bab ii gambaran umum kabupaten ponorogo dan … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih,...

29
BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN SEJARAH MUNCULNYA PETANI PESANGGEM DI HUTAN KAYU PUTIH BKPH SUKUN A. Gambaran Umum Kabupaten Ponorogo 1. Kondisi Geografis Kabupaten Ponorogo Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terletak pada titik koordinat 111º1-111º52ˈ Bujur Timur (BT) dan 7º49ˈ-8º20ˈ Lintang Selatan (LS) dengan Ibukota Ponorogo. Batas-batas wilayah daerah Ponorogo sebagai berikut sebelah utara Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan. Timur berbatasan dengan Kab. Nganjuk dan Kab. Trenggalek, Selatan dibatasi dengan Kab. Pacitan serta bagian barat berbatasan dengan Pacitan dan Wonogiri ( Jawa Tengah) 1 . Kabupaten ponorogo berjarak 200 km sebelah barat daya ibu kota provinsi, dan sekitar 800 km sebelah timur ibu kota Negara Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Ponorogo mencapai 1.371.78 km² terbagi menjadi 21 Kecamatan yang terdiri dari 307 desa/kelurahan. Kondisi topografi Kabupaten Ponorogo bervariasi mulai daratan rendah sampai pegunungan. Berdasarkan data yang ada, sebagai besar wilayah Kabupaten Ponorogo yaitu 79% terletak di ketinggian kurang dari 500 m di atas permukaan laut dan sisanya 5,9% berada pada ketinggian di atas 700 m. Secara topografis dan klimatologis, Kabupaten Ponorogo merupakan dataran rendah dengan iklim tropis dengan suhu udara 1 Soemarto, Melihat Ponorogo Lebih Dekat, (Ponorogo: Apik Offset), hlm. 2. 19

Upload: tranphuc

Post on 10-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

19

BAB II

GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN

SEJARAH MUNCULNYA PETANI PESANGGEM DI HUTAN

KAYU PUTIH BKPH SUKUN

A. Gambaran Umum Kabupaten Ponorogo

1. Kondisi Geografis Kabupaten Ponorogo

Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang

terletak pada titik koordinat 111º17ˈ-111º52ˈ Bujur Timur (BT) dan 7º49ˈ-8º20ˈ

Lintang Selatan (LS) dengan Ibukota Ponorogo. Batas-batas wilayah daerah

Ponorogo sebagai berikut sebelah utara Kabupaten Madiun dan Kabupaten

Magetan. Timur berbatasan dengan Kab. Nganjuk dan Kab. Trenggalek, Selatan

dibatasi dengan Kab. Pacitan serta bagian barat berbatasan dengan Pacitan dan

Wonogiri ( Jawa Tengah)1.

Kabupaten ponorogo berjarak 200 km sebelah barat daya ibu kota

provinsi, dan sekitar 800 km sebelah timur ibu kota Negara Indonesia. Luas

wilayah Kabupaten Ponorogo mencapai 1.371.78 km² terbagi menjadi 21

Kecamatan yang terdiri dari 307 desa/kelurahan. Kondisi topografi Kabupaten

Ponorogo bervariasi mulai daratan rendah sampai pegunungan. Berdasarkan data

yang ada, sebagai besar wilayah Kabupaten Ponorogo yaitu 79% terletak di

ketinggian kurang dari 500 m di atas permukaan laut dan sisanya 5,9% berada

pada ketinggian di atas 700 m. Secara topografis dan klimatologis, Kabupaten

Ponorogo merupakan dataran rendah dengan iklim tropis dengan suhu udara

1 Soemarto, Melihat Ponorogo Lebih Dekat, (Ponorogo: Apik Offset), hlm.

2.

19

Page 2: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

20

berkisar anatara 18º-31º celcius. Bila dilihat menurut luas wilayahnya, kecamatan

yang memiliki wilayah terluas (di atas 100 km²) secara berturut-turut adalah

Kecamatan Ngrayun, Kecamatan Pulung, dan Kecamatan Sawoo.2

Kabupaten Ponorogo mempunyai 2 (dua) sub area, yaitu area dataran

tinggi yang meliputi Kecamatan Ngrayun, Sooko, Pulung, serta Kecamatan

Ngebel, sedangkan sisanya merupakan daerah dataran rendah. Pada dataran

rendah suhu berkisar antara 18º-26º C sedangkan dataran tinggi 27º-31º C.3

Sungai yang melewati ada 14 sungai dengan panjang antara 4 sampai ke 58 km

sebagai sumber irigasi bagi lahan pertanian dengan produksi padi maupun

holtikultura. Sebagian besar dari luas wilayah yang terdiri dari area kehutanan dan

tegal atau sawah sedang sisanya adalah untuk pekarangan, perkebunan dan lain-

lain.

Daerah Ponorogo beriklim tropis dan mempunyai dua musim, yaitu musim

kemarau dan musim penghujan. Luas wilayah Ponorogo sekitar 1.371,78 km

wilayah ini dikelilingi bukit-bukit yang saling menyambung dengan dataran

rendah yang luas di tengah-tengah. Tata letak Kota daerah Ponorogo seperti wajan

penggorengan. Ketiga batas wilayah adalah berupa pegunungan dari bagian

selatan membujur pegunungan mulai dari kabupaten Pacitan hingga kabupaten

Wonogiri yang sering disebut dengan “pager gunung”. Sebelah timur membujur

dari selatan ke utara, (kecamatan Slahung hingga Kabupaten Madiun) terbentang

juga pegunungan. Deretan pegunungan di timur ini terdapat sebuah gunung yang

2 BPS Ponorogo, Ponorogo Dalam Angka 2014, (Ponorogo: BPS, 2014),

hlm 3-4. 3 Badan Pusat Statistik, Kabupaten Ponorogo Dalam Angka, (Ponorogo:

Badan Pusat Statistik, 2002), hlm xxxvi

Page 3: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

21

terletak diantara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Madiun,

dan Kabupaten Kediri yaitu Gunung Wilis.4

Pada tahun 1932 daerah Ponorogo dibagi menjadi empat distrik yaitu

Ponorogo, Sumoroto dan Ardjowinangun dan Djebeng. Karakter masing-masing

distrik ini memiliki ciri khas yang berbeda berdasarkan pada sistem kepercayaan

masyarakat setempat. Distrik Ponorogo, Sumoroto dan Djebeng merupakan

daerah yang mayoritas penduduknya adalah abangan sedangkan distrik

Ardjowinangun cenderung penduduk santri.

