bab ii kajian pustaka ii.1. umum - · pdf filekonsekuensi dari kebijakan mengenai...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1. Umum
Konsekuensi dari kebijakan mengenai diwajibkannya tenaga ahli di bidang
konstruksi memiliki Sertifikat Keahlian (SKA) adalah dibutuhkannya kesadaran
dari tenaga ahli konstruksi bahwa Sertifikat Keahlian yang mereka miliki tersebut
merupakan suatu alat ukur yang menggambarkan bahwa tenaga ahli tersebut
memiliki kompetensi sesuai kualifikasi dan klasifikasi yang tercantum pada
sertifikat keahliannya. Kontraktor sebagai bagian dari masyarakat jasa konstruksi
dan yang berkait langsung dengan tenaga ahli konstruksi juga dituntut untuk dapat
meningkatkan kualitas pekerjaan mereka dengan mempekerjakan tenaga ahli yang
memiliki sertifikat. Sehingga dapat diharapkan kebangkitan dunia konstruksi di
Indonesia dan meningkatkan daya saing sumber daya manusia dan perusahaan
kontraktor untuk menghadapi persaingan global.
II.2. Lisensi dan Sertifikasi Profesi
II.2.1. Pengertian Lisensi dan Sertifikasi Profesi
Licensure yang biasa digunakan di luar negeri, yaitu ”a mandatory process by
which a governmental agency grants time-limited permission to an individual to
engage in a given occupation after verifying that he or she has met predetermined
and standardized criteria” (Mickie S. Rops, 2002). Proses licensure ini dilakukan
sebagai salah satu alat untuk melindungi kepentingan masyarakat umum dan
diberikan oleh Pihak Pemerintah.
Regulasi mengenai keperluan lisensi bagi berbagai jenis pekerjaan biasanya
didasari pada konsep pemikiran bahwa proses lisensi dapat meminimalisasi
ketidakpastian kualitas layanan kepada pihak konsumen; dan proses lisensi juga
dapat meningkatkan permintaan (demand) terhadap layanan jenis pekerjaan
tersebut. Di samping itu, kualitas atau kinerja yang rendah dari pelayanan oleh
beberapa jenis pekerjaan atau jabatan kerja, seperti dokter atau operator alat-alat
11
berat konstruksi, dapat mengakibatkan dampak sosial. Dalam hal ini, regulasi
mengenai syarat minimum kelayakan bekerja melalui proses lisensi menjadi
sangat relevan.
Dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan lisensi terhadap jenis-jenis
pekerjaan yang berhubungan dengan jasa konstruksi tentunya pihak pemerintah
perlu mempertimbangkan dampak lisensi terhadap masyarakat pengguna dan
dampak terhadap para pekerja atau praktisi konstruksi itu sendiri. Pemerintah
perlu mengkaji apakah kebijakan lisensi ini memang akan bermanfaat untuk
masyarakat pengguna dalam hal peningkatan kualitas layanan. Manfaat ini juga
perlu dikaji apakah sebanding dengan potensi peningkatan biaya layanan dan
peningkatan pendapatan para profesi yang berlisensi. Lisensi juga mendorong
orang/industri untuk berinvestasi dalam kegiatan-kegiatan yang menunjang
peningkatan kompetensi kerja yang spesifik, hal ini sejalan dengan pertimbangan
bahwa investasinya akan bermanfaat dalam jangka panjang karena hanya orang-
orang yang berlisensilah yang dapat menyediakan layanan tersebut. (Morris M
Kleiner,2006).
Professional Certification didefinisikan sebagai ”a voluntary process by which a
non-governmental entity grants a time-limited recognition to an individual after
verifying that he or she has met predetermined and standardized criteria” (Mickie
S. Rops, 2002). Jadi, proses sertifikasi profesi adalah suatu hal yang bersifat
sukarela yang dilalui oleh seorang tenaga kerja (ahli maupun trampil) dan proses
ini dilaksanakan bukan oleh pihak Pemerintah tetapi diatur oleh mekanisme
pasar/industri.
Sertifikasi dapat memberikan manfaat yang sama dengan lisensi, tanpa
menimbulkan dampak ekonomi yang sama dengan lisensi. Sertifikasi tidak
mengakibatkan pembatasan jumlah praktisi dan tidak mengakibatkan pembatasan
pilihan penyedia jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat pengguna. Dengan
sertifikasi, para praktisi juga dituntut untuk memenuhi kompetensi minimum
dengan melalui mekanisme ujian atau persyaratan-persyaratan lainnya.
12
Parker (2002) melakukan kajian mengenai kebijakan licensure and Voluntary
Certification in solar industry. Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
persyaratan untuk mendapatkan lisensi yang biasanya relatif berat (tingkat
pendidikan yang tinggi, pengalaman yang cukup, dan lain-lain) selayaknya
diterapkan hanya pada jenis-jenis pekerjaan yang memang benar-benar khusus
dan memiliki karakteristik risiko yang cukup tinggi terhadap masalah keselamatan
umum dan masyarakat pengguna sedangkan untuk jenis-jenis pekerjaan yang
diperlukan keahlian tinggi dan untuk mendorong peningkatan kualitas/kinerja
layanan, proses sertifikasi lebih cocok daripada lisensi.
Untuk pelaksanaan lisensi atau sertifikasi profesi diperlukan ditetapkannya suatu
standar sebagai acuan penilaian kompetensi. Kebijakan pengolahan tenaga kerja
profesional perlu ditetapkan dalam memasuki globalisasi perdagangan dunia,
untuk itu diperlukan segera ditingkatkannya penyusunan Standar Kompetensi
Kerja Nasional, baik Kompetensi Jabatan maupun Kompetensi Keahlian. Untuk
pembinaan dan pengawasan standar wajib dilakukan oleh Pemerintah, mengingat
prinsip satu negara hanya mempunyai satu standar nasional dan mengacu pada
standar internasional yang berlaku (DR. R. Sukhyar, 2005).
II.2.2. Dampak Penerapan Kebijakan Lisensi dan Sertifikasi Profesi
Sampai saat ini belum ada kesepakatan bahwa lisensi meningkatkan kesejahteraan
konsumen. Karena sampai saat ini komsumen masih sangat mudah untuk dapat
menggunkan jasa yang tidak memiliki lisensi. Masih banyaknya konsumen
menggunakan penyedia jasa ilegal dikarenakan banyaknya pilihan tarif dan mutu
pekerjaan (Svorny, 1999).
Pada tahun 1993, Svorny melakukan kajian mengenai lisensi untuk bidang
kesehatan. Pada penelitian tersebut, dapat disimpulkan beberapa keuntungan atau
dampak positif yang akan dirasakan oleh pemegang lisensi tersebut. Beberapa
keuntungan yang akan dirasakan adalah:
1. Jika seorang menderita suatu penyakit, maka dia akan berusaha untuk
menyembuhkan penyakit tersebut dengan cara berobat ke dokter. Jika
13
penderita tersebut tidak berobat ke dokter, maka penyakitnya tidak akan
sembuh dengan sendirinya, sehingga dokter akan mendapatkan bayaran yang
besar terhadap jasa yang diberikannya kepada pasien karena berhubungan
dengan keselamatan seseorang. (Svorny, 1993)
2. Biaya yang dikeluarakan untuk pelaksanaan tahapan pengurusan lisensi
(magang yang hanya mendapt gaji rendah) akan cepat tergantikan setelah
memiliki lisensi (Svorny, 1993).
3. Pemegang lisensi akan bekerja secara profesional karena mereka terikat
peraturan yang telah mereka sepakati.dan akan mendapatkan sanksi yang
sangat keras atau maksimal jika melanggar (Svorny, 1993).
