bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran dan...
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Berbicara Kepemimpinan dalam praktek tidak luput dari teknik, cara atau gaya
seperti apa yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam menjalankan peran
kepemimpinannya. Karenanya dalam penelitian ini, untuk mengukur
kepemimpinan kepala BKPP Kota Sukabumi, peneliti juga menggunakan teori
tentang gaya kepemimpinan dari beberapa tokoh dan hasil penelitian terdahulu
sebagai bahan referensi.
Terdapat beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan topik
kepemimpinan. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh R.Untung Gesang
(2001) dengan judul Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Produktivitas Kerja
Pegawai Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bandung mengemukakan
bahwa kepemimpinan itu dipengaruhi beberapa unsur, yaitu: Pemimpin yang
mempunyai wewenang untuk memimpin, Bawahan atau pengikut yang harus
dipimpin dan Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh pemimpin bersama-
sama dengan bawahan.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa dalam kepemimpinan terdapat
beberapa unsur yang harus ada di dalamnya yaitu pimpinan, bawahan dan tujuan
organisasi yang dicapai bersama-sama antara pimpinan dan bawahan.
Optimalisasi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab organisasi terletak pada
seberapa produktifnya peranan kepemimpinan yang diciptakan dalam mencapai
2
pelaksanaan tugas demi tercapainya tujuan organisasi. Kekompakan dan
keteguhan komitmen para pegawai dalam melaksanakan tugas adalah modal
pokok yang harus ditampilkan dalam organisasi. Artinya dengan pegawai sebagai
modal utama dalam mencapai tujuan organisasi perlu dikembangkan sumber daya
manusianya.
Usan Bagao (2002) melakukan penelitian Hubungan Tingkat Kematangan
Pengikut dengan Pemimpin dan Sumber Kekuatan pada Kepemimpinan
Situasional, menunjukkan bahwa suatu organisasi kepemimpinan merupakan
suatu faktor determinant guna berlangsungnya pencapaian tujuan organisasi
karena kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber dan alat-alat
lainnya yang terdapat dalam suatu organisasi.
Pemimpin tersebut melakukan pertukaran dengan yang dipimpin, terdapat pula
yang berpendapat bahwa pemimpin timbul karena situasinya yang memungkinkan
dia ada.
Penelitian mengenai gaya kepemimpinan juga pernah dilakukan oleh saudara
Yulianis pada tahun 2007, dari Universitas Padjadjaran dengan bidang kajian
utama Administrasi Publik. Dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai pada dinas kebudayaan, kesenian
dan pariwisata propinsi Riau. Penelitian saudara Yulianis yang menggunakan
metode eksplanatory research menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi kerja pegawai di dinas
kebudayaan, kesenian dan pariwisata propinsi Riau.
2.1.2. Kematangan Pegawai
3
2.1.2.1. Konsep Kematangan Pegawai
Untuk mendapatkan kinerja yang baik dan hasil kerja yang meningkat di suatu
organisasi kerja, pegawai harus memenuhi persyaratan atau memiliki: (1) keahlian
dan kemampuan dasar, yaitu sekelompok kemampuan, yang meliputi kemampuan
komunikasi, kemampuan teknik, kemampuan konseptual, (2) kualitas pribadi
yang meliputi mental, fisik, emosi, watak sosial, sikap, komitmen, integritas,
kesadaran, serta perilaku yang baik, (3) kemampuan administrasi meliputi
kemampuan menganalisis persoalan, memberi pertimbangan, pendapat,
keputusan, mengatur sumberdaya, dan berbagai macam kegiatan, lapang dada,
sabar, berpartisipasi aktif dalam berbagai aktivitas, dan motivasi yang tinggi
(Wahjosumidjo, 2001).
Kinerja pegawai yang baik harus ditopang oleh kualitas professional dalam
melaksanakan tugas. Perwujudan kualitas professional harus ditopang oleh jiwa
professionalisme sebagai sikap mental pegawai yang senantiasa mendorong
dirinya untuk mewujudkan dirinya sebagai pegawai yang professional. Kualitas
professional ditunjukkan oleh lima indikator, yaitu (1) keinginan untuk selalu
menempatkan perilaku yang mendekati standar ideal, (2) meningkatkan, dan
memelihara citra profesi, (3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan
pengembangan professional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas
pengetahuan dan keterampilan, (4) mengejar kualitas dan cita-cita profesi, (5)
memiliki kebanggaan terhadap profesi (Surya, 2003: 32). Kualitas profesional
tidak lain merupakan gambaran dari atau berkaitan dengan kematangan pegawai
di suatu organisasi kerja.
4
Lebih jauh Hersey dan Blanchard (1982: 179), mendefinisikan bahwa
kematangan kerja bawahan atau pegawai adalah kemampuan dan kemauan
pegawai dalam memikul tugas pekerjaan yang menjadi wewenang dan
ditanggungjawabi untuk mengarahkan perilakunya sendiri. Kematangan kerja
pegawai ini dikaitkan dengan tugas atau pekerjaan, aktivitas, fungsi, dan peran
tertentu yang perlu dilaksanakan, artinya pegawai tidak dapat dikatakan matang
atau tidak matang dalam arti menyeluruh. Pada dasarnya, sebagian besar pegawai
cenderung kurang matang dalam kaitannya dengan tugas, fungsi, peran, dan
sasaran spesifik yang diupayakan pemimpin untuk diselesaikan melalui
pegawainya atau bawahannya. Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diinduksi,
bahwa kematangan pegawai terkait dengan dua aspek yaitu (1) aspek kemampuan
kerja pegawai, dan (2) aspek kemauan kerja pegawai.
1) Kemampuan Kerja Pegawai
Kematangan kerja pegawai yang tercakup dalam aspek kemampuan kerja pegawai
meliputi dua ranah yaitu (1) ranah pengetahuan dan (2) ranah keterampilan.
Artinya, pegawai yang memiliki kematangan kerja yang tinggi dalam bidang
tugas pekerjaan tertentu memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman
untuk melaksanakan tugas pekerjaannya tersebut tanpa arahan orang lain
(Blanchard, 1996: 56). Kemampuan kerja pegawai adalah kapabilitas atau
kebisaan, kebolehan, dan keahlian pegawai di suatu organisasi kerja, dalam
melaksanakan tugas pekerjaan tertentu yang menjadi wewenang dan
tanggungjawabnya.
Kemampuan kerja pegawai mencakup kemampuan kerja intelektual, dan
kemampuan kerja fisik. Kemampuan kerja intelektual yaitu kapabilitas untuk
5
melaksanakan suatu tugas pekerjaan pada tataran atau yang berkaitan kegiatan
mental, dan kemampuan kerja fisik adalah kapabilitas menjalankan suatu tugas
pekerjaan yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan, dan karakteristik fisik
lainnya (Robbins, 1982: 187), dan merupakan sifat yang dibawa sejak lahir atau
yang dipelajari (Gibson, dkk. 1985: 54). Dengan kemampuan kerja, pegawai
mau, dapat, dan mampu menyelesaikan tugas pekerjaan yang menjadi wewenang
dan tanggungjawabnya dengan baik dan berhasil. Sedangkan keterampilan kerja
adalah kecakapan yang berhubungan dengan tugas pekerjaan, yang dimiliki, dan
digunakan pegawai untuk mengerjakan tugas pekerjaan yang menjadi wewenang
dan tanggungjawabnya, pada waktu yang tepat .
Jadi, kemampuan kerja pegawai adalah kadar sejauhmana pegawai memiliki
keterampilan, kemauan, mampu, bisa, serta dapat menyelesaikan suatu tugas
pekerjaan yang menjadi wewenang dan tanggungjawabnya sehingga memberikan
hasil dan mencapai tujuan organisasi kerjanya. Berdasarkan uraian di atas, jika
diinduksi dapat dinyatakan, bahwa kemampuan kerja pegawai meliputi dua ranah
yaitu (1) pengalaman kerja pegawai, dan (2) pengetahuan dan pemahaman akan
syarat pekerjaan pegawai.
(1) Pengalaman Kerja Pegawai.
Pengalaman kerja pegawai dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan, baik
pendidikan formal, nonformal, maupun informal, dan masa kerja baik di satu unit
organisasi kerja maupun di beberapa unit organisasi kerja. Jadi, pengalaman kerja
yang dimiliki pegawai bisa didapat selama mereka duduk di bangku sekolah atau
kuliah, pelatihan, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya, sehingga menjadi
pengalaman, kecakapan, dan keterampilan yang dimiliki untuk melakukan suatu
6
pekerjaan tertentu. Pengalaman kerja dapat dikatakan sebagai keahlian atau
keterampilan khusus yang dimiliki pegawai, yang meliputi tingkat pendidikan,
pelatihan yang pernah diikuti, yang mencerminkan kemampuan intelektual dan
keterampilan.
Pengalaman kerja pegawai merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan
tatkala pemimpin memberi tugas kepada pegawainya. Artinya, pemimpin dalam
memberikan tugas kepada pegawainya harus mempertimbangkan berbagai hal,
diantaranya bagaimana pekerjaan dilakukan dan tingkat pengalaman kerja
pegawainya atas pekerjaan tersebut, dengan tujuan agar pekerjaan yang diberikan
dapat dikerjakan secara baik, benar, efektif, dan efisien sehingga tujuan organisasi
dapat dicapai dengan optimum. Jika pegawai kurang berpengalaman di bidang
kerja yang akan diberikan kepadanya, maka pemimpinan perlu menjelaskan
kepada pegawai tersebut, bagaimana cara melakukannya, di mana dan kapan
dilakukan, dengan cara dan alat apa dikerjakan, sehingga pegawainya memahami
pekerjaan dan dapat mengerjakannya dengan baik dan berhasil.
