bab ii a. dewan perwakilan rakyat...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah sebuah lembaga
perwakilan rakyat di daerah yang terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum (pemilu) yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. DPRD
berkedudukan sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan unsur yang terdapat
dalam sistem pemerintahan di daerah, yang mempunyai segala fungsi dan tugas
yang cukup berat. Menurut Sukarna (1990: 61-62) memberikan pengertian tentang
badan ini yaitu “badan perwakilan politik atau badan yang secara konstitusional
ditugasi untuk menjalankan political control, legal control, social control,
economic control, educational control”. Pendapat Sukarna ini diperkuat oleh UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu DPRD merupakan
lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintah daerah.
Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berfungsi sebagai kontrol politik,
sosial, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. DPRD merupakan lembaga perwakilan
rakyat daerah yang mempunyai segala fungsi dan tugas yang sangat berat. Bila
melihat dari pengertian di atas berarti DPRD adalah orang-orang yang diberikan
21
kepercayaan oleh masyarakat suatu daerah (Kabupaten/Kota dan Provinsi) untuk
menjadi wakil mereka yang bisa mengaspirasikan keinginan masyarakat untuk
hidup yang lebih baik lagi.
2. Sejarah Berdirinya DPRD
Dari segi ketatanegaraan, masalah pemerintahan daerah merupakan salah
satu aspek yang sangat struktural sesuai dengan pandangan bahwa negara adalah
satu organisasi atau satu sistem. Pembagian negara dalam beberapa daerah
provinsi dan kemudian dibagi menjadi kota dan kabupaten, dimaksudkan demi
memudahkan pelayanan masyarakat dan mewujudkan jaringan pemerintahan yang
teratur dan sistematis. Aturan permainan antara pemerintah pusat dan daerah
diatur dalam Undang-undang sesuai dengan jiwa dan batasan yang tercantum
dalam UUD 1945.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan. Gagasan ini dapat dilihat dari
pembukaan UUD 1945 serta dalam setiap peraturan yang mengtur hubungan pusat
dan daerah. Jadi negara mengatasi segala paham perseorangan dengan artian lain
meliputi segenap tanah air indonesia seluruhnya. Dalam penjelasan UUD 1945
dapat dilihat patokan dan pedoman yang terperinci mengenai negara Indonesia,
yakni:
1) Oleh karena Negara Indonesia itu suatu "eenheidstaat", maka Indonesia tidak akan memiliki daerah didalam lingkungannya yang bersifat "swat" juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi kedalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan local rechtgemeenshapeen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerah pun pemerintah akan bersendikan atas dasar permusyawaratan.
2) Dalam wilayah Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250
22
"zeljbesturende landschappen" dan "volksgemenschappen", seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan yang asli, dan karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Kesatuan Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengikuti hak-hak asal usul daerah tersebut.
Dari isi penjelasan UUD 1945 yang menjadi landasan hukum pembentukan
daerah yang akan diatur oleh Undang-undang bahwa daerah-daerah yang
dimaksud akan bersifat otonom dan akan memiliki badan perwakilan daerah,
serta pemerintahan di daerah pun bersendikan atas asas permusyawaratan, dengan
kata lain salah satu unsur penting yang harus ada dalam pemerintahan daerah
adalah badan perwakilan yang selanjutnya berkembang menjadi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Republik Indonesia lahir lewat proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945
dan pengesahan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, menuntut adanya alat
kelengkapan negara di samping Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi keadaan
yang mengawali kemerdekaan itu tidak memungkinkan pembentukan
badan-badan tersebut sesuai dengan UUD 1945, dalam situasi demikian para
pendiri republik ini mengambil langkah darurat yang masih sejalan dengan UUD
1945, agar membantu tugas dari Presiden dan Wakil Presiden perlu adanya badan
yang ikut bertanggungjawab tentang nasib bangsa dan negara ini. Untuk mengisi
keperluan tersebut maka Wakil Presiden RI mengeluarkan Maklumat No. 10
tanggal 16 Oktober 1945, tentang pemberian kekuasaan legislatif kepada Komite
Nasional indonesia pusat (KNIP). Diktum Maklumat tersebut berbunyi:
Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan
23
legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh suatu badan pekerja yang dipilih diantara mereka yang bertanggungjawab kepada Komite Nasional Pusat.
Ketentuan pasal IV aturan peralihan UUD 1945, menjelaskan fungsi KNIP
adalah sebagai pembantu Presiden dalam hal menjalankan tugas sebagai MPR,
DPR atau sebagai DPA sebelum badan-badan tersebut terbentuk. Dengan
ketentuan dari Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut maka kedudukan dari
KNIP semakin dipertegas dan pada waktu itu dianggap dan memang berfungsi
sebagai dewan perwakilan rakyat tingkat pusat.
Perkembangan dan lahirnya Komite Nasional Daerah yang pada mulanya
adalah badan yang duplikasi Komite Nasional Pusat untuk daerah-daerah, juga
harus mengalami penyesuaian urusan pemerintahan di daerah. Mengingat belum
adanya ketentuan yang mengatur perundangan yang mengatur tata kerja Komite
Nasional Daerah maka dapat dilihat terlebih dahulu tentang kedudukan dan tugas
Komite Nasional sesuai dengan rapat PPKI tangga 23 Agustus 1945 yakni sebagai
berikut:
1) Komite Nasional dibentuk di seluruh Indonesia dan berpusat di Jakarta. 2) Komite Nasional adalah penjelmaan kebulatan tujuan dan cita-cita
Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
3) Usaha Komite Nasional ialah: a. Bangsa menjalankan kemauan rakyat Indonesia untuk duduk sebagai
bangsa yang merdeka. b. Mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, memadukan
daerah di seluruh Indonesia, persatuan kebangsaan yang bulat dan erat.
c. Membantu menentramkan rakyat dan menjaga keselamatan umum. d. Membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita bangsa
Indonesia, dan di daerah membantu pemerintahan daerah untuk kesejahteraan umum.
24
4) Komite Nasional di pusat memimpin dan memberikan petunjuk kepada komite-komite Nasional di daerah. Jika diperlukan, di daerah didirikan pusat daerah, untuk: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera, Borneo, Sulawesi dan Sunda Kecil.
5) Komite Nasional di pusat dan di daerah dipimpin oleh seorang ketua dan beberapa anggota pengurus yang bertanggung jawab kepada komite nasioanal. "Komite Nasional di pusat dan di daerah-daerah adalah penjelmaan kebutuhan tujuan cita-cita bangsa Indonesia, untuk menyelenggarakan kemerdekaan indonesia yang berkedaulatan rakyat".
Adanya keputusan PPKI di atas dan dipertegas dalam pidato Presiden
tanggal 23 Agustus 1945, maka secara berangsur-angsur dibentuklah Komite
Nasional Daerah di provinsi, keresidenan dan kota di indonesia. Dengan adanya
Maklumat Wakil Presiden No. X maka kedudukan Komite Nasional Pusat
berubah menjadi badan legislatif yang juga membawa konsekuensi kepada
Komite Nasional Daerah, dengan kata lain kondisi di daerah mengikuti di pusat
dimana Komite Nasional Daerah membantu pemerintahan daerah.
Legislatif daerah telah mengalami beberapa kali perubahan kedudukan
hukum sesuai dengan isi perUndang-undangan yang berlaku selama ini.
Pergeseran politik dan perubahan konstitusi di mana Negara Indonesia telah
mengalami lima periode konstitusi, yaitu: a). Undang-undang dasar 1945; b).
