bab ii dinamika konflik di thailand selataneprints.umm.ac.id/52929/38/bab ii.pdf · dipegang oleh...
TRANSCRIPT
-
30
BAB II
Dinamika konflik di Thailand Selatan
Pada BAB 2 ini penulis mencoba untuk menjelaskan dengan detail
bagaimana sejarah konflik yang terjadi di Thailand Selatan dan respon dunia
terhadap konflik ini. Bermula dari sejarah Thailand yang bersambung ke
penguasaan terhadap Thailand Selatan. Munculah konflik-konflik yang
melatarbelakangi pemberontakan di wilayah Thailand Selatan dan tindakan
pemerintah Thailand dengan mengeluarkan kebijakan. Serta bagaimana dunia
internasional melihat konflik yang terjadi di Thailand Selatan sebagai sebuah isu
yang dapat mempengaruhi kestabilan negara sekitarnya.
2.1 Sejarah Thailand
Negara Thailand secara tradisional mempunyai asal usul yang dikaitkan
dengan sebuah kerajaan berumur pendek yang bernama kerajaan Sukothai. Sebuah
kerajaan tertua di Thailand yang berdiri dari tahun 1238 sampai 1438 setelah
sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Khmer. Kerajaan Sukhothai ketika dipimpin
oleh Pho Khun Rankhamhaeng cukup menikmati masa-masa keemasan sebagai
puncak kejayaan dan kemakmurannya. Ramkhamhaeng dianggap sebagai pencipta
alfabet Thai yang dibuat berdasarkan aksara orang Khmer boran (zaman purba)
yang masih digunakan sampai saat ini23Puncak kejayaan kerajaan ini mempunyai
wilayah yang terbentang meliputi Myanmar sampai Laos serta ke arah selatan
semenajung Malaysia dengan penerapan kekuasaan di tiap wilayah yang berbeda-
beda. Kejayaan kerajaan ini tidak begitu lama setelah Ramkhamhaeng digantikan
oleh anaknya Loithai. Masa pemerintahan Loithai ini yang membuat Kerajaan
23 E.J Keyes & C.F. Keyes. 2008. “Thailand”. Encyclopedia Britannica, Chicago, AS. Hal 2
-
31
Sukhothai melemah dan berakibat kepada wilayah yang telah dikuasai sebelumnya.
Kerajaan-kerajaan kecil seperti Uttaradit di utara, kerajaan Lao di Luang Prabang
(Laos), dan Wiengchan atau Vientiane melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan
Sukhothai. Sampai akhirnya Sukhothai menjadi bawahan kerajaan Ayutthaya
karena wilayah pemerintah pusat telah direbut dan statusnya berubah hanya sekedar
provinsi pada tahun 1438.24
Kerajaan Sukhothai yang hanya mempunyai umur yang tidak terlalu
panjang akhirnya digantikan kekuasaanya oleh kerajaan tetangga yang lokasinya
masih di sekitar wilayah tersebut yaitu kerajaan Ayutthaya pada abad ke-14.
Perubahan kekuasaan yang terjadi demi perebutan kekuasaan ini, menjadikan
kerajaan Ayutthaya mempunyai kisaran wilayah yang cukup luas dibandingkan
dengan kerajaan Sukhothai. Luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan ini
menarik beberapa pendatang dengan latar belakang yang berbeda-beda termasuk
mencari tempat perlindungan agar lebih tenang dari tempat mereka sebelumnya.
Pada masa itu perebutan wilayah kerajaan terjadi dimana-mana dan menimbulkan
ketidaknyamanan serta rasa takut pada penduduk yang tinggal di wilayah sekitar
Siam.25
Hal ini dimanfaatkan untuk mereka yang tinggal di sekitar wilayah kerajaan
Ayutthaya untuk berpindah ke tempat yang lebih aman dan nyaman untuk mereka
tinggal. Beberapa dari mereka yang ingin mengunjungi kerajaan Ayutthaya tidak
hanya dari wilayah sekitar, akan tetapi juga dari negara-negara Eropa yang telah
24 Ibid hal 28 25 Wat Si Chum, “ Sukhothai : Uttaadit, Phitsanulok, and Petchabun”.2010. Diakses
[https://www.thailandtourismus.de/fileadmin/downloads/12/Sukhothai.pdf] pada 3 Mei 2018.
-
32
masuk dari abad ke-16.26 Seringnya melakukan perdagangan antar negara membuat
kerajaan ini juga mendatangi beberapa wilayah seperti Tionkok, India, Jepang,
Persia, dan juga beberapa negara eropa. Bahkan Raja Narai yang saat itu memimpin
kekuasaan di Ayutthaya memperbolehkan pedagang Portugis, Spanyol, Belanda,
dan Prancis untuk tinggal dan mendirikan pemukiman di luar tembok kota
Ayutthaya. Pernah tercatat pada pertengahan abad ke-16, Raja Narai sering
berkunjung dan mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Raja Louis XIV
dari Prancis.27
Nasib yang begitu gemilang dari kerajaan Ayutthaya tidak dapat
dihindarkan dari serangan kerajaan Burma yang pada saat itu telah menguasai
Chiang Mai pada abad-16. Masuknya pasukan Burma sedikit demi sedikit di
wilayah kota Ayutthaya membuat pelindung atau tembok yang pada saat itu
melindungi kerajaan menjadi hancur karena blokade yang dilakukan mereka.
Meskipun pasukan kerajaan Ayutthaya mencoba untuk melawan akan tetapi kondisi
mereka yang melemah karena kelaparan dan pengepungan masal membuat
kegagalan untuk menghentikan pasukan Burma. Pembantaian dan pembakaran
besar-besaran dilakukan oleh Burma di seluruh kota bahkan penghancuran
sejumlah patung Buddha agar lapisan emasnya dapat dirampas dan dimanfaatkan.28
Kemenangan yang didapat oleh kerajaan Burma ini dipatahkan oleh China
yang pada saat itu menyerang wilayah burma akibatnya gagal mempertahankan
wilayah Ayutthaya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh salah satu jendral Ayutthaya
26 Ibid. 27 ibid. 28 K. A. Leitich & W. J. Topich. 2013. “ The History of Myanmar”. Greenwood. AS. Hal 33.
-
33
yang sempat kabur ke wilayah Siam Tenggara dan membuat sebuah kelompok baru
untuk merebut kembali wilayahnya atas Burma. Jendral Taksin berhasil
menakhlukkan satu persatu wilayah Ayutthaya bersama dengan pasukan baru yang
dipimpinnya bahkan memperluas wilayahnya hingga Laos, Kamboja, dan
Semenanjung Malaka bagian utara. Setelah masa kekuasaan Taksin berakhir karena
terbunuh, kekuasaan selanjutnya dipegang oleh jendral bawahannya yaitu Chakkri
yang kemudian di beri gelar “Rama I “. Berkuasanya Rama I maka dimulainya
dinasti modern Siam yang turun temurun sampai saat ini mendiami tahta kerajaan.29
Raja-raja selanjutnya yang memegang tahta kerajaan Siam sangat mempertahankan
kemerdekaannya meskipun beberapa kali Burma menyerang. Kurang lebih sekitar
700 tahun kerajaan Siam tidak pernah dijajah oleh kekuatan asing karena sistem
kerjasama yang mereka jalin antar negara dengan regulasi yang cukup ketat.
Akhirnya pada tahun 1948, kerajaan Siam resmi mengganti nama menjadi kerajaan
Thailand dengan menerapkan sistem monarki konstitisional dan raja yang
memimpin sampai saat ini yaitu Raja Vajiralongkorn atau Rama X dari dinasti
Chakri. 30
2.2 Konflik di Thailand Selatan
Negara Thailand memang biasa disebut negara gajah putih yang cukup
terkenal diantara negara-negara di Asia Tenggara yang tak pernah dijajah. Sejarah
yang cukup panjang juga dimiliki oleh negara ini sendiri karena juga sempat
berebut wilayah negara seperti Burma. Pada awal kekuasaan kerajaan Sukothai
29 Ibid hal 35 30 Masa pemerintahan Raja Vairalongkorn di mulai dari tahun 2016 menggantikan ayahandanya yang telah meninggal sampai saat ini (2018). Di akses http://www.wisatathailand.com/sejarah/
-
34
provinsi Patani, Narawat, dan Yala mempunyai identitas sejarah kenegaraan,
keagamaan dan kebudayaan di wilayah Thailand Selatan yang sangat berbeda dari
wilayah Thailand lainnya. Tiga wilayah ini secara umum merupakan daerah
kekuasaan politik yang berlatar belakang sejarah kedaulatan yang pada saat itu
dipegang oleh Patani Darussalam. Sejarah menulis bahwa sebelum negeri Patani
Darussalam menjadi kekuasaan pemerintahan Thailand pada tahun 1902, negeri ini
memiliki sejarah yang cukup lama dibandingkan dengan sejarah negeri-negeri
Melayu lainya.31
Negeri ini hampir sama bentuk pemerintahannya seperti beberapa kerajaan
yang ada di Nusantara pada saat itu yaitu diperintah oleh kesultanan Islam Melayu.
