bab ii hani -...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TIRATANA SEBAGAI PENGAKUAN
DALAM AGAMA BUDDHA
A. Tiratana Sebagai Persaksian dalam Agama Buddha
Agama Buddha merupakan agama besar yang kedua, yang banyak
penganutnya di dunia dan banyak mempengaruhi budaya pikiran dan
perilaku orang-orang Indonesia. Ajaran agama Buddha tidak bertitik tolak
pada Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta beserta seluruh isinya
termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam
kehidupan sehari-hari khususnya tentang tata susila yang dijalankan
manusia agar terbatas dari lingkaran dukha yang selalu mengiringi
hidupnya.1
Ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga ajaran pokok,
yaitu Buddha, Dhamma dan Sangha. Ajaran tentang Buddha Gautama
sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh
setiap makhluk hidup pada perkembangan selanjutnya ajaran tentang
Buddha ini berkaitan pula dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah
satu ciri ajaran semua agama. Ajaran tentang damma banyak
membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam
hidupnya baik yang berkaitan dengan ciri manusia itu sendiri maupun
hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan
segala isinya. Ajaran tentang Sangha sebagai pasamuan para bhikkhu juga
berkaitan dengan umat yang menjadi tempat para bhikkhu menjalankan
dhammanya.2
1 Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1996, cetakan ke I, hlm. 21 2 A. Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, PT. Hanindita, Yogyakarta, 1998, hlm. 102
14
Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan
mereka kepada Buddha, dhamma, Sangha dengan kata dalam satu rumusan
kuno yang sederhana namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama
Tiratana yang berasal dari bahasa Pali yang artinya satu bagian terpenting
dan yang menjadi dasar agama Buddha. Tiratana berasal dari dua kata Ti
yang berarti tiga dan Ratana yang berarti permata arti keseluruhannya
adalah tiga permata mulia.3
Yang maksudnya adalah tiga Perlindungan, rumusan tersebut
berbunyi :
Buddha saranam gaccami – Aku berlindung kepada Buddha
Dhamma saranam gaccami – Aku berlindung kepada Dhamma
Sangha saranam gaccami – Aku berlindung kepada Sangha
Permata yang pertama adalah BUDDHA yaitu seseorang yang
mencapai penerapan yang sempurna dengan kemampuan sendiri tanpa
bantuan dari makhluk-makhluk lain. Ia mempunyai kemampuan untuk
menguraikan dan membabarkan penyatuan kepada makhluk-makhluknya.
Permata yang kedua adalah DHAMMA yaitu ajaran-ajaran yang diberikan
dan dibabarkan sang Buddha untuk mencapai Nibbana. Permata yang
ketiga adalah ARIYA SANGHA yaitu persaudaraan para pengikut sang
Buddha yang telah melaksanakan dhamma dengan sempurna dan yang
telah mencapai magga (jalan) dan phala (hasil) dapat juga dikatakan
persaudaraan para pengikut sang Buddha yang telah mencapai tingkatan-
tingkatan kesucian baik tingkatan pertama (sota panna) orang yang telah
mencapai tujuh kali kelahiran, kedua (saka dagami) orang yang telah
mencapai lima kali kelahiran, ketiga (anagani) orang yang telah mencapai
3 Majlis Pendeta Buddha Dhamma Indonesia, Yayasan Dhamma Dipoarama Jakarta,
1979, hlm. 23-24
15
satu kali kelahiran, maupun yang keempat (arahat) orang yang tidak sama
sekali mengalami kelahiran.4
Perlindungan adalah suatu yang dituju orang ketika mereka
mengalami penderitaan atau ketika mereka membutuhkan keselamatan dan
perasaan aman.5
Aku pergi … berlindung kepada Buddha, aku pergi berlindung
kepada dhamma, aku pergi berlindung kepada Sangha (untuk yang kedua
kalinya … untuk yang ketiga kalinya)
Berdasarkan rumusan kitab suci agama Buddha di atas yang
membahas tentang tiga perlindungan ini untuk yang pertama kalinya
diucapkan oleh sang Buddha, bukan oleh para siswa beliau, bukan pula
oleh para Petapa dan juga bukan pula para dewa yang berada di Benares di
Taman Rusa di isi patana ketika para 16 arahat pada waktu itu ditugaskan
untuk mengajarkan dhamma di dalam dunia demi untuk mencapai manfaat
buat orang banyak, dan untuk mencapai tujuan memberikan pentasbian
dapat diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan tak berumah tangga.6
Tiga perlindungan tersebut merupakan do’a yang sangat baik dapat
dilaksanakan kapan saja dan dimanapun, tetapi dalam dunia Buddha
diyakini bahwa hari yang Paling baik untuk memulainya yaitu dengan
mengikat tiga permata atau tiga perlindungan, dan yang dapat
menjadikannya sebagai penutup hari sebagai umat Buddha sebelum tidur.