Konstitusi Republik Indonesia serikat 1950; c). UUD sementara Republik
Indonesia Serikat 1950; d). Pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959; e). UUD 1945 hasil amandemen 1999-2002. Sampai
saat ini sudah ada delapan buah peraturan resmi yang silih berganti mengatur
pemerintahan di daerah yang didalamnya mencakup tentang pengaturan badan
legislatif yaitu:
1) Undang-undang No. 1 Tahun 1945, tentang Komite Nasional Daerah
25
yang diumumkan berlaku mulai tanggal 23 November 1945. Menurut
Undang-undang ini, Komite Nasional Daerah diubah kedudukannya
menjadi badan perwakilan rakyat daerah yang kedudukannya berada di
keresidenan, kota otonom, kabupaten dan daerah lain yang dianggap
perlu oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang bersama-sama
dengan dan pimpinan oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan rumah
tangga daerah.
2) Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang
mulai berlaku pada hari diumumkan yakni tanggal 10 Juli 1948. Namun
karena situasi sedang perang maka prektek pelaksanaannya hanya
terbatas pada berbagai daerah.
3) Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan
daerah, UU ini dibuat dalam rangka UUDS 1945.
4) Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah
yang dibuat dalam rangka berlakunya kembali UUD 1945 mulai berlaku
tanggal 7 November 1959. Penetapan ini dikeluarkan dalam rangka
kebijaksanaan baru revolusi ketatanegaraan dalam suasana demokrasi
terpimpin dan menghilangkan dualisme kepemimpinan di daerah.
5) Undang-undang No. 18 Tahun 1965, tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah yang berlaku mulai tanggal 1 September 1965.
UU ini merupakan penyempurnaan dari penpres No. 6 Tahun 1959 dan
disesuaikan dengan iklim politik yang berlaku pada saat itu dengan
menitikberatkan pada suasana demokrasi terpimpin.
26
6) Undang-undang No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah. UU ini merupakan peralihan dari orde lama ke orde baru, lahir
sesudah adanya pengarahan politis mengenai pemerintahan daerah
dalam GBHN dan sebagi pelaksanaan tap MPR No. 4 Tahun 1973.
7) Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU
ini bernafaskan pada sistem desentralisasi yang diperluas dengan
otonomi daerah di mana memberikan ruang yang sangat luas kepada
daerah untuk bertindak dam rangka memajukan kepentingan daerahnya,
juga disesuaikan dengan UUD 1945 hasil amandemen terutama
menyangkut pasal 18.
8) Undang-undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. UU
ini merupakan penyempurnaan dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
3. Hak Dan Kewajiban DPRD
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 membedakan antara hak DPRD sebagai
suatu institusi dengan hak anggota DPRD. Pembedaan ini dimaksudkan agar ada
kejelasan mana hak yang dapat dijalankan oleh anggota DPRD secara perorangan
dan mana hak-hak yang hanya dapat dijalankan oleh DPRD selaku institusi.
Dalam pasal 43 ayat (1) UU ini dinyatakan bahwa DPRD mempunyai hak-hak
yaitu: a) Interpelasi; b) Angket; c) Menyatakan pendapat.
Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan
pendapat diatur dalam peraturan tata tertib DPRD yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan. Sementara hak anggota DPRD diatur dalam pasal
27
44 ayat (1) yang meliputi: a) Mengajukan rancangan Perda; b) Mengajukan
pertanyaan; c) Menyampaikan usul dan pendapat; d) Memilih dan dipilih; e)
Membela diri; f) Imunitas; g) Protokoler; h) Keuangan dan administratif.
Sementara pasal 44 ayat (2) berbunyi "kedudukan protokoler dan keuangan
pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam peraturan pemerintah”.
Kewajiban anggota DPRD sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004 pasal 43 ayat (1), yakni:
1) Mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD RI Tahun 1945, dan mentaati segala peraturan perundang-undangan.
2) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan NKRI.
4) Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. 5) Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat. 6) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan. 7) Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku
anggota DPRD sebagai wujud tangggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya.
8) Mentaati tata tertib, kode etik, dan sumpah janji anggota DPRD. 9) Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang
terkait. Berdasarkan penjelasan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa kewajiban
anggota DPRD harus mentaati pelaturan di dalam kehidupan berdemokrasi, serta
bisa terus memperjuangkan peningkatan kesejahtraan rakyat daerah.
4. Tugas dan wewenang DPRD
Ketentuan mengenai tugas dan wewenang" DPRD diatur dalam pasal 42
ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yaitu sebagai berikut:
a) Membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
28
b) Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah.
c) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda, dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
d) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui mentri dalam negeri bagi DPRD provinsi, dan kepada mentri dalam negeri, melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/Kota.
e) Memilih Wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah.
f) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.
g) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
h) Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
i) Membentuk panitia pengawas dalam pemilihan Kepala Daerah. j) Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah. k) Memberikan persetujuan atas rencana kerja sama antar daerah dengan
pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Salah satu tugas dan wewenang DPRD sebagaimana yang diuraikan di atas
yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan
perundang-undangan. Namun pada kenyataannya tugas pengawasan yang
dilakukan DPRD kurang optimal. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya Perda yang
berlaku di kehidupan masyarakat dengan tidak diiringi atau tidak diikuti oleh
pengetahuan dan pemahaman yang memadai dari masyarakat mengenai
keberadaan Perda atau aturan lainnya yang berlaku.
5. Fungsi-fungsi DPRD
Mengenai fungsi lembaga legislatif, beberapa pakar telah mengemukakan
pendapatnya. Menurut Budiardjo (1980: 183), “fungsi badan legislatif yang
paling penting adalah menentukan policy (kebijakan) dan membuat Undang-
29
undang”. Untuk itu Dewan Perwakilan Rakyat diberi hak inisiatif, hak untuk
mengadakan amandemen yang disusun oleh pemerintah dan hak budget.
Berdasarkan pendapat di atas legislatif sangat berperan penting didalam
menentukan dan membuat Undang-undang sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan masyarakat luas. Sejalan dengan pendapat di atas Sanit (1985: 135)
menempatkan fungsi pembuatan Undang-undang sebagai fungsi yang pertama,
pengertian dari fungsi ini adalah:
Melalui fungsi perundang-undangan, lembaga legislatif/lembaga perwakilan rakyat memuaskan kepentingan dan aspirasi anggota masyarakat ke dalam kebijaksanaan formal dalam bentuk undangundang. Ke dalam fungsi ini tergolong pula kewenangan untuk menghasilkan anggaran pendapatan dan belanja negara, mengusulkan suatu rencana Undang-undang dan mengubah suatu Undang-undang (amandemen).
Berdasarkan pendapat di atas, maka lembaga legislatif dalam fungsi
perundang-undangannya harus dapat melihat kepentingan atau aspirasi yang ada
di masyarakat sehingga kebijakan yang akan diambil dapat memuaskan
masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas Marbun (1993: 88) memberikan pengertian
dari fungsi legislatif ini adalah ”fungsi badan legislatif yang utama dan sah yaitu
fungsi pembuatan Undang-undang atau peraturan daerah (Perda)”. Lewat fungsi
pembuatan Undang-undang, DPRD menunjukan warna dan karakter serta
kualitasnya, baik secara material maupun secara fungsional.
Berdasarkan pendapat di atas dapat di lihat bahwa DPRD di tuntut untuk
memberi warna di daerah yaitu dengan membuat Undang-undang yang bisa
mengembangkan dan bisa memajukan daerahnya. DPRD juga harus bisa
menampung aspirasi masyarakat dan bisa memperjuangkan aspirasi tersebut
30
sesuai dengan keinginan masyarakat. Berdasarkan ke tiga pendapat tersebut,
dapat terlihat bahwa fungsi utama dan asli dari badan legislatif adalah dalam
pembuatan peraturan atau Undang-undang, berdasarkan hak-hak yang di
milikinya dalam melaksanakan fungsi ini sangatlah perlu aspirasi yang ada pada
masyarakat, sebab peraturan yang akan diambil berkenaan langsung kepada rakyat
yang akan menerima dampak dari pelaksanaan kebijakan ini.
