bab ii kajian pustaka 2.1 psoriasis 2.1.1 definisi ii.pdf · 6 bab ii kajian pustaka 2.1 psoriasis...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Psoriasis
2.1.1 Definisi
Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronis dengan karakteristik berupa
plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis, dan berwarna putih
keperakan (Gudjonsson dan Elder, 2012). Penyakit ini bersifat kronis dan rekuren,
dimana pasien akan terus mengalami periode remisi dan eksaserbasi secara
bergantian (Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Psoriasis dikenal sebagai penyakit
autoimun paling prevalen yang disebabkan oleh aktivasi berlebihan dari sistem
imunitas seluler (Monteleone dkk., 2011; Krueger dan Bowcock, 2014).
2.1.2 Epidemiologi
Psoriasis menyerang sekitar 2% - 3% populasi dunia, dimana laki-laki dan
perempuan memiliki kemungkinan terkena yang sama besar (Kuchekar dkk.,2011;
Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Ras Asia memiliki angka prevalensi psoriasis
yang cukup rendah yakni sekitar 0,4%. Penelitian yang menginvestigasi
prevalensi psoriasis antara ras African-American dibanding ras white-American
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (1,3% vs. 2,5%). Psoriasis jarang
muncul pada usia dibawah 10 tahun dan usia puncaknya adalah sekitar 15 – 30
tahun (Gudjonsson dan Elder, 2012). Berdasarkan data kunjungan pasien di
Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode Januari –
Desember 2009, tercatat 156 kasus baru psoriasis dari 10.856 kunjungan (1,4%).
7
Psoriasis dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan karena adanya
kemungkinan terkena psoriatis artritis dan berbagai penyakit sistemik lainnya
(Mak dkk., 2009). Sekitar 10% - 30% pasien psoriasis berisiko terkena psoriasis
artritis (Krueger dan Bowcock, 2014). Selain risiko morbiditas yang meningkat,
pasien dengan derajat keparahan tinggi juga berisiko untuk mengalami
peningkatan mortalitas, dimana pasien psoriasis diteliti meninggal lebih cepat
yaitu laki-laki 3,5 tahun dan wanita 4,4 tahun dibanding subjek yang sehat (Mak
dkk., 2009). Studi longitudinal menunjukkan remisi spontan dapat terjadi pada
sekitar sepertiga pasien psoriasis dengan frekuensi yang bervariasi (Gudjonsson
dan Elder, 2012).
2.1.3 Faktor Pencetus
Psoriasis dianggap sebagai penyakit autoimun, namun antigen pemicunya hingga
kini belum dapat diidentifikasi. Faktor predisposisi genetik yang kompleks
ditambah dengan faktor pemicu dari lingkungan dapat menyebabkan timbulnya
penyakit ini. Belakangan telah dilaporkan bahwa fenomena genetik yang
bertanggung jawab atas timbulnya psoriasis adalah mutasi pada gen caspase
recruitment domain 14 (CARD14) yang berfungsi mengkode protein untuk
fosforilasi BCL10, promotor apoptosis, dan mengaktivasi NF-kB (Abdelnoor,
2013).
Faktor lingkungan yang dapat memicu psoriasis antara lain adalah infeksi
viral dan bakterial seperti HIV dan faringitis streptokokal. Trauma fisik (respons
Koebner), tingkat stres yang berlebihan, obesitas, serta konsumsi obat-obatan
seperti beta bloker, ACE inhibitor, lithium dan hidroksiklorokuin juga telah
8
diasosiasikan dengan timbulnya psoriasis (Nograles dkk., 2010; Abdelnoor,
2013).
2.1.4 Patogenesis
Imunopatogenesis psoriasis sangatlah kompleks dan melibatkan berbagai
perubahan pada sistem imun innate (keratinosit, sel dendritik, histiosit, neutrosit,
mastosit, sel endotel) dan sistem imun didapat (limfosit T). Aktivasi sel sistem
imun innate menghasilkan growth factor, sitokin dan kemokin yang berpengaruh
pada sistem imun didapat dan sebaliknya (Sanchez, 2010).
Pada fase awal, terjadi aktivasi sel-sel sistem imun innate (sel dendritik
dan keratinosit) oleh berbagai faktor lingkungan seperti trauma mekanis, infeksi,
obat-obatan maupun stres emosional. Keratinosit kemudian melepaskan sitokin
(IL-1 dan TNF-α) serta protein syok termis. Senyawa ini mengaktivasi sel
dendritik (sel langerhans dan sel dendritik residen) pada epidermis dan dermis.
Antigen agen infeksius yang berikatan dengan toll-like receptor pada DC
(dendritic cell) dan keratinosit juga dapat mengaktivasi sel-sel tersebut, yang
kemudian melepaskan berbagai mediator inflamasi (Sanchez, 2010).
9
Gambar 2.1 Protein utama yang dihasilkan oleh sel dentritik (CD) dan sel
dendritik myeloid tipe inflamatori (CDi), limfosit Th tipe 1 (Th1), limfosit Th tipe
17 (Th17) dan keratinosit (K) pada psoriasis. FG: growth factor; iNOS: inducible
nitric oxide synthase (Sanchez, 2010).
Setelah inisiasi kaskade inflamasi, disregulasi jalur sinyal IL-23 dapat
memicu ekspansi dan aktivasi sel T tipe Th17 dan Th22 (Gambar 2.2). Efek
produk sitokin mereka, seperti halnya TNF dan IFN-γ pada keratinosit, dapat
menginduksi sirkuit inflamatori kompleks yang menstimulasi proliferasi
keratinosit, proliferasi vaskuler, dan akumulasi serta aktivasi leukosit lanjutan
pada lesi psoriasis. Variasi genetik pada lokus IL-4/IL-13 dapat menyebabkan
berkurangnya respons Th2 dan meningkatkan aktivitas Th17/Th1. Berkurangnya
efisiensi regulator negatif NF-κB, TNFAIP3 dan TNIP1 dapat mempertahankan
inflamasi yang diinisiasi oleh TNF, IL-1, ligasi TLR, dan IL-17 pada individu
yang rentan (Nograles dkk., 2010).
10
Gambar 2.2 Model interaksi imun pada lesi psoriasis. Antigen-presenting cell
(APC) memproduksi IL-23 dan menstimulasi sel T tipe Th17 dan Th22 (dan
mungkin juga sel Tc17) untuk melepaskan IL-17 dan IL-22. IL-17 memicu
keratinosit untuk meningkatkan kemokin proinflamasi yang menarik sel T,
neutrofil dan sel mononuklear pada lesi. IL-22 menyebabkan akantosis epidermal.
Kedua sitokin tersebut meningkatkan produksi anti-microbial protein (AMP).