Meskipun do’a tersebut sangat singkat namun perlu diingat bahwa kalimat
tersebut meliputi seluruh ajaran buddhis, Buddha guru agung dan penunjuk
jalan kehidupan bagi umat Buddha, dhamma merupakan ajaran yang
diwariskannya kepada umat Buddha sebagai pedoman dalam menempuh
4 PHRA Vidhur Dhammabhorn, Ajaran Bagi Para Pemula, Penerbit Yayasan
Sucinno, Bandung, 1992, hlm. 11 5 Shravasti Dhammika, Anda Bertanya Kami Menjawab, Yayasan Penerbit Karania
Anggota IKAPI, 2003, hlm. 159
16
kehidupan ini, sedangkan Sangha atau persaudaraan para bhikhu
melambangkan panjang dhamma dan merupakan sahabat kita.7
B. Substansi Kesaksian Tiratana dalam Agama Buddha
1. Buddha Guna
Kata Guna berasal dari bahasa Pali yang mempunyai dua arti,
yang pertama berarti kebaikan sedangkan yang kedua mengandung arti
manfaat. Jadi kata guna dapat diuraikan yang pertama mempunyai arti
kebaikan atau kebajikan yang dimiliki seseorang karena telah
melakukan suatu perbuatan baik atau jasa kepada orang lain, baik yang
dilakukan dengan perbuatan maupun ucapan dan pikiran. Sedangkan
yang kedua kata Guna berarti manfaat atau dimiliki oleh suatu benda
atau barang sehingga kita dapat menggunakannya untuk mencukupi
atau memuaskan kebutuhan kita.8
Sifat mulia sang Buddha:
a. Mencapai penerangan sempurna dengan usaha dan kemampuannya
sendiri.
Dengan tekad yang bulat dan tujuan yang mulia, Siddharta
melakukan suatu cara bertapa, akan tetapi hal itu belum dapat
membawa beliau ke arah kebebasan yang sejati. Dia juga telah
berguru kepada beberapa orang guru yang terkenal namun hal
tersebut masih belum juga dapat membebaskan dia dari penderitaan.
Dengan menggunakan beberapa cara dia melatih meditasi
akhirnya Sang Buddha telah mencapai penerangan yang sempurna.
6 Bikkhu Nanamoli, Khuddapatha, Kitab Suci Agama Buddha I, Vihara Bodhivamsa,
Klaten, 2001, hlm. 53 7 Sumargalo Mahathera, Buddha Dhamma untuk Anak, Penerbit Karaniya Anggota
IKAPI, Yayasan, hlm. 16-18 8 PHRA Vidhur Dhammabharn, Ajaran Bagi Para Pemula …, loc. cit., hlm. 16
17
b. Mengajarkan dan membabarkan pengetahuan yang telah dicapainya.
Dengan cinta kasihnya yang begitu besar, maka Sang
Buddha mengajarkan dan membabarkan tentang apa yang telah
dicapainya. Beliau mengajarkan dhamma tanpa mengenal lelah
sedikitpun walaupun banyak rintangan yang menghalanginya, tetapi
ia tetap menghadapi dengan penuh ketabahan.9
Ajaran tentang Tiratana yang pertama adalah ajaran tentang
Buddha (Buddha Saranam Gacchami) yang telah mempunyai arti
aku berlindung kepada Buddha, pendiri agama Buddha adalah
Siddharta yang dilahirkan kira-kira pada tahun 563 SM, di daerah
Kapilawestu di kaki gunung Himalaya.10 Dia adalah putra dari
seorang raja yang bernama Suddodana dan Dewi Madiamaya. 11
Perkataan Buddha berasal dari kata Bujjhita yang artinya
bangun yang kemudian mendapatkan penerangan, pencerahan
mengetahui dan mengerti, sehingga kata Buddha dapat diartikan
seorang yang telah memperoleh kebijaksanaan yang sempurna.12
Menurut keyakinan agama Buddha sebelum tahap zaman
yang sekarang ini, sudah ada tahap zaman-zaman yang tak berbilang
banyaknya, akan tetapi tiap zaman memiliki Buddhanya sendiri-
sendiri. Oleh karena itu menurut keyakinan agama Buddha, ada
banyak umat Buddha yaitu orang yang telah mendapatkan
pencerahan buddhi.13 Buddha adalah orang yang tercurahkan, yang
mana dia telah terberkati, dengan melalui usahanya sendiri tanpa
guru dalam ide-ide yang belum pernah didengar sebelumnya, dan
9 PHRA Vidhur Dhammabharn, Ajaran Bagi Para Pemula …, Ibid., hlm. 9 10 Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama …, loc. cit., hlm. 24 11 Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama I, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 210 12 Ibid., hlm. 207
18
dia telah menemukan dengan sendirinya kebenaran-kebenaran itu
untuk mencapai kemahatahuannya di dalamnya dan penguasaan atas
kekuasaan untuk mencapai penerapan yang sempurna.14
Kata pergi dalam kalimat Tiratana yang pertama yang
mempunyai arti bertempur, menghalau, menyingkirkan dan
menghentikan rasa takut, kesedihan yang mendalam, maka
penderitaan yang terakhir di dalam alam yang tidak bahagia dan
kekokohan batin. Bertempur untuk melawan rasa takut yaitu dengan
cara berlindung kepada permata yang berunsur tiga tersebut. Maka
orang itu akan mendapatkan pencerahan, dengan berlindung maka
dalam hati akan muncul suatu keyakinan untuk berbuat kebaikan
dan mencegah kejahatan. Orang yang suci adalah orang yang telah
melakukan perlindungan yaitu dengan cara meditasi.15
Seseorang kadang-kadang memiliki kelebihan-kelebihan
dalam dirinya, tetapi dia tidak dapat menggunakan kelebihan-
kelebihan yang dimilikinya itu untuk menolong orang lain yang
sedang dalam kesusahan atau kesedihan. Kita, sewaktu-waktu
mungkin memiliki kesempatan yang baik untuk menolong orang
lain, tetapi kita tidak mengerti cara yang tepat untuk memanfaatkan
kesempatan tersebut, walaupun dalam bathin kita telah ada maksud
atau kehendak untuk menolongnya.
