bab ii calvin - sinta.unud.ac.id
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kusta
2.1.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Kuman kusta dapat menyerang kulit serta saraf perifer
dimana secara klinis dapat ditemukan lesi kulit yang mati rasa disertai dengan
penebalan saraf perifer. Kegagalan dalam terapi dapat menyebabkan kecacatan
yang sangat mempengaruhi penderita dalam segi ekonomi dan sosial disebabkan
oleh stigma oleh masyarakat sekitar (Lastoria et al., 2014).
2.1.2 Epidemiologi
Kusta ditemukan pada negara tropis terutama pada negara yang belum
berkembang dan negara berkembang. Negara endemik kusta ditemukan di daerah
Asia Tenggara, Amerika selatan, Afrika, Pasifik timur dan daerah mediterania
barat. Meskipun prevalensi di dunia sudah didapatkan penurunan sejak
penggunaan multi-drug treatment (MDT), masih didapatkan kasus baru setiap
tahunnya dimana pada tahun 2013 ditemukan 215,656 kasus baru di seluruh dunia
dengan pada kuartal pertama tahun 2014 diestimasi sekitar 0.32 kasus per 10.000
populasi. Asia tenggara sendiri memiliki prevalensi tertinggi dengan prevalensi
8.38 kasus baru per 10.000 populasi dimana 58.85% didapatkan dari India
(Global leprosy update 2013-2014).
2
Berdasarkan data dari WHO mayoritas kasus kusta pada tahun 2013 terjadi
pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dimana 71% pada
daerah Asia Tenggara, 15,5% di daerah Amerika, 8,8% di daerah Afrika, 3,3% di
Pasifik barat dan 1,2% di Mediteranian timur. (Global leprosy update 2013). Di
Spanyol didapatkan insidensi 0.16 kasus per 100,000 populasi pada abad ke-21
dimana didapatkan juga peningkatan jumlah imigran dari negara dimana kusta masih
endemis, seperti dari Brasil (Instituto Nacional de Estadística, 2013).
Waktu inkubasi yang panjang antara terjadinya infeksi dan timbulnya
manifestasi klinis kusta dapat menjadi salah satu faktor penting dimana pasien yang
telah terinfeksi akan tetapi asimptomatik dapat bermigrasi ke negara lain tanpa
terdeteksi, sehingga frekuensi kasus yang dilaporkan sering kali lebih rendah
dibandingkan yang sebelumnya diprediksi ( Massone et al., 2012).
Data yang didapatkan dari Pusat Data dan Informasi mengenai Profil
Kesehatan Indonesia menunjukkan prevalensi kusta di Indonesia berada dalam
rentang 0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk dimana didapatkan penurunan dari
tahun sebelumnya. Berdasarkan data tahun 2011-2013 ditemukan bahwa 14 dari 33
provinsi di Indonesia memiliki beban kusta yang tinggi (angka penemuan kasus baru
lebih dari 10 per 100.000 penduduk) dengan Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Papua dan Sulawesi Selatan sebagai penyumbang terbesar (Infodatin Kementerian
Kesehatan RI, 2015).
Rendahnya pengetahuan tentang kusta serta stigma tentang kusta juga
berperan dalam rendahnya prevalensi kusta dibandingkan dengan yang awalnya
diprediksi. Keterlambatan dalam diagnosis serta terapi ini menimbulkan kecacatan
3
fisik masih menjadi salah satu masalah di dunia dengan ditemukannya 2,165 kasus
kusta dengan disabilitas tingkat-2 pada tahun 2011 (Lastoria et al., 2014).
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
2.1.3.1 Bakteri M.leprae
Etiologi dari penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh dokter kebangsaan Norwegia Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. Bakteri
ini berbentuk batang lurus dengan ujung yang bundar berukuran 1.5-8 mikron dengan
lebar 0.2-0.5 mikron. Pada pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) akan tampak berwarna
merah yang tahan asam. Kuman M.leprae menginfeksi makrofag serta sel Schwann
dengan suhu optimal yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang antara 27°C dan
30°C, oleh karena itu kuman M.leprae cenderung banyak ditemukan pada daerah
permukaan seperti kulit, saraf perifer, testis dan sistem pernapasan atas (Nolte et al.,
1995).
Apabila dilihat menggunakan mikroskop elektron bakteri ini memiliki
sitoplasma, membran plasma, dinding sel dan kapsul. Sitoplasma dari kuman ini
memiliki struktur yang sama dengan bakteri gram positif pada umumnya, sedangkan
pada membran plasma bakteri ini memiliki permeable lipid bilayer yang mengandung
protein surface antigen. Dinding sel dari M.leprae terbentuk atas peptidoglikan yang
mengandung arabinogalaktan seperti bakteri genus Mycobacterium lainnya. Pada
kapsul ditemukan lapisan lipid yang berikatan dengan trisakarida yang spesifik untuk
M.leprae yaitu phenolic glycolipid 1 (PGL-1) (Hirata et al., 1985).
