bab ii kajian pustaka 2.1. hasil penelitian terdahulu a. …repository.untag-sby.ac.id/1214/3/bab...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Berikut beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian ini yang disajikan dalam bentuk abstraksi:
a. Edwina Ayu Dianingtyas, (2010), Representasi Perempuan Jawa
Dalam Film R.A Kartini (Universitas Diponegoro Semarang),
Abstrak :
Konstruksi masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga
terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh film. Banyak stereotip
negatif yang dilekatkan pada perempuan dalam film-film Indonesia. Film
R.A.Kartini oleh Sjumanjaja diadaptasi dari biografi yang menceritakan
tentang kisah hidup Kartini, sang pahlawan wanita Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui representasi perempuan Jawa dan untuk
menjelaskan gagasan-gagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film
R.A.Kartini yang berkaitan dengan persoalan ideologi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis objek yang diteliti.
Teknik analisis data dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh John
Fiske yaitu “the codesof television”. Film R.A.Kartini diuraikan secara
sintagmatik pada level realitas dan level representasi dengan menggunakan
struktur narasi. Selanjutnya level ideologi dianalisis secara paradigmatik.
Film R.A.Kartini menunjukkan ketidakadilan jender dalam budaya
Jawa yang identik dengan ideologi patriarki. Ideologi patriarki dalam film
R.A.Kartini ditampilkan melalui budaya poligami, penggunaan bahasa dalam
kebudayaan Jawa, keterbungkaman perempuan Jawa, serta diskriminasi dan
subordinasi yang dialami oleh perempuan Jawa. Film ini juga menunjukkan
perjuangan perempuan Jawa untuk melawan ketidakadilan jender yang sangat
menindas kaumnya. Pada akhirnya perempuan Jawa dalam film R.A.Kartini
dapat mendobrak mitos yang selama ini dilabelkan negatif pada diri
perempuan Jawa. Dalam film diperlihatkan pula bahwa kekuasaan perempuan
Jawa dapat hadir dari ketertindasannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan ilmiah mengenai kehidupan
perempuan Jawa di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, khususnya
dalam media film berbasis jender. Pada akhirnya penelitian ini juga
diharapkan dapat menimbulkan kesadaran jender sehingga dapat
memperjuangkan kaum perempuan yang hingga saat ini masih terbelenggu
dalam sistem adat pada khususnya.
10
b. Ari Puji Astuti, (2013), Representasi Perempuan Dalam Film 7 Hati 7
Cinta 7 Wanita Karya Robby Ertanto Studi Analisis Semiotik
(Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta),
Abstrak :
Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” merupakan film yang disutradarai
oleh Robby Ertanto Soediskam, yang menceritakan tentang perempuan yang
menjadi korban atas penindasan kaum laki-laki yang ada dalam masyarakat.
Penelitian ini berjudul Representasi Perempuan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7
Wanita karya Robby Ertanto Studi Analisis Semiotik. Peneliti ingin
memahami secara mendalam mengenai perempuan yang terwakili menjadi
kaum yang lemah jika dibandingkan dengan laki-laki dalam kisah didalam
film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” melalui analisis semiotika. Rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film “7
Hati 7 Cinta 7 Wanita” karya Robby Ertanto? Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui representasi perempuan dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis objek penelitian. Teknis
analisis data dilakukan berdasarkan teori yang dikemukanan oleh Charles
Sanders Peirce yaitu teori Triangle Meaning (Segitiga Makna). 7 Hati 7 Cinta
7 Wanita menunjukkan beberapa kasus perempuan yang menjadi korban atas
kekuasaan laki-laki pada mereka dengan ditampilkan melalui perempuan yang
disiksa, dipoligami, dikhianati serta dihamili tanpa ada pertanggungjawaban
dari laki-laki. Film ini juga memperlihatkan bahwa perempuan dapat maju
dan kuat dalam hidupnya dengan mengarah pada feminisme radikal.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
dan gagasan ilmiah mengenai makna perempuan dalam hidupnya yang sering
menjadi kaum yang selalu merasa menjadi korban yang diwakili oleh Dokter
Kartini, Lastri, Ningsih, Rara, Lili, Ratna dan Yanti. Dokter Kartini mewakili
perempuan yang dapat bangkit dari pengalaman masa lalunya dengan menjadi
seorang ginekolog dan pengikut feminisme radikal. Lastri, Ningsih, dan Ratna
menjadi korban poligami yang dilakukan suami mereka. Rara adalah adik
kandung Ratna yang menjadi korban pergaulan bebas dan hamil tanpa
pertanggungjawaban dari Acin, kekasihnya. Lili, adalah korban kekerasan
dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya. Yanti yang terpaksa
terjun menjadi wanita tuna asusila karena sebelumnya hanya menjadi pemuas
nafsu bosnya saat dirinya menjadi karyawan dan memilih hidup bebas
daripada tertindas oleh kaum laki-laki.