Dengan demikian sudah jelas bagi kita sekarang, bahwa
kalau kita ingin berlindung pada Buddha, kita harus berusaha untuk
melaksanakan apa yang diajarkannya.16
13 Harun Hadi Wijono, Agama Hindhu dan Buddha, PT. BPK, Gunung Mulia,
Jakarta, 1994, hlm. 207 14 Bhikkhu, Nanamoli, Khuddakapatha …, loc. cit., hlm. 56 15 Bhikku Nanamoli, Khuddaka Patha …, op. cit., hlm. 59-61 16 Bhikkhu Guttadhama, Kemmatthana, Objek-objek Perenungan dalam Meditasi,
Vihara Tanah Putih, Semarang, 2006, hlm. 3
19
2. Dhamma Guna
Sifat-sifat mulia Dhamma:
a. Merupakan Hukum Kesunyatan
Dhamma adalah suatu hukum yang tidak dapat dielakkan
oleh setiap makhluk. Dhamma ini tidak akan dapat berubah oleh
karena pengaruh waktu, tempat maupun keadaan. Sesuatu yang
terbentuk pasti akan mengalami perubahan, kelapukan dan
kematian.
b. Melindungi Mereka yang Melaksanakannya.
Dengan sebagai umat Buddha yang berfikir, berkata, dan
berbuat dengan fikiran yang penuh keserakahan, kebencian dan
kebohongan, maka penderitaanlah yang kita peroleh sebagai
hasilnya.17
Bunyi Tiratana yang kedua adalah Dhamma Saranam
Gaccomi yang mempunyai arti aku berlindung kepada dhamma atau
dharma, dhamma adalah ajaran agama Buddha untuk mencapai
Nibbana.18
Dharma sebagai subjek anussati adalah pariyathi dhamma
dan pativedha dhamma, anussati hanya ditujukan terhadap ciri dan
keutamaan dari kedua dhamma tersebut di atas, sebagai berikut:
“Svakhato, Bhagavata Dhamma, Sanditthiko, Akaliko, Ehipassiko,
Opanayika Paccatan Vediyabbo Vinnuhiti.
a. Svakhato
Svakhato, berarti telah dibabarkan dengan baik,
pernyataan itu menunjukkan kesucian dan kesempurnaan dari
dhamma, termasuk pariyatti dhamma dan patipatti dhamma.
17 PHRA Vidhur Dhammabharn …, loc. cit., hlm. 10
20
Pativedha dhamma atau lakuttama dhamma diungkapkan terisah
dari dua dhamma, pariyatti dan patiatti dhamma.
Pariyatti dhamma telah dibabarkan dengan baik, karena
keindahannya pada permulaan, pertengahan dan pada akhirnya
dalam digha nikaya I, 62 disebutkan: “Dia mengajarkan
dhamma, baik pada permulaannya, pertengahannya, baik pada
akhirnya, lengkap yang tersirat maupun yang tersurat. Dia
menyatakan kehidupan beragama yang benar-benar sempurna
dan murni.
Dhamma baik pada permulaannya, karena menjelaskan
sila sebagai dasar yang penting dalam kehidupan beragama yang
bersih, baik pada pertengahannya, karena menjelaskan samadhi
atau kesucian bathin sebagai imbangan pada sila, baik pada
akhirnya. Karena menunjukkan pengertian sempurna dan
nibbana sebagai tujuan akhir. Dengan demikian umat Buddha
memperoleh keyakinan setelah mendengarkan dhamma, mereka
bebas dari rintangan kemajuan bathin (nijarana) dan mencapai
keberhasilan dan ketenangan setelah melaksanakan dhamma.
Akhirnya sejauh dia telah melaksanakan dhamma, mereka akan
memperoleh kebahagiaan sebagai hasil yang dijanjikan. Oleh
sebab itu dhamma telah dibabarkan dengan baik (suakhata).
Dhamma yang telah dibabarkan oleh bhagava adalah
jalan ke nibbbana bagi para siswa-siswanya, jalan bersatu
dengan nibbana, nibbana bersatu dengan jalan.
b. Sanditthiko.
Pertama, menyatakan bahwa jalan ariya harus diamalkan
dan dicapai oleh diri sendiri. Apakah ia telah melaksanakan, ia
akan segera menerima buahnya dalam kehidupan sekarang ini,
18 Harun Hadi Wijaya, Agama Hindhu dan Buddha …, loc. cit., hlm. 66
21
oleh karena itu senditthika di lihat oleh diri sendiri atau berada
sangat dekat.