Fungsi yang kedua adalah fungsi pengawasan, menurut Budiardjo (1980:
183), “fungsi pengawasan adalah mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga
supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang telah ditetapkan”. Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan
perwakilan diberi hak-hak khusus. Sedangkan menurut Sanit (1985:253) yang
dimaksud dengan fungsi pengawasan yakni:
Melalui fungsi pengawasan, lembaga ini melindungi kepentingan rakyat, sebab melalui penggunaan kekuasaan yang dilandasi oleh fungsi ini, lembaga legislatif/lembaga perwakilan rakyat dapat mengoreksi semua kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui pelaksanaan berbagai haknya. Dengan demikian, tindakan-tindakan yang dapat mengabaikan kepentingan anggota masyarakat dapat diperbaiki.
Berdasarkan pendapat di atas fungsi ini berperan untuk menjamin agar
kepentingan masyarakat dapat terlindungi dan terpenuhi, dikarenakan dengan
fungsi ini legislatif dapat menilai apakah kebijakan yang telah diambil oleh
eksekutif itu memuaskan masyarakat atau tidak, apabila dirasakan oleh legislatif
kebijakan itu tidak memuaskan masyarakat maka dapat mengkoreksi kebijakan
tersebut.
Pendapat lain tentang fungsi pengawasan ini adalah yang diungkapkan oleh
Marbun (1993: 87) yaitu:
31
DPRD mengemban tugas pengendalian dan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah. Dengan demikian DPRD bertanggungjawab melaksanakan salah satu fungsi manajemen pemerintahan daerah yaitu pengendalian dan pengawasan (controling and supervision). Berdasarkan pendapat di atas dapat dilihat bahwa fungsi pengawasan ialah
fungsi yang dimiliki oleh badan legislatif dalam mengawasai jalannya roda
pemerintahan, khususnya terhadap kegiatan yang dilakukan eksekutif sesuai
dengan segala peraturan yang telah ditetapkan, jalannya pengawasan ini dapat
dilakukan berdasarkan hak-hak yang telah dimiliki badan legislatif agar semua
kebijakan yang ditetapkan eksekutif dapat berjalan dengan semestinya. Fungsi
yang ketiga adalah fungsi perwakilan, Sanit (1985: 253) memberikan pengertian
atas fungsi perwakilan yaitu:
Melalui fungsi perwakilan politik tersebut, lembaga legislatif/lembaga perwakilan membuat kebijakan atas nama anggota masyarakat yang secara keseluruhan terwakili di dalam lembaga tersebut. Dalam hal ini lembaga legislatif/lembaga perwakilan rakyat bertindak sebagai pelindung kepentingan dan penyalur aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
Berdasarkan pendapat di atas DPRD berfungsi sebagai penjamin yang
memberikan perlindungan terhadap penyalur aspirasi-aspirasi dari masyarakat
untuk bisa mengembangkan daerah dan bisa memakmurkan masyarakat sesuai
dengan apa yang diharapkan masyarakat. Pendapat lain menurut Marbun (1993:
91), yaitu “fungsi perwakilan disebut juga sebagai fungsi representasi, DPRD
harus bertindak dan berperilaku sebagai representant (wakil) untuk setiap
tindakan dalam seluruh kegiatannya dalam menjalankan tugas sebagai salah satu
anggota dewan perwakilan rakyat”. Konsekuensi logis dari hasil pemilihan umum
yaitu badan legislatif harus dapat mewakili rakyat hususnya yang telah
memilihnya dan umumnya rakyat secara keseluruhan, mereka harus mampu
32
menampung dan menindak lanjuti segala aspirasi dan kepentingan yang ada
dimasyarakat, agar fungsi ini benar-benar terlaksana maka badan legislatif harus
mempunyai kemampuan dan persyaratan politik, integritas moral, pengalaman
untuk melihat segala kondisi yang ada dimasyarakat.
Salah satu pihak yang berkepentingan terhadap badan legislatif ialah
masyarakat atau rakyat sebagai pihak yang diwakili dan selaku pihak yang
menyerahkan kekuasaan serta memberikan tugas untuk mewakili opini, sikap dan
kepentingannya di dalam proses politik dan pemerintahan. Eksekutif dan badan
peradilan, serta lembaga-lembaga lain menuntut dukungan badan perwakilan
melalui Undang-undang yang dihasilkannya sehingga lembaga tersebut
mempunyai kewenangan mengoperasikan fungsi-fungsinya.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 di dalam menjalankan tugasnya, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah memiliki tiga fungsi, yaitu:
1) Fungsi legislasi. 2) Fungsi anggaran, disini DPRD dengan pemerintah daerah bekerjasama
dalam merumuskan APBD daerah. 3) Fungsi pengawasan, dimana disini DPRD mengawasi atas
pelaksanaankebijakan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Berdasarkan pernyataan di atas DPRD mempunyai fungsi sebagai
pengontrol jalannya pemerintahan, sebagai perumus didalam membuat anggaran
pembelanjaan daerah. selain ke tiga fungsi tersebut Marbun (1993: 86-90) juga
berpendapat terdapat fungsi lain yang melekat pada DPRD yaitu:
Fungsi memilih dan menyeleksi DPRD mempunyai peranan yang menentukan tentang masa depan suatu daerah. Apabila fungsi tersebut salah dilaksanakan atau kurang tepat, maka hal tersebut akan mendatangkan masalah bagi daerah yang bersangkutan. Selain itu fungsi debat merupakan yang paling populer dan mendapat banyak nama dan jargon. Lewat debat, suatu konsep dapat langsung di uji, ditelusuri latar belakang suatu pemikiran
33
atau konsep dan saling keterkaitan faktanya sehingga melahirkan pemahaman atau perumusan yang lebih matang dan komplit.
Pendapat yang diungkapkan Marbun ini adalah DPRD mempunyai peran
yang sangat besar dalam pembangunan di daerah dimana DPRD ikut serta dalam
mengelola dan mengatur pemerintahan daerah, sedangkan dalam fungsi debat
dapat dikaji secara mendalam segala permasalahan yang ada lewat pikiran-pikiran
yang matang, mendalam, dalam inovasi sehingga dapat diharapkan segala
permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan baik.
Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, Busroh (1990: 152) memberikan
penafsiran tentang fungsi dari badan legislatif, yakni:
1) Fungsi perundang-undangan. 2) Fungsi pengawasan, fungsi yang dijalankan oleh parlemen untuk
mengawasi eksekutif. 3) Fungsi pendidikan politik, melalui pembahasan-pembahasan kebijakan di
parlemen, rakyat mengikuti persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan menilai menurut kemampuan masing-masing dan secara tidak langsung mereka di didik menjadi warga negara yang tahu hak dan kewajibannya.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dikatakan secara umum fungsi
dari badan legislatif dibagi menjadi tiga fungsi pokok yang sangat terperinci dan
menyeluruh, yaitu:
1) Fungsi legislatif, fungsi utama inilah yang dimiliki oleh badan
perwakilan yaitu tugas utamanya dengan membuat Undang-undang atau
policy (kebijakan) yang harus menampung segala aspirasi rakyat yang
diwakilinya.