Bakteri M.leprae memiliki berat molekul 2.2 x 109 dalton dengan 3.268.203
pasangan basa yang lebih kecil jika dibandingkan dengan M.tuberculosis Gen yang
terdapat dalam bakteri M.leprae ini berjumlah 2.770 dengan 1.640 gen yang
4
mengkode protein dan 1.116 berupa pseudogen. Hal ini menyebabkan penurunan dari
alur metabolik bakteri ini yang dapat menjelaskan mengapa basil ini memerlukan
kondisi khusus untuk tumbuh dan berkembang biak (Cole et al., 2001).
2.1.3.2 Mekanisme Transmisi
Meskipun patogenesis yang jelas tentang bagaimana kuman kusta menginfeksi
pejamu nya masih belum ditemukan, para peneliti mempercayai bahwa kusta
disebarkan melalui kontak dekat dan lama antara individu yang rentan terinfeksi
dengan penderita kusta. Transmisi ini dapat melalui inhalasi dari basil di dalam
sekresi hidung atau droplet, yang nantinya akan masuk ke dalam tubuh melalui
mukosa hidung. Selain melalui mukosa hidung, kuman kusta dipercaya juga dapat
disebarkan melalui luka pada kulit, darah, ibu ke bayi nya, air susu ibu serta gigitan
serangga (Job et al., 1990).
Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemis dapat ditemukan apusan
hidung dengan DNA M.leprae yang positif serta nilai seropositif terhadap antigen
M.leprae yang spesifik menunjukkan bahwa individu ini dapat menjadi carrier dan
memiliki risiko untuk menjadi sumber penularan juga (Job et al., 2008).
2.1.3.3 Imunopatologi
Penyakit kusta dibagi atas spektrum klinis yang bergantung pada respon imunitas
pejamu, dimana pada spektrum tuberkuloid didapatkan respon imunitas seluler yang
dimediasi oleh Th (T helper) 1, interferon gamma (IFN- γ) dan interleukin-2 (IL-2)
sehingga menimbulkan respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen
M.leprae. Secara histopatologi didapatkan pembentukan granuloma yang didominasi
sel T CD4+ dengan lesi kulit serta jumlah basil yang sedikit. Pada spektrum
5
lepromatosa didapatkan respon imunitas yang dimediasi oleh sel Th2 terutama IL-4
dan IL-10 yang didominasi sel T CD8+ dan tidak ditemukannya pembentukan
granuloma pada pemeriksaan histopatologi. Pada spektrum borderline didapatkan
pola reaksi imunitas diantara kedua kutub spektrum kusta ini (Nath dan Chaduvula,
2010; Misch et al., 2010).
Pada saat kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh akan dikenali oleh reseptor
imunitas alamiah terutama Toll-like receptor (TLR) 1 dan 2 yang akan mengenali
komponen protein 19-kDa dan lipopeptida dari kuman mikobakterium. Beberapa
reseptor lain yang berperan dalam proses imunologi dari kusta adalah TLR 4,6,8 dan
9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch et al., 2010).
Hal yang terutama mempengaruhi diferensiasi sel limfosit T naïf adalah
antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui pelepasan IL-12, dimana
didapatkan kadar IL-12 yang lebih tinggi pada kusta tipe tuberkuloid. Selain itu
didapatkan juga peningkatan ekspresi pada TLR1 dan TLR2 pada spektrum
tuberkuloid dibandingkan dengan lepromatosa (Renault dan Ernst, 2015).
Selain kulit, saraf perifer merupakan target utama dari kuman M.leprae yang
sering kali menimbulkan keluhan mati rasa atau kecacatan apabila terjadi kerusakan
pada saraf. Kerusakan saraf perifer sendiri dapat disebabkan oleh kuman M.leprae
secara langsung atau akibat reaksi inflamasi akibat respon imun tubuh. Kuman
M.leprae berikatan dengan PGL-1 pada domain G pada rantai α2 laminin-2 pada sel
Schwann. Kuman M.leprae masuk ke intraseluler sel schwann melalui Laminin
binding protein 21 (LBP-21) yang selanjutnya akan terjadi demielinisasi saraf perifer.
Saat saraf perifer sudah terjadi demielinisasi maka M.leprae dapat lebih merusak saraf
karena kecenderungan untuk menyerang akson yang tidak bermielin, yang terjadi
6
pada kusta multibasiler dimana jumlah kuman banyak (Nath dan Chaduvula, 2010;
Renault dan Ernst, 2015).
