bab ii kajian pustaka 2.1 kondisi perairan kabupaten raja...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Perairan Kabupaten Raja Ampat
Secara administratif, Kabupaten Raja Ampat terletak pada (BPS Raja Ampat
2011, dalam Agustina, 2012):
Sebelah Utara : Samudera Pasifik, berbatasan dengan negara Palau
Sebelah Timur : Kabupaten Sorong, Provinsi Papua
Sebelah Selatan : Laut Seram
Sebelah Barat : Laut Seram dan wilayah perairan Kabupaten Halmahera
Tengah, Provinsi Maluku Utara
Kepulauan Raja Ampat terletak di bagian barat daya Samudera Pasifik,
bagian timur Indonesia dan bagian barat dari Halmahera. Raja Ampat adalah
bagian dari Bird’s Head Seascape dan berada di tengah-tengah kawasan Coral
Triangle – kawasan yang kaya akan keanekaragaman biota laut dan terumbu
karang – yang mencakup wilayah Indonesia, Timor Leste, Filipina, Malaysia
Timur (Borneo), Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Coral Triangle ini
sendiri adalah sebagai bagian dari usaha untuk menekan penurunan biodiversitas
di kawasan-kawasan tersebut. Oleh karena itu Kepulauan Raja Ampat dianggap
sebagai tempat yang cocok untuk konservasi laut.
Biodiversitas Kabupaten Raja Ampat sudah dibuktikan oleh The Nature
Conservancy dalam pengamatan udara mereka pada tahun 2006. Dalam data
mereka, terlihat bahwa Raja Ampat adalah sebuah daerah penting bagi kumpulan
beraneka ragam dari biota laut besar seperti paus/lumba-lumba yang menyebar di
sekitar Pulau Waigeo Selatan, Pulau Kofiau dan pulau-pulau kecil di lepas pantai
utara Misool. Juga, pari manta terlihat di beberapa lokasi tertentu seperti Ayau,
Selat Dampier, dan Misool bagian selatan. Selain dua biota tersebut, terdapat juga
dugong, penyu, hiu, juga gerombolan ikan umpan/tuna. Selain biodiversitas biota
laut, Raja Ampat dan BHS juga memiliki biodiversitas habitat maupun ekosistem
pesisir. Area pesisir dan pulau-pulau di BHS memiliki banyak macam tipe hutan –
sagu, pohon palem, hutan mangrove, dll (Mangubhai et al., 2012). Raja Ampat
7
juga memiliki keanekaragaman terumbu karang yang paling tinggi, dengan 553
spesies (Veron et al., 2009 dalam Mangubhai et al., 2012).
Berdasarkan informasi monitoring di Indonesia, ada 31 atau lebih jenis
paus dan lumba-lumba di perairan Indonesia. Banyaknya keanekaragaman
mamalia laut di perairan Indonesia ini berarti lebih dari sepertiga dari paus dan
lumba-lumba yang berada di dunia dapat ditemukan di perairan Indonesia, baik itu
yang tinggal menetap atau sekedar bermigrasi secara musiman (Kahn, 2007).
Gambar 1. Cetacea yang ditemukan di perairan Raja Ampat
(mammals-of-papua.webs.com, 2013)
Bird Head Seascape (BHS) memiliki batimetri yang cukup kompleks dan
kondisi oseanografi yang dinamis. Habitat cetacea di dalam kepulauan Raja
Ampat dan BHS termasuk ekosistem pesisir yang beranekaragam seperti
ekosistem terumbu karang, mangrove dan delta sungai utama (walaupun sampai
sekarang belum ditemukannya spesies cetacea yang hidup di ekosistem tersebut
hingga kini). Lingkungan laut terbuka yaitu termasuk pulau-pulau, seamounts,
ngarai, deep-sea trenches, fronts, dan peristiwa upwelling. Perairan ini sangat
dipengaruhi oleh equatorial counter currents, Indonesian throughflow (ITF), atau
yang biasa disebut dengan ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) – pertukaran massa
air antara Samudera Pasifik bagian barat dengan Samudera Hindia – dan juga
dipengaruhi oleh perubahan cuaca muson (Kahn, 2007).
