bab ii kajian pustaka 2.1. hasil penelitian terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/bab...

18
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu Berikut beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yang disajikan dalam bentuk abstraksi: a. Edwina Ayu Dianingtyas, (2010), Representasi Perempuan Jawa Dalam Film R.A Kartini (Universitas Diponegoro Semarang), Abstrak : Konstruksi masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh film. Banyak stereotip negatif yang dilekatkan pada perempuan dalam film-film Indonesia. Film R.A.Kartini oleh Sjumanjaja diadaptasi dari biografi yang menceritakan tentang kisah hidup Kartini, sang pahlawan wanita Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi perempuan Jawa dan untuk menjelaskan gagasan-gagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film R.A.Kartini yang berkaitan dengan persoalan ideologi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis objek yang diteliti. Teknik analisis data dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh John Fiske yaitu “the codesof television”. Film R.A.Kartini diuraikan secara sintagmatik pada level realitas dan level representasi dengan menggunakan struktur narasi. Selanjutnya level ideologi dianalisis secara paradigmatik. Film R.A.Kartini menunjukkan ketidakadilan jender dalam budaya Jawa yang identik dengan ideologi patriarki. Ideologi patriarki dalam film R.A.Kartini ditampilkan melalui budaya poligami, penggunaan bahasa dalam kebudayaan Jawa, keterbungkaman perempuan Jawa, serta diskriminasi dan subordinasi yang dialami oleh perempuan Jawa. Film ini juga menunjukkan perjuangan perempuan Jawa untuk melawan ketidakadilan jender yang sangat menindas kaumnya. Pada akhirnya perempuan Jawa dalam film R.A.Kartini dapat mendobrak mitos yang selama ini dilabelkan negatif pada diri perempuan Jawa. Dalam film diperlihatkan pula bahwa kekuasaan perempuan Jawa dapat hadir dari ketertindasannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan ilmiah mengenai kehidupan perempuan Jawa di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, khususnya dalam media film berbasis jender. Pada akhirnya penelitian ini juga diharapkan dapat menimbulkan kesadaran jender sehingga dapat memperjuangkan kaum perempuan yang hingga saat ini masih terbelenggu dalam sistem adat pada khususnya.

Upload: others

Post on 15-Mar-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

Berikut beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan

penelitian ini yang disajikan dalam bentuk abstraksi:

a. Edwina Ayu Dianingtyas, (2010), Representasi Perempuan Jawa

Dalam Film R.A Kartini (Universitas Diponegoro Semarang),

Abstrak :

Konstruksi masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga

terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh film. Banyak stereotip

negatif yang dilekatkan pada perempuan dalam film-film Indonesia. Film

R.A.Kartini oleh Sjumanjaja diadaptasi dari biografi yang menceritakan

tentang kisah hidup Kartini, sang pahlawan wanita Indonesia. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui representasi perempuan Jawa dan untuk

menjelaskan gagasan-gagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film

R.A.Kartini yang berkaitan dengan persoalan ideologi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan

menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis objek yang diteliti.

Teknik analisis data dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh John

Fiske yaitu “the codesof television”. Film R.A.Kartini diuraikan secara

sintagmatik pada level realitas dan level representasi dengan menggunakan

struktur narasi. Selanjutnya level ideologi dianalisis secara paradigmatik.

Film R.A.Kartini menunjukkan ketidakadilan jender dalam budaya

Jawa yang identik dengan ideologi patriarki. Ideologi patriarki dalam film

R.A.Kartini ditampilkan melalui budaya poligami, penggunaan bahasa dalam

kebudayaan Jawa, keterbungkaman perempuan Jawa, serta diskriminasi dan

subordinasi yang dialami oleh perempuan Jawa. Film ini juga menunjukkan

perjuangan perempuan Jawa untuk melawan ketidakadilan jender yang sangat

menindas kaumnya. Pada akhirnya perempuan Jawa dalam film R.A.Kartini

dapat mendobrak mitos yang selama ini dilabelkan negatif pada diri

perempuan Jawa. Dalam film diperlihatkan pula bahwa kekuasaan perempuan

Jawa dapat hadir dari ketertindasannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan ilmiah mengenai kehidupan

perempuan Jawa di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, khususnya

dalam media film berbasis jender. Pada akhirnya penelitian ini juga

diharapkan dapat menimbulkan kesadaran jender sehingga dapat

memperjuangkan kaum perempuan yang hingga saat ini masih terbelenggu

dalam sistem adat pada khususnya.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

10

b. Ari Puji Astuti, (2013), Representasi Perempuan Dalam Film 7 Hati 7

Cinta 7 Wanita Karya Robby Ertanto Studi Analisis Semiotik

(Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta),

Abstrak :

Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” merupakan film yang disutradarai

oleh Robby Ertanto Soediskam, yang menceritakan tentang perempuan yang

menjadi korban atas penindasan kaum laki-laki yang ada dalam masyarakat.