IFN-γ dari sel Th1 memodulasi gen responsif KC, dan menstimulasi APC untuk
melepaskan IL-23 (Nograles dkk., 2010).
Adanya faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, obat,
sinar ultraviolet, stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap
psoriasis [PSORS1, late cornified envelope-3C1 (LCE3C1) dan, late cornified
envelope-3B (LCE3B), interleukin (IL)-23R, IL-23A, IL4/IL13] akan memicu
pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37. Komplek ini akan memicu sintesa
interferon-α (IFN-α) oleh sel dendritik plasmasitoid dan maturasi sel dendritik
myeloid menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur akan migrasi ke
limfonodi dan memproduksi berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan
ekspansi sel T naif menjadi sel T helper 1 atau Th1 (seperti IL-12), sel Th17
(seperti IL-6, tumor growth faktor- β1 atau TGF-β1 dan IL-23), sel Th22 (seperti
TNF-α, IL-6). Baik sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1(tumor necrosis faktor- α
atau TNF-α, IFN-γ, IL-21) dan Th17 ( IL-17A, IL-17F, IL-22, IL-21) akan
11
menstimulasi proliferasi keratinosit untuk memproduksi CCL20, suatu kemokin
atraktan yang mengekspresikan reseptor CCR6 dari sel dendritik dan sel T, yang
akan memicu proliferasi keratinosit. Keratinosit memproduksi sitokin inflamasi
seperti IL-1β, IL-6 dan TNF-α yang berperan pada meningkatnya aktivasi sel
dendritik dan ekspansi inflamasi lokal. Tumor necrosis faktor-α akan menginduksi
ekspresi molekul adhesi seperti intracelluler adhesion molecules-1 (ICAM-1) dan
vascular endothelial growth faktor (VEGF) pada kulit, yang akan mengatur lalu
lintas sel. Selain itu TNF-α dapat meningkatkan ekspresi IL-8 yang merupakan
salah satu anggota dari kemokin, dimana pada keratinosit berperan meningkatkan
infiltrasi sel T ke dalam epidermis. Secara singkat pembentukan lesi psoriasis tipe
plak melalui 3 langkah berbeda yaitu aktivasi sel T, migrasi sel T ke dalam lesi
kulit, pelepasan sitokin yang diaktivasi oleh sel T pada kulit (Monteleone
dkk.,2011).
Gambar 2.3 Patogenesis Psoriasis. Adanya faktor pencetus dari lingkungan
akan memicu pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37 (Monteleone
dkk.,2011).
12
Dalam studi imunohistokimia, ditemukan bahwa keratinosit pada psoriasis
lesional dan nonlesional mengekspresikan kadar NGF (nerve growth factor) yang
tinggi dibandingkan kontrol. Fantini dkk mengamati tingginya kadar NGF pada
lesi psoriasis. Nerve growth factor sering dihubungkan dengan peningkatan nNOS
(neuronal nitic oxide synthase) yang diisolasi dari sel neuron namun bekerja tidak
spesifik pada sel-sel neuron saja. Beberapa fungsi NGF sesuai dengan proses
inflamasi dan proliferasi pada psoriasis. Nerve growth factor memicu proliferasi
keratinosit dan mencegah apoptosis keratinosit. Nerve growth factor juga
mendegranulasi sel-sel mast dan memicu migrasi sel-sel ini, dimana kedua proses
ini terjadi pada awal perkembangan lesi psoriasis. Selanjutnya NGF mengaktivasi
limfosit T dan menarik infiltrat sel-sel inflamasi. Nerve growth factor diketahui
menginduksi ekspresi sitokin potensial berupa RANTES pada keratinosit.
RANTES merupakan kemotaksis bagi sel T memori CD4+ dan mengaktivasi sel-
sel T memori. Peningkatan kadar RANTES, suatu keratinosit psoriatik dan β-
kemokin. Penigkatan kadar RANTES dipicu oleh NGF juga berkontribusi untuk
aktivasi sel-sel T (Raychaudhuri dan Farber, 2000).
Peningkatan ekspresi NGF pada kulit non lesi kemungkinan berperan
dalam terjadinya fenomena reaksi Köbner. Peningkatan NGF pada kulit yang luka
telah terbukti. Proliferasi keratinosit yang dipicu adanya perlukaan menghasilkan
kadar NGF yang lebih tinggi pada kulit non lesi dibandingkan kulit kontrol.
Peningkatan NGF memicu respon inflamasi berupa proliferasi saraf dan
peningkatan neuropeptida seperti substansi P (SP) dan calcitonin gene-related
13
peptide (CGRP). Neuropeptida dan NGF memicu proliferasi keratinosit
(Raychaudhuri dan Farber, 2000).
Gambar 2.4 Peranan ekspresi NGF dalam patogenesis psoriasis
(Raychaudhuri dan Farber, 2000).
Peristiwa stres dapat mengubah kadar SP dalam sistem saraf pusat dan
tepi. Pada model hewan, telah dilaporkan bahwa stres dapat meningkatkan kadar
SP pada kelenjar adrenal dengan mangaktivasi saraf autonom desending dan
merangsang pelepasan neuropeptida. Oleh karena itu inflamasi neurogenik
berperan penting dalam berkembangnya lesi psoriatik serta bertanggungjawab
pada eksaserbasi psoriasis selama kejadian stres selama hidup (Raychaudhuri dan
Farber, 2000).
2.1.5 Gambaran Klinis
Lesi klasik psoriasis berbentuk plak eritematosa berbatas tegas, meninggi, dengan
permukaan yang dilapisi skuama keperakan (Gudjonsson dan Elder, 2012; James
14
dkk.,2000). Ukuran lesi dapat bervariasi mulai dari papul pinpoint hingga plak
multipel yang menutupi sebagian besar tubuh. Dibawah skuama kulit pasien
tampak berwarna kemerahan mengkilat yang homogen dan ketika skuama
diangkat akan tampak titik perdarahan yang muncul karena trauma pada kapiler
yang dilatasi disebut tanda Auspitz (Gambar 2.5). Erupsi psoriasis biasanya
bersifat simetris, namun terkadang erupsi unilateral dapat dijumpai. Fenotipe
psoriatik yang berbeda-beda dapat muncul pada satu pasien yang sama
(Gudjonsson dan Elder, 2012).
Gambar 2.5 Tanda Auspitz (kiri) dan Fenomena Koebner (kanan). Perhatikan
adanya titik perdarahan setelah skuama diangkat. Fenomena Koebner yang
terjadi pada pasien setelah terbakar sinar matahari. Perhatikan bahwa lesi tidak
muncul pada area yang tertutup/tidak terbakar (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Fenomena Koebner (dikenal pula dengan sebutan respons isomorfik)
adalah induksi psoriasis secara traumatik pada kulit non-lesional (Gambar 2.5).
