bab ii

16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Muntah adalah kejadian fisik yang sangat spesifik, didefenisikan sebagai pengeluaran paksa isi lambung secara cepat dari lambung hingga keluar dari mulut. Gejala-gejala ini dapat berkisar mulai dari mual ringan hingga emesis yang parah dan retching. Respon muntah dapat digambarkan dalam tiga tahap: mual, muntah, dan retching. Mual adalah perasaan subjektif ingin muntah. Ini mencakup perasaan tidak menyenangkan di mulut dan lambung dan dapat dikaitkan dengan peningkatan sekresi air liur, berkeringat, pusing, dan takikardi. Muntah adalah pengusiran kuat dari isi lambung melalui mulut, tetapi didahului dengan relaksasi sfingter esofagus, kontraksi otot perut, dan penghentian sementara proses bernapas. Retching adalah kontraksi ritmik otot perut tanpa muntah yang sebenarnya. Hal ini dapat disertai mual, atau terjadi sebelum atau setelah muntah (1,2). 3

Upload: nurul-mutmainnah

Post on 15-Nov-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penting

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKAII.1. Definisi

Muntah adalah kejadian fisik yang sangat spesifik, didefenisikan sebagai pengeluaran paksa isi lambung secara cepat dari lambung hingga keluar dari mulut. Gejala-gejala ini dapat berkisar mulai dari mual ringan hingga emesis yang parah dan retching. Respon muntah dapat digambarkan dalam tiga tahap: mual, muntah, dan retching. Mual adalah perasaan subjektif ingin muntah. Ini mencakup perasaan tidak menyenangkan di mulut dan lambung dan dapat dikaitkan dengan peningkatan sekresi air liur, berkeringat, pusing, dan takikardi. Muntah adalah pengusiran kuat dari isi lambung melalui mulut, tetapi didahului dengan relaksasi sfingter esofagus, kontraksi otot perut, dan penghentian sementara proses bernapas. Retching adalah kontraksi ritmik otot perut tanpa muntah yang sebenarnya. Hal ini dapat disertai mual, atau terjadi sebelum atau setelah muntah (1,2).

II.2. Etiologi

Banyaknya ragam patologis dan fisiologis mual dan muntah dapat menyebabkan evaluasi etiologi menjadi sulit. Oleh karena itu, penilaian yang tepat sangat penting dalam memberikan rekomendasi untuk pengobatan. Seringkali pasien dengan muntah akut tidak memerlukan pengobatan, terutama bila muntah berhubungan dengan infeksi virus, keracunan makanan, atau konsumsi alkohol atau asupan makanan yang berlebihan. Muntah yang mengandung darah, tau berhubungan dengan demam, sakit kepala berat, trauma, atau sakit perut atau harus dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut. Oleh karena itu pengetahuan tentang onset dan durasi obat, faktor yang memperburuk dan mengurangi gejala muntah, riwayat pengobatan termasuk obat bebas atau suplemen herbal, makanan dan asupan cairan, atau kondisi medis lainnya sangatlah penting. Dalam kasus di mana mual dan muntah yang dapat diantisipasi, seperti dalam prosedur bedah atau kemoterapi, harus fokus pada pencegahan atas dasar pelepasan neurotransmitter pada reseptor yang terlibat (3).

Tabel 2.1 Obat-obat yang dapat menyebabkan mual dan muntah

GolonganContoh

KemoterapiCisplatin, dacarbazine, cyclophosphamide,

doxorubicin, carboplatin

OpioidMorfin, oxycodone, codeine

AntibiotikErythromycin, sulfonamida, tetracycline

Anti inflamasiAspirin, ibuprofen, ketorolac, naproxen

Terapi HormonalKontrasepsi oral, estrogen

KardiovaskularDigoxin, beta-bloker, penghambat kanal Kalsium

II.3. Patofisiologi

Sistem saraf pusat (SSP), sistem saraf perifer, dan saluran gastrointestinal (GI), semua terlibat dalam memicu dan mengkoordinasikan respon muntah. Di SSP, pusat muntah (PM atau VC) menerima sinyal dari bagian lain dari otak dan saluran pencernaan kemudian mengkoordinasikan respon muntah dengan mengirimkan sinyal ke organ efektor. PM terletak di medulla oblongata otak, dekat nukleus solitarius tractus (NTS). PM dirangsang oleh neurotransmiter yang dilepaskan dari cemoreseptor trigger zone (CTZ), saluran pencernaan, korteks serebral, sistem limbik, dan sistem vestibular. Reseptor utama yang terkait dengan respon muntah termasuk serotonin (tipe 5-hydroxytryptamine 3 , [5-HT 3]) , neurokinin 1 (NK1), dan dopamin. Reseptor lain yang terlibat termasuk kortikosteroid, asetilkolin, histamin, cannabinoid, gabaminergic, dan reseptor opiat. Banyak dari reseptor ini adalah target untuk terapi antiemetik.