Penelitian ini berjudul Representasi Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7

Wanita karya Robby Ertanto Studi Analisis Semiotik. Peneliti ingin

memahami secara mendalam mengenai perempuan yang terwakili menjadi

kaum yang lemah jika dibandingkan dengan laki-laki dalam kisah didalam

film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” melalui analisis semiotika. Rumusan masalah

penelitian ini adalah bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film “7

Hati 7 Cinta 7 Wanita” karya Robby Ertanto? Tujuan penelitian adalah untuk

mengetahui representasi perempuan dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan

menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis objek penelitian. Teknis

analisis data dilakukan berdasarkan teori yang dikemukanan oleh Charles

Sanders Peirce yaitu teori Triangle Meaning (Segitiga Makna). 7 Hati 7 Cinta

7 Wanita menunjukkan beberapa kasus perempuan yang menjadi korban atas

kekuasaan laki-laki pada mereka dengan ditampilkan melalui perempuan yang

disiksa, dipoligami, dikhianati serta dihamili tanpa ada pertanggungjawaban

dari laki-laki. Film ini juga memperlihatkan bahwa perempuan dapat maju

dan kuat dalam hidupnya dengan mengarah pada feminisme radikal.

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran

dan gagasan ilmiah mengenai makna perempuan dalam hidupnya yang sering

menjadi kaum yang selalu merasa menjadi korban yang diwakili oleh Dokter

Kartini, Lastri, Ningsih, Rara, Lili, Ratna dan Yanti. Dokter Kartini mewakili

perempuan yang dapat bangkit dari pengalaman masa lalunya dengan menjadi

seorang ginekolog dan pengikut feminisme radikal. Lastri, Ningsih, dan Ratna

menjadi korban poligami yang dilakukan suami mereka. Rara adalah adik

kandung Ratna yang menjadi korban pergaulan bebas dan hamil tanpa

pertanggungjawaban dari Acin, kekasihnya. Lili, adalah korban kekerasan

dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya. Yanti yang terpaksa

terjun menjadi wanita tuna asusila karena sebelumnya hanya menjadi pemuas

nafsu bosnya saat dirinya menjadi karyawan dan memilih hidup bebas

daripada tertindas oleh kaum laki-laki.

c. Fadila Rahma, (2017), Representasi Perjuangan Perempuan Dalam

Film “Monalisa Smile” (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar),

Abstrak :

Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana representasi

perjuangan perempuan dalam film “Mona Lisa Smile” dan sub masalahnya

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

11

ialah: Tanda dan makna apa saja yang digunakan dalam film “Mona Lisa

Smile” dalam merepresentasikan perempuan dengan menggunakan

pendekatan semiotika John Fiske? serta bagaimana representasi perjuangan

perempuan dalam film “Mona Lisa Smile?

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tanda dan makna yang

digunakan dalam film “Mona Lisa Smile” dalam merepresentasikan

perempuan berdasarkan analisis semiotika John Fiske. Penelitian ini juga

bermaksud untuk mengetahui representasi perjuangan perempuan dan

bagaimana media film merepresentasikan perempuan. Teknik pengolahan data

dilakukan dengan cara menonton film, memilih scene, dan memahami

skenario sesuai yang dilakukan tokoh dalam film “Mona Lisa Smile”.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang

menempatkan makna sebagai perhatian utama, dan peneliti sebagai instrumen

kunci dalam pemaknaan.

Hasil penelitian menunjukkan tanda dan makna yang digunakan

dalam merepresentasikan perempuan ditandai dengan level realitas seperti

kode lingkungan yaitu di aula sekolah dan ruang perkuliahan. Kemudian kode

penampilan menggunakan blouse berkerah dengan lengan ¼ , mengenakan

toga, syal dan sweater. Pada level representasi kode teknis meliputi kata,

kalimat, proporsi foto, teknik pencahayaan key light dan high key light.

Teknik pengambilan gambar extreme long shot, very long shot, medium long

shot, longshot, close up dan big close up. Pada level ideologi terdapat

Feminisme Islam, Feminisme Liberal, Feminsime Postmodern dan budaya

patriarki. Selanjutnya peneliti juga menemukan 4 representasi perjuangan

perempuan: (1) representasi perjuangan perempuan di sektor publik, (2)

representasi perjuangan perempuan dalam mengubah sudut pandang

pemikiran di Wellesley, (3) representasi perjuangan perempuan dalam

mengubah tradisi yang berlaku di Wellesley, (4) representasi perjuangan

perempuan dalam meninggalkan nilai konservatif dan budaya tradisional di

Wellesley. Implikasi dalam penelitian ini adalah: Untuk peneliti selanjutnya

agar lebih memperdalam cakupannya terhadap representasi perempuan dalam

film “Mona Lisa Smile”. (2) Diharapkan masyarakat untuk lebih selektif

dalam menghadapi berbagai serbuan film yang tidak bisa ditolak di dalam

masyarakat sekarang ini. Sehingga berbagai bentuk salah persepsi, dan salah

paham dapat dihindarkan.

d. Dini Zelviana, (2017), Representasi Feminisme Dalam Film The

Huntman: Winter’s war (Universitas Lampung Bandar Lampung),

Abstrak :

