4.3.2. Difteri
Penyakit difteri adalah suatu penyakit infeksi yang akut dan mudah
menular terutama menyerang pernafasan atas oleh kuman Corynebacterium
Diphtheriae. Diftri ditandai oleh demam dan sakit tenggorokan dengan eksudat
tnsil dan pharynx atau hidung, yang terdiri suatu membran fibrosa liar diatas lensi
hemoragik dan nekrotik. Biasanya ada pembesaran kelenjer limfe dan pasien
tampa toksin (Lanasari R, 2007).
Tanda khas dari penyakit ini adalah adanya pembekakan didaerah faucial
yang merupakan peradangan lokal, mengeluarkan eksudat dan terbentuknya
Pseudemembran. kuman Corynebacterium Diphtheriae megeluarkan toksin yang
menimbulkan gejala lokal maupun umum. Khususnya menyebabkan kelumpuhan
muskulus dan terjadi miorkarditis. Eksotoksin tersebut dapat pula menyebabkan
nekrosis jaringan hati dan ginjal (Suraatmadja, 1995).
Penderitan yang paling berat pada anak adalah infeksi faucial dan
laringeal, sedangkan infeksi nasal cenderung menjadi kronik dan tidak begitu
berat. Kematian penderita terutama disebabkan oleh sumbatan membran pada
trechea dan larynx, kegagalan jantung dan kegagalan pernafasan sebagai akibat
kelumpuhan saraf perifer, otot pernafasan dan komplikasi paru-paru (Suraatmadja,
1995).
Pemberian vaksin difteri yang berisikan toksoir difteri mempunyai daya
proteksinya cukup baik yaitu sebesar 80 sampai 90% diberikan bersamaan dengan
DPT, dimaksudkan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri
(Lanasari R, 2007).
2.4.3.3. Pertusis
Pertusis atau batuk rejan atu lebih dikenal dengan batuk 100 hari
merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Mordetella Pertusis
dan saat ini sudah dikendalikan oleh vaksin bakteri yang sudah dimatikan.
Penyakit ini cukup parah, diderita oleh anak balita dan bahkan dapat
menyebabkan kematian pada bayi yang berumur <1 tahun. Gejala yang muncul
berupa pilek tampa demam yang berlanjud dengan suatu peningkatan jumlah
serangan batuk menjadi hebat dan paroksimal. Biasanya lebih lazim dimulai pada
malam hari tetapi kemudian lebih banyak batuk pada siang hari dengan 20 atu
lebih selama 24 jam. Lesi biasanya terdapat pada broonkus trakhea, laring dan
naso faring. Kuman biasanya berssarang pada epitel mukosa menimbulkan
eksudasi mukopurulen. Lesi berupa nekrosis sel epitel basal dan tengah disertai
infiltrasi neutrofil dan makrofag. Lendir yang terbentuk dpat menyebabkan
bronkus. Anak berusaha keras untuk membersihkan jalan pernafasan dari lendir
dan dipaksa keluar maka akan diikuti “rejan” disebut 100 hari (Dick, 1992).
Vaksin yang berisi pertusis dimatikan, daya proteksinya masih rendah
yaitu 50 sampai 60%, dan diberikan bersamaan dengan vaksin DPT untuk
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pertusis. Efek samping yang
ditimbulkan pada anak yang diimunisasi dengan vaksin ini dapat berupa demam,
pembengkakan dan rasa nyeri ditempat suntikan selama 1 sampai 2 hari (Markum,
2002).
2.4.3.4. Tetanus
Tetanus adalah kelainan klinis yang disebabkan oleh eksotoksin dari
kuman anaerob Clostridium tetani yang hidu lama ditempat yang tidak terkena
matahari. Infeksi Crostidium tetani ditandai dengan meningginya tonus otot
skelet, kejang tonik dan klonik. Crostidium tetani termasuk bakteri gram positif
berbentuk batang terdapat ditanah, kotoran manusia dan binatang (khususnya
kuda) sebagai spora. Spora yang menempel pada luka tetapa tidak patologik,
sampai dia berubah menjadi bentuk vegetatif oleh pengaruh berbagai faktor antara
lain penurunan oksigen, proses supuratif lesi. Bentuk vegetatif sendiri
berkembang tampa menimbulkan reaksi inflamasi, tetapi eksotoksinnaya amat
poten. Masa inkubasi umumnya berlangsung antar 3 sampai 21 hari.