Fenomena ini sering muncul pada periode eksaserbasi dan selalu mengenai lokasi
trauma atau tidak sama sekali (all-or-none phenomenon). Reaksi Koebner
biasanya muncul 7-14 hari setelah trauma dan sekitar 25% pasien pasti pernah
mengalami reaksi ini, yang meningkat menjadi 76% jika ada faktor pemicu
15
tambahan seperti stres emosional, infeksi, dan reaksi akibat obat. Fenomena
Koebner tidak spesifik untuk psoriasis, namun dapat menjadi petunjuk yang
berguna dalam mendiagnosis psoriasis (Sanchez, 2010).
Psoriasis memiliki manifestasi klinis yang bervariasi. Bentuk yang umum
dijumpai yang disebut “plak psoriasis vulgaris” yang ditemui pada lebih dari 80%
pasien dan ditandai oleh plak eritematosa berskuama, yang berlokasi di siku, lutut,
kulit kepala, dan pantat (Gambar 2.6). Ukuran plak bervariasi, mulai dari lesi
minimal hingga melibatkan hampir seluruh permukaan kulit. Psoriasis dapat
menyebabkan morbiditas dan pengurangan kualitas hidup yang signifikan, yang
umumnya disebabkan oleh eksaserbasi klinis dan lesi yang parah pada area kulit
yang tidak tertutup, manifestasi sistemik, serta efek samping obat (Monteleone
dkk., 2011).
Gambar 2.6 Lesi Klasik Psoriasis Vulgaris (Gudjonsson dan Elder, 2012).
16
Luasnya daerah yang terlibat bervariasi antara satu pasien dengan lainnya.
Kelainan kuku ditemukan pada 40-50 persen kasus dan jarang dijumpai jika tidak
ada penyakit kulit di tempat lain. Kelainan kuku paling sering berupa pitting nail
yaitu cekungan bervariasi mulai dari 0,5-2,0 mm, dapat tunggal atau multipel dan
lebih sering mengenai jari-jari tangan dibanding kaki. Selain pitting nail, kelainan
pada kuku yang jarang dijumpai adalah onikolisis, perubahan warna, penebalan
kuku dan distrofi (Langley dan Ellis, 2004).
Psoriasis gutata (dari kata latin gutta yang berarti tetes) ditandai dengan
erupsi berupa papul kecil dengan ukuran diameter 0,5-1,5 cm pada badan bagian
atas dan ekstremitas bagian proksimal. Biasanya muncul pada usia muda dan
sering dijumpai pada orang dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki
hubungan yang paling kuat dengan HLA-Cw6 dan adanya infeksi streptokokus
pada tenggorokan sering kali mendahului atau bersamaan dengan terjadinya
psoriasis gutata. Meksipun begitu, pengobatan antibiotik tidak memberikan
manfaat maupun memperpendek masa erupsi. Pasien dengan riwayat psoriasis
plak kronis dapat timbul lesi gutata, dengan atau tanpa memperburuk kondisi dari
lesi plak kronis yang yang sudah ada. Psoriasis gutata akut biasanya sembuh
dengan sendirinya, membaik dalam 3 sampai 4 bulan. Suatu studi menyatakan
bahwa hanya sepertiga individu dengan psoriasis gutata berkembang menjadi plak
psoriasis klasik (Raychaudhuri dan Farber, 2000; Camisa, 2004).
Psoriasis inversa (fleksural) yaitu lesi psoriasis dapat muncul pada daerah
lipatan kulit seperti aksila, regio genito-krural, serta leher. Skuama yang ada lebih
minimal atau tidak ada. Lesi berupa eritema batas tegas dan mengkilap yang
17
selalu terletak pada daerah yang memiliki kontak kulit dengan kulit. Proses
berkeringat terganggu pada daerah yang terkena (Griffiths dan Barker, 2010).
Psoriasis eritroderma menunjukkan gambaran klinis berupa erupsi yang
meluas hingga seluruh tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan, serta
ekstremitas. Walaupun semua gejala psoriasis dapat muncul namun gambaran
klinis yang ada didominasi oleh eritema. Skuama yang muncul berbeda dengan
skuama pada psoriasis plak kronis. Yang tampak hanya skuama superfisial bukan
skuama yang putih dan tebal. Pasien dengan psoriasis eritroderma ini kehilangan
panas berlebihan akibat vasodilatasi generalisata dan dapat menyebabkan
hipotermi. Pasien menggigil sebagai usaha untuk meningkatkan temperatur tubuh.
Kulit penderita psoriasis seringkali hipohidrotik akibat sumbatan kelenjar keringat
dan sangat berisiko mengalami hipertemi saat udara panas. Edema pada
ekstremitas bawah sering dijumpai sebagai akibat vasodilatasi dan hilangnya
protein dari pembuluh darah ke jaringan (Langley dan Ellis, 2004).
Psoriasis pustulosa juga merupakan erupsi psoriasis akut. Pasien mengeluh
panas badan, pustul kecil steril monomorfik, nyeri dan sering dipicu oleh infeksi
kambuhan atau penghentian mendadak dari steroid topikal superpoten atau
sistemik. Hal ini dapat terlokalisir pada telapak tangan maupun kaki (psoriasis
palmoplantar) atau dapat menyeluruh dan berpotensi mengancam nyawa
(Sanzhes, 2010).
Sebopsoriasis mempunyai gambaran klinis berupa plak eritema dengan
skuama yang berminyak lokalisata di daerah seboroik seperti kepala, glabela,
lipatan nasolabial, perioral, dan area presternal serta area intertriginosa. Bila tidak
18
dijumpai lesi psoriasis di tempat lain maka sulit untuk kita membedakannya
dengan dermatitis seboroik. Sebopsoriasis digambarkan sebagai modifikasi
dermatitis seboroik dengan didasari oleh faktor genetika psoriasis dan relatif
resisten terhadap pengobatan. Walaupun peran etiologi Pityrosporum masih
belum terbukti namun pemberian preparat jamur dapat bermanfaat juga
(Gudjonsson dan Elder, 2012).
Psoriasis artropati adalah komplikasi dari psoriasis yang terjadi pada 5-
10% pasien dan dapat juga terjadi pada pasien tanpa manifestasi kulit psoriasis.
Manifestasi yang paling sering adalah artritis dengan gejala yang sama dengan
rheumatoid arthritis. Gejala yang patognomonik adalah artritis pada sendi
interfalangeal dari tangan. Kadang monoartritis dan poliartritis dari sendi besar
dapat terjadi. Pasien dengan psoriasis artropati, peningkatan frekuensi dari HLA-
B27 dan HLA-Bw38 telah ditemukan (Kimura dan Esumi, 2003).