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana

representasi feminisme dalam film The Huntsman:Winter’s War. Penelitan ini

menggunakan teori semiotika Ferdinand de Saussure dengan metode kualitatif

deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah film The Huntsman: Winter’s War

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

12

merepresentasikan seorang perempuan yang dapat mengambil keputusannya

sendiri, mempunyai kekuatan fisik, mempunyai pikiran, lebih kuat daripada

laki-laki, dapat mencapai identitas dirinya tetapi tetap membutuhkan cinta,

memberikan pembelajaran yang sama kepada anak laki-laki dan anak

perempuan, bukan sekedar alat atau instrumen untuk kebahagiaan orang lain

(suami), menuruti perintah nalar dan melepaskan diri dari tugas-tugasnya

sebagai seorang ibu secara konsisten, mengembangkan gaya

kepemimpinannya untuk mencapai pemenuhannya baik dunia publik maupun

privat, dan juga perempuan yang monoandrogini yaitu perempuan yang penuh

penyayang, pengasih, lembut, sensitif, berkemampuan untuk berhubungan

dengan yang lain, mampu bekerjasama, dan pada saat yang sama juga

mempunyai kualitas laki-laki tradisional yaitu agresif, berkemampuan

memimpin, berinisiatif, dan mampu bersaing.

2.1.1. Critical Review

Pada keempat penelitian di atas, dapat diidentifikasi bahwa terdapat

persamaan dan perbedaan. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti

dengan keempat penelitan terdahulu terletak pada metode penelitian yaitu

pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotika dan

pembahasannya sama-sama mengangkat tema tentang perempuan. Sedangkan

perbedaannya, terdapat pada model semiotika yang digunakan. Jika dalam

penelitian di atas masing-masing model semiotika yang digunakan yaitu

semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske, Charles Sanders Peirce dan

Ferfinand de Saussure, dalam penelitian ini penulis menggunakan model

semiotika yang dikemukan oleh Roland Barthes yang mengembangkan

semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan

konotasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Edwina Ayu Dianingtyas (2010)

menggunakan model semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske tentang

“the codes of television”. Penelitian Edwina membahas representasi

perempuan Jawa mulai dari menganalisis menggunakan paradigmatik,

ideologi patriarki yang muncul dalam film, perempuan dalam struktur

keluarga Jawa, perempuan Jawa dan pendidikan, hingga kekuasaan

perempuan Jawa. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk

melengkapi pembahasan dari penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini,

selain yang sudah diuraikan di atas, peneliti menemukan hal baru yaitu mitos

yang mengacu pada semiotika Roland Barthes. Peneliti akan mengungkapan

makna mitos yang tersimpan di balik tanda.

Ari Puji Astuti (2013) menggunakan teori yang dikemukakan oleh

Charles Sanders Peirce dengan teori segitiga makna atau Triangle Meaning.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

13

Penelitian ini, yaitu pada teori segitiga dari Pierce yang menjelaskan

reperesentasi melalui tiga langkah, yang pertama mengidentifikasi tanda-tanda

dalam film, lalu menginterpretasikan satu per satu tanda yang telah

diidentifikasi, dan yang terakhir memaknai secara keseluruhan kemudian

mangaitkan makna perempuan dalam masyarakat dan permasalahan yang

terjadi.Langkah-langkah ini juga dapat peneliti gunakan sebagai referensi

dalam teknik menganisis data.Peneliti dapat memulai menganalisis data

dengan mengidentifikasi tanda dalam film tetapi tetap menggunakan acuan

semiotika Roland Barthes.

Model semiotika yang digunakan Fadila Rahma (2017) Sama

dengan penelitian yang dilakukan Edwina Ayu Dianingtyas (2010) di atas.

Yaitu menggunakan model semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske

tentang “the codes of television”. Meskipun model semiotika yang digunakan

sama, yang lebih menjadi kelebihan dalam penelitian Fadila Rahma adalah

terdapat pada teknik analisis data yaitu peneliti melakukan analisis dalam dua

tahap, yang pertama melakukan kajian tanda-tanda yang terdapat di dalam

unsur film dan yang kedua menarik kesimpulan berdasarkan atas analisis

semiotik pada tahap pertama kemudian menemukan makna baru. Kedua

teknik ini dapat peniliti jadikan referensi dalam menganalisis data dengan

acuan semiotika milik Roland Barthes. Makna baru disini dapat disebut

konotasi atau mitos dalam semiotika Roland Barthes.

Berbeda dengan ketiga penelitian di atas, Dini Zelviana (2017)

menggunakan model semiotika yang dikemukakan oleh Ferfinand de

Saussure. Penelitian Dini tidak menjelaskan unit analisis data dan keabsahan

data, sedangkan di penelitian ini, peneliti akan menguraikan unit analisis data

dan keabsahan data pada bab 3. Namun juga terdapat kelebihan dalam

penelitian ini yang dapat peneliti jadikan referensi dalam penelitian yang

sedang dilakakukan. Yaitu pada teknik menganalisis data, penulis

menganalisis data berdasarkan analisis semiotika Ferdinand de Saussure

berupa penanda (gambar, bunyi, coretan) lalu menemukan maknanya yang

berada dari penanda tersebut (petanda). Karena semiotika Roland Barthes

merupakan turunan dari semiotika Ferdinand de Saussure, maka teknik

analisis datanya sangat cocok untuk dijadikan referensi dalam penelitian ini.