Di SSP, CTZ terletak di postrema pada ventrikel di batang otak dan terletak di luar sawar darah otak. Ketika CTZ merespon adanya toksin dan zat-zat berbahaya dalam darah atau cairan serebrospinal, CTZ memicu respon muntah dengan melepaskan neurotransmitter menuju ke VC dan NTS.

Sistem GI juga memiliki peranan penting dalam inisiasi respon muntah. Saluran GI mengandung sel-sel enterochromaffin pada lapisan mukosa. Ketika sel-sel ini rusak akibat penggunaan kemoterapi, radiasi, anestesi, atau iritasi mekanik, serotonin akan dilepaskan kemudian menstimulasi serabut aferen vagal dan langsung menstimulasi VC dan NTS. Pusat muntah (PM) kemudian memulai respon muntah.

Korteks serebral dan sistem limbik dapat menstimulasi PM dalam respon terhadap kondisi emosional seperti kecemasan, nyeri, dan antisipasi mual dan muntah. Neurotransmitter yang terlibat dalam jalur ini belum dapat dimengertii dengan jelas. Gangguan sistem vestibular, seperti vertigo dan mabuk, menstimulasi PM melalui pelepasan asetilkolin dan histamin (2).

Gambar 2.1 Mekanisme kemoterapi menginduksi muntah. AP, anterior pituitary; 5-HT, serotonin; 5-HT3 serotonin type 3 receptor; NTS, nucleus tractus solitarius (2).

Postoperative nausea and vomiting (PONV) atau mual dan muntah yang diinduksi operasi adalah komplikasi umum dari operasi, mempengaruhi 25 - 30 % dari semua pasien, dan hingga 80 % untuk pasien dengan faktor resiko tinggi. Beberapa faktor resiko untuk PONV termasuk durasi dan tipe operasi (seperti laparascopy, THT, ginekologi, strabismus).

II.4Pemeriksaan Diagnostik

Evaluasi awal pasien dengan mual dan muntah harus mencakup timbulnya gejala, tingkat keparahan dan durasi gejala, status hidrasi, faktor pencetus, kondisi medis dan riwayat obat-obatan saat ini, serta makanan yang dikonsumsi. Etiologi mual dan muntah harus ditentukan, jika mungkin, sehingga kondisi yang mendasari dapat diobati secara khusus. Terapi suportif harus dimulai, jika diperlukan, termasuk cairan dan elektrolit pengganti, terapi antiemetik mungkin tidak diperlukan. Bagaimanapun, terapi antiemetik yang tepat akan tergantung pada pasien dan etiologi mual dan muntah (2).II.5. Penatalaksanaan (4)

Kelas obat utama yang digunakan untuk mengobati dan mencegah mual dan muntah termasuk antikolinergik, antihistamin, fenotiazin, benzamida, antagonis 5HT3, cannabinoids, benzodiazapin, kortikosteroid, dan butyrophenones.Antikolinergik / Antihistamin

Pengobatan dengan efek antikolinergik dan antihistamin paling sering digunakan untuk mencegah mual dan muntah yang berhubungan dengan mual dan vertigo. Obat-obat ini bekerja pada reseptor muskarinik dan histamin dalam PM dan area yang terkait dengan sistem vestibular tetapi memiliki efek yang rendah pada penyebab lain dari mual dan muntah. Skopolamin, diphenhydramine, dimenhydrinate, meclizine, dan hidroksizin adalah obat utama yang digunakan dalam kelas ini. Skopolamin menjadi obat yang paling efektif. Efek samping umum yang terkait dengan antikolinergik dan antihistamin termasuk mulut kering, mengantuk, midriasis, retensi urin, dan penglihatan kabur. Biaya yang relatif rendah dan kurangnya efek samping yang serius membuat obat golongan ini menjadi pilihan yang baik untuk mual dan muntah yang berhubungan dengan mabuk (motion sickness).