Pada kerusakan saraf yang disebabkan oleh reaksi imunologis disebabkan oleh
pelepasan sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-12, IL-15, IL-16, IL-18 dan IL-1βoleh
makrofag. Sitokin ini juga diinduksi oleh protein 19-kDa yang berikatan dengan
TLR1/2 dan menyebabkan apoptosis dari sel Schwann. Kerusakan saraf yang terjadi
timbul akibat adanya edema dan influks sel inflamasi pada sel saraf sehingga terjadi
kompresi dan iskemia (Misch et al., 2010; Renault dan Ernst, 2015).
2.1.4 Diagnosis
Penyakit kusta dapat didiagnosis menggunakan 3 tanda kardinal, dimana diagnosis
dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dari tanda kardinal seperti berikut
(Kumar dan Dogra, 2010) :
1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritema yang disertai dengan gangguan atau
hilangnya sensibilitas
2. Keterlibatan saraf tepi yang didapatkan penebalan saraf perifer secara klinis
terutama pada nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris,
nervus radialis, nervus medianus, nervus popliteal lateralis, nervus peroneus
dan nervus tibialis posterior.
3. Ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit dari
mukosa nasal, lobus telinga atau lesi kulit.
Pada kasus yang meragukan, pemeriksaan histopatologi dapat membantu
dimana pada kusta spektrum tuberkuloid didapatkan gambaran granuloma epiteloid
7
dengan infiltrat limfosit serta didapatkan sedikit bakteri tahan asam dengan
pewarnaan Ziehl Nielsen. Sedangkan pada spektrum lepromatosa didapatkan
gambaran granuloma makrofag yang lebih sedikit dan didapatkan daerah grenz zone
disertai dengan bakteri tahan asam yang banyak pada pewarnaan Ziehl Nielsen
(Porichha dan Natrajan, 2010).
Kusta juga dapat didiagnosis menggunakan pemeriksaan serologis yaitu titer
antibodi PGL-1 serta pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan
PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi akan tetapi memerlukan biaya
yang besar serta peralatan khusus, sedangkan PGL-1 memberikan sensitivitas hanya
30-60% pada pasien dengan spektrum pausibasiler sehingga dapat memberikan
negatif palsu pada kelompok pasien ini (Eichelmann, 2013).
2.1.4.1 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan pemeriksaan
sediaan dari irisan atau kerokan pada kulit pasien kusta yang dilakukan pewarnaan
Ziehl Nielsen (ZN) dimana kuman M.leprae akan tampak sebagai bakteri tahan asam
berwarna merah diatas latar belakang biru. Pemeriksaan ini dapat membantu
diagnosis kusta, menentukan klasifikasi spektrum kusta, progresifitas penyakit serta
pemantauan hasil pengobatan. Lokasi dimana pemeriksaan ini dilakukan adalah 4
tempat yaitu telinga kanan, dahi kanan, dagu, bokong kiri pada laki-laki dan paha atas
kiri pada wanita (Job dan Ponnaiya, 2010) atau pada 3 lokasi yaitu cuping telinga
kanan dan kiri serta lesi kulit aktif (Kemenkes RI, 2012).
Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas sebesar 100% akan tetapi memiliki
sensitivitas yang rendah sebesar 10-50% dikarenakan pengaruh dari faktor seperti
8
keterampilan petugas, teknik pengambilan sediaan serta bahan-bahan pemeriksaan
(Bhushan, 2008).
Sediaan yang diambil akan dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen dimana jumlah
kuman BTA dalam setiap lapang pandang dihitung serta morfologi dari basil juga
diperhatikan. Basil solid umumnya menunjukkan infeksi aktif dimana kuman masih
hidup, sedangkan basil dengan morfologi granular atau terfragmentasi menunjukkan
kuman yang tidak viabel. Dari data ini dapat dilakukan penghitungan untuk Indeks
bakteri (IB) dan Indeks morfologi (IM) (Bryceson, 1990; Job dan Ponnaiya, 2010;
Lee et al., 2012).