Pernah juga dikenal sebagai pusat pelabuhan yang terletak di sekitar Laut Cina
Selatan yang kemakmurannya menjadi incaran oleh musuh bangsa Melayu yaitu
Siam atau saat ini Thailand. Apabila dilihat dari segi geografisnya, negeri Patani
Darusssalam berperan penting dari segi pemikiran keagamaan, pendidikan Islam,
ekonomi perdagangan serta kestabilan politik dan pemerinthannya ketika masih
menjadi kerajaan. Oleh karena itu Sejarah Islam di Patani tidak pernah lepas dari
konflik terutama ketika wilayah Patani telah dikuasai oleh penguasa Thailand.
2.2.1 Konflik masa lalu dengan Pattani Darussalam
Pada pertengahan tahun 1768 adalah awal mula dari konflik yang terjadi di
kawasan Patani, Narathiwat, Yala, dan Songkhla. Pada saat itu Kerajaan Siam
berhasil menakhlukkan kerajaan Patani dengan cara peperangan yang dilakukan
31 Syukri,I. (2002) Sejarah Kerajaan Melayu Patani. Bangi, Universiti Kebangsaan Malaysia, hal
81.
-
35
oleh kedua belah pihak. Taktik perang atau strategi perang yang digunakan oleh
kerajaan Siam dalam keberhasilannya atas penguasaan terhadap kerajaan Patani
adalah dengan cara “Pecah dan Perintah”.32 Cara ini digunakan oleh Siam agar
dapat memecah belah persatuan dan melemahkan pimpinan-pimpinan Melayu
supaya tidak bangkit dan berinisiatif untuk memulai pemberontakan. Pada saat itu
negeri Patani telah di pecah menjadi tujuh bagian wilayah dan di setiap wilayah
tersebut telah terpilih pemimpin yang dijadikan boneka dengan tujuan menguasai
Melayu. Proses pemecahan ini sengaja dibuat agar Siam dapat menjadi pusat
kekuatan di Melayu dan untuk menghadang para penjajah lain dari Eropa yang
kebanyakan diantara mereka terlah mengincar wilayah Asia Tenggara dalam segi
perdagangan.
Proses desentralisasi atau pemusatan kekuasaan ini menjadi sangat penting
sekali bagi Siam untuk proses menakhlukkan Patani dilihat dari letak yang strategis
dapat dimanfaatkan bangsa Eropa khususnya untuk perdagangan di wilayah Asia
Tenggara. Keadaan wilayah Timur Sungai Mekong pada saat itu dikuasai oleh
Prancis serta masih berkuasa di wilayah Timur Laut Burma dan Laut Cina Selatan
yaitu kerajaan Inggris yang juga menjadi ancaman yang cukup berat untuk Siam
dalam mempertahankan wilayahya.33 Maka hal ini menjadi alasan Kerajaan Siam
sangat gencar sekali dan memanfaatkan kesempatan ini untuk memperluas
wilayahnya.
32 ibid hal 83. 33 Ibid hal 85.
-
36
Oleh karena itu dibuatlah sebuah peraturan yang diperkenalkan oleh Raja
Chulalongkorn pada tahun 1897 untuk mewujudkan dasar dari asas desentralisasi
yang mereka buat.34 Pada masa pemerintahannya, Raja memerintah wilayah dengan
menggunakan sistem Thesaphiban dimana pengguanaannya telah di seragamkan di
seluruh wilayah yang akibatnya pada pudarnya otonomi dengan keragaman dan
keunikan daerah masing-masing, termasuk wilayah Patani.35 Kebijakan yang di
keluarkan ini membuat wilayah dibagi menjadi unit yang disebut Monthon. Tiap-
tiap Monthon di perintah oleh seorang kepala daerah yang disebut dengan Khaluang
Thesaphiban yang bertanggung jawab kepada mentri dalam negeri. Keseluruhan
dari Khaluang Thesaphiban adalah pengawal kerajaan yang digaji dengan gaji
pemerintah pusat yang juga seragam.36 Peniadaan unsur-unsur lokal dilakukan demi
terwujudnya kebijakan yang dapat membuat timpang ekonomi, hilangnya keunikan
daerah, hingga penguasa daerah yang asalnya dari pemimpin tradisional juga
dihapuskan.
Akan tetapi apabila kita lihat proses sejarah yang menjadikan penduduk
selatan lebih memilih untuk memisahkan diri adalah karena kurangnya
kesejahteraan yang didapatkan oleh mereka. Maka disini penulis mencoba
memaparkan terdapat beberapa fase-fase konflik yang terbagi di Thailand Selatan.
a. Konflik Fase I (1960 – 1997)
Setelah muncul peraturan dari pemerintah Thailand yang
memerintahkan kepada seluruh pesantren-pesantren di Thailand Selatan
34 Ibid hal 86 35 Ibid hal 88. 36 Pitsuwan,S. (1982) Islam and Malay nationalism : A Case study of muslim of Southern
Thailand. Ph.D, Tesis. Harvard University. Hal 20.
-
37
untuk mengadopsi kurikulum pendidikan yang bermuatan sekuler, seketika
terjadi penolakan yang cukup besar. Penolakan ini di kemukakan oleh Ustad
Haji Abdul Karim Hassan yang sangat tidak setuju terhadap keputusan
pemerintah Thailand mengenai perubahan kurikulum pesantren. Alasan
tersebut membuat kemudian beliau membentuk kelompok bersenjata yang
bernama Barisan Revolusi Nasional (BRN) di tahun 1960.37
a. Pembentukan BRN (Barisan Revolusi Nasional)
Adalah gerakan Melayu Pattani yang aktif sekali di Thailand Selatan
dan Malaysia Utara. Pergerakannya sangat memprioritaskan kemerdekaan
bagi masyarakat Pattani dan sekitarnya. Beranggotakan warga selatan yang
tidak setuju dengan pemerintah Thailand kelompok ini tidak hanya
mengusung ideologi Islam, akan tetapi juga mencoba mempertahankan
ideologi nasionalisme Melayu dan sayap kiri (sosialisme). BRN atau
Barisan Revolusi Nasional ini terbentuk juga karena adanya pendukung dan
terbangunnya sebuah relasi yang dekat dengan Partai Komunis Malaya.38
Terbentuknya BRN ini dimanfaatkan untuk mengusik stabilitas di Thailand
Selatan dengan berbagai aksi bersenjata yang tujuannya yaitu untuk menarik
perhatian pemerintah Thailand agar permasalahan konflik ini terlihat
dipermukaan.
Walaupun BRN terbentuk dengan berbagai aksinya, kelompok ini
tidak dapat berkembang lebih jauh dan menjadi ancaman regional yang
37 Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politikus: Hayat Perjuangan Lima Tokoh Persis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), Hal 3. 38 ibid
-
38
serius karena minimnya dukungan dari masyarakat Thailand Selatan
khususnya dari kalangan Muslim Konservatif. Pengaruh ini disebabkan
karena kebanyakan masyarakat Muslim Konservatif tidak begitu tertarik
dengan ideologi sayap kiri yang telah diusung oleh BRN. Maka pada tahun
1968, terdapat beberapa masyarakat Thailand Selatan yang merasa bahwa
aksi-aksi perlawanan yang dilakukan semakin minim mulai disusunlah
sebuah kelompok untuk membentuk pemberontakan baru. Kelompok
pemberontak baru ini bernama PULO atau Patani United Liberation
Organisation (Organisasi Pembebasan Bersatu Patani).39
b. Pembentukan PULO
Organisasi ini dibentuk pada tanggal 22 Januari 1968 oleh Tengku
Bira Kotanila bersama dengan rekannya Harun Muleng.40 Organisasi ini
memiliki sistem pengkoordinasian yang lebih aktif, pendukungnya lebih
luas dan telah tersebar di kota maupun desa. Landasan ideologi yang
dimiliki oleh PULO mempunyai kelebihan untuk merangkul mayoritas
golongan dan lapisan masyarakat Melayu-Muslim di Thailand Selatan.
