bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian … 2.pdf · bab ii kajian pustaka dan ... teori...
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Keagenan
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham
(shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Menurut Jensen
dan Meckling (1976), hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu
atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu
jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat
keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai
tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen
akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal. Pemisahan
yang terjadi antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan akan menimbulkan
suatu konflik yang disebut dengan agency conflict (Ahmad dan Septriani, 2008).
Biasanya ada tiga jenis konflik keagenan yang sering terjadi, yaitu: (1) Konflik
antara pemegang saham dengan manajemen, (2) Konflik antara pemegang saham
dengan pemegang hutang, dan (3) Konflik antara pemegang saham mayoritas
dengan minoritas (Purwantini, 2011).
Masdupi (2005) mengemukakan cara-cara untuk mengatasi masalah
keagenan antara lain :
2
1) Meningkatkan kepemilikan manajerial.
Dengan adanya kepemilikan saham maka manajer akan merasakan langsung
manfaat dari keputusan yang diambil dan juga merasakan apabila ada kerugian
yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah.
2) Pendekatan pengawasan eksternal.
Pendekatan ini dilakukan melalui penggunaan utang. Adanya utang akan dapat
mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajer
karena perusahaan harus melakukan pembayaran atas bunga dan pokok
pinjaman secara periodik serta mematuhi ketentuan pada perjanjian utang.
3) Institutional investor sebagai monitoring agent
Adanya kepemilikan saham oleh investor institusional seperti perusahaan
asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh intitusi lain
akanmendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja
manajemen.
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan biaya keagenan (agency
cost) sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan
pengawasan terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero
agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang
optimal dari pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang
besar diantara mereka.
Eisenhardt (dalam Sam’ani, 2008) menyatakan bahwa teori agensi
menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
3
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
menghindari resiko (risk averse). Dengan adannya asumsi sifat dasar manusia
tersebut maka seorang manajer akan cenderung bertindak oportunis, yaitu lebih
mengutamakan kepentingan pribadinya dan hal tersebut memicu terjadinnya
konflik keagenan. Teori ini memiliki asumsi bahwa setiap individu semata-mata
termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik
kepentingan antara principal dan agent (Adnyana dan Gerianta, 2009).Oleh
karena itu teori keagenan lebih menekankan pada penentuan kontrol yang efisiensi
dalam hubungan pemilik dengan agen.Dengan demikian dibutuhkan kontrak yang
efisien yaitu kontrak yang jelas untuk masing-masing pihak yang berisi tentang
hak dan kewajiban, dengan demikian dapat meminimumkan konflik keagenan.
Konflik kepentingan antara agent dan principal dapat diminimalkan
melalui beberapa cara antara lain pemberian insentif kepada agent atas
tindakannya sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Salah satu bentuk
insentif yang dapat diterapkan adalah memberikan pihak agent kesempatan untuk
menjadi principal atau pemegang saham, hal ini dikarenakan apabila pihak agent
diberikan kesempatan menjadi pemegang saham maka kepentingan pihak agent
akan sejalan dengan kepentingan principal. Scott (dalam Ida Bagus, 2009)
menggambarkan program kompensasi eksekutif merupakan salah satu bentuk
kontrak keagenan antara perusahaan dengan para agentnya sebagai usaha
penyejajaran kepentingan yang dimiliki masing-masing pihak.
4
2.1.2 Teori Akuntansi Positif
Teori akuntansi positif berupaya menjelaskan sebuah proses, yang
menggunakan kemampuan, pemahaman, dan pengetahuan akuntansi serta
penggunaan kebijakan akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi
tertentu dimasa mendatang. Teori akuntansi positif pada prinsipnya beranggapan
bahwa tujuan dari teori akuntansi adalah untuk menjelaskan dan memprediksi
praktik-praktik akuntansi.
Perkembangan teori positif tidak dapat dilepaskan dari ketidakpuasan
terhadap teori normatif (Watt & Zimmerman,1986). Selanjutnya dinyatakan
bahwa dasar pemikiran untuk menganalisa teori akuntansi dalam pendekatan
normatif terlalu sederhana dan tidak memberikan dasar teoritis yang kuat.