c. Fadila Rahma, (2017), Representasi Perjuangan Perempuan Dalam
Film “Monalisa Smile” (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar),
Abstrak :
Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana representasi
perjuangan perempuan dalam film “Mona Lisa Smile” dan sub masalahnya
11
ialah: Tanda dan makna apa saja yang digunakan dalam film “Mona Lisa
Smile” dalam merepresentasikan perempuan dengan menggunakan
pendekatan semiotika John Fiske? serta bagaimana representasi perjuangan
perempuan dalam film “Mona Lisa Smile?
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tanda dan makna yang
digunakan dalam film “Mona Lisa Smile” dalam merepresentasikan
perempuan berdasarkan analisis semiotika John Fiske. Penelitian ini juga
bermaksud untuk mengetahui representasi perjuangan perempuan dan
bagaimana media film merepresentasikan perempuan. Teknik pengolahan data
dilakukan dengan cara menonton film, memilih scene, dan memahami
skenario sesuai yang dilakukan tokoh dalam film “Mona Lisa Smile”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang
menempatkan makna sebagai perhatian utama, dan peneliti sebagai instrumen
kunci dalam pemaknaan.
Hasil penelitian menunjukkan tanda dan makna yang digunakan
dalam merepresentasikan perempuan ditandai dengan level realitas seperti
kode lingkungan yaitu di aula sekolah dan ruang perkuliahan. Kemudian kode
penampilan menggunakan blouse berkerah dengan lengan ¼ , mengenakan
toga, syal dan sweater. Pada level representasi kode teknis meliputi kata,
kalimat, proporsi foto, teknik pencahayaan key light dan high key light.
Teknik pengambilan gambar extreme long shot, very long shot, medium long
shot, longshot, close up dan big close up. Pada level ideologi terdapat
Feminisme Islam, Feminisme Liberal, Feminsime Postmodern dan budaya
patriarki. Selanjutnya peneliti juga menemukan 4 representasi perjuangan
perempuan: (1) representasi perjuangan perempuan di sektor publik, (2)
representasi perjuangan perempuan dalam mengubah sudut pandang
pemikiran di Wellesley, (3) representasi perjuangan perempuan dalam
mengubah tradisi yang berlaku di Wellesley, (4) representasi perjuangan
perempuan dalam meninggalkan nilai konservatif dan budaya tradisional di
Wellesley. Implikasi dalam penelitian ini adalah: Untuk peneliti selanjutnya
agar lebih memperdalam cakupannya terhadap representasi perempuan dalam
film “Mona Lisa Smile”. (2) Diharapkan masyarakat untuk lebih selektif
dalam menghadapi berbagai serbuan film yang tidak bisa ditolak di dalam
masyarakat sekarang ini. Sehingga berbagai bentuk salah persepsi, dan salah
paham dapat dihindarkan.
d. Dini Zelviana, (2017), Representasi Feminisme Dalam Film The
Huntman: Winter’s war (Universitas Lampung Bandar Lampung),
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana
representasi feminisme dalam film The Huntsman:Winter’s War. Penelitan ini
menggunakan teori semiotika Ferdinand de Saussure dengan metode kualitatif
deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah film The Huntsman: Winter’s War
12
merepresentasikan seorang perempuan yang dapat mengambil keputusannya
sendiri, mempunyai kekuatan fisik, mempunyai pikiran, lebih kuat daripada
laki-laki, dapat mencapai identitas dirinya tetapi tetap membutuhkan cinta,
memberikan pembelajaran yang sama kepada anak laki-laki dan anak
perempuan, bukan sekedar alat atau instrumen untuk kebahagiaan orang lain
(suami), menuruti perintah nalar dan melepaskan diri dari tugas-tugasnya
sebagai seorang ibu secara konsisten, mengembangkan gaya
kepemimpinannya untuk mencapai pemenuhannya baik dunia publik maupun
privat, dan juga perempuan yang monoandrogini yaitu perempuan yang penuh
penyayang, pengasih, lembut, sensitif, berkemampuan untuk berhubungan
dengan yang lain, mampu bekerjasama, dan pada saat yang sama juga
mempunyai kualitas laki-laki tradisional yaitu agresif, berkemampuan
memimpin, berinisiatif, dan mampu bersaing.