Jika semiotika Ferdinand de Saussure menganalisis data melalui penanda dan

petanda saja, analisis semiotika Roland Barthes menganalisis data melalui

penanda, petanda dan mitos.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

14

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Komunikasi Massa

Definisi komunikasi massa berubah sangat pesat sejak

ditemukannya era komunikasi digital. Sebelum ada komunikasi digital,

pengertian komunikasi massa sangat sederhana, kini definisinya semakin

kompleks. Komunikasi massa adalah proses komunikasi dengan

menggunakan media massa. Dinamika sekarang membuat media massa dan

advertising (periklanan) dan komunikasi marketing menuju arah baru yang

jauh berbeda dari sebelumnya. Joseph R. Dominick (dalam Nurudin, 2004)

mendefinisikan komunikasi massa sebagai proses yang di dalamnya suatu

organisasi yang kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin memproduksi

dan mengirimkan pesan kepada khalayak yang besar, heterogen, dan tersebar

(Suryanto, 2015: 143).

Ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan Michael W.

Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) akan semakin memperjelas apa itu

komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai

komunikasi massa jika mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern

untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada

khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media

modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau

gabungan antara media tersebut.

2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-

pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang

yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas

audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan

jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak

saling mengenal satu sama lain.

3. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan

diterima oleh banyak orang. Karena itu, diartikan milik publik.

4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti

jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya

tidak berasal dari seseorang tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya

berorientasi pada keuntungan, bukan orgnisasi suka rela atau nirlaba.

5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi).

Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh

sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat

media massa. Ini berbeda dengan komunikasi antarpribadi, kelompok

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

15

atau publik di mana yang mengontrol bukan sejumlah individu.

Contohnya adalah seorang reporter, editor film, penjaga rubrik, dan

lembaga sensor lain dalam media itu bisa berfungsi sebagai gatekeeper.

6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam

jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung. Misalnya,

dalam komunikasi antar-personal. Dalam komunikasi yang dilakukan

alias tertunda (delayed).

Dengan demikian, media massa adalah alat-alat dalam komunikasi

yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang

luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis

komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan

media massa mampu menyebarkan pesan hampir ketika pada waktu yang tak

terbatas (Hidayat, 2009:8).

2.2.2. Film sebagai Media Komunikasi Massa

Film adalah gambaran hidup, hasil dari seonggok seluloid, yang

diputar dengan mempergunakan proyektor dan ditembakkan ke layar, yang

dipertunjukkam di gedung bioskop (Prakoso, 1997:8; Romli, 2016:99).

Perkembangan film sampai saat ini mempunyai beberapa jenis, diantaranya

sebagai berikut :

a. Film Cerita

Film cerita adalah film yang di dalamnya terdapat atau

dibangun dengan sebuah cerita. Film cerita mempunyai waktu

penayangan yang berbeda-beda, lebih jelasnya yaitu: pertama, film

cerita pendek, film ini berdurasi dibawah 60 menit. Film cerita

pendek diproduksi oleh mahasiswa perfilman dan pembuat film

yang ingin melihat kualitas dari film. Kedua, film cerita panjang,

yaitu film yang berdurasi lebih dari 60 menit. Bahkan ada film yang

berdurasi sampai 120 menit, misalnya film India (Effendi, 2002:13).

Film cerita dari hasil realita maupun imajinasi sangat membantu

publik untuk melihat peristiwa yang sedang terjadi.

b. Film Berita

Adalah film mengenai fakta atau peristiwa yang benar-

benar terjadi. Film berita sangat membantu publik untuk melihat

peristiwa yang sedang terjadi.

c. Film Dokumenter

Yaitu sebuah film yang menggambarkan kejadian nyata,

kehidupan dari seseorang, suatu periode dalam kurun sejarah, atau

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

16

mungkin sebuah rekaman dari suatu cara hidup makhluk,

dokumenter rangkuman perekaman fotografi berdasarkan kejadian

nyata dan akurat (Gatot Prakoso, 1997 : 15). Menurut Onong (2000 :

214) dalam titik berat pada film dokumenter adalah fakta atau

peristiwa yang terjadi. Bedanya dengan film berita adalah bahwa

film berita harus mengenai sesuatu yang mempunyai nilai-nilai

berita (news value) untuk dihidangkan pada penonton apa adanya

dan dalam waktu yang sangat tergesa-gesa. Karena itu, mutunya

sering tidak memuaskan. Sedang untuk membuat dokumenter dapat

dilakukan dengan pemikiran dan perencanaan yang matang.

d. Film Kartun

Film kartun adalah film yang menghidupkan gambar-

gambar yang telah dilukis. Terdapat tokoh dalam film kartun. Dalam

pembuatan film kartun yang terpenting adalah seni lukis. Pada tahun

1908 film kartun pertama kali diperkenalkan oleh Emile Cold dari

Prancis. Sekarang pemutaran film-film kartun banyak didominasi

oleh Amerika Serikat dengan tokoh-tokoh kartun Disney yang

terkenal, yaitu Mickey Mouse dan Donald Duck.