Indeks bakteri merupakan penghitungan semikuantitatif kepadatan kuman
BTA pada sediaan apus, dimana penghitungan dilakukan pada kuman solid maupun
fragmentasi dan granular. Penghitungan menurut skala Ridley dinilai sebagai berikut
(Bryceson, 1990; Job dan Ponnaiya, 2010; Lee et al., 2012) :
a. +6 dimana didapatkan lebih dari 1000 BTA tau lebih dari 5 gumpalan pada
satu lapang pandang
b. +5 dimana didapatkan 100 sampai 1000 BTA pada satu lapang pandang
c. +4 dimana didapatkan 10 sampai 100 BTA pada satu lapang pandang
d. +3 dimana didapatkan 1 sampai 10 BTA pada satu lapang pandang
e. +2 dimana didapatkan 1 sampai 10 BTA pada 10 lapang pandang
f. +1 dimana didapatkan 1 sampai 10 BTA pada 100 lapang pandang
Indeks bakteri umumnya didapatkan penurunan setelah selesai pemberian
terapi MDT dan berlanjut bahkan setelah tidak mendapatkan terapi lagi. Penurunan
pada kelompok pasien tipe MB umumnya lebih lambat dibandingkan tipe PB
(Mahajan, 2013).
9
2.1.5 Klasifikasi Kusta
Kusta diklasifikasikan untuk membantu para tenaga medis dalam bidang epidemiologi
serta untuk menentukan regimen pengobatan serta membantu mengidentifikasi
kelompok pasien yang memiliki risiko besar untuk timbulnya cacat kusta. Klasifikasi
yang ada sampai saat ini adalah klasifikasi dari Ridley dan Jopling, klasifikasi Madrid
oleh Kongres Internasional Kusta serta berdasarkan WHO (Lee et al., 2012; Mishra
dan Kumar, 2010).
Ridley Jopling membagi kusta menjadi 5 spektrum yaitu 2 kutub Tuberkuloid
(TT) dan Lepromatosa (LL), serta diantaranya borderline tuberculoid (BT), Mid-
borderline (BB) dan borderline lepromatous (BL). Pembagian ini berdasarkan pada
kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee et al., 2012; Mishra
dan Kumar, 2010).
Tabel 2.1 Karakteristik klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010)
Lesi TT BT BB BL LL Jumlah Biasanya
tunggal (s/d 3)
Sedikit (s/d 10)
Beberapa (10-30)
Banyak asimetris (>30)
Tidak terhitung, simetris
Ukuran Bervariasi, umumnya besar
Bervariasi, beberapa besar
Bervariasi Kecil, beberapa dapat besar
Kecil
Permukaan Kering, dengan skuama
Kering, dengan skuama, terlihat cerah, terdapat infiltrat
Kusam atau sedikti mengkilap
Mengkilap Mengkilap
Sensasi Hilang Menurun dengan jelas
Menurun sedang
Sedikit menurun
Normal atau menurun minimal
Pertumbuhan rambut
Tidak ada Menurun dengan jelas
Menurun sedang
Sedikit menurun
Normal pada tahap awal
BTA Negatif Negatif atau sedikit
Jumlah sedang
Banyak Banyak sekali termasuk globi
Reaktivitas lepromin
Positif kuat (+++)
Positif lemah (+ atau ++)
Negatif atau positif lemah
Negatif Negatif
10
Klasifikasi Madrid membagi kusta menjadi 4 kelompok antara lain tipe
Tuberkuloid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatosa (L) dan Indeterminate (I).
Untuk kepentingan pengobatan WHO membagi kusta menjadi 2 yaitu kelompok
pausibasiler (PB) dimana didapatkan pemeriksaan BTA yang negatif diantaranya
adalah tipe TT dan BT pada klasifikasi Ridley Jopling atau tipe I dan T menurut
klasifikasi Madrid, serta kelompok multibasiler (MB) pada semua kasus dengan BTA
yang positif meliputi tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley Jopling atau tipe B
dan L pada klasifikasi Madrid. Adanya keterbatasan dalam pemeriksaan hapusan kulit
maka WHO memperbaharui klasifikasi tahun 1988 pada tahun 1998 dimana terbagi
atas 3 berdasarkan jumlah lesi yaitu tipe PB dengan lesi soliter, tipe PB dengan
jumlah lesi 2-5 serta tipe MB dengan jumlah lesi lebih dari 5 atau dengan hasil BTA
yang positif (Mishra dan Kumar 2010).
2.1.6 Pengobatan Kusta
Sampai saat ini telah didapatkan beberapa obat yang memberikan efektifitas terhadap
kuman M.leprae seperti dapson (1940), klofazimin (1962) dan rifampisin (1970).
Akan tetapi pemberian regimen tunggal meningkatkan masalah resistensi obat pada
pasien sehingga WHO pada tahun 1981 merekomendasikan untuk memberikan
multidrug therapy (MDT) yang terdiri atas rifampisin, dapson dan klofazimin.