Kedua, mereka yang telah mencapai sembilan tingkat
lakuttara dhamma juga harus mencapai tujuannya dengan
keyakinan sendiri. Oleh sebab itu sandittika adalah harus dicapai
oleh diri sendiri.
c. Akaliko
kebaikan di duniawi memerlukan waktu untuk memetik
hasilnya. Tetapi pencapaian keadaan lakuttara tidak tergantung
pada waktu, ia segera berbuah. Karena itu “akalika” berarti
dengan segera memberikan hasilnya atau dengan segera
memberikan hasilnya atau tanpa dibatasi waktu” pernyataan ini
dibuat mengacu kepada jalan mulia (ariya magga).
d. Ehipassiko
Lakuttara dhamma itu berharga atau layak diperlihatkan
pada orang lain, mengundang mereka untuk datang dan melihat
dhamma ini. Keadaan sembilan lakutta dhamma, karena
kenyataannya dan sucinya menyebabkan mereka merupakan
suatu yang sangat berharga, sehingga layak untuk mengundang
orang lain agar datang dan lihat sendiri (Ehipassika).
e. Opranayiko
Opanayika berarti berharga untuk dicapai dengan jalan
pengalaman dan usaha yang sungguh-sungguh, karena hasilnya
layak untuk usaha yang demikian. Lebih dari itu, dhamma yang
berharga untuk dicapai, sebagai kualitas-kualitas yang
transenden yang bertumpuk sedikit demi sedikit dalam bathin
karena realisis, yang membawa kepada nibbana. Oleh sebab itu
dhmma opanayika berharga untuk dicapai.
22
f. Paccatamueditabbo Vinnuhi
Dhamma yang dapat dicapai oleh para bijak sana masing-
masing menjadi suci karena gurunya telah mencapai kesucian,
atau seorang anak tidak akan langsung menjadi suci karena
kesucian yang dicapai oleh orang tuanya setiap orang harus
menjalaninya sendiri jalan suci dan ia sendiri yang akan
memetik hasilnya. Oleh karena itu dhamma tidak dicapai dengan
belas kasihan orang lain, ia harus di lihat, direalisasi, disenangi
oleh orang bijaksana di dalam bathin mereka masing-masing.19
Agama Buddha mempunyai arti ajaran yang dirumuskan di
dalam empat kebenaran yang mulia (Catur Arya Satyani),20 di mana
ajaran tersebut disampaikan oleh Buddha Gautama kepada murid-
muridnya yang terdiri dari Dukha, Samudaya, Niradha dan Marga.
Dukha mempunyai arti penderitaan maksudnya adalah bahwa hidup
di dunia ini adalah penderitaan.21 Pokok ajaran Buddha Gautama
ialah bahwa hidup itu adalah menderita. Seandainya di dalam dunia
tiada penderitaan, Buddha tidak akan menjelma di dunia. Padahal
penderitaan itu menjadi pengalaman tiap orang dan juga kesenangan
yang terkadang dapat dialami manusia sebenarnya adalah sumber
penderitaan. Orang yang senang ia akan merasa takut akan
kehilangan kesenangan. Kebahagiaan sejati terdapat di dalamnya,
dan tidak dapat dibatasi dengan kekayaan, kekuatan, kehormatan
atau kemenangan. Jika kekayaan duniawi diperoleh dengan cara
paksa atau tidak jujur, disalahgunakan, atau dilihat dengan
kemelekatannya, mereka akan menjadi sumber kepedihan dan
penderitaan baginya.22
19 Bhikkhu Guttadhama, Kemmatthana … op. cit., hlm. 13-17 20 Ibid. 21 Ibid., hlm. 27 22 Ibid., hlm. 67
23
Kesunyatan pertama ini tentang penderitaan yang bergantung
pada manusia dan berbagai segi kehidupan harus diamati dan diuji
dengan cermat. Pengujian ini membawa pada pemahaman yang
benar tentang diri sendiri sebagaimana adanya.23
Konsep Dukha dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
1) Dukha sebagai derita biasa (Dukha-Dukha)
2) Dukha akibat dari perbuatan-perbuatan (Vipari Nama Dukha)
3) Dukha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi (Sankhara
Dukha).24
Yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah
keinginan kepada hidup, dengan disertai nafsu yang mencari
kepuasan yakni kehausan dan kesenangan serta kekuatan Prititya
Samut pada berisi 12 pokok permulaan yang dirumuskan demikian:
Pertama menjadi tua dan mati (Jamarasonam) bergantung
dari pada kelahiran (Jati), kedua kelahiran bergantung pada hidup
atau eksistensi yang lampau (Bhawa), ketiga hidup bergantung dari
pada pengikatan kepada makan, minum dan sebagainya (Upadana),
keempat pengikatan bergantung dari pada kehausan (Tanha), kelima
kehausan bergantung dari pada emosi atau Renjana (Wedang),
keenam emosi bergantung dari pada sentuhan atau kontak (Sparsa),
ketujuh sentuhan bergantung dari pada indera dengan sasarannya
(Sadayatana), kedelapan indera dengan sasarannya bergantung dari
pada roh bergantung pada kesadaran (Wijnana), kesepuluh
kesadaran bergantung pada penafsiran yang salah (Sanskara),
23 Alm. Ven Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya, Yayasan
Dhammadipa Arama, Jakarta, 1998, hlm. 39-40 24 Yayasan Kanthaka Kencana, Dhamma, Jakarta, 1980, hlm. 21-26
24
kesebelas penafsiran yang salah, kedua belas penafsiran yang salah
bergantung pada ketidaktahuan (Awidya).25
Kesunyatan kedua ini tentang sebab penderitaan yang
menyebabkannya adalah keinginan untuk hidup yang menyebabkan
timbulnya keinginan-keinginan yang lain seperti ingin makan enak,
ingin kekuasaan, kekayaan, kepuasan dan sebagainya. Dengan
adanya keinginan untuk hidup menyebabkan seseorang harus
mengalami Samsana,26 dan menjadikan seseorang melekat pada
berbagai bentuk kehidupan.