Film memiliki kemajuan secara teknis, tetapi film tidak hanya

mekanis saja. Ada jiwa dan nuansa di dalamnya yang dihidupkan oleh cerita

dan skenario yang memikat. Sebuah film berurusan dengan gambaran

eksternal, visual, dan auditorial, serta konflik-konflik internal. Ibarat sebuah

bangunan, aksi dan gerakan menjadi batu utama bagi pondasi film (Ibnu

Setiawan, 2003:59; Romli, 2016:100).

Pesan-pesan komunikasi massa akan dapat dikonsumsi oleh

masyarakat dengan jumlah banyak, maka dalam prosesnya memerlukan media

dan salah satunya adalah film. Film mempunyai fungsi sebagai media massa

memiliki kapasitas untuk membuat pesan yang sama secara serempak dan

mempunyai sasaran yang beragam dari agama, etnis, status, umur, dan tempat

tinggal. Hal tersebut sekaligus memerlukan komunikasi massa, untuk

menyusun strategi agar pesan-pesannya dapat mencapai sasaran dengan

jumlah yang besar. Maka dari sini komunikasi massa mempunyai hubungan

erat dengan film dalam penerapan pesan pada khalayak (Romli, 2016:100).

2.2.3. Representasi

Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian.

Ia adalah proses sosial dari ‘representing’. Representasi menunjuk baik pada

proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

17

berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-

bentuk yang kongkret. Jadi, pandangan-pandangan hidup tentang perempuan,

anak-anak, atau laki-laki misalnya, akan dengan mudah terlihat dari cara

memberi hadiah ulang tahun kepada teman-teman yang laik-laki, perempuan

dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup terhadap

cinta, perang, dan lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga.

Reprsentasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan

melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi,

dan lain sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna

melalui bahasa (Hall, 1997: 15).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek

penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang

sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang

dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada

disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan

yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-

konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara dalam

memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu

melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat

bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) dapat

mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide tentang sesuatu. Makna suatu

hal sangat tergantung dari cara individu mempresentasikannya. Dengan

mengamati kata-kata yang digunakan dan imej-imej yang digunakan dalam

mempresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada

sesuatu hal tersebut.

2.2.4. Semiotika Roland Barthes

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha

mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama

manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya

hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(things). Memaknai (to sinity) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan

dengan mengkonsumsikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-

objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu

hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari

tanda (Sobur, 2013:15).

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

18

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna

(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda

(Littelejohn, 1996:64; Sobur, 2013:16). Konsep dasar ini mengikat bersama

seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana,

dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda

berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum,

studi tentang tanda merujuk kepada semiotika (Sobur, 2013:16).

Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat,

tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban

arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang

menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan

konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra,

misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda

(strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan

(semantik) (Sobur, 2013:17).

Teori simbol yang diciptakan Susanne Langer adalah teori terkenal

dan dinilai bermanfaat karena mengemukakan sejumlah konsep dan istilah

yang biasa digunakan dalam ilmu komunikasi. Sedemikian rupa, teori ini

memberikan semacam standar atau tolak ukur bagi tradisi semiotika di dalam

studi ilmu komunikasi. Langer yang seorang ahli filsafat menilai simbol

sebagai hal yang sangat penting dalam ilmu filsafat, karena simbol menjadi

penyebab dari semua pengetahuan dan pengertian yang dimiliki manusia.

Menurut Langer, kehidupan binatang diatur oleh perasaan (feeling), tetapi

perasaan manusia diperantarai oleh sejumlah konsep, simbol, dan bahasa.

Binatang memberikan respons terhadap tanda, tetapi manusia membutuhkan

lebih dari sekadar tanda, manusia membutuhkan simbol.

Simbol, sebaliknya, bekerja dengan cara kompleks yaitu dengan

membolehkan seorang untuk berpikir mengenai sesuatu yang terpisah dari

kehadiran segera suatu tanda. Dengan kata lain, simbol adalah “suatu

instrumen pikiran” (instrument of thought). Langer memandang “makna”

sebagai suatu hubungan yang kompleks di antara simbol, objek, dan orang.

Jadi, makna terdiri atas aspek logis dan aspek psikologis. Aspek logis adalah

hubungan antara simbol dan referennya, yang oleh Langer dinamakan

“denotasi” (denotation). Adapun aspek atau makna psikologis adalah

hubungan antara simbol dan orang, yang disebut “konotasi” (connotation).