Jaringan yang digunakan oleh PULO tidak terbatas pada negara Thailand
saja, akan tetapi lebih luas lagi dari Arab sampai dengan Libya.41 Organisasi
ini dipimpin oleh para kaum intelektual muda yang lebih terorganisir dan
sistematis bahkan militan dalam menjalankan tugasnya.
39 Chalk, Petter (2008). The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand Understanding the Conflict’s Evolving Dynamic. National Defence Research Institute. Rand Cooperation. Diakses
dari [http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/occasionalpaper/2008/rand_op189] pada
20/5/2018 hal 5 40 Zamberi, Muhammad. Umat Islam Pattani : Sejarah dan Politik. Shah Alam. 1993. Hal 12 41 ibid hal 13
-
39
Perkembangan PULO sangat pesat dan berhasil menarik minat
masyarakat lokal Thailand Selatan khususnya dari kalangan muslim
konservatif. Perlawanan senjata dan berbagai kegiatan sosial untuk
meningkatkan mutu serta taraf pendidikan juga kesejahteraan para
penduduk lokal menjadi daya tarik tersendiri yang membuat kelompok ini
diterima. Gerakan-gerakan yang mengundang simpati para masyarakat
membuat PULO menjadi kelompok yang cukup besar di antara kelompok
lainya. Akan tetapi keanggotaan yang dimiliki oleh PULO dapat dikatakan
terbatas karena tidak pernah menembus angka 400 orang sampai terkadang
mengalami kesulitan untuk pemberontakan yang bersekala besar.42
Aktifitas yang dilakukan oleh PULO biasanya menargetkan sasaran
seperti sekolah, kantor pemerintah, dan kuil budha serta elemen-elemen
masyarakat yang terlibat di dalamnya. Masalah yang dihadapi oleh
organisasi ini tidak hanya pada keanggotaan yang minim, akan tetapi juga
konflik internal pada PULO sendiri. Pada tahun 1993-1995 adalah puncak
konflik internal yang terjadi ketika sebagian besar dari keanggotaan PULO
mencoba untuk keluar dan membentuk kelompok baru. Anggota yang
membelot untuk membuat kelompok baru ini sering dikenal dengan julukan
NEW PULO.43
c. Pembentukan NEW PULO
42 ibid hal 14 43 ibid hal 7
-
40
Apabila dibandingkan dengan PULO yang lama, NEW PULO lebih
mempunyai karakter yang agresif dan pragmatif dikarenakan mereka hanya
berfokus pada perjuangan bersenjata saja. Kegiatan yang dilakukan NEW
PULO biasanya juga melibatkan orang selain kelompok bahkan membayar
penjahat-penjahat dengan tujuan agar aksi-aksi penyerangan yang
direncanakan dapat berjalan dengan lancar. Berjalannya waktu yang
membuat semakin banyaknya kelompok pemberontak aktif dalam konflik,
ternyata masih tidak serta merta meredakan konflik yang terjadi di Thailand
Selatan. Konflik yang terjadi pada fase ini hanya terbatas pada skala kecil
karena setiap kelompok pemberontak bekerja secara individualis dan saling
bersaing satu sama lain. Akan tetapi situasi berubah setelah memasuki tahun
1997, dimana kelompok-kelompok pemberontak yang tampak ataupun
tidak tampak di permukaan sepakat untuk membentuk kelompok
pemberontakan bersama yang dinamakan Bersatu.
d. Pembentukan Bersatu
Pembentukan Bersatu ini didasari oleh tujuan utamanya yaitu ingin
melakukan operasi militer bersama dengan sebuah kode sandi yang
dinamakan “Operasi Daun Gugur”.44 Operasi militer dilakukan oleh para
personil Bersatu dengan aksi-aksi penembakan, pemboman dan
pembakaran terkoordinir yang mengakibatkan 9 orang tewas dengan
kerugian yang cukup besar. Melihat semakin meningkatnya intensitas
konflik semenjak Bersatu telah terbentuk, pemerintah Thailand mencoba
44 ibid hal 9
-
41
untuk melakukan perubahan rencana dalam menenangkan konflik ini.
Pemerintah Thailand mencoba mengajak kerjasama negara tetangga yang
letaknya sangat bersebelahan yaitu Malaysia. Ketakutan pemerintah
Thailand terhadap para pemberontak yang kabur ke perbatasan untuk
bersembunyi di Malaysia harus ditanggapi dengan serius. Kerjasama ini
membuahkan hasil dengan penangkapan para pemberontak yang ternyata
sebagian juga terdapat di wilayah negara Malaysia.45 Penangkapan ini
sangat berpengaruh terhadap penurunan aktifitas dari kelompok
pemberontak Bersatu dan membuat keadaan damai untuk sementara waktu.
b. Konflik Fase II (2001 – 2004)
Masa-masa kedamaian di Thailand Selatan yang masih berlangsung
di tahun 2001 sangat di nikmati oleh penduduk setempat.46 Hal ini sangat
dimanfaatkan oleh pemerintah Thailand pusat untuk memberikan sebuah
otonomi khusus dan pemberian subsidi lebih kepada masyarakat Thailand
Selatan. Pemberian subsidi ini menjadi sangat penting sekali melihat kadaan
konflik yang membuat kebanyakan masyarakat Thailand Selatan yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan hariannya. Tujuan dari pembarian subsidi ini
juga dimaksudkan agar nantinya masyarakat Thailand Selatan tidak
melakukan pemberontakan lebih jauh ketika keadaan telah cukup damai.
Akan tetapi meski awalnya penawaran yang dijanjikan cukup menarik,
45 Arisandy, Dessy. (2012). Diplomasi Thailand-Malaysia dalam mengatasi gerakan separatis di
Thailand selatan periode 2000-2009. Sebuah skripsi yang diakses dari
[http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24110/1/DESY.pdf] pada 29/9/2018 46 ibid
-
42
kebijakan dari pemerintah Thailand tersebut dalam paraktiknya tidak
memberikan keuntungan kepada masyarakat Thailand Selatan.
Peningkatan kualitas insfrastrutur yang kurang memadai, pemakaian
orang Melayu yang jarang, dan pengangguran masih yang masih terhitung
banyak merupakan langkah pemerintah Thailand yang kurang maksimal.
Pada akhir tahun 2001, pemerintah pusat Thailand membubarkan badan
otonomi khusus yang menjadi kontrol atas Thailand selatan.47 Kurang
maksimalnya pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang pemerintah Thailand
selama masa perdamaian berlangsung membuat aktifitas pemberontakan
muncul kembali. Akhir Tahun 2001 juga terdapat kurang lebih 5 aksi
penyerangan terkoordinir berasal dari kelompok bersenjata yang
identitasnya tidak diketahui menyerang ke berbagai penjuru Thailand
selatan. Akibatnya 5 anggota polisi dan 1 relawan keamanan desa tewas
dalam aksi pemberontakan tersebut. Lebih lanjut aksi-aksi pemberontakan
tahun demi tahun semakin mengalami peningkatan yang cukup tajam.
