bab ii kajian pustaka 2.1 kajian tentang pembelajaran pelajaran ipa...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Tentang Pembelajaran Pelajaran IPA
2.1.1 Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sering disebut juga sebagai sains (Science)
yang berasal dari kata latin “scentia” pengetahuan tentang faham yang mendalam.
Menurut Fowler ( Trianto, 2010:136) “Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang
sistematis dan dirumuskan yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan,
dan didasarkan terutama atas pengamatan dan dedukasi”. IPA mempelajari alam
semesta, benda-benda yang ada di permukaan bumi, luar angkasa, baik yang bisa
diamati oleh indera maupun yang tidak dapat diamati oleh indera.
Wahaya (Trianto, 2010: 136) mengatakan bahwa IPA merupakan suatu
kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya
secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya
ditandai adanya kumpulan fakta, tetapi oleh metode atau sikap ilmiah. Menurut
Winaputra (Usman Samatowa, 2011: 3), IPA tidak hanya merupakan kumpulan
pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi memerlukan kerja, cara
berpikir, dan cara memecahkan masalah.
Berdasarkan definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa IPA
merupakan suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam
penggunaannya secara terbatas pada gejala-gejala alam yang dalam pemecahan
masalahnya menggunakan metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta
menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, dan terbuka jujur. Dengan
begitu, pendidikan IPA di SD diharapakn dapat menjadi wahana bagi siswa untuk
mempelajari diri dan alam sekitar.
2.1.2 Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Konsep IPA di sekolah dasar merupakan konsep yang masih terpadu,
belum ada pemisahan misalnya mata pelajaran kimia, biologi, dan fisika. Adapun
tujuan pembelajaran sains disekolah dasar dalam Badan Nasional Standar
Pendidikan (BNSP) dimaksudkan untuk:
7
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA
yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Menggambarkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi, dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara,
menjaga, dan melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA
sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. (BNSP,
2006: 171).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
pengajaran IPA mempunyai tujuan untuk menanamkan sikap ilmiah pada siswa
dan nilai positif melalui proses IPA dalam memecahkan masalah. Siswa akan
selalu tertarik dengan lingkungan dan siswa akan mengenal serta dapat
memanfaatkan lingkungan sebagai sumber ilmu dan sumber belajar. Demikian
juga dalam diri siswa akan dapat mengembangkan pikiran melalui lingkungan
yang banyak memberikan pengalaman
2.1.3 Ruang Lingkup IPA di SD
Ruang lingkup pembelajaran IPA di Sekolah Dasar meliputi dua aspek yaitu
kerja ilmiah dan pemahaman konsep (Nurhadi, 2005 : 185). Ruang lingkup kerja
ilmiah meliputi kegiatan penyelidikan, berkomunikasi ilmiah, pengembangan
kreativitas, pemecahan masalah, sikap dan nilai ilmiah.
Sedangkan ruang lingkup konsep mencakup Ruang lingkup bahan kajian
IPA untuk SD/MI meliputi (1) makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu
manusia, hewan, tumbuhan, dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan,
8
(2) benda/materi, sifat-sifat dan kegunaanya meliputi: cair, padat, dan gas, (3)
energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan
pesawat sederhana, (4) bumi dan alam semesta, meliputi: tanah, bumi, tata surya,
dan benda-benda langit lainnya (BNSP: 2006).
2.2 Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Joyce & Weil (1980 dalam Suprihatiningrum 2014: 185), “model
mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana pola yang digunakan dalam
menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memberi petunjuk pengajar
dikelas”. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model mengajar adalah
suatu rencana pola yang sudah disusun sedemikian rupa dan digunakan untuk
menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran untuk mencapai tujuan
tertentu dalam pengajaran.
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Dengan kata lain model pembelajaran merupakan pembungkus
proses pembelajaran yang didalamnya terdapat pendekatan, strategi, metode,
teknik yang dilakukan dalam pembelajaran.
2.3 Pendekatan Model Contextual Teaching and Learning (CTL)
Menurut Suryanto (Suprihatiningrum, 2014: 176) “pendekatan
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu
pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu pembelajaran
yang menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memecahkan
berbagai masalah.” Berdasarkan pengertian tersebut dapat maknai bahwa
pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) pembelajaran yang
mengaitkan pengetahuan yang dipelajari kehidupan nyata, serta dapat
memecahkan berbagai masalah yang terjadi baik disekolah, keluarga, lingkungan
dan masyarakat.
