bab ii carol a miler
DESCRIPTION
Carol A Miller konsep menuaTRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan tentang konsep lansia, konsep teori
keperawatan konsekuensi fungsional, konsep keseimbangan postural, konsep
latihan keseimbangan, konsep pemeriksaan keseimbangan Berg Balance Scale
(BBS) Orem.
2.1 Konsep Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan–lahan
kemampuan jaringan untuk mamperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Darmojo, 2006). Sedangkan menurut Hawari (1999), lansia adalah keadaan yang
ditandai oleh kegagalan dari seseorang mempertahankan keseimbangan terhadap
kondisi stress fisiologik. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya
kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual.
2.1.2 Batasan Lansia
Berikut adalah batasan lansia (Nugroho, 2000):
1. Menurut WHO (World Health Organization)
1. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun.
2. Lanjut usia (elderly) : 60-74
tahun.
3. Lanjut usia tua (old) : 75-90
tahun.
4. Usia sangat tua (very old) : diatas 90
tahun.
4
2. Menurut UU No.13 th 1998
Dalam BAB I pasal 1 ayat 2 berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas”.
3. Birren and Jenner (1977) mengusulkan untuk membedakan antara usia
biologis, usia psikologis, dan usia sosial.
1) Usia Biologis.
Usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada
dalam keadaan hidup tidak mati.
2) Usia Psikologis.
Usia yang menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan
penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya.
3) Usia Sosial.
Usia yang menunjuk kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan
masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan usianya.
2.1.3 Perubahan fisiologis yang terjadi pada lanjut usia
Pada lansia terjadi perubahan pada hampir semua aspek, adapun
perubahan sistem yang mempengaruhi keseimbangan adalah :
1. Sistem Persyarafan
Berat otak menurun 10-20%. Terjadi perubahan neurobehavioral seperti
perubahan motorik yang melambat sehingga respon terhadap perubahan
keseimbangan menurun, berkurangnya fungsi sensori perifer sehingga terjadi
perlambatan omset laten dorsofleksor ankle dan perubahan pada respon otot. Hal
ini menyebabkan otot proksimal teraktivasi dahulu yang akan mengganggu proses
keseimbangan. Perubahan motorik disebabkan banyak faktor melibatkan sistem
syaraf pusat dan perifer termasuk berkurangnya rasa posisi, kelemahan otot dan
perubahan skeletal (Kane RL, 1994).
5
3. Sistem Vestibuler
Pada sistem vestibuler, terjadi degenerasi sel – sel rambut dalam macula
sebesar 40% dan sel saraf. Proses degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler
dapat menyebabkan vertigo posisional dan ketidakseimbangan waktu berjalan
(Alonso JA, 1994).
4. Sistem Penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan yang menyebabkan gangguan
keseimbangan adalah adanya penurunan cahaya yang dihantarkan ke retina,
sehingga ambang visual meningkat dan daya adaptasi terang gelap menurun.
Penurunan tajam penglihatan terjadi karena katarak, degenerasi makuler dan
penglihatan perifer menghilang.
5. Sistem Kardiovaskuler
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi
kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%.
Pembuluh darah kapiler mengalami perubahan elastisitas dan permeabilitas.
Penurunan sensitivitas baroreseptor menyebabkan hipotensi postural, begitu juga
aritmia dan drop attacks semua itu secara tidak langsung mengganggu
keseimbangan pada lansia (Thompson, 2000).
6. Sistem Respirasi
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya
aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu
meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun,
dan kedalaman bernafas menurun. Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan
jumlahnya berkurang, O2 pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, kemampuan
untuk batuk berkurang, penurunan kekuatan otot pernafasan.
7. Sistem Muskuloskeletal.
6
Faktor muskuloskeletal merupakan faktor yang berperan besar terhadap
kejadian jatuh pada lansia. Perubahan fungsional pada lanjut usia berupa
kehilangan lean muscle mass, atrofi otot dan penurunan kekuatan otot.
Pada lanjut usia ukuran otot mengecil dan penurunan massa otot lebih
banyak terjadi pada ekstremitas bawah. Sel otot yang mati digantikan oleh
jaringan ikat dan lemak. Serabut fast twich tipe II berkurang lebih cepat daripada
tipe I. Pada myoneural junction terjadi penurunan jumlah motor unit dan serabut
bermyelin (Thompson, 2000) .
Kekuatan yang dihasilkan otot menurun dengan bertambahnya usia.
Kekuatan otot ekstremitas bawah berkurang sebesar 40% antara usia 30 sampai 80
tahun. Hal ini lebih berat terjadi pada lansia di panti dengan riwayat jatuh.
Ketahanan otot untuk berkontraksi secara berkesinambungan pada tingkat sub
maksimal menurun. Namun penurunan ketahanan lebih kecil daripada kekuatan
otot.
Penurunan lingkup gerak sendi dan fleksibilitas spinal menyebabkan
postur fleksi atau bungkuk yang merupakan karakteristik pada lansia. Kondisi lain
seperti artritis dan nyeri dapat menyebabkan berkurangnya lingkup gerak sendi
yang berakibat pada gangguan keseimbangan.
Fleksibilitas jaringan menurun sebesar 20 – 30% pada lanjut usia akibat
perubahan jaringan pengikat pada tendon, kapsul sendi, otot dan ligamen.
Perubahan dalam struktur kolagen dan peningkatan anyaman serat elastin yang
terjadi menyebabkan hilangnya fleksibilitas (Alonso JA, 1994).
2.2 Konsep Teori Keperawatan Konsekuensi Fungsional (Miller CA, 1995 )
Teori ini menyatakan bahwa lansia mengalami konsekuensi fungsional
karena perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko tambahan. Dengan
tidak adanya intervensi, akan terjadi banyak konsekuensi fungsional yang negatif,
namun dengan intervensi konsekuensi fungsional dapat menjadi positif.
7
Konsekuensi fungsional adalah efek dari tindakan, faktor risiko, dan
perubahan yang mempengaruhi kualitas kehidupan atau kegiatan sehari-hari lansia
berkaitan dengan usia.
Faktor risiko dapat berasal dari lingkungan, pengaruh fisiologis dan
psikososial. Konsekuensi fungsional yang positif akan terjadi jika memfasilitasi
tingkat kinerja tertinggi. Sebaliknya, konsekuensi fungsional yang negatif akan
terjadi jika lansia mengalami ketergantungan atau penurunan kualitas hidup .
Konsekuensi fungsional negatif biasanya terjadi karena kombinasi dari perubahan
yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko misalnya kinerja visual terganggu.
Selain itu konsekuensi fungsional negatif juga dapat disebabkan oleh intervensi
yang yang merupakan faktor risiko dari tindakan. Contoh konsekuensi fungsional
disebabkan oleh respon negatif adalah sembelit yang dihasilkan dari obat
antidepresant. Dalam hal ini, obat ini sebagai intervensi untuk depresi dan faktor
risiko yang didapat adalah gangguan fungsi usus.