Terdapat sekitar 75 kasus di tahun 2002 menjadi 119 kasus di tahun 2003.48
Peningkatan selanjutnya terjadi di tahun 2004 di mana para
pemberontak mulai berani untuk menyerang pos-pos tentara sebagai target
mereka. Tepat di bulan januari 2004, kurang lebih 100 orang bersenjata
menyerang pangkalan militer di Thailand Selatan dan merampas persediaan
senjata yang tersimpan di dalamnya. Selanjutnya terjadi lagi di bulan Maret
47 Gunaratna, Rohan, dan Acharya, Arabinda. (2013). The Terrorist Threat from Thailand : Jihad or Quest for Justice. Potomac Books. Hal 96. 48 ibid hal 102
-
43
dan April 2004 di mana dalam aksi pemberontakan itu para pelaku berhasil
mengamankan aneka persenjataan canggih seperti senapan mesin, senapan
serbu, peluncur granat berporong roket (RPG), bahkan aneka bahan peledak
juga mereka dapatkan. Bulan April 2004 juga menjadi sebuah momentum
bersejarah yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Thailand
Selatan dan termasuk paling kontrofersial pada saaat itu. Pada tanggal 28
April terdapat kurang lebih 100 orang anggota milisi menyerang 10 pos
militer di Thailand Selatan.49
Pada pemberontakan ini terjadi baku tembak yang cukup sengit
dengan para pemberontak yang kemudian sempat dipatahkan oleh para
tentara. Sebagain milisi yang terpojokkan kemudian lari untuk mencari
perlindungan dan persembunyian sementara di masjid Krue Se. Masjid ini
sangat dihormati bahkan disakralkan oleh penduduk muslim setempat. Para
tentara yang sedang mengejar milisi tersebut memasuki wilyah masjid untuk
menembaki dan menewaskan para milisi yang bersembunyi didalamnya.
Kejadian ini ternyata memancing amarah dan kekecewaan dari masyarakat
muslim di wilayah tersebut karena penghormatan mereka. Sehingga sejak
saat itu konflik di Thailand selatan yang awalnya hanya berputar pada
permasalahan politik semakin merambah menjadi sebuah sentimen
agama.50
49 ibid hal 105 50 Nattine Rodrasska, “School under attack in southern Thailand”, 2005. Diakses pada [https://www.unicef.org/infobycountry/Thailand_28007.html] 3 Feb 2018.
-
44
Peristiwa-peristiwa kontroversial belum sampai situ saja, pada bulan
Oktober 2004 belokasi di kota Tak Bai, Narathiwat, terjadi demonstrasi
yang dilakukan oleh para penduduk lokal.51 Mereka menuntut
dibebaskannya enam rekan mereka yang sebelumnya ditangkap oleh aparat
setempat karena dicurigai sebagai penyedia persenjataan dengan tujuan
pemberontakan. Tanggapan dari aparat Thailand untuk meredam para
demonstran tersebut terlalu berlebihan dan lebih bersifat kasar bahkan
sampai membabibuta. Aparat Thailand yang telah menangkap para
penduduk lokal memaksa untuk menanggalkan pakaiannya dalam keadaan
terikat, lalu dimasukkan kedalam truk dalam kondisi sesak untuk
selanjutnya dibawa ke pos milite di Patani.
Masalah baru muncul lagi ketika puluhan demonstarn dari penduduk
lokal yang ada di dalam truk tersebut ditemukan tewas akibat dehidrasi dan
kekurangan oksigen. Muncul sebuah kecaman yang sangat keras atas
prilaku tentara Thailand yang bukan hanya berasal dari kalangan muslim
tapi juga dari golongan non-muslim Thailand. Demi mengadili para tentara
yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut sidang pun dilakukan,
namun hasil didapatkan dari pengadilan hanya vonis yang ringan. Terlepas
dari masih banyak misteri yang tersimpan di balik insiden yang telah terjadi,
pada akhirnya muncul pemicu baru untuk konflik yang bersekala jauh lebih
besar di Thailand Selatan.52
51 ibid 52 Ibid.
-
45
c. Konflik Fase III (2005 – 2006)
Pada fase ini terdapat konflik yang ditandai dengan menjamurnya
kelompok-kelompok pemberontak berideologi Islam baru terbentuk setelah
konflik-konflik sebelumnya. Konflik pada fase ini memunculkan nama-
nama gerakan baru seperti Gerakan Mujahidin Islam Patani (GMIP) dan
Barisan Islam Pembebasan Patani (BIPP) yang juga hampir sama seperti
sebelumnya. Akan tetapi selain kelompok-kelompok baru yang telah lahir,
kelompok lama seperti PULO dan BRN juga terpancing dan menemukan
kebangkitannya lagi di periode ini. Fase ini juga membuat sebuah
peningakatan yang cukup tajam terhadap jumlah anggota pemberontak
dibandingakn dengan sebelumnya yang hanya melibatkan ratusan orang.
Jumlah anggota pemberontak menjadi naik menjadi kurang lebih 5.000
sampai dengan 30.000 orang yang terlibat dalam aksi-aksi penyerangan dan
vandalisme seperti yang biasanya mereka lakukan.53
Pada bulan Februari 2005, peningkatan aksi vandalisme semakin
meningkat dengan sebuah bom rakitan seberat 50kg meledak di perbatasan
Thailand dan Malaysia. Beberapa saat selanjutnya sebuah bom juga
meledak di bandara, supermarket, dan hotel-hotel di provinsi Songkhla.54
Aktifitas para pemberontak juga semakin sadis bukan lagi dengan
pengeboman, akan tetapi juga penembakan brutal dan pemotongan kepala
kepada orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka. Lebih lanjut, aksi
53 Adam burke, “ The contested coner of Asia : Substational conflict and internasional development assistance, 2013, By The Asia Fondation. Hal 25-27. 54 ibid
-
46
pemberontakan itu juga dilakukan dengan pembunuhan dan pemenggalan
kepala termasuk kepada para pemuka agama yang bertentangan dengan
jalan mereka.
Maka yang dilakukan pemerintah selanjutnya adalah bertindak tegas
untuk meredam permasalahan juga sebagai pengaman negara agar tetap
seimbang. Perdana menteri Thailand Thaksin Shinawatra, akhirnya
mengerahkan pasukan yang diambil dari berbagai elemen militer dan non
militer untuk meredam masalah tersebut. Jumlah dari pasukan yang dikirim
sekitar 24.000 tentara dan kurang lebih 70.000 anggota milisi pro-
pemerintah yang telah membantu keamanan negara sejak tahun 2004 juga
dikerahkan. Penerjunan anggota kemiliteran ini juga tidak pernah luput dari
kekurangan ketika menghadapi konflik yang terjadi di Thailand Selatan.55
Sangat minimnya keterampilan kelompok tentara Thailand dalam
menghadapi konflik anti-teror ditambah dengan buruknya rasa pengertian
terhadap pada penduduk lokal membuat peredaman konflik tidak berjalan
dengan lancar malah memperburuk konflik. Lebih lanjut, pihak tentara
Thailand juga sering mengalami konflik dengan kebanyakan polisi setempat
karena terdapat beberapa anggota polisi lokal yang juga terlibat dalam
sindikat kasus narkoba di Thailand Selatan.56
Ketika telah mamasuki tahun 2006, kudeta militer terjadi untuk
menjatuhkan rezim Thaksin. Masa pemerintahan Thaksin pada saat itu
55 Ahmad Omar Capakiya, Politik dan Perjuangan Masyarakat Islam di Selatan Thailand 1992-
2002, (Kuala Lumpur: UKM,2002) Hal 26. 56 Ibid hal 29
-
47
sangat bertentangan dengan ideologi komunis yang pada saat itu
kebanyakan dianut oleh para petani di Thailand. Pihak junta militer yang
baru berkuasa awalnya berjanji akan lebih giat lagi untuk bisa berunding
lagi dengan para para pemberontak agar konflik dapat teratasi. Namun, pada
kenyataanya aksi-aksi vandalisme serta penyerangan di medan konflik
masih berlangsung dan belum mengalami pengurangan sedikitpun.
Peristiwa pun terjadi di bulan Agustus 2006, ketika para pemberontak
menghancurkan 22 bank di kota Yala yang memakan banyak korban jiwa.
