bab ii carol a miler

68
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan tentang konsep lansia, konsep teori keperawatan konsekuensi fungsional, konsep keseimbangan postural, konsep latihan keseimbangan, konsep pemeriksaan keseimbangan Berg Balance Scale (BBS) Orem. 2.1 Konsep Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk mamperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 2006). Sedangkan menurut Hawari (1999), lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan dari seseorang mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologik. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual. 2.1.2 Batasan Lansia Berikut adalah batasan lansia (Nugroho, 2000): 1. Menurut WHO (World Health Organization) 4

Upload: juyek

Post on 07-Dec-2015

142 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Carol A Miller konsep menua

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan tentang konsep lansia, konsep teori

keperawatan konsekuensi fungsional, konsep keseimbangan postural, konsep

latihan keseimbangan, konsep pemeriksaan keseimbangan Berg Balance Scale

(BBS) Orem.

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan–lahan

kemampuan jaringan untuk mamperbaiki diri atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita

(Darmojo, 2006). Sedangkan menurut Hawari (1999), lansia adalah keadaan yang

ditandai oleh kegagalan dari seseorang mempertahankan keseimbangan terhadap

kondisi stress fisiologik. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya

kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual.

2.1.2 Batasan Lansia

Berikut adalah batasan lansia (Nugroho, 2000):

1. Menurut WHO (World Health Organization)

1. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun.

2. Lanjut usia (elderly) : 60-74

tahun.

3. Lanjut usia tua (old) : 75-90

tahun.

4. Usia sangat tua (very old) : diatas 90

tahun.

4

2. Menurut UU No.13 th 1998

Dalam BAB I pasal 1 ayat 2 berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas”.

3. Birren and Jenner (1977) mengusulkan untuk membedakan antara usia

biologis, usia psikologis, dan usia sosial.

1) Usia Biologis.

Usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada

dalam keadaan hidup tidak mati.

2) Usia Psikologis.

Usia yang menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan

penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya.

3) Usia Sosial.

Usia yang menunjuk kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan

masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan usianya.

2.1.3 Perubahan fisiologis yang terjadi pada lanjut usia

Pada lansia terjadi perubahan pada hampir semua aspek, adapun

perubahan sistem yang mempengaruhi keseimbangan adalah :

1. Sistem Persyarafan

Berat otak menurun 10-20%. Terjadi perubahan neurobehavioral seperti

perubahan motorik yang melambat sehingga respon terhadap perubahan

keseimbangan menurun, berkurangnya fungsi sensori perifer sehingga terjadi

perlambatan omset laten dorsofleksor ankle dan perubahan pada respon otot. Hal

ini menyebabkan otot proksimal teraktivasi dahulu yang akan mengganggu proses

keseimbangan. Perubahan motorik disebabkan banyak faktor melibatkan sistem

syaraf pusat dan perifer termasuk berkurangnya rasa posisi, kelemahan otot dan

perubahan skeletal (Kane RL, 1994).

5

3. Sistem Vestibuler

Pada sistem vestibuler, terjadi degenerasi sel – sel rambut dalam macula

sebesar 40% dan sel saraf. Proses degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler

dapat menyebabkan vertigo posisional dan ketidakseimbangan waktu berjalan

(Alonso JA, 1994).

4. Sistem Penglihatan

Perubahan pada sistem penglihatan yang menyebabkan gangguan

keseimbangan adalah adanya penurunan cahaya yang dihantarkan ke retina,

sehingga ambang visual meningkat dan daya adaptasi terang gelap menurun.

Penurunan tajam penglihatan terjadi karena katarak, degenerasi makuler dan

penglihatan perifer menghilang.

5. Sistem Kardiovaskuler

Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi

kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah

berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.

Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%.

Pembuluh darah kapiler mengalami perubahan elastisitas dan permeabilitas.

Penurunan sensitivitas baroreseptor menyebabkan hipotensi postural, begitu juga

aritmia dan drop attacks semua itu secara tidak langsung mengganggu

keseimbangan pada lansia (Thompson, 2000).

6. Sistem Respirasi

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya

aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu

meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun,

dan kedalaman bernafas menurun. Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan

jumlahnya berkurang, O2 pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, kemampuan

untuk batuk berkurang, penurunan kekuatan otot pernafasan.

7. Sistem Muskuloskeletal.

6

Faktor muskuloskeletal merupakan faktor yang berperan besar terhadap

kejadian jatuh pada lansia. Perubahan fungsional pada lanjut usia berupa

kehilangan lean muscle mass, atrofi otot dan penurunan kekuatan otot.

Pada lanjut usia ukuran otot mengecil dan penurunan massa otot lebih

banyak terjadi pada ekstremitas bawah. Sel otot yang mati digantikan oleh

jaringan ikat dan lemak. Serabut fast twich tipe II berkurang lebih cepat daripada

tipe I. Pada myoneural junction terjadi penurunan jumlah motor unit dan serabut

bermyelin (Thompson, 2000) .

Kekuatan yang dihasilkan otot menurun dengan bertambahnya usia.

Kekuatan otot ekstremitas bawah berkurang sebesar 40% antara usia 30 sampai 80

tahun. Hal ini lebih berat terjadi pada lansia di panti dengan riwayat jatuh.

Ketahanan otot untuk berkontraksi secara berkesinambungan pada tingkat sub

maksimal menurun. Namun penurunan ketahanan lebih kecil daripada kekuatan

otot.

Penurunan lingkup gerak sendi dan fleksibilitas spinal menyebabkan

postur fleksi atau bungkuk yang merupakan karakteristik pada lansia. Kondisi lain

seperti artritis dan nyeri dapat menyebabkan berkurangnya lingkup gerak sendi

yang berakibat pada gangguan keseimbangan.

Fleksibilitas jaringan menurun sebesar 20 – 30% pada lanjut usia akibat

perubahan jaringan pengikat pada tendon, kapsul sendi, otot dan ligamen.

Perubahan dalam struktur kolagen dan peningkatan anyaman serat elastin yang

terjadi menyebabkan hilangnya fleksibilitas (Alonso JA, 1994).

2.2 Konsep Teori Keperawatan Konsekuensi Fungsional (Miller CA, 1995 )

Teori ini menyatakan bahwa lansia mengalami konsekuensi fungsional

karena perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko tambahan. Dengan

tidak adanya intervensi, akan terjadi banyak konsekuensi fungsional yang negatif,

namun dengan intervensi konsekuensi fungsional dapat menjadi positif.

7

Konsekuensi fungsional adalah efek dari tindakan, faktor risiko, dan

perubahan yang mempengaruhi kualitas kehidupan atau kegiatan sehari-hari lansia

berkaitan dengan usia.

Faktor risiko dapat berasal dari lingkungan, pengaruh fisiologis dan

psikososial. Konsekuensi fungsional yang positif akan terjadi jika memfasilitasi

tingkat kinerja tertinggi. Sebaliknya, konsekuensi fungsional yang negatif akan

terjadi jika lansia mengalami ketergantungan atau penurunan kualitas hidup .

Konsekuensi fungsional negatif biasanya terjadi karena kombinasi dari perubahan

yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko misalnya kinerja visual terganggu.

Selain itu konsekuensi fungsional negatif juga dapat disebabkan oleh intervensi

yang yang merupakan faktor risiko dari tindakan. Contoh konsekuensi fungsional

disebabkan oleh respon negatif adalah sembelit yang dihasilkan dari obat

antidepresant. Dalam hal ini, obat ini sebagai intervensi untuk depresi dan faktor

risiko yang didapat adalah gangguan fungsi usus.