BenzamidaMetoclopramide, bekerja pada kedua reseptor dopamin dan serotonin, tergantung pada dosis yang digunakan. Pada dosis rendah (0,15-0,5 mg / kg), metoclopramide merupakan antagonis dopamin yang kuat. Pada dosis yang lebih tinggi, dopamin memiliki efek antagonis serotonin. Selain itu, metoclopramide meningkatkan peristaltik lambung dan pengosongan saluran pencernaan bagian atas, sehingga meminimalkan stasis, yang mungkin mendahului dan memperburuk mual dan muntah. Metoclopramide mungkin sangat berguna dalam pengobatan mual akibat gastroparesis. Telah dilakukan evaluasi secara ekstensif untuk CINV (Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting) serta PONV (Postoperative Nausea and Vomiting). Pada dosis yang lebih tinggi, metoclopramide dapat menyebabkan gejala ekstrapiramidal (EPS), yang harus dicegah atau diobati dengan diphenhydramine atau benzotropine. Efek samping lain termasuk mengantuk, kelelahan, diare, dan gelisah

Ketika digunakan dalam penanganan CINV, dosis dan intervalnya telah dievaluasi. Sulit untuk menentukan rejimen ini (termasuk kombinasi terapi) adalah yang paling sesuai. Dalam pengaturan CINV akut, metoclopramid dapat digunakan dalam dosis 1 sampai 3 mg / kg setiap 3 jam dalam tiga dosis mulai 1/2 jam sebelum pemberian kemoterapi. Untuk mencegah efek tertundanya CINV, dosis 0,5 mg / kg dapat diberikan setiap 6 jam sampai risiko CINV telah berlalu. Pada dosis ini, efek samping disebabkan oleh beberapa mecha-mekanisme-aksi menjadi lebih jelas. Diare akibat efek kolinergik telah dilaporkan pada kejadian 25% sampai 30%, serta EPS di sekitar 5% pasien.

Metoclopramide disetujui oleh Food and Drug Administration untuk pencegahan PONV pada dosis 10 sampai 20 mg sesaat sebelum selesainya prosedur. Hasil dari uji klinis telah meyakinkan mengenai rejimen yang paling efektif, dan meskipun di pasar selama lebih dari 40 tahun, sebuah studi menemukan dosis ilmiah belum dilakukan. Pedoman konsensus, yang diterbitkan pada tahun 2003 untuk PONV, menyebutkan metoclopramid kurang memiliki banyak data pendukung dan mayoritas anggota setuju bahwa obat ini tidak boleh direkomendasikan untuk PONV.

Fenotiazin

Fenotiazin, termasuk prometazin, proklorperazin, klorpromazin, dan perphenazine, mengobati mual dan muntah melalui mekanisme antidopamenergic, kemungkinan besar di CTZ. Obat ini terjangkau dan tersedia dalam berbagai bentuk sediaan termasuk intravena, oral, dan rektal. Proklorperazin dan prometazin adalah obat yang paling banyak digunakan untuk mual dan muntah. Obat ini juga telah menunjukkan keberhasilan dalam penanganan PONV bila diberikan pada akhir operasi. Efek samping yang umum untuk obat-obat ini termasuk sedasi dan hipotensi ortostatik, dan efek samping yang kurang umum yaitu EPS.

Antagonis Serotonin

Antagonis reseptor serotonin selektif termasuk ondansetron, granisetron, dolasetron, dan palonosetron. Obat ini bertindak secara selektif menghambat serotonin, suatu neurotransmitter penting dalam CINV akut pada reseptor 5HT3 dalam usus kecil, saraf vagus, dan CTZ. Setiap obat memiliki perbedaan relatif dalam potensi, waktu paruh, metabolisme, dan ketersediaan bentuk sediaan oral.

Karena indikasinya terbatas dan biaya dari obat ini dibandingkan dengan penggunaan fenotiazin dan metoclopramid, penggunaannya tidak tepat diluar PONV dan CINV.