Pihak militer Thailand juga mengakui bahwa sedikit mengalami kesulitan
dalam melakukan perundingan dengan para pemnberontak. Banyaknya para
pemberontak yang tersebar di seluruh wilayah Thailand Selatan membuat
pihak militer kebingungan dalam bernegosiasi dan tidak dapat menentukan
siapa yang dapat diajak untuk berunding.57
2.2.2 Pemaksaan asimilasi dari segi linguistik, kebudayaan dan agama
Siam pada sangat berencana sekali untuk membuat sistem pemisahan
wilayah karena selain dapat membuat terpecahnya persatuan dari sisa-sisa kerajaan
Malay, di sisi lain juga dapat menguasai area perdagangan khususnya di wilayah di
Asia Tenggara. Hal tersebut membuat Siam nantinya menjadi negara yang dapat
memperluas wilayah kekuasaannya dengan mudah terhadap negara-negara yang
ada di sekitarnya. Hal ini sangat ditentang oleh kebanyakan masyarakat Patani yang
pada saat itu masih dikuasai wilayahnya oleh Siam. Alasan selain karena mereka
harus mengikuti perintah yang bertentangan dengan budaya mereka, mereka juga
57 ibid hal 37-39
-
48
harus mengikuti kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh raja-raja Siam. Selain itu
raja-raja melayu menjadi sangat terancam karena menurut mereka kebijakan Siam
sangat mengintimidasi kekuasaan daerah bahkan dapat menurunkan jabatan mereka
secara perlahan. Turunnya mereka dari jabatan daerah menjadi kesempatan besar
untuk Siam yang dapat secara bebas memutuskan siapa saja yang nantinya
memimpin meski asalnya bukan dari Patani ataupun bangsa Melayu lainya.
Sistem pemerintahan Thailand yang terkesan memaksa dengan halus
mengharuskan mereka untuk menggunakan bahasa dan tulisan khas budaya Thai.
Tidak banyak yang menolak keputusan pemerintah Thailand ini dan juga tidak
sedikit pula yang dapat menerima dengan senang hati. Warga Thailand Selatan
yang mayoritas melayu akhirnya sedikit demi sedikit kehilangan identitas mereka
karena akibat asimilasi budaya. Kebanyakan dari sarana dan prasarana yang ada di
Thailand Selatan menggunakan aksara Thai seperti sekolah, rumah sakit, taman,
dan lain sebegainya. Bahasa sehari-hari pun juga mengalami percampuraan karena
terdapat beberapa orang yang masih ingin sekali menjaga warisan leluhur mereka
yaitu bangsa Melayu. Selain bahasa dan tulisan juga terdapat kebiasaan
mengenakan jilbab bagi perempuan yang juga membuat mereka cukup dikucilkan
dari wilayah Thailand pusat dan imbas dari hal ini adalah pengangguran semakin
bertambah.
-
49
Para pejuang-pejuang pendidikan dan sosial di wilayah Thailand Selatan58
2.2.3 Perbedaan pendapatan ekonomi
Thailand Selatan merupakan wilayah yang sangat berbeda dengan wilayah
lainnya karena penduduk yang mendiaminya mayoritas merupakan etnis Melayu
yang beragama Islam.Wilayah ini sering sekali dilanda konflik karena salah satunya
penyebabnya adalah kemiskinan secara terus menerus.59 Pemerintah Thailand
berupaya untuk menyeimbangkan antara wilayah selatan yang minoritas
masyarakat Muslim-Malay dengan penduduk Thailand pusat agar tidak
memunculkan gerakan separatisme.
58 Diambil dari [http://www.nasriatimuthalib.com/2017/07/catatan-perjuangan-di-selatan-thailand.html] pada 3/10/2018. 59 ibid
-
50
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Thailand memang sempat
memberikan pengaruh besar pada perekonomian yang ada di Thailand Selatan.
Meskipun Thailand pernah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat di tahun
1960-1997, akan tetapi hal ini tidak diikuti dengan pemerataan ekonomi.
Pemerataan ini tidak didapatkan olah wilayah Pattani, Yala, dan Narathiwat bahkan
tergolong menjadi daerah yang paling miskin diantara wilayah Thaialnd Selatan
lainya.60 Apabila dilihat dari pendapatan rata-rata pada tahun 1962 dari wilayah
selatan adalah 120.7 persen dari daerah kerajaan. Sedangkan di tahun 2000
pendapatan rata-rata dari Selatan sebesar 91, 8 pesen dibandingkan pada tahun
2001.61
60 Coissant, Aurel. (2005). Unrest in South Thailand : Contours, Causes, and Consequences since 2001. Contemporary South East Asia, 27. Diakses dari [https://www.jstor.org/stable/25798718]
Pada 12 Sept 2018. 61 Jonas, Dalinger.(2012). ‘Pengembangan kelapa sawit di Thailand: Pertimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Diakses dari
[http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2012/10/1-pengembangan-kelapa-sawit-
di-thailand-pertimbangan-ekonomi-sosial-dan-lingkungan.pdf] pada 23/9/2018.
-
51
Sumber : UNDP, Thailand Human Development report 2003 (Bangkok,UNDP 2003)62
Padat tabel diatas dijelaskan bahawa Terjadi penurunan produk domestik regional
antara wilayah kerajaan dan selatan yang menurun sebanyak 68.7 persen di tahun
1999. Sedangkan pada tahun 2000 an terjadi peningkatan kemiskinana yang
membuat wilayah selatan menjadi tertinggal dari pusat.63 Hal ini di manfaatkan
oleh para kelompok separatis dengan mengumpulkan kelompok-kelompok yang
anti pemerintah untuk memisahkan diri dari negara Thailand.
2.3 Kebijakan pemerintah Thailand dan respon dunia internasional
terhadap konflik
2.3.1 Kebijakan pemerintah Thailand
Pertentangan dari masyarakat Patani masih terus terjadi mengingat kerajaan
Siam yang terus memojokkan dari segala sisi. Pada saat itu kerajaan Inggris yang
masih berhubungan baik dengan Melayu dikabarkan akan memberikan bantuan
kepada warga Patani. Ternyata yang terjadi selanjutnya adalah sebuah perundingan
62 Ibid 63 Ibid hal 29
-
52
kerjasama antara Siam dan Inggris berupa perjanjian yang dinamakan Perjanjian
Bangkok atau Anglo Siamse-Treaty pada tahun 1909.64 Pembuatan perjanjian ini
ternyata juga sangat merugikan masyarakat Patani dengan peraturan-peraturan yang
lebih ke arah penindasan secara menyeluruh juga dari beberapa aspek. Pembahasan
dari perjanjian ini yaitu kerajaan Siam yang telah berkuasa atas kerajaan Melayu
dapat melakukan apapun yang mereka inginkan termasuk yang berbentuk
penjajahan.
Terlebih lagi ketika kerajaan Inggris sangat mendukung dan
memperbolehkan Siam untuk melakukan apa saja terhadap wilayah Patani. Salah
satu alasan yang membuat perjanjian ini berjalan dengan baik adalah ketika
kerajaan Inggris yang setuju untuk menerapkan sistem bagi hasil terhadap
penjajahan yang dilakukan oleh kerajaan Siam.65 Kebebasan Siam yang terlampau
berlebihan ini berpengaruh pada kestabilan ekonomi, politik dan pendidikan yang
ada di Patani. Lebih jauh lagi, penjajahan yang dilakukan oleh Siam terhadap
masyarakat Patani telah masuk ke ranah yang paling sensitif yaitu budaya dan
agama. Hal ini yang akirnya membuat konflik dan pertentangan antara kerajaan
Siam dan juga mayoritas masyarakat Patani.
Kesengsaraan demi kesengsaraan meraka hadapi karena pemeriantahan
kerajaan Siam yang terlampau melebihi batas dalam mengatur jalannya kehidupan
dari masyarakat Patani pada saat itu. Terlebih lagi ditambah dengan diterapkannya
asas baru yang cukup membuat mereka harus patuh dan tunduk pada Siam yang
64 ibid hal 25. 65 Mahmud Syukri, Pathani, ( Jeddah: Dar Al-Saudiah Li an-Nasrani, 1974), Hal 25
-
53
dinamakan asas Rathaniyom pada tahun 1938.66 Thai Rathaniyom yang berarti
negeri Thai untuk ras Thai ini, membuat kebijakan yang dikeluarkan oleh perdana
mentri Phibun Songkhram ini menjadi sebuah politik yang bersifat ultra nasionalis.
Politik ini tujuannya adalah sebuah maksud agar kebudayaan Thai menjadi satu-
satunya yang berlaku dan dikembangkan oleh seluruh wilayah di Thailand. Akan
tetapi masyarakat yang tergolong minoritas diharuskan untuk patuh terhadap segala
bentuk budaya orang-orang Thai.
