bab ii kajian pustaka dan rumusan hipotesis 2.1. kajian … · 2017. 4. 1. · 1 bab ii kajian...
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
Bab ini memuat uraian teori-teori yang mendukung penelitian ini. Teori-teori
yang digunakan sebagai acuan dalam memecahkan permasalahan ini adalah Teori
Agensi, Auditing, Opini Audit, Opini Audit Going Concern, Leverage, Profitabilitas,
Ukuran Perusahaan, Audit Tenure, dan Reputasi Auditor.
2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai
suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (prinsipal) meminta pihak lainnya
(agen) untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal yang
melibatkan pendelegasian beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen.
Jika kedua pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berusaha untuk
memaksimalkan utilitas mereka maka ada kemungkinan bahwa agen tidak akan
selalu bertindak untuk kepentingan terbaik prinsipal. Dengan tujuan memotivasi
agen maka prinsipal merancang kontrak sedemikan rupa sehingga mampu
mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan.
Kontrak yang efisien merupakan kontrak yang memenuhi dua asumsi, yaitu
sebagai berikut ini.
1) Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun
prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak
2
terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya
sendiri.
2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang
berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang
diterimanya.
Faktanya kontrak yang mengikat agen dan prinsipal tidak serta merta akan
mengurangi munculnya masalah keagenan. Menurut teori keagenan dari Jensen dan
Meckling (1976), permasalahan keagenan ditandai dengan adanya perbedaan
kepentingan dan informasi yang tidak lengkap (asymetry information) di antara pemilik
perusahaan dengan agen. Prinsipal menginginkan hasil akhir keputusan yang
menghasilkan laba sebesar-besarnya atau peningkatan nilai investasi dalam
perusahaan. Agen pun pasti memiliki kepentingan pribadi yang ingin dicapai yakni
penerimaan kompensasi yang memadai atas kinerja yang dilakukan. Kepentingan
ekonomis yang berbeda bisa saja disebabkan ataupun menyebabkan timbulnya asimetri
informasi (kesenjangan informasi) antara pemegang saham (stakeholders) dan
manajemen. Informasi asimetri biasanya terjadi disebabkan karena pihak agen
memiliki informasi keuangan yang dinilai lebih daripada pihak prinsipal (keunggulan
informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan
pribadi atau golongannya sendiri kerena memiliki keunggulan kekuasaan
(discretionary power). Asimetri informasi merupakan kondisi dimana informasi yang
terdapat dalam laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen tidak mencerminkan
kondisi perusahaan sebenarnya. Sebagai hasilnya akan timbul yang dinamakan biaya
3
keagenan (agency cost) yang meliputi monitoring costs, bonding costs, dan residual
losses (Jensen dan Meckling, 1976).
1) Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk
memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol
perilaku agen. Contoh biaya ini adalah biaya audit dan biaya untuk menetapkan
rencana kompensasi manajer, pembatasan anggaran, dan aturan-aturan operasi.
2) Bonding cost adalah biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan
mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen bertindak untuk kepentingan
prinsipal, misalnya biaya yang dikeluarkan oleh manajer untuk menyediakan
laporan keuangan kepada pemegang saham. Pemegang saham hanya akan
mengijinkan bonding cost terjadi jika biaya tersebut dapat mengurangi
monitoring cost.
3) Residual losses timbul dari kerugian yang diterima prinsipal atas keputusan
agen yang tidak optimal.
Konflik kepentingan antara para pihak tersebut dapat dijelaskan oleh Eisenhardt
(1989) menyatakan ada tiga asumsi sifat manusia terkait teori keagenan, yaitu: (1)
manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (selfinterest), (2) manusia memiliki
daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)
manusia selalu menghindari risiko (riskaverse). Berdasarkan sifat dasar manusia
tersebut manajer akan cenderung berperilaku oportunistik untuk kesejahteraan
pribadinya. Di sisi lain prinsipal menginginkan pembagian deviden yang besar dari
tingginya tingkat laba yang diperoleh perusahaan.
4
Informasi dalam laporan keuangan yang dapat menyesatkan pengambilan
keputusan oleh pengguna memerlukan keterlibatan auditor sebagai pihak independen.