Terdapat tiga alasan mendasar terjadinya pergeseran pendekatan normatif ke
positif yaitu (Watt & Zimmerman,1986 ):
1) Ketidakmampuan pendekatan normatif dalam menguji teori secara empiris,
karena didasarkan pada premis atau asumsi yang salah sehingga tidak dapat
diuji keabsahannya secara empiris.
2) Pendekatan normatif lebih banyak berfokus pada kemakmuran investor secara
individual daripada kemakmuran masyarakat luas.
3) Pendekatan normatif tidak mendorong atau memungkinkan terjadinya alokasi
sumber daya ekonomi secara optimal di pasar modal. Hal ini mengingat
bahwa dalam sistem perekonomian yang mendasarkan pada mekanisme pasar,
informasi akuntansi dapat menjadi alat pengendali bagi masyarakat dalam
mengalokasi sumber daya ekonomi secara efisien.
5
Selanjutnya Watt & Zimmerman (1986) menyatakan bahwa dasar
pemikiran untuk menganalisa teori akuntansi dalam pendekatan normatif terlalu
sederhana dan tidak memberikan dasar teoritis yang kuat. Untuk mengurangi
kesenjangan dalam pendekatan normatif, Watt & Zimmerman (1986)
mengembangkan pendekatan positif yang lebih berorientasi pada penelitian
empiris dan menjustifikasi berbagai teknik atau metode akuntansi yang sekarang
digunakan atau mencari model baru untuk pengembangan teori akuntansi
dikemudian hari. Tiga hipotesis teori akuntansi positif adalah :
1) Hipotesis Rencana Bonus
Dalam hipotesis ini, semua hal lain dalam keadaan tetap, para manajer
perusahaan dengan rencana bonus cenderung untuk memilih prosedur
akuntansi dengan perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke
periode masa kini. Para manajer perusahaan, seperti orang-orang lain,
menginginkan imbalan yang tinggi.Jika imbalan mereka bergantung, paling
tidak sebagian, pada bonus yang dilaporkan pada pendapatan bersih, maka
kemungkinan mereka bisa meningkatkan bonus mereka pada periode tersebut
dengan melaporkan pendapatan bersih setinggi mungkin. Salah satu cara
untuk melakukan ini adalah dengan memilih kebijakan akuntansi yang
meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode tersebut. Tentu saja, sesuai
dengan karakter dari proses akrual, hal ini akan cenderung menyebabkan
penurunan pada laba dan bonus-bonus yang dilaporkan pada masa yang akan
datang, dengan faktor-faktor lain tetap sama. Namun nilai masa kini (present
6
value) dari kegunaan manajer dari lini bonus masa depan yang dimilikinya
akan meningkat dengan memberikan perubahan menuju masa kini.
2) Hipotesis Kontrak Hutang
Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat
suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada
kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar
kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan
perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa
kini. Alasannya adalah laba yang dilaporkan yang makin meningkat akan
menurunkan kelalaian teknis. Sebagian besar dari perjanjian hutang berisi
kesepakatan bahwa pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian.
Sebagai contoh, perusahaan yang mendapat pinjaman boleh sepakat
memelihara level tertentu dari hutang terhadap harta, laporan bunga, modal
kerja, dan harta pemilik saham. Jika kesepakatan semacam itu dikhianati,
perjanjian hutang tersebut bisa memberikan atau mengeluarkan penalti, seperti
pembatasan dividen atau tambahan pinjaman.
Dengan jelas, prospek dari pelanggaran kesepakatan membatasi
kegiatan perusahaan dalam operasional perusahaan itu sendiri.Untuk
mencegah atau paling tidak menunda pelanggaran semacam itu, perusahaan
bisa memilih kebijakan akuntansi tertentu yang bisa meningkatkan laba masa
kini. Berdasarkan hipotesis kesepakatan hutang, ketika perusahaan mendekati
kelalaian atau memang sudah berada dalam lalai atau cacat, lebih cenderung
untuk melakukan hal ini.
7
3) Hipotesis biaya politik
Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin besar
biaya politik yang mesti ditanggung oleh perusahaan, manajer cenderung lebih
memilih prosedur akuntansi yang menyerah pada laba yang dilaporkan dari
masa sekarang menuju masa depan.