Vaksin tetanus yang berisika teksoid tetanus dengan daya proteksi yaitu 90
sampai 95% dan pemberiannya bersamaan dengan vaksin DPT. Mamfaat
pemberian vaksin tersebut untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang
bersamaan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus (Markum, 2002).
2.4.3.5. Poliomielitis
Poliomielitis disebabkan oleh suatu kelompok virus entero dan dapat
dikendalikan dengan vaksi virus polio peroral yang hidup atau dengan vaksin
polio yang inaktif. Penyakit ini pada mulanya ditandai dengan sedikit demam
yang ringan dan sakit kepala yang mungkin berkembang dalam beberapa hari, dan
ini mungkin tidak ada tanda-tanda lanjut dan keluh-keluhan (sakit yang ringan),
tetapi iniungkin akan berkembang cepat kesuatu penyakit yang disertai demam,
nyeri otot, sakit kepala dan kekekuan leher (meningitis aseptik) dan menjadi
paralisis (poliomielitis paralitik). Paralisis dengan tanda vaksis, mulai dengan
asmentris dan tiba-tiba, biasa meliputi tungkai atau lengan (Dick, 1992).
Vaksin polio untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit
poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran yang masing-masing
mengandung virus polio tipe I, II dan III. Daya proteksi vaksin polio sanga baik
yaitu sebesar 95 sampai 100%.
2.4.3.6. Vaksin Campak
Campak disebabkan oleh virus yang termasuk kelompok Myxovirus,
bersifat akut dan sangat menular (Dick, 1992).
Gejala yang khas yaitu timbulnya bercak-bercak merah dikulit (eksantem)
3 sampai 5 hari setelah anak menderita demam, batuk atau pilek. Bercak merah
semula timbul pada pipi dibawah telinga, kemudian menjalar kemuka, tubuh dan
anggota gerak. Pada stadium berikutnya bercak merah akan bewarna coklat
kehitaman dan akan mehinglang dalam waktu7 sampai 100 hari. Kemudian tahap
penyakit timbul ketika gejala demam disebut stadium kataral. Tahap penyakit
ketika timbul kemudian bercak merah dikulit disebut stadium eksantem. Pada
stadium kataral penyakit campak sangat mudah menular pada anak lain. Daya
tular ini menjadi kurang pada stadium eksantem.
Penyakit ini dapt dicengah dengan imunisasi yaitu dengan pemberian
vaksin Scwarz Vaccine (Further Attenuated Measles Virus Vaccine) yang disebut
dari Edmonston Strain (Suraatmadja, 1995).
Vaksin campak mengadug virus campak hidup yang telah dilemahkan.
Daya proteksi imunisasi campak sangat tinggi yaitu 96 sampia 99%. Imunisasi
diberikan untuk mendapatka kekebalan yang diperoleh berlangsung seumur hidup,
sama langgeng demga kekebalan yang diperoleh bila anak terjangkit campak
secara alamiah.
2.4.3.7. Vaksin Hepetitis B
Virus hepatitis B merupakan penyebab utama dari hepatitis akut dan
kronik yang dapat berkembang sirosis dan kenker hati primer. Indonesia termasuk
endemis hepatitis B sedang berat, dengan prevalensi HbAg berkisar antara 15
sampai 20%. Masa inkubasi 4 sampai 26 minggu (Depkes RI, 1992).
Selama pemakaian vaksin hepatitis, tidak atau belum dilaporkan adanya
efek samping yang berati setelah penyuntikan imunisasi hepatitis B (Perum
Biofarma, 1997).
2.5. Manfaat Imunisasi dan Efek Samping Imunisasi
Dapat dirasakan dalam tiga katagori yaitu secara individu, sosial, dan
dalam menunjang system kesahatan nasional. Singkatnyan, apabila seorang anak
telah mendapatkan imunisasi dasar maka akan terhindar dari penyakit infeksi
yang ganas, makin banyak anak yang mendapat imunisasi, maka akan terjadi
penurunan pada angka kesakitan dan kematian. Kekebalan individu ini akan
mengakibatkan pemutusan rantai penularan penyakit dari anak keanak lain atau
kepada orang dewasa yang hidup bersamanya. Dengan mencegah seorang anak
dari penyakit infeksi, berati akan meningkatan kualitas hidup anak dan
menignkatkan daya produktfitasnya (Wayan sulus, 2012).