Konsekuensi fungsional positif biasanya disebabkan oleh intervensi yang

diprogramkan. Sering kali, lansia membawa konsekuensi fungsional positif

ketika mereka mengimbangi perubahan yang berkaitan dengan usia tanpa

disengaja. Misalnya, lansia dapat meningkatkan jumlah cahaya untuk membaca

atau mulai memakai kacamata hitam tanpa menyadari bahwa tindakan ini adalah

kompensasi untuk perubahan yang berkaitan dengan usia. Dalam kasus lain,

intervensi yang dimulai sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang dirasakan.

Pada contoh di atas akan lebih baik kemungkinan hasil intervensi yang disengaja,

seperti perubahan lingkungan atau operasi katarak.

2.2.1 Komponen Teori Konsekuensi Fungsional

1. Konsekuensi fungsional : efek dari tindakan, faktor risiko dan perubahan

yang berkaitan dengan usia yang mempengaruhi kualitas hidup dan

kegiatan sehari-hari lansia.

2. Konsekuensi fungsional negatif : semua hal yang dapat mempengaruhi

tingkat ketergantungan atau kualitas hidup lansia.

3. Konsekuensi fungsional positif : segala hal yang dapat meningkatkan

kualitas hidup lansia atau menurunkan tingkat ketergantungan lansia.

8

4. Perubahan yang berkaitan dengan usia : perubahan yang progresif dan

ireversibel, yang terjadi selama proses kehidupan dan kondisi ekstrinsik

yang independen atau patologis.

5. Faktor risiko: kondisi yang meningkatkan kerentanan lansia terhadap

konsekuensi fungsional negatif. Faktor-faktor risiko tersebut adalah

penyakit, obat-obatan, lingkungan, gaya hidup, sistem pendukung,

keadaan psikososial dan sikap berdasarkan kurangnya pengetahuan.

6. Individu : individu yang kemampuan fungsionalnya dipengaruhi oleh

perubahan yang berhubungan dengan usia dan faktor risiko. Ketika lansia

dipengaruhi oleh perubahan yang berhubungan dengan usia dan faktor

risiko mereka bergantung pada individu lain untuk kebutuhan sehari-hari,

pemberi asuhan dianggap sebagai pendekatan integral untuk keperawatan

gerontik.

7. Tujuan keperawatan gerontik : meminimalkan dampak negatif dari

perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko, serta

mempromosikan dampak fungsional positif. Hal ini dilakukan melalui

proses keperawatan, dengan menekankan interaksi antara lansia dan

pemberi perawatan pada lansia yang tergantung untuk menghilangkan

faktor risiko atau meminimalkan efek yang terjadi.

8. Kesehatan: kemampuan lansia berfungsi pada kapasitas penuh, meskipun

terdapat perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko. Tingkat

kesehatan ini mempertimbangkan kualitas kehidupan individu dan

termasuk fungsi psikososial dan fisiologis.

9. Lingkungan: kondisi eksternal termasuk pemberi asuhan yang

mempengaruhi fungsi lansia. Kondisi ini merupakan faktor risiko ketika

lingkungan mengganggu peningkatan fungsi.

2.2.2 Asumsi Dasar Teori Konsekuensi Fungsional

Perubahan yang terkait usia dan faktor risiko merupakan konsep penting

bagi teori konsekuensi fungsional karena membedakan aspek perawatan lansia

dari perawatan populasi lainnya. Selain itu, penting untuk membedakan antara

perubahan yang berhubungan dengan usia dan faktor risiko serta perubahan usia-

9

berkaitan dengan intervensi faktor risiko yang berbeda. Hal ini tidak mungkin

untuk memodikasi efek dari perubahan terkait usia, tetapi mungkin untuk

mengkompensasi efek perubahan yang terjadi sehingga terjadi konsekuensi

fungsional yang positif. Sebaliknya, faktor risiko sering dapat dimodifikasi dan

dampaknya dapat diminimalkan melalui intervensi. Yang penting adalah bahwa

perubahan yang berkaitan dengan usia harus dibedakan dari faktor risiko,

sehingga pendekatan intervensi yang tepat dapat dilakukan.

Kerangka kerja yang dikembangkan oleh perawat adalah membantu dalam

memahami perbedaan antara perubahan fungsional dan faktor risiko. Risiko

dikonseptualisasikan sebagai faktor lingkungan yang berpotensi menimbulkan

gangguan, termasuk yang berada di sekitar lansia baik langsung atau tidak

langsung. Rose dan Killien menyarankan bahwa salah satu implikasi dari model

ini adalah bahwa intervensi untuk meningkatkan kondisi kesehatan dapat

diarahkan untuk mengurangi risiko perubahan tingkat kerentanan seseindividu.

Mereka menyarankan bahwa sering kali lebih layak untuk memodifikasi

lingkungan daripada mengubah tingkat seseorangtentang kerentanan, terutama

jika kerentanan tersebut terutama disebabkan faktor genetik atau konstitusional.

Meskipun teori mereka berfokus pada modifikasi faktor risiko, mereka juga

menekankan bahwa tingkat kerentanan tidak statis. Perspektif ini kongruen

dengan pendekatan fungsional terhadap konsekuensi keperawatan gerontik.

1. Individu

Mendasari konseptualisasi konsekuensi fungsional individu sebagai fokus

asuhan keperawatan adalah teori keperawatan Imogene King (1981). Individu

menurut teori King adalah makhluk rasional dan sosial, makhluk yang

menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan pikiran, tindakan, kebiasaan dan

keyakinan. Selanjutnya, mereka ditandai dengan kemampuan untuk merasa,

berpikir, merasa, menetapkan tujuan, membuat keputusan, memilih antara

program alternatif tindakan, dan cara pilih untuk mencapai tujuan. Karena mereka

memiliki karakteristik ini, mereka bereaksi. Perspektif ini relevan dengan teori

konsekuensi fungsional karena penekanannya pada kemampuan individu yang

bertanggung jawab untuk mengembangkan dan mencapai tujuan. Dalam

10

konsekuensi fungsional lansia dipandang mempunyai kemampuan mencapai

konsekuensi fungsional positif, meskipun perubahan usia dan faktor risiko yang

terkait. Selanjutnya, lansia dipandang sebagai individu yang unik yang mampu

mencapai fungsional positif. Teori konsekuensi fungsional didasarkan pada

pendekatan holistik untuk perawatan, yang dilihat lansia sebagai individu yang

unik dan kompleks, yang dipengaruhi oleh hubungan antara faktor internal dan

eksternal.

Menurut teori konsekuensi fungsional, seseorangdianggap lansia ketika ia

mewujudkan satu atau lebih konsekuensi fungsional yang timbul dari perubahan-

perubahan terkait umur dalam diri mereka sendiri atau dalam kombinasi dengan

faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan usia.

Lansia hidup di lingkungan yang akan secara aktif berpengaruh terhadap

kondisinya. Hal ini penting bagi lansia , karena sebagian besar gangguan

fungsional seseorangdapat mempengaruhi sumber daya pendukung. Ketika terjadi

fungsional negatif karena lansia sangat tergantung pada individu lain untuk

kebutuhan sehari-hari, maka perawat dapat memberikan asuhan keperawatan.