Menurut Depdiknas (Suprihatiningrum, 2014: 178) “Pendekatan
Kotekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkannya dengan situasi dalam dunia nyata siswa membuat
9
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga”.
Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan
Contextual Teaching and Learning konsep belajar yang membantu guru dan siswa
dalam mengkaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan nyata.
Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Contextual Teaching and Learning merupakan pembelajaran yang
mengkaitkan konteks pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Ciri
pembelajaran kontekstual, yaitu dapat mengkaitkan topik atau konsep yang
dipelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari anak dengan perkembangan
psikologisnya.
Mengkaitkan konteks hobi atau kebutuhan akan membuat anak lebih
mudah tertarik untuk memperhatikan konsep yang akan dipelajari. Akibat dari
konteks mengkaitkan konteks kehidupan sehari-hari dengan konsep yang
dipelajari membuat anak-anak akan lebih mudah memahami sebuah konsep.
Pembelajaran kontekstual berkaitan dengan teori psikologis konstruktivis
yang diajukan oleh Vygoysky. Didalam teori tersebut mengatakan bahwa anak
atau siswa belajar dengan mengkonstruksikan pemahamannya sendiri terhadap
apa yang dipelajari.
Menurut teori ini juga mengatakan bahwa di dalam pikiran anak terdapat
skema semacam gambar atau file komputer yang berisi gambaran pemahaman
terhadap sesuatu yang dipelajari. Skema bisa bersifat sangat sederhana, tetapi juga
bisa bersifat kompleks tergantung dari tingkat perkembangan dan kemampuan
berpikir anak.
Contextual Teaching and Learning adalah sebuah sistem yang merangsang
otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dengan
menghubungkan ilmu atau konsep dengan konteks yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari.
10
Isi merupakan apa yang dipelajari dalam konteks, sementara konteks
merupakan lingkungan atau kejadian yang terjadi di suatu tempat dan waktu.
Kontes terdiri dari asumsi-asumsi bawah sadar manusia selama bertumbuh,
kepercayaan yang dipegang, diperoleh melalui osmosis, serta nilai-nilai yang
membentuk pengertian menjadi kenyataan.
2.3.1 Asas-Asas Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning.
Menurut Wina Sanjaya (2009: 264), mengemukakan bahwa Contextual
Teaching and Learning merupakan suatu model pembelajaran yang memiliki
tujuh asas. Asas-asas ini melandasi pelaksanaan pembelajaran dengan
mengggunakan model Contextual Teaching and Learning. Asas-asas ini juga
sering disebut sebagai komponen-komppnen Contextual Teaching and Learning.
Dibawah ini akan dijelaskan ketujuh asas-asas Contextual Teaching and Learning
tersebut.
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme (Constructivism) Konstruktivisme merupakan landasan
berfikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan manusia dibangun sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Sehingga,
siswa harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata maupun keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar.
Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan
dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman
berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan
pengalaman baru (Nurhadi, 2002: 10).
2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
CTL (Nurhadi, 2002: 12). Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa
diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari
menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan.
Adapun langkah-langkah dalam kegiatan inkuiri adalah:
11
a. Rumusan masalah → hipotesis
b. Mengamati atau melakukan observasi → pengumpulan data
c. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan,
bagan, tabel, dan lain-lain.
d. Mengkomunikasikan/menyajikan hasil karya kepada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien yang lain.
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL.
Menurut Nasution (2004: 161), bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai
kegiatan guru untuk:
a. Mendorong anak berpikir untuk memecahkan suatu soal.
b. Membangkitkan pengertian yang lama maupun yang baru.
c. Menyelidiki dan menilai penguasaan murid tentang bahan pelajaran.
d. Membangkitkan minat untuk sesuatu, sehingga timbul keinginan untuk
mempelajarinya.
e. Mendorong anak untuk menginterpretasi dan mengorganisasi
pengetahuan dan pengalamannya dalam bentuk prinsip/generalisasi
yang lebih luas.
f. Menyelidiki kepandaian, minat, kematangan, dan latar belakang anak-
anak.
g. Menarik perhatian anak atau kelas.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Metode pembelajaran dengan teknik
learning community sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Dalam kelas
CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-
kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya
heterogen yaitu ada yang pandai dan ada yang kurang pandai supaya dapat terjadi
komunikasi dua arah (Nurhadi, 2002: 15).