Hipotesis biaya politik memperkenalkan suatu dimensi politik pada
pemilihan kebijakan akuntansi.Perusahaan-perusahaan yang ukurannya sangat
besar mungkin dikenakan standar kinerja yang lebih tinggi, dengan
penghargaan terhadap tanggung jawab lingkungan, hanya karena mereka
merasa bahwa mereka besar dan berkuasa. Jika perusahaan besar juga
memiliki kemampuan meraih profit yang tinggi, maka biaya politik bisa
diperbesar.
Perusahaan-perusahaan juga mungkin akan menghadapi biaya politik
pada poin-poin waktu tertentu. Persaingan luar negeri mungkin mengarah
pada menurunnya profitabilitas kecuali perusahaan yang terkena dampaknya
ini bisa mempengaruhi proses politik untuk bisa melindungi impor secara
keseluruhan. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan mengadopsi
kebijakan akuntansi pendapatan menurun (income-decreasing) dalam rangka
meyakinkan pemerintah bahwa profit sedang turun.
2.1.3 Asimetri Informasi
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki
akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar
perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menambahkan bahwa jika kedua
8
kelompok (agen dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya
memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini
bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal.
Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen
dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang
menyimpang.
Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1) Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam
lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek
perusahaan dibandingkan pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat
mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tidak
disampaikan informasinya kepada pemegang saham tersebut.
2) Moral hazard, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak
sepenuhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman.
Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang
saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma
mungkin tidak layak dilakukan.
Schiff dan Lewin (1970) dalam Ujiyanto dan Bambang (2007), menyatakan
bahwa agent berada pada posisi yang memiliki lebih banyak informasi mengenai
kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan
dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk
memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang
dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi
9
yang tidak diketahui principal. Sehingga dalam kondisi semacam ini principal
seringkali pada posisi yang tidak diuntungkan.
Dalam penyajian informasi akuntansi, khususnya penyusunan laporan
keuangan, agen juga memiliki informasi yang asimetri sehingga dapat lebih
fleksibel mempengaruhi pelaporan keuangan untuk memaksimalkan
kepentingannya.Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang
menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu
perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai laporan keuangan
dalam pengambilan keputusan ekonomi (IAI, 2009).
2.1.4 Leverage
Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan
hutang. Hutang yang digunakan untuk membiayai aktiva berasal dari kreditor,
bukan dari pemegang saham maupun investor (Sudarmaji dan Sularto,
2007).Leverage dibagi menjadi dua yaitu leverage operasi (operating leverage)
dan leverage keuangan (financial leverage) (Van Horne dan Wachowicz, 2005).
Leverage Operasi menunjukan seberapa besar biaya tetap yang digunakan dalam
operasi perusahaan sedangkan Leverage keuangan menunjukan seberapa besar
kemampuan dalam membayar hutang dengan modal yang dimilikinya.
Perusahaan yang memiliki hutang besar, memiliki kecenderungan
melanggar perjanjian hutang jika dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki
hutang lebih kecil (Mardiyah, 2005). Perusahaan yang melanggar hutang secara
potensial menghadapi berbagai kemungkinan seperti, kemungkinan percepatan
10
jatuh tempo, peningkatan tingkat bunga, dan negosiasi ulang masa hutang
(Beneish dan Press, 1995 dalam Herawaty dan Baridwan, 2007).
2.1.5 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial di suatu perusahaan akan di tingkatkan guna
memotivasi kinerja dari manajer. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberi
kesempatan manajer terlibat dalam kepemilikan saham sehingga dengan
keterlibatan ini kedudukan manajer dapat sejajar dengan pemegang saham.
Manajer diperlakukan bukan semata sebagai pihak eksternal yang digaji untuk
kepentingan perusahaan tetapi diperlakukan sebagai pemegang saham. Maka
diharapkan adanya keterlibatan manajer pada kepemilikan saham dapat efektif
untuk meningkatkan kinerja manajer. Kepemilikan manajerial yang dimaksud
adalah jumlah pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut
dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan komisaris) Faisal (2005).