2) Fungsi pengawasan, fungsi ini berkaitan dengan kepentingan rakyat
secara umum, badan legislatif dapat menggunakan kekuatannya melalui
34
hak-hak yang dimilikinya untuk mengoreksi segala kebijakan yang
dikeluarkan oleh eksekutif agar semua kepentingan rakyat dapat
terakomodir secara baik dan menyeluruh sehingga hasil dari kebijakan itu
dapat dirasakan diterima semua kalangan.
3) Fungsi perwakilan, badan legislatif bertindak sebagai perwakilan atas
rakyat yang secara keseluruhan terwakili olehnya, di mana badan ini
bertindak atas pelindung dan penyalur segala aspirasi dan kepentingan
masyarakat, dengan kata lain di sini pula rakyat dapat diikut sertakan
dalam berbagai kegiatan secara langsung maupun tidak langsung atas
segala kebijakan yang telah diambil oleh eksekutif.
B. Kebijakan Publik
1. Pengertian Kebijakan Publik
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
regulasi revisi atas UU No. 22 Tahun 1999, maka berbagai kewenangan serta
pembiayaan kini dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Pemda) dengan lebih
nyata dan real. Mulai saat itu pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang
besar untuk merencanakan, merumuskan, melaksanakan serta mengevaluasi
kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat.
Menurut Nugroho R (2004: 1-7) “berbagai kepustakaan dapat diungkapkan
bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut sebagai public
policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati
dan berlaku mengikat seluruh warganya”. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi
35
sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan
didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.
Berdasarkan pernyataan di atas aturan atau peraturan tersebut secara
sederhana bisa kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini
dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun
kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang
menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi
isu tersebut menjadi kebijakan publik ham dilakukan dan disusun dan disepakati
oleh para pejabat yang berwenang dan ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan
menjadi suatu kebijakan publik, apakah menjadi Undang-undang, apakah menjadi
peraturan pemerintah atau peraturan Presiden termasuk peraturan daerah maka
kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Berbagai definisi tentang kebijakan publik yang dikemukakan oleh beberapa
ahli. Misalnya yang dikemukakan oleh Heinz Eulau dan dan Kenneth Prewitt
(1973: 265), yang dikutip oleh Agustino (2006: 6) mendefinisikan kebijakan
publik yaitu "keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan pengulangan
(repetisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang
mematuhi keputusan tersebut”. Dye (1995: 1) yang dikutip oleh Agustino (2006:
7) mengatakan bahwa "kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah
untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan". Melalui definisi ini kita mendapat
pemahaman bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan
pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah.
Menurut Islamy (1994: 4) “kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang
36
ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan
seluruh masyarakat”.
Berdasarkan pendapat di atas kebijakan publik merupakan tindakan-
tindakan yang di ambil untuk melaksanakan suatu tujuan yang ingin dicapai dari
suatu pemerintahan didalam memakmurkan dan mensejahtrakan masyarakat.
sedangkan menurut James Anderson dalam Agustino (2006: 7) mengungkakpkan
bahwa kebijakan publik merupakan "serangkaian kegiatan yang mempunyai
maksud dan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau
sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal
yang diperhatikan". Konsep kebijakan dari Anderson ini menitikberatkan pada
apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan atau yang
dimaksudkan. Dan hal inilah yang membedakan kebijakan dari suatu keputusan
yang merupakan pilihan dari beberapa alternatif yang ada.
Mempelajari konsepsi dan definisi tentang kebijakan publik sebagaimana
dikemukakan di atas, maka bertambah luaslah pengetahuan kita tentang kebijakan
publik. Beberapa definisi tersebut dikemukakan dengan harapan dapat
memberikan gambaran betapa kebijakan publik itu memiliki banyak dimensi,
sehingga untuk memahaminya diperlukan langkah untuk mengidentifikasikan
karakteristik dari kebijakan publik itu sendiri. Menurut Islamy (1994: 20)
beberapa karakteristik kebijakan publik yang dapat diidentifikasikan adalah
sebagai berikut:
1) Adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai, yaitu pemecahan masalah publik (public problem solving).
37
2) Adanya tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan. 3) Merupakan fungsi pemerintah sebagai pelayanan publik. 4) Adakalanya berbentuk ketetapan pemerintah yang bersifat negatif, yaitu
ketetapan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah
produk-produk yang biasanya berisi tentang aturan-aturan yang menjadi
pedoman dalam pelaksanaan sikap dan tindakan. Masih menurut Islamy (1994:
23) kebijakan-kebijakan yang diambil mempunyai implikasi diantaranya:
1) Bahwa kebijakan itu dalam bentuk Perda berupa tindakan-tindakan pemerintah.
2) Bahwa kebijakan itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.
3) Bahwa kebijakan itu untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud tertentu.
4) Bahwa kebijakan itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh masyarakat.
Uraian di atas menjelaskan bahwa suatu kebijakan merupakan sebuah
tindakan yang dilakukan dalam bentuk nyata dengan maksud tertentu yang
ditujukan untuk kepentingan seluruh rakyat. Pengertian tersebut sesuai dengan
unsur elemen yang terkandung dalam sebuah kebijakan menurut Anderson dalam
Widodo (2008:14) diantaranya mencakup beberapa hal sebagai berikut:
a. Kebijakan selalu memiliki tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. b. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. c. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dan
bukan apa yang bermaksud akan dilakukan. d. Kebijakan politik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah
terhadap suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu).
e. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa otoritas).
Berdasarkan pengertian dan elemen yang terkandung dalam kebijakan
sebagaimana telah disebutkan, maka kebijakan publik dibuat dalam kerangka
untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang
38
diinginkan.
2. Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan Publik
Menurut Agustino (2006: 19) terdapat beberapa pendekatan untuk analisis
pembentukan kebijakan yang secara singkat diuraikan sebagai berikut:
1) Teori Sistem Kebijakan publik dapat dipandang sebagai reaksi sistem politik untuk kebutuhan yang timbul dari lingkungan sekitarnya. Teori Kelompok Sesuai dengan kelompok teori sistem, kebijakan publik merupakan basil perjuangan kelompok-kelompok.
2) Teori Elite Kebijakan Publik dapat dianggap sebagai nilai dan pilihan elit pemerintah semata.
3) Teori Proses Fungsional Cara lain untuk memahami studi pembentukan kebijakan adalah melihat pada macam-macam aktivitas fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan. Intelegensi yaitu bagaimana informasi kebijakan yang menjadi perhatian dari pembuat kebijakan dikumpulkan dan diproses. a. Rekomendasi yaitu bagaimana rekomendasi atau alternatif yang
sesuai dengan maslah yang dibuat dan ditawarkan. b. Preskripsi yaitu bagaimana aturan umum dipakai atau diumumkan
dan digunakan oleh siapa c. Invokasi yaitu siapa yang menentukan apakah perilaku yang ada
bertentangan dengan peraturan atau hukum d. Aplikasi yaitu bagaimana hukum atau peraturan yang sesungguhnya
dilaksanakan atau diterapkan. e. Penghargaan yaitu bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan
atau kegagalannya di ukur. f. Penghentian yaitu bagaimana peraturan atau hukum dihentikan atau
diteruskan dengan bentuk yang diubah atau diperbaiki. 1) Teori Kelembagaan
Secara tradisional, pendekatan kelembagaan menitikberatkan pada penjelasan lembaga pemerintah dengan aspek yang lebih formal dan legal yang meliputi organisasi formal, kekuasaan legal, aturan prosedural, dan fungsi atau aktivitasnya. Hubungan formal dengan lembaga lainnya juga menjadi titik berat pendekatan kelembagaan. Biasanya sedikit yang dikerjakan untuk menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga tersebut sesungguhnya beroperasi, lepas dari bagaimana mereka seharusnya beroperasi.