Bentuk terkasar nafsu keinginan dapat dilemahkan pada saat
mencapai tingkatan Sakadagami yaitu tingkatan Anagami (tingkatan
kesucian ketiga), bentuk halus keinginan baru akan dapat hilang
mencapai tingkatan kesucian Arahat.27
Kesunyatan yang ketiga adalah Niradha atau pemadaman
maksudnya bahwa cara pemadaman atau menghilangkan
penderitaan yaitu dengan jalan menghapuskan Tanha.28 Jalan untuk
mengatasi penderitaan dan menemukan kebahagiaan sejati, ketika
memperoleh empat kebenaran mulia,29 dengan ketiga aspeknya
adalah ada berakhirnya penderitaan, dukha berakhirnya dukha harus
dicapai Nirodha adalah kata lain dari Nibbana. Ketika anda telah
melepas sesuatu dan membiarkannya lenyap, maka yang tersisa
adalah kedamaian, anda dapat mengalami kedamaian itu melalui
meditasi, ketika anda telah membiarkan nafsu maka keinginan akan
berakhir dalam pikiran dan yang tersisa adalah suatu kedamaian
25 Heni Lutfiana, Makna Teologis, Psikologis, Sosiologis, Persaksian dalam Agama
Buddha dan Islam, Tegal angkatan 1999, hlm. 27 26 Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama …, loc. cit., hlm.27 27 Alm. Ven Narada Mahathera, Sang Buddha …, loc. cit., hlm. 40-41 28 Ibid. 29 Sumargalo Mahathera, Buddha Dhamma …, loc. cit., hlm. 26-27
25
yang luar biasa.30 Kesunyatan ini harus disadari dengan
mengembangkan jalan Ariya berunsur delapan yang merupakan
kesunyatan mulia ke empat. Jalan yang khas ini merupakan satu-
satunya jalan langsung menuju ke Nibbana, itu dapat dicapai
dengan menghilangkan segala bentuk nafsu keinginan secara
menyeluruh.
Jalan itu terdiri dari delapan unsur meliputi:
Pertama, pengertian benar (Samma Ditthi), diterangkan
sebagai pengetahuan tentang empat kesunyatan mulia. Dengan kata
lain memahami diri sendiri sebagai apa adanya, karena seperti yang
tercantum dalam Rohitassa Sutta, kesunyatan ini berhubungan
dengan sekujur tubuh ini. Kunci agama Buddha adalah pengertian
benar.
Kedua, pandangan yang bersih atau pengertian benar
membawa pada pemikiran yang bersih (Samma Sam Kappa), oleh
karena itu unsur kedua jalan arya berunsur delapan, diterjemahkan
sebagai pemecahan benar, cita-cita benar. Sesungguhnya tidak
menyampaikan arti bahasa Pali yang sebenarnya. Gagasan atau
kesadaran yang benar lebih mendekati arti yang sebenarnya. Pikiran
benar dapat dikatakan sebagai terjemahan yang sepadan.
Samkappa berarti keadaan mental “Jitakka” yang dapat
diterjemahkan “penerapan awal” keadaan mental ini penting untuk
mengurangi gagasan atau dugaan salah dan dapat membantu
perbuatan moral yang lain untuk membelok ke arah Nibbana.
Samma Sam Kappa membantu mengurangi pikiran jahat dan
mengembangkan pikiran baik.
30 Ven Ajahr Sumedha, Empat Kebenaran Mulia, Insight Vidyasena, Yogyakarta,
hlm. 55-67
26
Ketiga, pikiran benar membawa pada ucapan benar (Samma
Vacca) yang merupakan faktor ketiga ini berkaitan dengan tidak
berbohong, memfitnah, mencaci maki dan berbicara yang tidak
perlu.
Keempat, ucapan benar diikuti oleh perbuatan benar (Samma
Kammanta) yang berhubungan dengan tidak melakukan
pembunuhan, pencurian, dan pelanggaran susila. Ketiga perbuatan
jahat itu disebabkan oleh nafsu keinginan dan kemarahan, yang
didorong ketidaktahuan. Dengan kesucian pikiran itu akan
menjalankan kehidupan suci pula.
Kelima, dengan membersihkan pikiran, ucapan dan
perbuatan si pengembara berusaha membersihkan mata
pencahariannya (Samma Ajiva) dengan menahan dari lima macam
perdagangan yang tidak diperkenankan, yaitu berdagang senjata
(Sattha Vanijja), makhluh hidup (Satta Vanijja), daging (Mamsa
Vanijja).
Keenam, usaha benar (samma vayama) memainkan peranan
dalam jalan ariya berunsur delapan, dengan usaha sendirilah
seseorang memperoleh pembebasan, tidak hanya mencari
perlindungan pada pihak lain atau dengan mempersembahkan do’a
saja. Dengan usaha orang menyingkirkan kejahatan dan
mengembangkan kebajikan yang terpendam.