8
Gambar 2. Daerah cakupan Bird’s Head Seascape (reefresilience.org, 2009)
Hampir seluruh pulau di Raja Ampat memiliki paparan benua (continental
shelf) yang sempit. Ini berarti cetacea dan habitat pelagis dan habitat laut dalam
(>1000m) banyak yang terletak di dekat pantai. Gabungan dari keanekaragaman
dan kedekatan habitat pesisir-laut lepas ini menghasilkan peluang untuk
konservasi dan manajemen mamalia laut (Kahn, 2007).
Kofiau dan Misool adalah salah dua dari enam Daerah Perlindungan Laut
(Marine Protected Areas) di Raja Ampat, yang ditetapkan dalam surat keputusan
Raja Ampat Nomor 27/2008, untuk mengelola kegiatan perikanan dan
sumberdaya laut lainnya. Luas area DPL Kofiau adalah 170.000 ha, terletak di
ujung bagian barat Papua dan terdiri dari 44 pulau kecil di dua pulau besar –
Pulau Kofiau di sebelah timur dan Pulau Boo di sebelah barat, sedangkan luas
DPL Misool adalah 366.000 ha, yang terletak pada bagian selatan dari Kabupaten
Raja Ampat. Memiliki luasan terumbu karang sebesar 12.391 ha dan hutan
mangrove seluas 5.238 ha di dalam DPL (Muhajir et al., 2012).
2.2 Cetacea
2.2.1 Morfologi
Paus, lumba-lumba, dan porpoise bisa dikelompokkan kedalam sebuah
ordo yaitu cetacea. Kata cetacea berasal dari bahasa latin yaitu ‘cetus’ yang berarti
9
hewan yang besar dan bahasa yunani yaitu ‘ketos’ berarti monster laut
(Carwadine, 1995 dalam Setiawan, 2004). Ordo cetacea dikelompokkan menjadi
tiga sub ordo, yaitu: archaeoceti, odonticeti, dan mysticeti. Tetapi Archaeoceti
adalah hewan purba – yang diduga berasal dari hewan darat berkaki empat yang
berevolusi (Carwadine, 1997). Mereka sudah punah, meninggalkan sub ordo
odonticeti (bergigi) dan mysticeti (baleen) saja yang masih ada di bumi.
Semua cetacea merupakan hewan yang hidup di air dan mempunyai
karakteristik sebagai berikut: memiliki flippers (sirip anterior) berbentuk seperti
dayung; tidak mempunyai jari atau cakar; tidak mempunyai sirip belakang; ekor
lateral dan menghasilkan fluks horizontal pada ujungnya (Rice, 1967) seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut Carwadine et al. (1997), ciri-ciri umum
yang terdapat pada cetacea yaitu mereka memiliki bentuk bagian tubuh yang
berbeda dengan kebanyakan mamalia yang lain. Kebanyakan mamalia memiliki
lubang hidung yang menghadap kedepan, sedangkan cetacea memiliki lubang
hidung diatas kepala mereka. Lebih ke belakang, terdapat cekungan disamping
kepala yang merupakan posisi dari kuping namun tidak terdapat daun telinga.
Cetacea memiliki leher pendek yang tidak fleksibel dan pergerakan yang terbatas.
Di belakang kepala terdapat lengan depan yang berbentuk seperti sirip tanpa jari
dan lengan. Bentuk seperti ikan yang terdapat pada bagian tubuh cetacea adalah
sirip dorsal dan sirip ekor (fluks). Sirip dorsal berguna untuk kestabilan dan
pengaturan panas tubuh. Pada beberapa spesies, sirip dorsalnya kecil atau bahkan
tidak dijumpai sama sekali. Tidak dapat dijelaskan apakah perbedaan ini
berpengaruh terhadap kemampuan berenang mereka. Selain itu cetacea tidak
memiliki sisik, melainkan lapisan lemak dibawah kulit mereka. Untuk lebih
jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 4.
Menurut Reseck (1998), satu perbedaan mendasar yang membedakan
antara ikan dengan cetacea adalah dari bentuk tubuh yaitu pada ekor, dimana ekor
mamalia laut adalah horizontal dan ketika berenang bergerak keatas dan kebawah
dan dikombinasikan sedikit dengan gerakan memutar, sedangkan pada ikan ekor
mereka berbentuk vertikal dan bergerak dari sisi ke sisi ketika berenang.