39
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah
produk-produk yang biasanya berisi tentang aturan-aturan yang menjadi
pedoman dalam pelaksanaan sikap dan tindakan. Uraian di atas juga menjelaskan
bahwa suatu kebijakan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan dalam bentuk
nyata dengan maksud tertentu yang ditujukan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Pengertian tersebut sesuai dengan unsur elemen yang terkandung dalam sebuah
kebijakan.
3. Implementasi Kebijakan Publik
Menurut Jones dalam Widodo (2008: 86) mengartikan implementasi sebagai
“Getting the job done "and" doing it”. Pengertian tersebut pengertian yang sangat
sederhana, akan tetapi kesederhanaan rumusan seperti itu tidak berarti bahwa
implementasi kebijksanaan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat
dilakukan dengan mudah. Selain itu masih menurut Jones, pelaksanaannya
menuntut beberapa syarat, antara lain adanya orang atau pelaksana, uang dan
kemampuan organisasional, yang dalam hal ini sering disebut resources. Oleh
karena itu, lebih lanjut Jones merumuskan pembatasan implementasi sebagai "a
process of getting additional resources so as to figure out what is to be done".
Pernyataan jones menjelaskan bahwa implementasi merupakan proses
penerimaan sumber daya tambahan sehingga dapat menghitung apa yang harus
dikerjakan. Implentasi tersebut menggambarkan tidak kurang dari suatu tahapan
kebijkan yang paling tidak memerlukan dua macam tindakan yang akan
dilakukan, kedua, melaksanakan tindakan apa yang telah dirumuskan tadi.
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan dari proses
40
kebijakan publik (publik policy process). Implementasi kebijakan publik bersifat
krusial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijakan, kalau tidak dipersiapkan
dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan
tidak akan terwujud. Demikian juga sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan
dan perencanaan implementasi kebijakan kalau tidak dirumuskan secara baik
maka tujuan kebijakan juga tidak akan bisa terwujud. Oleh karena itu agar tujuan
dari suatu kebijakan dapat terwujud maka pada tahap implementasi dan tahap
perumusan atau pembuatan kebijakan harus dipersiapkan dan direncanakan
dengan baik.
Donald S. Van Mater dan Carl E, Va dalam Widodo (2008: 86)
menyatakan bahwa:
Implementasi kebijakan menekankan pada suatu tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (kelompok) swasta yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan sebelumnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa pada suatu saat
tindakan-tindakan yang terkandung dalam suatu kebijakan ini berusaha
mentransformasikan keputusankeputusan menjadi pola-pola operasional serta
melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan baik besar maupun
kecil yang diamanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan tertentu.
Sementara itu implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier dalam
Widodo (2008: 87), menyatakan bahwa "hakikat utama implementasi kebijakan
adalah memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan". Pemahaman tadi mencakup usaha-usaha
mengadministrasikannya dan untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat
41
atau peristiwa-peristiwa yang terjadi. Lebih lanjut Mazmanian dan Sabatier
(Widodo, 2008: 87), mengemukakan bahwa:
Definisi ini menekankan tidak hanya melibatkan perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya berdampak pada yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended) dari suatu program. Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa dalam implementasi
kebijakan selain melibatkan tindakan dari badan administratif juga melibatkan
aspek-aspek kehidupan seperti kekuatan politik, ekonomi dan sosial. Selain itu
implementasi juga mampu mempengaruhi perilaku setiap pihak yang terkait
dengan kebijakan yang dibuat tersebut.
Pernyataan para ahli lebih rinci mengenai implementasi kebijakan yaitu
dengan mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan
kebijakan dasar biasanya dalam bentuk Undang-undang, namun dapat pula
berbentuk perintah-perintah atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan
keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin di atasi,
menyebutkan tujuan atau sasaran yang ingin dicaapai secara tegas dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.
Bertumpu pada pendapat tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan
pengertian bahwa implementasi adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah
sumber yang termasuk manusia, dana dan kemampuan organisasional yang
dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses
tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
42
pembuat kebijakan. Sementara itu pelaksanaan suatu kebijakan merupakan suatu
proses usaha untuk mewujudkan suatu kebijakan yang bersifat abstrak ke dalam
realita nyata. Pelaksanaan kebijakan merupakan suatu kegiatan untuk
menimbulkan hasil (output), dampak (Outcome), dan manfaat (benefit), serta
dampak (impacts), yang dapat dinikmati oleh kelompok sasaran (target groups).
Aktivitas implementasi kebijakan menurut Jones terdapat tiga macam ,
antara lain sebagai berikut:
1) Aktivitas pengorganisasian (Organization) merupakan suatu upaya untuk menetapkan dan menata kembali sumber daya (resources), unit-unit, dan metode-metode yang mengarah pada upaya mewujudkan kebijakan menjadihasil sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan.
2) Aktivitas interpretasi merupakan aktivitas penjelasan substansi dari suatu kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional dan mudah dipahami sehingga dilaksanakan dan diterima oleh para pelaku dan sasaran kebijakan.
3) Aktivitas aplikasi merupakan aktivitas penyediaan pelayanan secara rutin, pembayaran atau lainnya sesuai dengan tujuan dan sarana kebijakan yang ada.
Berdasarkan pendapat di atas maka yang perlu mendapatkan perhatian dan
persiapan dalam proses implementasi kebijakan interprestasi, organisasi,
penyediaan risorsis, dan manajemen program, serta penyediaan layanan dan
manfaat pada publik. Atas dasar ini, maka masalah implementasi semakin lebih
jelas dan luas. Implementasi merupakan proses yang memelukan tindakan-
tindakan sistematis dari pengorganisasian, interpretasi, dan aplikasi.
Proses implementasi suatu kebijakan publik menurut Jones yaitu mencakup
tahap interpretasi, tahap pengorganisasian dan tahap aplikasi, yang diuraikan
dibawah ini:
1) Tahap interpretasi merupakan tahapan penjabaran suatu kebijakan yang
43
masih bersifat abstrak kedalam kebijakan yang lebih bersifat teknis operasional.
2) Tahap pengorganisian merupakan tahap yang lebih mengarah pada proses kegiatan pengaturan dan penetapan siapa yang menjadi pelaksana kebijakan, mana yang akan melaksanakan kebijakan, penetapan anggaran, penetapan sarana dan prasarana apa yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, penetapan tata kerja, dan penetapan menejemen pelaksanaan kebijakan termasuk penetapan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan.
3) Tahap aplikasi merupakan tahap penerapan rencana proses implementasi kebijakan kedalam realitas nyata. Tahap ini merupakan perwujudan dari pelaksanaan masing-msing kegiatan dalam tahapan yang telah disebutkan sebelumnya.
3.1. Faktor Penentu Dilaksanakan Atau Tidaknya Suatu Kebijakan Publik
Semua kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi atau
mengawasi perilaku manusia dalam beberapa cara, untuk membujuk orang
supaya bertindak sesuai dengan aturan atau tujuan yang ditentukan pemerintah,
yang berkenaan dengan kebijakan pemerintah. Jika kebijakan tidak dapat
dipenuhi, dan orang-orang tetap bertindak dengan cara yang ditentukan atau jika
mereka berhenti mengerjakan apa yang ditentukan, maka kebijakan tersebut
dikatakan tidak efektif atau secara ekstrim hasilnya nol.