2.1.1. Critical Review
Pada keempat penelitian di atas, dapat diidentifikasi bahwa terdapat
persamaan dan perbedaan. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti
dengan keempat penelitan terdahulu terletak pada metode penelitian yaitu
pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotika dan
pembahasannya sama-sama mengangkat tema tentang perempuan. Sedangkan
perbedaannya, terdapat pada model semiotika yang digunakan. Jika dalam
penelitian di atas masing-masing model semiotika yang digunakan yaitu
semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske, Charles Sanders Peirce dan
Ferfinand de Saussure, dalam penelitian ini penulis menggunakan model
semiotika yang dikemukan oleh Roland Barthes yang mengembangkan
semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan
konotasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Edwina Ayu Dianingtyas (2010)
menggunakan model semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske tentang
“the codes of television”. Penelitian Edwina membahas representasi
perempuan Jawa mulai dari menganalisis menggunakan paradigmatik,
ideologi patriarki yang muncul dalam film, perempuan dalam struktur
keluarga Jawa, perempuan Jawa dan pendidikan, hingga kekuasaan
perempuan Jawa. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk
melengkapi pembahasan dari penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini,
selain yang sudah diuraikan di atas, peneliti menemukan hal baru yaitu mitos
yang mengacu pada semiotika Roland Barthes. Peneliti akan mengungkapan
makna mitos yang tersimpan di balik tanda.
Ari Puji Astuti (2013) menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Charles Sanders Peirce dengan teori segitiga makna atau Triangle Meaning.
13
Penelitian ini, yaitu pada teori segitiga dari Pierce yang menjelaskan
reperesentasi melalui tiga langkah, yang pertama mengidentifikasi tanda-tanda
dalam film, lalu menginterpretasikan satu per satu tanda yang telah
diidentifikasi, dan yang terakhir memaknai secara keseluruhan kemudian
mangaitkan makna perempuan dalam masyarakat dan permasalahan yang
terjadi.Langkah-langkah ini juga dapat peneliti gunakan sebagai referensi
dalam teknik menganisis data.Peneliti dapat memulai menganalisis data
dengan mengidentifikasi tanda dalam film tetapi tetap menggunakan acuan
semiotika Roland Barthes.
Model semiotika yang digunakan Fadila Rahma (2017) Sama
dengan penelitian yang dilakukan Edwina Ayu Dianingtyas (2010) di atas.
Yaitu menggunakan model semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske
tentang “the codes of television”. Meskipun model semiotika yang digunakan
sama, yang lebih menjadi kelebihan dalam penelitian Fadila Rahma adalah
terdapat pada teknik analisis data yaitu peneliti melakukan analisis dalam dua
tahap, yang pertama melakukan kajian tanda-tanda yang terdapat di dalam
unsur film dan yang kedua menarik kesimpulan berdasarkan atas analisis
semiotik pada tahap pertama kemudian menemukan makna baru. Kedua
teknik ini dapat peniliti jadikan referensi dalam menganalisis data dengan
acuan semiotika milik Roland Barthes. Makna baru disini dapat disebut
konotasi atau mitos dalam semiotika Roland Barthes.
Berbeda dengan ketiga penelitian di atas, Dini Zelviana (2017)
menggunakan model semiotika yang dikemukakan oleh Ferfinand de
Saussure. Penelitian Dini tidak menjelaskan unit analisis data dan keabsahan
data, sedangkan di penelitian ini, peneliti akan menguraikan unit analisis data
dan keabsahan data pada bab 3. Namun juga terdapat kelebihan dalam
penelitian ini yang dapat peneliti jadikan referensi dalam penelitian yang
sedang dilakakukan. Yaitu pada teknik menganalisis data, penulis
menganalisis data berdasarkan analisis semiotika Ferdinand de Saussure
berupa penanda (gambar, bunyi, coretan) lalu menemukan maknanya yang
berada dari penanda tersebut (petanda). Karena semiotika Roland Barthes
merupakan turunan dari semiotika Ferdinand de Saussure, maka teknik
analisis datanya sangat cocok untuk dijadikan referensi dalam penelitian ini.
Jika semiotika Ferdinand de Saussure menganalisis data melalui penanda dan
petanda saja, analisis semiotika Roland Barthes menganalisis data melalui
penanda, petanda dan mitos.
14
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Komunikasi Massa
Definisi komunikasi massa berubah sangat pesat sejak
ditemukannya era komunikasi digital. Sebelum ada komunikasi digital,
pengertian komunikasi massa sangat sederhana, kini definisinya semakin
kompleks. Komunikasi massa adalah proses komunikasi dengan
menggunakan media massa. Dinamika sekarang membuat media massa dan
advertising (periklanan) dan komunikasi marketing menuju arah baru yang
jauh berbeda dari sebelumnya. Joseph R. Dominick (dalam Nurudin, 2004)
mendefinisikan komunikasi massa sebagai proses yang di dalamnya suatu
organisasi yang kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin memproduksi
dan mengirimkan pesan kepada khalayak yang besar, heterogen, dan tersebar
(Suryanto, 2015: 143).
Ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan Michael W.
Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) akan semakin memperjelas apa itu
komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai
komunikasi massa jika mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern
untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada
khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media
modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau
gabungan antara media tersebut.
2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-
pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang
yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas
audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan
jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak
saling mengenal satu sama lain.
3. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan
diterima oleh banyak orang. Karena itu, diartikan milik publik.
4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti
jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya
tidak berasal dari seseorang tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya
berorientasi pada keuntungan, bukan orgnisasi suka rela atau nirlaba.
5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi).
Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh
sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat
media massa. Ini berbeda dengan komunikasi antarpribadi, kelompok
15
atau publik di mana yang mengontrol bukan sejumlah individu.
Contohnya adalah seorang reporter, editor film, penjaga rubrik, dan
lembaga sensor lain dalam media itu bisa berfungsi sebagai gatekeeper.
6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam
jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung. Misalnya,
dalam komunikasi antar-personal. Dalam komunikasi yang dilakukan
alias tertunda (delayed).
Dengan demikian, media massa adalah alat-alat dalam komunikasi
yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang
luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis
komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan
media massa mampu menyebarkan pesan hampir ketika pada waktu yang tak
terbatas (Hidayat, 2009:8).
2.2.2. Film sebagai Media Komunikasi Massa
Film adalah gambaran hidup, hasil dari seonggok seluloid, yang
diputar dengan mempergunakan proyektor dan ditembakkan ke layar, yang
dipertunjukkam di gedung bioskop (Prakoso, 1997:8; Romli, 2016:99).
Perkembangan film sampai saat ini mempunyai beberapa jenis, diantaranya
sebagai berikut :
a. Film Cerita
Film cerita adalah film yang di dalamnya terdapat atau
dibangun dengan sebuah cerita. Film cerita mempunyai waktu
penayangan yang berbeda-beda, lebih jelasnya yaitu: pertama, film
cerita pendek, film ini berdurasi dibawah 60 menit. Film cerita
pendek diproduksi oleh mahasiswa perfilman dan pembuat film
yang ingin melihat kualitas dari film. Kedua, film cerita panjang,
yaitu film yang berdurasi lebih dari 60 menit. Bahkan ada film yang
berdurasi sampai 120 menit, misalnya film India (Effendi, 2002:13).
Film cerita dari hasil realita maupun imajinasi sangat membantu
publik untuk melihat peristiwa yang sedang terjadi.
b. Film Berita
Adalah film mengenai fakta atau peristiwa yang benar-
benar terjadi. Film berita sangat membantu publik untuk melihat
peristiwa yang sedang terjadi.
c. Film Dokumenter
Yaitu sebuah film yang menggambarkan kejadian nyata,
kehidupan dari seseorang, suatu periode dalam kurun sejarah, atau
16
mungkin sebuah rekaman dari suatu cara hidup makhluk,
dokumenter rangkuman perekaman fotografi berdasarkan kejadian
nyata dan akurat (Gatot Prakoso, 1997 : 15). Menurut Onong (2000 :
214) dalam titik berat pada film dokumenter adalah fakta atau
peristiwa yang terjadi. Bedanya dengan film berita adalah bahwa
film berita harus mengenai sesuatu yang mempunyai nilai-nilai
berita (news value) untuk dihidangkan pada penonton apa adanya
dan dalam waktu yang sangat tergesa-gesa. Karena itu, mutunya
sering tidak memuaskan. Sedang untuk membuat dokumenter dapat
dilakukan dengan pemikiran dan perencanaan yang matang.
d. Film Kartun
Film kartun adalah film yang menghidupkan gambar-
gambar yang telah dilukis. Terdapat tokoh dalam film kartun. Dalam
pembuatan film kartun yang terpenting adalah seni lukis. Pada tahun
1908 film kartun pertama kali diperkenalkan oleh Emile Cold dari
Prancis. Sekarang pemutaran film-film kartun banyak didominasi
oleh Amerika Serikat dengan tokoh-tokoh kartun Disney yang
terkenal, yaitu Mickey Mouse dan Donald Duck.
Film memiliki kemajuan secara teknis, tetapi film tidak hanya
mekanis saja. Ada jiwa dan nuansa di dalamnya yang dihidupkan oleh cerita
dan skenario yang memikat. Sebuah film berurusan dengan gambaran
eksternal, visual, dan auditorial, serta konflik-konflik internal. Ibarat sebuah
bangunan, aksi dan gerakan menjadi batu utama bagi pondasi film (Ibnu
Setiawan, 2003:59; Romli, 2016:100).