(2) Pengetahuan dan Pemahaman Akan Syarat Pekerjaan Pegawai.
Pengetahuan dan pemahaman akan syarat pekerjaan pegawai adalah segala hal
yang layak dan tidak layak dikerjakan dengan baik oleh pegawai. Artinya,
pengetahuan tentang syarat pekerjaan merupakan faktor utama yang harus dimiliki
oleh pegawai. Pekerjaan tidak terlaksana dengan baik dan berhasil, jika pegawai
tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang syarat pekerjaan yang
menjadi wewenang dan tanggung jawabnya. Jika kondisi pegawai kurang
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang syarat pekerjaannya, maka
pimpinan hendaknya mengusahakan agar pegawainya dapat menyelesaikan
7
pekerjaan dan mengetahui serta memahami tentang pekerjaan yang akan
dilakukan pegawainya. Pemimpin dapat melakukan dengan cara menjelaskan
kepada pegawainya berbagai hal yang harus dipenuhi pegawai sehingga mereka
mampu melakukan pekerjaannya, diantaranya menunjukkan cara, tempat, waktu,
syarat, dll., dan membiarkan pegawai untuk mencoba melakukan suatu tugas
pekerjaan yang menjadi wewenang dan tanggungjawabnya, serta mengarahkan
dan memuji kemajuan yang diraiha atas hasil kerjanya (Blanchard, dkk. 1996:79-
82).
1) Kemauan Kerja Pegawai
Kemauan kerja pegawai adalah kematangan psikologis atau kematangan 'soft
skill', yang dikaitkan dengan komitmen, integritas, kemauan, dan motivasi, untuk
melakukan suatu tugas pekerjaan (Hersey & Blanchard, 1982: 187). Artinya,
pegawai yang sangat matang secara psikologis di suatu bidang tugas pekerjannya,
adalah pegawai yang bertanggung jawab, memiliki komitmen, integritas,
motivasi, dan memiliki keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia merasa mampu
melakukan suatu pekerjaan tertentu, dan tidak membutuhkan dorongan untuk
melakukan pekerjaan tersebut. Sebaliknya, pegawai yang tidak bertanggung
jawab, tidak memiliki komitmen, integritas, motivasi, dan tidak memiliki
keyajinan terhadap diri sendiri, bahwa ia merasa mempu melakukan suatu
pekerjaan tertentu, adalah pegawai yang memiliki kematangan psikologis rendah
di bidang tugas pekerjaannya. Pegawai yang kematangan psikologis rendah, perlu
mendapat dukungan dari pimpinan agar kinerjanya menjadi lebih baik, dan hasil
kerjanya meningkat, dan tujuan organisasi dapat dicapai sebagaimana yang telah
ditentukan sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, secara umum, kemampuan
8
kerja pegawai mencakup dua ranah yaitu (1) motivasi kerja pegawai, dan (2)
tanggung jawab kerja pegawai.
(1) Motivasi Kerja Pegawai
Motivasi kerja pegawai adalah 'perhatian dan antusiasme pegawai untuk
melaksanakan tugas yang menjadi wewenang dan tanggungjawabnya dengan baik
dan benar' (Blanchard, dkk., 1996: 57), 'sesuatu yang membuat orang bertindak
dalam cara-cara tertentu' (Nawawi, 2003: 3328), dan 'berupa konsep yang
menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri pegawai yang
memulai dan mengarahkan perilakunya' (Gibson, dkk., 1985: 94). Motivasi kerja
pegawai memiliki dua bentuk dasar berupa (1) motivasi hakiki (intrinsic
motivation), yaitu faktor dari dalam diri pegawai yang mempengaruhi untuk
melakukan suatu tugas pekerjaan yang menjadi wewenang dan
tanggungjawabnya, dan (2) motivasi buatan (extrinsic motivation), yaitu sesuatu
yang dilakukan pimpinan (orang lain) terhadap pegawainya untuk memotivasi
pegawainya sehingga mau melakukan suatu tugas pekerjaan yang menjadi
wewenang dan tanggungjawabnya, misalnya memberikan insentif, menciptakan
lingkungan kerja yang kondusif, menempatkan pegawai sesuai dengan
kompetensinya, dan sesuai dengan pekerjaan yang disenanginya.
(2) Tanggung Jawab Kerja Pegawai
Tanggung jawab kerja pegawai pada hakekatnya adalah tanggung jawab pegawai
dalam melaksanakan suatu tugas pekerjaan yang diembankan padanya dan dalam
lingkup wewenangnya. Tanggung jawab kerja pegawai, adalah suatu pengertian
yang di dalamnya mengandung norma etika, sosial, dan scientific. Artinya,
aktivitas pegawai di suatu bidang tugas pekerjaan yang dipertanggung-jawabkan
9
itu adalah baik, dapat diterima, disetujui orang-orang lain, dan mengandung
kebenaran yang bersifat umum. Tanggung jawab pegawai juga mengandung
keberanian mengambil resiko terhadap tantangan, hambatan, dan rintangan yang
menghalangi tercapainya tujuan pekerjaan yang telah diyakini kebaikan dan
kebenarannya. Jadi, tanggung jawab pegawai di bidang tugas pekerjaannya adalah
kesanggupan pegawai, yaitu kesanggupan untuk menjalankan tugas pekerjaan
yang menjadi wewenang yang diembankan padanya dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa kematangan pegawai
melaksanakan tugas pekerjaannya mencakup dua aspek, yaitu (1) kemampuan
kerja pegawai, dan (2) tanggung jawab kerja pegawai, dan masing-masin aspek
meliputi pengalaman kerja pegawai, pengetahuan dan pemahaman akan syarat
pekerjaan pegawai, motivasi kerja pegawai, dan tanggung jawab terhadap
prkerjaan pegawai. Kematangan pegawai dalam melaksanakan tugas pekerjaannya
direntang menjadi empat tingkatan, yaitu tingkat kematangan rendah (M1),
tingkat kematangan sedang (M2), tingkat kematangan cukup matang (M3), dan
tingkat kematangan sangat matang (M4) (Hersey & Blanchard, 1982:87). Masing-
masing tingkat kematangan pegawai tersebut memiliki cirri-ciri khusus, dan
diuraikan seperti pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 2.1
Ciri-Ciri Tingkat Kematangan Kerja Pegawai
No. Tingkat Kematangan
Kerja Pegawai Ciri-Ciri
1. Rendah (M1) Pegawai tidak mau dan tidak mampu
melaksanakan tugas yang menjadi wewenang
10
dan tanggungjawabnya, artinya kemampuan
pegawai dalam melaksanakan tugas rendah,
dan tidak mau bertanggung jawab. Faktor
penyebabnya, adalah tugas dan pekerjaan yang
menjadi wewenangnya jauh di atas
kemampuan pegawai, kurang mengerti apa
kaitan antara tugas dan tujuan organisasi kerja,
mempunyai sesuatu yang diharapkan tetapi
tidak sesuai dengan ketersediaan di tempat
kerja.
2. Sedang (M2) Pegawai tidak mampu melaksanakan tugas
yang menjadi wewenang dan
tanggungjawabnya, tetapi mau bertanggung
jawab, artinya walaupun kemampuan dalam
melaksanakan tugas rendah, tetapi memiliki
rasa tanggung jawab yang tinggi sehingga ada
upaya untuk berprestasi, dan mereka yakin
akan pentingnya tugas, dan tahu pasti tujuan
organisasi kerja yang akan dicapai. Faktor
penyebabnya, adalah pegawai belum
berpengalaman atau belum mengikuti
pelatihan, tetapi memiliki motivasi yang tinggi,
jabatan yang didududki baru, dimana semangat
kerjanya tinggi, tetapi bidangnya baru, dan
selalu berupaya mencapai prestasi, punya
harapan yang sesuai dengan ketersediaan yang
ada di tempat kerja.
3. Cukup Matang (M3) Pegawai mampu melaksanakan tugas yang
menjadi wewenang dan tanggungjawabnya,
tetapi tidak mau melakukannya karena satu
atau beberapa hal, tidak yakin akan
keberhasilan kerjanya, sehingga tugas tersebut
tidak dilaksanakannya. Pegawai seperti ini
ingin didengarkan keluhan, pendapat, dan
sarannya, serta perlu bantaun dalam
memecahkan masalah tugas pekerjaannya.
Faktor penyebabnya, adalah pegawai merasa
kecewa atau frustasi, misalnaya baru saja
mengalami alih tugas, restrukturisasi tugas
pekerjaan, atau organisasi kerja, dan tidak puas
dengan penempatan tugas pekerjaan yang baru.
4. Sangat Matang (M4) Pegawai mau dan mampu melaksanakan tugas
yang menjadi wewenang dan
tanggungjawabnya, artinya mereka memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan
tugasnya dengan baik dan berhasil,
memechkan masalah tugas pekerjaan yang
dihadapi, memiliki motivasi kerja yang tinggi,
11
dan besar tanggung jawabnya, serta kurang
membutuhkan pujian dan pengawasan yang
ketat dari pemimpin atau orang lain. Mereka
berpengalaman dan berkemampuan tinggi
dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya, serta
mendapat kepuasan atas prestasi kerja yang
diraih, dengan penuh keyakinan akan selalu
berhasil dalam kinerjanya.
Sumber : Rivai, 2008: 74-75.