2. Keperawatan

Menurut teori konsekuensi fungsional, tujuan keperawatan gerontik adalah untuk

meminimalkan dampak merugikan konsekuensi fungsional dan meningkatkan

fungsi positif pada lansia. Melalui proses perubahan keperawatan yang

berhubungan dengan usia dan faktor risiko intervensi direncanakan dan

diimplementasikan dan dievaluasi hasil fungsional. Seringkali, tujuan ini dicapai

melalui pendidikan pada lansia dan pemberi asuhan pada lansia tergantung pada

intervensi yang akan dilaksanakan. Aspek pendidikan yang sangat penting ketika

pandangan dan kesalahpahaman berkontribusi konsekuensi fungsional negatif.

3. Kesehatan

Konsekuensi fungsional mendefinisikan kesehatan sebagai kemampuan lansia

berfungsi pada kapasitas penuh, meskipun adanya perubahan yang berkaitan

dengan usia dan faktor risiko. Ini meliputi fungsi psikososial, fisiologis dan juga

kualitas hidup individu. Oleh karena itu, menurut teori kesehatan ditentukan

11

secara individual, berdasarkan pada kemampuan fungsional yang dianggap

penting.

Gambar 2.1 Kerangka konseptual Teori Konsekuensi Fungsional Carol A Miller

(1995)

2.2.3 Aplikasi Teori Konsekuensi Fungsional Pada Masalah Mobilisasi

1. Perubahan yang terkait usia :

1) Massa otot berkurang

2) Perubahan degeneratif jaringan ikat

3) Osteoporosis

4) Perubahan dalam sistem saraf pusat

2. Konsekuensi fungsional negatif

1) Kekuatan otot berkurang, daya tahan dan koordinasi

2) Keterbatasan rentang gerak sendi

3) Meningkatkan kerentanan untuk jatuh

4) Meningkatkan kerentanan untuk fraktur

3. Faktor resiko

1) Resiko osteoporosis: jenis kelamin perempuan, usia lanjut, imobilitas,

asupan kalsium tidak memadai, tulang kecil, ketipisan

Interventions

Positive Functional Consequences

Negative Functional Additional

Consequences Risk factors

Age-Related

Changes

Assessment

12

2) Resiko untuk jatuh dan patah tulang: osteoporosis, perubahan usia yang

berhubungan dengan fungsi sensorik, dan sistem saraf pusat, kondisi

medis, obat, depresi, dimentia , dampak lingkungan

4. Pengkajian pada sistem muskuloskeletal

1) Apakah lansia mempunyai kesulitan dalam beraktivitas berkaitan dengan

kekakuan sendi?

2) Apakah lansia mengeluh nyeri pada sendi?

3) Apakah lansia mengalami kesulitan untuk berjalan atau berpindah?

4) Apakah lansia perlu alat bantu untuk berjalan?

5) Apakah ada aktivitas yang tidak bisa anda laksanakan karena anda

kesulitan berpindah?

6) Apakah lansia berolah raga?

7) Observasi gaya berjalan

8) Observasi kemampuan fungsional lansia

5. Intervensi

1) Olah raga ringan setiap hari

2) Asupan nutrisi yang memadai

3) Modifikasi lingkungan

2.3 Konsep Keseimbangan Postural

2.3.1 Definisi

Keseimbangan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memelihara pusat

dari massa tubuh agar tetap berada pada landasan penopang (Shumway-Cook &

Woollacott, 2001).

2.3.2 Klasifikasi Keseimbangan Postural

Keseimbangan Postural diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:

1. Keseimbangan statik.

13

Keseimbangan statik adalah suatu keadaan dimana individu dapat

memelihara keseimbangan tubuhnya pada suatu posisi tertentu selama jangka

waktu tertentu.

2. Keseimbangan dinamik.

Keseimbangan dinamik merupakan keseimbangan pada saat tubuh

melakukan gerakan atau saat berdiri di atas landasan yang bergerak (dynamic

standing) yang akan menempatkannya dalam kondisi yang tidak stabil, dan pada

keadaan ini kebutuhan akan kontrol keseimbangan postural semakin meningkat

(Chandler J, 2000).

2.3.3 Fisiologi Keseimbangan

Tugas pokok keseimbangan adalah membatasi stabilitas atau memelihara

pusat gravitasi tubuh (center of gravity/ COG) yang berlokasi di anterior dari

vertebra sakralis kedua, diatas dasar penyanggah (base of support/ BoS) yaitu

area disekeliling kaki yang jaraknya antara kaki ketika berdiri sekitar 5 – 10cm.

Berikut adalah ilustrasi dari pusat massa tubuh (center of body mass/ CoM) dalam

hubungan dengan dasar penyanggah dalam keadaan berdiri normal (a) dan

menggunakan alat bantu (b).

Keseimbangan atau kontrol postural adalah suatu proses – proses yang

rumit yang meliputi mekanisme afferen atau sistem sensoris (visual, vestibuler

dan proprioseptif) dan mekanisme efferen atau sistem motorik (kekuatan otot –

otot anggota gerak atas dan bawah dan fleksibilitas sendi). Respon – respon

afferen dan efferen diatur melalui mekanisme pusat atau fungsi SSP yang

menerima dan mengatur informasi sensoris dan respon program sistem motorik

yang tepat (Chandler, J, 2000). Keseimbangan diatur oleh 3 hal pokok yaitu

mekanisme afferen, mekanisme efferen dan SSP, adapun penjelasannya adalah :

1. Mekanisme Afferen

14

Sistem visual memberikan informasi mengenai tempat dan jarak obyek

dalam lingkungannya, tipe permukaan stabil atu tidak stabil dimana gerakan akan

dilakukan dan posisi bagian tubuh dalam hubungan dengan faktor tersebut dan

dengan lingkungan sekitarnya. Saat berdiri penglihatan membantu merasakan

perubahan postur dengan memberikan informasikan ke SSP tentang gerakan –

gerakan dan posisi bagian tubuh dalam hubungan dengan lingkungan luar.

Komponen fungsi visual dianggap penting untuk keseimbangan statik dan

dinamik, sensitivitas kontras, persepsi dalam dan penglihatan perifer. Input

proprioseptif timbul dari reseptor – reseptor otot dan tendon, mekanoreseptor

persendian dan reseptor tekanan dalam pada aspek plantar kaki juga menyediakan

data sensoris penting untuk kontrol postural. Proprioseptif mensuplai tubuh

dengan informasi pada lingkungan yang tiba – tiba, memungkinkan tubuh

berorientasi sendiri apakah berdiri atau bergerak berkenaan dengan sandaran atau

permukaan tanah dan dalam relasi dengan bagian tubuh (Tideiksar, 1998)

Sistem vestibuler bekerja bersama dengan sistem visual dan proprioseptif

untuk mencapai keseimbangan. Sistem vestibuler terdiri dari tiga bagian :

komponen sensoris perifer, komponen pengolahan pusat dan komponen kontrol

motorik (Tideiksar, 1998). Sistem ini mendeteksi gerakan kepala dan orientasinya

dalam ruang. Sistem ini memberikan informasi posisi dan gerakan kepala ke SSP

lewat otolis dan kanalis semisirkularis. Input vestibuler digunakan untuk

membangkitkan kompensasi gerakan mata dan respon postural selama gerakan –

gerakan kepala dan membantu memecahkan konflik informasi dari kesan visual

dan gerakan sebenarnya. Informasi dari reseptor sensoris dalam organ vestibuler

berinteraksi dengan penglihatan dan informasi somatosensoris menghasilkan

alignment tubuh yang tepat dan kontrol postural. Aktifitas ini dipicu oleh sel – sel

sensoris khusus yang berlokasi dalam kanalis semisirkularis dan otolit, dipersarafi

oleh cabang saraf kranial ke VIII. Komponen pengolahan pusat (pons dan

serebellum) menerima dan menggabungkan tanda – tanda ini lalu

mengkombinasikannya dengan input visual dan proprioseptif, mengirim informasi

ini ke komponen motorik. Sebagai jawaban dua refleks penting digunakan oleh

tubuh untuk mengatur kontrol postural ; reflek vestibulo-okular (VOR) dan reflek

vestibulospinal /VSR ( Chandler,J, 2000).