Kelangkaan air menjadi kendala utama dalam usaha mengembangkan

pertanian sawah. Meskipun demikian, secara umum wilayah Ponorogo dapat

dikatakan bahwa wilayah Ponorogo jarang ditemukan sumber dan persawahan

yang bersifat tadah hujan. Sungai-sungai di Ponorogo sering dilanda kekeringan

sehingga tidak mampu mengairi sawah secara maksimal. Sawah dan tegalan

diwilayah ini hanya dapat menghasilkan panen setahun sekali. Pada saat musim

hujan sawah ditanami padi, sedang tegalan ditanami jagung atau ketela.

2. Pemerintahan

Secara administrasi wilayah Kabupaten Ponorogo terbagi menjadi 5 (lima)

pembantu Bupati (regent), 20 Kecamatan serta 26 kelurahan dan 227 desa dengan

2305 RW dan 6452 RT, untuk menjalankan roda pemerintahan Pemerintah

4 BPS Ponorogo, Monografi Kabupaten Ponorogo, (Ponorogo: BPS,

2006), hlm 5.

Page 4: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

22

Daerah Tingkat II Ponorogo didukung oleh 10.915 Pegawai Negeri Sipil (PNS)

baik pusat maupun daerah serta 3787 aparat Pamong Desa.5

Tabel 1. Pembagian Daerah/Wilayah Administrasi Kabupaten Ponorogo

Pembantu Bupati

(Sub Regent)

Meliputi Kecamatan

1. Ponorogo 1. Ponorogo

2. Babadan

3. Jenagan

4. Siman

2. Somoroto 1. Kauman

2. Sukorejo

3. Jambon

4. Badegan

5. Sampung

3. Jebeng 1. Balong

2. Bungkul

3. Slahung

4. Ngrayun

4. Arjowinagun 1. Sambit

2. Sawoo

3. Mlarak

4. Jetis

5. Pulung 1. Pulung

2. Sooko

3. Ngebel

Sumber Data : Bagian Tata Pemerintahan Pemda Tingkat II Ponorogo

3. Mata Pencaharian Penduduk

Aktifitas ekonomi penduduk Kabupaten Ponorogo sebagian besar

bermatapencaharian dengan cara bercocok tanam sebagai petani. Penduduk

Ponorogo sangat mengandalkan hasil pertanian mereka, namun tidak semua

penduduk memiliki sawah sebagai tempat bercocok tanam. Keadaan sulit tersebut

baik secara langsung maupun tidak langsung, telah melahirkan sistem gotong

royong didalamnya. Menurut Y. Boelaars dalam sistem ekonomi yang

5 Badan Pusat Statistik. Op.Cit., hlm. xxxvii

Page 5: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

23

berdasarkan petani ladang (maupun persawahan) digambarkan suatu kerjasama

semua yang hadir6 dengan demikian segala sesuatu kepentingan umum merupakan

tanggung jawab setiap anggota masyarakat, sebaliknya bila seseorang masyarakat

itu memiliki suatu keperluan (duwe gawe) maka anggota masyarakat yang lain

ikut membantu.

Di pedesaan Jawa umumnya, mata pencaharian dan kepemilikan tanah

sangat berpengaruh dalam menentukan stratifikasi sosial berdasarkan pemilik

rumah pekarangan yaitu : Pertama , wong bakul, kuli kenceng, wong ajek atau

sikep yaitu golongan yang mengaku bahwa dari merupakan keturunan cikal

bakalketurunan daerah Ponorogo. Kedudukan Wong bakul di peroleh secara turun

temurun. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang lebih besar dimasyarakat.

Golongan ini dalam masyarakat digolongkan sebagai kelompok atas.7 Golongan

kedua adalah golongan Wong Ngindung, lindung atau kuli kendho, yaitu golongan

warga yang hanya mempunyai tanah pekarangan dan rumah yang didirikan di

pekarangan orang lain. Golongan Ketiga adalah rakyat dunung susup dan

Mondhok glongsor yang merupakan golongan terbawah yang tidak mempunyai

tanah atau pekarangan.

Clifford Gerrtz lebih jauh lebih jauh lagi mencoba menganalisa dan

membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa

yang horizontal dan vertical. Pembagian tersebut menjelaskan bahwa orang Jawa

dibedakan oleh startifikasi sosial, yaitu nandra (bangsawan), priyayi (birokrat),

6 Y. Boelaars, 1944. Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Penelitian

Antrologi Budaya, Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 43. 7 Gatut Murniatmo dan H J Wibowo, 1981. Beberapa Peninggalan

Budaya di Daerah Ponorogo, Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya

Yogyakarta, hlm.12.

Page 6: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

24

Wong dagang atau saudagar (pedagang) dan Wong cilik (orang kecil, rakyat

kecil).8 Di Ponorogo golongan bangsawan selalu disamakan dengan kaum priyayi

yaitu sebagai pemegang kekuasaan baik di tingkat kota maupun desa (kepala

desa), sementara di Kabupaten Ponorogo mayoritas penduduknya

bermatapencaharian sebagai petani, buruh atau petani penggarap lahan hutan yang

sering dikenal dengan Petani Pesanggem yang masuk dalam golongan Wong cilik.

Penghasilan utama penduduk masih bergantung pada tanah pertanian

dengan sistem penanaman yang berganti-ganti antara padi dan palawija.

Sempitnya kepemilikan lahan oleh penduduk desa tidak dapat diandalkan untuk

mencukupi kebutuhan rumah tangga penduduk. Satu-satunya kawasan yang dapat

diandalkan untuk menambah pendapatan penduduk adalah kawasan hutan Negara,

hal tersebut menyebabkan tingkat interaksi masyarakat dengan hutan sangat

tinggi. Kondisi ini juga terjadi pada penduduk yang tinggal di wilayah kawasan

Hutan Kayu Putih Ponorogo dimana mereka mengandalkan hidupnya dengan

bekerja sebagai petani penggarap lahan hutan (pesanggem).

B. Kondisi Hutan di Jawa Timur

Menurut fungsinya, hutan dibagi menjadi hutan produksi, hutan lindung,

hutan tebang pilih (TBP), dan suaka alam/hutan wisata/taman nasional. Data

Perum Perhutani Unit II Jawa Timur memperlihatkan bahwa hutan di Jawa Timur

luasnya mencapai 1.361.448 ha, yang terdiri dari hutan produksi seluas

812.889.50 ha (57,78 persen), hutan lindung seluas 315.505.30 ha (23,24 persen),

dan suaka alam/hutan wisata/taman nasional seluas 233.053,20 ha (16,97 persen).