Beberapa peneliti juga melakukan kajian keuntungan lain yang dirasakan oleh
pemegang lisensi, beberapa keuntungan lain tersebut adalah:
1. Biaya yang mahal jika menggunakan jasa tukang listrik dianggap wajar karena
pekerjaan tersebut memiliki beresiko memakan korban jika dikerjakan sendiri
oleh konsumen yang tidak memiliki keahlian. Sehingga konsumen tidak ada
pilihan lain (Carroll dan Gaston, 1983).
2. Mengurangi jasa agen untuk mempromosikan diri (Svorny, 1999).
3. Biaya monitoring akan menjadi lebih tinggi (Lazear, 1981).
4. Sertifikasi akan membuat seorang yang memiliki sertifikat akan bersaing
dengan yang memiliki sertifikat juga dan akan menyebabkan banting harga.
(Kaserman, 1980 dan Gellhorn, 1956)
5. Carroll dan Gaston (1981) menemukan mutu pengacara menjadi lebih
meningkat semenjak di berlakukannya lisensi untuk profesi tersebut.
Untuk kerugian atau dampak negatif dari kebijakan lisensi terhadap suatu bidang
pekerjaan atau profesi adalah:
1. Nilai lisensi akan Jatuh apabila terjadi kesalahan atau malpraktek yang
dilakukan oleh pemegang lisensi yang menyebabkan terjadinya kejadian yang
menghebohkan publik. Sehingga terjadi ketidak percayaan masyarakat
terhadap proses lisensi yang telah ada (Haug, 1980; Stevens, 1986; Ginsberg
dan Moy, 1992, Svorny, 1993).
14
2. Pada tahun 1954-1975 rata-rata mutu pekerjaannya merosot dan banyak
terdapat keluhan dari masyarakat. Hal ini diakibatkan para lulusan perguruan
tinggi hanya melakukan ujian dan langsung mendapatkan lisensi, sedangkan
pelatihan sangat kurang dilakukan kepada para lulusan tersebut (Maruizi,
1980).
3. Pemerintah diharapkan untuk lebih mementingkan mutu pendidikan dan
pelatihan dari pada hanya berkonsentrasi pada pengurusan lisensi saja (Phelan,
1974).
Keuntungan atau dampak positif dari kebijakan sertifikasi terhadap suatu bidang
pekerjaan atau profesi adalah:
1. Suatu sistem sertifikasi akan menghasilkan dampak positif yang sama dengan
sistem lisensi (Shapiro, 1986).
2. Ahli ekonomi lebih menganggap sertifikasi lebih baik dari pada lisensi karena
konsumen dapat menjadikan sertifikasi sebagai panduan. Konsumen dapat
menggunakan praktisi yang tidak memiliki sertifikat dengan pertimbangan
mereka masing-masing sehingga pilihan mereka lebih luas“konsumen dapat
membeli atau menggunakan mutu yang rendah sesuai kebutuhan mereka.
(Friedman, 1962).
Parker (2002) dalam kajiannya mengenai kebijakan licensure and Voluntary
Certification in solar industry. Keuntungan dan kerugian yang dirasakan oleh
pihak terkait terhadap kebijakan licensure pada Tabel II.1.
15
Tabel II.1. Keuntungan dan kerugian kebijakan licensure and Voluntary Certification in solar industry
No Pihak terkait
Keuntungan Kerugian
LISENSI
1 Industri
Meningkatkan pendapatan dan pengakuan profesionalitas dari karena adanya pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki
Biaya pelatihan dan pemenuhan persyaratan yang besar
2 Praktisi
Meningkatkan pendapatan dan pengakuan profesionalitas dari karena adanya pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki
Biaya pelatihan dan pemenuhan persyaratan yang besar dan pembatasan pekerjaan
3 Pemerintah Sumber pendapatan Biaya pengembangan dan pembuatan satandar yang besar
4 Konsumen Mendapatkan mutu pekerjaan yang baik
Besarnya bayaran jasa dan terbatasnya pemilihan penyedia jasa
SERTIFIKASI SUKARELA
1 Industri
Meningkatkan pendapatan dan pengakuan profesionalitas dari karena adanya pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki
Biaya pelatihan dan pemenuhan persyaratan
2 Praktisi
Meningkatkan pendapatan dan pengakuan profesionalitas dari karena adanya pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki dan peningkatan standar mutu pelayanan
Biaya pelatihan dan pemenuhan persyaratan
3 Pemerintah Mendapatkan mutu pekerjaan yang baik
Kecil, bahkan tidak ada
4 Konsumen Dapat memilih penyedia jasa dengan kualitas yang diinginkan
Tidak ada
(Wendy L Parker,2002)
16
Beberapa asosiasi profesi di Indonesia menawarkan beberapa manfaat yang
diharapkan akan didapatkan oleh para tenaga ahli, perusahaan konstruksi, dan
pengguna jasa jika para tenaga ahli konstruksi memiliki Sertifikat Keahlian
(SKA). Untuk lebih jelasnya manfaat-manfaat tersebut dapat dilihat pada Tabel
II.2 (Manfaat Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi Menurut Asosiasi Profesi di
Indonesia).
17
Tabel II.2. Manfaat Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi Menurut Asosiasi Profesi di Indonesia
Manfaat Stakeholder PII (www.pii.or.id) IAMPI (www.iampi.or.id) ATAKI (www..ataki.or.id) Pengakuan yang resmi dan berlaku secara nasional terhadap kompetensi dan profesionalisme
Peningkatan pengetahuan dan sikap dalam mengelola proyek.
Untuk mengukur sejauh mana kompetensi dirinya.
Tersedianya kesempatan peningkatan kompetensi dan profesionalisme berkelanjutan.
Lebih mampu mengontrol sasaran proyek Pengakuan profesionalitas seseorang.
Terciptanya jalur jenjang karier, jalur struktural dan manajemen.
Sarana untuk peningkatan jenjang karir Peningkatan performance sehingga mampu berkompetisi secara global.
Terdapatnya kemudahan untuk turut serta dalam proyek-proyek keinsinyuran
Pengakuan secara nasional atas kompetensinya.
Peningkatan profesionalisme dari personil
Terbukanya akses ke pasaran tenaga kerja keinsinyuran
Peningkatan ber-networking dengan rekan seprofesi.
Lebih mampu mengontrol proyek-proyek yang ditangani
Individu
Bukti atas standar kualifikasi profesionalisme personil.
Tersedianya sumber informasi yang terklasifikasi dan mutakhir untuk rekrutmen.
Komitmen nyata atas profesi Manajemen Proyek.
Sumber informasi tenaga kerja konstruksi.
Terciptanya iklim keprofesionalan dalam perusahaan,
Memenuhi undang-undang dan peraturan yang ada
Tersedianya instrumen untuk mengatur jenjang karier dan skala imbalan
Keyakinan untuk mendapatkan Jasa Manajemen Proyek yang Profesional.
Naiknya kinerja perusahaan akibat peningkatan motivasi dan produktivitas
Timbul suatu hubungan profesional antara pengguna dan penyedia jasa.
Tersedianya sistem klasifikasi tenaga ahli sebagai sarana bagi penataan industri jasa kontruksi
Penyedia
Jasa
Terwujudnya perlindungan bagi masyarakat atas keselamatan kerja dan mutu pekerjaan.
Keyakinan untuk mendapatkan Jasa Manajemen Proyek yang Profesional.
Sumber informasi tenaga kerja konstruksi. Pengguna
Jasa Timbul suatu hubungan profesional antara pengguna dan penyedia jasa.
18
Berikut ini adalah manfaat yang ditimbulkan akibat memiliki Professional
engineering licence di Amerika serikat menurut National Council of Examiners
for Engineering and Surveying (www.ncees.com):
1. Lisensi merupakan suatu jaminan perlindungan kesehatan, keselamatan dan
kesejahteraan pengguna jasa.