Manusia menggunakan simbol yang terdiri atas satu kata, namun

lebih sering kita menggunakan kombinasi sejumlah kata. Makna yang

sesungguhnya dari bahasa terdapat pada wacana (discourse) di mana kita

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

19

mengikat sejumlah kata ke dalam kalimat dan paragraf. Wacana menyatakan

“preposisi” yaitu beberapa simbol bersifat kompleks yang menunjukkan

gambaran dari sesuatu. Setiap simbol atau seperangkat simbol menyampaikan

suatu “konsep” yaitu suatu ide umum, pola, dan bentuk. Menurut Langer,

konsep adalah makna bersama di antara sejumlah komunikator yang

merupakan denotasi dari simbol. Sebaliknya, gambaran personal (personal

image), adalah pengertian yang bersifat pribadi (private conception).

Langer menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan yang

melekat untuk melakukan abstraksi (abstraction), yaitu proses membentuk ide

umum dari berbagai pengalaman kongkret yang didasarkan atas denotasi dan

konotasi simbol. Abstraksi adalah proses meninggalkan berbagai detail dalam

menggambarkan suatu objek, peristiwa atau situasi ke dalam istilah lebih

umum (Morrisan, 2013:135).

Teori semiotika Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori

bahasa menurut De Saussure. Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa

merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari

masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2003:63). Selanjutnya,

Barthes (1957, dalam De Sausssure, yang di kutip Sartini dalam Vera,

2015:27) mengungkapkan teori signifiant-signifie yang dikembangkan

menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi.

Sebagaimana pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa

hubungan antara penanda dan petanda tidak berbentuk secara alamiah,

melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan

dalam tataran denotatif, maka Roland Bathers menyempurnakan semiologi

Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai

suatu masyarakat (Vera, 2015:27).

Mitos dalam pandangan Barthes berbeda dengan konsep mitos

dalam arti umum. Barthes mengemukakan mitos adalah bahasa, mitos adalah

sebuah sistem komunikasi dan mitos adalah sebuah pesan. Dalam uraiannya,

ia mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian khusus ini merupakan

perkembangan konotasi. Konotasi yang sudah terbentuk lama di masyarakat

itulah mitos. Barthes juga mengatakan bahwa mitos merupakan sistem

semiologis, yakni sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia (Hoed, 2008:59;

Vera, 2015:28).

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

20

2.2.4.1. Ciri-ciri mitos menurut Roland Barthes

Ciri-ciri mitos menurut Roland Barthes (dalamVera,

2015:29) sebagai berikut:

a. Deformatif

Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form

(signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang

menerapkan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification

inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak

lagi mengacu pada realita yang sebenarnya. Pada mitos, form dan

concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan; mitos

berfungsi mendistrosi, bukan untuk menghilangkan. Dengan

demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa)

atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi

apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form.

b. Intensional

Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan

secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah

yang harus menemukan mitos tersebut.

c. Motivasi

Bahasa bersifat arbiter, tetapi kearbiteran itu mempunyai

batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan:

baca-membaca-dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna

mitos tidak arbiter, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat

menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos

bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan

sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis.

Barthes ingin memperlihatkan bahwa gejala suatu budaya dapat

memperoleh konotasi sesuai dengan sudut pandang suatu masyarakat. Jika

konotasi itu sudah mantap, maka ia menjadi mitos, sedangkan mitos sang

sudah mantap akan menjadi ideologi (Barthes, dalam Rusmana, 2005; Vera,

2015:29).

Rumusan tentang signifikasi dan mitos dapat dilihat pada gambar

berikut ini:

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

21

Tataran Pertama Tataran Kedua

Realitas Tanda Budaya

Bentuk

Isi

Gambar 2.1

TwoOrders Of Signification dari Barthes

Dalam Tatanan Kedua, Sistem Tanda dari Tatanan Pertama Disisipkan ke

Dalam Sistem Nilai Budaya.

Sumber : Fiske, John 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, hlm. 145.

Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa signifikansi tahap

pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified yang disebut

denotasi, yaitu makna sebenarnya dari tanda. Sedangkan signifikansi tahap

kedua, digunakan istilah konotasi, yaitu makna yang subjektif atau paling

tidak, intersubjektif; yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui

mitos. Mitos merupakan lapisan pertanda dan makna yang paling dalam

(Vera, 2015:30).

Barthes (dalam Fiske, 2012: 145) berpendapat cara kerja mitos yang

paling penting adalah menaturalisasi sejarah. Hal ini menunjuk pada fakta

bahwa mitos sesungguhnya merupakan produk sebuah kelas sosial yang telah

meraih dominasi dalam sejarah tertentu: makna yang disebarluaskan melalui

mitos pasti membawa sejarah bersama mereka, namun pelaksanaannya

sebagai mitos membuat mereka mencoba menyangkalnya dan menampilkan

makna tersebut sebagai yang alami (natural), bukan bersifat historis atau

sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usul mereka dan hal

tersebut dimensi politis atau sosial mereka. Ahli mitologi menyingkap sejarah

yang disembunyikan dan dengan demikian cara kerja sosio-politis mitos

adalah dengan mendemistifikasikannya.