Konsekuensi fungsional positif biasanya disebabkan oleh intervensi yang
diprogramkan. Sering kali, lansia membawa konsekuensi fungsional positif
ketika mereka mengimbangi perubahan yang berkaitan dengan usia tanpa
disengaja. Misalnya, lansia dapat meningkatkan jumlah cahaya untuk membaca
atau mulai memakai kacamata hitam tanpa menyadari bahwa tindakan ini adalah
kompensasi untuk perubahan yang berkaitan dengan usia. Dalam kasus lain,
intervensi yang dimulai sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang dirasakan.
Pada contoh di atas akan lebih baik kemungkinan hasil intervensi yang disengaja,
seperti perubahan lingkungan atau operasi katarak.
2.2.1 Komponen Teori Konsekuensi Fungsional
1. Konsekuensi fungsional : efek dari tindakan, faktor risiko dan perubahan
yang berkaitan dengan usia yang mempengaruhi kualitas hidup dan
kegiatan sehari-hari lansia.
2. Konsekuensi fungsional negatif : semua hal yang dapat mempengaruhi
tingkat ketergantungan atau kualitas hidup lansia.
3. Konsekuensi fungsional positif : segala hal yang dapat meningkatkan
kualitas hidup lansia atau menurunkan tingkat ketergantungan lansia.
8
4. Perubahan yang berkaitan dengan usia : perubahan yang progresif dan
ireversibel, yang terjadi selama proses kehidupan dan kondisi ekstrinsik
yang independen atau patologis.
5. Faktor risiko: kondisi yang meningkatkan kerentanan lansia terhadap
konsekuensi fungsional negatif. Faktor-faktor risiko tersebut adalah
penyakit, obat-obatan, lingkungan, gaya hidup, sistem pendukung,
keadaan psikososial dan sikap berdasarkan kurangnya pengetahuan.
6. Individu : individu yang kemampuan fungsionalnya dipengaruhi oleh
perubahan yang berhubungan dengan usia dan faktor risiko. Ketika lansia
dipengaruhi oleh perubahan yang berhubungan dengan usia dan faktor
risiko mereka bergantung pada individu lain untuk kebutuhan sehari-hari,
pemberi asuhan dianggap sebagai pendekatan integral untuk keperawatan
gerontik.
7. Tujuan keperawatan gerontik : meminimalkan dampak negatif dari
perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko, serta
mempromosikan dampak fungsional positif. Hal ini dilakukan melalui
proses keperawatan, dengan menekankan interaksi antara lansia dan
pemberi perawatan pada lansia yang tergantung untuk menghilangkan
faktor risiko atau meminimalkan efek yang terjadi.
8. Kesehatan: kemampuan lansia berfungsi pada kapasitas penuh, meskipun
terdapat perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko. Tingkat
kesehatan ini mempertimbangkan kualitas kehidupan individu dan
termasuk fungsi psikososial dan fisiologis.
9. Lingkungan: kondisi eksternal termasuk pemberi asuhan yang
mempengaruhi fungsi lansia. Kondisi ini merupakan faktor risiko ketika
lingkungan mengganggu peningkatan fungsi.
2.2.2 Asumsi Dasar Teori Konsekuensi Fungsional
Perubahan yang terkait usia dan faktor risiko merupakan konsep penting
bagi teori konsekuensi fungsional karena membedakan aspek perawatan lansia
dari perawatan populasi lainnya. Selain itu, penting untuk membedakan antara
perubahan yang berhubungan dengan usia dan faktor risiko serta perubahan usia-
9
berkaitan dengan intervensi faktor risiko yang berbeda. Hal ini tidak mungkin
untuk memodikasi efek dari perubahan terkait usia, tetapi mungkin untuk
mengkompensasi efek perubahan yang terjadi sehingga terjadi konsekuensi
fungsional yang positif. Sebaliknya, faktor risiko sering dapat dimodifikasi dan
dampaknya dapat diminimalkan melalui intervensi. Yang penting adalah bahwa
perubahan yang berkaitan dengan usia harus dibedakan dari faktor risiko,
sehingga pendekatan intervensi yang tepat dapat dilakukan.
Kerangka kerja yang dikembangkan oleh perawat adalah membantu dalam
memahami perbedaan antara perubahan fungsional dan faktor risiko. Risiko
dikonseptualisasikan sebagai faktor lingkungan yang berpotensi menimbulkan
gangguan, termasuk yang berada di sekitar lansia baik langsung atau tidak
langsung. Rose dan Killien menyarankan bahwa salah satu implikasi dari model
ini adalah bahwa intervensi untuk meningkatkan kondisi kesehatan dapat
diarahkan untuk mengurangi risiko perubahan tingkat kerentanan seseindividu.
Mereka menyarankan bahwa sering kali lebih layak untuk memodifikasi
lingkungan daripada mengubah tingkat seseorangtentang kerentanan, terutama
jika kerentanan tersebut terutama disebabkan faktor genetik atau konstitusional.
Meskipun teori mereka berfokus pada modifikasi faktor risiko, mereka juga
menekankan bahwa tingkat kerentanan tidak statis. Perspektif ini kongruen
dengan pendekatan fungsional terhadap konsekuensi keperawatan gerontik.
1. Individu
Mendasari konseptualisasi konsekuensi fungsional individu sebagai fokus
asuhan keperawatan adalah teori keperawatan Imogene King (1981). Individu
menurut teori King adalah makhluk rasional dan sosial, makhluk yang
menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan pikiran, tindakan, kebiasaan dan
keyakinan. Selanjutnya, mereka ditandai dengan kemampuan untuk merasa,
berpikir, merasa, menetapkan tujuan, membuat keputusan, memilih antara
program alternatif tindakan, dan cara pilih untuk mencapai tujuan. Karena mereka
memiliki karakteristik ini, mereka bereaksi. Perspektif ini relevan dengan teori
konsekuensi fungsional karena penekanannya pada kemampuan individu yang
bertanggung jawab untuk mengembangkan dan mencapai tujuan. Dalam
10
konsekuensi fungsional lansia dipandang mempunyai kemampuan mencapai
konsekuensi fungsional positif, meskipun perubahan usia dan faktor risiko yang
terkait. Selanjutnya, lansia dipandang sebagai individu yang unik yang mampu
mencapai fungsional positif. Teori konsekuensi fungsional didasarkan pada
pendekatan holistik untuk perawatan, yang dilihat lansia sebagai individu yang
unik dan kompleks, yang dipengaruhi oleh hubungan antara faktor internal dan
eksternal.
Menurut teori konsekuensi fungsional, seseorangdianggap lansia ketika ia
mewujudkan satu atau lebih konsekuensi fungsional yang timbul dari perubahan-
perubahan terkait umur dalam diri mereka sendiri atau dalam kombinasi dengan
faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan usia.
Lansia hidup di lingkungan yang akan secara aktif berpengaruh terhadap
kondisinya. Hal ini penting bagi lansia , karena sebagian besar gangguan
fungsional seseorangdapat mempengaruhi sumber daya pendukung. Ketika terjadi
fungsional negatif karena lansia sangat tergantung pada individu lain untuk
kebutuhan sehari-hari, maka perawat dapat memberikan asuhan keperawatan.