Butyrophenones

Haloperidol dan droperidol adalah obat antidopaminergic yang telah terbukti dapat mengelola mual dan muntah. Obat ini pada umumnya digunakan dalam CINV dan PONV. Sebuah meta-analisis yang diterbitkan pada tahun 2004 dievaluasi penggunaan haloperidol untuk mual dan muntah yang berhubungan dengan prosedur operasi, kemoterapi, dan penyakit GI. Haloperidol efektif dalam mencegah dan mengobati PONV pada dosis mulai dari 0,5 mg sampai 5 mg diberikan baik intravena atau intramuskular. Ada juga bukti yang menunjukkan bahwa haloperidol efektif untuk mengobati mual dan muntah yang berhubungan dengan penyakit GI. Food and Drug Administration memberi peringatan adanya resiko kematian atau mengancam jiwa yang dikaitkan dengan perpanjangan QT, sehingga penggunaannya telah menurun. Efek samping lain dari obat-obat ini termasuk EPS, sedasi, dan mengantuk.

Benzodiazepin

Benzodiazepin telah digunakan secara tradisional untuk pengobatan CINV antisipatif dan sebagai tambahan mengobati CINV dengan obat lain. Alprazolam dan lorazepam adalah agen yang paling umum digunakan. Sedasi serta amnesia adalah umum pada pasien yang diobati dengan benzodiazepin. Ketergantungan biasanya tidak menjadi perhatian yang diberikan pada pengobatan durasi singkat.

Kortikosteroid

Kortikosteroid telah terbukti lebih aktif dibandingkan plasebo dalam pencegahan CINV dan PONV, meskipun mekanisme aksinya belum sepenuhnya dipahami. Yang paling banyak dipelajari dari kortikosteroid dalam pengaturan ini adalah deksametason, yang mudah melewati sawar darah-otak. Penambahan kortikosteroid ke 5HT3 antagonis lebih efektif dalam pencegahan CINV dari baik agen sendiri, dan kombinasi ini telah menjadi pengobatan untuk emetogenik kemoterapi sedang dan tinggi. Dalam pencegahan PONV, dosis satu kali dari 5 sampai 10 mg dexamethasone dapat diberikan sebelum induksi dan digunakan dalam kombinasi dengan antagonis 5HT3 pada pasien berisiko tinggi untuk PONV. Efek samping yang berhubungan dengan penggunaan jangka pendek kortikosteroid termasuk hiperglikemia, leukositosis, insomnia, dan gangguan mood.

ZAT antagonis P/NK-1

Aprepitan, sebuah antagonis reseptor NK-1 sintetis. Dalam rejimen tiga jenis obat, termasuk ondansetron dan deksametason, aprepitan memberikan pencegahan yang signifikan untuk mual akut maupun yang tertunda yang disebabkan oleh penggunaan cisplatin. Aprepitan biasanya ditoleransi dengan efek samping yang paling sering yaitu asthenia dan kelelahan. Interaksi obat menjadi perhatian karena aprepitan merupakan substrat, penginduksi dan inhibisi sedang pada enzim sitokrom P450 3A4 (CYP3A4). Aprepitan juga menginduksi CYP2C9. Agen kemoterapi yang diketahui dimetabolisme oleh CYP3A4 yaitu docetaxel, paclitaxel, etoposid, irinotecan, ifosfamide, imatinib, vinorelbine, vinblastine, dan vincristine. Dalam studi yang mengevaluasi aprepitant, dosis pra-kemoterapi dari dexamethasone disesuaikan dari 20 mg sampai 12 mg. Namun, dosis kemoterapi tidak disesuaikan untuk interaksi obat yang potensial.

Cannabinoid

Dronabinol adalah obat oral sintetis dari tetrahidro-cannabinol. Mekanisme aksinya masih belum diketahui. Cannabinoids umumnya digunakan untuk penanganan CINV, jika tidak ada respon dari obat lain, serta tidak memiliki efek dalam PONV. Efek samping termasuk sedasi atau mengantuk, euforia, dysphoria, depresi, pusing, halusinasi, paranoia, dan hipotensi

Olanzapine

Olanzapine adalah obat antipsikotik yang memiliki aksi di berbagai neurotransmitter dopamin reseptor termasuk D1, D2, D3, dan D4, dan serotonin di 5HT2a, 5HT2c, 5HT3, dan 5HT6. Efek pada reseptor D2 dan 5HT3, yang terlibat dalam proses mual dan muntah, membuatnya cenderung memiliki efek antiemetik yang signifikan.

3