15

VOR mengontrol stabilitas okuler (menjaga mata tetap pada lapang

pandang) dan orientasi dari gerakan kepala. Tanpa refleks ini, gambaran

penglihatan akan berubah setiap kepala digerakkan walaupun hanya sedikit. VSR

mempengaruhi otot – otot kerangka di leher, batang tubuh dan anggota gerak dan

membangkitkan kompensasi gerakan tubuh dengan mempertahankan kepala dan

kontrol postural. VOR dan VSR dimonitor oleh komponen pengolahan sentral dan

disesuaikan dengan kebutuhan. Sistem vestibuler membantu memecahkan konflik

informasi sensoris ketika input visual dan proprioseptif memberikan umpan balik

yang tidak akurat (Tideiksar, 1998).

2. Mekanisme efferen

Tugas utama dari sistem efektor adalah mempertahankan pusat gravitasi

tubuh/Center of Gravitation (COG). Dimana tugasnya meliputi duduk, berdiri,

atau berjalan. Dalam posisi berdiri respon motor (effector) mempertahankan atau

menyokong sikap dan keseimbangan, yang disebut muscle synergis (Guccione,

2000). Gerakan dilakukan oleh suatu kelompok sendi dan otot dari kedua sisi

tubuh, maka komponen efektor yang normal harus ada supaya dapat melakukan

gerakan keseimbangan postural yang normal. Komponen efektor yang dibutuhkan

adalah LGS (Lingkup Gerak Sendi), kekuatan dan ketahanan (endurance) dari

kelompok otot kaki, pergelangan kaki, lutut, pinggul, punggung, leher, dan mata.

Gangguan pada komponen efektor akan mempengaruhi kemampuan dalam

mengontrol postur sehingga akan terjadi gangguan keseimbangan postural

(Suhartono, 2005).

3. Sistem Saraf Pusat (SSP)

Sistem ini dibutuhkan dalam memelihara respon postural. Central Nerves

System (CNS) melalui jaras-jarasnya menerima informasi sensoris perifer dari

sistem visual, vestibular, dan proprioseptif di gyrus post central lobus parietal

kontralateral. Selanjutnya informasi ini diproses dan diintegrasikan pada semua

tingkat sistem syaraf. Akhirnya dalam waktu latensi ± 150 m/det akan terbentuk

suatu respon postural yang benar secara otomatis dan akan diekspresikan secara

mekanis melalui efektor dalam suatu rangkaian pola gerakan tertentu. Tetapi pada

aktivitas dengan pola baru yang belum pernah disimpan dalam otak, maka reaksi

16

keseimbangan tubuh perlu dipelajari dan dilatih sampai reaksi tersebut dapat

dilakukan dengan tanpa perlu berpikir lagi.

2.3.4 Pengaruh usia pada keseimbangan

Penyebab usia berkaitan dengan dengan kemunduran keseimbangan adalah

berhubungan dengan kombinasi dari menurunnya input sensoris, respon motorik

yang lambat dan keterbatasan muskuloskeletal. Sebagaimana dibuktikan dengan

penurunan sensasi vibrasi kutaneus dan rasa posisi sendi ekstremitas bawah, input

proprioseptif telah dibuktikan mengalami kemunduran dengan meningkatnya usia.

Penelitian telah membuktikan hubungan antara kemunduran input proprioseptif

dan peningkatan lenggang postural meskipun hasilnya bervariasi (Tideiksar, M,

1998).

Sistem vestibuler adalah subyek dari sejumlah perubahan yang bertalian

dengan usia. Penelitian telah memperlihatkan sekitar 20% kemunduran sel – sel

rambut dalam otolit dan 40% berkurangnya sel – sel rambut dalam kanalis

semisirkularis setelah usia 70 tahun. Meskipun ini mengalami perubahan

pengaruh usia berhubungan dengan kemunduran vestibuler terhadap kontrol

postural tidak menentu. Peran sistem vestibuler dalam memelihara keseimbangan

sulit ditetapkan karena sistem ini hanya melengkapi satu bagian dari input yang

diperlukan.

Koordinasi dan pelaksanaan dari strategi kontrol postural dipengaruhi usia.

Permulaan respon muskuler postural atau latensi (kecepatan aktifitas otot kaki

bagian bawah) terhadap perpindahan keseimbangan telah terjadi penurunan

kecepatan sekitar 20 – 30 milidetik pada lansia sehat. Keterlambatan dalam

permulaan volunter aktifitas otot postural dalam respon terhadap antisipasi

gangguan keseimbangan dipengaruhi oleh penurunan deKingt perhatian.

Peningkatan usia menyebabkan terjadi kemunduran kekuatan pada otot

ekstremitas bawah. Otot yang mengalami penurunan adalah otot – otot

antigravitasi seperti quadriceps, ekstensor hips dan dorsifleksor pergelangan kaki.

Terdapat hubungan antara kekuatan ekstremitas bawah dan keseimbangan.

17

Adanya kemunduran dalam kekuatan otot dan fleksibilitas sendi pada ekstremitas

bawah menyulitkan pelaksanaan strategi postural.

Hilangnya keseimbangan dan selanjutnya terjatuh disebabkan oleh banyak

hal dari kegagalan ketiga sistem penanggung jawab mekanisme dasar untuk

memelihara keseimbangan tubuh yaitu disfungsi vestibuler, masalah visual dan

proprioseptif yang buruk (Marina, 2005).

Kelemahan otot – otot ekstremitas bawah telah diidentifikasi sebagai

faktor resiko yang memperbesar untuk jatuh pada lansia. Keseimbangan dan

kekuatan otot memburuk sesuai pertambahan usia dan telah dibuktikan bahwa

menurunnya kemampuan untuk membangkitkan kekuatan pada otot – otot

ekstremitas bawah memperbesar gangguan keseimbangan.

2.4 Konsep Latihan Keseimbangan

Latihan pada lanjut usia memegang peran penting dalam memelihara

tingkat kapasitas fungsional. Jatuh yang disebabkan kelemahan otot ekstremitas

bawah dapat dicegah dengan latihan penguatan otot, meningkatkan ketahanan

otot, mempertahankan dan memperbaiki postur gerak sendi dan kompetensi

postural. Latihan yang teratur telah terbukti memberikan perbaikan pada

kardiovaskuler, metabolik, endokrin dan kesehatan psikologis.

Latihan penguatan dapat menghasilkan 25 sampai 100% pencapaian

kekuatan pada usia lanjut dengan cara hipertrofi otot dan peningkatan motor unit

recruitment. Kekuatan merupakan faktor intrinsik dalam melaksanakan aktivitas

sehari – hari bagi lanjut usia. Perbedaan kecepatan berjalan pada lanjut usia

berhubungan dengan kekuatan kaki maka dengan peningkatan kekuatan akan

memperlihatkan perbaikan ketahanan berjalan dan kemampuan naik tangga.