2. Keperawatan
Menurut teori konsekuensi fungsional, tujuan keperawatan gerontik adalah untuk
meminimalkan dampak merugikan konsekuensi fungsional dan meningkatkan
fungsi positif pada lansia. Melalui proses perubahan keperawatan yang
berhubungan dengan usia dan faktor risiko intervensi direncanakan dan
diimplementasikan dan dievaluasi hasil fungsional. Seringkali, tujuan ini dicapai
melalui pendidikan pada lansia dan pemberi asuhan pada lansia tergantung pada
intervensi yang akan dilaksanakan. Aspek pendidikan yang sangat penting ketika
pandangan dan kesalahpahaman berkontribusi konsekuensi fungsional negatif.
3. Kesehatan
Konsekuensi fungsional mendefinisikan kesehatan sebagai kemampuan lansia
berfungsi pada kapasitas penuh, meskipun adanya perubahan yang berkaitan
dengan usia dan faktor risiko. Ini meliputi fungsi psikososial, fisiologis dan juga
kualitas hidup individu. Oleh karena itu, menurut teori kesehatan ditentukan
11
secara individual, berdasarkan pada kemampuan fungsional yang dianggap
penting.
Gambar 2.1 Kerangka konseptual Teori Konsekuensi Fungsional Carol A Miller
(1995)
2.2.3 Aplikasi Teori Konsekuensi Fungsional Pada Masalah Mobilisasi
1. Perubahan yang terkait usia :
1) Massa otot berkurang
2) Perubahan degeneratif jaringan ikat
3) Osteoporosis
4) Perubahan dalam sistem saraf pusat
2. Konsekuensi fungsional negatif
1) Kekuatan otot berkurang, daya tahan dan koordinasi
2) Keterbatasan rentang gerak sendi
3) Meningkatkan kerentanan untuk jatuh
4) Meningkatkan kerentanan untuk fraktur
3. Faktor resiko
1) Resiko osteoporosis: jenis kelamin perempuan, usia lanjut, imobilitas,
asupan kalsium tidak memadai, tulang kecil, ketipisan
Interventions
Positive Functional Consequences
Negative Functional Additional
Consequences Risk factors
Age-Related
Changes
Assessment
12
2) Resiko untuk jatuh dan patah tulang: osteoporosis, perubahan usia yang
berhubungan dengan fungsi sensorik, dan sistem saraf pusat, kondisi
medis, obat, depresi, dimentia , dampak lingkungan
4. Pengkajian pada sistem muskuloskeletal
1) Apakah lansia mempunyai kesulitan dalam beraktivitas berkaitan dengan
kekakuan sendi?
2) Apakah lansia mengeluh nyeri pada sendi?
3) Apakah lansia mengalami kesulitan untuk berjalan atau berpindah?
4) Apakah lansia perlu alat bantu untuk berjalan?
5) Apakah ada aktivitas yang tidak bisa anda laksanakan karena anda
kesulitan berpindah?
6) Apakah lansia berolah raga?
7) Observasi gaya berjalan
8) Observasi kemampuan fungsional lansia
5. Intervensi
1) Olah raga ringan setiap hari
2) Asupan nutrisi yang memadai
3) Modifikasi lingkungan
2.3 Konsep Keseimbangan Postural
2.3.1 Definisi
Keseimbangan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memelihara pusat
dari massa tubuh agar tetap berada pada landasan penopang (Shumway-Cook &
Woollacott, 2001).
2.3.2 Klasifikasi Keseimbangan Postural
Keseimbangan Postural diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Keseimbangan statik.
13
Keseimbangan statik adalah suatu keadaan dimana individu dapat
memelihara keseimbangan tubuhnya pada suatu posisi tertentu selama jangka
waktu tertentu.
2. Keseimbangan dinamik.
Keseimbangan dinamik merupakan keseimbangan pada saat tubuh
melakukan gerakan atau saat berdiri di atas landasan yang bergerak (dynamic
standing) yang akan menempatkannya dalam kondisi yang tidak stabil, dan pada
keadaan ini kebutuhan akan kontrol keseimbangan postural semakin meningkat
(Chandler J, 2000).
2.3.3 Fisiologi Keseimbangan
Tugas pokok keseimbangan adalah membatasi stabilitas atau memelihara
pusat gravitasi tubuh (center of gravity/ COG) yang berlokasi di anterior dari
vertebra sakralis kedua, diatas dasar penyanggah (base of support/ BoS) yaitu
area disekeliling kaki yang jaraknya antara kaki ketika berdiri sekitar 5 – 10cm.
Berikut adalah ilustrasi dari pusat massa tubuh (center of body mass/ CoM) dalam
hubungan dengan dasar penyanggah dalam keadaan berdiri normal (a) dan
menggunakan alat bantu (b).
Keseimbangan atau kontrol postural adalah suatu proses – proses yang
rumit yang meliputi mekanisme afferen atau sistem sensoris (visual, vestibuler
dan proprioseptif) dan mekanisme efferen atau sistem motorik (kekuatan otot –
otot anggota gerak atas dan bawah dan fleksibilitas sendi). Respon – respon
afferen dan efferen diatur melalui mekanisme pusat atau fungsi SSP yang
menerima dan mengatur informasi sensoris dan respon program sistem motorik
yang tepat (Chandler, J, 2000). Keseimbangan diatur oleh 3 hal pokok yaitu
mekanisme afferen, mekanisme efferen dan SSP, adapun penjelasannya adalah :
1. Mekanisme Afferen
14
Sistem visual memberikan informasi mengenai tempat dan jarak obyek
dalam lingkungannya, tipe permukaan stabil atu tidak stabil dimana gerakan akan
dilakukan dan posisi bagian tubuh dalam hubungan dengan faktor tersebut dan
dengan lingkungan sekitarnya. Saat berdiri penglihatan membantu merasakan
perubahan postur dengan memberikan informasikan ke SSP tentang gerakan –
gerakan dan posisi bagian tubuh dalam hubungan dengan lingkungan luar.
Komponen fungsi visual dianggap penting untuk keseimbangan statik dan
dinamik, sensitivitas kontras, persepsi dalam dan penglihatan perifer. Input
proprioseptif timbul dari reseptor – reseptor otot dan tendon, mekanoreseptor
persendian dan reseptor tekanan dalam pada aspek plantar kaki juga menyediakan
data sensoris penting untuk kontrol postural. Proprioseptif mensuplai tubuh
dengan informasi pada lingkungan yang tiba – tiba, memungkinkan tubuh
berorientasi sendiri apakah berdiri atau bergerak berkenaan dengan sandaran atau
permukaan tanah dan dalam relasi dengan bagian tubuh (Tideiksar, 1998)
Sistem vestibuler bekerja bersama dengan sistem visual dan proprioseptif
untuk mencapai keseimbangan. Sistem vestibuler terdiri dari tiga bagian :
komponen sensoris perifer, komponen pengolahan pusat dan komponen kontrol
motorik (Tideiksar, 1998). Sistem ini mendeteksi gerakan kepala dan orientasinya
dalam ruang. Sistem ini memberikan informasi posisi dan gerakan kepala ke SSP
lewat otolis dan kanalis semisirkularis. Input vestibuler digunakan untuk
membangkitkan kompensasi gerakan mata dan respon postural selama gerakan –
gerakan kepala dan membantu memecahkan konflik informasi dari kesan visual
dan gerakan sebenarnya. Informasi dari reseptor sensoris dalam organ vestibuler
berinteraksi dengan penglihatan dan informasi somatosensoris menghasilkan
alignment tubuh yang tepat dan kontrol postural. Aktifitas ini dipicu oleh sel – sel
sensoris khusus yang berlokasi dalam kanalis semisirkularis dan otolit, dipersarafi
oleh cabang saraf kranial ke VIII. Komponen pengolahan pusat (pons dan
serebellum) menerima dan menggabungkan tanda – tanda ini lalu
mengkombinasikannya dengan input visual dan proprioseptif, mengirim informasi
ini ke komponen motorik. Sebagai jawaban dua refleks penting digunakan oleh
tubuh untuk mengatur kontrol postural ; reflek vestibulo-okular (VOR) dan reflek
vestibulospinal /VSR ( Chandler,J, 2000).