10
Gambar 3. Morfologi dan bagian-bagian tubuh cetacea sub ordo Mysticeti dan
Odonticeti (Jefferson et al., 2003 dalam Setiawan, 2004)
2.2.2 Habitat
Selain beruang kutub, sapi laut (manatee) Amazon, dan beberapa jenis
paus baleen, semua mamalia laut memerlukan makan hampir sepanjang tahun;
hingga distribusi mereka pun biasanya dipengaruhi oleh distribusi makanan
mereka. Akan tetapi, setiap cetacea memiliki pemilihan habitat yang berbeda.
Contohnya, lumba-lumba gigi kasar (Steno bredanensis). Mereka biasanya
ditemukan di perairan tropis yang dalam dan hangat diseluruh dunia. Makanan
mereka termasuk ikan (berbagai macam ukuran) dan cephalopoda (cumi-cumi dan
gurita) (Reeves et al., 2002).
Contoh lainnya adalah lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus),
salah satu jenis yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia. Ini dikarenakan
mereka dapat ditemukan di lautan, serta perairan sekitarnya dan juga dapat
ditemukan pada perairan tropis maupun perairan pada lintang yang tinggi. Mereka
dapat menempati banyak habitat dan mungkin jenis cetacea yang paling dapat
menyesuaikan diri (adaptasi). Beberapa populasi mereka yang ditemukan di
pesisir sepanjang benua dan sekitar pulau dan atol. Mereka terkadang berpindah,
atau tinggal di teluk, estuaria, dan muara sungai. Beberapa populasi ditemukan
jauh ke lepas pantai. Di Amerika Utara, lumba-lumba hidung botol biasanya
11
ditemukan dimana suhu permukaan laut berkisar antara 10 – 32oC (Reeves et al.,
2002).
Gambar 4. Wilayah sebaran lumba-lumba hidung botol
(commons.wikimedia.org, 2007)
Paus sperma (Physeter macrocephalus) (Lampiran 1), mereka dapat
ditemukan di kepadatan tertinggi dalam perairan ngarai yang dalam, di dekat
ujung-ujung banks, dan sekitar continental slope. Walaupun mereka sering
ditemukan di lepas pantai, tapi mereka juga dapat ditemukan di dekat pantai
dimana sebuah pulau atau continental shelf sempit dan memiliki perairan yang
dalam. Ada sedikit perbedaan dalam pola migrasi jantan dan betina dalam spesies
ini. Jantan dewasa akan bermigrasi ke lintang yang lebih tinggi untuk mencari
makan, sedangkan semua umur dan kedua jenis kelamin terdistribusi di perairan
tropis maupun yang lebih dingin (Reeves et al., 2002).
2.2.3 Rantai Makanan
Fitoplankton membentuk rantai makanan paling rendah di lautan dan
hampir seluruh kehidupan di laut bergantung kepada mereka, baik itu langsung
maupun tidak langsung (Yankee Fleet, 2013).
12
Gambar 5. Rantai makanan umum cetacea (yankeefleet.com, 2013)
Pada paragraf-paragraf sebelumnya sudah dijelaskan bahwa perairan Raja
Ampat memiliki beberapa daerah upwelling. Upwelling ini dapat menyebabkan
produktivitas primer yang tinggi yang menjadi dasar rantai makanan yang mampu
mendukung ikan-ikan pelagis besar dan cetacea (Huffard, et al., 2010). Fenomena
upwelling ini dapat berubah-ubah setiap musimnya dan tidak menentu, maka dari
itu cetacea harus beradaptasi akan pola distribusi makanan mereka dan strategi
migrasi untuk mendapatkan makanan tersebut (Berta & Sumich, 1999 dalam
Walker, 2005).
Distribusi paus pada musim panas bergantung kepada kepadatan makanan
mereka – krill. Konsentrasi krill yang padat berada dimana arus yang kaya akan
nutrien mengarah ke dekat pesisir, menghasilkan rantai makanan yang kaya akan
plankton (Katona et al., 1993 dalam Walker, 2005). Krill termasuk kedalam
makroplankton atau mikronekton yang berbentuk seperti udang. Selain cetacea,
berbagai macam burung dan cumi-cumi juga memakan udang kecil ini (Perrin et
al., 2008).