8 Clifford Geertz, 1989. Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,

(terjemahan Aswab Mahasin), Jakarta: Pustaka Jaya, hlm.7-8

Page 7: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

25

Luas tebangan hutan pada tahun 2001 mengalami peningkatan

dibandingkan tahun 2000. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya luas tebangan

didominasi oleh kayu jati, sebesar 75,69 % terhadap total luas tebangan di Jawa

Timur. Untuk produksi kayu, terdapat penurunan, kecuali kayu bakar jati yang

mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2000 sebesar 7,8 %. Produksi

kayu jati terbesar se-Jawa Timur berasal dari daerah Bojonegoro, sedangkan untuk

produksi kayu rimba terbesar berasal dari daerah Kediri, Banyuwangi dan Jember.

Selain kayu ada juga produksi hasil hutan yang berupa non kayu, seperti

getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan

lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah produksi lak butiran dan

minyak kayu putih, sedangkan produksi lainnya nilainya kecil.9

C. Kondisi Geografis KPH Madiun

Perum Perhutani adalah salah satu perusahaan dibawah kendali dari

Kementerian BUMN yang diberi mandat untuk melakukan pengelolaan hutan di

Pulau Jawa dan Madura serta diperkuat dengan keluarnya Peraturan Pemerintah

Nomor 72 Tahun 2010. Salah satu unit kerja Perum Perhutani di Jawa Timur

adalah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun. KPH Madiun mengelola

kawasan hutan seluas 31.219,70 Ha yang terdiri dari 2 kelas perusahaan yaitu

kelas perusahaan jati seluas 27.483,60 Ha dan kelas perusahaan kayu putih

3.736,1 Ha.

9 BPS Jawa Timur, Jawa Timur Dalam Angka 2001, (Surabaya: BPS,

2001) hlm. 163

Page 8: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

26

1. Letak dan Batas

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun terletak di 3 wilayah

pemerintahan administratif yaitu Kabupaten Madiun, kabupaten Ponorogo, dan

Kabupaten Magetan. KPH Madiun mempunyai kondisi lapangan yang relative

bervariasi mulai dari kondisi lapangan datar sampai dengan bergunung-gunung.

Kondisi lapangan wilayah KPH Madiun yang termasuk DAS Bengawan Solo

yang bervariasi tersebut juga menjadikan wilayah KPH Madiun dilewati oleh

banyak aliran sungai mulai sungai kecil sampai sampai dengan besar. Berdasarkan

klasifikasi iklim menurut Schmit & Ferguson, wilayah KPH Madiun mempunyai

tipe iklim C dengan nilai Q antar 33,3 samapai dengan 60º dengan tingkat curah

hujan antara 563-3.303 mm/th dan rata-rata curah hujan 1.681 mm/th. Suhu udara

di KPH Madiun berkisar antara 21,75ºC-31,68ºC dengan kelembaban udara antara

64%-92%. Wilayah kerja KPH Madiun yang berada di 3 wilayah administrasi

pemerintahan menjadikan posisinya sebagai jalur utama transportasi antar

wilayah, sehingga terjadi permukiman dengan pola tertentu. Permukiman yang

berada di wilayah KPH Madiun berupa desa dengan jumlah total 87 desa yang

tersebar di 3 wilayah administrasi tersebut. Dari 87 desa yang berada di wilayah

KPH Madiun 38 desa berada di Kabuoaten Madiun, 7 desa di Kabupaten

Magetan, dan 42 desa berada di Kabupaten Ponorogo.

Secara geografis kawasan hutan KPH Madiun terletak diantara garis lintang

7º30ˈ LS sampai 7º50ˈ LS dan diantara garis bujur 4º30ˈ BT sampai 4º50ˈ BT.

Secara wilayah KPH Madiun berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara : KPH Saradan

b. Sebelah Timur : KPH Saradan dan Lawu Ds

Page 9: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

27

c. Sebelah Selatan : KPH Lawu Ds

d. Sebelah Barat : KPH Lawu Ds dan KPH Ngawi

2. Luas dan Wilayah

Luas kawasan hutan KPH Madiun adalah 31.264,3 hektar. Secara

administratif, KPH Madiun berada dalam wilayah 3 kabupaten dengan rincian

sebagai berikut:

Tabel 1. Luas Kawasan Hutan KPH Madiun terhadap Luas Wilayah Administratif

Kabupaten Luas (Ha)

Persentase Kabupaten Hutan

1 2 3 4

Madiun 104.465,8 16.024,4 15,3

Ponorogo 129.913,0 13.974,4 10,8

Magetan 57.413,9 1.265,5 2,2

Jumlah 291.792,7 31.264,3 10,7

Sumber: RKPH (Sejarah Umum) KPH Madiun

a. Pembagian Wilayah

Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun dibagi menjadi 2 (dua) Sub

Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH), yaitu SKPH Madiun Utara dan SKPH

Madiun Selatan. Luas keseluruhan KPH Madiun adalah 31.264,3 Ha. Menurut

administrasi perusahaan KPH Madiun terbagi menjadi 4 (empat) bagian hutan

termasuk di dalam 12 BKPH dari 43 RPH. Bagian Hutan tersebut adalah:

1) Bagian Hutan Caruban

Bagian Hutan Caruban secara umum mempunyai kondisi topografi datar

sampai agak curam dan ada sebagian kecil kawasan dengan kondisi topografi

sangat curam pada sebelah Tenggara, secara keseluruhan kemiringan mengarah ke

Barat Laut. Bagian Hutan Caruban terbagi menjadi 5 BKPH yaitu Kring,

Page 10: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

28

Mojorayung, Ngadirejo, Caruban, Dungus, terdiri dari 18 RPH. Total luas bagian

hutan Caruban adalah 11.665,4 Ha.

2) Bagian Hutan Pagotan

Bagian Hutan Pagotan secara umum mempunyai kondisi topografi landau

sampai dengan agak curam. Sebagian lokasi ada yang bertopografi datar pada

RPH Mruwak dan Kemantren. Pada umumnya kemiringan mengarah ke Barat.

Bagian Hutan Pagotan terbagi menjadi 2 BKPH yaitu Brumbun dan Dagangan,

terdiri dari 6 RPH. Total luas bagian hutan 4.005,6 Ha.

3) Bagian Hutan Ponorogo Barat

Bagian Hutan Ponorogo Barat secara umum mempunyai kondisi topografi

bergelombang dengan kemiringan ke arah Tenggara pada sebelah Utara Kali

Glagah menuju ke Kali Madiun, sedangkan sebelah Selatan Kali Glagah

bertopografi bergunung sampai dengan curam dengan aliran sungai kea rah Timur

(hulu Kali Madiun). Bagian Hutan Ponorogo Barat terbagi menjadi 2 BKPH yaitu

Sampung dan Somoroto dan terdiri dari 8 RPH. Total luas hutan adalah 6.125,1

Ha.