Pesan-pesan komunikasi massa akan dapat dikonsumsi oleh
masyarakat dengan jumlah banyak, maka dalam prosesnya memerlukan media
dan salah satunya adalah film. Film mempunyai fungsi sebagai media massa
memiliki kapasitas untuk membuat pesan yang sama secara serempak dan
mempunyai sasaran yang beragam dari agama, etnis, status, umur, dan tempat
tinggal. Hal tersebut sekaligus memerlukan komunikasi massa, untuk
menyusun strategi agar pesan-pesannya dapat mencapai sasaran dengan
jumlah yang besar. Maka dari sini komunikasi massa mempunyai hubungan
erat dengan film dalam penerapan pesan pada khalayak (Romli, 2016:100).
2.2.3. Representasi
Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian.
Ia adalah proses sosial dari ‘representing’. Representasi menunjuk baik pada
proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa
17
berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-
bentuk yang kongkret. Jadi, pandangan-pandangan hidup tentang perempuan,
anak-anak, atau laki-laki misalnya, akan dengan mudah terlihat dari cara
memberi hadiah ulang tahun kepada teman-teman yang laik-laki, perempuan
dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup terhadap
cinta, perang, dan lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga.
Reprsentasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan
melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi,
dan lain sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna
melalui bahasa (Hall, 1997: 15).
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek
penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang
sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang
dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada
disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan
yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-
konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara dalam
memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu
melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat
bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) dapat
mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide tentang sesuatu. Makna suatu
hal sangat tergantung dari cara individu mempresentasikannya. Dengan
mengamati kata-kata yang digunakan dan imej-imej yang digunakan dalam
mempresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada
sesuatu hal tersebut.
2.2.4. Semiotika Roland Barthes
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to sinity) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkonsumsikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-
objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
tanda (Sobur, 2013:15).
18
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna
(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda
(Littelejohn, 1996:64; Sobur, 2013:16). Konsep dasar ini mengikat bersama
seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana,
dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda
berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum,
studi tentang tanda merujuk kepada semiotika (Sobur, 2013:16).
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat,
tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban
arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang
menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan
konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra,
misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda
(strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan
(semantik) (Sobur, 2013:17).
Teori simbol yang diciptakan Susanne Langer adalah teori terkenal
dan dinilai bermanfaat karena mengemukakan sejumlah konsep dan istilah
yang biasa digunakan dalam ilmu komunikasi. Sedemikian rupa, teori ini
memberikan semacam standar atau tolak ukur bagi tradisi semiotika di dalam
studi ilmu komunikasi. Langer yang seorang ahli filsafat menilai simbol
sebagai hal yang sangat penting dalam ilmu filsafat, karena simbol menjadi
penyebab dari semua pengetahuan dan pengertian yang dimiliki manusia.
Menurut Langer, kehidupan binatang diatur oleh perasaan (feeling), tetapi
perasaan manusia diperantarai oleh sejumlah konsep, simbol, dan bahasa.
Binatang memberikan respons terhadap tanda, tetapi manusia membutuhkan
lebih dari sekadar tanda, manusia membutuhkan simbol.
Simbol, sebaliknya, bekerja dengan cara kompleks yaitu dengan
membolehkan seorang untuk berpikir mengenai sesuatu yang terpisah dari
kehadiran segera suatu tanda. Dengan kata lain, simbol adalah “suatu
instrumen pikiran” (instrument of thought). Langer memandang “makna”
sebagai suatu hubungan yang kompleks di antara simbol, objek, dan orang.
Jadi, makna terdiri atas aspek logis dan aspek psikologis. Aspek logis adalah
hubungan antara simbol dan referennya, yang oleh Langer dinamakan
“denotasi” (denotation). Adapun aspek atau makna psikologis adalah
hubungan antara simbol dan orang, yang disebut “konotasi” (connotation).
Manusia menggunakan simbol yang terdiri atas satu kata, namun
lebih sering kita menggunakan kombinasi sejumlah kata. Makna yang
sesungguhnya dari bahasa terdapat pada wacana (discourse) di mana kita
19
mengikat sejumlah kata ke dalam kalimat dan paragraf. Wacana menyatakan
“preposisi” yaitu beberapa simbol bersifat kompleks yang menunjukkan
gambaran dari sesuatu. Setiap simbol atau seperangkat simbol menyampaikan
suatu “konsep” yaitu suatu ide umum, pola, dan bentuk. Menurut Langer,
konsep adalah makna bersama di antara sejumlah komunikator yang
merupakan denotasi dari simbol. Sebaliknya, gambaran personal (personal
image), adalah pengertian yang bersifat pribadi (private conception).