Kematangan pegawai dalam melaksanakan suatu tugas pekerjannya sebagaimana
uraian di atas, dalam kondisi empirik keadannya relative bervariasi dari pegawai
ke pegawai lain, dan di suatu organisasi kerja yang satu ke suatu organisasi kerja
yang lain. Konsekuensinya, pemimpin dalam kepemimpinannya di suatu
organisasi kerja harus mengaplikasikan gaya kepemimpinan yang bervariasi, yang
sesuai dan serasi dengan tingkat kematangan pegawai sebagai bawahannya, dalam
melaksanakan suatu tugas pekerjaan yang menjadi wewenang dan tanggungjawab
pegawai
Gaya kepemimpinan, Secara langsung maupun tidak langsung mempunyai
pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja
karyawan/pegawai/bawahan. Hal ini didukung oleh Sinungan (1987) yang
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang termasuk di dalam lingkungan
organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Sehingga para bawahan bisa secara cepat menjadi bawahan yang profesional.
Sekarang ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya kepemimpinan yang dapat
meningkatkan produktivitas kerja pegawai, dimulai dari yang paling klasik yaitu
teori sifat sampai kepada teori situasional.Gaya kepemimpinan situasional adalah
yang paling baru dan sering di gunakan pemimpin saat ini. Gaya kepemimpinan
12
situasional dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok untuk
diterapkan saat ini untuk kematangan bawahan.
Sedangkan untuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan yaitu
bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang
seperti ini masih pengarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku
yang mendukung. Dalam hal ini pimpinan/pemimpin perlu membuka komunikasi
dua arah (two way communications), yaitu untuk membantu bawahan dalam
meningkatkan motivasi kerjanya.
Selanjutnya, yang mampu tetapi tidak mau melaksanakan tugas/tangung
jawabnya. Bawahan seperti ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk
melakukan pekerjaan, akan tetapi kurang memiliki kemauan dalam melaksanakan
tugas. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus
aktif membuka komunikasi dua arah dan mendengarkan apa yang diinginkan oleh
bawahan. Sedangkan gaya delegasi adalah gaya yang cocok diterapkan pada
bawahan yangmemiliki kemauan juga kemampuan dalam bekerja. Dalam hal ini
pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun pengarahan, karena
dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana mereka barus
melaksanakan tugas/tangung jawabnya. Dengan penerapan gaya kepemimpinan
situasional ini, maka bawahan/pegawai merasa diperhatikan oleh pemimpin,
sehingga diharapkan produktivitas kerjanya akan meningkat.
Menurut Paul Hersey dan Ken Blanchard, seorang pemimpin harus memahami
kematangan bawahannya dengan cermat sehingga dia tidak akan salah dalam
menerapkan gaya kepemimpinan. Tingkat kematangan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
13
1.Tingkat kematangan M1 (Tidak mampu dan tidak ingin) maka gaya
kepemimpinan yang diterapkan pemimpin untuk memimpin bawahan seperti ini
adalah Gaya Telling (S1), yaitu dengan memberitahukan, menunjukkan,
mengistruksikan secara spesifik.
2.Tingkat kematangan M2 (tidak mampu tetapi mau), untuk menghadapi bawahan
seperti ini maka gaya yang diterapkan adalah Gaya Selling/Coaching, yaitu
dengan Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk.
3.Tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak mau/ragu-ragu) maka gaya
pemimpin yang tepat untuk bawahan seperti ini adalah Gaya Partisipatif, yaitu
Saling bertukar Ide & beri kesempatan untuk mengambil keputusan.
4.Tingkat kematangan M4 (Mampu dan Mau) maka gaya kepemimpinan yang
tepat adalah Delegating, mendelegasikan tugas dan wewenang dengan
menerapkan system control yang baik.
Bagaimana cara pemimpin memimpin haruslah dipengaruhi oleh kematangan
orang yang kita pimpin supaya tenaga kepemimpinan kita efektif dan juga
pencapaian hasil optimal. Dengan mengenal tipe bawahan (kematangan dan
kesediaan) maka seorang pemimpin akan dapat memakai gaya kepemimpinan
yang sesuai.
Northouse (2001), bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan
transformasional ternyata dapat juga menunjukkan sebagai seorang pemimpin
yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan awal
positif untuk sebuah sekolah untuk berkembang menjadi lebih baik. Karena
kepemimpinan transformasional harus bisa membangun rasa percaya diri bawahan
sehingga merasa yakin kemammpuan yang akan dimiliki. Pemimpin harus
14
berharapan yang lebih tinggi kemungkinan harapan kepada bawahan untuk
menuju keberhasilan yang di harapkan
Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan
transformasional, yakni sebagai berikut:
1. Memberdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik
untuk organisasi
2. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai
yang tinggi
3. Mendengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan
semangat kerja sama
4.Menciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam
organisasi
5.Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan
contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
6.Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk
berkontribusi terhadap organisasi
2.1.2.2 Mengubah Kematangan Bawahan Melalui Modifikasi Perilaku
Modifikasi perilaku dapat diartikan sebagai: (1) upaya, proses, atau tindakan
untuk mengubah perilaku, (2) aplikasi prinsip-prinsip belajar yg teruji secara
sistematis untuk mengubah perilaku tidak adaptif menjadi perilaku adaptif, (3)
penggunaan secara empiris teknik-teknik perubahan perilaku untuk memperbaiki
perilaku melalui penguatan positif, penguatan negatif, dan hukuman, atau (4)
usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip
15
psikologi hasil eksperimen pada manusia. Menurut pandangan para ahli, menurut
Eysenk modifikasi Perilaku adalah upaya mengubah perilaku dan emosi manusia
dengan cara yang menguntungkan berdasarkan teori yangg modern dalam prinsip
psikologi belajar.
B.F Skinner : modifikasi perilaku : (1)perilaku yang menimbulkan
konsekuensi positif (imbalan) cenderung diulangi lagi. (2)dengan memberi
imbalan secara tepat dapat mempengaruhi perilaku. (3)perilaku lebih penting
daripada sebab-sebabnya, misal : motif, (4)perilaku yang timbul sebab motif nyata
(uang, hukuman, dll) adalah hal penting untuk memperbaiki masalah kinerja,
(5)kebutuhan tak nyata, misal : penghargaan.
Tujuan pengembangan bawahan sebagai pematangan adalah membangkitkan
perasaan mereka untuk mau bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Atasan yang mempunyai perhatian kepada bawahannya dapat
membantu bawahannya dalam pengembangan diri. Ada empat faktor penting yang
dibutuhkan dalam pengembangan untuk kematangan bawahan. Dalam
memperhatikan faktor-faktor tersebut harus bekerja sama dengan bawahannya
bertanggung jawab dalam mencapai target hasil yang direncanakan.
1. Menetapkan Target Hasil
Penetapan target hasil ini merupakan bagian dari rencana kerja yang melandasi
peraturan-peraturan dasar yang mengkoordinasikan usaha-usaha para mandor,
supervisior dan manajer dalam kerjasamanya. Menetapkan standar pelaksanaan
yang terpadu akan banyak keuntungannya bagi semua pihak yang berkepentingan
dan akan mempermudah mencapai sasaran organisasi.
16
Dalam istilah standar pelaksanaan perlu dibedakan, bahwa istilah tersebut
mencakup dua segi yaitu penetapan standar target yang harus dicapai oleh
kelompok dan peroranangan kedua hal tersebut saling berkaitan erat. Organisasi
secara keseluruhan sebagai suatu sistem dan bagian-bagian yang dikoordinirnya
adalah sebagai sub sistem, melaksanakan tujuan utama organisasi secara sinkron.
Akan tetapi dalam hal ini harus kita perhatikan bahwa ada perbedaan yang
prinsipil dalam pelaksanaanya antar manajer tengah dan bawah untuk
mewujudkan hasil kerjatujuan umum itu. Dengan tidak menyimpang terlalu jauh
dari standar pelaksanaan umum, setiap manajer-bagian sebagai kepala subsistem
mempunyai pola kebijakan sendiri-sendiri untuk memimpin, mengatur dan
mengelola bawahannya dalam subsistemnya. Tetapi walaupun setiap bagian
sebagai subsistem dalam suatu sistem itu mempunyai standar pelaksanaan yang
berbeda namun secara garis besarnya akan tetap menuju kepada tujuan umum.
Setiap manajer bagian dalam subsistem menggariskan kebijakannya secara
kelompok yang dipertanggung jawabkan kepada manajer atas.
Dengan demikian setiap manajer bagian dikatakan membuat standar pelaksanaan
untuk target kelompok. Sedangkan top-manajer membuat kebijakan umum
sebagai kepala eksekutif sistim, untuk mengelola dan mencapai tujuan pokok
organisasi, adalah dalam hal standar pelaksanaan target hasil personal. Dia
bertanggung jawab kepada pemilik perusahaan atau kepada para pemegang
saham.
Seluruh target hasil yang dinyatakan dalam standar pelaksanaan itu dikatakan
efektif bila mengandung karakteristik sebagai berikut :
17
• Sebagai hasil musyawarah antara atasan dan bawahan mengenai apa yang
harus dikerjakan dengan baik.
• Jika mungkin merupakan sejumlah bilangan hasil perbanyakan dan
terukur. Istilah kualitatifnya hanya digunakan sebagai usaha terakhir.
• Istilah-istilah yang samar atau mengaburkan seperti “biasanya”, “kadang-
kadang” dan “beberapa” harus dihindarkan karena akan menimbulkan
salah pengertian.
• Terbuka kepada bawahan bahwa mereka dibatasi oleh beberapa faktor
dalam pengawasan, dan mereka harus jujur menerima pengarahan bagi
kepentingan organisasi daripada melaksanakannya setengah-setengah.