Data-data perusahaan akan lebih mudah dipercaya oleh investor dan pemakai laporan
keuangan lainnya apabila laporan keuangan yang mencerminkan kinerja dan kondisi
keuangan perusahaan telah mendapat pernyataan wajar dari auditor (Komalasari,
2004). Teori agensi dengan penerimaan opini audit going concern memiliki kaitan
yang erat karena auditor bertugas untuk melakukan pengawasan (monitoring) terhadap
kinerja manajemen mengenai kesesuaian tindakannya dengan kepentingan prinsipal
dalam mandatnya menjalankan usaha. Sarana pertanggung jawaban dalam bentuk
laporan keuangan akan dievaluasi oleh auditor untuk menelusuri kemungkinan adanya
asimetri informasi atau manipulasi data dan memberikan sebuah opini audit untuk
mengungkapkan permasalahan going concern yang dihadapi perusahaan, apabila
auditor meragukan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan
usahanya. Auditor haruslah menjadi pihak independen yang tidak mudah terpengaruh
dengan tenure (lama perikatan audit klien dengan auditor), sehingga hasil pengawasan
yang dilaksanakan merupakan bukti yang objektif. Hasil pengawasan yang dilakukan
auditor adalah penerimaan opini kewajaran dalam laporan keuangan perusahaan dan
pengungkapan kemampuan perusahaan dalam kelangsungan usahanya (going concern)
(Sari, 2012).
5
2.1.2 Auditing
ASOBAC (A Statement of Basic Auditing Concepts) dalam Halim (2008:1)
mendefinisikan auditing sebagai suatu proses sistematik untuk menghimpun dan
mengevaluasi bukti-bukti audit secara objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai
tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-
asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya
kepada para pemakai yang berkepentingan.
Menurut Mulyadi (2008:9), secara umum auditing adalah suatu proses
sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi secara objektif mengenai pernyataan-
pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi. Tujuannya adalah untuk
menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria
yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang
berkepentingan.
Menurut Jusup, Al Haryono (2014:10) auditing atau pengauditan adalah suatu
proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang berhubungan
dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara
objektif untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria
yang telah ditetapkan dan mengomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Menurut Agoes, Sukrisno (2004:1) mendefinisikan auditing sebagai suatu
pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen
terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan
6
pembukuan dan bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat
mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
auditing adalah proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti
pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi secara objektif, sehingga dapat
ditentukan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah
ditentukan dan memberikan pendapat mengenai kewajaran pernyataan tersebut.
Menurut Jusup, Al Haryono (2014:169) dalam setiap audit baik audit pada
perusahaan besar maupun pada perusahaan kecil selalu terdapat empat tahapan
kegiatan berikut ini.
1) Penerimaan penugasan audit
Tahap awal suatu audit adalah mengambil keputusan untuk menerima (atau
menolak) suatu kesempatan menjadi auditor untuk klien baru, atau untuk
melanjutkan sebagai auditor bagi klien yang sudah ada. Mulyadi (2008:122)
menyebutkan bahwa perikatan adalah kesempatan dua pihak untuk
mengadakan suatu ikatan perjanjian. Dalam perikatan audit, klien yang
memerlukan jasa auditor menyerahkan pekerjaan audit atas laporan keuangan
kepada auditor dan auditor sanggup untuk melaksanakan pekerjaan audit
tersebut berdasarkan kompetensi profesionalnya. Langkah-langkah yang
ditempuh oleh auditor di dalam mempertimbangkan penerimaan perikatan audit
dari calon kliennya adalah sebagai berikut.
7
a) Mengevaluasi integritas manajemen,
b) Mengidentifikasi keadaan khusus dan risiko luar biasa,
c) Menentukan kompetensi untuk melaksanakan audit,
d) Menilai independensi,
e) Menentukan kemampuan untuk menggunakan kemahiran profesional,
f) Membuat surat perikatan audit.
Tahap ini hanya melibatkan standar umum dari standar auditing yang perlu
diterapkan. Pada umumnya keputusan untuk menerima (menolak) ini sudah
dilakukan sejak enam bulan hingga sembilan bulan sebelum akhir tahun buku yang
akan diperiksa (Jusup, Al Haryono 2014:169).
2) Perencanaan Audit
Tahap kedua dari suatu audit menyangkut penerapan strategi audit untuk
pelaksanaan dan penentuan lingkup audit. Perencanaan merupakan tahap yang
cukup sulit dan menentukan keberhasilan penugasan audit. Pada tahap ini perlu
diterapkan standar umum dan standar pekerjaan lapangan dari standar auditing.
Perencanaan audit biasanya dilakukan antara tiga hingga enam bulan sebelum
akhir tahun buku klien. Tahapan yang ditempuh oleh auditor dalam
merencanakan auditnya adalah sebagai berikut.
a) Memahami bisnis dan industri klien,
b) Melaksanakan prosedur audit,
c) Mempertimbangkan tingkat materialitas awal,
d) Mempertimbangkan risiko bawaan,
8
e) Mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap saldo
awal, jika perikatan dengan klien berupa audit tahun pertama,
f) Mengembangkan strategi audit awal terhadap asersi signifikan,
g) Memahami pengendalian intern klien.
3) Pelaksanaan pengujian audit
Tahap ketiga dalam audit laporan keuangan adalah melaksanakan pengujian
audit. Tahap ini sering disebut juga sebagai pelaksanaan pekerjaan lapangan.