15
VOR mengontrol stabilitas okuler (menjaga mata tetap pada lapang
pandang) dan orientasi dari gerakan kepala. Tanpa refleks ini, gambaran
penglihatan akan berubah setiap kepala digerakkan walaupun hanya sedikit. VSR
mempengaruhi otot – otot kerangka di leher, batang tubuh dan anggota gerak dan
membangkitkan kompensasi gerakan tubuh dengan mempertahankan kepala dan
kontrol postural. VOR dan VSR dimonitor oleh komponen pengolahan sentral dan
disesuaikan dengan kebutuhan. Sistem vestibuler membantu memecahkan konflik
informasi sensoris ketika input visual dan proprioseptif memberikan umpan balik
yang tidak akurat (Tideiksar, 1998).
2. Mekanisme efferen
Tugas utama dari sistem efektor adalah mempertahankan pusat gravitasi
tubuh/Center of Gravitation (COG). Dimana tugasnya meliputi duduk, berdiri,
atau berjalan. Dalam posisi berdiri respon motor (effector) mempertahankan atau
menyokong sikap dan keseimbangan, yang disebut muscle synergis (Guccione,
2000). Gerakan dilakukan oleh suatu kelompok sendi dan otot dari kedua sisi
tubuh, maka komponen efektor yang normal harus ada supaya dapat melakukan
gerakan keseimbangan postural yang normal. Komponen efektor yang dibutuhkan
adalah LGS (Lingkup Gerak Sendi), kekuatan dan ketahanan (endurance) dari
kelompok otot kaki, pergelangan kaki, lutut, pinggul, punggung, leher, dan mata.
Gangguan pada komponen efektor akan mempengaruhi kemampuan dalam
mengontrol postur sehingga akan terjadi gangguan keseimbangan postural
(Suhartono, 2005).
3. Sistem Saraf Pusat (SSP)
Sistem ini dibutuhkan dalam memelihara respon postural. Central Nerves
System (CNS) melalui jaras-jarasnya menerima informasi sensoris perifer dari
sistem visual, vestibular, dan proprioseptif di gyrus post central lobus parietal
kontralateral. Selanjutnya informasi ini diproses dan diintegrasikan pada semua
tingkat sistem syaraf. Akhirnya dalam waktu latensi ± 150 m/det akan terbentuk
suatu respon postural yang benar secara otomatis dan akan diekspresikan secara
mekanis melalui efektor dalam suatu rangkaian pola gerakan tertentu. Tetapi pada
aktivitas dengan pola baru yang belum pernah disimpan dalam otak, maka reaksi
16
keseimbangan tubuh perlu dipelajari dan dilatih sampai reaksi tersebut dapat
dilakukan dengan tanpa perlu berpikir lagi.
2.3.4 Pengaruh usia pada keseimbangan
Penyebab usia berkaitan dengan dengan kemunduran keseimbangan adalah
berhubungan dengan kombinasi dari menurunnya input sensoris, respon motorik
yang lambat dan keterbatasan muskuloskeletal. Sebagaimana dibuktikan dengan
penurunan sensasi vibrasi kutaneus dan rasa posisi sendi ekstremitas bawah, input
proprioseptif telah dibuktikan mengalami kemunduran dengan meningkatnya usia.
Penelitian telah membuktikan hubungan antara kemunduran input proprioseptif
dan peningkatan lenggang postural meskipun hasilnya bervariasi (Tideiksar, M,
1998).
Sistem vestibuler adalah subyek dari sejumlah perubahan yang bertalian
dengan usia. Penelitian telah memperlihatkan sekitar 20% kemunduran sel – sel
rambut dalam otolit dan 40% berkurangnya sel – sel rambut dalam kanalis
semisirkularis setelah usia 70 tahun. Meskipun ini mengalami perubahan
pengaruh usia berhubungan dengan kemunduran vestibuler terhadap kontrol
postural tidak menentu. Peran sistem vestibuler dalam memelihara keseimbangan
sulit ditetapkan karena sistem ini hanya melengkapi satu bagian dari input yang
diperlukan.
Koordinasi dan pelaksanaan dari strategi kontrol postural dipengaruhi usia.
Permulaan respon muskuler postural atau latensi (kecepatan aktifitas otot kaki
bagian bawah) terhadap perpindahan keseimbangan telah terjadi penurunan
kecepatan sekitar 20 – 30 milidetik pada lansia sehat. Keterlambatan dalam
permulaan volunter aktifitas otot postural dalam respon terhadap antisipasi
gangguan keseimbangan dipengaruhi oleh penurunan deKingt perhatian.
Peningkatan usia menyebabkan terjadi kemunduran kekuatan pada otot
ekstremitas bawah. Otot yang mengalami penurunan adalah otot – otot
antigravitasi seperti quadriceps, ekstensor hips dan dorsifleksor pergelangan kaki.
Terdapat hubungan antara kekuatan ekstremitas bawah dan keseimbangan.
17
Adanya kemunduran dalam kekuatan otot dan fleksibilitas sendi pada ekstremitas
bawah menyulitkan pelaksanaan strategi postural.
Hilangnya keseimbangan dan selanjutnya terjatuh disebabkan oleh banyak
hal dari kegagalan ketiga sistem penanggung jawab mekanisme dasar untuk
memelihara keseimbangan tubuh yaitu disfungsi vestibuler, masalah visual dan
proprioseptif yang buruk (Marina, 2005).
Kelemahan otot – otot ekstremitas bawah telah diidentifikasi sebagai
faktor resiko yang memperbesar untuk jatuh pada lansia. Keseimbangan dan
kekuatan otot memburuk sesuai pertambahan usia dan telah dibuktikan bahwa
menurunnya kemampuan untuk membangkitkan kekuatan pada otot – otot
ekstremitas bawah memperbesar gangguan keseimbangan.
2.4 Konsep Latihan Keseimbangan
Latihan pada lanjut usia memegang peran penting dalam memelihara
tingkat kapasitas fungsional. Jatuh yang disebabkan kelemahan otot ekstremitas
bawah dapat dicegah dengan latihan penguatan otot, meningkatkan ketahanan
otot, mempertahankan dan memperbaiki postur gerak sendi dan kompetensi
postural. Latihan yang teratur telah terbukti memberikan perbaikan pada
kardiovaskuler, metabolik, endokrin dan kesehatan psikologis.