2. Dengan memiliki lisensi berarti telah memenuhi standar, mutu, etika dan
kemampuan yang telah diakui.
3. Lisensi dapat digunakan di negara bagian manapun dengan syarat terlebih
dahulu melapor kepada pihak yang berwenang di daerah tersebut.
4. Dapat menjalankan profesi tanpa pengawasan dari pihak lain
5. Memberikan peluang besar dan pilihan yang banyak dalam berkarir sesuai
lisensi yang kamu miliki
Pendapat beberapa orang yang memiliki professional engineering license di
Amerika Serikat mengenai manfaat yang dirasakan dengan memiliki Professional
Engineer licence (www.ncees.com) dapat dilihat pada Tabel.II.3 berikut:
19
Tabel II.3. Manfaat memiliki PE license
No Manfaat Profeesional Engineer
1 Untuk menfokuskan perhatian kepada peningkatan kualitas sehingga menjadi seorang insinyur yang berkompeten.
Michael Griffin, Ph.D., P.E., (administrator of NASA and a member of the National Academy of Engineering).
2 Menandakan bahwa seorang insinyur dapat bekerja dengan jujur, beretika dan transparan dan juga berarti bahwa seorang insinyur yang memiliki professional engineering licensure sangat mementingkan mutu dan tanggungjawab terhadap pekerjaannya.
Lilia Abron, Ph.D., P.E., ( the founder and president of PEER Consultants, an environmental and civil engineering firm headquartered in the Washington, D.C., area).
3 Menunjukan kemampuan seorang insinyur untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan bidang keahlian yang dimilikinya dan menjadi sebuah kebanggan dan gengsi bagi pemegangnya dan bermanfaat untuk meyakinkan para pengguna pemakai jasa.
Stephen D. Bechtel Jr., P.E.,(chairman retired and director of Bechtel Group Inc., the global engineering, construction, and project management company based in San Francisco)
4 Dapat meningkatkan karir, pengetahuan dan menjadi suatu kebanggan, karena Professional engineering licensure menggambarkan seorang insinyur yang memiliki kemampuan yang teknis yang baik dan memiliki etika profesional yang tinggi
Cameron H. G. Wright, Ph.D., P.E., (an IEEE Senior Member, is chair of the IEEE-USA Licensure and Registration Committee and is on the faculty of the University of Wyoming. Opinions expressed are the author's).
6 Selain kemampuan teknis, pengguna jasa juga mencari konsultan yang mampu memecahkan masalah dan bertanggungjawab. Tanggungjawab ini hanya dapat dicapai atau ditambah dengan cara memiliki Professional engineering licensure.
N. Catherine Bazan-Arias, Ph.D. Engineering Intern, Staff Engineer-in-Training GAI Consultants, Inc.
7 Profesi keinsinyuran adalah sebuah kotak peralatan. Semua pelajaran yang didapatkan di sekolah dan pengalaman kerja di lapangan adalah perkakas untuk kotak peralatan tersebut dan Professional engineering licensure akan menjadi salah satu perkakas yang paling utama.
Kathy Caldwell, P.E. President JEA Construction Engineering Services
(Sumber: www.ncees.com)
20
II.3. Serifikasi Tenaga Ahli di Bidang Jasa Konstruksi di Indonesia
II.3.1. Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi di Indonesia
Pasal 9 UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa orang
perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi
atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana
konstruksi harus memiliki Sertifikat Keahlian dan tenaga kerja yang
melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus
memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.
Penjelasan Pasal 9 UU No. 18/1999 tentang jasa konstruksi menyatakan bahwa
“Dengan demikian hanya orang perseorangan yang memiliki sertifikat tersebut
yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi”. Pengaturan
demikian secara implisit menjadikan Sertifikat Keahlian (SKA) dan Sertifikat
Ketrampilan (SKT) kerja adalah sebagai suatu surat ijin bekerja atau lisensi.
Dengan demikian, seluruh tenaga kerja konstruksi berkewajiban untuk memiliki
Sertifikat Keahlian atau Ketrampilan Kerja untuk memenuhi kewajiban
legalitasnya.
Pelaksanaan sertifikasi tenaga ahli lebih lanjut diatur dalam PP 28/2000 yang
menyatakan bahwa tenaga kerja konstruksi harus mengikuti sertifikasi
keterampilan kerja atau sertifikasi keahlian kerja yang dilakukan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dan Sertifikat Keterampilan kerja dan
Sertifikat Keahlian kerja yang telah diterbitkan sebelum dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah ini, tetap berlaku sampai masa berlakunya sertifikat berakhir atau
paling lama 1 tahun sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini.
LPJK yang beranggotakan Asosiasi Perusahaan, Asosiasi Profesi, instansi
pemerintah, dan pakar yang terkait, merupakan lembaga yang melakukan
pengembangan jasa konstruksi. LPJK sebagai suatu lembaga yang independen dan
mandiri, terdiri atas LPJK Nasional yang berkedudukan di ibukota negara dan
LPJK Daerah yang berkedudukan di ibukota propinsi. LPJK (nasional dan daerah)
memainkan peran utama dalam pembinaan tenaga kerja jasa konstruksi melalui
21
pelaksanaan fungsi akreditasi asosiasi profesi dan institusi pendidikan dan
pelatihan (diklat), serta registrasi tenaga kerja konstruksi.. Dalam pelaksanaannya,
proses sertifikasi ini dapat dilakukan oleh asosiasi profesi atau institusi
pendidikan dan pelatihan yang telah mendapat akreditasi dari Lembaga. Berbeda
dengan bentuk ijin-ijin lainnya di Indonesia, sertifikasi tenaga kerja konstruksi
(yang juga merupakan ijin kerja) tidak dilakukan oleh badan pemerintah
(government entity).
Maksud, tujuan, cara memperoleh Sertifikat Keahlian (SKA), dan sanksi kepada
pemegang Sertifikat Keahlian dijelaskan pada Keputusan Dewan Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional No. 71/KPTS/LPJK/D/VIII/2001
tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Ahli Jasa Konstruksi. Sertifikat
Keahlian untuk selanjutnya disebut SKA, adalah hasil sertifikasi atau tanda bukti
bahwa tenaga kerja telah mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk keahlian
tertentu yang dikeluarkan oleh Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi. Untuk lebih
lengkapnya dapat di lihat pada Lampiran I
Sertifikasi tenaga ahli jasa konstruksi dimaksudkan untuk menyatakan kompetensi
seseorang dalam suatu disiplin keilmuan dan atau kefungsian dan atau keahlian
tertentu di bidang jasa konstruksi, dan tujuan sertifikasi adalah memberikan
informasi obyektif kepada para pengguna jasa bahwa kompetensi tenaga ahli yang
bersangkutan memenuhi bakuan kompetensi yang ditetapkan untuk klasifikasi dan
kualifikasinya.
Pada tahun 2006, Pusat Pembinaan Keahlian Dan Teknik Konstruksi
(PUSBIKTEK) BPK-SDM Dep. PU menyimpulkan mekanisme Sistem Akreditasi
dan Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi yang berlaku saat ini, seperti dijelaskan
pada Gambar.II.1..
Berikut ini akan diuraikan mengenai proses Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga
Ahli Konstruksi yang ada di Indonesia versi LPJK:
22
1. Pertama-tama LPJK sebagai suatu lembaga yang indipenden dan mandiri,
menyusun dan merumuskan ketentuan-ketentuan mengenai tanggungjawab
profesi berlandaskan prinsip keahlian, kaidah keilmuan, kepatutan dan
kejujuran intelektual dengan mengutamakan kepentingan umum atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Bakuan Kompetensi. Setelah Bakuan
Kompetensi tersebut dibuat, kemudian disebarkan dan diteruskan untuk
diketahui dan dipelajari oleh pihak-pihak yang termasuk ke dalam Masyarakat
Jasa Konstruksi seperti: asosiasi perusahaan jasa konstruksi, asosiasi profesi
jasa konstruksi, pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa
konstruksi serta instansi Pemerintah yang terkait.