4) Bagian Hutan Ponorogo Timur

Bagian Hutan Ponorogo Timur mempunyai kondisi topografi bergunung

sampai dengan curam. Kondisi topografi tersebut disebabkan oleh adanya gunung

yang berada di wilayah tersebut yaitu Gunung Bayangkaki dan Gunung Tumpak

Pring. Pada lereng sebelah Utara dan Barat Laut kemiringan mengarah ke Barat

Laut sesuai dengan letak sungai yang melewati daerah tersebut. Sebagian kecil

sebelah Selatan dan Tenggara kemiringan kea rah Timur menuju sungai yang

bermuara di Samudra Hindia. Bagian Hutan Ponorogo Timur terbagi menjadi 3

Page 11: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

29

BKPH yaitu Sukun, Pulung Bondrang dan terdiri dari 11 RPH. Total luas wilayah

hutan Ponorogo Timur adalah 8.834,0 Ha. Dengan rincian seperti tertulis dalam

tabel berikut ini :

Tabel 2. Daftar Pembagian Resort Hutan KPH Madiun

BAG. HUTAN BKPH/Kring

Kodya

RPH/Kring Luas Hutan

(Ha)

1 2 3 4

Caruban Kring Gorang Gareng

Kring Barat

Kring Timur

Kring Ponorogo

Mojorayung Tremulus

Bludru

Bribis

777,4

1.007,8

1.048,3

Luas Hutan BKHP Mojorayung 2.833,5

Ngadirejo Bulu

Ngadirejo

Dawuhan

758,9

725,1

754,2

Luas Hutan BKPH Ngadirojo 2.238,2

Caruban Kaliabu

Blabakan

Wates

Sampung

796,6

775,7

791,6

812,9

Luas Hutan BKPH Caruban 3.136,8

Dungus Dawung

Randualas

Wungu

Kuwiran

869,5

783,9

1.038,7

764,8

Luas Hutan BKPH Dungus 3.456,9

Total Luas Bagian Hutan Caruban 11.665,4

Pagotan Brumbun Kresek

Mruwak

Malang

497,6

700,4

558,2

Luas Hutan BKPH Brumbun 1.756,2

Dagangan Panggung

Sareng

Tambak Merang

673,6

832,3

770,5

Luas Hutan BKPH Dagangan 2.249,4

Total Luas Hutan Bagian Pagotan 4.005,6

Ponorogo Barat Sampung Sampung

Gangsiran

640,9

794,8

Page 12: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

30

Lembeyan

Klaten

Pohijo

847,8

879,9

450,1

Luas Hutan BKPH Sampung 3.613,5

Somoroto Tulung

Pegerukir

Badegan

841,0

898,5

799,1

Luas Hutan BKPH Somoroto 2.538,6

Total Luas Hutan Bagian Ponorogo Barat 6.125,1

Ponorogo Timur Sukun Tambaksari

Sukun

Nglayang

Sidoharjo

Depok

663,2

762,9

865,4

651,9

766,7

Luas Hutan BKPH Sukun 3.701,1

Pulung Setonggo

Gn. Tukul

Centong

667,9

707,5

832,0

Luas Hutan BKPH Pulung 2.207,4

Bondrang Gunting

Bondrang

Sawo

682,5

800,6

1.442,4

Luas Hutan BKPH Bondrang 2.925,5

Luas Hutan Bagian Ponorogo Timur 8.834,0

KPH MADIUN 31.264,3

Sumber: Buku RPKH KPH Madiun

b. Tanah dan Iklim

Sebagian besar tanah pada kawasan hutan KPH Madiun termasuk jenis

Lateri. Ketinggian dari permukaan air laut berkisar antara 100-300 DPL. Menurut

pembagian iklim Scmitd and Ferguson, kawasan hutan KPH Madiun termasuk

dalam tipe iklim C. Curah hujan rata-rata per tahun 1863 mm. Suhu berkisar

antara 24ºC-32ºC.

c. Penataan Hutan

Penatagunaan lahan kawasan hutan KPH Madiun dibagi menjadi 4 (empat)

bagian hutan yaitu, Bagian Hutan Caruban, Pagotan, Ponorogo Barat, Ponorogo

Timur. Keempat bagian hutan tersebut dimasukkan ke dalam kelas Perusahaan

Page 13: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

31

Jati kecuali BKPH Sukun yang merupakan Bagian Hutan Ponorogo Timur yang

masuk ke dalam Kelas Perusahaan Kayu Putih. Penatagunaan lahan kawasan

hutan KPH Madiun ke dalam Kelas Perusahaan berdasarkan bagian hutan secara

rinci dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Pembagian Kelas Perusahaan Hutan KPH Madiun

Kelas Hutan Kelas Perusahaan

Jati

Ha

Kayu Putih

Ha

Jumlah

Ha

1 2 3 4

a. Untuk Produksi

-Untuk Produksi Kayu Jati

1. Produktif

2. Tidak Produktif

3. TBPTH

-Bukan Produksi Kayu Jati

4. TBJ

5. TJKL

6. HPT

14.659,0

3.743,5

51,7

1.159,1

5.946,7

86,4

3.060,6

229,6

0,0

17.719,6

3.973,1

51,7

1.159,1

6.109,5

84,0

29.021,4

b. Bukan Untuk Produksi

7. TBP

8. LDTI

9. HL

10. SH/HW

423,0

519,4

941,4

51,0

53,4

178,7

474,0

572,8

1.120,5

2.167,3

Jumlah 27.528,2 3.736,1 31.264,3

Sumber: Buku RPKH KPH Madiun, 2000

d. Susunan Organisasi KPH Madiun

Uraian tugas dan susunan organisasi PT Perhutani KPH Madiun adalah

berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 0936/Kpts/Dir/1993

tanggal 10 September 1993. Kendati Perhutani saat ini telah berubah menjadi

Persero, namun keputusan ini masih tetap berlaku.

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun dipimpin oleh seorang

Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH) atau lebih dikenal dengan sebutan

Administratur (Adm) yang bertanggungjawab menyelenggarakan ketatalaksanaan

Page 14: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

32

perusahaan, pengamanan hutan dan hasil hutanserta melaksanakan koordinasi

dengan instansidan lembaga-lembaga terkait dalam wilayah kerjanya. Dalam

menjalankan tugasnya Administratur dibantu oleh dua orang Ajun Administratur

Perhutani (Kepala Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan/KSKPH), seorang Ajun

Kepala Teknik Kehutanan Umum/ Ajun KTKU, dan seorang Ajun Kepala Tata

Usaha/KTU.