Latihan penguatan dapat menghasilkan 25 sampai 100% pencapaian
kekuatan pada usia lanjut dengan cara hipertrofi otot dan peningkatan motor unit
recruitment. Kekuatan merupakan faktor intrinsik dalam melaksanakan aktivitas
sehari – hari bagi lanjut usia. Perbedaan kecepatan berjalan pada lanjut usia
berhubungan dengan kekuatan kaki maka dengan peningkatan kekuatan akan
memperlihatkan perbaikan ketahanan berjalan dan kemampuan naik tangga.
Kriteria gerakan latihan untuk meningkatkan keseimbangan pada lansia adalah
gerakan propulsif baik pada bidang horizontal maupun vertikal dan aktivitas yang
melibatkan ketahanan serta gerakan berpindah cepat seperti dalam gerakan
spesifik ambulasi, jogging, dansa aerobik dan gerakan sit to stand.
18
Latihan keseimbangan merupakan aktivitas fisik yang dilakukan untuk
meningkatkan kestabilan tubuh dengan meningkatkan kekuatan otot ekstremitas
bawah. Pada penelitian ini latihan keseimbangan dilaksanakan dengan olah
pernapasan sehingga diharapkan keadaan fisik lansia meningkat. Olah napas yang
tepat dan benar dapat meningkatkan kebugaran dan kesehatan tubuh.
Dalam kehidupan sehari hari kebanyakan individu hanya menggunakan
20-30% dari kapasitas paru parunya untuk bernapas. Mayoritas individu
melakukan pernapasan pendek – pendek. Cara bernapas seperti ini mengakibatkan
paru paru tidak bekerja maksimal. Sebagian besar kapasitas paru paru tidak
terpakai. Bagian paru paru yang jarang digunakan lama kelamaan menjadi rusak
dan tidak mampu lagi mensuplai oksigen kedalam darah. Napas menjadi sesak
dan pendek, badan menjadi cepat lelah, suplai oksigen keseluruh bagian tubuh jadi
berkurang. Akibatnya tubuh menjadi lemah dan rentan terhadap berbagai
penyakit. Individu yang tidak melatih cara bernapas dengan baik dan benar pada
usia diatas 40 tahun kondisi tubuhnya menurun dan mudah dihinggapi berbagai
penyakit.
Tehnik yang dilakukan adalah tarik napas sedalam mungkin dimulai
dengan menggembungkan perut, kemudian dada dikembangkan dan pundak
diangkat keatas. Kemudian hembuskan napas dimulai dengan mengempiskan
perut dilanjutkan dengan menurunkan dada dan pundak. Ketika menarik napas
individu akan merasakan bahwa seluruh ruang paru-paru dipenuhi oleh udara, dan
sebaliknya ketika menghembuskan napas paru - paru akan dikosongkan dengan
sempurna.
2.4.1 Gerakan Keseimbangan
Gerakan latihan keseimbangan terdiri dari 5 macam gerakan, yaitu hip
extension, partial squats, knee extension,walk heel to toe dan single stamb with
chair (Eldergym Senior Fitness 2009, Senior Planning Services, 2010). Gerakan-
gerakan ini berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot pada anggota tubuh
bagian bawah (lower-exercise) yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
keseimbangan postural pada lansia .
19
1. Hip extension
Tujuan : memperkuat otot pantat dan punggung
1. Berdiri dengan jarak ± 30 cm dari kursi.
2. Ambil nafas perlahan dari hidung dan gerakkan kaki kanan ke arah
belakang (kaki sampai pinggang dalam keadaan lurus) perlahan.
3. Pertahankan posisi.
4. Perlahan kembalikan kaki pada posisi semula dan menghembuskan nafas
dari mulut.
5. Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali.
6. Ulangi pada kaki kiri.
Gambar 2.3 Hip extension
2. Partial squats
Tujuan : Menguatkan otot – otot kaki dan pantat untuk mempermudah
berjalan, memperbaiki keseimbangan.
1. Berdiri tegak, dengan tangan berpegangan pada kursi.
20
2. Ambil nafas perlahan dari hidung lalu tekuklah lutut semaksimal mungkin,
kurang lebih 450 tanpa menimbulkan rasa nyeri .
3. Kembali ke posisi semula dan hembuskan nafas dari hidung
4. Ulangi gerakan 10 kali
Gambar 2.4 Partial Squats
3.Knee extension
Tujuan : Menguatkan otot paha untuk memperbaiki kemampuan berjalan,
kecepatan bangun dari kursi
1. Posisi duduk tegak
2. Ambil nafas perlahan dari hidung
3. Perlahan – lahan angkat kaki kanan lurus ke depan
4. Kembali ke posisi semula sambil menghembuskan nafas dari mulut
5. Lakukan gerakan10 kali
6. Ulangi gerakan pada kaki kiri
21
Gambar 2.5 Knee extension
4. Berjalan dengan ujung jari kaki menyentuh mata kaki
Tujuan : Meningkatkan keseimbangan
1. Mulai dengan berdiri dimana satu kaki berada di depan
2. Ambil nafas perlahan dari hidung, mulailah melangkah lurus
3. Langkahkan kaki kiri didepan kaki kanan bergantian sampai 5 langkah
kembali ke posisi semula
Gambar 2.6 Walk heel to toe
5. Berdiri satu kaki dengan berpegangan
Tujuan : meningkatkan keseimbangan
22
1. Berdiri di samping kursi dan berpegangan
2. Mulai berdiri dengan satu kaki dan ambil nafas perlahan dari hidung 4 kali
hitungan lalu hembuskan lewat mulut 4 hitungan.
3. Kembali ke posisi awal. Ulangi dengan kaki lain. Masing – masing kaki
10 hitungan
Gambar 2.7 Berdiri dengan satu kaki.
23
2.5 Pemeriksaan Keseimbangan BBS Orem
Instrumen yang digunakan untuk pemeriksaan dalam penelitian ini
merupakan modifikasi dari teori keperawatan Orem dan pemeriksaan
keseimbangan Berg Balance Scale.
Teori keperawatan Orem dikenal dengan teori self care (perawatan diri).
Orang dewasa dapat merawat diri mereka sendiri, sedangkan bayi, lansia dan
orang sakit membutuhkan bantuan untuk memenuhi aktivitas self care mereka.
Teori ini mengacu kepada bagaimana individu memenuhi kebutuhan dan
menolong keperawatannya sendiri, maka timbullah teori dari Orem tentang Self
Care Deficit of Nursing (Hajul K, 2008).
2.5.1 Tiga Aspek Utama Model Keperawatan Orem
Dari teori ini, Orem menjabarkan teorinya ke dalam tiga aspek, yaitu;
1. Self Care. Self Care merupakan satu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai
dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai keadaan,
baik sehat maupun sakit. Teori self care ini berisi upaya tuntutan pelayanan
diri yang therapeutik sesuai dengan kebutuhan pasien. Perawatan diri sendiri
adalah suatu langkah awal yang dilakukan oleh seorang perawat yang
berlangsung secara berkelanjutan sesuai dengan keadaan dan keberadannya,
keadaan kesehatan dan kesempurnaan. Self care merupakan aktivitas yang
praktis dari seseorang dalam memelihara kesehatannya serta mempertahankan
kehidupannya.