Langer menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan yang
melekat untuk melakukan abstraksi (abstraction), yaitu proses membentuk ide
umum dari berbagai pengalaman kongkret yang didasarkan atas denotasi dan
konotasi simbol. Abstraksi adalah proses meninggalkan berbagai detail dalam
menggambarkan suatu objek, peristiwa atau situasi ke dalam istilah lebih
umum (Morrisan, 2013:135).
Teori semiotika Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori
bahasa menurut De Saussure. Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa
merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2003:63). Selanjutnya,
Barthes (1957, dalam De Sausssure, yang di kutip Sartini dalam Vera,
2015:27) mengungkapkan teori signifiant-signifie yang dikembangkan
menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi.
Sebagaimana pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa
hubungan antara penanda dan petanda tidak berbentuk secara alamiah,
melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan
dalam tataran denotatif, maka Roland Bathers menyempurnakan semiologi
Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai
suatu masyarakat (Vera, 2015:27).
Mitos dalam pandangan Barthes berbeda dengan konsep mitos
dalam arti umum. Barthes mengemukakan mitos adalah bahasa, mitos adalah
sebuah sistem komunikasi dan mitos adalah sebuah pesan. Dalam uraiannya,
ia mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian khusus ini merupakan
perkembangan konotasi. Konotasi yang sudah terbentuk lama di masyarakat
itulah mitos. Barthes juga mengatakan bahwa mitos merupakan sistem
semiologis, yakni sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia (Hoed, 2008:59;
Vera, 2015:28).
20
2.2.4.1. Ciri-ciri mitos menurut Roland Barthes
Ciri-ciri mitos menurut Roland Barthes (dalamVera,
2015:29) sebagai berikut:
a. Deformatif
Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form
(signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang
menerapkan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification
inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak
lagi mengacu pada realita yang sebenarnya. Pada mitos, form dan
concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan; mitos
berfungsi mendistrosi, bukan untuk menghilangkan. Dengan
demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa)
atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi
apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form.
b. Intensional
Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan
secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah
yang harus menemukan mitos tersebut.
c. Motivasi
Bahasa bersifat arbiter, tetapi kearbiteran itu mempunyai
batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan:
baca-membaca-dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna
mitos tidak arbiter, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat
menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos
bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan
sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis.
Barthes ingin memperlihatkan bahwa gejala suatu budaya dapat
memperoleh konotasi sesuai dengan sudut pandang suatu masyarakat. Jika
konotasi itu sudah mantap, maka ia menjadi mitos, sedangkan mitos sang
sudah mantap akan menjadi ideologi (Barthes, dalam Rusmana, 2005; Vera,
2015:29).
Rumusan tentang signifikasi dan mitos dapat dilihat pada gambar
berikut ini:
21
Tataran Pertama Tataran Kedua
Realitas Tanda Budaya
Bentuk
Isi
Gambar 2.1
TwoOrders Of Signification dari Barthes
Dalam Tatanan Kedua, Sistem Tanda dari Tatanan Pertama Disisipkan ke
Dalam Sistem Nilai Budaya.
Sumber : Fiske, John 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, hlm. 145.
Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa signifikansi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified yang disebut
denotasi, yaitu makna sebenarnya dari tanda. Sedangkan signifikansi tahap
kedua, digunakan istilah konotasi, yaitu makna yang subjektif atau paling
tidak, intersubjektif; yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui
mitos. Mitos merupakan lapisan pertanda dan makna yang paling dalam
(Vera, 2015:30).
Barthes (dalam Fiske, 2012: 145) berpendapat cara kerja mitos yang
paling penting adalah menaturalisasi sejarah. Hal ini menunjuk pada fakta
bahwa mitos sesungguhnya merupakan produk sebuah kelas sosial yang telah
meraih dominasi dalam sejarah tertentu: makna yang disebarluaskan melalui
mitos pasti membawa sejarah bersama mereka, namun pelaksanaannya
sebagai mitos membuat mereka mencoba menyangkalnya dan menampilkan
makna tersebut sebagai yang alami (natural), bukan bersifat historis atau
sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usul mereka dan hal
tersebut dimensi politis atau sosial mereka. Ahli mitologi menyingkap sejarah
yang disembunyikan dan dengan demikian cara kerja sosio-politis mitos
adalah dengan mendemistifikasikannya.
Aspek lain dari mitos yang ditekankan Barthes adalah dinamisme
mitos. Seperti yang dimukakan di awal, mitos berubah dan beberapa dapat
berubah dengan cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan nilai budaya di
mana mereka berada. Konotasi dan mitos merupakan cara utama di mana
Denotasi
Penanda
Petanda
Konotasi
Mitos
22
tanda bekerja dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan di mana
interaksi antara tanda dan pengguna atau kebudayaan paling aktif (Fiske,
2012: 149).