Ada beberapa manfaat imunisasi, antara lain sebagai berikut:
a. untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan cacat atau kematian.
b. Untuk keluarga: menhilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak
sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa
anaknya menjalani masa kanak-kanakan yang nyaman.
c. Untuk Negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat
dan berakal untuk melanjutkan pembagunan Negara (Atikah, 2010).
2.5.1. Efek samping imunisasi
Efek samping adalah akibat yang tidak diinginkan yang terjadi karena
pemberian imunisasi. Bagaimanapun amannya vaksin, namun efek samping akan
terjadi atau timbul. Namun yang jelas, menurut luar negeri angka kejadiannya
lebih kecil bial dibandingkan dengan angka yang disebabkan oleh penyakit sendiri
(Suraatmadja, 1995).
Efek samping imunisasi BCG umunya jarang dijumpai. Mungkin berupa
abses dan limfadenitis supurativa. Katerampilan vaksinator, sterilitas jarum suntik
dapat mengurangi efek samping tersebut.
2.5.2. Jadwal Imunisasi
Di seluruh Indonesia, vaksin yang termasuk ke dalam program imunisasi
dasar diberikan secara gratis dalam arti tidak perlu membayar harga vaksin.
Vaksin yang diberikan secara gratis oleh pemerintah hanya untuk tujuh antigen
imunisasi dasar, yakni Hepatitis B, Diphteria, Pertusis, Tetanus, polio, BCG, dan
vaksin Campak. Sedangkan vaksin yang diberikan bukan berasal pemerintah,
sebagai contoh, vaksin HiB, vaksin pneumonia, vaksin MMR yang belum menjadi
vaksin program, maka yang bersangkutan harus menganti harga vaksin yang
diberikan.
Berikut jadwal pemberian imunisasi pada bayi di seluruh Indonesia,
dengan mengunakan vaksin DTwP dan Hepatitis B dalam bentuk terpisah.
Tabel 2.1: Jadwal Pemberian Imunisasi
Jenis Vaksin Waktu Reaksi PerlindunganImunisasi
DPT, difteri,
batuk rejan
(partusis),
tetanus
Suntikan pada usia
2,4,6,18 bulan. Dan
diulang pada usia 4-5
tahun.
Anak bias demam,
tempat suntikan
terasa sakit.
Tetanus harus
diulang tiap 5
tahun supaya
terhindar dari
tetanus.
polio Vaksin diminum pada
usia 0,2,3,4,6,18 bulan
dan ulang pada usia 5
tahu.
Tidak ada Harus diulang agar
selalu terlindungi
campak Suntikan pada usia 9
bulan dan diulang pada
usia 6 tahun
Deman dan timbul
bercah-bercak
Tidak diketahui
berapa lama sejak
vaksinasi terakhir
Tuberkolusa
(BCG)
Suntikan pada usia 0-3
bulan dan diulang pada
usia 10-13 tahu, kalau
diangap perlu.
Sakit dan kaku di
tempat suntikan
Seumur hidup
Rubella Suntikan untuk anak
perempuan usia 10-14
tahun
Mungkin nyeri
sendi
Tidak diketahui
berapa lama sejak
vaksinasi.
“jadwal imunisasi berdasarkan rekomendasi dari IDAI tahun 2006”
Tabel 2.1 : Jadwal Pemberian Imunisasi
Umur Vaksin Keteragan
Saat lahir Hepatitis B Pertama diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir
Kunjugan pertama
Polio OPV diberikan pada kunjungan pertama. Bayi yang lahir diRB/RS diberikan vaksin OPV saat bayi dipulangkan untuk menghidari transmisi virus vaksin kpada bayi lain. Selanjutnya dapat diberi vaksin OPV atau IPV.
0,2 bulan BCGOptimal di berikan pada umur 2 bulan sampai 3 bulan. Bila vaksin BCG akan diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji turbekulin. Bila uji turbeculin pra-BCG tidak dimungkinkan, BCG dapat diberikan, namun harus di observasi dalam 7 hari. Bila ada reaksi local cepat ditempat suntikan (accelerated local reaction), perlu dievaluasi lebih lanjut (diagnostic TB).