2. Self Care Deficit. Teori ini merupakan inti dari teori perawatan general Orem
yang menggambarkan kapan keperawatan di perlukan. Oleh karena
perencanaan keperawatan pada saat perawatan yang dibutuhkan. Bila dewasa
(pada kasus ketergantungan, orang tua, pengasuh) tidak mampu atau
keterbatasan dalam melakukan self care yang efektif. Teori self care deficit
diterapkan bila;
1. Anak belum dewasa
2. Kebutuhan melebihi kemampuan perawatan
24
3. Kemampuan sebanding dengan kebutuhan tapi diprediksi untuk masa yang
akan datang, kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan
kebutuhan.
3. Nursing System. Teori yang membahas bagaimana kebutuhan “Self Care”
patien dapat dipenuhi oleh perawat, pasien sendiri atau keduanya. Nursing
system ditentukan/ direncanakan berdasarkan kebutuhan self care dan
kemampuan pasien untuk menjalani aktivitas self care. Orem
mengidentifikasikan klasifikasi Nursing System :
1) The Wholly compensatory system merupakan suatu tindakan keperawatan
dengan memberikan bantuan secara penuh kepada pasien dikarenakan
ketidakmampuan pasien dalam memenuhi tindakan keperawatan secara
mandiri yang memerlukan bantuan dalam pergerakan, pengontrolan dan
ambulasi, serta adanya manipulasi gerakan.
2) The Partly compensantory system merupakan sistem dalam memberikan
perawatan diri secara sebagian saja dan ditujukan pada pasien yang
memerlukan bantuan secara minimal .
3) The supportive – Educative system. Dukungan pendidikan dibutuhkan
oleh klien yang memerlukannya untuk dipelajari, agar mampu melakukan
perawatan mandiri.
Metode bantuan yang digunakan dalam teori ini adalah dengan membantu
klien dengan menggunakan sistem dan melalui lima metode bantuan yang
meliputi :
1) Acting atau melakukan sesuatu untuk klien
2) Mengajarkan klien
3) Mengarahkan klien
4) Mensuport klien
5) Menyediakan lingkungan untuk klien agar dapat tumbuh dan berkembang
(Trinoval YN, 2009).
2.5.2 Klasifikasi Kebutuhan Manusia Menurut Model Keperawatan Orem
Orem mengklasifikasikan kebutuhan manusia ke dalam 3 katagori, yaitu:
25
1. Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal):
kebutuhan yang umumnya dibutuhkan oleh manusia selama siklus
kehidupannya seperti kebutuhan fisiologis dan psikososial termasuk
kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, aktivitas, istirahat, kebersihan diri,
sosial, dan pencegahan bahaya. Hal tersebut dibutuhkan manusia untuk
perkembangan dan pertumbuhan, penyesuaian terhadap lingkungan yang
berguna bagi kelangsungan hidupnya.
2. Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri pengembangan):
kebutuhan yang berhubungan dengan pertumbuhan manusia dan proses
perkembangannya, kondisi, peristiwa yang terjadi selama variasi tahap dalam
siklus kehidupan dan kejadian yang dapat berpengaruh buruk terhadap
perkembangan. Hal ini berguna untuk meningkatkan proses perkembangan
sepanjang siklus hidup.
3. Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri
penyimpangan kesehatan): kebutuhan yang berhubungan dengan genetik atau
keturunan, kerusakan atau penyimpangan cara, struktur norma,
penyimpangan fungsi atau peran dengan pengaruhnya dan integritas yang
dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan self care.
2.5.3 Tujuan Utama Asuhan Keperawatan Model Orem
Tujuan keperawatan pada model Orem secara umum adalah:
1. Menurunkan tuntutan self care pada tingkat dimana klien dapat
memenuhinya, ini berarti menghilangkan self care deficit.
2. Memungkinkan klien meningkatkan kemampuannya untuk memenuhi
tuntutan self care.
3. Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) bagi klien untuk memberikan
asuhan dependen jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya self care
deficit apapun dihilangkan.
4. Jika ketiganya di atas tidak tercapai perawat secara langsung dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan self care klien.
2.5.4 Konsep pemeriksaan Berg Balance Scale (BBS)
26
Berg Balance Scale (BBS) adalah suatu pemeriksaan yang bersifat
obyektif terhadap kemampuan keseimbangan (Canadian Physiotherapy
Association, 1994).) BBS sebagai suatu alat ukur/skala yang terdiri dari 14 item
yang dipakai untuk mengukur keseimbangan pada lansia dalam tatanan klinis
(Riddle and Stratford, 1999). Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi keseimbangan postural tubuh pada lansia
(Gowland, 1994). BBS dapat menggambarkan keseimbangan dengan baik.
Tes ini terdiri dari 14 item yang mengintegrasikan kemampuan persepsi,
sensori serta mobilitas dalam penilaiannya. Item – item tersebut antara lain :
sitting to standing, standing unsupported, sitting unsupported, standing to sitting,
transfers, standing with eyes closed, standing with feet together, reaching forward
with outstretched arm, retrieving object from floor, turning to look behind,
turning 360 degrees, placing alternate foot on stool, standing with one foot in
front, standing on one foot (Berg et al, 1992). Lama dari pemeriksaan Berg
Balance Scale (BBS) berkisar antara 15-20 menit, dengan kriteria penilaian yang
sederhana sehingga tidak memerlukan pelatihan khusus bagi pemeriksa. Item
yang diuji adalah kemampuan untuk memelihara posisi atau gerakan dengan
mengurangi landasan penunjang (base of support). Dimulai dari landasan
penunjang yang lebih besar yaitu duduk, lalu meningkat ke landasan penunjang
yang lebih kecil yaitu berdiri sampai berdiri dengan satu kaki. Tiap item diskor
dengan skala 0 – 4 dengan nilai maksimum 56. Interpretasi skor total BBS adalah
0 – 20 : resiko tinggi jatuh, 21 – 40 : resiko sedang, 41 – 56 : resiko rendah.
2.5.5 Aplikasi Teori Keperawatan Orem dan BBS
Penurunan BBS berhubungan dengan ketidakmampuan dalam pelaksanaan
ADL. Penelitian yang dilakukan oleh Setiahardja AS(2005), menyatakan ada
hubungan keseimbangan dengan AKS pada lansia dengan menggunakan Berg
Balance Scale dan Indeks Barthel yang dimodifikasi. Orem mengklasifikasikan
kebutuhan manusia menjadi tiga yaitu universal self care requisites, development
27
self care requisites, health deviation self care requisites. Universal self care
requisites merupakan pemenuhan kebutuhan dasar pada lansia fisik dan psikologis
misalnya makan, tidur, aktivitas, istirahat, eliminasi dan pemenuhan kebersihan
diri. Teori self care membagi tindakan yang diperlukan lansia menjadi tiga yaitu
wholly compensatory system, partly compensatory system, the supportive –
educative system. Pengamatan yang dilakukan di panti, selama ini lansia berusaha
untuk mandiri dalam pemenuhan kebutuhan sehari – hari, meskipun kondisi fisik
mengalami penurunan. Berdasarkan teori diatas maka peneliti ingin
menggabungkan konsep self care dan BBS. Interpretasi skor total BBS adalah 0 –
20 : resiko tinggi jatuh, 21 – 40 : resiko sedang, 41 – 56 : resiko rendah. Pada
penelitian ini dilakukan modifikasi yaitu skor 0 – 20 : wholly compensatory yang
berarti lansia memerlukan bantuan maksimal dalam pemenuhan ADL, 21 – 40 :
partly compensatory yang berarti lansia memerlukan bantuan sebagian dan 41 –
56 supportive education yang berarti lansia memerlukan dukungan untuk
meningkatkan kemampuan dalam pemenuhan ADL.