Kebijakan Phibun Songkhram yang sangat rasialis akhirnya membuat
timbulnya kemarahan yang luar biasa dari masyarakat Patani. Praktek politik
asimilasi yang terlalu berlebihan ini membuat bangsa Melayu Patani mulai
mengambil keputusan untuk menolak tunduk di bawah Siam karena penerapan
politik ultra nasionalis. Pada tahap perang dunia kedua, gerakan nasionalisme
Malaya juga sedang bangkit di sebrang perbatasan yang sempat memicu timbulnya
gerakan untuk membela sesama rakyat Melayu di Patani atau di negeri-negeri
melayu yang terjajah. Rasa ketidakpuasan dan kebencian terhadap kebijakan Thai
Rathaniyom mendorong diantara kelompok muda untuk membangkitkan karakter
bangsa Melayu dan meningkatkan kesadaran persatuan Islam. Peranan yang sangat
mempengaruhi untuk memberikan semangat pada perjuangan para pemuda Melayu
dan kebangkitan Islam pada saat itu adalah Institusi Pondok.67
Seiring dengan perkembangan kebangsaan yang diterapkan melalui
kebijakan ultra nasionalis, sedikit demi sedikit mulai dihilangkan dan diganti
66 Judith, Butler. “Loss : The politics of Mourning”. 2003.University of California Press. Barkeley, Los Angeles. Diakses dari http://politicalscience.jhu.edu/2008/03/30/judith-butler-and-political-
theory-troubling-politics/ pada 3/6/2018 pukul 4pm. Hal 23 67 Ibid hal 26
-
54
dengan kebijakan baru yang berfokus pada pembangunan. Kebijakan ini menjadi
sebuah pengembangan dari ideologi pembangunan dimana pemerintah mencoba
untuk memasuki seluruh lembaga sosial dan kebudayaan dari komunitas-komunitas
yang ada termasuk pemeluk agama Islam. Usaha pembangunan sosial-ekonomi ini
mempunyai tujuan untuk mengganti persoalan konflik dari sebuah konflik
kekuasaan menjadi ideologi dimana pemerintah bebas melakukan intervensi kepada
lembaga-lembaga keagamaan. Hal ini menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk
melancarkan program perbaikan pendidikan pondok pada tahun 1961 dengan tujuan
mengubah lembaga tersebut menjadi sebuah institusi pelopor perubahan dan
moderenisasi.68
Tujuan dari program ini dimaksudkan agar transformasi pondok dari
sekolah swasta menjadi sekolah-sekolah yang tunduk pada peraturan pemerintah
dapat tercapai. Perubahan tentang sudut pandang podok yang dasasrnya adalah
sebuah lembaga keagamaan pidah haluan menjadi lembaga pendidikan dan secara
tidak langsung sangat mengurangi peranan agama dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan sekulerisasi ini
sangat besar pengaruhnya terutama pada pelestarian identitas dan kebudayaan
bangsa Melayu Patani. Cendekiawan-cendekiawan yang selama ini dihasilkan oleh
pondok tidak lagi dapat memberikan pelayanan agama terhadap masyarakat
khususnya pedesaan. Penerapan kebijakan ini menimbulkan asumsi bahwa dengan
pengembangan bahasa Thai dan norma-norma Thai yang diberikan akan
68 Lathiful Khuluq, Khairon Nahdiyyin, Labibah Zain, Islam dan Budaya, (Yogyakarta: penerbit
Belukar, 2009), Hal 48.
-
55
menciptakan sebuah rasa kebersamaan dan kesadaran untuk memiliki Thailand
secara utuh. Akan tetapi yang terjadi di tahun 70-an menjadi berbanding terbalik
terhadap asumsi diatas dan menumbuhkan benih-benih gerakan separatis yang lebih
berkobar dari sebelumnya.69
Apabila kita lihat dalam sejarah di Thailand Selatan yang cukup rumit dan
membuat sebuah dampak serta pengaruh yang berkepajangan maka penulis
mencoba untuk membagi menjadi tiga pengelompkan fase konflik. Fase-fase ini
yang nantinya akan menjelaskan bagaimana konflik ini bermula di tahun 1960
sampai dengan 2008 dimana dinamika konflik masih di dominasi oleh sikap
pemerintah Thailand terhadap wilayah Thailand Selatan.70 Maka penulis mencoba
meihat pada kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Thailand dalam
perjalanannya sangat tidak mengalami perubahan yang tertuju pada peningkatan
pembangunan dan menurunkan konisi kemiskinan di wilayah selatan. Hal
sebaliknya terjadi setelah dikeluarkannya kebijakan dari pemerintah Thailand dan
semakin banyak perlawanan sikap anti Siam yang semakin merajalela khususnya di
Patani. Permasalahan anti Siam dan perlawanan dari penduduk Patani menurut
penulis disebabkan karena adanya perbedaan yang sangat mencolok reformasi
politik yang dilakukan oleh pemerintahan Thailand dengan norma-norma atau
identitas politik bangsa Melayu Patani.
Dua hal yang menjadikan kontradiksi ini menjadi rumit yaitu Pertama,
kontradiksi yang menyentuh pada bagian kelembagaan, peleburan badan usaha elit
69 Nik Anuar Nik Mahmud. 1999. Situation and Problems of the Three Southermost Provinces. Journal Asian
review Vol I : 67. 70 Helbardt, Sasscha. (2015). Deciphering Southern Thailand’s : Organization and Insurgent Practices of BRN-C. ISEAS Publishing. Hal 28
-
56
politik Muslim dalam praktek politik perwakilan, dan perubahan administrasi
nasional besar-besaran termasuk keterlibatan Muslim dalam proses pengambilan
kebijakan. Kedua, kontradiksi yang meliputi pembuatan komunitas politik berbasis
kerajaan dan praktek-praktek politik terhadap permasalahan kerajaan yang masih
belum selesai lalu selanjutnya membuat konsep negara bangsa sebagai
pelindungnya. Integrasi yang berbentuk kebijakan ini baik bersifat sosial atau
politik dalam konteks pembangunan pertisipasi masyarakat dalam prakteknya telah
bergeser ke arah kebijakan yang bersifat militer. Kebijakan yang bersifat
militeristik ini diduga memberikan sebuah tanda bahwa terdapat sebuah kelompok
elit politik di Bangkok dan Patani yang tidak menginginkan konflik ini selesai.
Usaha-usaha ini dilakukan untuk menutupi kepentingan dan bisnis ilegal yang telah
berlangsung cukup lama di perbatasn selatan.71
2.3.2 Respon dari dunia internasional terhadap konflik di Thailand Selatan
2.3.2.1 Respon Organisasi Internasional
Konflik yang ada di Thailand Selatan cukup menyita perhatian bagi
sebagian negara bahkan beberapa organisasi internasional. Kebanyakan dari
mereka yang menyadari bahwa konflik ini tidak dapat dibiarkan saja dan mencoba
untuk membantu meredakan. Beberapa organisasi yang ikut andil dalam proses
penyelesaian konflik adalah ASEAN dan OKI. Kedua organisasi ini memutuskan
untuk membantu dalam konflik di Thailand Selatan karena kesamaan wilayah dan
mayoritas agama yang dianut.
71 Sebuah kerjasaama yang terjalin antara Thailand dan Malaysia untuk membasmi perdagangan
gelap yang dilakukan di perbatasan Thai-Malay juga mencegah pemberontak untuk kabur dengan
membangun tembok pemisah, diakses dari [http://apdf-magazine.com/id/kerjasama-thailand-dan-
malaysia-meningkat-dalam-memerangi-kejahatan-transnasional/] pada 4 Mei 2018.
-
57
a. OKI (Organisasi Kerjasama Islam)
Salah satu organisasi yang membantu dalam resolusi konflik di
Thailand Selatan adalah OKI atau Organisasi Kerjasama Islam. Prinsip
yang dibawa oleh OKI merupakan sebuah pendekatan yang lebih tertuju
pada agama Islam. Pergerakannya merupakan sebuah penghormatan
terhadap Piagam PBB dan juga penghormatan terhadap hak asasi
manusia secara universal. Dasar pembentukan dari organisasi ini yang
telah tercantum dalam piagam OKI adalah untuk melindungi hak-hak
muslim minoritas dan masyarakat negara non-anggota. Piagam ini
menyatakan bahwa OKI menjaga kelompok minoritas dan komunitas
muslim di negara non-anggota dan melakukan intervensi atas nama
perlindungan hak asasi manusia yang berkonsentrasi pada agama
sebagai elemen penting yang mengikat muslim secara bersama.72 Pada
akhirnya kemunculan OKI dapat diibaratkan sebagai organisasi yang
mendukung dan membantu dalam konflik yang terjadi di Thailand
Selatan.