12
5. Pemodelan (Modelling)
Pemodelan adalah suatu kegiatan pembelajaran keterampilan atau
pengetahuan tertentu yang dalam pelaksanaannya terdapat model yang bisa ditiru.
Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh
temannya tentang kegiatan yang akan dilakukan. Ada kalanya siswa lebih paham
apabila diberi contoh oleh temannya (Nurhadi, 2002: 16).
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dan berpikir
ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Selain itu, refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru
diterima. Pengetahuan yang dimiliki oleh siswa diperluas melalui konteks
pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Kunci dari semua itu
adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Pada akhir
pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan
refleksi (Nurhadi, 2002: 18).
7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Data yang dikumpulkan melalui kegiatan
penilaian bukanlah mencari informasi tentang belajar siswa. Gambaran
perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan
bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar. Pembelajaran yang
benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu
mempelajari bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di
akhir periode pembelajaran (Nurhadi, 2002: 19).
2.3.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual
Teaching and Learning)
Menurut Nurhadi (2002: 10), sebuah kelas dikatakan menggunakan
pendekatan CTL jika menerapkan komponen-komponen tersebut di atas dalam
pembelajarannya. Penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar,
langkahnya adalah sebagai berikut:
13
a. Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan
sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
b. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
e. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Melakukan refleksi di akhir pertemuan.
g. Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dari penjelasan di atas, maka pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan CTL dapat meningkatkan minat belajar Sains (IPA), karena ilmu dan
pengalaman yang diperoleh siswa dari menemukan sendiri, siswa dapat bertanya
maupun mengajukan pendapat tentang materi yang diajarkan, siswa dapat
melakukan kerja kelompok melalui masyarakat belajar, guru dapat melakukan
pemodelan, dan dilakukan penilaian yang sebenarnya dari kegiatan yang sudah
dilakukan siswa.
2.3.3 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching and Learning)
Keunggulan dari Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(Suyadi, 2013: 95).
a. Pembelajaran kontekstual dapat mendorong peserta didik menemukan
hubungan materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya,
peserta didik secara tidak langsung dituntut utnuk menangkap hubungan
antara pengalaman belajar disekolah dengan kehidupan nyata di
lingkungan masyarakat, sehingga mampu menggali, berdiskusi, berpikir
kritis, dan memecahkan masalah nyata yang dihadapinya bersama-sama.
b. Pembelajaran kontekstual mampu mendorong peserta didik untuk
menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan nyata. Artinya, peserta
didik tidak hanya diharapkan dapat memahami materi yang dipelajarinya,
tetapi bagaimana materi pelajaran itudapat mewarnai perilaku/tingkah laku
(karakter/akhlak) dalam kehidupan sehari-hari.
14
c. Pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan peserta
didik untuk menemukan materi. Artinya proses belajar diorientasikan pada
proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL
tidak mengharapkan peserta didik hanya menerima materi pembalajaran,
melainkan dengan cara proses mencari dan menemukan sendiri materi
pembelajaran.
Kelemahan dari Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
a. CTL membutuhkan waktu yang lama bagi peserta didik utnuk memahami
semua materi.
b. Guru lebih intensif dalam membimbing, karena dengan metode CTL guru
tidak lagi berperan sebagai pusat informasi.
c. Upaya menghubungkan antara materi di kelas dengan realitas di dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik rentan kesalahan. Atas dasar ini, agar
menemukan hubungan yang tepat, sering kali peserta didik harus
mengalami kegagalan berulang.
2.4 Pengertian Belajar
Menurut R. Gagne (1984 dalam Susanto, 2013: 5) “belajar dapat
didefinisikan sebagai proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai
akibat pengalaman. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain”. Dari pengertian ini dapat dimaknai bahwa belajar
adalah perubahan perilaku sebagai akibat pengalaman. Belajar dan mengajar
merupakan konsep yang terpadu dalam kegiatan proses belajar mengajar dimana
terjadinya interaksi antara guru dan siswa pada saat proses belajar mengajar
berlangsung.