Pengobatan ini dapat menurunkan insiden relaps, menurunkan efek samping serta
durasi pengobatan kusta. Pada kelompok PB akan diberikan rifampisin 600 mg 1x per
bulan ditambah dengan dapson 100 mg setiap hari selama 6 bulan. Regimen MB akan
diberikan kombinasi 600 mg 1x per bulan, klofazimin 300 mg 1x per bulan dan
dapson 100 mg setiap hari selama 12 bulan. Obat-obatan baru yang didapatkan efektif
11
dalam terapi M.leprae dan sering digunakan apabila timbul reaksi alergi terhadap
regimen MDT awal, antara lain minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin,
rifapentin, bromidoprim, asam fusidat dan antibiotika beta lactam (Pai et al., 2010;
Yawalkar, 2009).
2.1.7 Reaksi Kusta
Komplikasi kusta sering kali menimbulkan keluhan pada pasien salah satunya adalah
reaksi kusta yang dapat timbul sebelum, selama atau setelah selesai pengobatan.
Reaksi kusta adalah reaksi inflamasi akut atau subakut yang timbul akibat reaksi
imunologis yang dapat menyerang kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain.
Reaksi kusta yang tidak mendapatkan terapi yang adekuat dapat menimbulkan
kecacatan dan deformitas pada pasien kusta (Yawalkar, 2009).
Reaksi kusta dapat dibagi menjadi 3 antara lain reaksi tipe 1, reaksi tipe 2 dan
fenomena lucio. Pada reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline
dimana dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) dimana didapatkan peningkatan
imunitas seluler sehingga didapatkan pergerakan ke spektrum tuberkuloid atau
downgrading pada kelompok dimana didapatkan pergerakan ke spektrum lepromatosa
akibat penurunan imunitas seluler. Secara klinis pada reaksi reversal akan ditemukan
lesi lama yang meradang atau ditemukan lesi baru yang disertai neuritis ringan hingga
berat. Reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL) lebih sering ditemukan
pada tipe kusta BL dan LL dimana didapatkan pembentukan kompleks imun antigen-
antibodi pada jaringan yang menimbulkan reaksi inflamasi akut. Secara klinis dapat
ditemukan lesi berupa papul atau nodul yang nyeri pada penekanan disertai gangguan
saraf, gangguan pada organ lain dan gejala sistemik pada kasus yang berat (Bryceson,
1990; Kar dan Sharma, 2010, Lee et al., 2012).
12
Fenomena lucio merupakan reaksi yang terjadi pada kusta tipe LL yang tidak
diobati dimana cenderung terjadi pada kusta tipe lucio dimana secara klinis
didapatkan infiltrat dan lesi non-nodular yang seragam dan berkilap. Reaksi ini akan
diawali dengan plak merah kebiruan dengan halo eritematosa yang nantinya akan
menjadi infark hemoragik pada bagian sentral tanpa atau dengan pembentukan bula
(Kar dan Sharma, 2010).
2.2 Insulin-like Growth Factors (IGF)
Insulin-like growth factors (IGF) adalah kelompok faktor pertumbuhan polipeptida
yang secara struktur berhubungan dengan proinsulin. Insulin-like Growth Factor
(IGF) ini dibagi menjadi IGF-1 dan IGF-2 dimana pertama kali ditemukan pada tahun
1957 oleh Salmon dan Daughaday serta pada tahun 1976 baru ditemukan bahwa
secara struktur memiliki kemiripan dengan proinsulin (Laron, 2001). Protein ini
sangat berhubungan dengan hormon pertumbuhan / growth hormone (GH) dimana
produksinya sangat dipengaruhi oleh signal dari kelenjar pituitari di hipotalamus otak.
Peran IGF terutama IGF-1 dihubungkan pada kaskade inflamasi dan tumerogenesis
serta apoptosis (Ferrucci et al., 2005; Tagoug et al., 2011).
2.2.1 Struktur Kimia IGF
Insulin-like Growth Factors (IGF) adalah kelompok peptida yang berhubungan
dengan insulin termasuk relaxin dan beberapa peptida yang terisolasi dari invertebrate
bagian bawah. IGF-1 adalah peptida berukuran kecil yang terdiri atas 70 asam amino
dengan berat molekul 7649 Da. Serupa dengan insulin, IGF-1 memiliki rantai A dan
B yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Bagian peptida C dari molekul ini
memiliki 12 asam amino. Kemiripan dengan struktur insulin menjelaskan kemampuan
13
IGF-1 (gambar 2.1) untuk berikatan dengan reseptor insulin meskipun dengan afinitas
yang rendah (Walenkamp et al., 2005; Denley, 2005).
IGF-2 terdiri atas 67 asam amino dengan struktur yang kurang lebih serupa
dengan IGF-1. Meskipun memiliki struktur yang serupa kedua molekul protein ini,
tiap ligand yang berada pada molekul ini dapat menghasilkan sinyal yang berbeda.
Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa IGF-2 tidak dapat mengkompensasi
kekurangan dari aktivitas IGF-1 pada pasien dengan defisiensi IGF-1 yang
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan retardasi mental (Walenkamp et al., 2005;
Denley, 2005).
Gambar 2.1 Struktur kimia dari Insulin, IGF-1 dan IGF-2 (Denley dkk, 2005)
2.2.2 Aksis Growth hormone/Insulin-like Growth Factor (GH/IGF)
Aksis dari GH/IGF atau yang dikenal juga sebagai aksis somatotropik (gambar 2.2)
adalah sumbu yang memodulasis pertumbuhan dan metabolisme. Hormon
pertumbuhan (GH) disekresi oleh kelenjar pituitari bagian anterior secara pulsatil
yang distimulasi oleh peptida GH-releasing hormone (GHRH) yang dikeluarkan oleh
hipotalamus serta dapat juga akibat efek inhibisi dari somatostatin. Saat GH sudah
disekresi, nantinya akan bersikulasi di pembuluh darah dan memicu produksi dari
14
IGF-1 dari jaringan terutama pada organ hepar. Hal ini menyebabkan peningkatan
kadar IGF-1 di dalam darah yang nantinya akan memberikan umpan balik negatif ke
kelenjar pituitari untuk menghentikan sekresi GH yang akhirnya akan menurunkan
kadar IGF-1 dalam darah (Roelfsema dan Clark, 2000).
Gambar 2.2 Aksis somatotropik (Roelfsema dan Clark, 2000)
Sintesis dan pelepasan GH oleh kelenjar pituitari dipengaruhi oleh hormon
hipotalamus yaitu GHRH dan somatostatin (SRIF) yang diregulasi oleh umpan balik
negatif dari GH serta IGF-1 di dalam darah. Penelitian terakhir mendapatkan juga
bahwa sebuah peptida bernama Ghrelin juga dapat memicu pelepasan GH secara
15
endogen. Hormon GH yang berada di dalam darah memicu produksi IGF-1 pada
jaringan terutama hepar yang merupakan sumber produksi IGF-1 dalam darah.
Mayoritas dari IGF-1 ini akan berikatan dengan IGF-binding protein-3 (IGFBP-3),
sedangkan sebagian kecil akan berikatan dengan 5 IGFBP lainnya. Insulin-like
Growth Factor-1 (IGF-1) ini juga berpengaruh pada ginjal dimana dapat
meningkatkan aliran plasma ginjal serta Glomelural Filtration Rate (GFR) serta
mempengaruhi perpanjangan piringan epifisis pada tulang yang mempengaruhi
pertumbuhan tulang (Roelfsema dan Clark, 2000).
2.2.3 Insulin-like Growth Factor Binding Protein (IGFBP) dan Insulin-like
Growth Factor Receptor (IGFR)
Insulin-like Growth Factor Binding Protein (IGFBP) adalah protein yang berikatan
dengan IGF dengan afinitas tinggi dan membawa IGF dalam sirkulasi darah ke
jaringan target yang nantinya akan berikatan pada IGFR. Keluarga protein IGFBP
terdiri atas 6 protein yang memiliki struktur yang serupa. Di dalam sirkulasi darah
manusia hampir 80% IGF-1 yang bersirkulasi akan berikatan dengan IGFBP-3
(Laron, 2001). Saat IGF-1 berikatan dengan IGFBP-3 akan membentuk kompleks
dengan acid labile subunit (ALS). Aktivitas dari IGF juga dimodulasi oleh IGFBP
dengan cara berikatan pada IGF-1R melalui 2 mekanisme yaitu melalui ikatan dengan
extracellular matrix (ECM) atau melalui proses proteolisis dari IGFBP. Kedua proses
ini akan menurunkan afinitas IGFBP terhadap IGF sehingga meningkatkan
konsentrasi dari IGF yang aktif (Forbes et al., 2012).
Insulin-like growth factor-1 receptor (IGF-1R) hampir terekspresi di seluruh
jaringan dan sel sejak embryogenesis. Hepar merupakan organ dengan ekspresi ligand
IGF-1 terbesar. Reseptor ini terbentuk atas 2 ekstraseluler subunit α dan
16
transmembran subunit β. Lokasi dimana terjadi ikatan dengan IGF-1 adalah pada
subunit α sedangkan subunit β merupakan lokasi dimana aktivitas tirosin kinase
berada. Ikatan dari IGF-1 pada bagian subunit α pada IGF-1R akan memicu
perubahan konformasi yang mengaktifkan bagian katalisis dari subunit β sehingga
terjadi autofosforilasi tirosin dan transfosforilasi yang meningkatkan aktivitas tirosin
kinase. Proses ini menyebabkan penarikan protein adaptor seperti IRS, CRK dan
SHC. Selanjutnya sinyal ini akan melalui alur MAPK/Ras-Raf-Erk, alur
fosfatidilinositol-3-kinase/AKT/mTOR (PI3K/AKT) dan alur Janus Kinase/signal
transducer and activator of transcription (JAK/STAT). Aktivasi dari IGF-1R ini akan
meningkatkan proliferasi sel serta menurunkan apoptosis (Arnaldez dan Helman,
2012).