2.1.6 Gambaran Histopatologis
Terdapat beberapa perubahan histopatologis pada psoriasis seiring dengan
perkembangan lesi (Gambar 2.7), termasuk (1) penebalan epidermis (akantosis)
yang muncul karena hiperproliferasi keratinosit (2) berkurangnya lapisan granular
(hipogranulosis) dan retensi nuklei korneosit (parakeratosis) karena diferensiasi
abnormal dari keratinosit (3) dilatasi berlebih dari pembuluh darah dermis papiler
yang menyebabkan eritema (4) infiltrat inflamasi tebal yang terdiri dari kelompok
sel T-helper CD4+ dan antigen-presentic dendritic cell (DC) pada dermis, serta
sel T CD8 dan neutrofil pada epidermis (Nograles dkk., 2010).
19
Gambar 2.7 Gambaran histopatologis menunjukkan akantosis (A) dan inflamasi
dermis (i) pada lesi psoriasis dibandingkan kulit tanpa lesi (pewarnaan
hematoxylin dan eosin). Infiltrat radang pada lesi terdiri dari sel T (CD3) dan sel
dendritik (CD11c), banyak diantaranya telah matur (Nograles dkk., 2010).
2.1.7 Diagnosis dan Penatalaksanaan
Gambar 2.8. Algoritma Diagnosis dan Pengobatan (Gudjonsson dan Elder,
2012).
20
Diagnosis dan terapi psoriasis biasanya didasarkan pada gambaran klinis.
Jika pemeriksaan klinis dan anamnesis kurang memadai untuk penegakan
diagnosis, maka biopsi dapat dilakukan (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Penatalaksanaan psoriasis tergantung dari berbagai faktor yang
menyebabkan dan mempengaruhi tingkat keparahan penyakit itu sendiri. Sangat
penting untuk membatasi faktor pemicu kondisi ini, seperti trauma fisik, infeksi,
stres, perubahan musim dan iklim, konsumsi beta blocker, klorokuin, alkohol,
rokok, maupun sindrom metabolik (Diluvio dkk., 2006; Fry dan Baker, 2007).
Pasien psoriasis mengalami periode remisi dan eksaserbasi secara bergantian
sehingga praktisi dermatologis harus memfokuskan terapi psoriasis sesuai dengan
tingkat keparahan penyakit saat muncul dengan tujuan berupa periode remisi yang
lebih lama dan meningkatkan kualitas hidup (Coimbra dkk., 2014).
Mayoritas kasus psoriasis terdapat pada tiga kategori yaitu gutata,
pustular/eritrodermi, dan plak kronis, dimana kategori plak sejauh ini paling
sering ditemui. Psoriasis gutata seringkali dapat sembuh sendiri dalam 6 – 12
minggu. Pada kasus yang ringan, seringkali pasien tidak memerlukan terapi,
namun jika lesi tersebar luas diseluruh tubuh, maka fototerapi dengan UVB
ditambah dengan terapi topikal (steroid dan analog Vitamin D3) seringkali sangat
efisien untuk mengobati lesi jenis ini. Psoriasis pustular/eritrodermi seringkali
diasosiasikan dengan gejala sistemik, sehingga memerlukan terapi sistemik yang
cepat. Obat yang paling sering digunakan untuk tipe ini adalah asitretin. Terapi
lain yang dapat diberikan adalah siklosporin A, PUVA, UVB, metotreksat, agen
21
anti-TNF, dan pada beberapa kasus, dapat digunakan steroid sistemik
(Gudjonsson dan Elder, 2012).
Kedua jenis psoriasis diatas berevolusi menjadi bentuk psoriasis plak
kronis. Pilihan terapi biasanya didasarkan pada keparahan penyakit. Untuk
psoriasis derajat ringan (<10% luas permukaan tubuh), dapat digunakan terapi
topikal seperti emolien, glukokortikoid, dan analog vitamin D3 (lini pertama) atau
asam salisilat, ditranol, tazarotene dan tar (lini kedua), pilihan fototerapi dapat
dipertimbangkan pada fase ini (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Psoriasis derajat sedang (>10% luas permukaan tubuh), dapat diberikan
terapi topikal ditambah dengan fototerapi dan day treatment center (Goeckerman
yang dimodifikasi), dengan pertimbangan khusus untuk memilih terapi sistemik.
Fototerapi yang dapat dipilih antara lain narrowband UVB (NB-UVB) dan
broadband UVB (BB-UVB) sebagai lini pertama dan psoralen dan UVA (PUVA),
laser excimer serta klimatoterapi sebagai lini kedua (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Psoriasis derajat berat (>30% luas permukaan tubuh) dapat diterapi dengan
semua pilihan yang ada, ditambah terapi sistemik seperti metotreksat, asitretin,
alefacept, etanercept, adalimumab, infliximab, dan ustekinumab sebagai lini
pertama dan fumaric acid ester (FAE), siklosporin A, serta agen lain seperti
hydroxyurea, 6-thioguanine, cellcept, dan sulfasalazine sebagai lini kedua.
Siklosporin A tidak dianggap sebagai terapi sistemik lini pertama karena efek
samping jangka panjangnya, namun dalam tatalaksana jangka pendek terapi ini
sangat berguna untuk induksi remisi. Jika pasien tidak mampu mentolerir terapi
22
sistemik lini pertama individual, pertimbangkan kombinasi regimen, perawatan
rotasional atau agen biologis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.8 Psoriasis Area and Severity Index (PASI)
Skor PASI adalah pengukuran secara klinis dengan perhitungan luas daerah yang
terkena dan derajat keparahan dari eritema, ketebalan infiltrat dan skuama. PASI
dihitung dengan rumus (Langley dan Ellis, 2004):
{0,1(Eh+Ih+Sh)Ah} + {0,2(Eul+Iul+Sul)Aul} + {0,3(Et+It+St)At} +
{0,4(Ell+Ill+Sll)All}.
Keterangan:
A (area) = luas permukaan tubuh dalam 4 bagian yang terkena yaitu: kepala dan
leher (h = head), badan (t = trunk), ekstremitas atas (ul = upper limb), ekstremitas
bawah (ll = lower limb); E = eritema; I = infiltrat; S = skuama
Tabel 2.1 Penilaian presentase luas permukaan tubuh (A) yang terkena
<10% 1
10-29% 2
30-49% 3
50-69% 4
70-89% 5
90-100% 6
23
Tabel 2.2 Penilaian derajat keparahan (E, I, S)
Tidak ada gejala 0
Ringan 1
Sedang 2
Berat
Sangat berat
3
4
Hasil perhitungan PASI merupakan nilai tunggal dari 0-72. Skor PASI
berdasarkan Fredricksson dan Pettersson dikategorikan menjadi tiga, yaitu
penderita dinyatakan menderita psoriasis ringan bila skor PASI <7, psoriasis
sedang bila skor PASI 7-12, dan psoriasis berat bila skor PASI >12. Skor PASI ini
jarang digunakan pada praktek klinis akibat kompleksitas yang ditimbulkan oleh
penggunaan skor PASI. Skor PASI merupakan suatu sistem penilaian yang
digunakan untuk tujuan penelitian. Pada uji klinis persentase perubahan pada
PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis (Schmitt dan
Wozel, 2005; Feldman dan Krueger, 2005).