• Mencurahkan perhatian 20% dari waktu dalam pertemuan untuk
pengembangan usaha penjualan (sebagai segi positifnya) dan penyerahan
urusan perusahaan harus kurang dari 5% (sebagai segi negatifnya)
• Dapat memperoleh hasil dan terus mendorong usaha-usaha bawahan yang
baik.
• Melengkapi peralatan kerja yang harus dikerjakan.
• Mencerminkan urutan prioritas yang rasional.
• Setelah menempuh suatu periode waktu tertentu, diadakan penelitian
kembali dan perbaikan seperlunya.
2. Keuntungan Bagi Bawahan
Standar bukan hanya memberikan pengarahan oleh supervisior tetapi juga memun
gkinkan energinya lebih bertujuan. Bawahan percaya bahwa supervisior
pada dasarnya akan menilai dari segi pelaksanaan daripada dari segi-segi yang
tidak relevan seperti politik, favoritisme, azas senioritas, dsb.
18
Hal yang lebih penting, dengan adanya standar memungkinkan para supervisior
akan memperoleh pengalaman sbb :
•Melakukan kewajiban sendiri
Karena manajer atau supervisior berpartisipasi dalam menetapkan standar maka
patut menerima dan berusaha keras untuk mengukurnya.
•Merencakan sendiri
Tahu akan hasil-hasil tertentu yang akan dipertanggung jawabkannya maka
selanjutnya dapat merencanakan bagaimana mencapai hasil yang lebih baik.
•Memotivasi sendiri
Jika standar tersebut realistik maka hal tersebut merupakan tantangan baginya
untuk berhasil.
•Mengawasi sendiri
Begitu sasaran menjadi jelas maka beban pengawasan bergeser dari atasan
kepadanya.
•Mendisiplinkan diri sendiri
Dia cenderung untuk mendisiplinkan dirinya sendiri daripada menunnggu sampai
majikannya menegurnya.
•Mengelola sendiri
Standar dalam arti tertentu adalah suatu kepercayaan kepada atasan. Supervisior
mempunyai kebebasan untuk mengurus sumber-sumber miliknya supaya
mencapai sasaran.
•Mengembangkan sendiri
Karena standar dapat diterima dan daripada pelaksanaanya setengah-setengah,
maka dia berpendapat hasil harus dicapai secara ketat.
19
•Mengajar sendiri
Menunaikan kewajibannya menghasilkan memungkinkan dia mersa puas karena
bertambahnya kecakapan dan kemauan.
3. Keuntungan Bagi Organisasi
Jika setiap orang berhasil (bekerja) maka kemudia sasaran tujuan perusahaan akan
dicapai. Penaikan pangkat dapat diteliti segera dan perencanaan tenaga kerja
manusia dapat disedehanakan. Ketidakberhasilan mencapai target memberikan
suatu dasar untuk pelatihan dan penyuluhan. Analisis sebab-sebab
ketidakberhasilan menolong bawahan itu untuk meningkatkan atau menunjukkan
kepindahannya ke bagian lain dalam perusahaan dimana dia mungkin akan
sukses.
4. Menempatkan Target Hasil
Cara yang dilakukan dalam menempatkan target hasil yaitu dengan menyususn
keadaan kondisi yang dapat dikuasai jika setiap aspek dari seluruh tugas itu dapat
dikerjakan, dengan menggunakan deskripsi posisinya sebagai titik tolaknya.
Empat macam cara menempatkan target hasil :
• Aspek pekerjaan harus selektif
• Aktivitas harus digambarkan
• Sasaran yang hendak dicapai aktivitas harus diperinci
• Kriteria sukses harus didefinisikan secara tegas
Ada 10 langkah dalam proses mengubah dan membentuk perilaku bawahan:
1. Menampung proses perubahan perilaku.
Perilaku berubah secara bertahap, bukan sekaligus. Seseorang menguasai
satu komponen, bergerak maju, mengubah tahap berikutnya, hingga semua
20
komponen dikuasai, dan sebuah perilaku baru yang kompleks “terbentuk”.
Dalam hal ini bisa memberikan prioritas kepada setiap aspek dan
menghargainya secara berurutan, bisa dalam bentuk pujian lisan, promosi,
dan segala sesuatu yang berarti bagi mereka.
2. Tentukan pola-pola perilaku baru dengan rinci.
Menyatakan apa yang diinginkan untuk dicapai secara menyeluruh serta
rinci atau detil, dan dibagi dalam jumlah kecil yang mudah dicapai, yaitu
dilakukan dengan kerincian.
3. Memberikan umpan balik pada setiap prestasi
Sebagian besar orang selalu tertarik dengan seberapa baik prestasi. Tidak
adanya umpan balik, sering menimbulkan perilaku setengah-setengah, atau
bahkan tidak dapat diterima sama sekali.Memberikan pemahaman tentang
hasil-hasil perilaku bawaha. Hal ini bisa memotivasi untuk terus
memperbaikinya.
4. Menanggapi perilaku secepat mungkin.
Menginformasikan kepada bawahan, bahwa mengetahui perilaku bawahan
begitu perilaku tersebut terjadi. Misalnya, jika seseorang datang ke kantor
tepat waktu, maka ketepatan waktu ini harus diakui dan dicatat.
5. Menggunakan penguatan (reinforcement) yang kuat.
Untuk dapat menjadi efektif, maka penghargaan penting bagi pegawai.
Sebagai bentuk penguatan, penguatan juga harus cukup kuat, baik untuk
mengundang perilaku baru maupun mempertahankan perilaku yang benar.
Penghargaan yang ada harus diterangkan dengan bijak dan rinci.
6. Menggunakan penguatan secara berkesinambungan.
21
Perilaku-perilaku baru harus ditanggapi setiap waktu terjadi. Penguatan ini
harus dilanjutkan hingga perilaku ini menjadi sebuah kebiasaan, yaitu
secara konsistensi.
7. Menggunakan beragam penguatan untuk perawatan.
Meskipun perilaku tersebut telah menjadi kebiasaan, itu perlu dihargai,
meskipun tidak harus setiap kali.
8. Menghargai kerjasama kelompok (teamwork) – bukan persaingan.
Hubungan yang saling membantu adalah suatu keharusan untuk membina
semangat kelompok. Oleh karena itu, sistem penghargaan harus
menerapkan hal ini. Sasaran kelompok dan penghargaan kelompok adalah
satu cara untuk mendorong kerjasama, dalam keadaan-keadaan dimana
pekerjaan dan prestasi saling bergantung. Dengan melakukan pertemuan-
pertemuan “pemecahan masalah kelompok”, maka setiap orang dapat
terlibat dalam kerjasama kelompok dan prestasi kerja yang tinggi.
9. Mengaitkan semua penghargaan dengan prestasi kerja.
Untuk dapat belajar, maka pegawai perlu tahu: mengapa mereka dihargai
atau mengapa dalam beberapa hal tidak dihargai, bahkan bisa
mendapatkan hukuman. Misalnya, kenaikan gaji secara rutin setahun
sekali, menjadi tidak jelas, mengapa kenaikan gaji diberikan, ini tidak bisa
memberikan motivasi perilaku. Oleh karena itu, mengkaitkan semua
penghargaan itu langsung dengan perilaku adalah hal yang penting pula.
10. Tetap mengingat dan menghargai prestasi kerja yang tinggi.
Memastikan bahwa orang-orang yang berprestasi tinggi menyadari, bahwa
mereka diakui sebagai orang yang berprestasi tinggi, dan dihargai
22
sewajarnya. Jika dilupakanmereka yang berprestasi tinggi, dan tidak
menghargainya, maka itu akhirnya akan merusak prestasi kerja mereka
selanjutnya. Begitu mereka sudah berprestasi tinggi, perlu tetap diberikan
motivasi tinggi kepadanya.
2.1.3. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan, mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan
tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam
memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk
tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan
pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya
menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang
dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya
kepemimpinan.
Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada
dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri,
bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan.
Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan
proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan
(p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p,
b, s).
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat
mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja
maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan
23
berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan
setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan
teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan (b) adalah seorang atau
sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut
yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati
bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai
peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan
bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan
dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang
kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu
mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam
rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan
pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada
saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian,
ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan,
bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan
akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
Ellis O. Kelly dalam Soebagio S. (1999:44) membagi pola tata laku umum
gaya kepemimpinan sebagai berikut: 1) Gaya kepemimpinan Otoriter; 2) Gaya
Kepemimpinan Demokrasi; 3) Gaya Kepemimpinan Laissez-faire. Gaya
kepemimpinan otoriter pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pimpinan, pada
gaya kepemimpinan demokrasi pertanggungjawaban ada di tangan seluruh
anggota kelompok, sedangkan gaya kepemimpinan laissez-faire
24
pertanggungjawaban didistribusikan kepada setiap anggota sebagai individu yang
terpisah-pisah. Gaya kepemimpinan otoriter dan demokratis memiliki garis
kepemimpinan yang jelas, sedangkan laissez-faire tidak terdapat garis
kepemimpiann yang jelas, sehingga cenderung mengarah kepada kebebasan total.
Menurut Kartini Kartono(1998:167) bahwa gaya kepemimpinan demokratis
dalam situasi normal, keadaannya lebih superior daripada gaya kepemimpinan
otoriter dan laissez-faire. Sebab utamanya adalah: 1) orang biasa menghimpun
dan memanfaatkan semua informasi dan kearifan dari semua anggota kelompok,
2) orang tidak menyandarkan diri kepada kepandaian atau kemampuan pribadi
pemimpin saja.