2 bulan DPTDiberikan pada umur > 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan Hepatitis B atau Hip. Ulang DTP umur 18 bulan dan 5 tahun. Program BIAS: di sesuaikan dengan jadwal imunisasi kementrian kesehatan. Untuk anak umur di atas 7 tahun dianjurkan diberikan vaksin Td.
9 bulan
7 bulan
6 bulan
12-15 bulan
Campak
Pneumokokus (PCV)
Influenza
MMR
Di berikan pada umur 9 bulan, vaksin ulang diberikan pada umur 5-7 tahun. Program BIAS: disesuaikan dengan jadwal imunisasi kementrian kesehatan.
Dapat diberikan pada umur 2, 4, 6, 12-15 bulan. Pada umur 7 -12 bulan. Di berikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur > 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada umur 15 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur diatas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
Diberikan pada umur > 6 bulan, setiap tahun. Pada umur < 9 tahun yang mendapat vaksin influenza pertama kalinya harus mendapat 2 dosis dengan interval 4 minggu.
Dapat di berikan pada umur 12 bulan , apa bila belum mendapat vaksin campak umur 9 bulan. Selanjutnya MMR ulangan diberikan pada umur 5-7 tahun.
2 tahun
6-12 bulan
0-6 bulan
12 bulan
Tafoid
Hepatitis A
HPV
Varisela
Polisakarida injeksi diberikan pada umur 2 tahun diulangi setiap 3 tahun.
Hepatitis A diberikan pada umur > 2 tahun, dua kali dengan interval 6-12 bulan.
Jadwal vaksin HVP bivalen 0, 1, 6, bulan; vaksin tetravalent 0, 2, 6 bulan. Dapat diberikan mulai umur 10 tahun.
Dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur >12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
Sumber : Jadwal imunisasi rekomondasi IDAI, periode 2011.
2.3.7. Konsep Balita
Pengertian Balita
Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik
pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan
BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada
umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah kenaikan BB
kurang lebih 2 kg/ tahun, kemudian pertumbuhan kostan mulai berakhir
(Soetjiningsih, 2001).
Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima
tahun. Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan
kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak) di lingkup dinas kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan
otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh
kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang
akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan bahasa,
kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan
merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini, 2004).
Bawah lima tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah
satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita
dimulai dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan
bulan yaitu usia 12- 60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia
prasekolah (Wikiledia, 2009).
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena
pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Perkembangan kemampuan berbahasa,
kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat
pada masa balita dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Pramudia,
2005).
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang sifatnya
berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan
perkembangan. Sedangkan pengertian mengenai apa yang dimaksud pertumbuhan
dan perkembangan per definisi adalah sebagai berikut :
1. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar,
jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa
diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm,
meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan
nitrogen tubuh) (Soetjiningsih, 1995 dalam Yantikasari, 2006,). Untuk
menilai pertumbuhan fisik anak, sering digunakan ukuran-ukuran
antropometrik (Almatsier,2001).
2. Perkembangan (depelopment) adalah bertambahnya kemampuan dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur
dan dapat diramalkan, sebagai hasil proses pematangan. Disini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh,
organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Perkajian tumbuh kembang anak dapat dilakukan melalui test skrining
perkembangan menurut Denver (DDST). DDST adalah salah satu dari metode
skrining terhadap kelainan perkembangan anak, tes ini bukanlah tes diagnostik
atau tes IQ. DDST memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk metode
skrining yang baik. Tes ini mudah dan cepat, dapat diandalkan dan menunjukkan
validitas yang tinggi (Soetjiningsing, 1999 dalam Yantikasari, 2006).
Pertumbuhan fisik, kedewasaan, pencapaian kemampuan dan reorganisasi
psikologis terjadi dengan cepat selama tahun pertama. Perubahan-perubahan ini
tidak selamanya berjalan lancar tetapi lebih mendesak dan tidak terus menerus
yang secara kualitatif mengubah tingkah laku anak (Wahab, 2001).
2.3.8. Kerangka Tioritis
Berdasarkan tiori tiori yang telah dibahas dalam tinjauan kepustakaan maka
kerangka tioritis di gambarkan sebagai berukut.
Notoaatmodjo ( 2007)
- pendidikan- sikap- pengalaman
Kelengkapan imunisasi
Markum (2000)
- Sosial budaya- Pendidikan- Pengetahuan- sikap
Ali (2003)- sikap
Sarwono ( 2000)- Social budaya