2.2 Nitric Oxide
2.2.1 Tinjauan Umum Nitric Oxide (NO)
Nitric Oxide (NO) awalnya ditemukan sebagai vasodilator potensial pada tahun
1979, dan kemudian diidentifikasi sebagai endothelium-relaxing factor (ERDF).
Molekul sederhana ini merupakan radikal bebas yang berusia pendek dengan
sejumlah fungsi fisiologis seperti relaksasi otot polos, penghambatan agregasi
24
platelet, dan neurotransmisi non adrenergik-non kolinergik (Kimura dan Esumi,
2003). Radikal bebas baik berupa Reactive Oxygen Species (ROS) maupun
Reactive Nitrogen Spesies (RNS) mempunyai peran dalam sistem biologi. Nitric
Oxide termasuk dalam RNS. Radikal bebas ini terdapat pada kulit maupun
jaringan lain yang terapar sinar ultraviolet. Kulit mempunyai mekanisme
enzimatik seperti Superoxide Dismutase (SOD), Catalase (CAT), Glutathione
Peroxidase (GP) dan mekanisme non-enzimatik seperti vitamin C, vitamin E,
karotenoid, selenium, flavinoid untuk melawan efek berbahaya dari radikal bebas.
Mekanime enzimatik dan non enzimatik ini dikenal dengan antioksidan. Produksi
berlebihan dari radikal bebas akan menyebabkan stres oksidatif yang mengarah
pada kerusakan struktur seluler seperti lipid, protein dan DNA dan menganggu
produksi sitokin seperti IL-1 dan TNFα. Malondialdehyde merupakan produk
penting dari peroksidasi lipid yang berhubungan erat dengan derajat peroksidasi
lipid pada jaringan. Radikal bebas berperan penting dalam induksi penyakit kulit
seperti psoriasis (Akturk dkk., 2012). Nitric oxide merupakan gas yang larut
dalam air dan mudah menembus membran barier. Konsentrasi fisiologis NO
berentang antara 5 nM hingga 4 µM. Nitric oxide yang baru disintesis bersifat
aktif secara biologi pada lokasi tertentu. Beberapa efek NO dihubungkan dengan
sifatnya sebagai pembawa messenger intraseluler dan dimediasi oleh aktivasi dari
jalur guanylate cyclase/3’,5’-cyclic guanosine monophosphate (GC/cGMP)
(Kimura dan Esumi, 2003). Nitric oxide merupakan suatu radikal bebas yang
mempunyai peran fisiologi dan patofisiologi pada hampir semua sistem organ.
Selain berfungsi sebagai messenger yang dapat berdifusi pada sistem vaskular dan
25
neuron, nitric oxide berperan pada innate immunity, inflamasi dan proses
penyembuhan luka (Mori, 2007; Vasilets dkk., 2009). Penyakit seperti disfungsi
vaskular telah dihubungkan dengan gangguan produksi NO dimana syok septik,
infark serebri, diabetes mellitus dan kelainan neurodegeneratif dihubungkan
dengan produksi NO yang berlebih (Mori, 2007). Perkembangan terbaru
memungkinkan pengidentifikasian jalur NO pada beberapa tipe sel yang berada
pada kulit termasuk keratinosit, melanosit, sel langerhans, fibroblast dan sel-sel
endotel (Gerharz dkk., 1998).
Nitric oxide disintesis oleh enzim intraseluler yaitu NOS (Nitric Oxide
Synthase), melalui dua tahap oksidasi dari L-arginine yang menghasilkan citruline
dan NO yang seimbang. Arginine merupakan perkusor untuk sintesis urea,
poliamin, prolin dan nitric oxide. Tiga isoform utama NOS antara lain NOS1,
yang diisolasi dari jaringan saraf (juga dikenal sebagai nNOS), NOS2 (atau
iNOS), suatu isoform inducible, dan NOS3 (atau eNOS), predominan pada
endotel. Ketiganya hadir sebagai homodimer dengan berat molekul antara 130 dan
160 kDa dan semua membutuhkan kofaktor, yaitu xavin dinucleotide, xavin
mononucleotide, tetrahydrobiopterin, dan reduced nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate. Ketiganya juga membutuhkan ikatan calmodulin,
sementara NOS1 dan NOS3 membutuhkan ikatan Ca2+(kalsium)-calmodulin,
NOS2 tidak membutuhkan ikatan dengan kalsium. Selain membutuhkan kofaktor
ini aktivitas isoenzim NOS diatur oleh protein terkait dan terlokalisisr dalam sel
(Habib dan Ali, 2011; Omer dkk., 2012). Inducible NOS diekspresikan selama
kondisi inflamasi sebagai respon terhadap beberapa sitokin seperti TNF α, IL-1,
26
IFN ᵞ. Regulasi bentuk ini dibawah kontrol dari faktor transkripsi nuclear factor
κB (NF κB) (Moshage, 2009).
Ketiga isoform tersebut berbeda menurut regulasinya, amplitudo dan
durasi produksi NO, sebagaimana distribusinya dalam sel dan jaringan. Keduanya
yaitu eNOS dan nNOS bekerja sebagai pengganti protein yang diekspresikan, dan
ekspresinya tidak terbatas pada sel-sel endotel atau neuron. Nitric oxide
diproduksi dari keduanya nNOS and eNOS selama proses infeksi dan autoimun.
Tipe sel yang mengandung eNOS dan nNOS menghasilkan aliran NO yang
rendah dalam waktu yang singkat (Priya dkk., 2013). Nitric oxide pada
konsentrasi yang rendah (<1mM) bertindak sebagai sinyal intraseluler,
mengaktivasi atau menghambat protein yang berbeda. Bentuk isoform yang ketiga
yaitu iNOS yang terbentuk langsung saat makrofag teraktivasi, berfungsi sebagai
komponen sistem imun bawaan. Sitokin dan produk mikrobial sering bekerja
secara sinergis, menstimulasi ekspresi iNOS. Inducible Nitric Oxide Synthase
(iNOS) dan eNOS diekspresikan dalam sel-sel dendritik, sel-sel natural killer
(NK), sel mast, monosit, makrofag, mikroglia, sel-sel Kupffer, eosinofil dan
neutrofil, sebagaimana sel-sel lain yang terlibat dalam reaksi imun. Tidak seperti
nNOS dan eNOS, yang diatur secara ketat dan bergantung pada masuknya
kalsium ke dalam sel, iNOS menghasilkan sejumlah besar NO jika diinduksi. Saat
NO banyak diproduksi (>1nM), NO mampu melakukan reaksi nitrosasi, nitrasi,
dan oksidasi. Inducible Nitric Oxide Symthase (iNOS) diatur pada berbagai
tingkat mulai dari transkripsi untuk sintesis, stabilitas, aktivitas dan degradasi.