2. Untuk melakukan sertifikasi kepada anggotanya, asosiasi profesi terlebih
dahulu mengajukan akreditasi kepada LPJK. Dalam melakukan akreditasi
asosiasi profesi terlebih dahulu harus mempersiapkan seluruh persyaratan-
persyaratan dan memasukan permohonan akreditasi, yang kemudian diteliti
dan dinilai oleh Komite Akreditasi Asosiasi Profesi (KAA), tetapi sebelumnya
Asosiasi Profesi tersebut sudah harus menjadi anggota LPJK. KAA adalah
komite yang dibentuk oleh LPJK yang bertugas melakukan penelitian dan
penilaian kelayakan apakah Asosiasi Profesi dapat diberi akreditasi untuk
melakukan sertifikasi kepada anggotanya atau tidak. Penelitian dan penilaian
yang dilakukan oleh KAA adalah meliputi: 1). Segi kelayakan administratif;
2) Segi kelayakan organisasi; dan 3) Segi kelayakan program sertifikasi.
3. Apabila menurut penelitian dan penilaian KAA, asosiasi profesi tersebut layak
untuk memperoleh akreditasi, maka KAA berwenang untuk
merekomendasikan kepada Dewan LPJK, agar memberikan akreditasi kepada
asosiasi profesi tersebut. Rekomendasi tersebut harus disertai ketentuan-
ketentuan yang harus dipatuhi dan melekat dengan registrasi yang akan
diberikan. Tetapi apabila menurut hasil penelitian dan penilaian KAA, asosiasi
profesi tersebut tidak atau belum layak untuk memperoleh akreditasi, maka
KAA berwewenang untuk mengusulkan penolakan kepada Dewan LPJK
untuk tidak memberikan akreditasi kepada asosiasi profesi tersebut. Penolakan
23
tersebut harus disertai penjelasan tertulis mengenai persyaratan yang tidak
atau belum terpenuhi oleh asosiasi profesi yang mengajukan akreditasi.
4. Jika permohonan akreditasi yang diajukan oleh asosiasi profesi dinyatakan
tidak atau belum layak oleh KAA, maka asosiasi profesi kemudian melakukan
penyesuaian atau melengkapi persyaratan-persyaratan guna memenuhi
ketentuan penilaian dan mengajukan kembali permohonan akreditasi. Jika
permohonan akreditasi yang diajukan oleh asosiasi profesi dinyatakan layak
oleh KAA, maka LPJK Nasional akan memberikan akreditasi kepada asosiasi
profesi tersebut.
5. Setelah mendapatkan akreditasi dari LPJK, asosiasi profesi tersebut wajib
melaksanakan program sertifikasi yang proses dan prosedurnya sesuai dengan
Bakuan Kompetensi yang dibuat Dewan LPJK Nasional, dalam memberikan
sertifikasi kepada pemohon sertifikat keahlian. Proses dan prosedur tersebut
antara lain:
a. Persyaratan Untuk memohon SKA
b. Klasifikasi dan kualifikasi
c. Bakuan kompetensi
d. Tata cara memohon SKA
e. Tata cara memohon kenaikan kualifikasi SKA
f. Tata cara pemrosesan permohonan SKA dan kenaikan kualifikasi SKA
g. Tolak ukur penilaian SKA
h. Tata cara pengawasan dan pengenaan sanksi terhadap pelanggaran
i. Tata cara mengajukan pengaduan atau banding
j. Tata cara perpanjangan SKA
k. Biaya-biaya yang menjadi beban pemohon
6. Proses sertifikasi dilakukan oleh Badan Sertifikasi Asosiasi (BSA), BSA
adalah badan sertifikasi yang independen serta mandiri dan dibentuk oleh
asosiasi profesi. Apabila BSA menyatakan bahwa pemohon sertifikat keahlian
tersebut telah melakukan proses Sertifikasi sesuai dengan prosedur-prosedur
24
yang berlaku dan dinyatakan layak, maka BSA akan mengeluarkan Sertifikat
Keahlian (SKA) kepada Asosiasi Profesi tersebut.
7. Di dalam Sertifikat Keahlian tercantum pernyataan pemiliknya yang
menyatakan bahwa dalam melaksanakan keahliannya, yang bersangkutan
tidak akan melanggar Kode Etik dan Kode Tata Laku Profesi yang berlaku
baginya dan bersedia dikenakan sanksi bila yang bersangkutan melakukan
pelanggaran.
8. Setelah melakukan sertifikasi, Badan Sertifikasi Asosiasi wajib melakukan
registrasi untuk Sertifikat Keahlian yang akan diterbitkannya, karena Sertifikat
Keahlian (SKA) tersebut dinyatakan sah apabila telah diregistrasi oleh LPJK.
Persyaratan untuk registrasi meliputi penyerahan satu berkas permohonan
registrasi tenaga kerja yang disertai dengan blanko SKA yang telah diisi dan
membayar biaya registrasi. Dalam melakukan registrasi, LPJK menerapkan
sistem penomoran yang dilakukan menggunakan sistem informasi terpusat
untuk menghindari adanya duplikasi SKA.
25
(Sumber: PUSBIKTEK BPK-SDM Dep. PU) Gambar II.1. Bagan Alir Proses Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi di Indonesia yang berlaku saat ini dalam LPJK
26
Sampai saat ini terdapat 28 asosiasi profesi yang terdapat di Indonesia (Lampiran
II). Dari 28 asosiasi profesi tersebut, baru 21 asosiasi profesi telah mendapatkan
akreditasi dari LPJK. Yang diakreditasi oleh LPJK bukanlah asosiasi tersebut,
melainkan Badan Sertifikasi Keahlian (BSA) yang terdapat pada asosiasi profesi
tersebut. Setelah mendapatkan akreditasi dari LPJK, asosiasi profesi tersebut
dapat mensertifikasi anggotanya dengan ketentuan yang berlaku.
II.3.2. Penerapan Kepemilikan Sertifikat Keahlian (SKA) di Indonesia
Penerapan kepemilikan Sertifikat Keahlian (SKA) untuk pengadaan barang dan
jasa di wilayah departemen kimpraswil dimulai pada tahun 2004, yaitu setelah
dikeluarkannya Surat edaran menteri pada tanggal 19 februari 2003 Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah mengeluarkan Surat Edaran Nomor:
IK.02.05-Mn/135 Perihal Pengadaan Jasa Konstruksi Tahun Anggaran 2003 di
lingkungan Departemen KIMPRASWIL. Di dalam Surat Edaran tersebut
dinyatakan bahwa untuk mengikuti pengadaan jasa perencanaan konstruksi, jasa
pelaksanaan konstruksi, dan jasa pengawasan konstruksi penyedia jasa yang
berbentuk Badan Usaha salah satu yang harus dimiliki adalah Sertifikat Keahlian
(SKA). Jika penyedia jasa belum memiliki Sertifikat Keahlian, dapat disampaikan
surat keterangan dari Asosiasi terkait, terutama untuk Penanggung Jawab Teknis
pada Badan Usaha yang bersangkutan.