Aspek lain dari mitos yang ditekankan Barthes adalah dinamisme

mitos. Seperti yang dimukakan di awal, mitos berubah dan beberapa dapat

berubah dengan cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan nilai budaya di

mana mereka berada. Konotasi dan mitos merupakan cara utama di mana

Denotasi

Penanda

Petanda

Konotasi

Mitos

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

22

tanda bekerja dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan di mana

interaksi antara tanda dan pengguna atau kebudayaan paling aktif (Fiske,

2012: 149).

2.2.5. Teori Identifikasi

Burke memulai penjelasan mengenai teorinya dengan

mengemukakan dua konsep yaitu konsep “tindakan” (action) dengan “gerak”

(motion). Menurutnya, tindakan merupakan perilaku yang sukarela

(voluntary) dan memiliki tujuan (purposeful), sedangkan gerak adalah tidak

bertujuan (non-purposeful) dan tidak bermakna (non-meaningful). Benda dan

binatang memiliki gerak, namun hanya manusia yang memiliki tindakan.

Burke memandang individu sebagai makhluk biologis dan neurologis.

Manusia adalah makhluk pencipta dan pengguna simbol, namun Burke juga

menyebut manusia sebagai “hewan yang salah menggunakan simbol”

(symbol-misusing animals). Manusia menciptakan simbol untuk memberi

nama pada benda dan situasi; manusia menggunakan simbol untuk kerugian

manusia itu sendiri.

Pandangan Burke terhadap simbol bersifat luas yang mencakup

pembahasan linguistik dan juga unsur-unsur nonverbal. Manusia menyaring

realitas diwakili oleh simbol. Burke sependapat dengan Mead bahwa bahasa

berfungsi sebagai kendaraan untuk tindakan, dan karena adanya kebutuhan

sosial bagi manusia untuk bekerja sama dalam tindakan mereka maka bahasa

membentuk perilaku dan perbuatan. Menurutnya, manusia dapat membuat

simbol dari simbol lainnya (person can symbolize symbols) (Morrisan,

2013:175).

Konsubstansialitas merupakan identifikasi satu arah yang diciptakan

di antara manusia. Semakin besar tingkat kesamaan manusia terhadap makna

maka semakin besar identifikasi dan karenanya dapat memperbaiki

pengertian. Dengan demikian identifikasi dapat menjadi cara untuk persuasi

dan menghasilkan komunikasi yang efektif. Identifikasi dapat bersifat sadar

atau tidak disadari, direncanakan atau tidak direncankan (Morrisan,

2013:176).

Menurut Burke, terdapat tiga sumber identifikasi yang saling

tumpangtindih di antara manusia yaitu (Morrisan, 2013:177) :

1) Identifikasi material, yaitu identifikasi yang bersumber dari barang,

kepemilikan, dan benda. Misalnya, beberapa orang memiliki mobil

yang sama atau memiliki selera yang sama terhadap pakaian.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

23

2) Identifikasi idealistis, yaitu identifikasi yang berasal dari

gagasan/ide, sikap, perasaan dan nilai yang sama. Misalnya,

beberapa orang sama-sama menjadi anggota kelompok tertentu

seperti partai politik, kelompok pengajian, dan sebagainya.

3) Identifikasi formal, yaitu identifikasi yang berasal dari pengaturan,

bentuk atau organisasi dari suatu peristiwa di mana sejumlah orang

turut serta di dalamnya. Misalnya, jika dua orang yang

diperkenalkan berjabatan tangan, bentuk jabatan tangan itu menjadi

identifikasi.

Burke memperenalkan istilah lain yang membantu menjelaskan

identifikasi yaitu “rasa salah” (guilt) yaitu perasaan tegang yang dirasakan

seseorang seperti rasa cemas, malu, benci terhadap diri sendiri, dan jijik.

Menurut Burke, rasa salah adalah kondisi yang disebabkan oleh penggunaan

simbol. Terdapat tiga sumber rasa salah yang saling berhubungan yaitu

(Morrisan, 2013:178) :

a) Situasi Negatif (Negative)

Sumber rasa salah pertama adalah situasi negatif. Melalui

bahasa manusia menciptakan standar moral dengan membuat

berbagai aturan dan larangan, namun berbagai aturan itu tidak-lah

selalu konsisten, dan dalam mengikuti satu aturan adakalanya orang

terpaksa melanggar aturan lainnya sehingga menimbulkan situasi

negatif atau rasa salah. Agama, profesi, organisasi, keluarga, dan

masyarakat memiliki aturan mengenai bagaimana orang harus

berperilaku. Kita mempelajari dan mengikuti berbagai aturan

tersebut sepanjang hidup dan kita memberikan penilaian terhadap

setiap tindakan, apakah baik atau buruk.

b) Prinsip Kesempurnaan (Principle Of Perfection)

Sumber rasa salah kedua adalah prinsip kesempurnaan.