Menurut Agustino (2006: 157-161) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi dilaksanakan atau tidaknya suatu kebijakan publik terdiri dari:
1) Faktor penentu pemenuhan kebijakan a. Respeknya anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan
pemerintah b. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan c. Adanya sanksi hukum d. Adanya kepentingan publik e. Adanya kepentingan pribadi f. Masalah waktu
2) Faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan a. Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada. b. Tidak adanya kepastian hukum c. Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi
44
d. Adanya konsep ketidak patuhan selektif terhadap hukum
4. Kontrol Pelaksanaan Kebijakan Publik
Kontrol menurut Widodo (2008: 96-110) “merupakan suatu proses usaha
untuk melihat dan menemukan apakah suatu kegiatan yang dilakukan telah sesuai
dengan yang direncanakan”. Kontrol ini ditujukan untuk mengendalikan
pelaksanaan suatu kegiatan agar tidak menyimpang dari rencana yang telah
ditetapkan. Strategi melakukan kontrol (monitoring dan pengawasan) kegiatannya
sama dengan strategi implementasi, yaitu menetapkan siapa yang melakukan,
bagaimana untuk melakukan kontrol, berapa besarnya anggaran, peralatan apa
yang diperlukan, dan bagaimana jadwal pelaksanaan kontrol yang diuraikan oleh
Widodo (2008: 96-110) sebagai berikut:
1) Pelaku kontrol pelaksanaan kebijakan 2) Standar prosedur operasi kontrol
Standar operating procedure (SOP) kontrol atas pelaksanaan kebijakan a. Organisasi harus menetapkan serangkaian tujuan yang dapat diukur
dari aktivitas yang telah direncanakan. b. Alat monitoring harus disusun untuk mengukur kinerja individu,
program atau sistem secara keseluruhan. c. Pengukuran diperoleh melalui penerapan berbagai alat monitoring
untuk mengoreksi setiap penyimpangan yang berarti (significant deviation).
d. Tindakan koreksi dapat mencakup usaha-usaha yang mengarahkan pada kinerja yang ditetapkan dalam rencana ke arah lebih mendekati (mencermin) kinerja.
3) Sumber daya keuangan dan peralatan 4) Jadwal pelaksanaan kontrol.
Berdasarkan pendapat di atas pelaku kontrol pelaksanaan kebijakan dilihat
dari asalnya yang dibedakan menjadi dua macam yaitu kontrol internal yang
dilakukan oleh unit atau bagian monitoring dan pengendalian, serta badan
pengawas daerah. Sedang yang kedua kontrol eksternal yang dapat dilakukan oleh
45
DPRD, LSM, dan komponen masyarakat. Untuk melakukan kontrol atas
pelaksanaan suatu kebijakan, disamping diperlukan dana yang cukup juga
diperlukan peralatan yang memadai. Besarnya anggaran yang diperlukan untuk
melakukan kotrol sangat tergantung pada variasi dan kompleksitas pelaksanan
suatu kebijakan. Sumber anggaran dapat bersumber dari pemerintah pusat
(APBN), pemerintah daerah (APBD), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan
sawadaya masyarakat. Sementara itu, peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan
kontrol atas pelaksanaan suatu kebijakan seperti jenis, dan besar kecilnya
peralatan juga sangat tergantuang kepada variasi dan komplesitas pelaksanaan
kebijakan yang dikontrol. Jadwal pelaksanaan kontrol atas pelaksanaan suatu
kebijakan juga sangat beragam. Setidaknya kontrol internal jadwal pelaksanaan
kontroldapat diterapkan setiap bulan, setiap triwulan, dan setiap semester. Namun
untuk kontrol eksternal, jadwal kegiatan sulit dilakukan penjadwalan. Karena
pelaku kontrol berada diluar organisasi dan bukan menjadi kewengangan
organisasi yang menjadi pelaku kebijakan untuk menetapkan jadwal kontrol.
Selain itu, kontrol eksternal karena pelakunya diluar organisasi pelaku kebijakan,
maka sulit untuk diintervensi. Pelaku kontrol eksternal bisa saja melakukan
kontrol setiap saat jika mereka memandang diperlukan.
5. Model Implementasi Kebijakan Publik
Model Edward III dalam Widodo (2008: 96-110) mengajukan empat faktor
atau variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan. Empat variabel atau faktor tadi antara lain meliputi:
1) Faktor komunikasi 2) Sumber daya
46
3) Disposisi 4) Struktur Birokrasi . Berdasarkan pendapat di atas komunikasi kebijakan menurut Model Edward
III memiliki beberapa macam dimensi yaitu “Dimensi transmisi yang
menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya kepada pelaksana
kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang
berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap kebijkan publik
tadi”. Lebih lanjut Model Edward III mengemukakan bahwa “Dimensi kejelasan
(clarity) yang menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para
pelaksana, dan pihak lain yang berkepentingan dapat diterima dengan jelas
sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan
sasaran serta substansi dari kebijakan publik tersebut”. Sedangkan sumber daya
menurut Model Edward III meliputi “Sumber daya manusia, sumber daya
peralatan (gedung, dan suku cadang lain) yang diperlukan dalam melaksanakan
kebijakan”. Pengetahuan, pendalaman, dan pemahaman kebijakan ini akan
menimbulkan sikap menerima, acuh tak acuh, dan menolak terhadap kebijakan.
Sikap itulah yang akan memunculkan disposisi pada diri pelaku kebijakan.
Disposisi menurut Model Edward III diartikan sebagai “kecenderungan,
keinginan, atau kesepakatan para pelaksana uantuk melaksanakan kebijakan”. Jika
implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana
tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan
untuk melakukan kebijakan itu, tetapi mereka juga mempunyai kemauan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Sedangkan dimensi fragmentasi menegaskan
bahwa struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya
47
komunikasi kebijakan. Faktor tujuan dan sasaran, komunikasi, sumber daya,
disposisi, dan struktur birokrasi sebagaimana telah disebutkan akan
mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan implementasi suatu kebijakan
publik.
6. Teknik-Teknik Pengawasan Kebijakan
Seluruh kebijakan publik, baik itu peraturan, larangan, kebijakan retribusi,
atau apapun kebijakannya, pastilah mengandung unsur kontrol atau pengawasan.
Dengan kata lain bahwa kebijakan-kebijakan tersebut didesain untuk membuat
orang mengerjakan sesuatu atau melanjutkan sesuatu. Supaya kebiajakan berjalan
efektif, yang diperlukan adalah lebih dari sekedar formulasi kebijakan guna
menghasilkan output yang direncanakan. Tetapi lebih dari itu, juga bagaimana
teknik pengawasan atas implementasi pelaksanaan kebijakan harus memadai.
Menurut Agustino (2006: 180-184) ada beberapa bentuk teknik pengawasan
kebijakan yang terdiri dari:
1) Non Coercive Forms of action, banyak cara digunakan untuk meimplementasikan kebijakan, juga untuk memenuhi sasaran dan tujuan didalamnya, menurut salah satu teori dalam kebijakan publik adalah dengan non-coercive forms of action (tanpa paksaan yang wajar).
2) Inspeksi adalah bentuk pengawasan lain yang dapat digunakan. Inspeksi secara sederhana dapat diartikan pula sebagai bentuk pengujian untuk menentuka apakah implementasi kebijakan telah sesuai dengan standar resmi yang ditentukan (sasaran, dan tujuan kebijakan).
3) Lisensi atau pengesahan sering juga disebut enabling aktion, yang melibatkan kekuasaan pemerintah untuk menunjuk pada bidang bisnis untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dilarang.
4) Perpajakan, pada saat ini pajak telah menjadi alat promosi yang digunakan secara luas untuk mengontrol kinerja perusahaan swasta ataupun individu.