Tujuan utama tahap audit ini adalah mendapatkan bukti audit mengenai
efektivitas Struktur Pengendalian Intern (SPI) klien dan kewajaran laporan
keuangannya. Pada tahap ini harus diterapkan standar umum dan standar
pekerjaan lapangan dari standar auditing. Pengujian ini dilakukan tiga sampai
empat bulan sebelum akhir tahun buku hingga satu sampai tiga bulan sesudah
akhir tahun buku klien.
4) Pelaporan Temuan
Tahap keempat atau tahap terakhir dari suatu audit adalah pelaporan temuan.
Laporan audit bisa berupa laporan standar yaitu laporan audit dengan pendapat
wajar tanpa pengecualian atau bisa juga menyimpang dari laporan standar. Pada
tahap ini harus dilaksanakan standar umum dan standar pelaporan dari standar
auditing. Laporan audit biasanya diterbitkan antara satu hingga tiga minggu
setelah berakhirnya pekerjaan lapangan. Ada dua langkah yang dilaksanakan
oleh auditor dalam pelaporan audit ini (Mulyadi, 2008:122), yaitu.
9
a) Menyelesaikan audit dengan meringkas semua hasil pengujian dan
menarik simpulan.
b) Menerbitkan laporan audit.
2.1.3 Opini Audit
Laporan audit merupakan hasil dari pelaksanaan audit seorang auditor yang
digunakan sebagai media komunikasi penyampaian informasi kepada pihak-pihak
berkepentingan. Laporan auditor merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan
pendapatnya, atau apabila keadaan mengharuskan, untuk menyatakan tidak
memberikan pendapat. Baik dalam hal auditor menyatakan pendapat maupun
menyatakan tidak memberikan pendapat, ia harus menyatakan apakah auditnya telah
dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan (Institut Akuntan Publik
Indonesia (IAPI), 2013). Dalam SA 200 dijelaskan bahwa tujuan audit atas laporan
keuangan oleh auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat tentang
kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan
ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Laporan auditor bentuk baku terdiri dari sembilan bagian yakni judul laporan,
pihak yang dituju, paragraf pendahuluan, tanggung jawab manajemen atas laporan
keuangan, tanggung jawab auditor, opini auditor, tanggung jawab pelaporan lainnya,
tanda tangan auditor dan tanggal laporan auditor (Haryono Jusup, 2014). Khusus pada
pargraf ketiga yakni paragraf pendapat dalam laporan auditor bentuk baku digunakan
untuk menyatakan pendapat mengenai laporan keuangan auditan. Pendapat auditor
10
menyatakan mengenai kewajaran laporan keuangan dan kesesuaiannya dengan prinsip
akuntansi berterima umum berdasarkan keyakinan profesionalnya.
Menurut Halim (2008:75), terdapat lima jenis pendapat yang dapat diberikan
oleh auditor, yaitu sebagai berikut ini.
1) Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
Pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan auditor apabila audit telah
dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan
keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan tidak terdapat
kondisi atau keadaan tertentu yang memerlukan bahasa penjelasan.
2) Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan tambahan bahasa penjelasan
Pendapat ini diberikan apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai
dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum, tetapi terdapat keadaan atau kondisi tertentu yang
memerlukan bahasa penjelasan. Kondisi atau keadaan yang memerlukan bahasa
penjelasan tambahan antara lain dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Pendapat auditor sebagian didasarkan atas laporan auditor independen lain,
b) Adanya penyimpangan dari prinsip akuntansi yang ditetapkan oleh IAI,
c) Laporan keuangan dipengaruhi oleh ketidakpastian yang material,
d) Auditor meragukan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya,
e) Auditor menemukan adanya suatu perubahan material dalam penggunaan
prinsip dan metode akuntansi.
11
3) Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
Sesuai dengan SA 508 paragraf 38 dikatakan bahwa jenis pendapat ini diberikan
apabila.
a) Tidak adanya bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan lingkup
audit yang material tapi tidak memengaruhi laporan keuangan secara
keseluruhan,
b) Auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip
akuntansi yang berlaku umum yang berdampak material tetapi tidak
memengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan. Penyimpangan tersebut
dapat berupa pengungkapan yang tidak memadai, maupun perubahan dalam
prinsip akuntansi. Auditor harus menjelaskan alasan pengecualian dalam satu
paragraf terpisah sebelum paragraf pendapat.
4) Pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar
posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum. Auditor harus menjelaskan alasan pendukung pendapat tidak
wajar, dan dampak utama dari hal yang menyebabkan pendapat tidak wajar
diberikan terhadap laporan keuangan.
5) Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
Pernyataan auditor untuk tidak memberikan pendapat ini diberikan apabila.
a) Ada pembatasan lingkup audit yang sangat material baik oleh klien maupun
karena kondisi tertentu,
12
b) Auditor tidak independen terhadap klien.