2.3 Sub Ordo Odonticeti
Sub ordo ini merupakan jenis cetacea yang memiliki gigi, tidak seperti sub
ordo mysticeti, yang giginya terbentuk dari bahan keratin dan dikenal dengan
nama baleen, terdapat pada bagian tepi langit-langit mulut sebagai pengganti gigi
(Ayers, 2001 dalam Subhan et al., 2010). Gigi ini berfungsi sebagai alat untuk
memangsa makanan, baik itu merupakan ikan atau cumi-cumi (Carwadine, 1995
13
dalam Subhan et al., 2010). “Jumlah dan bentuk dari giginya bervariasi. Golongan
paus bergigi memiliki susunan gigi yang berhubungan dengan kebiasaan makan.
Paus pemakan cumi-cumi seperti paus sperma (Physeter macrocephalus)
memiliki gigi berukuran kecil cenderung tidak tampak dan jumlahnya sedikit
berkisar antara 20-25 gigi” (Evans, 1990 dalam Subhan et al., 2010).
Mereka memiliki satu blowhole diatas kepala mereka, sedangkan paus
baleen memiliki dua. Sebagai adaptasi terhadap kemampuan mereka berekolokasi,
odonticeti memiliki kerangka tulang yang asimetris. Organ yang mengandung
lemak yang biasa disebut melon dikepala mereka berguna seperti lensa untuk
memfokuskan gelombang suara untuk ekolokasi. Mereka tidak mempunyai pita
suara; suara ‘klik’ yang mereka hasilkan berasal dari sistem blowhole mereka
(Hooker, 2009 dalam Perrin et al., 2008)
(a) (b) Gambar 6. (a) Gigi pada sub ordo mysticeti(camashilli.blogspot.com, 2010)
(b) Gigi pada sub ordo odonticeti (schule-bw.de, 2009)
Klasifikasi cetacea sub ordo odonticeti menurut Jefferson et al. (1993) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Cetacea
Sub Ordo : Odonticeti
14
Famili : Delphinidae
2.4 Faktor Oseanografi Yang Mempengaruhi Distribusi Cetacea
2.4.1 Batimetri
Batimetri merupakan unsur serapan yang secara sederhana dapat diartikan
sebagai kedalaman laut. Dari Kamus Hidrografi yang dikeluarkan oleh Organisasi
Hidrografi Internasional (International Hydrographic Organization, IHO) tahun
1994, istilah batimetri dalam bahasa aslinya adalah “bathymetry” memiliki makna
determination of ocean depths. Batimetri adalah penentuan kedalaman laut dan
hasil yang diperoleh dari analisis data kedalaman merupakan konfigurasi dasar
laut (Atlas Nasional Indonesia).
Perilaku mencari makan oleh lumba-lumba telah ditemukan lebih tinggi di
area-area yang biasanya memang dilewati oleh para lumba-lumba. Dapat dilihat
adanya hubungan yang jelas antara pencarian makan (feeding events) dengan
karakteristik batimetri di perairan Moray Firth, Skotlandia. Beberapa perilaku
makan terjadi di perairan yang dalam dan curam saat bulan Juni dan Juli. Hasil ini
mendukung hipotesis yang mengatakan bahwa perbedaan distribusi yang
ditunjukan oleh para lumba-lumba berhubungan dengan perilaku mencari atau
kesempatan makan, dan bahwa karakteristik batimetri kemungkinan besar sebagai
faktor dalam perilaku makan mereka (Hastie et al., 2004).
2.4.2 Suhu Permukaan Laut
“Suhu di laut merupakan faktor yang penting bagi kehidupan organisme di
lautan, karena suhu dapat mempengaruhi metabolisme maupun
perkembangbiakan dari organisme laut. Suhu permukaan laut sangat penting
untuk diketahui karena sebaran suhu permukaan laut dapat memberikan informasi
mengenai front, upwelling, arus, daerah tangkapan ikan, cuaca/iklim, pencemaran
minyak, dan pencemaran panas” (Susilo, 2000).
Menurut Tomascik (1997) dalam Satyawardhana (2006), suhu permukaan
laut rata-rata di perairan Indonesia berkisar antara 28-31oC. Untuk kasus tertentu
seperti adanya upwelling, nilai suhu permukaan laut dapat turun menjadi 25oC.
15
hal ini disebabkan oleh naiknya massa air yang berada di bawah (bersuhu rendah)
ke permukaan laut.