Hasil penelitian Fiedler (1997:28-29) dalam pengukuran orientasi
kepemimpinan yang mengembangkan Least-Preferred Co-Worker (LPC) Scale
untuk mengukur dua gaya kepemimpinan: 1) tugas (melakukan kontrol,
memberikan struktur) kepemimpinan, dan 2) pengaruh (pasif, pengertian)
kepemimpinan, menemukan bahwa tiap gaya kepemimpinan akan efektif dalam
situasi tertentu. Hal ini berarti bahwa efektivitas kepemimpinan sangat tergantung
dari situasi yang sedang dihadapi (situasional). Adakalanya pada situasi tertentu
gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas lebih efektif digunakan oleh
pemimpin daripada berorientasi pada hubungan dan pada situasi lain
kepemimpinan yang berorientasi pada pengaruh yang lebih efektif digunakan
daripada berorientasi pada tugas.
Davis dan Newstrom (1985:167) mengemukakan bahwa pendekatan yang
digunakan oleh Fiedler telah memberikan sumbangan penting. Dikatakannya
bahwa pendekatan tersebut telah mendorong agar manajer untuk: 1) Mengkaji
25
situasi mereka orang-orang, tugas dan organisasi, 2) Luwes menggunakan
berbagai keterampilan dalam keseluruhan gaya, 3) Mempertimbangkan untuk
memodifikasi unsur-unsur pekerjaan guna memperoleh kesesuaian yang lebih
baik dengan gaya yang lebih mereka sukai.
Menurut Veithzal Rivai (2004:91) “Kepemimpinan memerlukan tiga hal yaitu:
(1) melakukan, (2) memfasilitasi sehingga orang lain bisa bekerja secara lebih
efektif, dan (3) tak lakukan apa-apa, merefleksi dan menghabiskan waktu untuk
berfikir”.
Menurut Henry Mintzberg (dalam Veithzal Rivai, 2004:91), seoarang
Amerika yang mengadakan studi eksekutif puncak beberapa tahun lalu, aktivitas
pemimpin dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu:
1) Kepemimpinan Interpersonal. Pemimpin bertindak sebagai puncak figur
dan simbol, memiliki tanggung jawab untuk memotivasi dan memimpin
staf dan membutuhkan hubungan dengan kontak jaringan kerja.
2) Kepemimpinan Informasional. Pemimpin memonitor informasi dalam
skala luas menyebarkan informasi dan bertindak sebagai juru bicara.
3) Kepemimpinan Desisional. Pemimpin berperan sebagai pekerja
wiraswastawan yang mencari kesempatan, menginisiasi kemajuan,
membawa perubahan dan mengawasi beberapa proyek serta pemcah
hambatan dengan tanggung jawab untk mengambil tindakan korektif.
Iajuga bertanggung jawab untuk mengalokasikan berbagai sumber daya
dan bernegosiasi untuk organisasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Veithzal Rivai (2004:13) mengemukakan
bahwa “ketika seorang pemimpin mengungkap beberapa strategi dalam
26
memainkan perannya dalam menentukan emosi bersama, dimana para pemimpin
dengan gayanya yang khas berbicara dan ketika itu sudah dapat dipastikan bahwa
bawahannya akan mendengarkannya dengan seksama.
Pada dasarnya ketika pemimpin memberi pujian, mengkritik sifat baik atau
buruk, memberi dukungan atau tidak mau tahu kebutuhan masyarakat, mereka
dapat mengemas misi kelompok itu dengan cara-cara yang dapat memberikan arti
labih ke kontribusi masing-masing anggota kelompok. Sebagai pemimpin dapat
memandu dengan cara yang lebih jelas dalam pekerjaan mereka dan itu
mendorong fleksibilitas, memberikan kebebasan orang untuk mengungkapkan
perasaan mereka dan bagaimana cara mendapatkan pekerjaan. Semua upaya ini
penting artinya dalam menentukan dampak emosional pimpinan.
Pemimpin akan selalu berusaha untuk mempengaruhi para anggota atau
pengikutnya agar mau melaksanakan apa yang dikehendakinya. Untuk dapat
memenuhi kehendak itu, para pemimpin menggnakan berbagai cara agar
keinginannya itu dilaksanakan. Cara-cara yang digunakan/dipraktekkan oleh para
pemimpin dalam mempengaruhi pengikutnya itulah yang disebut dengan gaya
kepemimpinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugandha (1986:70) yang
mengatakan bahwa tiap-tiap pemimpin memiliki cara-cara tersendiri dalam
mendorong pengikutnya untuk mau bekerja sama.
Sedangkan teori gaya kepemimpinan yang dijadikan acuan dalam penelitian ini
adalah teori gaya kepemimpinan situasional dari Paul Hersey dan Ken Blanchard,
yang mengemukakan bahwa:
27
“The theory states that instead of using just one style, successful leaders
should change their leadership styles based on the maturity of the people
they’re leading and the details of the task. Using this theory, leaders
should be able to place more or less amphasis onthe task, and more or less
amphasis onthe relationships with the people they’re leading, depending
on what’s needed to get the job done successfully”.
“Pemahaman fundamental dari teori kepemimpinan situasional adalah
tentang tidak adanya gaya kepemimpinan yang terbaik. Kepemimpinan
yang efektif adalah bergantung pada relevansi tugas, dan hampir semua
pemimpin yang sukses selalu mengadaptasi gaya kepemimpinan yang
tepat”.
Definisi kepemimpinan situasional adalah ” A Leadership Contingency Theory
That Focuses on Followers Readiness/Maturity”. Dimana inti dari teori
kepemimpinan situasional adalah bahwa gaya kepemimpinan seorang pemimpin
akan berbeda-beda, tergantung dari tingkat kesiapan para pengikutnya.
Teori kepemimpinan situasional bertumpu pada dua konsep fundamental yaitu:
(1) tingkat kesiapan/kematangan individu atau kelompok sebagai pengikut dan (2)
gaya kepemimpinan. Dimana gaya kepemimpinan yang tepat bergantung pula
pada kesiapan/kematangan individu atau kelompok sebagai pengikut. Tingkat
kesiapan/kematangan pengikut ditandai oleh dua karakteristik, yaitu: (i) The
ability and willingness for directing their own behavior; dan (ii) The extent
towhich people have and willingness to accomplish a specific task.
Berdasarkan kriteria mampu dan mau , maka diperoleh empat tingkat
kesiapan/kematangan pengikut (Follower Readiness) sebagai berikut: Readiness1-
Kesiapan tingkat 1 menunjukkan bahwa pengikut tidak mampu dan tidak mau
mengambil tanggungjawab untuk melakukan tugas. Pada tingkat ini, pengikut
tidak memiliki kompetensi dan tidak percaya diri. Readiness 2- Menunjukkan
pengikut tidak mampu melakukan suatu tugas, tetapi ia sudah memiliki kemauan.
Motivasi yang kuat tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan kerja yang
28
memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. Readiness 3- Menunjukkan situasi
dimana pengikut memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai
untuk melaksanakan tugas-tugas. Tetapi pengikut tidak mau melaksanakan tugas-
tuas yang diberikan oleh pemimpinnya. Readiness 4- Menunjukkan bahwa
pengikut telah memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang dibutuhkan
untuk melaksanakan tugas-tugas, disertai dengan kemauan yang kuat untuk
melaksanakannya.
Tingkat kesiapan/kematangan individu atau kelompok yang berbeda menuntut
gaya kepemimpinan yang berbeda pula. Hersey dan Blanchard memilah gaya
kepemimpinan dalam perilaku kerja dan perilaku hubungan yang harus
diterapkan terhadap pengikut dengan derajat kesiapan/kematangan tertentu.
Perilaku kerja meliputi penggunaan komunikasi satu arah, pendiktean tugas, dan
pemberitahuan pada pengikut seputar hal apa saja yang harus mereka lakukan,
kapan, dan bagaimana melakukannya.
Berikut ini empat gaya kepemimpinan (leadership styles) yang disarankan sesuai
dengan tingkat kematangan pegawai, menurut Hersey dan Blanchard: S1
(Telling/pemberitahu)- gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut rendah (M1).
Ini menekankan perilaku tugas tinggi dan perilaku hubungan yang terbatas. Gaya
kepemimpinan telling (kadang-kadang disebut directing) adalah karakteristik gaya
kepemimpinan dengan komunikasi satu arah. Pemimpin memberitahu individu
atau kelompok soal apa, bagaimana mengapa, kapan dan dimana sebuah pekerjaan
dilaksanakan. Pemimpin ini selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang
rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung. S2 (Selling/penjual)- gaya ini
paling tepat untuk kesiapan pengikut moderat (M2). Ini menekankan pada jumlah
29
tugas dan perilaku hubungan yang tinggi. Pada tahapan gaya kepemimpinan ini
seorang pemimpin masih memberi arahan namun ia menggunakan komunikasi
dua arah dan memberi dukungan secara emosional terhadap individu atau
kelompok guna memotivasi dan rasa percaya diri pengikut. Gaya ini muncul kala
kompetensi individu atau kelompok meningkat, sehingga pemimpin perlu terus
menyediakan sikap membimbing akibat individu atau kelompok belum siap
mengambil tanggung jawab penuh atas proses dalam pekerjaan. S3
(Participating/Partisipatif)- gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi
dengan motivasi moderat (M3). Ini menekankan pada jumlah tinggi perilaku
hubungan tetapi jumlah perilaku tugas rendah. Gaya kepemimpinan pada tahap ini
mendorong individu atau kelompok untuk saling berbagi gagasan dan sekaligus
memfasilitasi pekerjaan dengan semangat yang mereka tunjukkan. Gaya ini
muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam melakukan pekerjaannya
sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap sebagai pengarah. Pemimpin tetap
memelihara komunikasi terbuka, tetapi kini melakukannya dengan cenderung
untuk lebih menjadi pendengar yang baik serta siap membantu pengikutnya.