2.2.5. Teori Identifikasi
Burke memulai penjelasan mengenai teorinya dengan
mengemukakan dua konsep yaitu konsep “tindakan” (action) dengan “gerak”
(motion). Menurutnya, tindakan merupakan perilaku yang sukarela
(voluntary) dan memiliki tujuan (purposeful), sedangkan gerak adalah tidak
bertujuan (non-purposeful) dan tidak bermakna (non-meaningful). Benda dan
binatang memiliki gerak, namun hanya manusia yang memiliki tindakan.
Burke memandang individu sebagai makhluk biologis dan neurologis.
Manusia adalah makhluk pencipta dan pengguna simbol, namun Burke juga
menyebut manusia sebagai “hewan yang salah menggunakan simbol”
(symbol-misusing animals). Manusia menciptakan simbol untuk memberi
nama pada benda dan situasi; manusia menggunakan simbol untuk kerugian
manusia itu sendiri.
Pandangan Burke terhadap simbol bersifat luas yang mencakup
pembahasan linguistik dan juga unsur-unsur nonverbal. Manusia menyaring
realitas diwakili oleh simbol. Burke sependapat dengan Mead bahwa bahasa
berfungsi sebagai kendaraan untuk tindakan, dan karena adanya kebutuhan
sosial bagi manusia untuk bekerja sama dalam tindakan mereka maka bahasa
membentuk perilaku dan perbuatan. Menurutnya, manusia dapat membuat
simbol dari simbol lainnya (person can symbolize symbols) (Morrisan,
2013:175).
Konsubstansialitas merupakan identifikasi satu arah yang diciptakan
di antara manusia. Semakin besar tingkat kesamaan manusia terhadap makna
maka semakin besar identifikasi dan karenanya dapat memperbaiki
pengertian. Dengan demikian identifikasi dapat menjadi cara untuk persuasi
dan menghasilkan komunikasi yang efektif. Identifikasi dapat bersifat sadar
atau tidak disadari, direncanakan atau tidak direncankan (Morrisan,
2013:176).
Menurut Burke, terdapat tiga sumber identifikasi yang saling
tumpangtindih di antara manusia yaitu (Morrisan, 2013:177) :
1) Identifikasi material, yaitu identifikasi yang bersumber dari barang,
kepemilikan, dan benda. Misalnya, beberapa orang memiliki mobil
yang sama atau memiliki selera yang sama terhadap pakaian.
23
2) Identifikasi idealistis, yaitu identifikasi yang berasal dari
gagasan/ide, sikap, perasaan dan nilai yang sama. Misalnya,
beberapa orang sama-sama menjadi anggota kelompok tertentu
seperti partai politik, kelompok pengajian, dan sebagainya.
3) Identifikasi formal, yaitu identifikasi yang berasal dari pengaturan,
bentuk atau organisasi dari suatu peristiwa di mana sejumlah orang
turut serta di dalamnya. Misalnya, jika dua orang yang
diperkenalkan berjabatan tangan, bentuk jabatan tangan itu menjadi
identifikasi.
Burke memperenalkan istilah lain yang membantu menjelaskan
identifikasi yaitu “rasa salah” (guilt) yaitu perasaan tegang yang dirasakan
seseorang seperti rasa cemas, malu, benci terhadap diri sendiri, dan jijik.
Menurut Burke, rasa salah adalah kondisi yang disebabkan oleh penggunaan
simbol. Terdapat tiga sumber rasa salah yang saling berhubungan yaitu
(Morrisan, 2013:178) :
a) Situasi Negatif (Negative)
Sumber rasa salah pertama adalah situasi negatif. Melalui
bahasa manusia menciptakan standar moral dengan membuat
berbagai aturan dan larangan, namun berbagai aturan itu tidak-lah
selalu konsisten, dan dalam mengikuti satu aturan adakalanya orang
terpaksa melanggar aturan lainnya sehingga menimbulkan situasi
negatif atau rasa salah. Agama, profesi, organisasi, keluarga, dan
masyarakat memiliki aturan mengenai bagaimana orang harus
berperilaku. Kita mempelajari dan mengikuti berbagai aturan
tersebut sepanjang hidup dan kita memberikan penilaian terhadap
setiap tindakan, apakah baik atau buruk.
b) Prinsip Kesempurnaan (Principle Of Perfection)
Sumber rasa salah kedua adalah prinsip kesempurnaan.
Manusia peka atau sensitif terhadap kegagalan. Melalui bahasa,
manusia dapat membayangkan suatu keadaan sempurna. Manusia
dengan segala daya yang mereka miliki berjuang selama hidupnya
untuk mencapai kesempurnaan yang sudah mereka tentukan. Rasa
salah muncul sebagai akibat adanya perbedaan antara keinginan
untuk sempurna dengan realitas yang dihadapi.
c) Prinsip Hierarki (Principle Of Hierarchy)
Alasan ketiga munculnya rasa salah adalah prinsip hierarki.