2.1.6 Kepemilikan Institusional
Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme
monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal
ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis
sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Secara teori
menyebutkan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin kuat
kontrol eksternal terhadap kondisi perusahaan. Tingkat kepemilikan institusional
yang tinggi maka akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh
pihak investor sehingga dapat menghalangi perilaku oprtunistik yang dilakukan
11
manajer serta meminimalisir penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan
pihak manajemen. Jadi semakin tinggi, kepemilikan saham oleh institusi akan
semakin meningkatkan kinerja keuangan. Menurut Darwis (2009) kepemilikan
institusional itu sendiri merupakan besarnya kepemilikan saham oleh investor
institusi dibanding dengan total saham perusahaan tersebut. Jumlah saham yang
beredar adalah jumlah saham yang dikeluarkan oleh investor.
2.1.7 Manajemen Laba
Definisi manajemen laba menurut Sulistyanto (2008) adalah perilaku
manajer untuk bermain-main dengan komponen-komponen akrual yang
discretionary untuk menentukan besar kecilnya laba, sebab akuntansi memang
menyediakan berbagai alternatif serta metode yang bisa dimanfaatkan. Dengan
demikian, manajemen laba dapat diartikan sebagai suatu tindakan manajemen
yang mempengaruhi laba yang dilaporkan dan memberikan manfaat ekonomi
yang keliru kepada perusahaan, sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan
sangat mengganggu bahkan membahayakan perusahaan (Merchant dan Rockness,
1994 dalam Mayangsari, 2001)
Healey dan Wahlen (1998) membagi motivasi yang mendasari manajemen
laba kedalam tiga kelompok. Pertama, motivasi dari pasar modal yang
ditunjukkan dengan return saham. Kedua, motivasi kontrak yang dapat berupa
kontrak utang (Sweeney, 1994) dan kontrak kompensasi manajemen (Holthausen,
Larcker dan Sloan, 1995). Ketiga motivasi regulatory seperti yang dikemukan
Jones (1991).
12
Healey dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi
ketika manajer menggunakan judgement dalam pelaporan keuangan dan
penyusunan transaksi merubah laporan keuangan. Keadaan ini dapat menyesatkan
stakeholder atas kinerja ekonomi perusahaan dan mempengaruhi hasil
sehubungan dengan kontrak yang tergantung pada angka akuntansi yang
dilaporkan.
Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi
kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan
keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai
angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati
dan Na’im (2000)). Scott (2000) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya
manajemen laba:
1) Bonus Purpose
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih akan bertindak secara
opportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan mamaksimalkan
laba saat ini.
2) Political Motivation
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan
karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah
menetapkan peraturan yang lebih ketat.
13
3) Taxation Motivation
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang
paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan
penghematan pajak pendapatan.
4) Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pension akan cenderung menaikkan
pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja perusahaan
buruk, maka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5) Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan
menyebabkan manajer perusahaan yang akan melakukan go public
melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka dengan harapan
dapat menaikkan harga saham perusahaan.
6) Pentingnya Memberi Informasi kepada Investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor
sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa
perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.
Menurut Scoot (2000), pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru
dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar.
14
2) Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang
tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun
drastis dapat diatasi dengan mengambil laba pada periode sebelumnya.
3) Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization
bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus
yang lebih besar.
4) Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan
sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada
umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
2.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, landasan teori dan hasil penelitian
sebelumnya, maka berikut disajikan kerangka pemikiran yang dituangkan dalam
model penelitian sebagai berikut :
15
Gambar 1 Model Penelitian
Berdasarkan model penelitian yang telah dipaparkan pada gambar diatas,
maka dapat dijelaskan bahwa asimetri informasi, leverage, kepemilikan
manajerial dan kepemilikan institusional merupakan variabel bebas, dan
manajemen laba merupakan variabel terikat. Variabel tersebut akan di analisis
menggunakan regresi linear berganda untuk mengetahui pengaruh dari tiap-tiap
variabel bebas ke variabel terikat.
2.2.1 Pengaruh Asimetri Informasi pada Manajemen Laba
Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen
laba. Richardson (1998) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis
antara asimetri informasi dengan tingkat manajemen laba. Adanya asimetri
informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak
sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja
manajer. Fleksibelitas manajemen untuk melakukan manajemen laba dapat
Asimetri Informasi (X1)
Manajemen Laba (Y)
Leverage (X2)
Kepemilikan Manajerial (X3)
H2
H3
H1
Kepemilikan Institusional (X4) H4
16
dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar.
Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
Beberapa peneliti telah menemukan bahwa asimetri informasi dapat
mempengaruhi manajemen laba. Teori keagenan (Agency Theory)
mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan
pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Asimetri
informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan
stakeholder lainnya. Jika dikaitkan dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika
terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan kepada investor guna memaksimisasi nilai saham perusahaan.Sinyal
yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi
akuntansi.
Asimetri informasi dapat mempengaruhi praktik manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer, seperti yang dikemukakan oleh penelitian Richardson
(1998). Ketika asimetri informasi tinggi, stakeholder tidak memiliki sumber daya
yang cukup atas informasi yang relevan dalam memonitor tindakan manajer
sehingga akan memunculkan praktik manajemen laba. Akibatnya asimetri
informasi ini akan mendorong manajer untuk tidak menyajikan informasi
selengkapnya. Jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja
manajer.
Cristie & Zimmerman (1994) membuktikan bahwa perusahaan yang
melakukan takeover cenderung memilih metoda depresiasi dan metode pencatatan
17
persediaan, yang dapat meningkatkan laba akuntansi.Berdasarkan penelitian
tersebut juga disimpulkan bahwa terdapat sikap opportunistic manajemen dalam
kasus ambil alih perusahaan, sekalipun alasan utama pemilihan metode akuntansi
didasarkan pada pertimbangan efisiensi atau pertimbangan memaksimalkan nilai
perusahaan. Sesuai dengan penelitian Rahmawati (2006) bahwa asimetri informasi
mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap manajemen laba, begitu juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Desmiyawati (2009) dan Muliati (2011).
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah
H1 : Asimetri informasi berpengaruh positif pada manajemen laba.
2.2.2 Pengaruh Leverage pada Manajemen Laba
Leverage sebagai salah satu usaha dalam peningkatan laba perusahaan,
dapat menjadi tolok ukur dalam melihat perilaku manajer dalam hal manajemen
laba. Perusahaan yang memiliki financial leverage tinggi akibat besarnya hutang
dibandingkan aktiva yang dimiliki perusahaan, diduga melakukan manajemen
laba karena perusahaan terancam default, yaitu tidak dapat memenuhi kewajiban
membayar hutang pada waktunya. Keadaan ini mengindikasikan bahwa
perusahaan dengan leverage tinggi memiliki pengawasan yang lemah terhadap
manajemen yang menyebabkan manajemen dapat membuat keputusan sendiri, dan
juga menetapkan strategi yang kurang tepat. Hal ini diperjelas oleh Suad Husnan
(2001) yang menyebutkan bahwa leverage yang tinggi disebabkan oleh kesalahan
manajemen dalam mengolah keuangan perusahaan atau penerapan strategi yang
kurang tepat dari pihak manajemen. Kurangnya pengawasan selain menyebabkan
18
leverage yang tinggi juga akan meningkatkan perilaku oportunis manajemen
seperti melakukan manajemen laba untuk mempertahankan kinerjanya di mata
pemegang saham dan publik. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah :
H2 : Leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
2.2.3 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Manajemen Laba
Ada dua pandangan yang dapat menjelaskan hubungan antara hubungan
kepemilikan manajerial dengan manajemen laba, yaitu entrenchment effect dan
alligment effect. Pandangan entrenchment effect menyatakan bahwa jika
kepemilikan manajerial meningkat, manajer akan memiliki perlindungan atau
pertahanan (entrenchment) sehingga mereka dapat melakukan aktivitas yang tidak
meningkatkan nilai bagi perusahaan dan mereka akan mengurangi kemakmuran
pemegang saham dari luar perusahaan (Febrianto, 2005). Berdasarkan pandangan
tersebut manajemen akan bertindak lebih leluasa dalam melakukan aktivitas yang
berorientasi kepada kepentingan pribadi mereka melalui kebijakan dan pilihan
metode akuntansi.