Tugas seorang pemimpin adalah memelihara kualitas hubungan antar individu
atau kelompok. S4 (Delegating/pendelegasian)- gaya ini paling tepat untuk
kesiapan pengikut tinggi (M4). Ini menekankan pada kedua sisi yaitu tingginya
perilaku kerja dan perilaku hubungan dimana gaya kepemimpinan pada tahap ini
cenderung mengalihkan tanggungjawab atas proses pembuatan keputusan dan
pelaksanaannya. Gaya ini muncul tatkala individu atau kelompok berada pada
level kompetensi yang tinggi sehubungan dengan pekerjaannya.Gaya ini efektif
karena pengikut dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh untuk
30
mengambil tanggung jawab atas pekerjaannya. Tugas seorang pemimpin hanyalah
memonitor berlangsungnya sebuah pekerjaan.
Dari keempat notasi di atas, tidak ada yang bisa disebut teroptimal setiap saat bagi
seorang pemimpin. Pemimpin yang efektif butuh fleksibilitas, dan harus
beradaptasi di setiap situasi. Prinsip “One Size Fits All” tidak berlaku dalam gaya
kepemimpinan, terutama menghadapi tingkat kesiapan bawahan yang berbeda.
Menurut Robbins ( 2001 : 314-330 ) terdapat teori-teori kepemimpinan yang
dapat diklasifikasikann diantaranya yaitu :
1. Teori karakteristik ( Traits Theories )
Pandangan teori sifat/ karakter menyatakan karakteristik atau sifat tertentu
yang dimiliki seseorang mempengaruhi efektifitas kepemimpinan kualitas
pribadi seseorang sangat menentukan kepemimpinan. Kualitas pribadi tersebut
tidak dapat dialihkan kepada orang lain, karena tidak semua orang bisa jadi
pemimpin, kecuali bagi mereka yang memiliki kualitas pribadi.
Teori ini memandang pemimpin sebagai suatu kombinasi pencairan atribut
karakter (traits) kepribadian, sosial, fisik, intelektual yang membedakan
pemimpin dan bukan pemimpin. Teori ini mencoba untuk mencari karakter-
karakter yang konsisten dan unik yang berlangsung secara universal yang
dimiliki oleh seorang pemimpin yang efektif.
Terdapat enam karakter yang cenderung membedakan peminpin dan bukan
pemimpin meliputi : ambisi dan energi, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan
integritas (keutuhan ) percaya diri, kecerdasan dan pengetahuan yang relevan
dalam pekerjaan. Disamping itu, penelitian baru ini memberikan bukti yang
kuat bahwa orang-orang yang mempunyai sifat pemantauan yang tinggi artinya
31
sangat luwes dalam menyelesaikan perilaku mereka dalam situasi yang
berlainan, jauh lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai pemimpin
dalam kelompok-kelompok dari pada yang pemantauan dirinya rendah.
Pendekatan sifat/karakter belum terbukti dalam menjelaskan kepemimpinan.
Terdapat empat alasan yaitu pendekatan ini mengabaikan kebutuhan para
pengikut (bawahan) pendekatan ini gagal dalam memperjelas kepentingan
relatif pada berbagai karakter, pendekatan ini tak memisahkan sebab dari
akibat dan mengabaikan faktor-faktor situasional.
2. Teori Contingensi
Pendekatan kesipatan dan perilaku belum sepenuhnya dapat menjelaskan
kepemimpinan. Menjadi makin jelas bahwa mereka yang sedang menelaah
fenomena kepemimpinan bahwa memanfaatkan sukses kepemimpinan lebih
rumit daripada memisahkan beberapa karakter atau perilaku yang lebih di
sukai. Kegagalan untuk memperoleh hasil yang konsisten mendorong perhatian
pada pengaruh situasional.
Sebagian besar penelitian pada masa kini menyimpulkan bahwa tidak ada
satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin dalam suatu
kondisi. Hasil penelitian coba memilah faktor situasional yang mempengaruhi
keefektifan kepemimpinan variabel ini digunakan dalam mengembangkan teori
kemungkinan yang mencakup tingkat struktur tugas yang akan dikerjakan,
kualitas hubungan pemimpin – anggota, kekuasaan jabatan pemimpin,
kejelasan peran bawahan, norma kelompok, ketersediaan informasi,
penerimaan bawahan akan keputusan pemimpin dan kematangan bawahan.
32
Menurut Rivai Veithzal (2004:14-15) bahwa kajian terbaru terhadap teori
kepemimpinan terdapa tiga pendekatan, yaitu : teori atribusi, kepemimpinan
kharismatik, kepemimpinan transaksional versus kepemimpinan
transformasional.
1. Teori Atribusi Kepemimpinan
Dalam konteks kepemimpinan teori atribusi mengemukakan bahwa
kepemimpinan semata-mata suatu atribusi yang dibuat orang bagi individu-
individu lain. Dengan menggunakan kerangka atribusi, para peneliti
mengemukakan bahwa orang menggolongkan para pemimpin sebagai
penyandang karakteristik yang menonjol seperti kecerdasan, kepribadian,
ramah tamah, keterampilan verbal yang kuat, keagresifan, pemahaman dan
kerajinan.
Salah satu yang menarik dalam literatur teori atribusi kepemimpinan adalah
persepsi bahwa pemimpin yang efektif umumnya dianggap konsisten dan tidak
goyah dalam keputusan mereka.
2. Teori Kepemimpinan Kharismatik
Teori kepemimpinan kharismatik merupakan pengembangan dari teori
atribusi.teori ini mengemukakan para pengikut membuat atribusi
(penghubungan) dari kemampuan kepmimpinan yang heroik atau luar
biasa bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Pemimpin
kharismatik memiliki tujuan ideal yang ingin dicapai, memiliki komitmen
yang kuat pada tujuan, tidak konvensional, teguh dalam pendirian dan
percaya diri, sebagai agen perubahan, bukan manajer dari status quo.
3. Kepemimpinan Traksaksional Versus Kepemimpinan Transformasional
33
Penelitian terakhir yang menjadi perhatian akhir-akhir ini pada perbedaan
pemimpin transaksional versus pemimpin transformasional. Kebanyakan
teori seperti studi Ohio, model Fiedler, Teori Jalur Tujuan dan model
partisipasi pemimpin memperhatikan pemimpin transaksional memandu
atau memotivasi pengikut mereka kearah tujuan yang telah ditetapkan
dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas, sedangkan pemimpin
transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan
rangsangan intelktual yang di individualkan dan memiliki kharisma. Tipe
kepemimpnan ini mengilhami para pengikut untuk lebih mementingkan
kepentingan diri mereka sendiri demi kebaikan orang dan mampu
memberikan efek yang mencolok dan luar biasa pada diri pengikutnya.
Dari beberapa definisi atau pengertian kepemimpinan menurut para ahli yang
dikemukakan di atas, dapat dirumuskan bahwa kepemimpinan itu pada
hakekatnya adalah:
1. Kemampuan memengaruhi orang lain, apakah dia bawahan, rekan sekerja,
atau atasan.
2. Adanya pengikut yang dapat dipengaruhi, baik oleh ajakan, anjuran,
bujukan, sugesti, perintah, saran atau bentuk lainnya.
3. Adanya tujuan yang hendak dicapai.
Demikian juga dengan kepala BKPP Kota Sukabumi dalam memimpin organisasi
Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan. Sebagai pemimpin tertinggi di
BKPP Kota Sukabumi, kepemimpinannya akan sangat berpengaruh dan bahkan
sangat menentukan terhadap keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Dalam
usahanya mengatur dan mendayagunakan pegawai dan staf lainnya agar bekerja
34
secara optimal, kepala BKPP harus dapat menggunakan gaya kepemimpinannya
secara tepat. Dengan penggunaan gaya kepemimpinan secara tepat tersebut
diharapakan akan memotivasi para pegawai dalam bekerja sehingga
meningkatkan kinerja pegawai.
Berdasarkan pendapat para ahli dan uraian diatas yang dimaksud dengan
kepemimpinan kepala BKPP adalah penilaian para pegawai terhadap cara kepala
BKPP dalam memengaruhi para bawahan untuk mencapai tujuan organisasi
dengan dimensi: 1) Telling; 2) Selling; 3) Participating; dan 4) Delegating.
2.1.4Macam-Macam gaya Kepemimpinan
Ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para pakar
leardership, mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya
kepemimpinan situasional model Hersey dan Blanchard.
2.1.4.1Gaya Kepemimpinan Klasik
Teori klasik gaya kepemimpinan mengemukakan, pada dasarnya di dalam setiap
gaya kepemimpinan terdapat 2 unsur utama, yaitu unsur pengarahan (directive
behavior) dan unsur bantuan (supporting behavior). Dari dua unsur tersebut gaya
kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu otokrasi
(directing), pembinaan (coaching), demokrasi (supporting), dan kendali bebas
(delegating).
1) Mengarahkan (directing)
35
Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang
perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampuan,
minat dan komitmenya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian
tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey and Blancard
menyarankan agar manajer memainkan perandirective yang tinggi, memberi saran
bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu, dengan terus intens berhubungan sosial
dan komunikasi dengan bawahannya.
Pertama pemimpin harus mencari tahu mengapa orang tersebut tidak termotivasi,
kemudian mencari tahu dimana keterbatasannya. Dengan demikian pemimpin
harus memberi arahan dalam penyelesaian tugas dengan terus menumbuhkan
motivasi dan optimismenya.