Gambar 2.3 Alur sinyal transduksi IGF-1R pada alur PI3K-Akt, ras-raf-MEK-ERK,
dan JAK/STAT (Himpe dan Koojiman, 2009)
2.2.4 IGF-1 dan Sistem Imun
17
Hubungan antara fungsi imun dan IGF-1 masih dalam penelitian sampai saat ini akan
tetapi beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan peran dari GH, IGF-1
dan IGF-1R dalam proses fungsi imun. O’Connor dkk mendapatkan bahwa sitokin
proinflamasi dapat memicu keadaan resistensi terhadap hormon IGF-1, dimana
kebanyakan sitokin ini berbagi komponen dengan IGF-1 seperti pada alur Erk1/2
MAPK (O’Connor et al., 2008).
Peran dari IGF-1 pada fungsi dan perkembangan dari timus, hematopoiesis
dan rekonstitusi fungsi imun juga telah dilaporkan. Peran IGF-1 pada fungsi dan
perkembangan limfosit T memberikan informasi tentang peran protein ini pada
penyakit inflamasi. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa IGF-1 dapat
meningkatkan jumlah sel T imatur CD4+ dan CD8+ pada timus dan limpa mencit,
membantu kelangsungan hidup, proliferasi, kemotaksis dan maturasi dari sel T, serta
mencegah apoptosis. Meskipun mekanisme pasti bagaimana IGF-1 dapat
mempengaruhi sel T ini belum sepenuhnya dimengerti akan tetapi para peneliti
menduga peran dari IL-7 dalam proses ini (Walsh et al., 2002).
Sel B memiliki peran dalam fungsi imun melalui diferensiasi sel plasma yang
mensekresi imunoglobulin, pembentukan sitokin dan presentasi antigen. Insulin-like
Growth Factor-1 (IGF-1) dilaporkan dapat memicu diferensiasi sel B untuk
meningkatkan proliferasi IL-7. Saat diberikan secara in vivo, IGF-1 dapat
meningkatkan jumlah sel B di limpa melalui peningkatan proliferasi sel matur, serta
pengaruhnya pada ekspresi antibodi (Clark, 1997).
Selain sel T dan sel B, ternyata dilaporkan juga makrofag serta granulosit
memiliki sensitifitas tertentu juga terhadap IGF-1 pada reseptor IGF-1R di permukaan
selnya. Didapatkan laporan bahwa IGF-1 dapat memicu apoptosis pada makrofag dan
granulosit. Efek dari IGF-1 terhadap neutrofil juga telah dilaporkan yaitu kemampuan
18
IGF-1 untuk mencegah apoptosis yang dimediasi Fas melalui alur PI3K, sehingga
para peneliti melihat peran IGF-1 pada inflamasi aktif (Smith, 2010).
2.2.5 IGF-1 dan Kusta
Kusta yang dikenal juga sebagai morbus Hansen merupakan penyakit dengan
spektrum bentuk klinis yang dipengaruhi oleh respon imunitas dibawa dan didapat
terutama imunitas seluler. Interaksi antara imunitas dan sistem neuroendokrin
memiliki peran yang besar dalam proses homeostasis imunitas terhadap kondisi stress
dan infeksi (Borghem et al., 2009). Bukti penelitian telah didapatkan bahwa GH/IGF-
1/IGFBP-3 memiliki peran regulasi dalam respon inflamasi dari sistem imun terhadap
infeksi (Perez et al., 2009). Hormon ini dapat mempengaruhi metabolisme seluler
serta berhubungan dengan sitokin serta glukokortikoid. Insulin-like growth factor-1
(IGF-1) bersirkulasi dalam plasma dengan kadar sekitar 150-400 ng/mL dan 80-90%
akan berikatan dengan IGFBP-3 yang akan membawa IGF-1 ke reseptor target. Oleh
karena kusta sangat dipengaruhi oleh reaksi inflamasi dan respon imun, IGF-1
mungkin memiliki peran dalam spektrum kusta yang terkena serta risiko untuk
terjadinya reaksi kusta (Clemmons, 2007; Elmlinger et al., 2008).