Ajun Administratur (KSKPH) Madiun Utara membawahi tujuh Bagian

Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) sedangkan KSKPH Madiun Selatan

Membawahi lima BKPH. Masing-masing BKPH dipimpin oleh seorang Kepala

BKPH (KBKPH) atau asisten Perhutani (Asper) dan setiap BKPH membahwahi

RPH. Di Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) Madiun Utara terdapat 24

RPH sedangkan di SKPH Madiun Selatan 19 RPH yang masing-masing dipimpin

oleh seorang Kepala RPH (KRPH).

Adapun Ajun KTKU di KPH Madiun membawahi Kaur Humas dan

Agraria, Kaur Perencanaan, Kaur Data, Kaur Tanam, dan Kaur Produksi. Ajun

KTU membawahi Kaur Umum, Kaur Hasil Hutan, Kaur Personalia, dan Kaur

Keuangan, selain jabatan yang diuraikan diatas di KPH Madiun juga ada jabatan

Suplap, Kepala Teknik Bangunan dan Instalasi (KTBI), Kepala Penguji, Kepala

Tempat Penimbunan, Kayu (Kepala TPK), dan Kepala PGM (sederajat Asper)

serta dua orang Komandan Regu Keamanan (setingkat KRPH). Dalam

menjalankan tugasnya KTBI dibantu oleh seorang pengamat yang sederajad

dengan KRPH sedangkan Kepala Penguji dibantu oleh empat orang Penguji Kayu.

Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Madiun membawahi TPK Pagotan, Caruban

Page 15: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

33

dan TPN Ponorogo. Kepala PGM (Penggergajian Madiun) membawahi seorang

Zaag Meester dan Saw Doctor (sederajad KRPH).10

D. Gambaran Umum Hutan Kayu Putih BKPH Sukun di Ponorogo

Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi Subsp cajuputi) atau dalam

literatur lama sering juga disebut merupakan salah satu jenis pohon dari famili

Myrtaceae merupakan tanaman asli Indonesia yang cukup penting bagi industri

minyak atsiri. Di Indonesia umumnya tanaman kayu putih berwujud sebagai hutan

alam dan hutan tanaman. Hutan alam terdapat di Maluku (pulau Buru, Seram,

Nusa Laut dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan

Papua, sedangkan yang merupakan hutan tanaman ada di Jawa Timur (Ponorogo,

Kediri, Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih), Daerah Istimewa Yogyakarta

dan Jawa Barat (Banten, Bogor, Sukabumi, Indramayu, Majalengka)11

Kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang penting di

Indonesia. Hutan tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, Perum Perhutani

mengelola sekitar 24.000 ha areal produktif jenis ini dan memiliki 10 Pabrik

Pengolahan Minyak Kayu Putih (PMKP). Pada Tahun 2009 pengelolaannya

belum optimal karena sampai saat ini produksi daun kayu putih masih jauh dari

kapasitas terpasang pabrik, yaitu sebesar 53.760 ton daun kayu putih pertahun.

10

Lihat Lampiran, Susunan Organisasi KPH Madiun, hlm. 142. 11

Perum Perhutani, Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas

Perusahaan Kayu Putih dari KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun

Jangka Perusahaan 1 Januari 2006 s/d 31 Desember 2010. (Seksi Perencanaan

Hutan II Madiun: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 2005), hlm. 4.

Page 16: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

34

Tanaman jenis ini di Pulau Jawa sudah dibudidayakan secara komersial dengan

produksi minyak mencapai 300 ton/tahun12

.

Perum Perhutani pada Tahun 2010 menyebutkan bahwa Indonesia

merupakan salah satu importir minyak kayu putih. Berdasarkan data statistik,

kebutuhan domestik minyak kayu putih sebesar 1.500 ton per tahun tetapi

kemampuan produksi minyak Indonesia hanya 500 ton per tahun. Padahal seperti

telah disebutkan di atas potensi hutan tanaman kayu putih di Jawa cukup besar

yang sampai dengan saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan daun kayu putih

sesuai dengan kapasitas terpasang pabrik. Dilihat dari segi kualitas tegakan dan

rendemen minyak juga masih rendah. Hal ini ditunjukan dengan besarnya derajat

kesempurnaan tegakan (Dkn) antara 0,21 sampai dengan 0,81. Sebagai gambaran,

hasil kajian Utomo (2001) hutan tanaman kayu putih di BKPH Sukun hanya

memiliki Dkn rata-rata 0,68 dengan produksi daun kayu putih 4.875 ton/tahun,

dengan rendemen minyak dari tegakan kurang dari 1,0%. Sedangkan pada periode

2006-2010 rata-rata produksi mencapai 6.318 ton daun kayu per/tahun dengan

rendemen minyak 0,813

, hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan

tanaman kayu putih di Jawa belum optimum.

12

Rimbawanto, A.,N K Kartikawati, L. Baskorowati, M Susanto,

Prastyono., Status Terkini Pemuliaan “Melaleuca cajuputi” Prosiding Hasil-hasil

Penelitian, (Yogyakarta: Balai Besar Penelitian Biotegnologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan, 2009), hlm 148-157. 13

Perum Perhutani Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas

Perusahaan Kayu Putih dari KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun

Jangka Perusahaan 1 Januari 2011 s/d 31 Desember 2010. (Seksi Perencanaan

Hutan II Madiun: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 2015), hlm. 37 .

Page 17: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

35

1. Sejarah Hutan Kayu Putih BKPH Sukun

Pada awalnya BKPH Sukun merupakan Kelas Perusahaan Kayu Jati, namun

banyak terjadi pencurian kayu yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Untuk

mengantisipasi bahaya banjir serta pencurian maka pada tahun 1924 diadakan

percobaan penanaman kayu putih untuk pemanfaatan pada lahan kritis sebagai

upaya merehabilitasi lahan. 14

Bibit berasal dari Pulau Buru, penanaman dilakukan

di daerah Sukun, Pulung, Bondrang pada areal yang luasnya masing-masing 0,25

ha. Karena percobaan tersebut memuaskan maka penanaman jenis kayu putih di

BKPH Sukun diperluas terus menerus dalam pelaksanaan reboisasi tanah kosong

dan ditetapkan sebagai Kelas Perusahaan Kayu Putih di KPH Madiun.15

Pada tahun 1925-1936 pengembangan kayu putih mulai dibudidayakan si

BKPH Sukun KPH Madiun kawasan Ponorogo timur seluas 60,8 ha. Pada tahun

1937 percobaan penyulingan daun kayu putih mulai dilakukan dengan instalasi

yang sangat sederhana sekali. Tahun 1939 didirikan sebuah instalasi yang masih

sederhana terdiri dari dua buah los untuk penyulingan dengan dilengkapi peralatan