Pengaruh suhu permukaan laut terhadap distribusi cetacea sub ordo
odonticeti telah dibuktikan oleh Benson et al. (2002). Mereka mengatakan bahwa
perubahan drastis kondisi oseanografi yang diakibatkan oleh peristiwa El Nino di
California bagian tengah membuat jumlah cetacean odonticeti bertambah.
Penambahan ini dikarenakan banyaknya spesies air hangat yang masuk, terutama
lumba-lumba common yang bisa mencapai 500-1000 dalam kelompok. Studi
sebelumnya di sepanjang pesisir California menemukan bahwa odonticeti
mengubah pola distribusi mereka sejalan dengan perubahan musim (Forney dan
Barlow, 1998 dalam Benson et al., 2002). Suhu permukaan laut adalah prediksi
yang sangat berpengaruh terhadap lumba-lumba common di California pada tahun
1996 hingga 1999 (Jefferson, 1991 dalam Benson et al., 2002).
Lumba-lumba humpback biasanya ditemukan pada perairan yang
bertemperatur diatas 15oC, sedangkan lumba-lumba hidung botol dapat ditemukan
pada perairan bersuhu 10 hingga 32oC (Reeves et al., 2002). Pada penelitian
Swartz et al. (2002), Stenella attenuata ditemukan pada suhu permukaan laut
antara 25.5 – 26.8oC dan Stenella longirostris pada suhu 26.5 – 27.0oC.
Berdasarkan studi ekologi Huffard et al. (2012), di beberapa tempat di
perairan Raja Ampat seperti Selat Dampier, Selat Sagewin dan Misool bagian
tenggara memiliki area upwelling, dan ini mengakibatkan suhunya dapat
mencapai 19.3oC. Mereka juga mendapatkan bahwa perairan Bird’s Head
Seascape (BHS) mengalami pendinginan suhu permukaan laut dari April hingga
Agustus, dan puncaknya yaitu pada bulan Juli/Agustus. Suhu permukaan laut rata-
rata Raja Ampat adalah 29oC dengan rangenya adalah 19.3 hingga 36oC
(Mangubhai et al., 2012).
2.4.3 Arus
“Arus laut merupakan gerakan massa air laut dari suatu tempat ke tempat
lain. Arus laut tercipta karena adanya tiupan angin yang bertiup melintasi
permukaan laut. Arus laut pada hakikatnya timbul akibat pemanasan yang tidak
16
merata pada permukaan bumi. Pemanasan yang tidak merata ini menimbulkan
perbedaan tekanan atmosfer yang mengakibatkan gerakan udara (angin) dari
tekanan tinggi ke rendah. Angin yang bertiup diatas permukaan laut menimbulkan
perbedaan arus dan gelombang laut. Pemanasan yang tidak merata ini juga
menimbulkan perbedaan densitas air laut dalam arah horizontal yang pada
gilirannya mengakibatkan terbentuknya arus laut” (Hadi, 2002 dalam Darma,
2012).
Dalam berbagai cara makan cetacea yang diuraikan oleh Shane (1990),
salah satunya adalah bahwa mereka (lumba-lumba) terkadang berada di
permukaan air saat melawan arus pasang surut yang kuat dan tetap berada di satu
tempat kecuali ketika sedang menangkap dan mengejar ikan. Tingkah laku makan
ini disebut sebagai cara makan melawan arus (against current feeding).
“Sesuai dengan letaknya, pola arus di perairan Raja Ampat dipengaruhi
oleh massa air dari Samudera Pasifik Barat (Western Pacific Ocean) yang
bergerak dari arah timur menuju barat laut dan sejajar dengan daratan Papua
bagian utara” (COREMAP II, 2007). “Didapatkan bahwa arus di perairan Raja
Ampat didominasi oleh pengaruh angin, namun untuk wilayah teluk dan pulau-
pulau kecil yang berdekatan, pola arusnya lebih dipengaruhi oleh pasang surut”
(Mambrisaw et al., 2006 dalam COREMAP II, 2007). Mereka pun mendapatkan
pengukuran untuk kecepatan arus di perairan Raja Ampat yaitu sekitar 0.11 m/det.