Kriteria gerakan latihan untuk meningkatkan keseimbangan pada lansia adalah

gerakan propulsif baik pada bidang horizontal maupun vertikal dan aktivitas yang

melibatkan ketahanan serta gerakan berpindah cepat seperti dalam gerakan

spesifik ambulasi, jogging, dansa aerobik dan gerakan sit to stand.

18

Latihan keseimbangan merupakan aktivitas fisik yang dilakukan untuk

meningkatkan kestabilan tubuh dengan meningkatkan kekuatan otot ekstremitas

bawah. Pada penelitian ini latihan keseimbangan dilaksanakan dengan olah

pernapasan sehingga diharapkan keadaan fisik lansia meningkat. Olah napas yang

tepat dan benar dapat meningkatkan kebugaran dan kesehatan tubuh.

Dalam kehidupan sehari hari kebanyakan individu hanya menggunakan

20-30% dari kapasitas paru parunya untuk bernapas. Mayoritas individu

melakukan pernapasan pendek – pendek. Cara bernapas seperti ini mengakibatkan

paru paru tidak bekerja maksimal. Sebagian besar kapasitas paru paru tidak

terpakai. Bagian paru paru yang jarang digunakan lama kelamaan menjadi rusak

dan tidak mampu lagi mensuplai oksigen kedalam darah. Napas menjadi sesak

dan pendek, badan menjadi cepat lelah, suplai oksigen keseluruh bagian tubuh jadi

berkurang. Akibatnya tubuh menjadi lemah dan rentan terhadap berbagai

penyakit. Individu yang tidak melatih cara bernapas dengan baik dan benar pada

usia diatas 40 tahun kondisi tubuhnya menurun dan mudah dihinggapi berbagai

penyakit.

Tehnik yang dilakukan adalah tarik napas sedalam mungkin dimulai

dengan menggembungkan perut, kemudian dada dikembangkan dan pundak

diangkat keatas. Kemudian hembuskan napas dimulai dengan mengempiskan

perut dilanjutkan dengan menurunkan dada dan pundak. Ketika menarik napas

individu akan merasakan bahwa seluruh ruang paru-paru dipenuhi oleh udara, dan

sebaliknya ketika menghembuskan napas paru - paru akan dikosongkan dengan

sempurna.

2.4.1 Gerakan Keseimbangan

Gerakan latihan keseimbangan terdiri dari 5 macam gerakan, yaitu hip

extension, partial squats, knee extension,walk heel to toe dan single stamb with

chair (Eldergym Senior Fitness 2009, Senior Planning Services, 2010). Gerakan-

gerakan ini berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot pada anggota tubuh

bagian bawah (lower-exercise) yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan

keseimbangan postural pada lansia .

19

1. Hip extension

Tujuan : memperkuat otot pantat dan punggung

1. Berdiri dengan jarak ± 30 cm dari kursi.

2. Ambil nafas perlahan dari hidung dan gerakkan kaki kanan ke arah

belakang (kaki sampai pinggang dalam keadaan lurus) perlahan.

3. Pertahankan posisi.

4. Perlahan kembalikan kaki pada posisi semula dan menghembuskan nafas

dari mulut.

5. Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali.

6. Ulangi pada kaki kiri.

Gambar 2.3 Hip extension

2. Partial squats

Tujuan : Menguatkan otot – otot kaki dan pantat untuk mempermudah

berjalan, memperbaiki keseimbangan.

1. Berdiri tegak, dengan tangan berpegangan pada kursi.

20

2. Ambil nafas perlahan dari hidung lalu tekuklah lutut semaksimal mungkin,

kurang lebih 450 tanpa menimbulkan rasa nyeri .

3. Kembali ke posisi semula dan hembuskan nafas dari hidung

4. Ulangi gerakan 10 kali

Gambar 2.4 Partial Squats

3.Knee extension

Tujuan : Menguatkan otot paha untuk memperbaiki kemampuan berjalan,

kecepatan bangun dari kursi

1. Posisi duduk tegak

2. Ambil nafas perlahan dari hidung

3. Perlahan – lahan angkat kaki kanan lurus ke depan

4. Kembali ke posisi semula sambil menghembuskan nafas dari mulut

5. Lakukan gerakan10 kali

6. Ulangi gerakan pada kaki kiri

21

Gambar 2.5 Knee extension

4. Berjalan dengan ujung jari kaki menyentuh mata kaki

Tujuan : Meningkatkan keseimbangan

1. Mulai dengan berdiri dimana satu kaki berada di depan

2. Ambil nafas perlahan dari hidung, mulailah melangkah lurus

3. Langkahkan kaki kiri didepan kaki kanan bergantian sampai 5 langkah

kembali ke posisi semula

Gambar 2.6 Walk heel to toe

5. Berdiri satu kaki dengan berpegangan

Tujuan : meningkatkan keseimbangan

22

1. Berdiri di samping kursi dan berpegangan

2. Mulai berdiri dengan satu kaki dan ambil nafas perlahan dari hidung 4 kali

hitungan lalu hembuskan lewat mulut 4 hitungan.

3. Kembali ke posisi awal. Ulangi dengan kaki lain. Masing – masing kaki

10 hitungan

Gambar 2.7 Berdiri dengan satu kaki.

23

2.5 Pemeriksaan Keseimbangan BBS Orem

Instrumen yang digunakan untuk pemeriksaan dalam penelitian ini

merupakan modifikasi dari teori keperawatan Orem dan pemeriksaan

keseimbangan Berg Balance Scale.

Teori keperawatan Orem dikenal dengan teori self care (perawatan diri).

Orang dewasa dapat merawat diri mereka sendiri, sedangkan bayi, lansia dan

orang sakit membutuhkan bantuan untuk memenuhi aktivitas self care mereka.

Teori ini mengacu kepada bagaimana individu memenuhi kebutuhan dan

menolong keperawatannya sendiri, maka timbullah teori dari Orem tentang Self

Care Deficit of Nursing (Hajul K, 2008).

2.5.1 Tiga Aspek Utama Model Keperawatan Orem

Dari teori ini, Orem menjabarkan teorinya ke dalam tiga aspek, yaitu;

1. Self Care. Self Care merupakan satu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai

dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna

mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai keadaan,

baik sehat maupun sakit. Teori self care ini berisi upaya tuntutan pelayanan

diri yang therapeutik sesuai dengan kebutuhan pasien. Perawatan diri sendiri

adalah suatu langkah awal yang dilakukan oleh seorang perawat yang

berlangsung secara berkelanjutan sesuai dengan keadaan dan keberadannya,

keadaan kesehatan dan kesempurnaan. Self care merupakan aktivitas yang

praktis dari seseorang dalam memelihara kesehatannya serta mempertahankan

kehidupannya.

2. Self Care Deficit. Teori ini merupakan inti dari teori perawatan general Orem

yang menggambarkan kapan keperawatan di perlukan. Oleh karena

perencanaan keperawatan pada saat perawatan yang dibutuhkan. Bila dewasa

(pada kasus ketergantungan, orang tua, pengasuh) tidak mampu atau

keterbatasan dalam melakukan self care yang efektif. Teori self care deficit

diterapkan bila;

1. Anak belum dewasa

2. Kebutuhan melebihi kemampuan perawatan

24

3. Kemampuan sebanding dengan kebutuhan tapi diprediksi untuk masa yang

akan datang, kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan

kebutuhan.