Sedangakan konflik yang berkonsentrasi pada empat provinsi di
Thailand Selatan yaitu : Pattani, Yala, dan Narathiwat dimana terjadinya
diskriminasi muslim Melayu oleh pemerintah Thailand. Melihat di
tahun 2004 terjadi baku tembak antara tentara dan kelompok
pemberontak. OKI dalam hal ini turut membantu untuk menengahi
72 Kementrian Luar Negeri, “Organisasi Kerjasama Islam (OKI)”. Diaksess dari
[http://www.kemlu.go.id] pada 9/8/2018
-
58
konflik pada tahun 2005 setelah mendapatkan undangan resmi dari
pemerintah Thailand.73 Cara yang dilakukan oleh OKI untuk
mendapatkan informasi ketika berlangsunnya konflik adalah dengan
mengirimkan tim pencari info ke Thailand. Fokus utama turunnya OKI
dalam masalah ini adalah untuk menjadi mediasi dan mengembalikan
hak-hak muslim yang ada di Thailand Selatan. Resolusi yang dibawa
oleh OKI adalah dengan membantu Thailand Selatan dalam mencari
model pemerintah yang sesuai dengan masyarakatnya, menekankan
pada masalah pengakuan bahasa dan budaya melayu. Hal ini juga
membantu mendorong pembangunan ekonomi yang adil di Thailand
Selatan secara merata.
b. ASEAN (Association of South East Asia Nations)
Organisasi yang aktif dan juga mempunyai pengaruh cukup kuat di
wilayah Asia Tenggara adalah ASEAN. Pergerakan ASEAN meliputi
berbagai aspek termasuk politik, ekonomi, sosial dan budaya. Anggota
yang dimiliki ASEAN juga tidak mencakup semua negara yang ada di
Asia Tenggara. Terdapat Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura,
Malaysia, Filipina, Myanmar, Kamboja, Laos dan Brunei Darussalam
yang sampai saat ini menjadi anggota tetap di ASEAN.74
Organisasi ini mempunyai tujuan yaitu mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial, serta pengembangan kebudayaan di wilayah
73 Pattani Post, “ OIC ingin supaya pihak terlibat mengadakan perbincangan”, Pattanipost.com
.Diakses pada [ http://patanipost.net/2010/05/24/oic-ingin-supaya-pihak-terlibat-mengadakan-
perbincangan/0965 pada 6/8/2018. 74 Establishment ASEAN. Diakses dari [ https://asean.org/asean/about-asean/] pada 24/8/2018.
-
59
Asia Tenggara. Konflik yang berkepanjangan di Thailand Selatan
menjadi sebuah masalah nasional bagi pemerintah Thailand dan
dampaknya juga berpengaruh pada keamanan regional di Asia
Tenggara. Usaha penyelesaian konflik di tingkat nasional sering
menemui jalan buntu bahkan pemerintah kadang memperburuk suasana
konflik dengan kebijakannya. Sementara ASEAN juga memberikan
bantuan konflik selama masih tidak keluar dari prinsip non-intervensi.
Akibat dari keputusan ASEAN atas isu konflik yang terjadi di Thailand
Selatan membuat hal ini tidak pernah menjadi isu sentral yang sering di
bahas.
2.3.2.2 Respon Negara regional di wilayah Asia Tenggara
Konflik yang terjadi di Thailand Selatan mempunyai daya tarik tersendiri
bagi dunia internasional khususnya negara-negara yang ada di Asia Tenggara.
Munculnya konflik ini juga merupakan suatu pembahasan yang juga selalu
diungkapkan oleh berbagai negara untuk dijadikan bahan dalam berbagai
pertemuan regional bahkan internasional setiap tahunnya. Thailand mempunyai
peran yang sangat signifikan terhadap keberlangsungan resolusi konflik yang ada
di wilayah Thailand Selatan. Oleh karena itu pemerintahan Thailand juga mencoba
membuat kerjasama antar negara khususnya di wilayah Asia Tenggara. Negara-
negara seperti Malaysia dan Indonesia mempunyai peran yang sangat berpengaruh
dalam kelancaran resolusi konflik yang ada di Thailand Selatan. Melihat dari
-
60
kesamaan ras dan agama dari kedua negara ini, akhirnya Thailand menjalin
kerjasama dengan tujuan agar kedamaian terwujud dalam konflik tersebut.
A. Respon Malaysia terhadap konflik Thailand Selatan
Tepat di tahun 2004 muncul dua kejadian yang terjadi di Thailand
Selatan yaitu serangan di Masjid Krue Se dan sebuah insiden kekerasan di Tak Bai
di Narathiwat. Penyerangan yang terjadi di Masjid Krue Se terjadi pada tanggal 28
April 2004 pada saat para militer Thailand mencoba menangkap mereka yang
diduga pemberontak dan tengah bersembunyi di dalamnya.75 Sementara itu, insiden
kekerasan di Tak Bai dilakukan oleh sekelompok orang yang selanjutnya
dipenjarakan oleh polisi Thailand terkait serangan tersebut. Akibat dari dua
kejadian di atas memicu demonstrasi besar-besaran oleh masyarakat Thailand
Selatan di luar kantor polisi distrik. Hal-hal sensitif yang menimbulkan protes keras
ini telah masuk ke ranah agama dan mengusik ideologi dari masyarakat Thailand
Selatan. Sedangkan Polisi Thailand menanggapi protes ini bukan dengan cara yang
damai akan tetapi lebih kepada kekerasan dan pemaksaan. Tahun 2005 adalah
puncak dimana pemerintah Thailand menerapkan status darurat militer di wilayah
Thailand Selatan. Status ini membuat seluruh masyarakat Thailand Selatan
merasakan ketakutan juga kekhawatiran yang akhirnya mereka melakukan tindakan
lebih lanjut. Pada 30 Agustus 2005 sebanyak 131 masyarakat muslim Thailand
75 Dulyakasem, U (1984) Muslim-Malay separatism in Southern Thailand : Factors underlying The political revolt. In Joo-Jock, Lim & Vani S (eds.) Armed separatism in Southeast Asia.
Singapore:ISEAS.
-
61
Selatan menyebrangi perbatasan untuk masuk kewilayah Kelantan Malaysia demi
menghindari konflik di Thailand.76
Penelusuran jejak para pemberontak di perbatasan Malaysia dan Thailand.77
Peristiwa diatas membuat Dr. Tun Mahatir Muhammad menginisiasi untuk
berdialog dengan kelompok separatis pada akhir 2005 yang bertempat di pulau
Langkawi. Tujuan dari dialog ini diadakan adalah untuk mencari jalan keluar demi
perdamaian di Thailand Selatan. Pandangan dan nasehat yang diberikan oleh Dr.
Tun Mahatir Muhammad tersebut dimaksudkan agar para imigran dari Thailand
Selatan ini bisa mendapatkan pemahaman dan penyelesaian konflik yang telah
terjadi. Selanjutnya pada Oktober 2005, mantan perdana mentri Thailand Anand
Panrayachun bertemu Tun Mahatir Muhammad di Putrajaya guna mendapatkan
gambaran, ide, dan gagasan mengenai prespekif Malaysia dalam menangani konflik
76 Ant, TMG. “Raja Thailand : Pelunak pendekatan di Selatan”. Gatra Magazine, 2004.
[http://arsip.gatra.com/2004-11- 10/artikel.php?id=48691] Diakses pada 6 Mei 2018.
77 ibid
-
62
di Thailand Selatan. Raja Thailand Bhumibol Adulyadej juga telah memberikan
restu kepada Mahatir sebagai penengah dan juga tokoh yang mewakili Islam
moderat agar nantinya memperoleh sebuah kesepakatan kedamaian. Dialog demi
dialog dilakukan oleh pihak Thailand dan pihak pemberontak demi mencapai
kesepakatan bersama dan perdamaian bagi kedua pihak.