Pada bulan November 2003, dikeluarkan Keputusan Presiden nomor 80 tahun
2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Untuk
pelaksanaan Keppres tersebut, pemerintah memberikan kewenangan kepada
Menteri untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah sesuai bidangnya. Untuk bidang Permukiman dan Prasarana Wilayah,
dikeluarkan KEPMEN nomor: 339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pengadaan Jasa Konstruksi Oleh Instansi Pemerintah. Pada KEPMEN tersebut
penedia jasa diwajibkan memiliki tenaga ahli dan tenaga terampil yang telah
memiliki Sertifikat Keahlian (SKA) dan sertifikat ketrampilan (SKT) yang
diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
27
Keputusan Direksi PT.PLN No: 019 . K / 010/DIR/2004 tentang sertifikasi badan
usaha jasa konstruksi pekerjaan bidang elektrikal (SBU-E) dan penanggung jawab
teknik (PJT) di lingkungan PT. PLN (Persero) menyatakan pekerjaan jasa
konstruksi bidang elektrikal (pembangunan dan pemasangan instalasi
ketenagalistrikan) di wilayah kerja PT PLN (Persero) harus dilaksanakan oleh
Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) yang telah memiliki Sertifikat Badan Usaha
(SBU) dan penanggung jawab teknik (PJT) yang memiliki Sertifikat Keahlian
yang dikeluarkan asosiasi profesi yang telah mendapat akreditasi dari Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi.
Surat Edaran Nomor: 03/SE/M/2005 mengenai Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
untuk Instansi Pemerintah tahun anggaran 2005 menyatakan bahwa Penyedia jasa
konstruksi harus memiliki tenaga ahli konstruksi yang memiliki Sertifikat
Keahlian (SKA) dan untuk penilaian kualifikasi badan usaha besar dilakukan
penilaian mengenai pemilikan Sertifikat Manajemen Mutu ISO dan Sertifikat
Manajemen K-3 atau OHSAS.
Surat Edaran Nomor: 03/SE/M/2005 ini tidak menjelaskan siapa yang diwajibkan
memiliki Sertifikat Keahlian (SKA). Hal ini berbeda dengan Surat Edaran
Nomor: IK.02.05-Mn/135 tahun 2003 yang menjelaskan bahwa SKA diutamakan
bagi penaggung jawab teknis pada badan usaha yang bersangkutan. Surat Edaran
Nomor: 08/SE/M/2006 Perihal Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk Instansi
Pemerintah tahun anggaran 2006 juga tidak menjelaskan siapa yang diwajibkan
atau diutamakan unyuk memiliki sertifkat keahlian (SKA).
Dalam proses sertifikasi tenaga ahli konstruksi di Indonesia, semua asosiasi
profesi mempersyaratkan tingkat pendidikan, pengetahuan dan pengalaman kerja.
Persyaratan pengalaman tersebut memberatakan para lulusan perguruan tinggi
yang belum memiliki pengalaman kerja. Pada tahun 2005 LPJKN mengeluarkan
Surat Keputusan No. 88/KPTS/D/IX/2005 tentang Sertifikat Keahlian Pemula.
Sertifikat Keahlian Pemula (SKA-P) adalah sertifikasi orang perorangan yang
tenaga kerja yang bekerja pada bidang konstruksi pada kualifikasi tingkat pemula
28
yang hanya berlaku selama 1 tahun. Maksud penerbitan SKA-P untuk
menertibkan persyaratan minimal dan tatacara melakukan sertifikasi orang
perseorangan tenaga kerja yang bekerja pada bidang konstruksi pada kualifikasi
tingkat pemula, sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengakuan komptensi
yang lebih tinggi (SKA) dari asosiasi profesi yang telah mendapat akreditasi dari
Lembaga tingkat nasional.
LPJK mengeluarkan Peraturan LPJK No.11 tentang Registrasi Usaha Jasa
Pelaksana Konstruksi yang menyatakan bahwa setiap perusahaan yang ingin
mengajukan permohonan Baru, Perubahan atau Perpanjangan Sertifikat Badan
Usaha (SBU) pada tahun 2007 harus memiliki Sertifikat Keahlian (SKA) atau
sertifikat keterampilan (SKT) yang dipersyaratkan untuk tenaga ahli badan usaha
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Permohonan Sertifikasi untuk Kualifkasi Gred 7, Gred 6 dan Gred 5
(menengah dan besar) setiap PJT dan PJB harus memiliki Sertifikat Keahlian
(SKA) sedangkan untuk Kualifikasi Gred 4, Gred 3 dan Gred 2 (kecil) setiap
PJT dan PJB minimal harus memiliki Sertifkat Keterampilan (SKT).
2. SKA atau SKT dikeluarkan oleh Asosiasi Profesi yang terakreditasi LPJK
3. PJT atau Penanggung jawab teknis jumlahnya hanya 1 untuk setiap Badan
Usaha/perusahaan sedangkan untuk PJB atau Penanggung jawab bidang
jumlahnya minimal 1 (satu) orang untuk setiap bidang pekerjaan yang terdiri
dari bidang arsitektur, bidang sipil, bidang mekanikal, bidang elektrikal dan
bidang tata lingkungan.
Dari penjelasan kebijakan yang mengatur penerapan kewajiban sertifikasi bagi
tenaga ahli konstruksi di Indonesia di atas, di rangkum pada Tabel II.4 berikut.
29
Tabel II.4. penerapan kepemilikan Sertifikat Keahlian (SKA) untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah
Tahun Kebijakan Peraturan
1999 Setiap tenaga kerja konstruksi harus memiliki sertifikat kompetensi Undang-undang no 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi
2000 Pelaksanaan sertifikasi tenaga ahli dilakukan oleh lembaga independen
Peraturan pemerintah no 28 tahun 2000 tentang usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi
2001 Mengatur mengenai proses, syarat pengurusan SKA sampai dengan sanksi terhadap penyalahgunaan SKA
Keputusan LPJK No. 71/KPTS/LPJK/D/VIII/2001 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Ahli Jasa Konstruksi
Untuk pelaksanaannya pemerintah memberikan kewenangan kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan sesuai bidangnya
Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Tenaga ahli yang disediakan penyedia jasa wajib memiliki SKA
KepMen Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah
2004
Pekerjaan jasa konstruksi bidang elektrikal di wilayah kerja PT PLN (Persero), harus dilaksanakan oleh BUJK yang telah memiliki penetapan penanggung jawab teknik (PJT) memiliki SKA
Keputusan Direksi PT.PLN No:019. K / 010/DIR/2004 tentang sertifikasi badan usaha elektrikal (SBU-E) dan penanggung jawab teknik (PJT)
2005 Tenaga ahli yang disediakan wajib memiliki SKA Surat Edaran Nomor: 03/SE/M/2005 Perihal Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah TA 2005
2005 Mulai diberlakukannya Sertifikat Keahlian Pemula (SKA-P) untuk tenaga kerja yang belum memiliki pengalaman kerja. Surat Keputusan No. 88/KPTS/D/IX/2005 tentang SKA-P
Tenaga ahli yang disediakan wajib memiliki SKA Surat Edaran Nomor: 08/SE/M/2006 Perihal Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah TA 200
2006 PJT dan PJB untuk perusahaan menengah dan besar harus memiliki SKA Peraturan LPJK No.11 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana
30
II.3.3. Tenaga Ahli Konstruksi dan Badan Usaha Jasa Konstruksi
Pada tahun 2007, berdasarkan data LPJK diketahui jumlah tenaga ahli bidang
konstruksi yang telah memiliki Sertifikat Keahlian di Indonesia adalah 32.427
tenaga ahli (Tabel II.6). Jumlah Sertifikat Keahlian (SKA) yang telah teregistrasi
di LPJK adalah sebanyak 42.094 Sertifikat Keahlian. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa satu orang tenaga ahli memiliki lebih dari satu Sertifikat
Keahlian.