2.6 Konsep Hipertensi
2.6.1 Definisi
Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu
gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan
nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang
membutuhkan. Hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent
Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-
gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny Sustrani, dkk,
2004).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi
batas normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai
faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%)
penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab tekanan darah
meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi
28
(tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah
(Kurniawan, 2002).
Penyakit hipertensi merupakan penyakit kelainan jantung yang ditandai
oleh meningkatnya tekanan darah dalam tubuh. Seseorang yang terjangkit
penyakit ini biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain seperti stroke,
dan penyakit jantung (Rusdi dan Nurlaela, 2009).
Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi
adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.
2.6.2 Klasifikasi Hipertensi Pada Lansia
1. Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1) Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak,
yaitu sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat
keluarga,obesitas,diit tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor
pendukung. Walaupun faktor genetik sepertinya sangat berhubungan dengan
hipertensi primer, tapi mekanisme pastinya masih belum diketahui.
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang
terindentifikasi lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti
hipertensi renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme
primer, dan obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.
2. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal
Normal
115 atau kurang
< 120
75 atau kurang
< 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-159 90-99
29
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100
Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut
dapat dibedakan:
1) Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%
penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring
bertambahnya umur.
2) Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%
penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring
bertambahnya umur.
3) Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60 th,
lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.
2.6.3 Etilologi Hipertensi pada Lansia
Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain
meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti
obesitas asupan garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat
dikontrol, antara lain:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik
kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin
pria atau wanita pasca menopause.
1) Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause.
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor
pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
30
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut
dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan
umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur
45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita
hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak
terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak
menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi
adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah
menopause.
2) Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi
orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari
orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani
secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai
menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat.
Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut.
hipertensi sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun.
Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause.
Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan
usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-
arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan.
Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan
aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.
3) Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga
itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari
pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
31
Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan
hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.
2. Faktor resiko yang dapat dikontrol
1) Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi
penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya
berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia.
Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti
artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT)
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah
sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal.
Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan
lebih.
2) Kurang Olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan
melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus
melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu
Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena
bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif
cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka
harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering
jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak
arteri.
3) Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
4) Mengkonsumsi garam berlebih
32
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko
terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak
lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler
meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada
timbulnya hipertensi.
5) Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan
organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol
berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
6) Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi
mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut
berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
7) Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara
intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum
terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan
pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota.
Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan resistensi
pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi
aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan
pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.
33
2.6.4 Manifestasi Klinis
Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering
tidak memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau
tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa
pasien yang menderita hipertensi yaitu : mengeluh sakit kepala, pusing, lemas,
kelelahan, sesak nafas, gelisah, mual muntah, epistaksis, kesadaran menurun.
2.6.5 Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,
menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi.
34
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural
dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan
tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi
otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar
berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa
oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001). Pada usia lanjut perlu diperhatikan
kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis
sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).
2.6.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin / hematokrit
35
Renin
Angiotensin I
Angiotensin II
↑ Sekresi hormone ADH rasa haus Stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal
Urin sedikit → pekat & ↑osmolaritas
Mengentalkan
Menarik cairan intraseluler → ekstraseluler
Volume darah ↑
↑ Tekanan darah
↓ Ekskresi NaCl (garam) dengan mereabsorpsinya di tubulus ginjal
↑ Konsentrasi NaCl di pembuluh darah
Diencerkan dengan ↑ volume ekstraseluler
↑ Volume darah
↑ Tekanan darah
Angiotensin I Converting Enzyme (ACE)
Bagan 2. Patofisiologi hipertensi(Sumber: Rusdi &Nurlaela, 2009)
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan (viskositas)
dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas,
anemia.
2. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
3. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan
oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
4. Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau
menjadi efek samping terapi diuretik.
5. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
6. Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya
pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
7. Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.
8. Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).
9. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya
diabetes.
10. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
36
11. Steroid urin
Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
12. IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal,
batu ginjal / ureter.
13. Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
14. CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
15. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung
hipertensi.
2.6.7 Komplikasi Hipertensi
Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering
kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering
ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.
1. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler
Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan
sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan
dinding ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk,
kapasitasnya membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal
jantung. Angina pektoris dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit
arteri koronaria dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena
penambahan massanya. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran
jantung dengan denyut ventrikel kiri yang menonjol. Suara penutupan aorta
37
menonjol dan mungkin ditemukan murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi
jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar pada penyakit jantung
hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau irama
gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan tanda-
tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi iskemi
dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan oleh infark
miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data terbaru menduga bahwa
kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai oleh aldosteron pada asupan
garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya oleh peningkatan tekanan
darah atau kadar angiotensin II.
2. Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina
dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan
arteri dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan
optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak
hipertensi pada pembuluh darah retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi. Sakit
kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang
merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga
ditemukan ’keleyengan’, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan
menurun atau sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius adalah oklusi
vaskuler, perdarahan atau ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama
sedikit berbeda. Infark serebri terjadi secara sekunder akibat peningkatan
aterosklerosis pada pasien hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat
dari peningkatan tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler
serebri (aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial
diketahui berpengaruh terhadap perkembangan mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan
kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan
kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan
spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang
38
ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri
atau transient ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina berupa
retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan, eksudat
pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah
dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh
darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.
3. Efek pada Ginjal
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus
adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat
pada penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria
dan hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 %
kematian disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah
pada hipertensi terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis
dan metroragi juga sering terjadi pada pasien-pasien ini.
2.6.8 Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena
kebanyakan penderita hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan
mencapai target tekanan diastol saat target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga
fokus utamanya adalah mencapai target tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol
dan diastol < 140 / 90 mmHg berhubungan dengan penurunan terjadinya
komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus, target
tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya
komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
39
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin
seumur hidup.
5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi dasar
pengobatan hipertensi.
Pemakaian obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :
1. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
2. Interaksi obat
3. Efek samping obat.
4. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui
ginjal.
Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia:
1. Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START
LOW GO SLOW)
2. Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk
penyesuaian autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
3. Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali
sehari
4. Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
5. Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas
pengobatan
6. Setelah tercapai target maka pemberian obat harus
disesuaikan kembali untuk maintenance
Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap kondisi
penderita adalah :
a. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.
b. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
c. Organ yang rusak karena hipertensi.