Ketujuh, usaha benar kaitannya dengan perhatian yang benar
(samma sati) yang terdiri dari perhatian yang terus menerus pada
badan jasmani (kaya nupassana), perasaan (vedana nupassana),
pikiran (cita nupassana) dan obyek batin (dhamma nupassana).
Perhatian pada empat obyek ini cenderung menghancurkan
kesalahpahaman pada hal yang disukai (subha), apa yang disebut
kebahagiaan (sukha), keabadian (nicca) dan jiwa yang kekal (atta).
27
Kedelapan, usaha benar dan perhatian benar membawa pada
konsentrasi benar (samma samadhi) yaitu terpusatnya pikiran-
pikiran yang terpusat merupakan bantuan yang kuat untuk melihat
segala sesuatu sebagaimana adanya melalui pandangan terang.31
Kesunyatan yang keempat adalah marga artinya jalan yang
menghilangkan tanha pemadaman. Maksudnya bahwa cara
pemadaman atau menghilangkan penderitaan itu dengan jalan
menghapuskan tanha atau untuk mencapai tingkatan kesucian yang
meliputi, pertama sottapati yaitu dimana seseorang harus menjelma
tujuh kali lagi sebelum mencapai Nirwana. Kedua adalah
sekadogami yaitu tingkat seseorang tinggal sati kali lagi menjelma
sebelum mencapai Nirwana. Yang ketiga adalah anagami yaitu
tingkatan dimana seseorang sudah tidak akan menjelma lagi. Ia
tinggal menunggu saatnya untuk mencapai Nirwana. Sesudah itu
tinggallah tingkat arahat, dimana seseorang mencapai Nirwana.32
Nirwana merupakan tujuan terakhir dari setiap pemeluk
agama Buddha adalah untuk mencapai nirwana, dimana seseorang
telah lepas dari samsara, yang berarti ia telah lepas dari
penderitaan, dan selanjutnya ia telah merasakan kebahagiaan yang
abadi.33
Berdasarkan hal itu semua Nirwana dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu upadhisesa dan anupadhisesa dimana upadhisesa
adalah status orang yang sudah mendapatkan kelepasan atau
nirwana, tetapi yang hidup lahirnya masih terus berjalan.
31 Alm. Ven Narada Mahathera, sang Buddha …loc. cit., hlm. 41-47 32 Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama … loc. cit., hlm. 27-33 33 Ibid., 31
28
Sedangkan anupadhisesa adalah status orang yang
mendapatkan kelepasan, yang hidup lahirnya sudah tak ada lagi dan
sudah dicapai sesudah mati.34
3. Sangha Guna
Sifat-sifat mulia Sangha:
a. Memiliki tindak tanduk yang benar
Memiliki tidak tanduk yang benar, bukan berarti hanya
memiliki perbuatan yang benar saja, akan tetapi mereka juga
memiliki ucapan yang benar serta pikiran yang benar. Karena
mereka berbuat sesuatu bukan hanya untuk kepentingan dirinya
sendiri, akan tetapi demi kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-
makhluk lain.
b. Membimbing dan menutun makhluk-makhluk
Sangha menjadi pelindung dan menjadi penerus ajarannya.
Merekalah yang membimbing umat Buddha dalam mengikuti serta
mempraktekkan dhamma.35
Sangha secara harfiah berarti pasamuan dan pada umumnya
diartikan persaudaraan para bhikku, tetapi Sangha dalam tiratana
diartikan “persaudaraan para bhikkhu”, tetapi Sangha dalam
tiratana diartikan sebagai persamaan makhluk suci (ariya Sangha)
yang terdiri dari mereka yang telah mencapai empat tahap jalan suci
(magga) dan buahnya (phala).
Anggota Sangha (bhikkhu) adalah layak menerima
penghormatan dengan cara merangkapkan tangan di depan dada.
Oleh sebab itu, mereka dikatakan layak menerima penghormatan
(anjali karaniyya).
34 Harun Hadi Wijono, Agama Hindu dan Buddha … loc. cit., hlm. 76
29
Umat Buddha yang selalu melakukan perenungan-
perenungan terhadap Sangha akan menghormatinya dan akan timbul
keyakinan terhadap Sangha serta tidak dicekam oleh ketakutan. Dia
mampu menahan sakit karena ia merasa hidup dalam Sangha dan
pikirannya ditujukan untuk memiliki kebajikan Sangha.