3. Nursing System. Teori yang membahas bagaimana kebutuhan “Self Care”

patien dapat dipenuhi oleh perawat, pasien sendiri atau keduanya. Nursing

system ditentukan/ direncanakan berdasarkan kebutuhan self care dan

kemampuan pasien untuk menjalani aktivitas self care. Orem

mengidentifikasikan klasifikasi Nursing System :

1) The Wholly compensatory system merupakan suatu tindakan keperawatan

dengan memberikan bantuan secara penuh kepada pasien dikarenakan

ketidakmampuan pasien dalam memenuhi tindakan keperawatan secara

mandiri yang memerlukan bantuan dalam pergerakan, pengontrolan dan

ambulasi, serta adanya manipulasi gerakan.

2) The Partly compensantory system merupakan sistem dalam memberikan

perawatan diri secara sebagian saja dan ditujukan pada pasien yang

memerlukan bantuan secara minimal .

3) The supportive – Educative system. Dukungan pendidikan dibutuhkan

oleh klien yang memerlukannya untuk dipelajari, agar mampu melakukan

perawatan mandiri.

Metode bantuan yang digunakan dalam teori ini adalah dengan membantu

klien dengan menggunakan sistem dan melalui lima metode bantuan yang

meliputi :

1) Acting atau melakukan sesuatu untuk klien

2) Mengajarkan klien

3) Mengarahkan klien

4) Mensuport klien

5) Menyediakan lingkungan untuk klien agar dapat tumbuh dan berkembang

(Trinoval YN, 2009).

2.5.2 Klasifikasi Kebutuhan Manusia Menurut Model Keperawatan Orem

Orem mengklasifikasikan kebutuhan manusia ke dalam 3 katagori, yaitu:

25

1. Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal):

kebutuhan yang umumnya dibutuhkan oleh manusia selama siklus

kehidupannya seperti kebutuhan fisiologis dan psikososial termasuk

kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, aktivitas, istirahat, kebersihan diri,

sosial, dan pencegahan bahaya. Hal tersebut dibutuhkan manusia untuk

perkembangan dan pertumbuhan, penyesuaian terhadap lingkungan yang

berguna bagi kelangsungan hidupnya.

2. Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri pengembangan):

kebutuhan yang berhubungan dengan pertumbuhan manusia dan proses

perkembangannya, kondisi, peristiwa yang terjadi selama variasi tahap dalam

siklus kehidupan dan kejadian yang dapat berpengaruh buruk terhadap

perkembangan. Hal ini berguna untuk meningkatkan proses perkembangan

sepanjang siklus hidup.

3. Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri

penyimpangan kesehatan): kebutuhan yang berhubungan dengan genetik atau

keturunan, kerusakan atau penyimpangan cara, struktur norma,

penyimpangan fungsi atau peran dengan pengaruhnya dan integritas yang

dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan self care.

2.5.3 Tujuan Utama Asuhan Keperawatan Model Orem

Tujuan keperawatan pada model Orem secara umum adalah:

1. Menurunkan tuntutan self care pada tingkat dimana klien dapat

memenuhinya, ini berarti menghilangkan self care deficit.

2. Memungkinkan klien meningkatkan kemampuannya untuk memenuhi

tuntutan self care.

3. Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) bagi klien untuk memberikan

asuhan dependen jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya self care

deficit apapun dihilangkan.

4. Jika ketiganya di atas tidak tercapai perawat secara langsung dapat memenuhi

kebutuhan-kebutuhan self care klien.

2.5.4 Konsep pemeriksaan Berg Balance Scale (BBS)

26

Berg Balance Scale (BBS) adalah suatu pemeriksaan yang bersifat

obyektif terhadap kemampuan keseimbangan (Canadian Physiotherapy

Association, 1994).) BBS sebagai suatu alat ukur/skala yang terdiri dari 14 item

yang dipakai untuk mengukur keseimbangan pada lansia dalam tatanan klinis

(Riddle and Stratford, 1999). Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk

mengidentifikasi dan mengevaluasi keseimbangan postural tubuh pada lansia

(Gowland, 1994). BBS dapat menggambarkan keseimbangan dengan baik.

Tes ini terdiri dari 14 item yang mengintegrasikan kemampuan persepsi,

sensori serta mobilitas dalam penilaiannya. Item – item tersebut antara lain :

sitting to standing, standing unsupported, sitting unsupported, standing to sitting,

transfers, standing with eyes closed, standing with feet together, reaching forward

with outstretched arm, retrieving object from floor, turning to look behind,

turning 360 degrees, placing alternate foot on stool, standing with one foot in

front, standing on one foot (Berg et al, 1992). Lama dari pemeriksaan Berg

Balance Scale (BBS) berkisar antara 15-20 menit, dengan kriteria penilaian yang

sederhana sehingga tidak memerlukan pelatihan khusus bagi pemeriksa. Item

yang diuji adalah kemampuan untuk memelihara posisi atau gerakan dengan

mengurangi landasan penunjang (base of support). Dimulai dari landasan

penunjang yang lebih besar yaitu duduk, lalu meningkat ke landasan penunjang

yang lebih kecil yaitu berdiri sampai berdiri dengan satu kaki. Tiap item diskor

dengan skala 0 – 4 dengan nilai maksimum 56. Interpretasi skor total BBS adalah

0 – 20 : resiko tinggi jatuh, 21 – 40 : resiko sedang, 41 – 56 : resiko rendah.

2.5.5 Aplikasi Teori Keperawatan Orem dan BBS

Penurunan BBS berhubungan dengan ketidakmampuan dalam pelaksanaan

ADL. Penelitian yang dilakukan oleh Setiahardja AS(2005), menyatakan ada

hubungan keseimbangan dengan AKS pada lansia dengan menggunakan Berg

Balance Scale dan Indeks Barthel yang dimodifikasi. Orem mengklasifikasikan

kebutuhan manusia menjadi tiga yaitu universal self care requisites, development

27

self care requisites, health deviation self care requisites. Universal self care

requisites merupakan pemenuhan kebutuhan dasar pada lansia fisik dan psikologis

misalnya makan, tidur, aktivitas, istirahat, eliminasi dan pemenuhan kebersihan

diri. Teori self care membagi tindakan yang diperlukan lansia menjadi tiga yaitu

wholly compensatory system, partly compensatory system, the supportive –

educative system. Pengamatan yang dilakukan di panti, selama ini lansia berusaha

untuk mandiri dalam pemenuhan kebutuhan sehari – hari, meskipun kondisi fisik

mengalami penurunan. Berdasarkan teori diatas maka peneliti ingin

menggabungkan konsep self care dan BBS. Interpretasi skor total BBS adalah 0 –

20 : resiko tinggi jatuh, 21 – 40 : resiko sedang, 41 – 56 : resiko rendah. Pada

penelitian ini dilakukan modifikasi yaitu skor 0 – 20 : wholly compensatory yang

berarti lansia memerlukan bantuan maksimal dalam pemenuhan ADL, 21 – 40 :

partly compensatory yang berarti lansia memerlukan bantuan sebagian dan 41 –

56 supportive education yang berarti lansia memerlukan dukungan untuk

meningkatkan kemampuan dalam pemenuhan ADL.

2.6 Konsep Hipertensi

2.6.1 Definisi

Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu

gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan

nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang

membutuhkan. Hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent

Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-

gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny Sustrani, dkk,

2004).

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi

batas normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai

faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%)

penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab tekanan darah

meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi

28

(tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah

(Kurniawan, 2002).

Penyakit hipertensi merupakan penyakit kelainan jantung yang ditandai

oleh meningkatnya tekanan darah dalam tubuh. Seseorang yang terjangkit

penyakit ini biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain seperti stroke,

dan penyakit jantung (Rusdi dan Nurlaela, 2009).

Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi

adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena gangguan pada

pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh

darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.

2.6.2 Klasifikasi Hipertensi Pada Lansia

1. Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :

1) Hipertensi primer atau esensial

Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak,

yaitu sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat

keluarga,obesitas,diit tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor

pendukung. Walaupun faktor genetik sepertinya sangat berhubungan dengan

hipertensi primer, tapi mekanisme pastinya masih belum diketahui.

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang

terindentifikasi lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti

hipertensi renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme

primer, dan obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.

2. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal

Normal

115 atau kurang

< 120

75 atau kurang

< 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage I 140-159 90-99

29

Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100

Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut

dapat dibedakan:

1) Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%

penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring

bertambahnya umur.

2) Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%

penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring

bertambahnya umur.

3) Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60 th,

lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.

2.6.3 Etilologi Hipertensi pada Lansia

Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain

meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti

obesitas asupan garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.

Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat

dikontrol, antara lain:

1. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol

Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik

kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin

pria atau wanita pasca menopause.

1) Jenis kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun

wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause.

Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon

estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density

Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor

pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek

perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas

wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai

kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini

30

melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut

dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan

umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur

45-55 tahun.

Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita

hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak

terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak

menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi

adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah

menopause.

2) Umur

Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi

orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari

orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani

secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai

menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat.

Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut.

hipertensi sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun.

Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause.

Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan

usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-

arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan.

Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan

aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.

3) Keturunan (Genetik)

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga

itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara

potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi

mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari

pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.

31

Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan

hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.

2. Faktor resiko yang dapat dikontrol

1) Obesitas

Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi

penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya

berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia.

Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti

artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT)

berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah

sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali

lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal.

Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan

lebih.

2) Kurang Olahraga

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak

menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan

perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan

melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus

melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu

Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena

bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif

cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka

harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering

jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak

arteri.

3) Kebiasaan Merokok

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat

dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko

terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.

4) Mengkonsumsi garam berlebih

32

Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)

merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko

terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak

lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di

dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan

intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler

meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut

menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada

timbulnya hipertensi.

5) Minum alkohol

Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan

organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol

berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.

6) Minum kopi

Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi

mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut

berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.

7) Stress

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf

simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara

intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat

mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum

terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi

dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan

pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota.

Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan resistensi

pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi

aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan

pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.

33

2.6.4 Manifestasi Klinis

Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering

tidak memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau

tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa

pasien yang menderita hipertensi yaitu : mengeluh sakit kepala, pusing, lemas,

kelelahan, sesak nafas, gelisah, mual muntah, epistaksis, kesadaran menurun.

2.6.5 Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar

dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke

bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron

preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan

ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang

vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin,

meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi

epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol

dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh

darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,

menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I

yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang

pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan

keadaan hipertensi.

34

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural

dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan

tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi

aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi

otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan

distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar

berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa

oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan

peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001). Pada usia lanjut perlu diperhatikan

kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis

sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).

2.6.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Hemoglobin / hematokrit

35

Renin

Angiotensin I

Angiotensin II

↑ Sekresi hormone ADH rasa haus Stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal

Urin sedikit → pekat & ↑osmolaritas

Mengentalkan

Menarik cairan intraseluler → ekstraseluler

Volume darah ↑

↑ Tekanan darah

↓ Ekskresi NaCl (garam) dengan mereabsorpsinya di tubulus ginjal

↑ Konsentrasi NaCl di pembuluh darah

Diencerkan dengan ↑ volume ekstraseluler

↑ Volume darah

↑ Tekanan darah

Angiotensin I Converting Enzyme (ACE)

Bagan 2. Patofisiologi hipertensi(Sumber: Rusdi &Nurlaela, 2009)

Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan (viskositas)

dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas,

anemia.

2. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal

3. Glukosa

Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan

oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).

4. Kalium serum

Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau

menjadi efek samping terapi diuretik.

5. Kalsium serum

Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.

6. Kolesterol dan trigliserid serum

Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya

pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )

7. Pemeriksaan tiroid.

Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.

8. Kadar aldosteron urin/serum

Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).

9. Urinalisa

Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya

diabetes.

10. Asam urat

Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.

36

11. Steroid urin

Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme

12. IVP

Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal,

batu ginjal / ureter.

13. Foto dada

Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.

14. CT scan

Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.

15. EKG

Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,

peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung

hipertensi.

2.6.7 Komplikasi Hipertensi

Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering

kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering

ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.

1. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler

Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan

sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan

dinding ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk,

kapasitasnya membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal

jantung. Angina pektoris dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit

arteri koronaria dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena

penambahan massanya. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran

jantung dengan denyut ventrikel kiri yang menonjol. Suara penutupan aorta

37

menonjol dan mungkin ditemukan murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi

jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar pada penyakit jantung

hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau irama

gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan tanda-

tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi iskemi

dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan oleh infark

miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data terbaru menduga bahwa

kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai oleh aldosteron pada asupan

garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya oleh peningkatan tekanan

darah atau kadar angiotensin II.

2. Efek Neurologik

Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina

dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan

arteri dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan

optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak

hipertensi pada pembuluh darah retina.

Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi. Sakit

kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang

merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga

ditemukan ’keleyengan’, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan

menurun atau sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius adalah oklusi

vaskuler, perdarahan atau ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama

sedikit berbeda. Infark serebri terjadi secara sekunder akibat peningkatan

aterosklerosis pada pasien hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat

dari peningkatan tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler

serebri (aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial

diketahui berpengaruh terhadap perkembangan mikroaneurisma.

Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan

kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan

kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan

spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang

38

ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri

atau transient ischemic attack.

Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina berupa

retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan, eksudat

pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah

dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh

darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.

3. Efek pada Ginjal

Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus

adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat

pada penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria

dan hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 %

kematian disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah

pada hipertensi terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis

dan metroragi juga sering terjadi pada pasien-pasien ini.

2.6.8 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan

mortalitas yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena

kebanyakan penderita hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan

mencapai target tekanan diastol saat target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga

fokus utamanya adalah mencapai target tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol

dan diastol < 140 / 90 mmHg berhubungan dengan penurunan terjadinya

komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus, target

tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.

Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :

1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.

2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah

dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya

komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat

antihipertensi.

39

4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin

seumur hidup.

5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi dasar

pengobatan hipertensi.

Pemakaian obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :

1. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan

2. Interaksi obat

3. Efek samping obat.

4. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui

ginjal.

Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia:

1. Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START

LOW GO SLOW)

2. Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk

penyesuaian autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.

3. Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali

sehari

4. Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi

5. Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas

pengobatan

6. Setelah tercapai target maka pemberian obat harus

disesuaikan kembali untuk maintenance

Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap kondisi

penderita adalah :

a. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.

b. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.

c. Organ yang rusak karena hipertensi.

40

Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat

antihipertensi mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di

bawah ini :

1. Ketidakpatuhan penderita

2. Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan

ginjal, dan kurangnya pemberian diuretik

3. Obesitas

4. Dosis yang tidak adekuat

5. Interaksi obat

6. Kontrasepsi oral

7. Penggunaan obat-obat steroid

8. Hipertensi sekunder

2.7 Konsep Asuhan Keperawatan

2.7.1 Pengkajian

1. Pengkajian

1) Aktivitas

(1) Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.

(2) Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,

takipnea.