Sementara menurut Hamalik (2003 dalam Susanto, 2013) belajar adalah
memodifikasi atau memperteguhkan perilaku pengalaman (learning is defined
modifactor or strenghtening of behaiour throuh experiencing). Belajar merupakan
suatu proses perubahan tingkah laku individu sesorang melalui interaksi dengan
lingkungannya. Perubahan tingkah laku mencakup perubahan dalam kebiasaan
(habit), sikap (afektif), dan keterampilan(psikomotorik). Perubahan tingkah laku
belajar disebabakan oleh pengalaman atau latihan yang dilakukan.
15
Dari beberpa diatas pengertian di atas , dapat ditarik kesimpulan bahwa
belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan segaja dalam
keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, pengetahuan baru
sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relaif
tetap baik dalam berpikir, merasa maupun bertindak.
Menurut W.S Winkel(2002 dalam Susanto, 2013) belajar adalah suatu
aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan
lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan
berbekas. Seseorang dikatakan belajar adalah apabila pada diri orang ini terjadi
suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku berkaitan
dengan apa yang dipelajari.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar
adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseotang dengan sengaja dalam
keadaan sadar untuk memperoleh konsep, pemahaman, pengetahuan baru
sehingga memungkinkan terjadi perubahan yang relaitf, tetap baik dalam berpikir
dan bertindak.
2.4.1 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi
pelajaran disekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes
mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu K.Brahim (dalam Susanto, 2013).
Hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah
melalui kegiatan belajar. Karena belajar merupakan suatu suatu proses perubahan
perilaku dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan
perilaku yang relatif menetap.
2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut teori Gelsalt (dalam Susanto, 2013) “belajar merupakan suatu
proses perkembangan. Artinya secara kodrati jiwa raga anak memgalami
perkembangan. Perkembagnan sendiri memerlukan sesuatu yang baik yang
berasal dari diri sendiri maupun pengaruh lingkungan”. Berdasarkan teori ini hasil
belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal, pertama, sendiri itu sendiri dalam
16
kemampuan berpikir atau tingkah laku intelektual, motivasi, minat, dan kesiapan
siswa, baik jasmanai dan rohani. Kedua, lingkungan; yaitu sarana dan prasarana,
kompetensi guru, kreativitas guru, sumber-sumber belajar, metode serta dukungan
lingkungan, keluarga, dan lingkungan.
Pendapat yang dikemukakan oleh Wasliman (2007:158 dalam Susanto,
2013), hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interkasi
antara berbagai faktor yang memengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal.
Uraian mengenai faktor internal dan eksternal, sebagai berikut:
1. Faktor Internal; faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari
dalam diri peserta didik, yang memegaruhi kemampuan belajarnya.
Meliputi kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan,
sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan.
2. Faktor eksternal; faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang
memengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dikemukakan oleh Wasliman(2007: 159 dalam Susanto, 2013)
menyatakan bahwa sekolah merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan
hasil belajar siswa. Semakin tinggi kemampuan belajar siswa dan kualitas
pengajaran disekolah, semakin tinggi pula hasil belajar siswa. Menurut Wina
Sanjaya (2006: 50), bahwa guru dalah komponen yang sangat menentukan dalam
implementasi suatu strategi pembelajaran. Sementara menurut Dunkin dalam
Wina Sanjaya (2006: 51), terdapat sejumlah aspek yang dapat memengaruhi
kualitas proses pembelajaran.
1. Teacher formative experience, meliputi jenis kelamin semua pengalaman
hidup guru yang menjadi latar belakang sosial mereka. Yang termasuk
kedalam aspek ini adalah tempat asal kelahiran, termasuk suku, latar
belakang budaya, serta adat istiadat.
2. Teacher training experince, yaitu pengalaman yang berhubungan dengan
aktivitas dab latar belakang pendidikan guru, misalnya pengalaman latihan
profesional, tingkat pendidikan, dan pengalaman jabatan.
17
3. Teacher properties, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat
yang dimiliki dimiliki guru, misalnya sikap terhadap profesinya, sikap
terhadap siswa, kemampuan dan intelegensi guru, motivasi dan
kemampuan mereka baik dalam pengelolaan pembelajaran, merencanakan
dan evaluasi pembelajaran serta kemampuan dalam menguasai materi.
Dengan demikian, semakin jelas bahwa hasil belajar merupakan hasil dari
suatu proses yang didalamnya terlibat sejumlah faktor yang saling memengaruhi.