Pandangan berdasarkan alignment effect yang mengacu pada kerangka
Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa penyatuan kepentingan
(convergence of interest) antara manajer dan pemilik dapat dicapai dengan
memberikan kepemilikan saham kepada manajer. Jika manajer memiliki saham di
perusahaan, mereka akan memiliki kepentingan yang cenderung sama dengan
pemegang saham lainnya. Dengan adanya penyatuan kepentingan tersebut konflik
19
keagenan akan berkurang sehingga manajer termotivasi untuk meningkatkan
kinerja perusahaan dan kemakmuran pemegang saham.
Manajer yang memiliki akses terhadap informasi perusahaan akan
memiliki inisiatif untuk memanipulasi informasi tersebut jika mereka merasa
informasi tersebut merugikan kepentingan mereka (Febrianto, 2005). Namun jika
kepentingan manajer dan pemilik dapat disejajarkan, manajer tidak akan
termotivasi untuk memanipulasi informasi atau melakukan manajemen laba
sehingga kualitas informasi akuntansi dan keinformatifan laba dapat meningkat.
Dengan memperbesar kepemilikan manajerial diharapkan dapat mengurangi
tindakan manajemen laba yang tercermin dari berkurangnya nilai discretionary
accruals. Besarnya kepemilikan manajerial diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pelaporan keuangan dan laba yang dihasilkan.
Sejalan dengan pandangan di atas hasil penelitian yang dilakukan Ujiantho
dan Pramuka (2007) menunjukkan variabel kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif signifikan terhadap discretionary accruals. Pranata dan Mas’ud (2003)
pun juga menemukan adanya pengaruh negatif signifikan. Hasil ini menujukan
bahwa kepemilikan manajerial mampu menjadi mekanisme corporate governance
yang dapat mengurangi ketidak selarasan kepentingan antara manajemen dengan
pemilik atau pemegang saham. Dengan uraian di atas hipotesis yang diajukan
adalah :
H3 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh negatif pada manajemen laba
20
2.2.4 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba
Investor institusional merupakan pemegang saham yang memiliki pengaruh
besar terhadap perusahaan karena kepemilikan sahamnya yang besar. Dalam
hubungannya dengan fungsi monitor, investor institusional diyakini memiliki
kemampuan untuk memonitor tindakan manajemen lebih baik dibandingkan
investor individual (Fidyati, 2004). Menurut Lee et al. (1993) dalam Fidyati
(2004) menyebutkan dua perbedaan pendapat mengenai investor institusional.
Pendapat pertama didasarkan pada pandangan bahwa investor institusional adalah
pemilik sementara (transfer owner) sehingga hanya terfokus pada laba sekarang
(current earnings). Perubahan pada laba sekarang dapat mempengaruhi keputusan
investor institusional. Jika perubahan ini tidak dirasakan menguntungkan oleh
investor, maka investor dapat melikuidasi sahamnya. Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa investor institusional biasanya memiliki saham dengan jumlah
besar, sehingga jika mereka melikuidasi sahamnya akan mempengaruhi nilai
saham secara keseluruhan. Untuk menghindari tindakan likuidasi dari investor,
manajer akan melakukan earnings management.
Pendapat kedua memandang investor institusional sebagai investor yang
berpengalaman (sophisticated). Menurut pendapat ini, investor lebih terfokus pada
laba masa datang (future earnings) yang lebih besar relatif dari laba sekarang.
Fidyati (2004) menjelaskan bahwa investor institusional menghabiskan lebih
banyak waktu untuk melakukan analisis investasi. Kepemilikan saham oleh
institusi juga memiliki akses atas informasi yang terlalu mahal perolehannya bagi
21
investor lain. Investor institusional akan melakukan monitoring secara efektif dan
tidak akan mudah diperdaya dengan tindakan manipulasi yang dilakukan manajer.
Penelitian Suranta dan Midiastuty (2005) menunjukkan bahwa kepemilikan
institusional dapat berperan sebagai salah satu mekanisme corporate governance
dalam mengurangi praktik manajemen laba. Investor institusional diasumsikan
sebagai investor yang berpengalaman dan dapat melakukan analisa yang lebih
baik sehingga tidak mudah diperdaya oleh manipulasi manajemen, oleh karena itu
manajer akan mengindari tindakan manajemen laba sehingga laba yang dihasilkan
akan lebih berkualitas.
H4 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada manajemen laba.