2)Melatih (coaching)
Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut
untuk mencoba melakukannya, manajer juga harus memproporsikan struktur
tugas sesuai kemampuan dan tanggung jawab karyawan.
Oleh karena itu, pemimpin hendaknya menghabiskan waktu mendengarkan dan
menasehati, dan membantu karyawan untuk memperoleh keterampilan yang
diperlukan melalui metode pembinaan.
3)Demokrasi (supporting)
Gaya kepemimpinan partisipasi, adalah respon manajer yang harus diperankan
ketika karyawan memiliki tingkat kemampuan yang cukup, tetapi tidak memiliki
kemauan untuk melakukan tanggung jawab. Hal ini bisa dikarenakan rendahnya
36
etos kerja atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab.
Dalam kasus ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif
mendegarkan dan mengapresiasi usaha-usaha yang dilakukan para karyawan,
sehingga bawahan merasa dirinya penting dan senang menyelesaikan tugas.
4) Kendali bebas (delegating)
Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang
tinggi, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya “delegasi”. Dengan
gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan,
karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya.
Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang
bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya
delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah, cukup memberikan
untuk terus berkembang saja dengan terus diawasi.
Dalam gaya kepemimpinan klasik juga diperkenalkan beberapa gaya
kepemimpinan lain yang cukup populer yang pada prinsipnya merupakan sama
seperti gaya klasik diatas maupun gabungan dari beberapa gaya klasik yang
disebutkan sebelumnya. Gaya kepemimpinan tersebut adalah gaya kepemimpinan
otokrasi, gaya kepemimpinan pembinaan, gaya kepemimpinan demokrasi dan
gaya kepemimpinan kendali bebas.
Pada gaya kepemimpinan otokrasi, pemimpin mengendalikan semua aspek
kegiatan. Pemimpin memberitahukan sasaran apa saja yang ingin dicapai dan cara
untuk mencapai sasaran tersebut, baik itu sasaran utama maupun sasaran
minornya. Pemimpin juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas
37
anggotanya dan pemberi jalan keluar bila anggota mengalami masalah. Dengan
kata lain, anggota tidak perlu pusing memikirkan apappun. Anggota cukup
melaksanakan apa yang diputuskan pemimpin. Gaya kepemimpinan pembinaan
mirip dengan otokrasi. Pada gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin masih
menunjukkan sasaran yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai sasaran
tersebut. Namun, pada kepemimpinan ini anggota diajak untuk ikut memecahkan
masalah yang sedang dihadapi. Pada Gaya kepemimpinan demokrasi, anggota
memiliki peranan yang lebih besar. Pada kepemimpinan ini seorang pemimpin
hanya menunjukkan sasaran yang ingin dicapai saja, tentang cara untuk mencapai
sasaran tersebut, anggota yang menentukan. Selain itu, anggota juga diberi
keleluasaan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Gaya kepemimpinan
kendali bebas merupakan model kepemimpinan yang paling dinamis. Pada gaya
kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran utama yang
ingin dicapai saja. Tiap divisi atau seksi diberi kepercayaan penuh untuk
menentukan sasaran minor, cara untuk mencapai sasaran, dan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya sendiri-sendiri. Dengan demikian,
pemimpin hanya berperan sebagai pemantau saja. Lalu, gaya kepemimpinan yang
mana yang sebaiknya dijalankan? Jawaban dari pertanyaan ini adalah tergantung
pada kondisi anggota itu sendiri. Pada dasarnya tiap gaya kepemimpinan hanya
cocok untuk kondisi tertentu saja. Dengan mengetahui kondisi nyata anggota,
seorang pemimpin dapat memilih model kepemimpinan yang tepat. Tidak
menutup kemungkinan seorang pemimpin menerapkan gaya yang berbeda untuk
divisi atau seksi yang berbeda. Kepemimpinan otokrasi cocok untuk anggota yang
memiliki kompetensi rendah tapi komitmennya tinggi. Kepemimpinan pembinaan
38
cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi sedang dan komitmen rendah.
Kepemimpinan demokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi tinggi
dengan komitmen yang bervariasi. Sementara itu, kepemimpinan kendali bebas
cocok untuk angggota yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi.
2.1.4.2 Gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blanchard.
Gaya kepemimpinan, Secara langsung maupun tidak langsung mempunyai
pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja pegawai. Hal ini
didukung oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
yang termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam
meningkatkan produktivitas kerja saat ini. Gaya kepemimpinan situasional
dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok untuk diterapkan
saat ini. Sedangkan untuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan yaitu
bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang
seperti ini masih pengarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku
yang mendukung. Dalam hal ini pimpinan atau pemimpin perlu membuka
komunikasi dua arah (two way communications), yaitu untuk membantu bawahan
dalam meningkatkan motivasi kerjanya. Selanjutnya, yang mampu tetapi tidak
mau melaksanakan tugas atau tangung jawabnya. Bawahan seperti ini sebenarnya
memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi kurang memiliki
kemauan dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya,
dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan
mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan. Sedangkan gaya delegasi
adalah gaya yang cocok diterapkan pada bawahan yang memiliki kemauan juga
39
kemampuan dalam bekerja. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak
memberikan dukungan maupun pengarahan, karena dianggap bawahan sudah
mengetahui bagaimana, kapan dan dimana mereka barus melaksanakan tugas atau
tangung jawabnya. Dengan penerapan gaya kepemimpinan situasional ini, maka
bawahan atau pegawai merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga diharapkan
produktivitas kerjanya akan meningkat.
Harsey & Blanchard mengembangkan model kepemimpinan situasional efektif
dengan memadukan tingkat kematangan anak buah dengan pola perilaku yang
dimiliki pimpinannya.
Ada 4 tingkat kematangan bawahan (Maturity Levels), yaitu:
• M 1 : bawahan tidak mampu dan tidak mau atau tidak ada keyakinan.
• M 2 : bawahan tidak mampu tetapi memiliki kemauan dan keyakinan
bahwa ia bisa.
• M 3 : bawahan mampu tetapi tidak mempunyai kemauan dan tidak yakin.
• M 4 : bawahan mampu dan memiliki kemauan dan keyakinan untuk
menyelesaikan tugas.
Ada 4 gayakepemimpinan (Leadership Styles) yang efektif untuk diterapkan
yaitu:
•S1:telling, pemimpin memberi instruksi dan mengawasi pelaksanaan tugas dan
kinerja anak buahnya.
•S2: selling, pemimpin menjelaskan keputusannya dan membuka kesempatan
untuk bertanya bila kurang jelas.
•S3: participating, pemimpin memberikan kesempatan untuk menyampaikan ide-
ide sebagai dasar pengambilan keputusan.
40
•S4:delegating, pemimpin melimpahkan keputusan dan pelaksanaan tugas kepada
bawahannya.
Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah gambar gaya kepemimpinan situasional
model Hersey dan Blanchard.
Gambar 2.2
Gaya Kepemimpinan Situasional Hersey-Blanchard
2.1.4.2. Gaya Kepemimpinan Kontinum
Gaya kepemimpinan kontinum dipelopori oleh Robert Tannenbaum dan Warren
Schmidt. Kedua ahli menggambarkan gagasannya bahwa ada dua bidang
pengaruh yang ekstrem , pertama bidang pengaruh pimpinan kedua bidang
•Situation M1
•Situation M4
•Situation M2
•Situation M3
Style Partisipatif
Style Selling
Style Telling
Style Delegatif
Directive Behavior
S
u
p
o
r
t
i
v
e
b
e
h
a
v
i
o
r
41
pengaruh kebebasan bawahan. Gaya kepemimpinan Managerial Grid dipelopori
oleh Robert R. Blake dan Jane S Mouton. Dalam pendekatan Managerial Grid ini,
manajer berhubungan dengan 2 hal yakni produksi di satu pihak dan orang-orang
di pihak lain. Managerial Grid menekankan bagaimana manajer memikirkan
produksi dan hubungan manajer serta memikirkan produksi dan hubungan kerja
dengan manusianya, bukan ditekankan pada berapa banyak produksi harus
dihasilkan, dan berapa banyak ia harus berhubungan dengan bawahan.
Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan
Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapatbahwa pemimpin
mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang
menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan
cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku
demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana
sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi
otoritas berada di tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan
keputusan ada pada dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan
bawahan dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya
kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat,
dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan
keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini
adalah pada tugas.
Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau
wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi
dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha
42
mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si
pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya.
Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok. amun,
kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model perilaku
kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan yang
terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan Schmidt dalam
Hersey dan Blanchard (1995) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan
perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan
memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum
dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis
yang berorientasi pada hubungan.
2.2 Hubungan Tingkat Kematangan Pegawai dengan Gaya Kepemimpinan
Kematangan bawahan mempunyai hubungan yang sangat erat kaitannya dengan
gaya kepemimpinan. Pondasi dasarnya adalah perilaku kepemimpinan yang baik
mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan diantara bawahannya.
Atau dengan kata lain kematangan bawahan merupakan salah satu unsur dalam
mempengaruhi perilaku kepemimpinan. Tannenbaum dan Schmidt dalam Gibson
(1984:285) menyatakan bahwa ada 3 unsur yang mempengaruhi perilaku
kepemimpinan yaitu kemampuan manajer, kematangan bawahan dan situasi
kepemimpinan. Dari pendapat yang dikemukakan, ada beberapa unsur yang
mempengaruhi perilaku kepemimpinan, salah satunya yaitu kematangan bawahan.