27
Dibandingkan dengan nNOS atau eNOS, iNOS kurang rentan terhadap umpan
balik inhibisi oleh NO (Cals-Grierson dan Ormerod, 2004; Schairer dkk., 2012).
Neuronal NOS (NOS1) diidentifikasi pada keratinosit manusia dan
murine, dan juga pada melanosit. Keratinosit juga mengekspresikan N-methyl-D-
aspartate (NMDA-like) receptor yang mengaktifkan NOS 1 pada neuron,
memberikan suatu mekanisme yang penting untuk mengawasi pelepasan NO dari
keratinosit. Tonus otot polos pada pembuluh darah diatur oleh suatu calcium-
dependent constitutive endothelial isoform (NOS tipe 3). Isoform yang dapat
diinduksi (NOS tipe 2) pertama kali diidentifikasi pada makrofag. Akan tetapi,
saat ini banyak bukti mengenai produksi NOS2 dari keratinosit. Inducible Nitric
Oxide Symthase (NOS2) tidak diproduksi secara terus menerus namun diinduksi
pada banyak tipe sel oleh lipopolisakarida dan sitokin, khususnya Tumor Necrosis
Factor α (TNFα), interferon γ (IFN γ), interleukin 1β (IL-1β), IL-2, IL-6, IL-8,
dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF). Sementara
NOS1 dan NOS3 menghasilkan kadar fisiologis dari NO sebagai messenger
kimia, NOS2 menghasilkan kadar NO yang lebih tinggi ribuan kali. Kadar NO
yang lebih tinggi ini bersifat sitotoksik terhadap patogen dan mengakibatkan
nekrosis sel tumor dan apoptosis. Inhibisi produksi NO memodulasi inflamasi
pada artritis dan hipersensitifitas kontak (Ormerod dkk., 1998).
Produksi dari NO sulit untuk diukur secara langsung karena memiliki
waktu paruh fisiologis yang sangat pendek dan diproduksi dalam jumlah yang
sangat kecil. Untuk mengatasi masalah pengukuran NO secara langsung, maka
dikembangkan tehnik analitik dengan menentukan bentuk akhir dari oksidasi NO
28
yang stabil yaitu NO3-
(nitrat) dan NO2-
(nitrit). Nitrit diukur dengan pemeriksaan
kolorimetri metode Griess dimana spesifik untuk pengukuran nitrit. Pemeriksaan
ini melibatkan konversi enzimatik dari nitrat menjadi nitrit oleh enzim Nitrat
reductase, dilanjutkan dengan penambahan reagensia Griess yang akan mengubah
nitrat menjadi gabungan azo dye berwarna. Pengukuran fotometrik dari
absorbances yang berkaitan dengan kromofor azo ini secara akurat menentukan
konsentrasi nitrit.
Proporsi relatif dari nitrit dan nitrat bervariasi dan tidak dapat
diprediksi dengan pasti. Dengan demikian indeks yang terbaik untuk produksi NO
total adalah jumlah dari nitrit dan nitrat. Sampel dapat diambil dari plasma, serum,
urin dan media kultur. Sampel dari plasma atau serum dibutuhkan untuk
deproteinisasi menghilangkan artefak (Moshage, 2009; Rapaport, 2004).
2.2.2 Fungsi Nitric Oxide pada kulit
Nitric oxide merupakan salah satu mediator penanda inflamasi yang penting,
yaitu merupakan mediator labil yang dapat terdeteksi seiring dengan tingginya
kadar beberapa sitokin seperti IFNγ, TNFα, IL-8, IL-1, dan IL-6. Nitric oxide
dilepas terus-menerus dalam konsentrasi rendah dan untuk pelepasan dalam
konsentrasi tinggi dibutuhkan adanya suatu stimulasi. Nitric oxide tampak
meningkat pada sejumlah gangguan kulit akibat stimulasi tertentu seperti pada
dermatitis kontak, dermatitis atopik, SLE dan psoriasis. Dalam beberapa tahun
terakhir, klonalitas limfosit pada lesi psoriasis dan peningkatan pelepasan sitokin
pada area tersebut telah diteliti. (Kadam dkk., 2010; Mahmoud dkk., 2013;
Samuel dan Murari, 2013).
29
Nitric oxide yang diproduksi secara endogen memiliki jangkauan yang
sangat beragam dalam fungsi biologi termasuk perannya dalam neurotransmisi,
relaksasi otot polos, dan respon terhadap imunogen. Selama lebih dari 10 tahun
menjadi jelas bahwa NO sebagai pembawa messenger molekuler ini berperan
penting pada kulit. Keratinosit yang mengisi sebagian besar area epidermis, secara
konstitutif mengekspresikan isoform neuronal NOS (NOS1), sedangkan fibroblast
pada dermis dan jenis sel lainnya dalam kulit mengekspresikan isoform endotel
(NOS3). Dalam kondisi tertentu, tampak bahwa semua sel kulit mampu
mengekspresikan isoform inducible NOS (NOS2). Ekspresi NOS2 juga secara
kuat terlibat dalam psoriasis dan kondisi inflamasi kulit lainnya. Sebaliknya
produksi NO yang rendah pada kulit tampak berperan dalam mempertahankan
fungsi barier dan menentukan laju aliran darah di mikrovaskuler. Kadar NOS
yang lebih tinggi distimulasi oleh sinar Ultraviolet (UV), luka pada kulit,
mengawali lebih banyak kompleks reaksi yang membutuhkan orkestrasi dari
berbagai jenis sel. Pelepasan NO setelah radiasi penting dalam memulai
melanogenesis, eritema dan imunosupresi. Nitric oxide juga diperkirakan terlibat
dalam proteksi keratinosit terhadap apoptosis sel yang terinduksi oleh UV.