Dalam melaksanakan proses audit, auditor dituntut tidak hanya melihat pada
hal-hal yang ditampilkan dalam laporan keuangan tetapi juga harus lebih mewaspadai
kelangsungan hidup perusahaan dalam batas waktu tertentu (SPAP SA 341). Pada saat
auditor menetapkan bahwa ada keraguan yang pasti terhadap kemampuan klien untuk
melanjutkan usahanya sebagai going concern, auditor diijinkan untuk memilih apakah
akan mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian atau opini disclaimer. PSA 29
paragraf 1 huruf d, menyatakan bahwa keraguan yang besar tentang kemampuan suatu
usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya merupakan keadaan yang
mengharuskan auditor menambah paragraf penjelasan dalam laporan audit, meskipun
tidak memengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian yang dinyatakan auditor.
2.1.4 Opini Audit Going Concern
Laporan audit dengan modifikasi going concern merupakan suatu indikator
bahwa dalam sudut pandang penilaian auditor ditemukan risiko auditee tidak dapat
mempertahankan kelangsungan usahanya. Menurut Belkaoui (2006) going concern
adalah suatu dalil yang menyatakan bahwa kesatuan usaha akan menjalankan terus
operasinya dalam jangka waktu yang cukup lama untuk mewujudkan proyeknya,
tanggung jawab serta aktivitas-aktivitasnya yang tidak berhenti. Analisis auditor
sebelum memutuskan pemberian opini dengan modifikasi going concern meliputi
pertimbangan hasil dari operasi perusahaan, kondisi ekonomi yang memengaruhi,
kemampuan membayar utang, dan kebutuhan likuiditas di masa yang akan datang.
13
SPAP Seksi 341 memberikan pedoman kepada auditor tentang dampak
kemampuan satuan usaha untuk mempertahankan kelangsungan usahanya terhadap
opini auditor sebagai berikut.
1) Jika auditor yakin terdapat keraguan mengenai kemampuan satuan usaha dalam
mempertahankan kelangsungan usahanya dalam jangka waktu yang pantas, maka
auditor harus.
a) Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditunjukkan untuk
mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.
b) Menetapkan kemungkinan bahwa rencana tersebut secara efektif
dilaksanakan.
2) Jika manajemen tidak memiliki rencana untuk mengurangi dampak kondisi dan
peristiwa terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan usahanya, maka auditor mempertahankan untuk memberikan
pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer opinion).
3) Jika manajemen memiliki rencana untuk mengurangi dampak kondisi dan
peristiwa diatas, maka auditor menyimpulkan (berdasarkan pertimbangannya) atas
efektivitas rencana tersebut, dan.
a. Jika auditor berkesimpulan bahwa rencana tersebut tidak efektif, maka auditor
menyatakan tidak memberikan pendapat.
b. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif dan klien mengungkapkan
dalam catatan laporan keuangan, auditor menyatakan pendapat wajar tanpa
pengecualian.
14
c. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif akan tetapi klien tidak
mengungkapkan dalam catatan laporan keuangan, auditor memberikan
pendapat tidak wajar.
Menurut Vanstraelen (2002), yang termasuk dalam opini audit going concern
terdiri dari.
1) Laporan yang berisi pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan
(unqualified opinion report with explanatory language).
Jika auditor menyangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan usahanya dalam jangka waktu pantas, maka auditor wajib
mengevaluasi rencana manajemen. Apabila auditor telah berkesimpulan bahwa
rencana manajemen dapat secara efektif dilaksanakan maka auditor harus
mempertimbangkan mengenai kecukupan pengungkapan tentang kelangsungan
usaha dalam catatan atas laporan keuangan perusahaan mengenai sifat, dampak
kondisi, dan peristiwa yang semula menyebabkan ia yakin adanya kesangsian
mengenai kelangsungan hidup satuan usaha, mitigating factor dan rencana
manajemen. Apabila auditor berkesimpulan bahwa pengungkapan tersebut
memadai maka auditor akan memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian
dengan paragraf penjelasan mengenai kemampuan perusahaan dalam
mempertahankan kelangsungan usahanya.
2) Laporan yang berisi pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion
report).
15
Opini wajar dengan pengecualian diberikan kepada auditee apabila auditor
menyangsikan kelangsungan usahanya dan auditee melaksanakan rencana
manajemen untuk mengurangi dampak kondisi ketidakmampuan atas
kelangsungan usahanya. Tetapi auditor berkesimpulan bahwa manajemen tidak
membuat pengungkapan dan mengenai sifat, dampak, kondisi dan peristiwa yang
menyebabkan auditor menyangsikan kelangsungan usahanya. Auditor harus
menjelaskan semua alasan yang menguatkan pengecualian dan dicantumkan
sebelum paragraf pendapat. Auditor juga harus mencantumkan bahasa
pengecualian yang sesuai dan menunjuk keparagraf penjelas di dalam paragraf
pendapat. Berikut ini adalah contoh paragraf yang disajikan sebelum paragraf
pendapat yang berisi pendapat wajar dengan pengecualian.
“Prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia mewajibkan
pengungkapan faktor risiko tertentu yang berdampak signifikan terhadap kondisi
perusahaan yang dilaporkan atau operasi perusahaan di masa depan. Laporan
keuangan terlampir tidak berisi pengungkapan tentang dampak memburuknya
kondisi ekonomi Indonesia terhadap kemampuan perusahaan dalam
mempertahankan kelangsungan usahanya. Banyak negara di wilayah Asia
Pasifik, termasuk Indonesia, mengalami memburuknya kondisi ekonomi yang
terutama sebagai akibat depresiasi mata uang di wilayah tersebut.”
“Menurut pendapat kami, kecuali tidak diungkapkannya informasi
sebagaimana disebutkan dalam paragraf di atas, laporan keuangan yang kami
sebut di atas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi
16
keuangan perusahaan KXT tanggal 31 Desember 2007, hasil usaha, serta arus kas
untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum di Indonesia”
3) Pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Jika pengungkapan di dalam rencana manajemen tidak memadai dan tidak
dilakukan penyesuaian, padahal dampaknya sangat material dan terdapat
penyimpangan dari prinsip akuntansi berterima umum, maka auditor akan
memberikan opini tidak wajar. Paragraf yang berisi penjelasan tentang alasan yang
menyebabkan auditor memberikan pendapat tidak wajar yang dicantumkan
sebelum paragraf pendapat. Berikut ini adalah contoh paragraf yang disajikan
sebelum paragraf pendapat yang berisi pendapat tidak wajar.
“Memburuknya kondisi ekonomi Indonesia berdampak sangat material
terhadap posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan untuk tahun buku
2007.[Uraikan di sini dampak sangat material memburuknya kondisi ekonomi
tersebut terhadap pos pos tertentu dalam laporan keuangan]. Manajemen tidak
mengungkapkan hal tersebut dalam laporan keuangan dan tidak melakukan
penyesuaian sebagaimana yang seharusnya dilakukan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.”
“Menurut pendapat kami, karena dampak tidak dilakukannya
pengungkapan dan penyesuaian sebagaimana disebutkan dalam paragraf di atas
terhadap laporan keuangan tahun buku 2007, laporan keuangan tersebut di atas
tidak menyajikan secara wajar, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
17
umum di Indonesia, posisi keuangan perusahaan tanggal 31 Desember 2007 dan
hasil usaha, dan arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal
tersebut.”
4) Tidak menyatakan pendapat (disclaimer of opinion report).
Apabila setelah mempertimbangkan dampak kondisi perusahaan, auditor
menyangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan
usahanya dalam jangka waktu pantas maka auditor wajib mengevaluasi rencana
manajemen. Dalam hal satuan usaha tidak memiliki rencana manajemen atau
auditor berkesimpulan bahwa rencana manajemen entitas tidak dapat secara efektif
mengurangi dampak negatif kondisi atau peristiwa tersebut maka auditor
menyatakan tidak memberikan pendapat. Auditor akan memberikan penjelasan
atas keputusan untuk tidak memberikan pendapat pada paragraf sebelum paragraf
pendapat. Berikut ini adalah contoh paragraf yang disajikan sebelum paragraf
pendapat yang berisi pernyataan bahwa auditor tidak menyatakan pendapat.
“Catatan X atas laporan keuangan terlampir berisi ringkasan dampak
memburuknya kondisi ekonomi Indonesia atas posisi keuangan dan hasil usaha
perusahaan dan langkah-langkah yang ditempuh dan rencana yang dibuat oleh
manajemen di dalam merespon kondisi tersebut. Laporan keuangan terlampir
mencakup dampak memburuknya kondisi ekonomi tersebut, sepanjang hal itu
dapat ditentukan dan diperkirakan. Oleh karena sangat tidak stabilnya kurs mata
uang asing dan tarif bunga, yang berakibat terhadap kurangnya likuidasi dan
memburuknya kondisi ekonomi Indonesia, adalah tidak mungkin untuk
18
menentukan dampak memburuknya kondisi ekonomi tersebut terhadap kondisi
keuangan dan hasil usaha perusahaan dalam tahun 2008.”