Samadhi terhadap Buddha guna, dhamma guna dan sangha
guna adalah perenungan awal yang penting bagi siswa keagamaan,
karena di dalam meditasi ini sifat-sifat mulia sang Buddha, dhamma
dan Sangha yang merupakan objek. Objek utama dari keyakinan
(saddha), menjadi tampak lebih jelas dan semakin lebih jelas.36
Berbeda dari agama lain, agama Buddha agama Buddha
lebih mengutamakan penganutnya untuk berbuat (karma)
membebaskan diri masing-masing dari dukha untuk mencapai
Nirwana. Umat Buddha tidak memerlukan ucapan persembahan atau
pemujaan kepada para dewa (Tuhan) tetapi mereka cukup
melakukan hasta arya marga sebagaimana diuraikan di atas. Namun
dilihat dari segi kelembagaan umat Buddha dapat dibedakan dalam
dua kelompok: yaitu kelompok wihara (biara) atau Sangha dan
kelompok penganut agama yang awam.37
Kelompok Sangha terdiri dari pada bhikkhu, bhikkhuni,
samanera dan samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk
meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak
melaksanakan hidup berkeluarga. Kelompok penganut agama yang
awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri
berlindung kepada Buddha, dhamma dan Sangha serta
35 PHRA Vidhurdhamma Bhorn, Ajaran Bagi Pemula …, loc. cit. 36 Bhikkhu Guttadhama, Kemmatthana … op. cit., hlm. 12-21 37 Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama I …, loc. cit., hlm. 234
30
melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat yang awam dan
mereka hidup berumah tangga sebagai orang biasa.38
Hidup kerahiban diatur di dalam kitab Winaya Pitaka. Dari
kitab ini kita dapat mengetahui bahwa hidup para rahib ditandai
oleh tiga hal, yaitu:
Pertama, kemiskinan. Seorang rahib harus hidup dalam
kemiskinan, rahib tidak diperkenankan memiliki sesuatu kecuali
jubahnya yang dibuat dari rampai yang diminta dari sana-sini,
tempurung sebagai alat untuk mengemis, (di dalam para rahib tidak
diperkenankan menerima uang).
Di dalam sistem ajaran Buddha mengemis menjadi inspirasi
bagi banyak kebajikan, dengan mengemis akan memberi
kesempatan kepada kaum awam untuk berbuat kebaikan. Dengan
mengemis para rahib belajar rendah hati, sabar, tidak lekas putus
asa, sehingga mereka mengawasi tubuhnya, perasaan dan pikiran
serta nafsu-nafsunya. Seorang rahib diharuskan hidup tanpa rumah
atau tempat berlindung yang tepat. Mereka hanya diperkenankan
berkumpul dalam Biara.
Kedua, seorang rahib harus hidup membujang (tidak
diperkenankan hidup dengan wanita) karena hubungan seks
dianggap sebagai sumber dosa yang akan mengakibatkan seorang
rahib dikeluarkan dari Sangha.
Ketiga, adalah seorang rahib harus hidup dengan ahimsa
(tanpa perkosaan). Ia tidak diperkenankan membunuh atau melukai
makhluk lain. Empat dosa besar yang harus dihindari dari rahib
38 Ibid.
31
adalah hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk hidup, dan
meninggikan tinggi karena kecapan membuat mu’jizat.39
Setiap umat Buddha berhak memasuki dan bergabung dalam
Sangha dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama dimulai
ketika umat Buddha menerima jubah kuning dan memakai
persaudaraan para bhikkhu. Umat awam memasuki hidup
kewiharaan tanpa memiliki rumah tinggal dan hidup sebagai
pertapa. Sebelum menjadi bhikkhu ia harus menjalani hidup sebagai
calon bhikkhu (samanera) dengan mengucapkan dan menepati dasa
sila (sepuluh janji) yakni larangan untuk membunuh, mencuri, hidup
mesum, mengunjungi tempat keramaian duniawi, bersolek, tidur
pada tempat tidur yang enak dan menerima hadiah.40
Tahap yang kedua adalah seseorang yang memasuki
persaudaraan para bikkhu atau bhikkhuni, yang telah mempelajari
dharma dan menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci
dibawah asuhan seorang bhikkhu atau bhikkhuni sebagai gurunya
(acarya) setelah dipilih sendiri, dan setelah melakukan tahapan-
tahapan tersebut barulah diterima sepenuhnya menjadi bhikkhuni
dalam suatu upacara “upasampada” (penahbisan) yang dihadiri para
sesepuh. Jika ia wanita maka pentahbisannya dilakukan dua kali.
Pertama oleh bhikkhuni dan kemudian oleh bhikkhu Sangha. Setelah
itu barulah ia menjadi bhikkhu atau bhikkhuni.41
Sesudah menjadi bhikkhu atau bhikkhuni maka ia harus
menjalani hidup bersih dan suci sebagaimana yang telah dituliskan
dalam kitab “Vinaya Pitaka”, yaitu untuk melaksanakan 227
peraturan yang antara lain tentang:
1) Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib
39 Heni Purwaningsih …, loc. cit., hlm. 23 40 Hilman Hadi Kusuma, Antropologi I …, loc. cit., hlm. 23
32
2) Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan makanan,
pakaian serta kebutuhan hidup yang lainnya
3) Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin
4) Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk
menyempurnakan hati.42
Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat
menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup
tertinggi, yakni Nibbana. menurut kepercayaan umat Buddha,
Sangha tidak dapat dipisahkan dari dharma dan Buddha, karena
ketiganya adalah tiratana yang membentuk kesatuan tunggal dan
merupakan manifestasi berasas tiga dari yang mutlak di dunia.
C. Fungsi Tiratana dalam Agama Buddha
Tiratana dalam agama Buddha dimana tiratana dalam agama
Buddha bahwa dengan berlindung pada Buddha kita harus berusaha untuk
melaksanakan apa yang diajarkannya, dengan berlindung pada dhamma,
maka satu-satunya jalan yang tepat adalah melaksanakan dhamma itu
sendiri, tentulah dhamma akan melindungi kita dari kejahatan. Sedangkan
kalau kita berlindung pada ariya Sangha, kita harus berusaha sedapat
mungkin untuk mencontoh perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh
para ariya punggala (makhluk suci).43
Dengan menyatakan berlindung, Buddha, dhamma dan Sangha
itulah pelindung mental kita. Secara kejiwaan kita akan tenang. Makin
sering kita memikirkan Buddha, dhamma dan Sangha, aku berlindung pada
Buddha, aku berlindung pada dhmaan, aku berlindung kepada Sangha.