Peningkatan aktivitas NOS pada kulit yang terluka penting untuk proses infiltrasi
sel darah putih dan mengawali proses inflamasi. Sebagai respon terhadap kedua
ancaman, radiasi UV dan kulit yang terluka, aktivasi konstitutif NOS berlangsung
dan tumpang tindih dengan ekspresi NOS2. Sementara pada tingkat makro,
setidaknya terdapat tiga laju produksi NO yang berbeda terjadi pada kulit, yang
30
penting dalam mengatur adaptasi dan fungsi kulit (Cals-Grierson dan Ormerod,
2004)
2.2.3 Nitric Oxide Dan Psoriasis
Peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS), seperti Nitric Oxide (NO) dan
Malondialdehyde (MDA) berperan dalam patogenesis psoriasis. Pada psoriasis
terjadi gangguan keseimbangan antara agen oksidan dan antioksidan. Pada pasien
psoriasis terjadi peningkatan NO dan MDA yang signifikan dan penurunan kadar
superoxide dismutase (SOD) (Aktur dkk., 2012; Coimbra dan Silva, 2014).
Nitric oxide diperkirakan memicu proses psoriasis melalui peningkatan
pelepasan dan kerja Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP) dan substansi P
yang berperan dalam patomekanisme psoriasis dengan memicu produksi molekul
adhesi, hiperproliferasi keratinosit, degranulasi sel mast, vasodilatasi dan
kemotaksis neutrofil. Selain memicu vasodilatasi dan permeabilitas vaskular,
nitric oxide juga mengaktivasi cyclo-oxygenase dan memicu produksi TNF-α.
(Ghokale dkk., 2005; Tekin dkk., 2006).
Nitric oxide memegang peranan penting sebagai regulator sistem imun
pada TNF-α serta aktivasi cyclo-oxygenase. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Gokhale dkk tahun 2005 ditemukan kadar NO yang signifikan tinggi pada pasien
dengan psoriasis aktif dibandingkan pada individu normal. Berdasarkan hasil studi
tersebut, terdapat korelasi positif yang signifikan antara berat dan durasi penyakit
dan kadar NO pada pasien dengan psoriasis tipe plak kronis (Ghokale dkk., 2005).
Hasil penelitian Zalewska dkk menunjukkan peningkatan kadar NO dalam plasma
yang signifikan dari pasien psoriasis dengan lesi kulit aktif dan menyimpulkan
31
bahwa produksi NO oleh fibroblast pada daerah pinggir lesi lebih tinggi
dibandingkan pada daerah lesi, yang menandakan bahwa fibroblast pada daerah
pinggir lesi sebagai sel-sel yang terlibat secara aktif dalam perkembangan lesi
psoriasis (Zalewska dkk., 2007).
Kolb-bachofen dkk menunjukkan peningkatan ekspresi iNOS pada plak
psoriasis menyimpulkan bahwa ekspresi iNOS terlibat dalam patogenesis
inflamasi kutaneus pada psoriasis. Gals-gierson dan Ormerod menyatakan bahwa
NO diketahui menstimulasi sel epitel untuk memproduksi dan melepas kemokin
dan mediator pertumbuhan lain seperti Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF) yang penting untuk proliferasi keratinosit dan angiogenesis (Cals-
Grierson dan Ormerod, 2004). Vascular endothelial growth factor berperanan
dalam meningkatkan vaskularisasi lesi untuk merangsang hiperplasia epidermis,
pertumbuhan pembuluh darah dan infiltrasi leukosit pada kulit. Vascular
endothelial growth factor berperanan penting dalam mengatur aktivitas keratinosit
pada psoriasis, untuk meningkatkan permeabilitas endotel dan menginduksi
vasodilatasi (Tammela dkk., 2005). Peningkatan ekspresi NOS2 diamati pada
berbagai kondisi peradangaan seperti dermatitis yang mungkin berperan dalam
gangguan fungsi barier. Hal ini berujung pada peningkatan kadar NO dan
pembentukan peroxy-nitrit yang selanjutnya mengakibatkan penghambatan
diferensiasi keratinosit. Hal ini menjadi salah satu mekanisme dalam patogenesis
psoriasis (Ghokale dkk., 2005).
Kulit penderita psoriasis kaya akan TIP-DC (TNF and iNOS-Producing
Dendritic Cells), sebuah kelompok sel dendritik yang memiliki kecenderungan
32
memproduksi TNF dan iNOS (Lowes dkk., 2007; Nograles dkk., 2010). Sesuai
skema patogenesis psoriasis oleh Sanchez dkk, iNOS dihasilkan oleh sel dendritik
myeloid tipe inflamatori yang juga disebut sel CD11c+. Sel tersebut adalah
ekuivalen dari TIP-DC yang memiliki fungsi melawan infeksi bakteri pada tikus
(Lowes dkk., 2007; Monteleone dkk., 2011). Selain itu, sel CD11c+ juga
memproduksi IL-23 (yang dapat mengaktivasi sel T) dan IL-20 (yang dapat
mengaktivasi sel keratinosit). Terapi dengan etanercept dapat memblok kerja
iNOS dan IL-23 yang merupakan produk hasil sintesis sel TIP-DC (Lowes dkk.,
2007).
Tekin dkk melakukan penelitian tentang kadar NO serum darah pasien
psoriasis yang diterapi dengan metotreksat dan ternyata terdapat penurunan kadar
NO serum darah setelah diterapi metotreksat. Metotreksat akan menghambat
produksi NO dengan jalan penghambatan enzim cNOS ataupun iNOS. Tekin juga
menyebutkan bahwa iNOS umumnya dijumpai pada leukosit, makrofag dan sel
mesengial. Nitric oxide jika dilepaskan dalam jumlah banyak dapat
menghancurkan jaringan normal dan merubah respons imun tubuh. Sejumlah
besar NO telah dijumpai dalam berbagai gangguan imunologis, seperti SLE dan
RA. Produksi NO pada kulit psoriasis adalah 10x lebih tinggi dari orang normal
dan 10x lebih tinggi lagi pada plak psoriatik itu sendiri. Oleh karena itu, inhibisi
iNOS dapat dianggap sebagai modalitas terapi yang efektif pada kondisi-kondisi
diatas (Tekin dkk., 2006).
33
Gambar 2.9 Efek dan kinetik nitric oxide yang diproduksi oleh iNOS dan cNOS
(Guzik dan Korbut, 2003).
Kinetik produksi nitric oxide oleh iNOS berbeda jauh dengan produksi
oleh eNOS atau nNOS (Gambar 2.9). Inducible Nitric Oxide Symthase (iNOS)
memproduksi nitric oxide dalam jumlah besar dan bersifat toksik yang
berlangsung lama, sedangkan isoform cNOS memproduksi nitric oxide dalam
hitungan detik, dimana aktivitasnya bersifat langsung dengan kerja cepat. Nitric
oxide yang diproduksi cNOS berinteraksi dengan cGMP yang akhirnya
menghasilkan efek vasorelaksasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, serta efek
antioksidan, antiplatelet, dan antiproliferatif dari NO. Nitric oxide yang dihasilkan
oleh eNOS dianggap paling sitoprotektif dan sangat esensial untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan melindungi sirkulasi koroner dan pulmoner
selama masa pelepasan produk lipid toksik oleh lipopolisakarida bakteri gram
negatif (Guzik dan Korbut, 2003; Alyavi, 2011).