“Karena adanya ketidakpastian besar mengenai kemampuan perusahaan
dalam mempertahankan kelangsungan hidup seperti yang kami kemukakan dalam
paragraf di atas, maka keadaan ini tidak memungkinkan kami untuk menyatakan,
dan kami tidak menyatakan, pendapat atas laporan keuangan tersebut di atas”
Bagaimanapun juga hampir tidak ada panduan yang jelas atau hasil penelitian
yang dapat dijadikan pemilihan tipe going concern report yang dipilih. Karena
pemberian status going concern bukanlah tugas yang mudah (Koh dan Tan, 1999). Mc
Keown et al. (1991) berpendapat bahwa auditor mungkin saja gagal untuk memberikan
pendapat tentang adanya indikasi kebangkrutan pada suatu perusahaan yang ternyata
mengalami kebangkrutan dalam beberapa tahun kedepan atau mendatang. Hal ini
disebabkan karena perusahaan tersebut sedang dalam posisi ambang batas antara
kebangkrutan dengan kelangsungan usaha.
Boynton (2002) menyatakan bahwa informasi yang mampu mengindikasikan
perusahaan mempunyai permasalahan going concern antara lain mencakup.
1) Tren negatif, seperti kerugian operasi yang berulang, kekurangan modal kerja, arus
kas negatif dari aktivitas operasi, dan rasio keuangan kunci yang buruk.
2) Petunjuk lain dari kemungkinan kesulitan keuangan, seperti tidak dapat membayar
utang atau perjanjian pinjaman, penunggakan pembayaran dividen, restrukturisasi
utang, dan ketidaktaatan terhadap persyaratan modal dasar.
19
3) Masalah internal, seperti penghentian kerja, ketergantungan yang besar pada
keberhasilan proyek tertentu, dan komitmen jangka panjang yang tidak ekonomis.
4) Masalah eksternal, seperti pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-
undang atau masalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan entitas
untuk beroperasi, kerugian pada franchise atau waralaba yang penting, lisensi atau
paten penting, kerugian akibat bencana besar yang tidak diasuransikan.
2.1.5 Leverage
Leverage menunjukkan proporsi atas penggunaan utang untuk membiayai
investasinya (Sartono, 2001:120). Leverage dapat diproksikan dengan debt ratio yaitu
membandingkan antara total kewajiban dengan total aktiva. Rasio ini mengukur tingkat
persentase utang perusahaan terhadap total aktiva yang dimiliki atau seberapa besar
tingkat persentase total aktiva dibiayai dengan utang. Semakin besar tingkat rasio
leverage menyebabkan timbulnya keraguan akan kemampuan perusahaan untuk
mempertahankan kelangsungan usahanya di masa depan karena sebagian besar dana
yang diperoleh oleh perusahaan akan digunakan untuk membiayai utang dan dana
untuk beroperasi akan semakin berkurang. Kreditor pada umumnya lebih menyukai
debt ratio yang rendah angka rasionya, maka semakin besar peredaman dari kerugian
yang dialami kreditor jika terjadi likuidasi. Semakin besar debt ratio maka akan
semakin besar kemungkinan auditor untuk memberikan opini audit going concern
karena semakin besar rasio ini menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin buruk
dan menimbulkan ketidakpastian mengenai kelangsungan hidup perusahaan. Di saat
20
perusahaan mengalami ketidakpastian mengenai kelangsungan hidupnya, di saat itulah
auditor akan memberikan opininya.
2.1.6 Profitabilitas
Profitabilitas merupakan salah satu indikator keberhasilan perusahaan untuk
dapat menghasilkan laba sehingga semakin tinggi profitabilitas maka semakin tinggi
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba bagi perusahaannya. Profitabilitas
dalam penelitian ini diukur dengan Return On Asset (ROA). Return On Asset (ROA)
digunakan untuk mengetahui besarnya laba bersih yang dapat diperoleh dari
operasional perusahaan dengan menggunakan seluruh kekayaannya. Rasio ini
merupakan variabel penting dalam pengukuran kinerja operasi yang dapat
mencerminkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan dan efisiensi
pengelolaan biaya guna mempertahankan kelangsungan usahanya.
2.1.7 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam berbagai proksi antara lain aktiva,
penjualan, dan kapitalisasi pasar. Proksi nilai aktiva digunakan untuk menjelaskan
ukuran perusahaan karena nilai aktiva menunjukkan seberapa besar kekayaan yang
dimiliki perusahaan dalam rangka melakukan kegiatan operasionalnya dan nilai aktiva
dipilih karena nilai yang dimiliki relatif lebih stabil dibandingkan dengan proksi lain
(Sudarmadji dan Sularto, 2007). Perusahaan dengan total aktiva yang besar akan
21
menunjukkan arus kas yang positif sehingga bisa dikatakan bahwa perusahaan tersebut
telah mencapai titik maturity dengan prospek yanag baik dalam jangka waktu panjang.
Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori, yaitu
perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium-size), dan perusahaan
kecil (small firm) (Widyantari, 2011). Auditor yang mengetahui ukuran perusahaan
akan memiliki pemahaman memadai mengenai seberapa besar volume bisnnis
perusahaan tersebut. Untuk perusahaan besar yang dianggap mampu mengatasi
turbulence kondisi keuangan, auditor cenderung lebih sering memberikan opini audit
non going concern. Perusahaan yang skalanya lebih kecil akan lebih cenderung
diberikan opini audit dengan modifikasi going concern karena auditor
mempertimbangkan kesangsian atas kemampuan perusahaan tersebut
mempertahankan kelangsungan usahanya.