5) Sanksi disini berarti hukuman dan penghargaan yang dapat diterima oleh instansi atau individu untuk memberi semangat atau mendorong dalam melaksanakan keputusan.
48
6) Prosedur formal merupakan fase penting dalam pengawasan atas pelaksanaan kebijakan.
Berdasarkan pendapat di atas dengan menggunakan teknik Non Coercive
Forms of action berarti para aparatur kebijakan dalam menjalankan regulasi
tersebut tidak menggunakan sanski yang resmi, hukuman, ataupun ganjaran.
Efektifitas dari bentuk kebijakan seperti ini memang sangat tergantung dari
kerjasama secara sukarela atau penerimaan dari warga masyarakat yang
dipengaruhinya. Kebijakan seperti ini hanya akan dapat berjalan dengan baik
dalam konteks sistem demokrasi yang sudah benar-benar mapan, meskipun
tekanan social dan ekonomi yang muncul di masyarakat dapat menekan mereka.
Inspeksi dapat dilakukan secara terus menerus atau secara periodik. Tujuan dari
inspeksi tidak dapat dipungkiri berupaya untuk membentuk perilaku individu
agar menyesuaikan diri dengan aturan atau kebijakan. Karena teknik ini
berusaha untuk membentuk perilaku, maka inspeksi menyertakan penjatuhan
sanksi atau hukuman sebagai alternatif pengingat. Pengesahan merupakan
bentuk teknik pengawasan yang secara luas digunakan pada kegiatan yang
dilakukan dengan macam-macam sebutan. Banyak lisensi digunakan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya sertifikat yang digunakan untuk
mengerjakan bidang-bidang yang terkait dengan perbaikan, perawatan, serta
pengembangan fasilitas umum. Kontrak kadang-kadang digunakan oleh
pemerintah sebagai dasar untuk pengendalian ekonomi yang khusus, misalnya
standar gaji, jam kerja, kondisi kerja. Salah satu teknik pengawasan dalam
bentuk kontrak dapat memudahkan pemerintah dalam mengawasi jalannya
perekonomian. Selain itu dengan teknik pengawasan ini pemerintah dapat
49
menentukan acuan untuk standar gaji, jam kerja serta mengendalikan kondisi
kerja. Perpajakan sebagai teknik pengawasan dapat memudahkan pelaksanaan
pengawasan berbagai perusahaan swasta maupun perusahaan milik pribadi, serta
dapat mengetahui sejauh mana masyarakat pada umumnya dan para pejabat
pemerintah khusunya dalam melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara.
Sanksi dalam pelaksanaan pengawasan mampu menjadi alat untuk mengontrol
sejauhmana penyimpangan yan terjadi dalam pelaksanaan pemerintahan serta
mampu memberi efek jera terhadap masyarakat, para pengusaha dan para
pejabat yang. Banyak keputusan yang dihasilkan dapat dicapai melalui cara-cara
informal seperti negosiasi, penawaran, kompromi, konsultasi, pertemuan, dan
pengujian material. Prosedur formal ini sangat penting peranannya dalam
pelaksanaan pengawasan suatu kebijakan. Hal ini disebabkan karena dalam
prosedur formal dimuat beberapa tahapan atau cara pembuatan dan pelaksanaan
suatu kebijakan melalui suatu proses konsultasi, pertemuan atau musyawarah
serta uji kebijakan.
C. Pengawasan
1. Pengertian Pengawasan
Menurut LAN (1997: 159) pengawasan adalah “salah satu fungsi organik
manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan
menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah
terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijaksnaan, instruksi dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku”. Pengawasan
50
sebagai fungsi manajemen sepenuhnya adalah tanggungjawab setiap pimpinan
pada tingkat manapun. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini
mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, dan
kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran tugas-tugas organisasi.
Sebagai bagian dari aktivitas dan tanggungjawab pimpinan, sasaran
pengawasan adalah mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas,
rasionalitas dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas
organisasi. Menurut LAN (1997: 159) hasil pengawasan ham dijadikan masukan
oleh pimpinan dalam pengambilan keputusan untuk:
1) Menghentikan/meniadakan kesalahan penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak-tertiban.
2) Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak-tertiban tersebut.
3) Mencari cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai tujuan dan melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Berdasarkan pendapat di atas pengawasan bisa membatasi atau mencegah
terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Akan tetapi pengawasan baru bermakna
manakala di ikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut yang nyata dan tepat.
Dengan kata lain, tanpa tindak lanjut sebagaimana yang dimaksud, pengawasan
sama sekali tidak ada artinya. Untuk itu tindak lanjut yang nyata dari DPRD
sebagai hasil dari pengawasan sangatlah penting bagi terciptanya kesejahtraan
rakyat, yang diharapkan bisa menjadi acuan terciptanya pemerintahan yang baik
di dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah menjadi program.
2. Macam-Macam Pengawasan
Menurut LAN (1997: 160) tentang macam pengawasan ini dapat dibedakan
menjadi 3 macam yaitu:
51
1) Menurut Subjek Yang Melakukan Pengawasan
Berdasarkan subjek yang melakukan pengawasan, LAN (1997: 160)
menjelaskan bahwa dalam sistem administrasi Negara Republik Indonesia
dikembangkan 4 macam pengawasan yaitu:
1) Pengawasan Melekat (Waskat), adalah pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dan satuan kerja yang dipimpinnya.
2) Pengawasan Fungsional (Wasnal), adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang tugas pokoknya melakukan pengawasan, seperti Itjen, Itwilprop, BPKP dan Bepeka.
3) Pengawasan Legislatif (Wasleg), adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat baik di pusat (DPR), maupun di daerah (DPRD). Pengawasan ini merupakan bentuk pengawasan politik (Waspol).
4) Pengawasan Masyarakat (Wasmas), adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, seperti yang termuat dalam media massa.
2) Menurut Cara Pelaksanaan Pengawasan
Berdasarkan faktor ini, LAN (1997: 160) menjelaskan bahwa dapat
dibedakan antara pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.
1) Pengawasan langsung ialah pengawasan yang dilaksanakan dilaksanakan di tempat kegiatan berlangsung, yaitu dengan mengadakan ispeksi dan pemeriksaan.
2) Pengawasan tidak langsung, yaitu pengawasan yang dilaksanakan dengan mengadakan pemanatauan dan pengakajian laporan dari pejabat/satuan kerja yang bersangkutan, aparat pengawasan fungsional, pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat.
3) Menurut Waktu Pelaksanaan Pengawasan
Berdasarkan waktu pelaksanannya, pengawasan ini LAN (1997: 160)
menjelaskan bahwa “Waktu pelaksanaan pengawasan dapat dibedakan menjadi
pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dimulai, dan pengawasan yang
dilakukan selama pekerjaan dilakukan atau sesudah pekerjaan selesai
dilaksanakan”.
52
3. Sistem Pengawasan
Pengawasan yang dianut menurut UU 32 Tahun 2004 (Sunarno, 2006: 112),
meliputi dua bentuk pengawasan, yakni “pengawasan atas pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan Kepala
Daerah”. Pengawasan ini dilaksanakan oleh pengawas intern pemerintah. Hasil
pembinaan dan pengawasan tersebut digunakan sebagai bahan pembinaan
selanjutnya oleh pemerintah dapat digunakan sebagi bahan pemeriksaan oleh
badan pemeriksa keuangan.