Tabel II.5. Statistik Tenaga Ahli & Sertifikat Tenaga Ahli 2007
Kualifikasi Jumlah Pemegang SKA Jumlah SKA Teregistrasi
Pemula 2838 (9,3%) 4008
Muda 21437 (65,8%) 28157
Madya 7215 (21,6%) 8785
Utama 944 (3,3%) 1144
Total 32427 42094
(Sumber: LPJK 2007)
Untuk Propinsi Jawa Barat, terdapat 3.957 tenaga ahli yang memiliki Sertifikat
Keahlian. Dari 25 kota dan kaupaten yang terdapat di Jawa Barat, 906 tenaga ahli
bersertifikat atau 23%nya teregistrasi di Kota Bandung.
Sampai saat ini belum semua asosiasi profesi yang mengeluarkan Sertifikat
Keahlian Pemula (SKA-P). Berdasarkan data LPJK, baru beberapa asosiasi
profesi yang mengeluarkan Sertifikat Keahlian Pemula (SKA-P) selain LPJK:
1. IAI Ikatan Arsitek Indonesia
2. PII Persatuan Insinyur Indonesia
3. HATHI Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia
4. PATI Perhimpunan Ahli Teknik Indonesia
5. IATPI Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia
6. ASTTI Asosiasi Tenaga Teknik Indonesia
7. ATAKI Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia
31
Berdasarkan data LPJK 2006, jumlah badan usaha di Indonesia adalah 133.833
perusahaan yang terdiri dari:
1. Klasifikasi Kecil = 117.695 (88%) Perusahaan
2. Klasifikasi Menengah = 14.729 (11%) Perusahaan
3. Klasifikasi Besar = 1.409 (1%) Perusahaan
Jika data di atas dibandingkan dengan jumlah tenaga ahli yang memiliki Sertifikat
Keahlian, maka dapat disimpulkan bahwa untuk satu badan usaha dengan
kualifikasi menengah dan besar memiliki 1-2 tenaga ahli bersertifikat.
II.4. Sertifikat Profesi Untuk Pekerjaan di Bidang Energi Dan Sumber
Daya Mineral
Pada tahun 2003, dikeluarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral nomor: 111/K/70/MEM/2003 tentang Pemberlakuan Standar Nasional
Indonesia Kompetensi Kerja Tenaga Teknik Khusus Minyak dan Gas Bumi
Sebagai Standar Wajib Di Bidang Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi. Pada
KEPMEN tersebut dinyatakan bahwa telah diberlakukan Standar Nasional
Indonesia Kompetensi Kerja Tenaga Teknik Khusus Minyak dan Gas Bumi yang
terdiri dari:
1. Bidang penyelidikan seismik
2. Bidang pemboran
3. Bidang perawatan sumur
4. Bidang operasi produksi lepas pantai dan darat yang menggunakan teknologi
setara lepas pantai
5. Operator pesawat angkat, pesawat angkut dan juru ikat beban
6. Bidang penanganan dan pengawasan mutu bahan bakar minyak dan pelumas
penerbangan
7. Bidang laboratorium pengujian migas
8. Bidang keselamatan dan kesehatan kerja
9. Bidang sistem manajemen lingkungan
10. Bidang ketel uap (boiler)
32
Standar Nasional Indonesia (SNI) ini merupakan standar wajib untuk setiap
tenaga kerja yang akan ditempatkan pada jabatan teknik khusus dalam kegiatan
usaha minyak dan gas bumi. Dan untuk tenaga teknik khusus migas yang telah
memiliki sertifikat tenaga teknik khusus minyak dan gas bumi yang masih
berlaku sebelum ditetapkannya keputusan menteri ini dianggap telah memiliki dan
memenuhi Kompetensi Tenaga Teknik Khusus Migas sebagaimana dimaksud
dalam Diktum Pertama sesuai dengan tingkat keahlian dan jabatannya.
Pesyaratan untuk tenaga ahli ini adalah minimal pendidikan SLTA dengan
pengalaman tertentu sesuai dengan bidang yang diambil. Tenaga ahli yang
diwajibkan memiliki sertifikat pada bidang MIGAS dalam melaksanakan
pekerjaan lebih sebagai operator, sehingga hampir sama dengan tenaga terampil
pada bidang konstruksi.
II.5. Penerapan Kepemilikan Sertifikat Profesi di Bidang Konstruksi di
Luar Negeri
II.5.1. Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi di Amerika Serikat (USA)
Di Amerika Serikat, lisensi untuk profesional pertama kali diterapkan untuk
profesi dokter gigi pada tahun 1883, kemudian disusul profesi dokter umum,
pengacara, apoteker, para akuntan, dan para profesional lainnya. Untuk engineer
dan land surveyor baru dilakukan pada tahun 1907. peraturan ini diciptakan
karena banyaknya orang yang berprofesi sebagai engineer dan land surveyor tidak
profesional.
Pada tahun 1950, semua negara di Alaska, Kolombia dan Poerto Rico telah
mengadopsi kebijakan ini. Sampai saat ini semua negara bagian di Amerika
mempunyai hukum yang mengatur praktek profesi engineer dan land surveyor. Di
berbagai negara maju, semakin banyak jenis-jenis pekerjaan (occupations) yang
memerlukan lisensi (licensing). Di Amerika Serikat misalnya, di tahun 1950-an
dari beberapa jenis pekerjaan yang memerlukan lisensi (licensed occupations),
tenaga kerja yang telah memiliki lisensi mencakup 4.5% dari jumlah seluruh
33
tenaga kerja yang harus memiliki lisensi. Angka ini meningkat menjadi 18% di
akhir tahun 1980-an dan meningkat lagi hingga mencapai 20% pada tahun 2000.
Terdapat 3 (tiga) kategori pekerjaan yang mendapatkan lisensi keahlian di
Amerika Serikat, yaitu bidang kedokteran, hukum dan teknik. Tujuan dari
pemberian lisensi kepada tenaga ahli teknik adalah untuk mencapai standar baik
melalui program pelatihan dan lulus test sebagai professional Engineers (PE) dan
menjamin kompetensi dari tenaga ahli profesional.
Lisensi ini diberikan sebelum tenaga ahli tersebut dapat mempraktekkan
keahliannya secara umum atau untuk kepentingan publik. Tetapi bagi mereka
yang belum mempunyai lisensi dapat bekerja tetapi harus lulus ujian Fundamental
Of Engineering dan bekerja dibawah tanggung jawab seorang yang telah memiliki
Professional Engineer licensure. Tetapi jika seseorang bekerja sendiri untuk
kepentingan publik tanpa seorang yang memiliki Professional Engineer licensure
dan tanpa seorang yang memiliki Professional Engineer licensure sebagai
penanggungjawab pekerjaannya, maka orang tersebut dinyatakan melanggar
hukum dan akan mendapatkan sanksi.
Hal mengenai pemberian lisensi ini menjadi tanggung jawab dari masing-masing
negara bagian. Tenaga ahli teknik yang ingin mendapatkan lisensi harus
mengajukan aplikasi kepada badan yang memberikan lisensi untuk masing-
masing negara bagian dimana tenaga ahli tersebut hendak melakukan pekerjaan.
Bidang-bidang keahlian teknik yang mendapatkan lisensi keahlian antara lain:
1. Teknik Sipil
2. Teknik Kimia
3. Teknik Elektro
4. Teknik Mesin
5. Teknik Lingkungan
6. Teknik Arsitektur
7. Teknik Industri
34
8. Teknik Metallurgi
9. Teknik Pertambangan
10. Teknik Kelautan
11. Teknik Nuklir
12. Teknik Perminyakan
Setiap negara bagian mempunyai banyak variasi dalam memberikan lisensi
kepada tenaga ahli teknik, tetapi secara umum tahapan dalam mendapatkan lisensi
adalah sebagai berikut:
1. Graduation
Lulus dari perguruan tinggi yang telah mendapatkan akreditasi dari ABET/EAC
yaitu suatu badan yang secara nasional memberikan akreditasi kepada organisasi
teknik dan kurikulum pendidikan.