40
Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat
antihipertensi mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di
bawah ini :
1. Ketidakpatuhan penderita
2. Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan
ginjal, dan kurangnya pemberian diuretik
3. Obesitas
4. Dosis yang tidak adekuat
5. Interaksi obat
6. Kontrasepsi oral
7. Penggunaan obat-obat steroid
8. Hipertensi sekunder
2.7 Konsep Asuhan Keperawatan
2.7.1 Pengkajian
1. Pengkajian
1) Aktivitas
(1) Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
(2) Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
takipnea.
2) Sirkulasi
(1) Gejala : Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung
koroner/katup dan penyakit cebrovaskuler, episode palpitasi.
(2) Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,
radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,
kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian
kapiler mungkin lambat/ tertunda.
3) Integritas Ego
41
(1) Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress
multiple (hubungan,keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.
(2) Tanda : Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian,
tangisan meledak,otot muka tegang, pernafasan menghela,
peningkatan pola bicara.
4) Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau
riwayatpenyakit ginjal padamasa yang lalu).
5) Makanan/cairan
(1) Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam,
lemak sertakolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini
(meningkat/turun), Riwayatpenggunaan diuretic
(2) Tanda: Berat badan normal atau obesitas, adanya edema, glikosuria.
6) Neurosensori
(1) Gejala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyut, sakit kepala,
suboksipital (terjadi saatbangun dan menghilangkan secara
spontansetelah beberapa jam), Gangguan penglihatan (diplobia,
penglihatan kabur,epistakis).
(2) Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi
bicara,efek, proses piker,penurunan keuatan genggaman tangan.
7) Nyeri/ ketidaknyaman
Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung), sakitkepala.
8) Pernafasan
(1) Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja
takipnea,ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum,
riwayat merokok.
(2) Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan
bunyinafas tambahan(krakties/mengi), sianosis.
9) Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.
2.7.2 Diagnosa Keperawatan
42
1. Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral
2. Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan
dengan adanya tahanan pembuluh darah
3. Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output atau kelemahan
4. Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala
5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik.
6. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi
yang diderita klien
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
hipertensi
2.7.3 Intervensi Keperawatan
NODiagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intevensi
1 Nyeri akut
(Domain 12, kelas 1, 00132)
Definisi :
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
1. Laporan secara verbal atau non verbal
2. Fakta dari observasi 3. Posisi antalgic untuk
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam, nyeri berkurang atau hilangNOC :
Pain Level,
Pain control,
Comfort level
Kriteria Hasil :
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa
NIC :
Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
6. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
7. Kurangi faktor presipitasi nyeri
8. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
9. Kaji tipe dan sumber nyeri
43
menghindari nyeri 4. Gerakan melindungi 5. Tingkah laku berhati-
hati6. Muka topeng 7. Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
8. Terfokus pada diri sendiri
9. Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
10. Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
11. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
12. Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
13. Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
14. Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Faktor yang berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)
nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal (sistol 140 mmHg, Diastol < 90 mmHg)
untuk menentukan intervensi10. Ajarkan tentang tek/nik non
farmakologi11. Tingkatkan istirahat12. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
13. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi4. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
5. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
6. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
7. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
8. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
9. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
2 Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli
NOC :
Circulation status
Tissue Prefusion : cerebral
NIC :
Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
1. Monitor adanya daerah
44
(Domain 4, Kelas 4, 00201)
Definisi :
Penurunan pemberian oksigen dalam kegagalan memberi makan jaringan pada tingkat kapiler
Batasan karakteristik :
Cerebral
1. Abnormalitas bicara 2. Kelemahan ekstremitas
atau paralis 3. Perubahan status
mental 4. Perubahan pada respon
motorik 5. Perubahan reaksi pupil 6. Kesulitan untuk
menelan 7. Perubahan kebiasaan 8. Kardiopulmonar 9. Perubahan frekuensi
respirasi di luar batas parameter
10. Penggunaan otot pernafasan tambahan
11. Balikkan kapiler > 3 detik (Capillary refill)
12. Abnormal gas darah arteri
13. Perasaan ”Impending Doom” (Takdir terancam)
14. Bronkospasme 15. Dyspnea 16. Aritmia 17. Hidung kemerahan 18. Retraksi dada 19. Nyeri dada
Faktor-faktor yang berhubungan :
1. Hipovolemia 2. Hipervolemia 3. Aliran arteri terputus 4. Exchange problems 5. Aliran vena terputus 6. Hipoventilasi 7. Reduksi mekanik pada
vena dan atau aliran darah arteri
Kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
1) Tekanan systole dandiastole dalam rentang yang diharapkan
2) Tidak ada ortostatikhipertensi
3) Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
2. Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
1) Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
2) Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
3) Memproses informasi
4) Membuat keputusan dengan benar
3. Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter
tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese3. Instruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi
4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB7. Kolaborasi pemberian
analgetik8. Monitor adanya
tromboplebitis9. Diskusikan menganai
penyebab perubahan sensasi
45
8. Kerusakan transport oksigen melalui alveolar dan atau membran kapiler
9. Tidak sebanding antara ventilasi dengan aliran darah
10. Keracunan enzim 11. Perubahan
afinitas/ikatan O2 dengan Hb
12. Penurunan konsentrasi Hb dalam darah
3 Intoleransi aktivitas b/d curah jantung yang rendah, ketidakmampuan memenuhi metabolisme otot rangka, kongesti pulmonal yang menimbulkan hipoksinia, dyspneu dan status nutrisi yang buruk selama sakit
Intoleransi aktivitas b/d fatigue
(Domain 4, Kelas 4, 00092)
Definisi : Ketidakcukupan energu secara fisiologis maupun psikologis untuk meneruskan atau menyelesaikan aktifitas yang diminta atau aktifitas sehari hari.
Batasan karakteristik :
1. Melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan.
2. Respon abnormal dari tekanan darah atau nadi terhadap aktifitas
3. Perubahan EKG yang menunjukkan aritmia atau iskemia
4. Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.
Faktor factor yang berhubungan :
NOC :
Energy conservation
Self Care : ADLs
Kriteria Hasil :
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
2. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
NIC :
Energy Management
1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
3. Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
4. Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
6. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan social
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
5. Bantu untuk mendpatkan
46
1. Tirah Baring atau imobilisasi
2. Kelemahan menyeluruh
3. Ketidakseimbangan antara suplei oksigen dengan kebutuhan
4. Gaya hidup yang dipertahankan.
alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek
6. Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai
7. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
8. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
11. Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
4 Kurang pengetahuan
(Domain 5, Kelas 4, 00126)
Definisi :
Tidak adanya atau kurangnya informasi kognitif sehubungan dengan topic spesifik.
Batasan karakteristik : memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.
Faktor yang berhubungan : keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
NOC :
Kowlwdge : disease process
Kowledge : health Behavior
Kriteria Hasil :
1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
NIC :
Teaching : disease Process
1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
7. Hindari harapan yang kosong
8. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
9. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses
47
pengontrolan penyakit
10. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
11. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
12. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
13. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat
14. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
48