Pengawasan atas penyelenggaran pemerintahan daerah adalah proses
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar kebijakan pemerintah daerah dapat
berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan DPRD terhadap pemerintah daerah
yaitu terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya
terhadap peraturan daerah dan Kepala Daerah. Dalam hal pengawasan terhadap
rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, menurut UU 32 Tahun 2004,
pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut:
1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah, yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR, sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh menteri dalam negeri untuk raPerda provinsi dan oleh Gubernur terhadap raPerda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar penaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di atas, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada menteri dalam negeri untuk provinsi dan gubernur untuk Kabupaten/Kota, untuk memperoleh klarifikasi, terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepntingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
53
Berdasarkan pernyataan di atas dalam rangka mengoptimalkan fungsi
pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada
penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan
pelanggaran oleh penyelenggara pemerintah daerah tersebut. Sanksi dimaksud
antara lain berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan
pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan
daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah dan ketentuan lain yang
ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, apabila ditemukan indikasi pelanggaran
tindak pidana yang dilakukan pihak pelaksana pemerintah daerah yang
mengakibatkan kerugian pada masyarakat di daerah. Dengan demikian
mekanisme pengawasan terhadap kebijakan politik mempunyai hubungan yang
erat di dalam pertanggungjawabannya.
Tabel 2 Hubungan Kebijakan Politik, Mekanisme Pengawasan Dan
Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
UU Kebijakan
Politik
Mekanisme
Pengawasan
Pertanggungjawaban
No. 5 Tahun
1974
No. 22 Tahun
1999
Uniform
Birokratik
Demokratis,
transparansi,
dan
Persetujuan
pejabat yang
berwenang
Sifatnya hanya
melaporkan
Kepada Presiden
Tanggungjawab kepada
DPRD
54
No. 32 Tahun
2004
akuntabilitasi
Kesetaraan
Check and
Balance
Sistem evaluasi Hanya sebatas laporan
Sumber: Sunarno, 2006: 112
Tabel 2 menggambarkan tentang hubungan antara kebijakan politik
dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah, yang memberikan implikasi dan simplikasi terhadap pola
pertanggungjawabannya.
4. Manfaat Hasil Pengawasan
Hasil-hasil pengawasan harus dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam langkah-langkah yang dipandang perlu baik untuk
penyempurnaan maupun penertiban. Penyempurnaan dapat dilakukan di bidang
kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Penyempurnaan dibidang
kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan yaitu untuk menjamin
kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan
dengan berpedoman kepada asas daya guna dan hak guna. Di samping itu hasil
pengawasan juga untuk melakukan tindakan penertiban dan penindakan pada
umumnya, seperti misalnya perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme,
penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan negara,
pungutan liar, dan tindakan penyelewengan lainnya baik yang melanggar
peraturan perundangan yang berlaku maupun yang bertentangan dengan
kebijaksanaan pemerintah serta menghambat pembangunan.
55
Manfaat dari hasil pengawasan akan terasa dampaknya secara nyata
apabila teknik pengawasan yang dilakukan secara sungguh-sungguh, bukan
hanya sekedar formalitas saja. Untuk menunjang hal tersebut diperlukan para
anggota DPRD yang memiliki kompetensi dan kualitas yang baik, hal ini bisa
dilihat dari tingkat pendidikan para anggota DPRD yang lebih baik, serta
memiliki loyalitas tinggi, profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga
dampak yang diharapkan akan tercapai.
5. Ruang Lingkup Pengawasan
Sebagaimana dimaksud dalam Inpres No. 15 Tahun 1983 (LAN, 1997:
163) ruang lingkup pengawasan adalah mencakup:
1) Kegiatan umum pemerintah. 2) Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat aparatur bawahan. 3) Pelaksanaan perencanaan pembangunan. 4) Penyelenggaraan penguasaan dan pengelolaan keuangan/kekayaan
negara. 5) Kegiatan badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. 6) Kegiatan aparatur pemerintah yang meliputi unsur-unsur kelembagaan,
kepegawaian,dan ketatalaksanan
Berdasarkan pemaparan di atas ruang lingkup pengawasan sebenarnya
harus meliputi seluruh aspek kehidupan pada umumnya dan di dalam
pelaksanaan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum. Selain itu,
pelaksanaan pengawasan terdapat di dalam kehidupan pemerintahan dan
pelaksanaan suatu kebijakan. Hal tersebut dikarnakan suatu kebijakan yang
menyangkut kepentingan umum dapat dilaksanakan dengan dilandasi
pengawasan yang nyata sehingga dampaknya akan terasa nyata.
56
6. Prinsip-Prinsip Pengawasan
Beberapa prinsip-prinsip pengawasan yang harus dipatuhi atau
dilaksanakan oleh pelaksana pengawasan (LAN, 1997: 163) sebagai berikut:
1) Obyektif dan menghasilkan fakta 2) Pengawasan berpedoman pada kebijaksanaan yang berlaku
a. Tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan b. Rencana yang telah ditentukan c. Pedoman kerja yang telah ditetapkan d. Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
3) Preventif 4) Pengawasan bukan tujuan 5) Efisiensi 6) Menemukan apa salah 7) Tindak lanjut
Berdasarkan uraian di atas pengawasan harus bersifat obyektif dan harus
dapat menemukan fakta-fakta tentang pelaksanaan pekerjaan dari berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Untuk dapat mengetahui dan menilai ada tidaknya
kesalahan-kesalahan dan penyimpangan, pengawasan harus berpangkal pada
keputusan pimipinan. Pengawasan harus bersifat mencegah sedini mungkin
terjadinya kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu pengawasan harus sudah
dilakukan dengan menilai rencana-rencana yang akan dilakukan. Pengawasan
harusnya tidak dijadikan tujuan, tetapi sarana untuk menjamin dan meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan organisasi. Pengawasan harus
dilakukan secara efisien, bukan justru menghambat efisien pelaksanaan pekerjaan.
Pengawasan harus ditujukan mencari apa yang salah, penyebab kesalahan, dan
bagaimana sifat kesalahannya. Hasil temuan pengawasan harus diikuti dengan
tindak lanjut demi hasil yang lebih baik.
57
7. Langkah-Langkah Pengawasan
Beberapa langkah pengawasan yang harus diikuti oleh pelaksana
pengawasan agar hasil yang diinginkan dapat tercapai dengan hasil yang
memuaskan (LAN, 1997: 164), menjelaskan langkah-langkah yang harus
dijalankan sebagai berikut:
1) Penetapan tolak ukur, yang diperlukan untuk dapat membandingkan dan menilai apakah kegiatan-kegiatan sudah sesuai rencana, pedoman, kebijaksanaan serta peraturan perUndang-undangan.
2) Menetapkan metode, waktu dan frekuensi yang diperlukan untuk melakukan pengukuran hasil kerja.
3) Pengukuran pelaksanaan dan pembandingan, yaitu kegiatan penilaian terhadap hasil yang nyata-nyata dicapai melalui pembandingan terhadap apa yang seharusnya dicapai sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan.
4) Tindak lanjut, yaitu sebagai hasil penilaian dan pembenahan dari butir 3 (tiga), yang dapat berupa penyesuaian rencana dan kebijaksanaan serta ketentuan-ketentuan, pemberian bimbingan, penghargaan atau sanksi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa langkah-langkah
pengawasan yang harus dilaksanakan para anggota DPRD anggota dalam
pelaksanaaan fungsi pengawasan yang efektif dapat dilakukan dengan diawali
dengan menentukan acuan sesuai tidaknya suatu kegiatan dengan perencanaan,
pedoman, kebijaksanaan atau peraturan lainnya. Selanjutnya penentuan metode,
menilai hasil pelaksanaan suatu kebijakan. Setelah itu dapat dilakukan
penyesuaian antara suatu kegiatan rencana kebijakan, ketentuan yang berlaku,
pengarahan dan sanksi atau penghargaan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
telah dilaksanakan.