34
Saat terjadi respons inflamasi, iNOS menghasilkan NO dalam jumlah
masif, melebihi jumlah fisiologis yang biasanya dihasilkan oleh nNOS dan nNOS.
Sejumlah besar “NO inflamatoris” yang dihasilkan oleh sel dendritik tipe myeloid
(TIP-DC) dihasilkan bersamaan dengan anion superoksida dalam jumlah yang
besar pula (O2-). Kedua molekul ini dapat bergabung membentuk peroksinitrit
(ONOO-) yang memediasi efek sitotoksik NO, seperti kerusakan DNA, oksidasi
LDL, pembentukan isoprostane, nitrasi tirosin, inhibisi akonitase dan respirasi
mitokondrial. Efek ini dapat memberikan hasil positif dalam reaksi pertahanan
tubuh, dengan cara membunuh mikroba. Nitric Oxide (NO) dan peroksinitrit
(ONOO-) dalam jumlah besar juga memiliki efek mengganggu jalur sinyal
berbagai protein dan enzim yang penting untuk kelangsungan hidup sel, seperti
protein JAK atau STAT, jalur sinyal NK-κB, MAPK, protein G serta faktor
transkripsi lain. Nitric oxide juga terlibat dalam regulasi hormon yang mengontrol
proses inflamasi secara sentral. Contohnya nitric oxide dapat menginhibisi sekresi
CRH oleh ACTH dan mengurangi sekresi corticosterone (Guzik dan Korbut,
2003).
Cals-Gierson dkk menyatakan bahwa ekspresi berlebih NOS2
berhubungan dengan peningkatan aktivitas arginase 1 yang berakibat
berkurangnya substrat yang tersedia untuk produksi NO. Hal ini menyebabkan
NO mempunyai efek untuk memicu proliferasi keratinosit sehingga disimpulkan
bahwa tingginya konsentrasi NO bersifat sitototoksik (Ghokale dkk., 2005).
Seperti yang diungkapkan oleh Gals-gierson dan Ormerod, nitric oxide
menstimulasi sel epitel untuk memproduksi dan melepas kemokin dan mediator
35
pertumbuhan lain seperti VEGF yang tampak penting untuk proliferasi keratinosit
dan angiogenesis. Nitric oxide pada konsentrasi yang sesuai menginduksi sintesis
VEGF melalui hipoxia inducible factor 1 (HIF-1). Hipoxia Inducible Factor 1
(HIF-1) berperan sebagai faktor kunci proses transkripsi pada pengaturan gen
hipoxia-mediated VEGF. Hipoxia Inducible Factor 1 (HIF-1) pada konsentrasi
yang sesuai memicu sintesis VEGF melalui jalur termediasi HIF-1 dan VEGF
meningkatkan produksi NO melalui eNOS. Aksi ini berujung pada dimulainya
angiogenesis. Angiogenesis pada jaringan normal secara ketat diatur oleh NO itu
sendiri dan bekerja secara positif atau negatif pada ekspresi gen HIF-1-mediated
VEGF dalam berbagai jaringan. Dalam dinding vaskular sejumlah kecil NO
memicu aktivasi sintesis VEGF dalam VSMC dan umpan balik positif VEGF
berujung pada produksi NO yang lebih banyak oleh eNOS pada sel endotel
vaskular (VEC). Jumlah NO yang berlebih berefek negatif terhdap sintesis VEGF
kemungkinan akibat terbatasnya aktivitas HIF-1. Inducible Nitric Oxide Synthase
(iNOS) banyak diekspresikan dalam makrofag dan sel tumor dan dapat
memberikan lebih banyak NO dibandingkan NOS konstituitf lainnya. Hal ini
berarti sebagian dari efek NO yang didapat oleh sel-sel ini mungkin disebabkan
aktivitas iNOS. Nitric oxide seperti halnya hipoksia dapat mengatur ekspresi
iNOS dengan memodulasi aktivitas HIF-1, karena trasnkripsi iNOS dapat diatur
dengan HIF-1. Dalam tekanan oksigen yang sangat rendah, HIF-1 dan iNOS
sangat diekspresikan (Kimura dan Esumi, 2003; Ghokale dkk., 2005).
Orem dkk, membuktikan dalam penelitiannya bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan terhadap kadar NO serum dari pasien psoriasis setelah diberikan
36
terapi topikal cholecalciferol (Orem, 1997). Penelitian Ormerod dkk,
menunjukkan bahwa pengaplikasian suatu krim yang melepaskan NO pada kulit
normal menghasilkan peningkatan limfosit T dan sel – sel endotel, dimana
keduanya merupakan gambaran psoriasis. Ditemukan pula adanya penurunan
produksi NO pada plak psoriasis setelah aplikasi iNOS inhibitor – NG
monomethyl L arginine (L-NMMA). Nitric oxide juga ditemukan meningkatkan
kadar cGMP, yang bertindak sebagai mediator sekunder dan mengatur proliferasi
keratinosit. Sedang penelitian Morhenn melaporkan perburukan plak setelah
aplikasi donor NO yaitu nitrogliserin. Namazi pada penelitiannya menunjukkan
bahwa statin, yang diketahui menghambat ekspresi iNOS dan sitokin proinflamasi
dapat efektif pada kondisi – kondisi seperti psoriasis (Ghokale dkk., 2005;
Ormerod dkk., 1998).
Beberapa jalur diidentifikasi yang umumnya mengatur ekspresi gen dalam
kondisi hipoksia. Jalur-jalur tersebut meliputi jalur phosphatidylinositol 3-kinase
(PI3K)-Akt, jalur ERK1 dan ERK2 (juga dikenal sebagai p42 dan p44 mitogen-
activated protein kinase (MAPK)), jalur Ca2+/CaM, jalur 3’,5’-cyclic adenosine
monophosphate (cAMP)-protein kinase A (PKA), dan jalur stress-activated
protein kinase (SAPK, dikenal juga sebagai p38 kinase) (Kimura dan Esumi,
2003).
Berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin (misalnya insulin-like growth
factor, epidermal growth factor, interleukin-1) menginduksi ekspresi HIF-1
melaui aktivasi PI3K dalam kondisi normoksia pada tipe sel tertentu. Sebaliknya
37
inhibisi PI3K tidak berefek pada induksi protein HIF-1 dan aktivitas
transkripsinya pada beberapa jalur sel (Kimura dan Esumi, 2003).
Gambar 2.10 Mekanisme upregulasi VEGF oleh NO dan hipoksia (Kimura dan
Esumi, 2003).