Manusia peka atau sensitif terhadap kegagalan. Melalui bahasa,

manusia dapat membayangkan suatu keadaan sempurna. Manusia

dengan segala daya yang mereka miliki berjuang selama hidupnya

untuk mencapai kesempurnaan yang sudah mereka tentukan. Rasa

salah muncul sebagai akibat adanya perbedaan antara keinginan

untuk sempurna dengan realitas yang dihadapi.

c) Prinsip Hierarki (Principle Of Hierarchy)

Alasan ketiga munculnya rasa salah adalah prinsip hierarki.

Orang membagi sturktur masyarakat dalam bentuk piramida sosial

atau hierarki. Orang-orang kaya yang jumlahnya lebih sedikit berada

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

24

di bagian atas piramida, sedangkan kelompok masyarakat miskin

berada di bawah. Proses pembentukan struktur sosial ini dilakukan

melalui simbol. Struktur ini kemudian menimbulkan persaingan dan

bahkan konflik di antara kelas sosial sehingga menimbulkan rasa

salah.

2.2.6. Teori Komunikasi tentang Identitas

Teori-teori yang berfokus pada pelaku komunikasi akan selalu

membawa identitas diri ke sejumlah tingkatan, tetapi identitas berada dalam

lingkup budaya yang luas dan manusia berbeda dalam menguraikan diri

mereka sendiri (Littlejhon & Foss, 2014:130).

Terutama karena Michael Hecht dan koleganya, teori komunikasi

tentang identitas tergabunglah ketiga konteks budaya berikut – individu,

komunal, dan publik dalam (Littlejhon & Foss, 2014:131). Menurut teori

tersebut, identitas merupakan penghubung utama antara individu dan

masyarakat serta komunikasi merupakan mata rantai yang memperbolehkan

hubungan ini terjadi. Tentu, identitas Anda adalah “kode” yang

mendefinisikan keanggotaan Anda dalam komunitas yang beragam – kode

yang terdiri dari simbol-simbol, seperti bentuk pakaian dan kepemilikan; dan

kata-kata seperti deskripsi diri atau benda yang biasanya Anda katakan; dan

makna yang Anda dan orang lain hubungkan terhadap benda-benda tersebut.

Komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga

mengubah mekanisme. Identitas Anda, baik dalam pandangan diri Anda

maupun orang lain, dibentuk ketika Anda secara sosial berinteraksi dengan

orang lain dalam kehidupan Anda. Anda mendapatkan pandangan serta reaksi

orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya, memperlihatkan rasa

identitas dengan cara Anda mengekspresikan diri Anda dan merespons orang

lain. Subjective dimension akan identitas merupakan perasaan diri pribadi

Anda, sedangkan ascribed dimension adalah apa yang orang lain katakan

tentang Anda. Dengan kata lain, rasa identitas Anda terdiri dari makna-makna

yang dipelajari dan yang Anda dapatkan – diri pribadi Anda; makna-makna

tersebut di proyeksikan kepada orang lain kapan pun Anda berkomunikasi –

suatu proses yang menciptakan diri Anda yang digambarkan (Littlejhon &

Foss, 2014:131).

Hect menguraikan identitas melebihi pengertian sederhana akan

dimensi diri dan dimensi yang digambarkan. Kedua dimensi tersebut

berinteraksi dalam rangkaian empat tingkatan atau lapisan (Littlejhon & Foss,

2014:131).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

25

a. Personal Player

Yang terdiri dari rasa akan keberadaan diri Anda dalam situasi

sosial. Identitas tersebut terdiri dari berbagai perasaan serta ide tentang

diri sendiri, siapa dan seperti apa diri Anda sebenarnya.

b. Enactment Player

Disebut juga pengetahuan orang lain tentang diri Anda berdasarkan

pada apa yang Anda lakukan, apa yang Anda miliki, dan bagaimana Anda

bertindak. Penampilan Anda adalah simbol-simbol spek yang lebih

mendalam tentang identitas Anda serta orang lain akan mendefinisikan

dan memahami Anda melalui pemahaman tersebut.

c. Relational

Atau diri Anda dalam kaitannya dengan individu lain. Identitas

dibentuk dalam interaksi Anda dengan mereka. Anda dapat melihat

dengan sangat jelas identitas hubungan ketika Anda merujuk diri Anda

secara spesifik sebagai mitra hubungan, seperti ayah, suami, istri, rekan

kerja.

d. Communal

Yang diikat pada kelompok atau budaya yang lebih besar. Tingkat

identitas ini sangat kuat dalam banyak budaya Asia, misalnya, ketika

identitas seseorang dibentuk terutama oleh komunitas yang lebih besar

daripada oleh perbedaan individu di antara manusia dalam komunikasi.

Kapan pun Anda memperhatikan apa yang dipikirkan dan dilaksanakan

oleh komunitas Anda, maka Anda menyesuaikan diri pada tingkatan

identitas Anda tersebut.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/BAB II.pdf · 2019. 1. 16. · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

26

2.3. Kerangka Dasar Pemikiran

Gambar 2.2

Kerangka Pemikiran

Sumber: Olahan Peneliti