Hersey dan Blanchard dalam Toha (2010:74) menyatakan bahwa kepemimpinan
yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang mampu
43
mengadaptasikan gaya agar sesuai dengan situasi, yang menurut argumentasinya
tergantung pada tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut. Semakin para
manajer mampu menyesuaikan gaya, perilaku kepemimpinan mereka pada situasi
dan kebutuhan dari para pengikut mereka, semakin efektiflah mereka untuk
mencapai tujuan pribadi dan tujuan organisasi.
Berdasarkan beberapa uraian teori di atas, maka jelaslah bahwa tingkat
kematangan bawahan akan berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan, karena
gaya kepemimpinan yang diterapkan seorang pemimpin disesuaikan dengan
tingkat kematangan bawahannya agar para pemimpin mampu memberikan
pengaruh terhadap bawahannya sesuai kondisi bawahannya tersebut. Identifikasi
level kematangan bawahan diharapkan mampu mempengaruhi pemilihan gaya
kepemimpinan yang tepat oleh seorang pemimpin yang mana nantinya juga dapat
berimbas pada peningkatan kinerja organisasi.
2.3. Kerangka Pemikiran
Pemahaman tentang kepemimpinan pada penelitian ini diletakkan dalam
perspektif teori organisasi sebagai sebuah sistem organisma, yang memandang
adanya pengaruh kematangan pegawai terhadap gaya kepemimpinan yang harus
digunakan, karena akan berdampak pada kinerja pegawai secara keseluruhan.
Gaya kepemimpinan seseorang akan efektif jika pemilihan gaya kepemimpinan
yang digunakan disesuaikan dengan tingkat kematangan pegawai yang akan
dipimpinnya. Hal ini sangat penting dilakukan karena akan berdampak pada
keseluruhan proses kegiatan yang bermuara pada kinerja seluruh pegawai.
44
Penelitian ini menekankan definisi gaya kepemimpinan menurut PaulHerseydan
Ken Blanchard yang menyatakan bahwa Kepemimpinan dipengaruhi oleh faktor
pemimpin, pengikut dan situasi. Dimana pengikut memiliki dua dimensi yaitu
kematangan pegawai dan kematangan psikologis. Dan faktor kematangan ini
berpengaruh terhadap penentuan gaya kepemimpinan seperti apa yang sebaiknya
digunakan oleh seorang pemimpin.
Pada dasarnya setiap pemimpin akan berhasil memimpin suatu organisasi secara
efektif apabila, (1) mempunyai kecerdasan yang cukup tinggi untuk dapat
memikirkan dan mencarikan cara-cara pemecahan setiap persoalan yang timbul
dengan cara yang tepat, bijaksana serta mendukung kelengkapan dan syarat-syarat
yang memungkinkan untuk dilaksanakan; (2) mempunyai emosi yang stabil, tidak
mudah diombang-ambingkan oleh perubahan suasana yang senantiasa berganti-
ganti dan dapat memisahkan antara mana yang soal pribadi, soal rumah tangga,
dan mana soal organisasi; (3) mempunyai kepandaian dalam menghadapi manusia
dan mampu membuat bawahan merasa betah, senang, dan puas dengan dan dalam
pekerjaan; (4) mempunyai keahlian untuk mengorganisasi dan menggerakkan
bawahan secara bijaksana dalam mewujudkan tujuan organisasi serta mengetahui
dengan tepat kapan dan kepada siapa tanggungjawab dan wewenang akan di
delegasikan; dan (5) mempunyai keterampilan manajemen untuk menghadapi
persoalan masyarakat yang semakin maju.
Pengikut dalam hal ini bawahan atau kelompok masyarakat yang dipimpin oleh
seorang pemimpin politik, pada prinsipnya harus dapat diberdayakan oleh
pemimpin, sehingga secara bersama-sama dapat mengubah kondisi menjadi lebih
baik, menapak tujuan yang telah disepakati bersama.
45
Dalam proses kepemimpinan, pengikut tidak hanya bersifat pasif akan tetapi lebih
bersifat aktif. Seperti pendapat Pierce dan Gardner bahwa:
“The followers is not a passive player in the leadership process. Edwin
Hollander, after many years of studying leadership, suggested that the
followers is the most critical factor in any leadership event”.
“Pengikut bukanlah seorang yang pasif dalam proses kepemimpinan, Edwin
Hollanders, setelah beberapa tahun mempelajari kepemimpinan
beranggapan bahwa pengikut adalah faktor yang paling penting pada
beberapa kepemimpinan”.
Dalam mencapai suatu produktivitas yang maksimal, maka pemimpin harus
memahami benar beberapa dimensi pengikut, antara lain: motivasi, kepuasan
kerja dan kinerja. Untuk menciptakannya perlu pengertian antara pemimpin
dengan bawahan atau pengikut.
Pengikut merupakan hal penting untuk dipertimbangkan pemimpin dalam menilai
situasi mereka. Seperti yang telah dikemukakan oleh Sanford (dalam Hersey dan
Blanchard, 1995:156), bahwa:
“Ada semacam keharusan untuk mempertimbangkan pengikut sebagai
faktor yang paling krusial dalam setiap kepemimpinan. Dalam situasi
apapun pengikut adalah vital, tidak hanya karena secara individual mereka
menerima atau menolak pemimpin tetapi juga karena suatu kelompok,
karena merekalah yang sebenarnya menentukan kuasa pribadi apapun
yang akan dimiliki pemimpin”.
Dimensi pengikut sangat penting pada semua level manajemen, termasuk di
dalamnya manajemen pemerintahan. Seperti yang dikemukakan Hersey dan
Blanchard, 1995:186, berikut ini:
“Faktor kunci penerapan kepemimpinan situasional adalah penilaian
tingkat kematangan pengikut dan selanjutnya menerapkan perilaku seperti
yang diuraikan model tersebut. Dalam kepemimpinan situasional implisit
46
adanya ide bahwa seorang pemimpin seyogyanya membantu pengikut
untuk menumbuhkan kematangan sejauh yang dapat dan mau dilakukan”.
Untuk mengukur komponen kematangan menurut Paul Hersey dan Ken
Blanchard, ada dua yakni:
1) Kematangan pegawai, dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan
sesuatu. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan.
2) Kematangan psikologis, dikaitkan dengan kemauan atau motivasi
untuk melakukan sesuatu. Hal ini terkait dengan rasa yakin dan
keikatan. Orang-orang yang sangat matang secara psikologis dan
bidang atau tanggungjawab tertentu merasa bahwa tanggungjawab
merupakan hal yang penting serta memiliki rasa yakin terhadap diri
sendiri dan merasa dirinya mampu dalam aspek pekerjaan tertentu.
Dengan instrumen pengukuran sebagai berikut:
a) Lower maturity
b) Medium maturity/Limited skill
c) Medium maturity/ High skill
d) High maturity
Untuk mengukur Pengaruh Kematangan Pegawai Terhadap Gaya Kepemimpinan
Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kota Sukabumi,
peneliti mengacu pada teori Gaya Kepemimpinan Situasional dari Paul Hersey
dan Ken Blanchard, karena dianggap paling sesuai untuk diterapkan di organisasi
pemerintah seperti BKPP Kota Sukabumi ini. Dimana gaya kepemimpinan terdiri
dari empat kriteria yaitu Telling, Selling, Participating dan Delegating. Sementara
untuk mengukur Kematangan Pegawai, peneliti juga menggunakan teori dari Paul
47
Hersey danKen Blanchard dimana kematangan pegawai diukur dengan
menggunakan levelLow Maturity, Medium Maturity (Limited Skill), Medium
Maturity (High Skill, Lack of Confidence), High Maturity.
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran Gaya Kepemimpinan Situasional Hersey-Blanchard
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas maka dapat digambarkan
paradigma penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.4
Kesesuaian antara Kematangan Pegawai dengan Gaya Kepemimpinan
48
Kematangan Pegawai
(Maturity of the People):
1. Low Maturity
2. Medium
Maturity/Limited
Skill
3. Medium
Maturity/High Skill,
Lack of Confidence
4. High Maturity
Hersey and Blanchard
(1995)
Gaya Kepemimpinan
(Leadership Style) :
1. Telling
2. Selling
3. Participating
4. Delegating
Hersey and Blanchard
(1995)
Kesesuaian
Menurut teori Hersey dan Blanchard, idealnya untuk memimpin pegawai yang
tingkat kematangannya Low maturity, gaya kepemimpinan yang sesuai untuk
digunakan adalah Telling, untuk pegawai yang tingkat kematangannya Medium
maurity/limited skill, gaya kepemimpinan yang sesuai untuk digunakan oleh
pemimpin adalah Selling, untuk tingkat kematangan pegawai Medium
maturity/high skill, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah Participating,
dan untuk tingkat kematangan pegawai High maturity, seorang pemimpin
disarankan menggunakan gaya kepemimpinan Delegating.
Efektivitas kepemimpinan seseorang dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu pemimpin itu
sendiri, pengikut dan situasi. Pada penelitian kali ini peneliti mencoba
menghubungkan faktor pengikut/pegawai yang dilihat dari tingkat
kematangan/kedewasaannya dengan gaya kepemimpinan. Karena pemilihan
gaya kepemimpinan yang tepat akan dapat mengoptimalkan kepemimpinan
seseorang yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kinerja pegawai.
49
2.3. Hipotesis
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas maka peneliti membuat hipotesis
sebagai berikut: “Pengaruh Kematangan Pegawai Terhadap Gaya Kepemimpinan
Kepala BKPP Kota Sukabumi diukur dari Low Maturity, Medium
Maturity/Limited Skill, Medium Maturity/High Skill, dan High Maturity ”.