Kemarahan, kejengkelan itu berkurang, tetapi penderitaan belum selesai.
Oleh sebab itu kita harus meningkatkan lebih tinggi lagi dengan cara
41 Ibid., hlm. 237 42 Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, PT. Hanindita, Yogyakarta, 1988, hlm. 131 43 Bhikkhu Guttadhama, Kemmatthana.. op. cit., hlm. 3-4
33
belajar dhamma apa yang diberikan oleh tiratana kepada umat Buddha.
Buddha sebagai seorang yang menemukan obat, dhamma itulah obat,
Sangha itu seperti orang yang sudah mencoba obat itu. Sudah sembuh dan
kemudian menjadi perawat untuk membantu kita-kita yang masih belum
sembuh.44
Tiratana merupakan ungkapan keyakinan (saddha) bagi umat
Buddha. Saddha yang diungkapkan dengan kata berlindung, adanya tiratana
sebagai perlindungan telah diungkapkan sendiri oleh sang Buddha, tetapi
hakekat tiratana sebagai perlindungan terakhir hanya dapat dibuktikan oleh
setiap orang dengan mencapainya dalam bathinnya sendiri, perlindungan
itu akan timbul dan tumbuh bersama dengan proses untuk mencapainya.
Buddha dhamma dan Sangha atau tiratana adalah manifestasi,
perwujudan, pengejawantahan dari Tuhan yang Maha Esa dalam alam
semesta ini. Yang dipuja dan dianut oleh seluruh umat Buddha, dengan
berlindung dalam agama Buddha berarti suatu tindakan yang sadar yang
bertujuan untuk mencapai pembebasan yang berlandaskan pengertian dan
dorongan oleh keyakinan.45
Berlindung kepada Buddha merupakan penerimaan mantap terhadap
kenyataan bahwa seseorang dapat mencapai penerangan sempurna. Seperti
yang dialami oleh sang Buddha yang berlindung kepada dhamma berarti
memahami empat kesunyatan mulia dan melandasi hidupnya dengan jalan
mulia beruas delapan. Berlindung kepada Sangha berarti mencari dukungan
inspirasi, dan bimbingan dari sesama yang menjalankan jalan mulia beruas
delapan. Dengan melakukan hal ini seseorang menjadi umat Buddha, dan
menapakkan langkah awal pada jalan menuju nibbana.46
Tiratana yang mempunyai arti tiga permata atau dapat dikenal
sebagai perlindungan di bawah Buddha, dharma, Sangha. Di mana sang
44 Bhikku Sri Purnavaa Mahathara, Kumpulan Dhamma Desana, hlm. 60-61 45 Yayasan Dhamma Dipa Arama, Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama
Buddha Madzhab Theravada di Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 24-26 46 Shravasti Dhammika, op. cit
34
Buddha itu sendiri adalah guru kita. Dharma adalah penawar derita jalan
menuju nibbana, dan Sangha adalah sahabat kita. Kemudian tiga
perlindungan itu merupakan do’a yang sangat baik dapat dilaksanakan
kapan saja dan dimana saja. Akan tetapi dalam dunia buddhis, diyakini
bahwa paling baik dengan memulai hari yaitu dengan cara mengingat tiga
permata atau tiga perlindungan, yang nantinya akan menjadikannya sebagai
penutup hari sebelum umat Buddha tidur.47 Dengan mengucapkan tiga
ratana tersebut sebagai perlindungannya (tri sarawa) berarti seorang
penganut Buddha telah berikrar untuk menjadikan ketiganya sebagai
penuntun hidupnya untuk mencapai kelepasan dari segala derita.48
Tiratana juga merupakan kesaksian yang berbentuk credo
(syahadat) umat Buddha yang dapat menjadi contoh sebagai suri tauladan
yang baik yang biasa dibandingkan dengan manusia. Perlindungan yang
merupakan aturan-aturan hidup bagi umat Buddha, perlindungan terhadap
Sangha yang merupakan orda-orda atau pendeta-pendeta dalam agama
Buddha, dan tiratana juga merupakan tiga permata yang dapat menjadikan
cerminan dari tuhannya bagi umat Buddha.49
Tiga perlindungan diucapkan saat seseorang menjadi umat Buddha,
kemudian berulang kali juga diucapkan dengan sadar sebelum bermeditasi
dan setiap saat ia harus melakukannya, maka tiratana tersebut akan terus
membekas dalam batin, bahkan kendatipun ia tidak sedang
memikirkannya.50
47 PHRA Vidhur Dhammabhorn, loc. cit., hlm. 11-12 48 Abu Ahmadi, Sejarah Agama, CV. Ramadhani, Solo, 1986, hlm. 103 49 Romdon dkk, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, PT. Golden Trayon
Press, Jakarta, 1990, hlm. 96-97 50 Doroty, Pengenalan Agama Buddha, Pustaka Karaniya ke-101, 2005, hlm. 45