2.4.4 Klorofil-a
Klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang
ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama
makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer adalah laju pembentukan
senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik
sehingga biasanya produktivitas primer dianggap padanan dari fotosintesis
(Nybakken, 1982 dalam Haikal, 2012).
Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasi pada perairan pantai dan
pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi
klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrient
17
dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi
klorofil-a di lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrient dari daratan secara
langsung (Presetiahadi, 1994 dalam Rizal, 1996).
Nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg/
m3. Daerah-daerah dengan nilai klorofil tinggi mempunyai hubungan erat dengan
adanya proses penaikan massa air (upwelling) (Nontji, 2002 dalam Rizal, 1996).
2.5 Migrasi Cetacea Di Indonesia
2.5.1 Lumba-lumba
Lumba-lumba maupun paus adalah mamalia yang hidupnya bermigrasi,
baik itu dekat maupun jauh. Dalam penelitian Rudolph et al. (1997), dapat terlihat
kemungkinan jalur migrasi yang digunakan oleh lumba-lumba dan paus. Pada
bulan Januari, lumba-lumba banyak ditemukan di perairan Indonesia bagian
timur, yaitu di Laut Banda, Laut Sawu, Laut Maluku dan sebagian juga ditemukan
di perairan Pulau Halmahera bagian utara. Bulan Februari, lumba-lumba juga
ditemukan di perairan Laut Seram dan Laut Banda.
Bulan April lumba-lumba bergerak ke Indonesia bagian barat dimana
mereka ditemukan di perairan sepanjang Laut Jawa dan Selat Malaka, dan
beberapa juga ditemukan di perairan Selat Sunda. Lumba-lumba pada bulan Mei
kembali lagi ke Indonesia bagian timur. Mereka ditemukan di Laut Sulawesi dan
perairan sekitar Pulau Yamdena, bagian barat laut Laut Arafuru. Bulan Juni,
lumba-lumba ditemukan tidak hanya di Indonesia bagian timur saja, tetapi
beberapa juga ditemukan di Indonesia bagian barat, yaitu di Selat Sunda dan Laut
Jawa. Pada Indonesia bagian timur mereka ditemukan di Laut Sawu, Pulau
Lembata, Taman Nasional Komodo di Flores, Selat Wetar, bagian utara Irian
Jaya, Laut Maluku dan juga perairan Teluk Weda (Rudolph et al., 1997).
Bulan Juli lumba-lumba banyak ditemukan di perairan sekitar Lamalera,
Laut Sawu dan Selat Ombai. Lumba-lumba masih berada di Indonesia bagian
timur pada bulan Agustus dan September. Bulan Agustus mereka ditemukan di
Taman Nasional Komodo, Laut Sawu, Raja Ampat dan juga Laut Banda,
sedangkan pada bulan September mereka ditemukan di perairan Laut Sawu dan
18
Laut Seram. Bulan Oktober lumba-lumba ditemukan di Laut Flores dan Laut
Arafuru, sedangkan pada bulan November mereka ditemukan di Laut Jawa dan
utara Laut Banda (Rudolph et al., 1997).
2.5.2 Paus
Bulan Januari paus ditemukan di Indonesia bagian timur yaitu di perairan
Selat Wetar, Teluk Weda, dan bagian utara Pulau Morotai kecuali satu kelompok
paus yang ditemukan di perairan Singapura. Pada bulan Maret paus bergerak
kearah barat, dimana mereka ditemukan di bagian timur laut Bali yang juga
masuk ke dalam perairan Selat Ampana. Bulan Mei mereka tetap bergerak kearah
barat. Mereka ditemukan di sebelah tenggara Kepulauan Riau (Rudolph et al.,
1997).
Hampir seluruh kelompok paus pada bulan Juni ditemukan kembali lagi ke
perairan Indonesia bagian timur dimana mereka ditemukan di Laut Maluku,
perairan Balikpapan, Laut Sawu, Laut Banda, dan juga sebelah timur Pulau Alor.
Pada bulan Juli mereka hanya ditemukan di perairan sekitar Laut Sawu dan Selat
Ombai, sedangkan pada bulan Agustus paus bergerak lagi ke perairan Indonesia
bagian barat yaitu di perairan Selat Sunda. Bulan September dan Oktober paus
ditemukan di sekitar perairan Laut Flores, bagian utara Laut Sawu dan bagian
timur Pulau Alor (Rudolph et al., 1997).