2. Fundamental Of Engineering (FE) Exam
Fundamental Of Engineering (FE) Exam pertama kali dilakukan tahun 1965.
merupakan ujian pertama dalam proses pemberian lisensi. Biasanya pelaksanaan
ujian ini dilakukan pada bulan April dan Oktober setiap tahunnya. Setelah
melewati ujian ini maka akan diklasifikasikan sebagai sebagai Engineering Intern
(EI) atau Engineering-in-Training (EIT).
3. Work Experience
Setelah melewati tahap FE exam, maka tahapan selanjutnya untuk mendapatkan
lisesnsi adalah dengan menambah pengalaman di bidangnya. Dalam mendapatkan
pengalaman pekerjaan perlu diawasi oleh pihak yang telah mendapatkan lisensi
(PE). Persyaratan yang pengalaman untuk setiap negara bagian berbeda-beda,
biasanya berkisar 3-4 tahun. Pada saat memulai pekerjaan maka individu yang
akan mengikuti program untuk mendapatkan lisensi harus melaporkan kepada
badan yang berwenang untuk mengetahui pengalaman apa yang diperlukan dan
juga menanyakan kepada pihak PE perusahaan bagaimana cara mendapatkannya.
35
4. PE Exam
Setelah memperoleh pengalaman kerja yang disyaratkan maka akan dilanjutkan
dengan tahap ujian kedua dalam proses mendapatkan lisensi, yaitu the Principles
and Practice of Engineering (PE). Pelaksanaan ujian kedua ini biasanya juga
dilakukan pada bulan April dan Oktober setiap tahunnya, tapi kadang-kadang
hanya dilakukan pada bulan oktober.
Setelah melalui 4 (empat) tahapan yang disebutkan di atas maka individu yang
mengikutinya dapat memperoleh lisesnsi dari badan pemberi lisensi dan setelah
mendapatkan lisesnsi tersebut maka akan disebut sebagai professional engineer
(PE).
Bagi lulusan perguruan tinggi yang tidak mendapatkan akreditasi dari ABET,
belum ada peraturan yang baku mengatur mereka untuk dapat memiliki
professional engineer licensure. Pada beberapa negara bagian ada yang
mempersyaratkan mereka harus memiliki pengalaman 4-6 tahun, baru mereka
boleh mengikuti ujian Fundamental of Engineering. Professional Engineer (PE)
tersebut masih bersifat umum untuk bidang-bidang keahlian teknik. Untuk
menjadi Professional Engineer pada suatu sub bidang tertentu, seorang PE harus
memenuhi persyaratan tertentu, tergantung sub bidang yang bersangkutan.
Sebagai contoh, untuk dapat menjadi Professional StructurEngineer, seorang PE
harus telah memiliki pengalaman minimal 2 tahun bekerja spesifik pada bidang
struktur dari 8 tahun pengalaman minimal yang dimilikinya.
Organisasi-organisasi yang terlibat dalam proses lisensi Professional
Engineer(PE) di Amerika Serikat:
1. Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET)
ABET adalah suatu badan secara nasional yang memberikan akreditasi kepada
perguruan tinggi meliputi program dan kurikulum pendidikan di Amerika Serikat.
ABET berdiri sejak tahun 1932, telah mengakreditasi 2700 program dan 500
perguruan tinggi secara keseluruhan. Dengan melakukan akreditasi terhadap
36
program studi maka diharapkan akan dapat menjamin mutu pendidikan dari
program studi tersebut.
Terdapat dua bidang keahlian di bidang teknik yang diakreditasi oleh ABET, yaitu
Engineering, profesi dengan pengetahuan di bidang pengetahuan dasar
matematika dan pengetahuan alam (natural science) yang diperoleh dengan
melakukan studi atau dengan pengalaman dan prektek yang diaplikasikan untuk
pengembangan sumber daya secara ekonomis untuk mendapat manfaat, bidang
pendidikan yang diambil adalah pengembangan kemampuan konseptual dan
terdiri dari pengetahuan yang fundamental dan kemampuan desain. Engineering
Technology, tenaga ahli lapangan dengan kemampuan teknik dan metodenya
dalam mensuport aktifitas teknik. Program di bidang ini mempunyai orientasi
dalam pengaplikasian.
Dengan kata lain Engineering dapat disebut sebagai orang yang memahami
mengenai desain dan Engineering Technology adalah orang yang
mengimplementasikannya.
2. The National Council of Examiners for Engineering and Surveying (NCEES)
NCEES adalah organisasi yang memayungi badan-badan pada negara-negara
bagian yang mempunyai tanggung jawab dalam memberikan lisensi bagi bagi
tenaga ahli teknik. Organisasi ini juga mempunyai wewenang untuk menyiapkan
ujian bagi individu yang sedang mengikuti program studi di bidang teknik dan
menyiapkan ujian yaitu FE exam dan PE exam bagi individu yang telah lulus
program studi yang setara perguruan tinggi yang telah diakreditasi oleh ABET.
3. The National Society Of Professional Engineers (NSPE)
Suatu badan yang berdiri pada tahun 1934 yang menyokong pemberian sertifikasi
keahlian atau lisensi kepada tenaga ahli dalam bidang teknik di Amerika Serikat.
NSPE meliputi 53 negara bagian dengan jumlah anggota + 50.000 individu, yang
mencakup bidang tenaga ahli di bidang Konstruksi, Pendidikan, Pemerintahan,
Industri dan pihak swasta (private practice).
37
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akreditasi pendidikan,
sertifikasi dan lisensi merupakan hal yang saling berkaitan (baik langsung maupun
tidak langsung), yang sayangnya tidak dapat dirumuskan secara sederhana.
Kompleksitas ini semakin jelas terlihat dari adanya berbagai rumusan mekanisme
dan lembaga yang bertanggungjawab terhadap hal tersebut di negara-negara maju
yang akan dijadikan rujukan.
Penerapan professional engineer licensure di Amerika Serikat tidak berjalan
dengan lancar. Pada tahun 1999, terjadi suatu pertemuan antara para tenaga kerja
konstruksi yang telah memiliki pengalaman kerja lebih dari 5 tahun tetapi mereka
tidak memiliki penerapan professional engineer licensure dengan pihak-pihak
yang terlibat dalam penerapan professional engineer licensure yaitu ABET,
NSPE, dan NCEES (Emily M. Smith, 1999).
Pada pertemuan tersebut para tenaga kerja yang tidak memiliki penerapan
professional engineer licensuere mempermasalahkan kebijakan mengenai lisensi
ini. Beberapa kebijakan yang dipermasalahkan adalah:
1. Pada kebijakan tersebut untuk dapat mengikuti ujian penerapan professional
engineer, mereka harus mengikuti ujian Fundamental Of Engineering (FE)
terlebih dahulu. Dan materi ujian Fundamental Of Engineering (FE) adalah
materi-materi yang didapatkan pada saat perkuliahan. Dikarenakan mereka
telah lama lulus dan bekerja pada suatu bidang pekerjaan, sehingga mereka
memiliki permasalahan dalam menyelesaikan ujian tersebut.
2. Proses untuk mendapatkan professional engineer licensuere dianggap terlalu
banyak sekali seleksinya. Ujian Fundamental Of Engineering (FE) dianggap
sebagai ketidak percayaan terhadap proses akreditasi program studi suatu
pendidikan tinggi.