berupa 4 buah ketel daun yang terbuat dari besi beserta dapur atau tungku dan

pendinginan dalam kolam dari batu kali yang disusun dengan tanah liat.16

Pada tahun 1947 dilakukan penyempurnaan dan penggantian alat-alat

penyulingan dengan menggunakan ketel uap lokomotof berkapasitas 0,5 ton, serta

tangki daun berkapasitas 1 ton untuk satu kali proses. Pada tahun 1957 didirikan

bangunan pabrik minyak kayu putih yang permanen terdiri dari 3 buah ketel uap

14

Wawancara dengan Sarmanto selaku Kepala Pabrik Minyak Kayu Putih

Sukun, tanggal 2 Desember 2014. 15

Perum Perhutani KPH Madiun. Sekilas Profil Kelas Perusahaan Kayu

Putih BKPH Sukun. (Perum Perhutani: Madiun, 1998), hlm. 2. 16

Ibid.

Page 18: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

36

dan 6 buah ketel daun yang berkapasitas 1,6 ton DKP dimana semua pekerjaan

masih menggunakan tenaga buruh. Pada tahun 1986 dalam rangka meningkatkan

kualitas mutu MKP seluruh tangki dan instalasi perpipaan dibuat dari stenless stel.

Kapasitas produksi PMKP Sukun dengan hari kerja efektif 200 hari dalam satu

tahun dan tiap kali rata-rata 4 kali proses, sedangkan tiap kali proses dengan

tangki sebanyak 6 buah sekitar ± 10 ton DKP sehingga kapasitas PMKP kurang

lebih 8000 ton per tahun setara dengan 64.000 kg MKP.17

Gambar 1.

Pembangunan atap pabrik pada bulan juli tahun 1956

Sumber: Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur

17

Ibid.

Page 19: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

37

Gambar 2.

Proses pemasukan daun kayu putih ke dalam ketel penguapan tahun 1956

Sumber: Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur

Gambar 3.

Proses pengangkatan daun kayu putih setelah dilakukan proses penguapan tahun

1956.

Sumber: Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur

Page 20: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

38

Gambar 4.

Proses penyulingan daun kayu putih dengan menggunakan alat-alat ketel uap pada

tahun 1957.

Sumber : Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur.

Gambar 5.

Pabrik Permanen Minyak Kayu Putih Sukun Pada Tahun 1957

Sumber: Koleksi Arsip Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur

2. Letak dan Batas-batas wilayah BKPH Sukun adalah :

BKPH Sukun KPH Madiun dengan Kelas Perusahaan Kayu Putih terletak

di sebelah Barat Daya Gunung Wilis masuk Das Bengawan Solo, Sub Das Kali

Madiun, secara administrative masuk Kabupaten Ponorogo Propinsi Jawa Timur.

Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Batas sebelah barat yaitu Pal B 617 ke Utara sampai dengan Pal B 714

belok ke Timur sampai dengan Pal B B 732 ke utara sampai dengan Pal B

756/Bi

Page 21: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

39

b. Batas sebelah utara yaitu Pal B 6 atau kali Miring Ke Timur sampai Kali

Taeng atau sampai dengan Pal B 53

c. Batas sebelah timur yaitu Pal B 6 ke selatan samapi Pal B 46 ke Timur

samapi dengan Pal B 58 belok ke selatan sampai Pal B 75

d. Batas sebelah selatan yaitu Alur B atau Pal B 56 Ke Barat sampai dengan

Pal B 12 dan belok ke Utara dengan Pal B 61718

Wilayah Hutan yang dikelola BKPH Sukun dibagi kedalam 5 Resort Polisi

Hutan (RPH) dan terdiri atas 55 petak, jumlah luas seluruh wilayah BKPH Sukun

adalah 3.701 ha dan ditinjau dari kelas hutannya dibagi dalam tiga kelompok

yaitu:

a. Hutan Produktif: 2892,2 ha (78,2 %)

b. Hutan Tak Produktif (LTJL, Tpr,Tkl,Tkpbk) : 573,8 ha(15,5 %)

c. Hutan Bukan untuk Produksi (Tbp, Ldti, SA/HW) 235,0 ha (6,3 %)

3. RPH yang termasuk wilayah BKPH Sukun adalah :

a. RPH Tambaksari seluas 663,2 ha, meliputi petak 1,2,4,42,43,44,45 dan

petak 46

b. RPH Sukun 762,9 ha, meliputi petak 3,5,15,16,32,,33,34,35,40A, dan

petak 41

c. RPH Nglayang seluas 856,4 ha meliputi petak 6 sampai dengan 14 dan 17

sampai dengan 20

18

Perum Perhutani., Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas

Perusahaan Kayu Putih KPH Madiun Bagian Hutan: Sukun BKPH Sukun Jangka

Perusahaan 1 Januari 2006 s/d 31 Desember 2010. (Seksi Perencanaan Hutan II

Madiun: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 2005), hlm. 3.

Page 22: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

40

d. RPH Sidoarjo seluas 651,9 ha meliputi petak 21 sampai dengan 31 dan

petak 36 sampai dengan 38

e. RPH Depok seluas 766,7 ha meliputi petak 39, 40 B dan petak 47 sampai

dengan petak 55.19

4. Keadaan Tanah BKPH Sukun

Analisis tanah yang dilakukan oleh Sukirno pada tahun 1994 bahwa tanah

hutan BKPH Sukun termasuk tanah kurang subur. Adapun hasil analisis tersebut

berdasarkan pada kriteria Lembaga Penelitian Tanah Bogor bahwa pH di lokasi

penelitian, BKPH Sukun umumnya adalah agak masam sampai netral (6,10 -

6,80). Sedangkan unsur hara makro antara lain nitrogen, kalsium, pospor dan

bahan organik adalah sebagai berikut: C-tersedia sangat rendah sampai rendah

(0,67 % - 5,02 %), N-total sangat rendah sampai rendah (0,06 % - 0,10 %), P-

tersedia kurang (0,23 ppm-2,19 ppm), K-tersedia rendah sampai tinggi (0,18 -

0,62) sedangkan bahan organik sangat rendah sampai rendah (1,15 % - 5,47%).

Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelestarian kesuburan tanah perlu

dilakukan penambahan unsur hara ke dalam tanah yang berupa pupuk atau bahan

organik lainnya. Sedangkan untuk memulihkan daur hara yang terputus akibat

pengangkutan biomassa ke pabrik dan ke rumah penduduk dilakukan melalui

pengembalian sisa pabrik yang berupa afval daun kembali ke lahan hutan.20

Produktivitas tinggi apabila kerapatan tegakan juga tinggi. Kerapatan

tegakan mempunyai korelasi positif dengan produktivitas biomassa apabila

19

Ibid., hlm 15. 20

Sukirno, D.P., Kajian Penaksiran Biomas Tanaman Tanaman Melaleuca

leucadendron Linn Umur 6 Tahun di RPH Tambaksari, BKPH Sukun, KPH

Madiun. Thesis Progam PPS UGM Yogyakarta: Tidak Diterbitan, 1994, hlm 54.

Page 23: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

41

dikombinasikan dengan umur tanaman. Hal ini senada dengan hasil kajian

Budiadi (2005), bahwa umur tanaman lebih kuat korelasinya dengan produktivitas

baik dikombinasikan maupun tidak dikombinasikan dengan kerapatan tegakan.

Seperti telah disebutkan pada paragraf sebelumnya produktivitas turun

kemungkinan disebabkan oleh sering terjadinya kebakaran, kematian pohon,

penurunan kualitas tanah akibat pemanenan yang dilakukan terus menerus dan

terjadi kompetisi antara tanaman kayu putih dengan tanaman tumpangsari dan

gulma. Namun karena adanya tumpangsari juga bisa memberi efek positif ketika

petani melakukan pemupukan pada tanamannya.21

E. Munculnya Petani Pesanggem di Hutan Kayu Putih Sukun Ponorogo

Hutan Kayu Putih Sukun Ponorogo merupakan salah satu hutan produksi

dan termasuk dalam hutan negara. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang

mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Undang-undang RI No.41

Bab I pasal 1 tentang Kehutanan). Maksud dari hasil hutan dapat berupa kayu

maupun non kayu. Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda

sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman

hayati dan ekosistemnya. Mendasarkan pada karakteristik khusus pada hutan

tersebut manusia dapat memanfaatkan sumberdaya hutan yang terkandung di

dalamnya, terutama pada kawasan hutan produksi. Pemanfaatan hutan ini

bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh

masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan itu sendiri yang disebutkan

dalam Pasal 15 PP No.34/2002.

21

Pudja Mardi Utomo, Endang Suhendang, Wasrin Syafii dan Bintang

C.H. Simanngusong., loc.cit.

Page 24: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

42

Pada kenyataannya, pemanfaatan hutan produksi masih belum optimal.

Hasil hutan yang menjadi target, baru sampai pada bagaimana hutan tersebut

mampu memproduksi kayu yang berkualitas dengan volume yang cukup tinggi,

sehingga manfaat-manfaat lain secara ekologis serta jasa yang dapat diperoleh

dari hutan belum sepenuhnya digali. Banyaknya kasus seperti penyerobotan lahan

hutan, kebakaran hutan, illegal logging serta tindak perusakan hutan lainnya,

merupakan suatu indikasi bahwa sebetulnya banyak pihak yang ingin mengambil

manfaat dari keberadaan hutan tersebut. Salah satu yang perlu mendapat perhatian

adalah masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan yang selama ini justru

termarginalisasi.

Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi di daerah pedesaan

menyebabkan berbagai dampak negatif, antara lain lahan pertanian yang makin

menyempit akibat bagi waris maupun akibat alih fungsi lahan, tidak tersedianya

lapangan pekerjaan lain yang layak bagi angkatan kerja penduduk pedesaan, serta

makin sulitnya untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang,

pangan dan perumahan.22

Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat yang tinggal

disekitar kawasan hutan kayu putih Sukun Ponorogo, sebagian besar penduduk

yang tinggal dikawasan tersebut bekerja sebagai petani penggarap lahan hutan

(petani pesanggem), banyak faktor yang membuat mereka untuk memilih sebagai

petani pesanggem hal tersebut yang mengakibatkan banyak bermunculan petani

peanggem di hutan kayu putih Ponorogo. Masyarakat desa hutan atau petani

pesanggem sesungguhnya mempunyai pengalaman dan ketrampilan alami untuk

22

Siti Zulaifah., Pemanfaatan sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat

untuk Pengembangan Kawasan Hutan Regaloh di Kabupaten Pati Jawa Tengah,

Tesis Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota: Universitas Diponegoro, Tidak

diterbitkan, 2006, hlm. 13-15.

Page 25: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

43

melestarikan hutan, sebagai contoh pada pengelolaan hutan rakyat yang dikelola

oleh masyarakat desa hutan dengan menggunakan local knowledge (kearifan

lokal) dan ditanami menggunakan local specific (sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan masyarakat lokal).

Partisipasi petani pesanggem sangat diperlukan untuk pengamanan dan

penyelamatan hutan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan juga

berfungsi sebagai pendidikan dan penyadaran akan arti penting konservasi alam

sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk yang selama ini lemah

karena kurangnya akses terhadap sumberdaya. Salah satunya adalah kerjasama

antara Perhutani dengan kelompok masyarakat desa hutan (petani pesanggem).

Petani pesanggem dikenal masyarakat sebagai petani upahan atau bayaran

pada zaman pemerintahan kolonial. Setelah kemerdekaan dan fungsi hutan berada

pada pemerintahan Indonesia petani pesanggem tidak begitu terdengar lagi,

meskipun mereka tetap pada pekerjaan mereka sebagai petani hutan. Ketika rezim

Orde Baru diterapkan pada setiap pemangku hutan pada tahun 1966, pemerintah

pusat mereancangkan progam memperbaiki hutan setelah pengolahan hutan

berpindah tangan dari pemerintahan Jepang ke Belanda.

Progam masa Orde Baru bersifat sentralistrik yang menitikberatkan

perekonomian pada titik tertinggi, dalam kaitannya dengan progam kehutanan,

pemerintah mengadakan gerakan massal dengan mengikutsertakan masyarakat

untuk memperbaiki DAS pada setiap kawasan wilayah hutan guna menghindari

banjir. Pada kesempatan ini petani pesanggem tidak begitu terlibat, hanya warga

desa hutan saja yang dominan terlibat pada perbaikan DAS. Tahun 1967-1968

kehutanan mengadakan progam gerakan massal yang melibatkan masyarakat

Page 26: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

44

untuk penghijauan. tahun 1969 muncul progam kerja yang melibatkan masyarakat

kembali untuk progam hidrologi agar produksi hutan maupun pertanian sekitar

hutan dapat optimal.