Pada beberapa penelitian mendapatkan bahwa sel Schwann memiliki
kemampuan untuk menseksresi beberapa faktor pertumbuhan seperti IGF, Platelet-
derived growth factors-BB (PDGF-BB) serta neurotrophin-3 (NT-3) yang dapat
menginhibisi kematian sel (Meier et al., 1999; Syroid et al., 1999). Pada penelitian
yang dilakukan oleh Rodrigues dkk mendukung data ini dengan mendapatkan bahwa
M.leprae memicu IGF-1 dan IGF-2 pada sel Schwann yang tidak didapatkan pada
pasien kontrol atau pada kelompok dengan M. smegmatis atau BCG. Ekspresi dari
19
IGF-1 ini dipercaya dapat membantu dalam kelangsungan hidup M.leprae di dalam
sel Schwann (Rodrigues et al., 2009).
Silva dkk melakukan penelitian efek IGF-1 terhadap infeksi kusta dan
mendapatkan bahwa kadar ekspresi IGF-1 pada lesi dermis pasien kusta berkorelasi
dengan keparahan infeksi. Berdasarkan fungsinya makrofag dibagi atas 2 yaitu M1
yang terlibat dalam pertahanan pejamu serta M2 yang berperan dalam penyembuhan
luka dan regulasi imun. Pada kusta makrofag merupakan salah satu dari sel target
M.leprae, dimana makrofag yang terinfeksi kuman M.leprae menjadi resisten
terhadap aktivasi IFN-γ (Silva et al., 2016).
Insulin-like growth factor 1 (IGF-1) memiliki efek terhadap ekspresi inducible
nitric oxide synthase (iNOS) dan produksi nitric oxide (NO). Pada penelitian yang
dilakukan pada pelepasan NO dan iNOS pada makrofag yang terinfeksi M.leprae dan
didapatkan bahwa IGF-1 mampu untuk menurunkan pembentukan NO dan iNOS
pada makrofag yang merupakan salah satu dari proses antimikroba, sehingga
berpengaruh pada kelangsungan hidup kuman M.leprae intraseluler (Silva et al.,
2016).
Gambar 2.4 Peran IGF-1 pada makrofag yang terinfeksi M.leprae (Silva et al., 2016)
20
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rodrigues dkk pada kadar IGF-1 yang
bersirkulasi dengan status penyakit kusta didapatkan bahwa kadar IGF-1 lebih rendah
pada pasien BL/LL yang belum mendapatkan terapi MDT dibandingkan dengan
kelompok pasien BT dan kontrol sehat. Pada kelompok BL dan LL ini didapatkan
sekitar 75-83.3% memiliki kadar serum IGF-1 dibawah normal. Rodrigues dkk juga
melakukan pemeriksaan kadar IGF-1 pada kelompok pasien LL yang telah selesai
mendapatkan terapi dan didapatkan bahwa kadar IGF-1 pada pasien ini lebih tinggi
dibandingkan sebelum terapi bahkan setelah 3-5 tahun pasca selesai terapi MDT.
Pengukuran dari kadar IGF-1 serum juga dinilai pada pasien LL yang mengalami
reaksi ENL selama pengobatan dan didapatkan bahwa pada kelompok ini saat tidak
didapatkan reaksi memiliki kadar IGF-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok LL yang tidak pernah mengalami reaksi. Akan tetapi kadar IGF-1 yang
diperiksa pada kelompok ini saat sedang terjadi reaksi ENL didapatkan penurunan
yang signifikan hampir mendekati kadar pada pasien LL tanpa reaksi. Pada pasien
dengan reaksi reversal didapatkan kadar IGF-1 yang meningkat saat dalam kondisi
reaksi, yang berbeda apabila dibandingkan dengan pasien ENL yang didapatkan
penurunan saat reaksi (Rodrigues et al., 2011).
Peneliti menemukan bahwa kadar IGF-1 serum yang rendah pada pasien LL
yang tidak mengalami reaksi serupa dengan kondisi lain seperti sepsis. Hal yang
diketahui adalah pada sepsis respon inflamasi akan diikuti oleh perkembangan kondisi
hipo-inflamasi dan gangguan respon imun yang membuat tubuh tidak dapat
mengeradikasi infeksi. Kondisi ini disebabkan oleh aktivasi yang berlebihan dari aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) oleh sitokin pro-inflamasi yang berlebihan dan
jangka panjang. Hal ini akan memicu sekresi glukokortikoid perifer dan menginhibisi
sintesis IGF dari hepar. Kondisi ini mungkin dapat menjelaskan mengapa kadar IGF-1
21
pada pasien LL lebih rendah dibandingkan kelompok tuberkuloid dimana pada
penelitian lainnya IGF-1 ditemukan sebagai faktor yang dapat melindungi kuman
M.leprae dari respon imun (Rodrigues et al., 2011).