2.1.8 Audit Tenure
Audit tenure adalah lamanya waktu perikatan yang terjalin antara Kantor
Akuntan Publik dengan klien atau auditee yang sama. Kedekatan antara auditor dengan
auditee sangat mungkin memengaruhi independensi seorang auditor terutama
kaitannya dengan ketidakrelaan auditor kehilangan fee yang tinggi ketika dihadapkan
dengan tanggung jawab menerbitkan opini audit dengan modifikasi going concern.
Sebaliknya terdapat argumen yang menyatakan bahwa waktu keterikatan yang lebih
lama dengan klien memungkinkan auditor untuk mendapatkan wawasan tambahan
guna melaporkan ketidakpastian going concern yang ditemukan dengan lebih baik.
22
Bagian Praktik Securities of Exchange Commission (SEC) Komite Eksekutif
(American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), 1992 dalam Widyantari,
2011) menyatakan laporan tentang audit tenure yang berisi beberapa argumen bahwa
dalam jangka panjang hubungan antara auditor dan perusahaan klien akan
menyebabkan masalah sebagai berikut ini.
1) Auditor mempunyai hubungan yang semakin dekat dengan manajemen klien yang
menyebabkan auditor untuk mengidentifikasi masalah manajemen dan kehilangan
skeptisisme profesional.
2) Auditor mungkin menganggap pengujian yang dilakukan sebagai pengulangan
dari perikatan sebelumnya sehingga auditor merasa sudah mengetahui lebih dulu
hasil dari pengujian tersebut. Hal ini menyebabkan auditor kurang mampu untuk
mengevaluasi perubahan penting dalam kondisi klien.
3) Auditor mungkin berkeinginan untuk menyelesaikan masalah perusahaan klien
dalam rangka mempertahankan hubungannya dengan klien. Memenuhi keinginan
manajemen klien mungkin menjadi prioritas auditor, dibandingkan mengikuti
standar profesional.
2.1.9 Reputasi Auditor
Auditor yang bereputasi baik cenderung akan menerbitkan opini audit going
concern jika klien terdapat masalah berkaitan going concern perusahaan. DeAngelo
(1981) berargumen bahwa auditor besar akan memiliki lebih banyak klien dan fee total
akan dialokasikan diantara para kliennya. DeAngelo (1981) berpendapat bahwa auditor
23
besar akan lebih independen, dan karenanya, akan memberikan kualitas yang lebih
tinggi atas audit. Krishnan dan Schauer (2000) mengelompokkan Kantor Akuntan
Publik besar dan kecil sebagai berikut: (1) Kantor Akuntan Publik besar adalah Kantor
Akuntan yang termasuk dalam big six accounting firm, dan (2) Kantor Akuntan Publik
kecil adalah kantor akuntan yang tidak termasuk dalam big six accounting firm. Choi
et al. (2010) menggolongkan KAP besar adalah KAP yang mempunyai nama besar
berskala internasional (termasuk dalam big four auditors) dimana KAP yang besar
menyediakan mutu audit yang lebih tinggi dibanding dengan KAP kecil yang belum
mempunyai reputasi.
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Leverage terhadap Opini Audit Going Concern.
Rasio leverage dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas perusahaan untuk
memenuhi kewajiban baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Rasio leverage
umumnya diukur dengan menggunakan debt ratio yaitu membandingkan total
kewajiban dengan total aktiva. Jumlah utang yang melebihi total aktiva menyebabkan
perusahaan mengalami defisiensi modal atau saldo ekuitas bernilai negatif. Makin
besar rasio ini menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin buruk dan dapat
menimbulkan ketidakpastian mengenai kelangsungan hidup perusahaan. Chen dan
Church (1992) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki aktiva yang lebih kecil
daripada kewajibannya akan menghadapi bahaya kebangkrutan. Penelitian Carcello
24
dan Neal (2000) serta Masyitoh dan Adhariani (2010) menemukan bahwa leverage
berhubungan positif dengan pemberian opini audit going concern.
Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai
berikut:
H1: Leverage berpengaruh terhadap opini audit going concern.
2.2.2 Pengaruh Profitabilitas terhadap Opini Audit Going Concern.
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dalam
hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri (Sartono,
2001:122). Investor jangka panjang akan sangat berkepentingan dengan analisis
profitabilitas. Profitabilitas perusahaan dapat diukur menggunakan Return On Asset
(ROA). Semakin besar rasio ini menunjukkan semakin besar kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba sehingga tidak menimbulkan keraguan auditor akan
kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya. Penelitian yang dilakukan oleh
Mutchler (1985), Chen dan Church (1992), Behn et al. (2001) menemukan bahwa
rasio ini berpengaruh negatif signifikan untuk memprediksi pembuatan keputusan
opini audit going concern.
Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
H2: Profitabilitas berpengaruh terhadap opini audit going concern.
25
2.2.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Opini Audit Going Concern.
Ukuran perusahaan dapat dilihat dari kondisi keuangan perusahaan
misalnya besarnya total aktiva. Krishnan dan Schauer (2000) berpendapat bahwa,
semakin besar perusahaan yang di audit, maka kualitas audit yang diberikan KAP juga
semakin besar. Kevin et al. (2006) menyatakan bahwa perusahaan dengan total aktiva
besar memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya bahkan ketika perusahaan mengalami financial distress. Oleh karena itu,
auditor akan menunda untuk mengeluarkan opini audit going concern dengan harapan
bahwa perusahaan akan dapat mengatasi kondisi buruk pada tahun mendatang.
Mutchler (1991) menyatakan bahwa auditor lebih sering mengeluarkan opini audit
going concern pada perusahaan kecil, karena auditor mempercayai bahwa perusahaan
besar dapat menyelesaikan kesulitan keuangannya daripada perusahaan kecil. Dilihat
dari penelitian yang dilakukan oleh McKeown et al. (1991), Mutcher et al. (1997),
Pendley (1998), Januarti (2009), Widyantari (2012), serta Gama dan Astuti (2014)
bahwa faktor ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap opini
audit going concern.
Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
H3: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap opini audit going concern.
26
2.2.4 Pengaruh Audit Tenure terhadap Opini Audit Going Concern.
Tenure adalah lamanya hubungan auditor-klien diukur dengan jumlah tahun
(Geigher dan Raghunandan 2002). Ketika auditor mempunyai jangka waktu hubungan
yang lama dengan kliennya, hal ini akan mendorong pemahaman yang lebih atas
kondisi keuangan klien dan oleh karena itu mereka akan cenderung untuk mendeteksi
masalah going concern. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 17/PMK.01/2008
tentang jasa akuntan publik disebutkan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan
keuangan dari suatu entitas dilakukan oleh KAP paling lama enam tahun buku berturut-
turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun buku berturut-turut. KAP
dan akuntan publik tersebut dapat menerima kembali jasa audit umum setelah satu
tahun tidak mengaudit klien tersebut. Semakin lama hubungan penugasan KAP
oleh perusahaan, dikhawatirkan dapat berpengaruh terhadap tingkat independensi
dari KAP tersebut. Semakin lama hubungan auditor dengan klien, maka dikhawatirkan
semakin rendah pengungkapan atas ketidakmampuan perusahaan dalam menjaga
kelangsungan usahanya. Hal tersebut akan memengaruhi penerimaan opini audit going
concern terhadap perusahaan (Junaidi dan Hartono, 2010). Didukung oleh penelitian
Geiger dan Raghunandan (2002), Januarti (2009), dan Junaidi dan Hartono (2010)
menyebutkan bahwa audit tenure memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
penerimaan opini audit going concern.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
H4: Audit Tenure berpengaruh terhadap opini audit going concern.
27
2.2.5 Pengaruh Reputasi Auditor terhadap Opini Audit Going Concern.
Auditor bertanggung jawab untuk menyediakan informasi yang berkualitas
tinggi yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan. Auditor yang bereputasi baik
cenderung akan menerbitkan opini audit going concern jika klien terdapat masalah
berkaitan going concern perusahaan. DeAngelo (1981) secara teoritis telah menganalis
hubungan antara kualitas audit dan ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP). Dia
berargumen bahwa auditor besar akan memiliki lebih banyak klien dan fee total akan
dialokasikan diantara para kliennya. DeAngelo (1981) berpendapat bahwa auditor
besar akan lebih independen, dan karenanya, akan memberikan kualitas yang lebih
tinggi atas audit. Krishnan dan Schauer (2000) mengelompokkan Kantor Akuntan
Publik besar dan kecil sebagai berikut: (1) Kantor Akuntan Publik besar adalah Kantor
Akuntan yang termasuk dalam big six accounting firm, dan (2) Kantor Akuntan Publik
kecil adalah kantor akuntan yang tidak termasuk dalam big six accounting firm. Choi
et al. (2010) menggolongkan KAP besar adalah KAP yang mempunyai nama besar
berskala internasional (termasuk dalam big four auditors) dimana KAP yang besar
menyediakan mutu audit yang lebih tinggi dibanding dengan KAP kecil yang belum
mempunyai reputasi. Hal tersebut didukung juga oleh Lennox (1999), Choi et al.
(2010), Francis dan Yu (2009).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H5: Reputasi Auditor berpengaruh terhadap opini audit going concern.