Keberadaan petani pesanggem sudah muncul sejak lama di Hutan Kayu

Putih BKPH Sukun sebelum tahun 1970, namun keberadaan mereka tidak terlalu

diperhatikan seperti saat ini. Tidak banyak lahan yang digunakan sebagai lahan

tumpangsari dan mereka selalu berpindah-pindah biasanya hanya dibuka atau

diolah selama 3 tahun, kemudian mereka membuka lahan baru kembali. Pada

Tahun 1990-an banyak lahan yang mulai dibuka kecuali lahan hutan lindung dan

Kawasan Perlindungan Setempat. Pada awalnya petani yang menggarap lahan

hutan hanya penduduk yang tinggal dilingkungan hutan yaitu penduduk dari

Sukun, namun karena penduduk sekitar tidak sanggup menggarap semua lahan

hutan Pihak Perhutani mencari penduduk yang mau menggarap lahan hutan ke

desa-desa lain sehingga banyak dari penduduk desa lain yang mulai menggarap

lahan hutan BKPH Sukun seperti dari Sooko, Pudak, Singgahan, Bekiring,

Tumoncol, Sawoo dan berbagai desa di Ponorogo yang merupakan desa yang

terletak jauh dari kawasan hutan.

Pada awal tahun 1970 petani pesanggem ini merupakan petani yang

menggarap lahan hutan tanpa ijin dan sepengetahuan dari pihak Perhutani, namun

pada tahun 1990 petani-petani ini terdiri dari KTH (Kelompok Tani Hutan),

kemudian pada tahun 2004 dibentuk secara resmi Lembaga Masyarakat Pengelola

Sumber Daya Hutan (LMPSDH)23

23

Wawancara dengan Hariyono tanggal 14 Juli 2015

Page 27: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

45

Kegiatan nasen atau mbaon24

sudah ada sejak tahun 1970an , kegiatan ini

sudah dilakukan secara turun-temurun. Pada tahun 1984 banyak petani yang sudah

membuka lahan hutan untuk sistem tumpangsari, namun masih berpindah-pindah

karena banyaknya gangguan dari hewan liar di hutan seperti kera, babi hutan dan

lain-lain yang merusak tanaman palawija, keadaan ini sangat merugikan petani

pesanggem sehingga mereka memutuskan untuk membuka lahan baru yang

dianggap aman dari gangguan hewan-hewan liar25

Tanaman tumpangsari merupakan usaha diversifikasi pertanian

(penganekaragaman produksi pertanian). Tumpangsari merupakan hasil

pengembangan dari sistem „Taungya‟ di Burma (Myanmar). Petani di Burma

biasa menanam padi gogo dicampur dengan tanaman pangan dan sayur- sayuran.

Di Indonesia, tumpangsari diperkenalkan oleh Buurman seorang ahli kehutanan

dari Hindia Belanda sekitar tahun 1856-an. Pada masa itu Buurman sebagai

Houtvester melihat kenyataan di lapangan bahwa di Houtvesterij (Bagian Hutan)

Batang–Pekalongan, petani menanam palawija di lahan hutan akibat kekurangan

lahan pertanian tanpa sepengetahuan pihak Belanda. Akhirnya disusun suatu

kebijakan bahwa petani sekitar hutan boleh menanam tanaman pangan di areal

bekas tebangan, tetapi diharuskan menanam bibit- bibit Jati di sela-sela tanaman

pangan.

Kerjasama antara petani dengan pihak Belanda tersebut diperkuat dengan

perjanjian kontrak, yang diketahui oleh pejabat desa. Petani menerima uang

kontrak yang nilainya sebenarnya kecil, tetapi fungsi hukumnya sangat kuat. Isi

24

Nasen atau mbaon merupakan istilah lain dari tumpangsari, pesanggem

menyebut tumpangsari adalah nasen atau mbaon. 25

Wawancara dengan Bapak Purnomo 2 Agustus 2015

Page 28: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

46

dari perjanjian tersebut dilengkapi dengan hak dan kewajiban kedua pihak serta

sangsi bila masing-masing melanggar perjanjian tersebut. Awalnya, tanaman

pangan yang banyak ditanam petani di areal bekas tebangan berupa palawija, lalu

semakin berkembang ke tanaman padi jenis gogo serta singkong. Tumpangsari di

lahan hutan pada umumnya menghasilkan produksi padi cukup tinggi, karena

lahan subur dan gulma sedikit.26

Akhirnya tumpangsari semakin berkembang sampai sekarang dan tidak

hanya terbatas di kawasan hutan. Sistem tumpangsari di lahan sela kawasan hutan

mempunyai peran yang cukup signifikan bagi kelestarian dan produktifitas hutan,

karena pesanggem sebagai pelaku usaha tumpangsari selain merawat tanaman

tumpangsari, mereka juga sekaligus mengelola tanaman tegakan hutan yang

berpengaruh terhadap produktifitas hutan selama satu daur berikutnya.

Dari segi pembangunan ekonomi wilayah maupun nasional, pemberian

peluang kepada pesanggem dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu sarana

yang efektif untuk pemerataan dan tahapan untuk mengatasi kemiskinan di

lingkungan masyarakat desa hutan. Apabila dirancang dan dibimbing dengan baik,

sistem tumpangsari di lahan sela kawasan hutan dapat diarahkan untuk

meningkatkan produksi pangan nasional melalui penanaman komoditas tertentu

yang bernilai ekonomi tinggi seperti cabe, sayur-sayuran, padi gogo, kedelai,

ketela, jagung dan sebagainya. Jadi pemberdayaan pesanggem yang baik

26

Hasanu Simon., Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 11.

Page 29: BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PONOROGO DAN … · getah pinus, daun kayu putih, minyak kayu putih, lak butiran, benang sutra dan lainnya. Produksi hasil hutan non-kayu terbesar adalah

47

berpeluang besar untuk memberi sumbangan yang sangat berarti bagi

pembangunan desa, bahkan secara regional serta nasional.27

Tujuan dari tumpangsari sendiri adalah untuk meningkatkan ketahanan

pangan nasional, hal ini diharapkan mampu memperbaiki kehidupan sosial

ekonomi petani pesanggem yang tinggal disekitar hutan kayu putih Sukun

Ponorogo. 28

27

Hasanu Simon, dkk., Dinamika Kehidupan Petani Kecil Kasus

Pesanggem dan Lingkungannya, (Yogyakarta: Aditya Media, 1999), hlm. 10. 28

Wawancara dengan Hariyono Pada Tanggal 2 Agustus 2015.