2) Sirkulasi

(1) Gejala : Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung

koroner/katup dan penyakit cebrovaskuler, episode palpitasi.

(2) Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,

radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,

kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian

kapiler mungkin lambat/ tertunda.

3) Integritas Ego

41

(1) Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress

multiple (hubungan,keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.

(2) Tanda : Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian,

tangisan meledak,otot muka tegang, pernafasan menghela,

peningkatan pola bicara.

4) Eliminasi

Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau

riwayatpenyakit ginjal padamasa yang lalu).

5) Makanan/cairan

(1) Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam,

lemak sertakolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini

(meningkat/turun), Riwayatpenggunaan diuretic

(2) Tanda: Berat badan normal atau obesitas, adanya edema, glikosuria.

6) Neurosensori

(1) Gejala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyut, sakit kepala,

suboksipital (terjadi saatbangun dan menghilangkan secara

spontansetelah beberapa jam), Gangguan penglihatan (diplobia,

penglihatan kabur,epistakis).

(2) Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi

bicara,efek, proses piker,penurunan keuatan genggaman tangan.

7) Nyeri/ ketidaknyaman

Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung), sakitkepala.

8) Pernafasan

(1) Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja

takipnea,ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum,

riwayat merokok.

(2) Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan

bunyinafas tambahan(krakties/mengi), sianosis.

9) Keamanan

Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.

2.7.2 Diagnosa Keperawatan

42

1. Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler

serebral

2. Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan

dengan adanya tahanan pembuluh darah

3. Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output atau kelemahan

4. Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala

5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik.

6. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi

yang diderita klien

7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang

hipertensi

2.7.3 Intervensi Keperawatan

NODiagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intevensi

1 Nyeri akut

(Domain 12, kelas 1, 00132)

Definisi :

Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.

Batasan karakteristik :

1. Laporan secara verbal atau non verbal

2. Fakta dari observasi 3. Posisi antalgic untuk

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam, nyeri berkurang atau hilangNOC :

Pain Level,

Pain control,

Comfort level

Kriteria Hasil :

1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

4. Menyatakan rasa

NIC :

Pain Management

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien

4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

6. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

7. Kurangi faktor presipitasi nyeri

8. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)

9. Kaji tipe dan sumber nyeri

43

menghindari nyeri 4. Gerakan melindungi 5. Tingkah laku berhati-

hati6. Muka topeng 7. Gangguan tidur (mata

sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)

8. Terfokus pada diri sendiri

9. Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)

10. Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)

11. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)

12. Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)

13. Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)

14. Perubahan dalam nafsu makan dan minum

Faktor yang berhubungan :

Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)

nyaman setelah nyeri berkurang

5. Tanda vital dalam rentang normal (sistol 140 mmHg, Diastol < 90 mmHg)

untuk menentukan intervensi10. Ajarkan tentang tek/nik non

farmakologi11. Tingkatkan istirahat12. Kolaborasikan dengan

dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil

13. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration

1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat

2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi

3. Cek riwayat alergi4. Pilih analgesik yang

diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu

5. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal

6. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur

7. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

8. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat

9. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

2 Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli

NOC :

Circulation status

Tissue Prefusion : cerebral

NIC :

Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)

1. Monitor adanya daerah

44

(Domain 4, Kelas 4, 00201)

Definisi :

Penurunan pemberian oksigen dalam kegagalan memberi makan jaringan pada tingkat kapiler

Batasan karakteristik :

Cerebral

1. Abnormalitas bicara 2. Kelemahan ekstremitas

atau paralis 3. Perubahan status

mental 4. Perubahan pada respon

motorik 5. Perubahan reaksi pupil 6. Kesulitan untuk

menelan 7. Perubahan kebiasaan 8. Kardiopulmonar  9. Perubahan frekuensi

respirasi di luar batas parameter

10. Penggunaan otot pernafasan tambahan

11. Balikkan kapiler > 3 detik (Capillary refill)

12. Abnormal gas darah arteri

13. Perasaan ”Impending Doom” (Takdir terancam)

14. Bronkospasme 15. Dyspnea 16. Aritmia 17. Hidung kemerahan 18. Retraksi dada 19. Nyeri dada

Faktor-faktor yang berhubungan :

1. Hipovolemia 2. Hipervolemia 3. Aliran arteri terputus 4. Exchange problems 5. Aliran vena terputus 6. Hipoventilasi 7. Reduksi mekanik pada

vena dan atau aliran darah arteri

Kriteria Hasil :

1. Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :

1) Tekanan systole dandiastole dalam rentang yang diharapkan

2) Tidak ada ortostatikhipertensi

3) Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)

2. Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:

1) Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan

2) Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi

3) Memproses informasi

4) Membuat keputusan dengan benar

3. Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter

tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul

2. Monitor adanya paretese3. Instruksikan keluarga untuk

mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi

4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi

5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung

6. Monitor kemampuan BAB7. Kolaborasi pemberian

analgetik8. Monitor adanya

tromboplebitis9. Diskusikan menganai

penyebab perubahan sensasi

45

8. Kerusakan transport oksigen melalui alveolar dan atau membran kapiler

9. Tidak sebanding antara ventilasi dengan aliran darah

10. Keracunan enzim 11. Perubahan

afinitas/ikatan O2 dengan Hb

12. Penurunan konsentrasi Hb dalam darah

3 Intoleransi aktivitas b/d curah jantung yang rendah, ketidakmampuan memenuhi metabolisme otot rangka, kongesti pulmonal yang menimbulkan hipoksinia, dyspneu dan status nutrisi yang buruk selama sakit

Intoleransi aktivitas b/d fatigue

(Domain 4, Kelas 4, 00092)

Definisi : Ketidakcukupan energu secara fisiologis maupun psikologis untuk meneruskan atau menyelesaikan aktifitas yang diminta atau aktifitas sehari hari.

Batasan karakteristik :

1. Melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan.

2. Respon abnormal dari tekanan darah atau nadi terhadap aktifitas

3. Perubahan EKG yang menunjukkan aritmia atau iskemia

4. Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.

Faktor factor yang berhubungan :

NOC :

Energy conservation

Self Care : ADLs

Kriteria Hasil :

1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR

2. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri

NIC :

Energy Management

1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas

2. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan

3. Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan

4. Monitor nutrisi  dan sumber energi tangadekuat

5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan

6. Monitor respon kardivaskuler  terhadap aktivitas

7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien

Activity Therapy

1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalammerencanakan progran terapi yang tepat.

2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan

3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan social

4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan

5. Bantu untuk mendpatkan

46

1. Tirah Baring atau imobilisasi

2. Kelemahan menyeluruh

3. Ketidakseimbangan antara suplei oksigen dengan kebutuhan

4. Gaya hidup yang dipertahankan.

alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek

6. Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai

7. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang

8. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas

9. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas

10. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan

11. Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual

4 Kurang pengetahuan

(Domain 5, Kelas 4, 00126)

Definisi :

Tidak adanya atau kurangnya informasi kognitif sehubungan dengan topic spesifik.

Batasan karakteristik : memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.

Faktor yang berhubungan : keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

NOC :

Kowlwdge : disease process

Kowledge : health Behavior

Kriteria Hasil :

1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan

2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar

3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya

NIC :

Teaching : disease Process

1.    Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik

2.    Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.

3.    Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat

4.    Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat

5.    Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat

6.    Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat

7.    Hindari harapan yang kosong

8.    Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat

9.    Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses

47

pengontrolan penyakit

10.  Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

11.  Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan

12.  Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat

13.  Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat

14.  Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat

48