Orang membagi sturktur masyarakat dalam bentuk piramida sosial
atau hierarki. Orang-orang kaya yang jumlahnya lebih sedikit berada
24
di bagian atas piramida, sedangkan kelompok masyarakat miskin
berada di bawah. Proses pembentukan struktur sosial ini dilakukan
melalui simbol. Struktur ini kemudian menimbulkan persaingan dan
bahkan konflik di antara kelas sosial sehingga menimbulkan rasa
salah.
2.2.6. Teori Komunikasi tentang Identitas
Teori-teori yang berfokus pada pelaku komunikasi akan selalu
membawa identitas diri ke sejumlah tingkatan, tetapi identitas berada dalam
lingkup budaya yang luas dan manusia berbeda dalam menguraikan diri
mereka sendiri (Littlejhon & Foss, 2014:130).
Terutama karena Michael Hecht dan koleganya, teori komunikasi
tentang identitas tergabunglah ketiga konteks budaya berikut – individu,
komunal, dan publik dalam (Littlejhon & Foss, 2014:131). Menurut teori
tersebut, identitas merupakan penghubung utama antara individu dan
masyarakat serta komunikasi merupakan mata rantai yang memperbolehkan
hubungan ini terjadi. Tentu, identitas Anda adalah “kode” yang
mendefinisikan keanggotaan Anda dalam komunitas yang beragam – kode
yang terdiri dari simbol-simbol, seperti bentuk pakaian dan kepemilikan; dan
kata-kata seperti deskripsi diri atau benda yang biasanya Anda katakan; dan
makna yang Anda dan orang lain hubungkan terhadap benda-benda tersebut.
Komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga
mengubah mekanisme. Identitas Anda, baik dalam pandangan diri Anda
maupun orang lain, dibentuk ketika Anda secara sosial berinteraksi dengan
orang lain dalam kehidupan Anda. Anda mendapatkan pandangan serta reaksi
orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya, memperlihatkan rasa
identitas dengan cara Anda mengekspresikan diri Anda dan merespons orang
lain. Subjective dimension akan identitas merupakan perasaan diri pribadi
Anda, sedangkan ascribed dimension adalah apa yang orang lain katakan
tentang Anda. Dengan kata lain, rasa identitas Anda terdiri dari makna-makna
yang dipelajari dan yang Anda dapatkan – diri pribadi Anda; makna-makna
tersebut di proyeksikan kepada orang lain kapan pun Anda berkomunikasi –
suatu proses yang menciptakan diri Anda yang digambarkan (Littlejhon &
Foss, 2014:131).
Hect menguraikan identitas melebihi pengertian sederhana akan
dimensi diri dan dimensi yang digambarkan. Kedua dimensi tersebut
berinteraksi dalam rangkaian empat tingkatan atau lapisan (Littlejhon & Foss,
2014:131).
25
a. Personal Player
Yang terdiri dari rasa akan keberadaan diri Anda dalam situasi
sosial. Identitas tersebut terdiri dari berbagai perasaan serta ide tentang
diri sendiri, siapa dan seperti apa diri Anda sebenarnya.
b. Enactment Player
Disebut juga pengetahuan orang lain tentang diri Anda berdasarkan
pada apa yang Anda lakukan, apa yang Anda miliki, dan bagaimana Anda
bertindak. Penampilan Anda adalah simbol-simbol spek yang lebih
mendalam tentang identitas Anda serta orang lain akan mendefinisikan
dan memahami Anda melalui pemahaman tersebut.
c. Relational
Atau diri Anda dalam kaitannya dengan individu lain. Identitas
dibentuk dalam interaksi Anda dengan mereka. Anda dapat melihat
dengan sangat jelas identitas hubungan ketika Anda merujuk diri Anda
secara spesifik sebagai mitra hubungan, seperti ayah, suami, istri, rekan
kerja.
d. Communal
Yang diikat pada kelompok atau budaya yang lebih besar. Tingkat
identitas ini sangat kuat dalam banyak budaya Asia, misalnya, ketika
identitas seseorang dibentuk terutama oleh komunitas yang lebih besar
daripada oleh perbedaan individu di antara manusia dalam komunikasi.
Kapan pun Anda memperhatikan apa yang dipikirkan dan dilaksanakan
oleh komunitas Anda, maka Anda menyesuaikan diri pada tingkatan
identitas Anda tersebut.
26
2.3. Kerangka Dasar Pemikiran
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
Sumber: Olahan Peneliti