B. Respon negara Indonesia terhadap konflik di Thailand Selatan
Indonesia adalah salah satu negara anggota yang juga aktif dalam
setiap perundingan dan pemecahan masalah dalam forum ASEAN. Negara-negara
anggota ASEAN juga sering berkunjung ke Indonesia karena keramahan dan juga
demi menjalin kerjasama yang baik antar wilayah negara. Thailand adalah salah
satu diantara negara anggota ASEAN yang juga sempat mendatangi Indonesia dan
menjalin kerjasama ekonomi di tahun 1950.78 Selain menjalin kerjasama, Thailand
juga sempat memita bantuan dalam konflik berkepanjangan yang ada di Thailand
Selatan. Hal ini menjadi peluang positif untuk memainkan peran regionalnya di
Asia Tenggara dengan memanfaatkan modalnya sebagai salah satu negara dengan
mayoritas penduduk muslim terbesar dunia. Inisiatif untuk melakukan mediasi
terhadap konflik di Thailand Selatan telah digagas oleh wapres Jusuf Kalla pada
tahun 2008 lalu. Pertemuan itu dilakukan dalam rangka peran Indonesia sebagai
fasilitator pertemuan antara pemerintah Thailand dengan beberapa tokoh Thailand
Selatan.
78 Thanet Aphornsuwan ,Origins of Malay Muslim “Separatism” in Southern Thailand, Asia Research Institute, Singapore, October 2004.
-
63
Penerimaan gelar doktor honoris causa kepada Jusuf Kalla karena idenya untuk Thailand.79
Presiden dan wakil presiden berbagi pengalaman dan pelajaran dari
penanganan konflik di daerah Aceh dan menekankan seberapapun konflik yang
terjadi pasti ada solusinya. Sebagai salah satu tetangga terdekat dan sesama anggota
ASEAN, Indonesia selalu ingin membuat situasi yang damai dan tentram
khususnya di wilayah Asia Tenggara. Terdapat beberapa prinsip yang dipegang
oleh Indonesia mengenai keamanan nasional ternyata juga berpengaruh kepada
keamanan regional, karena itu Indonesia sangat percaya diri dan proaktif dalam
melakukan inisiasi terhadap masalah di Asia Tenggara.80
Konflik yang terjadi di Thailand Selatan membuat Indonesia dapat
memainkan peranan yang lebih kostruktif dengan menjalankan perannya sebgai
mediator. Sebuah kajian teoritik dari pandangan kaum realis menyebutkan bahwa
keterlibatan pihak ketiga dalam sebuah konflik internal semata-mata dipengaruhi
79 ‘Putri Thailand Serahkan gelar Honoris Causa ke wapres JK’ . Diakses dari [https://news.detik.com/foto-news/d-3454257/putri-thailand-serahkan-gelar-doktor-honoris-causa-
ke-wapres-jk] pada 3/10/2018. 80 Ninin Damayanti,Indonesia tangani konflik di Thailand Selatan, Tempo magazine,2008. Jakarta [https://nasional.tempo.co/read/136582/indonesia-tengahi-konflik-thailand-selatan] Diakses pada
10 Mei 2018.
-
64
oleh adanya kepentingan nasional terhadap negara target. Akan tetapi muncul
sebuah pandangan lain dari neo-liberal yang menyebutkan bahwa pertimbangan-
pertimbangan etik dan moral masih harus dipikirkan ketika harus melibatkan diri
dalam konflik etnis internal. Pelibatan diri sebuah institusi asing, baik itu aktor
negara maupun non-negara, tidak perlu harus dipandang dengan sikap negatif.
Sebaliknya jika kepentingan negara dan pemberontak tidak dapat dipertemukan
maka dibutuhkan pihak ketiga untuk menengahi. Keterlibatan ini pun harus selalu
dipandang sebagai sebuah intervensi yang sifatnya positif. Oleh karena itu bantuan
dan keterlibatan pihak luar bisa berdampak konstruktif yang melahirkan win-win
solution.
Setiap kali Indonesia melakukan perannya demi perdamaian, sangatlah
dibutuhkan masukan dari berbagai pihak dari dalam negeri seperti ilmuan,
agamawan, NGO, dan lain sebagainya agar lebih maksimal. Perihal konflik di
Thailand Selatan sangat penting untuk melibatkan peran ulama dalam penentuan
dan kebijakan selanjutnya. Peran ormas-ormas besar seperti NU dan
Muhammadiyah yang mendukung upaya perdamaian telah menjadi faktor
pendukung dalam kesuksesan diplomasi Indonesia. Upaya diplomasi Indonesia
yang lebih melibatkan unsur warga masyarakat dan sekitarnya merupakan salah
satu ciri diplomasi baru dimana cara untuk mencari masukan dari berbagai pihak
sangatlah efektif dalam memahami konflik di Thailand Selatan. Bukti bahwa
Indonesia juga pernah berhasil menjadi mediator adalah ketika dalam konflik
pemerintah Filipina dengan bangsa Moro yang merupakan pengalaman Indonesia
agar nantinya dapat dibagi dalam diskusi masalah konflik.
-
65
2.3 Kebijakan pemerintah Thailand dan respon dunia internasional
terhadap konflik
2.3.1 Kebijakan pemerintah Thailand
Pertentangan dari masyarakat Patani masih terus terjadi mengingat kerajaan
Siam yang terus memojokkan dari segala sisi. Pada saat itu kerajaan Inggris yang
masih berhubungan baik dengan Melayu dikabarkan akan memberikan bantuan
kepada warga Patani. Ternyata yang terjadi selanjutnya adalah sebuah perundingan
kerjasama antara Siam dan Inggris berupa perjanjian yang dinamakan Perjanjian
Bangkok atau Anglo Siamse-Treaty pada tahun 1909. Pembuatan perjanjian ini
ternyata juga sangat merugikan masyarakat Patani dengan peraturan-peraturan yang
lebih ke arah penindasan secara menyeluruh juga dari beberapa aspek. Pembahasan
dari perjanjian ini yaitu kerajaan Siam yang telah berkuasa atas kerajaan Melayu
dapat melakukan apapun yang mereka inginkan termasuk yang berbentuk
penjajahan.
Terlebih lagi ketika kerajaan Inggris sangat mendukung dan
memperbolehkan Siam untuk melakukan apa saja terhadap wilayah Patani. Salah
satu alasan yang membuat perjanjian ini berjalan dengan baik adalah ketika
kerajaan Inggris yang setuju untuk menerapkan sistem bagi hasil terhadap
penjajahan yang dilakukan oleh kerajaan Siam. Kebebasan Siam yang terlampau
berlebihan ini berpengaruh pada kestabilan ekonomi, politik dan pendidikan yang
ada di Patani.
-
66
a. Keikutsertaan Organisasi Keagamaan Muhammadiyah di
Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai
beragam suku dan budaya dengan penduduk yang mayoritas
memeluk agama islam terbesar di dunia. Hal ini membuat Indonesia
mempunyai berbagai macam ormas dan LSM yang bergerak
dibidang keagamaan termasuk dalam agama islam. Terdapat dua
organisasi masyarakat yang cukup luas cakupannya serta pengaruh
besar bagi masyarakat muslim yang ada di Indonesia yaitu
Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Meskipun kedua organisasi
ini mempunyai tujuan dan maksud yang berbeda akan tetapi dakwah
mereka tetap berpegang teguh pada pegangan islam yaitu Al-qur’an
dan Hadist.81
Muhamadiyah merupakan organisasi masyarakat yang juga
mempunyai cakupan dakwah sampai ke luar negeri demi
menyampaikan syiar islam. Muhammadiyah melihat konflik yang
terjadi di Thailand Selatan sebagai suatu keharusan untuk membantu
karena sesuai dengan ajaran agama islam yang menyebutkan bahwa
harus selalu membantu sesama muslim. Keikutsertaan
Muhammadiyah dalam konflik ini selain dapat membuka jalan
perdamaian menuju kesejahteraan bagi masyarakat disana juga
81 ‘Cara Aqidah Menyapa kebudayaaan’. Diakses dari [http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/03/13/cara-akidah-menyapa-kebudayaan/] pada 2/10/2018.
-
67
mempunyai manfaat dakwah islam yang lebih luas. Beberapa topik
yang di angkat oleh Muhammadiyah dapat mencakupi aspek
pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Oleh karena itu
keputusan Muhammadiyah ikut membantu penyelesaian konflik di
Thailand merupakan sebuah kajian yang ingin penulis bahas di bab
selanjutnya.