Sudjana (1989: 39), menyatakan bahwa hasil belajar yang dicapai oleh siswa
dipengaruhi oleh faktor utama, yakni faktor dalam diri siswa dan faktor yang
datang dari luar diri siswa terutama lingkungan. Faktor kemampuan siswa besar
pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar adanya faktor internal dan faktor ekternal hasil
interaksi yang terdapat pada diri peserta didik. Selain itu, sekolah juga merupakan
salah satu faktor yang ikut menentukan hasil belajar siswa.
Semakin tinggi kemampuan siswa makan kualitas pengajaran disekolah
semakin tinggi. Guru merupakan komponen yang sangat menentukan
keberhasilan siswa melalui implementasi suatu strategi yang diterapkan dalam
pembelajaran.
2.5 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan.
Hasil penelitian yang relevan merupakan hasil uraian sistematis tentang
hasil-hasil yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang relevan dan sesuai dengan
substansi yang diteliti. Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan
ada beberapa penelitian yang di anggap relevan dengan penelitian ini, diantaranya
adalah:
Febrianti Wulandari (2007) yang mengadakan penelitian tentang pengaruh
model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning-CTL) dalam
pemecahan masalah matematika terhadap prestasi belajar siswa. Dari penelitian
ini terbukti bahwa dengan metode pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching
and Learning) bisa meningkatkan prestasi belajar siswa.
18
Sedangkan Wening Wahyuni (2009) mengadakan penelitian tentang
peningkatan minat belajar IPA melalui pembelajaran kontekstual pada siswa kelas
V, membuktikan bahwa dengan metode pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching and Learning-CTL) bisa meningkatkan minat belajar siswa.
Penelitian diatas menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran dan
pengajaran berpengaruh terhadap prestasi siswa, sedangkan metode yang sesuai
dapat membantu keberhasilan siswa dalam meningkatkan hasil belajarmya.
2.6 Kerangka Pikir
Gambar 2.1 Skema Kerangka pikir
Pada pembahasan mengenai model Contextual Teaching and Learning di
atas, dikemukakan menurut Wening Wahyuni bahwa model pembelajaran
KONDISI
AWAL
Guru:
Belum menggunakan
model Contextual
Teaching and
learning dalam
pembelajaran.
Siswa: Siswa kurang
antusias dalam
mengikuti
pembelajaran dan
masih banyak siswa
yang mendapatkan
nilai di bawah KKM
TINDAKAN
Menggunaan model
Contextual Teaching
and learning dalam
pembelajaran
Siklus I Menggunakan
model Contextual
Teachingand Learning
dan media dalam
pembelajaran
Siklus II Menggunakan
model Contextual
Teaching and Learning
dan media dalam
pembelajaran(pada
kegiatan inti) KONDISI
AKHIR
Diduga dengan menggunakan model Contextual Teaching and
Learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada kelas V SDN Candirejo 02, pada mata pelajaran IPA
materi sifat-sifat cahaya.
19
kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah cara penyajian
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menemukan informasi sehingga dapat meningkatkan hasil belajar IPA.
Berdasar pada peneliti tersebut, penulis memilih model Contextual
Teaching and Learning untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN
Candirejo 02 Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016 pada mata pelajaran IPA.
Hal ini sesuai dengan karakteristik model Contextual Teaching and Learning
dalam pembelajaran sains yang menuntut pola pembelajaran aktif, kreatif, dan
komprehensif, karena (1) dapat menambah pengetahuan peserta didik melalui
lingkungan sekitar, (2) melatih peserta didik memiliki kesadaran sendiri
kebutuhan belajarnya, (3) belajar dari konteks untuk mengkaitkan konteks dengan
kehidupan nyata.
Dengan asas pembelajaran yang aktif digunakan dalam proses belajar
mengajar yang menuntut keaktifan partisipasi siswa secara optimal sehingga
siswa mampu menguasai pengetahuan dan keterampilan dengan lebih efektif dan
efisien.
2.7 Hipotesis Tindakan.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada kajian teori diatas, maka
dapat dikemukakan hipotesa tindakan dalam penelitian ini adalah “ melalui
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dapat meningkatkan
hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD Negeri Candirejo 02 Kecamatan
Tuntang Kabupaten Semarang tahun ajaran 2015/2016.