3. Lisensi telah menjadi pendapatan tetap yang lumayan besar bagi setiap negara
bagian sehingga terdapat keraguan oleh masyarakat terhadap kredibilitas dari
professional engineer licensuere. Hal ini dapt digambarkan dengan
berkurangnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang mengikuti ujian
Fundamental Of Engineering (FE) akhir-akhir tahun ini.
38
Pada pertemuan tersebut, para tenaga ahli yang tidak memiliki professional
engineer licensuere tersebut memberikan masukan untuk proses professional
engineer licensuere ke depan yaitu pemberian akreditasi oleh ABET kepada
pendidikan tinggi harus dapat menjawab tujuan dari dilakukannya ujian
Fundamental Of Engineering (FE), sehingga Fundamental Of Engineering (FE)
tidak perlu dilakukan lagi dan para lulusan perguruan tinggi yang mendapat
akreditasi dari ABET langsung dapat bekerja dibawah bimbingan seorang
professional engineer.
II.5.2. Sertifikasi Tenaga Ahli Konstruksi di Australia
Pemerintah Australia melalui Institution of Engineers Australia (IEAust), yaitu
sebuah badan nasional yang bekerjasama dengan pemerintah, industri dan badan
pendidikan, berusaha untuk memajukan bidang pendidikan teknik dan praktek
konstruksi di Australia. Institution of Engineers Australia (IEAust) memiliki
sebuah komponen yang bernama Engineers Australia Accreditation Board.
Engineers Australia Accreditation Board adalah badan yang diberikan mandat
oleh Council of IEAust untuk melakukan accreditation of engineering
programs/courses. Engineers Australia Accreditation Board dibentuk dengan
beranggotakan 6 orang dengan perwakilan dari dunia pendidikan paling sedikit 1
orang, perwakilan dari praktisi paling sedikit 2 orang, yang semuanya dipilih oleh
Council of IEAust.
Accreditation Board of IEAust bertugas untuk mengevaluasi permohonan-
permohonan akreditasi yang diajukan oleh Universities & Engineering Schools.
Setelah dievaluasi, kemudian akan direkomendasikan kepada Institution of
Engineers Australia (IEAust) dan Australian Council of Engineering Deans
(ACED) Consultative Comittee.
Setelah lulus dari Universities & Engineering Schools yang telah diakreditasi,
para lulusan dinyatakan memenuhi competency standards untuk Stage 1
(Graduate) yang telah ditentukan Institution of Engineers Australia (IEAust),
kemudian melakukan registrasi pada Institution of Engineers Australia (IEAust),
39
dan secara langsung akan teregistrasi sebagai Graduate Engineer. Setelah
teregistrasi sebagai Graduate Engineer, lulusan tersebut dapat bekerja pada bidang
profesinya, sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga ahli
yang teregistrasi sebagai Graduate Engineer.
Setelah bekerja pada bidang profesinya serta memiliki pengalaman yang cukup,
kemudian dapat mengajukan registrasi sebagai :
1. Professional Engineer;
2. Engineering Technologist
3. Engineering Officer (Engineering Associate)
Untuk bisa diregistrasi sebagai experienced practicioners di atas, tenaga ahli
dengan registrasi Graduate Engineer harus lulus dari competency standards for
Stage 2 (Experienced Practicioners) assessment yang dilakukan National
Engineering Registration Board (NERB).
Adapun ketiga gelar experienced practicioners di atas, memiliki kualifikasi dan
tangung jawab yang berbeda-beda, yaitu :
1) Professional Engineer
Professional Engineer mempunyai kualifikasi akademis dengan tingkatan
setara S1, atau sama dengan 4 (empat) tahun Professional Engineering
Degree di Australia.
Professional Engineer mempunyai tugas antara lain:
a. Fokus pada sistem secara keseluruhan
b. Mengembangkan dan mengaplikasikan praktek rekayasa yang baru
c. Mengaplikasikan kepemimpinan dan kemampuan manajemen
d. Memecahkan masalah
2) Engineering Technologist
Engineering Technologist mempunyai kualifikasi akademis setara dengan
program 3 (tiga) tahun pendidikan Engineering Technologist Degree di
Australia atau setara D3, dan mempunyai tanggung jawab sebagai berikut:
a. Fokus pada interaksi pada sistem
b. Modifikasi dan adaptasi praktek rekayasa
40
c. Kemajuan pada teknologi konstruksi
3) Engineering Officer (Engineering Associate)
Engineering Officer (Engineering Associate) mempunyai kualifikasi
akademis tingkat diploma dan mempunyai tanggung jawab fokus pada
elemen spesifik pada suatu sistem dan bekerja sesuai aturan atau
mengaplikasikan praktek dan prosedur-prosedur yang telah dibuktikan.
Selain harus melalui competency standards for Stage 2 (Experienced
Practicioners) assessment yang dilakukan National Engineering Registration
Board (NERB), ada cara lain untuk bisa diregistrasi sebagai experienced
practicioners, khusus untuk tenaga ahli konstruksi yang berasal dari luar
Australia, yaitu melalui Competency Demonstration Report (CDR). Sistem
sertifikasi tenaga ahli untuk bisa diregistrasi sebagai experienced practicioners
dapat dilihat pada Gambar II.3 di bawah ini.
Gambar II.3. Sistem Sertifikasi Tenaga Ahli di Australia
Registration
Graduate Enginner (Lulusan Universities &
Engineering Schools yang telah diakreditasi oleh IEAust)
Prof. Eng.
Graduate Enginner (Lulusan Universities &
Engineering Schools di luar Australia yang diakui IEAust)
Graduate Enginner (Lulusan Universities &
Engineering Schools di luar Australia yang tidak diakui IEAust)
Eng.Tech Eng.Ass.
Prof. Eng. Eng.Tec
Wasshington Accord
Sydney Accord
Competency Demonstration Report (CDR)
Assessment Assessment Ya Tidak
Ulang
Dapat Diregistrasi Sebagai Experienced Practicioners (Professionel Engineer, Engineering Technologist,
Engineering Associate)
(Sumber: www.engineers australia.org)
41
Australia mempunyai kerjasama dalam hal competency standards dengan negara-
negara lain, sehingga tenaga ahli yang berasal dari negara-negara yang terlibat
dalam kerjasama ini dapat mengajukan registrasi gelar experienced practicioners
(Professionel Engineer, Engineering Technologist). Bentuk kerjasama akreditasi
negara lain dengan di Australia tersebut antara lain:
1. Washington Accord
Merupakan suatu perjanjian kerjasama antara pihak-pihak yang berasal dari
negara-negara yang terlibat kerjasama dengan Australia dalam hal
competency standards untuk registrasi gelar Professional Engineers. Dengan
adanya kerjasama ini seorang tenaga ahli yang negaranya ikut dalam
kerjasama Washington Accord dapat mengajukan registrasi gelar
Professional Engineers di Australia, meskipun bukan merupakan lulusan
perguruan tinggi Australia.
2. Sydney Accord
Suatu bentuk perjanjian kerjasama antara pihak-pihak yang berasal dari
negara-negara yang terlibat kerjasama dengan Australia dalam hal
competency standards untuk registrasi gelar Engineering Technologist.
Dengan adanya kerjasama ini seorang tenaga ahli yang negaranya ikut dalam
kerjasama Sydney Accord dapat mengajukan registrasi gelar Professional
Engineers di Australia, meskipun bukan merupakan lulusan perguruan tinggi
Australia.
Untuk tenaga ahli yang berasal dari luar Australia, namun tidak termasuk dalam
negara-negara yang terlibat dalam kerjasama Washington Accord dan Sydney
Accord, maka akan melalui proses penilaian Competency Demontration Report
(CDR). Setelah melalui tahap CDR ini, maka pihak yang mengajukan akan
mendapat penyetaraan dengan tenaga ahli yang ada di Australia.